You are on page 1of 24

Pengabdian Compang-camping

TERAS
A M A N A T U R
SURAT KABAR MAHASISWA

Sentuhan Sahabat
KKN compang-camping Bukane tura-turu? DEMA kedatangan orang-orang baru Kerjaannya pasti kayak yang lama. Bocah diadili gara-gara curi sandal polisi Sandal jepit betul-betul menjepit. IAIN molor jadi UIN ya, Pak? Allah swt belum meridhai, Nak. Aparat bantai rakyat Mesuji dan Bima Beraninya sama rakyat. Kelabakan kalo sama penjahat. Kuliah kok sering kosong ya? Maklum, dosennya lagi banyak proyek. Siswa SMK bisa bikin mobil Ya, begitulah adanya, yang muda berkreasi yang tua korupsi, eh keceplosan. Banyak gedung baru Cihuy... laris manis.

AMANAT

Untuk Mahasiswa dengan Penalaran dan Taqwa

Penerbit: Unit Kegiatan Mahasiswa Surat Kabar Mahasiswa (SKM) AMANAT IAIN Walisongo Semarang Izin Terbit: SK Rektor IAIN Walisongo Semarang No. 026 Tahun 1984 International Standart Serial Number (ISSN): 0853-487X

Bang Aman yang kadang pakewuh

SURAT PEMBACA
Redaksi menerima saran dan kritik mengenai kampus maupun SKM AMANAT. Surat dikirim melalui jasa pos/ kurir/ e-mail. Atau ke dapur redaksi SKM AMANAT di Student Centre Kampus 3 IAIN Walisongo. Surat harus dilengkapi KTM, KTP, SIM atau identitas lainnya.

SALAM REDAKSI

Layaknya Kisah Pohon Apel

Komunikasi Antar UKM


Setiap UKM memiliki potensi dan orientasi sendiri-sendiri. Namun begitu tak bisa lepas dari interaksi antar UKM. Saat menggelar hajat misalnya, perlu bantuan dari UKM lain. Meminjam peralatan atau lainnya. Akan tetapi masing-masing UKM seolah-olah berdiri dan hidup sendiri. Begitu juga DEMA. Tidak ada keharmonisan. Meskipun ada, toh hanya beberapa UKM saja. Padahal, di fakultas maupun institut, sekretariat UKM berada dalam satu atap. Saya berharap setiap UKM perlu manjalin komunikasi yang lebih intim dengan UKM lainnya. Dalam hal ini DEMA harus menjadi pelopor. Oke? --M. Rizka I, Aktivis UKM

Koneksi Internet untuk PKM


Kemandirian untuk memapar informasi kepada publik salah satunya diperlukan media on line. Selama ini LPM Idea telah memiliki website http://ideastudies.com, tapi belum maksimal karena tidak ada fasilitas untuk koneksi internet di PKM. Padahal di IAIN ada lima LPM dan sangat butuh fasilitas itu. Kami berharap Pusat Komputer IAIN Walisongo mengupayakan fasilitas hotspot area di setiap PKM. Terima kasih. --M. Zulfa, Pegiat Idea Studies

Papan Informasi Terpencil


Letak Gedung Dekanat Fakultas Tarbiyah terpencil. Di gedung itulah, informasi-informasi penting terpampang. Yang saya keluhkan adalah, ketika ada informasi penting, terkadang saya tidak tahu. Tidak mungkin, setiap hari saya ke Dekanat hanya untuk melihat papan informasi. Ke depan, saya berharap, jika ada informasi penting, tidak hanya ditempel di Dekanat. tapi juga di papan informasi yang dekat ruang kuliah. --Muhammad, Mahasiswa Fakultas Tarbiyah

Pohon apel itu bagai dalam pesakitan. Daun-daunnya terus meranggas. Hama menyerang di mana-mana. Sekilas, buahnya memang nampak segar. Padahal banyak penyakit bersarang. Nahas, pemiliknya tak tahu. Setiap hari apel tak sehat itu dipetik kemudian dihidangkan kepada anak isterinya. Sampai suatu ketika, beberapa pemuda berpakaian rapi datang. Kepada pemilik pohon itu, mereka menawarkan diri melakukan penelitian dan pengobatan untuk pohon tersebut. Permintaan dikabulkan. Beberapa pemuda itu mengambil beberapa sampel dari apel busuk. Apel yang sudah membusuk itu kemudian dikorekkorek sampai bagian dalam. Pemilik pohon menggeleng heran. Pikirnya, buat apa apel busuk itu terus dikorek-korek. Pertanyaan itu akhirnya terjawab. Beberapa pemuda itu datang membawa apel busuk yag sudah dikorek. Kepada pemiliknya, mereka menjelaskan, banyak penyakit merundung pohon apel itu. Hanya dengan cara mengorek itulah dapat diketemukan apa saja penyakitnya, bagaimana penyakit itu menyerang, serta bagaimana mengobatinya.

Kisah itu tak beda dengan Kampus IAIN Walisongo. Banyak apel mulus, namun busuk bagian dalamnya. Parahnya, mahasiswa tak mengerti dan tetap mengkonsumsi apel itu. Bisa karena pemiliknya tak tahu. Bisa juga karena disengaja. Bisa juga karena hama menyerang tanpa sepengetahuan pemilik. Bisa juga, hama itu tumbuh karena perbuatan pemilik, tapi pemilik tak sadar. Untuk itulah, Amanat melakukan upaya. Seperti dilakukan beberapa pemuda dalam kisah tadi. Mengorek memang bagian tak terlewatkan. Maksudnya sekadar mencari tahu apa saja penyebab penyakit dalam apel itu. Agar semua tahu dan segera mencarikan obatnya. Salah satunya, kisah Kuliah Kerja Nyata (KKN). Tak banyak menyadari, bermacam ketimpangan bersarang di dalam KKN. Kepada sesuatu yang telanjur dianggap apel dan telanjur menjadi konsumsi wajib itu, redaksi melakukan penelusuran. Tak terkecuali, pada apel-apel lainnya. Prinsip redaksi adalah; jika itu apel, kenapa tak membuatnya benar-benar layak konsumsi? Redaksi

PELINDUNG Rektor IAIN Walisongo PENANGGUNG JAWAB Pembantu Rektor III IAIN Walisongo PEMBINA Kabag. Akademik dan Kemahasiswaan Dosen Bina SKK PEMIMPIN UMUM Khoirul Muzakki BENDAHARA Nazilatun Nihlah Yestik Arum PEMIMPIN REDAKSI Hammidun Na Syifauddin SEKRETARIS REDAKSI Abdul Arif DESK BERITA Shodiqin DESK ARTIKEL Ngabidin DESK SASTRA BUDAYA Eny Rifaatul M LAYOUTER Akhmad Baihaqi Arsyad Rohman Kusriyono ILUSTRATOR Aufal Marom FOTOGRAFER Slamet Tridadi KOORDINATOR REPORTER Alan Guntur A REPORTER Ahmad Munib, Siswo Ari Wibowo, Siti Nur Anisah, Dita Kurniawati, Lailatul Fadilah, Nur Aziroh, Yulianti, Zulaikhah, Azid Fitriyah, Irma Muikhah, M Mud, M Faizun, Anik Sukhaifah, Ulfa Mutmainnah, Nanang Tauq M, Lailatus Syarifah, Ani rosidah PEMIMPIN USAHA Fathul Jamil PUSAT DOKUMENTASI Ayati Badriyah PERIKLANAN Nur Ayu Rizqiya SIRKULASI M Izzudin HUMAN RESOURCES DEPARTMENT Amin Fauzi, Farih Lidinillah, Musyafak, Munaseh, Suhardiman, Fani Setyaningrum, Nanik Kurniawati, Farid Helmi. STAF AHLI Joko Tri Haryanto, Ajang ZA, Sohirin, Siti Alah, Nur Budi Handayani, Ingwuri Handayani, Lutl Kirom, Heri Nugroho, Abdul Hakim, Muallim, Khusnul Huda, Ali Romdhoni, Muh Slamet, Rosidi, Siswanto, Ali Mustofa, Fakhrudin Karmani, Wahyu Agung, Edi Purnomo, Pujianto, M Olis.

Redaksi menerima artikel, resensi, dan puisi, maksimal 5.000 karakter (termasuk spasi), sedang cerpen maksimal 8.000 karakter (termasuk spasi). Naskah yang dimuat akan mendapat imbalan sederhana, yang tidak dimuat akan dikembalikan jika disertai perangko balasan. Redaksi berhak mengedit tulisan selama tidak mengubah isi. Tulisan dapat dikirim melalui email: skmamanat@yahoo.com

Ilustrasi Abdul Arif Desain Hammidun Nafi S

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

L APORAN U TAMA
Kuliah Kerja Nyata (KKN)

Pengabdian Compang-camping

Pengabdian Compang-camping
Misi pengabdian yang dicitakan dari awal kabur. Mahasiswa gagal menerjemahkan makna pengabdian di setiap kegiatannya.
lebih baik jika KKN diarahkan pada permasalahan masyarakat dalam hal keagamaan. Seperti misalnya, ada daerah yang masih membudayakan kawin cerai. Di sana, mahasiswa bisa diterjunkan untuk membangun kesadaran masyarakat. Begitu juga hal lain yang masih berkaitan dengan pengetahuan keagamaan. Bisa juga, mahasiswa difokuskan pada masalah moral para remaja. Seperti misalnya, anak jalanan dan geng-geng remaja yang rentan perselisihan. Intinya, kampus harus punya desain kegiatan jelas. Bidang apa yang akan ditangani, bekal apa yang musti dimiliki mahasiswa, sampai pada parameter untuk mengukur kesuksesan, semua harus jelas. Sukses dilihat dari berapa besar perubahan, jelas Rasdi. Menggunakan desain itu, kampus harus benar-benar membuat perancangan. Fokus masalah yang akan dibidik harus jelas dari awal. Kemampuan mahasiswa yang akan mengurusi masalah itu harus memadai. Selama ini kampus kurang memperhatikan itu. Ketika memilih tempat KKN saja, kampus tidak proaktif mencari lokasi sendiri. Lokasi dipilih atas dasar permintaan Kepala Daerah. Sebagaimana dijelaskan Ilyas, kampus melakukan pemerataan ke semua daerah yang mengajukan permohonan KKN. Mereka yang meminta, katanya. Untuk memberikan gambaran jelas lokasi KKN, saat pembekalan kampus menghadirkan instansi daerah terkait. Namun, menurut kesaksian Husni, materi yang dipaparkan kurang. Penjelasan masih sebatas potensi wisata dan lain-lain, bukan permasalahanpermasalahan yang harus dipecahkan mahasiswa. Kampus juga tak memberi gambaran kepada mahasiswa terkait apa yang harus dilakukan. Salah satu sumber Amanat yang enggan disebutkan identitasnya menceritakan, ketika ia bertanya bagaimana harus menghadapi masyarakat (dalam hal ini bandungan yang identik dengan lokalisasi tuna susila), pihak kampus justru meminta mahasiswa untuk tak mengambil sikap. Tak ada bimbingan bagaimana menghadapi masyarakat, katanya. Kejar Nilai Jangan heran jika kemudian mahasiswa menganggap KKN sebatas formalitas kuliah. Fokus mereka tak lagi pada pengabdian. Di balik semua kegiatan, ada ambisi mengejar nilai. Sugiyanto, ditemui di kediamannya menceritakan, hampir semua mahasiswa hanya mengincar nilai. Mereka seperti menganggap KKN sebatas formalitas kuliah. Mereka tak peduli sudah berkontribusi sebesar apa. Yang penting nilai keluar, katanya. Rasdi menjelaskan, KKN sebenarnya bukan sekadar formalitas, apalagi ajang mencari nilai. Jika di lapangan melenceng, yang bertanggung jawab memperbaiki adalah kampus. Kampus harus bisa merubah paradigma itu. Setidaknya ada desain kegiatan yang jelas. Sebagaimana dijelaskan di awal. Program KKN harus jelas, tindakan mahasiswa di lapangan harus terarah, termasuk kejelasan parameter pengukur kesuksesan tindakan mahasiswa. Kalau hanya mengincar nilai mereka akan rugi. Tidak dikenang! tegas Rasdi. Hammidun Nafi S, Abdul Arif

Peserta KKN angkatan ke-57 tengah mengikuti upacara pelepasan di pelataran samping Gedung Auditorium I kampus 1 IAIN Walisongo Semarang.

ermintaan itu disampaikan Direktur Pendidikan Tinggi (Dikti) kepada tiga kampus besar di Indonesia, empat puluh tahun silam. Dikti menginginkan mahasiswa melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Pada 1971, Universitas Gajah Mada (UGM), bersama Universitas Andalas dan Universitas Hasanuddin mengawali langkahnya dengan merintis program pengabdian tersebut. Program itu dinamai Kuliah Kerja Nyata (KKN). Mulanya KKN bersifat suka rela bagi mahasiswa. Baru pada 1979 statusnya beralih menjadi kegiatan wajib. Praktis, KKN menjadi syarat kelulusan. Ketika itu hampir semua perguruan tinggi di Indonesia menyelenggarakan KKN. Tak berselang lama, IAIN Walisongo merapat dalam barisan. Kampus hijau ini memasukkan KKN dalam daftar kurikukum. Walhasil, mahasiswa IAIN harus menempuh KKN demi menyandang titel sarjana. Sebagaimana termaktub dalam Buku Pedoman KKN, tujuan kegiatan ini tak lain demi menumbuhkan dan mematangkan jiwa pengabdian mahasiswa kepada masyarakat. Program Tiruan Wakil ketua Pusat Pengabdian kepada Masyarakat (PPM) Ilyas Supena mengatakan, mahasiswa harus bisa mengaktualisasikan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah melalui pengabdian masyarakat. Merealisasikan itu, lanjut Ilyas, mahasiswa diberi kebebasan menentukan program kerja. Program kerjanya apa saja boleh, sesuai basis keilmuan yang dikembangkan di fakultas masing-masing. Namun di lapangan, mahasiswa masih mengalami kesulitan dalam menyusun program kerja. Kebanyakan mahasiswa hanya menjadi partisipan. Kegiatan mereka, ikutikutan agenda masyarakat yang sudah ada. Hal itu dibenarkan Muhammad Husni Sodikin. Salah satu peserta KKN di Kecamatan Bandungan itu mengatakan, kegiatan mahasiswa di lapangan hanya tahlilan, yasinan, dan berbagai kegiatan lain yang

sudah rutin dijalani masyarakat. Tak ada kegiatan baru yang menonjolkan kreatifitas mahasiswa, katanya. Senada Husni, Koordinator Kecamatan Bergas Khoirul Huda mengungkapkan, banyak posko KKN tak kreatif dalam menyusun program kerja. Mereka mencari titik aman dengan hanya aktif dalam rutinitas masyarakat. Agar tak terlihat menganggur, ujarnya. Keadaan itu berulang secara turuntemurun. Huda menceritakan, dalam menyusun program kerja, kebanyakan teman-temannya meniru program kerja KKN lalu. Polanya hampir sama, mahasiswa sebagai partisipan.

Program KKN harus jelas, tindakan mahasiswa di lapangan harus terarah, termasuk kejelasan parameter pengukur kesuksesan tindakan mahasiswa.
Prof. Dr. Rasdi Ekosiswoyo, M.Sc Ketua Dewan Pendidikan Kota Semarang

Setelah menimba ilmu sekitar tujuh semester, mahasiswa harus terbiasa melibatkan diri dalam masyarakat. Bekalnya, ilmu yang diperoleh selama kuliah. Dengan bekal itu, mahasiswa diharapkan mampu menghadirkan inovasi. Bukan sekadar ikut-ikutan, apalagi kehilangan kreatifitas. Kalau hanya ikut-ikutan, nothing! tegas Rasdi. Khoirul Huda menengarai, kegiatan yang hanya ikut-ikutan itu, selain karena kesalahan mahasiswa, juga karena kesalahan kampus. Kampus kurang berperan dalam melakukan kontrol. Sebelum KKN mustinya kampus bisa mengukur sejauh mana pengetahuan mahasiswa terkait pengabdian. Paling tidak, menurut Huda, kampus bisa memberi penjelasan terkait KKN dengan mengacu pengalaman-pengalaman KKN sebelumnya. Mana program kerja yang baik, mana yang tidak. Kampus harus benar-benar membimbing. Kepala Desa Wringinputih, Sugiyanto membenarkan itu. Kampus, kata Sugiyanto, kurang memberikan bimbingan dan arahan. Bahkan, kampus terkesan menelantarkan mahasiswa. Mahasiswa dilepas sendiri, katanya. Ketika datang saja, mahasiswa hanya diantar sampai kantor kecamatan. Mereka datang sendiri menuju lokasi. Setidaknya kampus menitipkan ke Desa, tandasnya. Peran Kampus Dalam lingkup pembangunan nasional, posisi kampus sangat strategis. Rasdi mengatakan, banyak masalah di masyarakat yang sebenarnya bisa ditangani kampus sesuai bidang dan konsentrasi keilmuannya. Bahkan, lanjut Rasdi, kampus harusnya berani menawarkan diri untuk turut menangani permasalahan nasional. Kerja sama bisa dijalin antara kampus dengan pemerintah. Tindak lanjutnya, memberdayakan mahasiswa KKN untuk menangani permasalahan tersebut. Melalui kerja sama itu, KKN kemudian dikhususkan pada satu tujuan. Memperhatikan konsentrasi IAIN Walisongo yang lebih mengarah bidang agama, Rasdi menilai, akan

Parahnya lagi, banyak program kerja tak jelas tetap mereka adopsi. Kegiatannya banyak, namun tak memiliki tujuan jelas. Mereka terkesan memamerkan kinerja. Ketua Dewan Pendidikan Kota Semarang Rasdi Ekosiswoyo mengatakan, seharusnya mahasiswa lebih mengutamakan kreatifitas. Tak asal ikut-ikutan. Mengingat tujuan KKN tak lain untuk mendidik mahasiswa agar terbiasa menghadapi persoalan masyarakat. Menjadi bagian masyarakat nantinya mahasiswa diharapkan bisa memberi kontribusi. Jangan hanya jadi mercusuar! Proses belajar menuju itu ialah KKN.

Amanat.Hammidun Na i S

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

Pengabdian Compang-camping

L APORAN U TAMA
Kuliah Kerja Nyata (KKN)

Ritus Menuju Lulus


Persiapan kurang matang. Di lapangan, mahasiswa miskin orientasi.
uhammad Zulfa sibuk mengurus barang bawaan. Beberapa pakaian ganti dijejal dalam sebuah ransel besar. Menggendong ransel itu, Zulfa berjalan agak lamban menyusul teman-temannya yang sudah berkerumun di sekitar Gedung Auditorium I Kampus 1 IAIN Walisongo Semarang. Pagi itu (11/10/2011), Zulfa bersama sekitar 380 mahasiswa lainnya mengikuti upacara pelepasan KKN angkatan ke-57. Usai itu, mereka akan disebar ke beberapa kecamatan di Semarang. Sampai detik keberangkatan, Zulfa beserta teman-temannya masih ragu. Terus terang, mereka belum tahu akan melakukan apa di tempat KKN. Bahkan, mereka belum tahu gambaran keadaan masyarakat. Kami belum tahu apa-apa, kata peserta KKN Desa Jetis itu. Sebelum KKN, sebenarnya mahasiswa sudah diberi waktu khusus untuk observasi. Wakil Ketua PPM Ilyas Supena menjelaskan, observasi itu sebagai langkah awal peserta untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan di daerah yang akan mereka tempati. Praktiknya, observasi kurang bisa dimaksimalkan. Kendalanya, menurut Zulfa, waktu yang terlalu singkat. Ia menjelaskan, mahasiswa hanya diberi waktu satu hari untuk observasi. Jaraknya dengan hari pelaksanaan KKN pun terlalu singkat. Enam hari menjelang keberangkatan. Terlalu mepet dan singkat, ujarnya. Padahal, lanjut Zulfa, banyak yang harus dicari. Termasuk mencari tempat tinggal sementara. Tak jarang, dalam observasi mahasiswa justru mengutamakan mencari tempat tinggal dibanding mencari informasi terkait permasalahan masyarakat. Hal serupa dialami Attabik Basyir. Wakil Koodinator Desa Wujil itu menceritakan, waktu observasi habis untuk mencari tempat tinggal. Menuju lokasi KKN, informasi yang mereka kantongi adalah, posko berada di Desa Munding. Ketika didatangi, ternyata lokasi dipindah ke Wujil. Praktis, waktu observasi habis untuk mondarmandir. Sudah waktu singkat, pasca observasi kampus tak melakukan tindak lanjut. Data yang diperoleh masih mentah, bagaimana mengolah data menjadi program kerja, apa garis besar kegiatan mahasiswa untuk merealisasikan program kerja itu, dari kesemuanya itu, kata Zulfa, tak ada kejelasan. Minim Bekal Tercantum dalam buku pedoman KKN, mahasiswa diharap bisa melatih kemampuannya untuk menerapkan teori yang sudah diperoleh kepada masyarakat melalui rangkaian kegiatan KKN. Mempraktikkan itu, kata Zulfa, bukan hal mudah. Terlebih, mahasiswa tak memiliki cara merealisasikan teori yang diperoleh selama kuliah. Dalam pembekalan hal-hal seperti itu tak diajarkan. Waktu pembekalan juga terlalu singkat. Hanya sehari. Ilyas menjelaskan, pembekalan sebenarnya adalah upaya mengkomunikasikan apa yang sudah diperoleh mahasiswa di fakultas dengan kemungkinan data-data yang berkembang di masyarakat. Asumsi yang digunakan, mahasiswa sudah dibekali selama tujuh semester. Sehingga, pembekalan sehari cukup.

Seorang mahasiswi KKN tengah mengajar di depan kelas.

Faktanya, ilmu yang diperoleh selama tujuh semester itu tak lantas bisa diaplikasikan. Kuliah itu hanya teori. Yang mahasiswa butuhkan adalah cara mengaplikasikannya. Menurut Zulfa, pembekalan satu hari bisa saja cukup, asalkan dalam pembekalan itu mahasiswa benar-benar diajari cara mengaplikasikan teori.

Waktu efektif mereka banyak terbuang di awal. Datang tanpa persiapan, observasi satu minggu tidak selesai, menyusun proposal butuh satu minggu, belum yang lain.
Sugiyanto Kepala Desa Wringinputih

Pada praktiknya, jauh dari yang diharapkan. Basyir menceritakan, dalam pembekalan kebanyakan acaranya hanya sambutan-sambutan. Sebagian mahasiswa tak memperhatikan. Mereka justru membuat forum sendiri di belakang. Hasilnya, sebagaimana disaksikan Kepala Desa Wringinputih, Sugiyanto, mahasiswa datang ke lokasi kurang persiapan. Perencanaan kacau, skedul waktu

tidak jalan, belum tahu permasalahan, dan lain-lain. Waktu efektif mereka banyak terbuang di awal. Mahasiswa datang tanpa persiapan, observasi satu minggu tidak selesai, menyusun proposal butuh satu minggu, belum yang lain, urainya. Mustinya, lanjut Sugiyanto, persiapanpersiapan semacam itu sudah rampung di kampus. Semua bisa dilakukan saat pembekalan. Pembekalan dari kampus harus sudah menyusun skedul waktu, tegasnya. Yang mahasiswa butuhkan sebenarnya hanya persiapan. Mahasiswa harus diberi ancang-ancang. Tak ada salahnya diadakan pra KKN. Sehingga begitu mereka datang semuanya sudah siap. Proposal siap, pendanaan siap, termasuk sudah mengantongi calon permasalahan yang akan dibidik dan diselesaikan semasa KKN. Sugiyanto prihatin. Apalagi kampus terkesan menelantarkan mahasiswa. Kampus kurang memberi bimbingan dan arahan. Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) pun kurang berkontribusi. Peran mereka tak kelihatan. Mahasiswa dilepas tanpa arahan. Mustinya DPL berperan aktif di sana, kata Sugiyanto. Mengacu buku pedoman KKN, DPL sebenarnya memiliki kewajiban mendampingi dan mengarahkan peserta KKN sewaktu melaksanakan observasi dan menyusun program kerja. Kewajiban itu belum sepenuhnya dijalankan. Dalam beberapa hal yang mustinya membutuhkan campur tangan mereka, justru mahasiswa sendiri lah yang

harus mencari pemecahannya. Hal itu diamini Zulfa. Di poskonya peran DPL belum maksimal. Sumbangsihnya minim. Datang hanya beberapa kali. Sekali datang, tak lebih sebatas berkunjung. Tak memberikan apa-apa, katanya. Meski tak dipungkiri, ada beberapa DPL yang bertanggung jawab. Zulfa menceritakan, ada DPL salah satu posko yang benar-benar membimbing. Bahkan, DPL tersebut sempat menginap di posko tersebut. Mustinya, lanjut Zulfa, semua DPL bisa seperti itu, meski tak harus menginap. Campur tangan DPL sangat dibutuhkan, terutama untuk menumbuhkan semangat mahasiswa. Lebih dari sekadar pembimbing, mereka adalah contoh. Penelitian dan PAR Penting, dalam melaksanakan KKN, mahasiswa paham penelitian. Dalam Buku Pedoman KKN jelas disebutkan, penelitian dilakukan sebagai awal bagi mahasiswa untuk menyusun program kerja. Praktis, program kerja mustahil tersusun tanpa terlebih dahulu melakukan penelitian. Sebagaimana dialami Zulfa dan teman-temannya. Satu minggu di tempat KKN belum ada program kerja. Satu minggu, kami masih meraba-raba, katanya. Beruntung, menjelang akhir mereka bisa menemukan kebutuhan masyarakat. Sedikit sisa waktu itu kemudian mereka gunakan untuk mengejar target. Programnya, kata Zulfa, membangun rumah baca. Namun sayang, waktu terburu habis, padahal rumah baca baru diresmikan. Kami belum sempat memantau.

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

Dok.Amanat

L APORAN U TAMA

Pengabdian Compang-camping
rakat, merancang kegiatan, menyusun kegiatan bersama masyarakat, sampai pada tahap melakukan refleksi. Keterbatasan waktu menyebabkan mahasiswa tak mencerna secara sempurna. Koordinator Desa Gondoriyo, yang kebetulan poskonya menjalani program uji coba PAR, Imam Edi Subkhi mengatakan, persiapan untuk PAR terlalu mepet. Ditambah lagi, pemantauan PPM di lapangan kurang. Setidaknya, PPM memantau sekali dalam seminggu. Mahasiswa masih perlu dituntun, katanya. Edi mengakui, program PAR memang sangat baik. Mereka lebih diberi kesempatan mempraktikkan ilmu yang sudah diperoleh selama kuliah. Hubungan dengan masyarakat pun lebih baik. Mahasiswa tak bergerak sendiri. Ada saling kerja sama. Beda dengan biasanya, mahasiswa seperti diperalat. Maksimalkan Semua berakhir begitu saja seusai KKN. Mahasiswa kembali ke kampus. Semula datang tak membawa apa-apa, pergi tak meninggalkan apa-apa. Ada dan tiada mereka, tak memberi pengaruh. Begitulah kesan masyarakat tentang KKN selama ini. Tak ada pengaruhnya, ujar Suriyah, warga desa Wujil. Karena itulah, kedepan, PPM harus memaksimalkan KKN. Namun sayang, ketika Amanat mencoba mencari tahu bagaimana rencana PPM ke depan terkait KKN, Ketua PPM belum bersedia memberi keterangan. Alasannya, akhir-akhir ini dia jarang aktif, jadi kurang tahu permasalahan. Kemarin saya pergi Haji, kata Darmuin. Namun, secara pasti, Mukhsin menawarkan solusi. Itu tak lain, memaksimalkan program PAR. Puslit selalu siap memfasilitasi, asal dilakukan dengan serius. Artinya, pembekalan harus lebih lama. Persiapan itu bisa dilakukan sejak kuliah. Paling tidak, ada satu mata kuliah khusus yang di dalamnya benar-benar membahas PAR sampai tuntas. Tak hanya mahasiswa, bekal materi terkait PAR juga harus diberikan kepada DPL. Keduanya harus bersinergi, tegas Mukhsin.
Akhmad Baihaqi Arsyad, Jamil

Sosialisasi perpustakaan kecamatan oleh tim KKN Desa Jetis Kecamatan Bandungan.

Sesuai peraturan KKN, setelah jangka waktu pelaksanaan KKN habis, tepatnya usai upacara penarikan, mahasiswa tak lagi memiliki tanggung jawab. Dengan kata lain, mahasiswa dibebas tugaskan. Dari situ, muncul satu kekhawatiran. Sebagaimana disampaikan Sugiyanto. Ia khawatir program yang baru saja dirampungkan itu akan hilang begitu saja setelah ditinggal mahasiswa. Baginya, sangat penting adanya kesinambungan. Paling tidak, ketika mereka pergi, mereka sudah meninggalkan solusi. Solusi itu bisa dengan memberi pembinaan kepada masyarakat terkait kelangsungan program mereka. Ketua Pusat Penelitian (Puslit) IAIN Walisongo Mukhsin Jamil menilai, dalam KKN selama ini, mahasiswalah yang lebih aktif melakukan. Artinya, mahasiswa bergerak sendiri. Tak ada upaya melibatkan masyarakat. Partisipasi menggerakkan masyarakat minim, kata Mukhsin.

Padahal kemampuan masyarakat tak menjamin keberlanjutan program yang ditinggalkan mahasiswa. Melihat kenyataan itu, menurut Mukhsin, sangat perlu melibatkan masyarakat secara aktif dari awal sampai akhir. Mulai dari menggali potensi, mencari masalah, mencari penyelesaian, serta melakukan tindak lanjut. Langkah yang ditempuh PPM sebenarnya sudah bagus. Menggandeng Puslit, melakukan uji coba penelitian model Participatory Action Research (PAR). Menggunakan model itu, jelas Mukhsin, mahasiswa dan masyarakat bisa saling berpartisipasi. Semua orang punya kapasitas untuk memberdayakan dirinya sendiri, jelasnya. PAR, lanjut Mukhsin, merupakan upaya melakukan perubahan bersama masyarakat, seberapapun terbatasnya pengetahuan mereka. Intinya, masyarakat mencari tahu sendiri apa yang mereka bu-

tuhkan. Mereka juga harus tahu apa yang musti mereka ubah. Tak mungkin mengubah masyarakat dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui. Namun, sayang, dalam mempersiapkan itu, PPM belum maksimal. Untuk menjelaskan banyak hal, Puslit hanya dijatah waktu satu hari. Bertindak sebagai pemateri, Mukhsin merasa, waktu terlalu singkat. Padahal, banyak permasalahan teknis yang musti dipahami mahasiswa. Satu hari saja, otomatis tak cukup. Permasalahan teknis yang musti disampaikan itu diantaranya, pengetahuan mahasiswa terkait bagaimana melakukan pengorganisasian masyarakat. Kemampuan itu, menurut Mukhsin, lebih penting dipahami ketimbang kemampuan mengumpulkan informasi-informasi yang bersifat normatif. Mahasiswa juga kudu dibekali pengetahuan terkait cara memfasilitasi masya-

Prof. Dr. Rasdi Ekosiswoyo, M.Sc.

Agar Mahasiswa Peduli


Sebenarnya KKN itu apa? Pada dasarnya, kampus memiliki tiga kewajiban, atau yang sering disebut tri darma; darma pendidikan, darma penelitian, dan darma pengabdian kepada masyarakat. Darma pendidikan diwujudkan melalui kuliah dan seminar, penelitian bisa melalui penelitian. Keduanya itu sering dilakukan, dan memang harus dilakukan. Adapun darma pengabdian kepada masyarakat bisa dilakukan oleh dosen secara mandiri. Sedangkan yang dilakukan lembaga bisa bermacam-macam. Salah satunya KKN. Wujud Kegiatannya? Banyak. Intinya mahasiswa diterjunkan ke masyarakat untuk membantu menyelesaikan permasalahan masyarakat. Tujuannya? Agar mahasiswa mengetahui persoalan yang dihadapi masyarakat. Diharapkan, ketika mereka jadi sarjana, mereka memiliki kepedulian kepada masyarakat. Jangan sampai hanya jadi mercusuar. Bagaimana jika di lapangan mahasiswa hanya menjadi partisipan? Kalau ikut-ikutan rutinitas masyarakat itu sebatas strategi mendekati masyarakat, bagus. Tapi kalau itu menjadi agenda utama, bukan itu yang diharapkan. Mengingat tujuan KKN tak lain untuk menumbuhkan kepedulian mahasiswa kepada masyarakat, mahasiswa harus bisa membuat agenda yang inovatif. Jika mahasiswa terpaku pada nilai akademik? Kalau seperti itu, kampus bertanggung jawab memperbaiki. Kampus berkewajiban meluruskan paradigma mahasiswa. KKN harus didesain lebih serius. Semua harus jelas. Pengawasan harus ketat. Jika memang harus memberi nilai, parameter itu juga harus jelas. Kalau hanya mengincar nilai, mahasiswa akan rugi. Objek KKN yang baik? Negeri ini punya banyak permasalahan, tak hanya di desa terpencil. Masalah di kota-kota juga banyak, seperti anak jalanan, geng-geng remaja yang rentan perselisihan, dan lain-lain. Semua itu juga butuh sentuhan mahasiswa. Kaitannya dengan basis keilmuan IAIN, sebenarnya mahasiswa IAIN bisa dikerahkan untuk menangani masalah itu. Mahasiswa bisa memberikan pendidikan moral dan agama kepada mereka. Ke depan saya sangat mengusulkan, IAIN menerjunkan mahasiswa KKN-nya untuk mengurusi permasalahan tersebut. Haruskah yang seperti itu? Karena kampus memiliki sumber daya untuk melakukan itu. Bahkan seharusnya kampus berani menawarkan diri kepada pemerintah. Misalnya, khusus untuk wilayah Semarang IAIN menawarkan diri kepada pemerintah untuk menangani masalah moral, pendidikan keagamaan, dan lainlain. Selama ini, kerja sama semacam itu belum terjalin. Abdul Arif

Ketua Dewan Pendidikan Kota Semarang

Dok.Tim KKN Desa Jetis

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

Pengabdian Compang-camping

L APORAN P ENDUKUNG
Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA)

Dari Mahasiswa, Untuk Siapa?


DEMA tak mampu menjalankan fungsi. Mahasiswa menggugat.

ampir tiga bulan, sejak pertengahan Juli 2011. Ruangan 4x7 meter itu kosong tak berpenghuni. Lantai kotor berdebu, kertas-kertas berserakan. Beberapa barang inventaris, seperti almari dan komputer mangkrak. Itulah pemandangan Kantor Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) menjelang akhir kepengurusan. Pemandangan itulah yang kerap dilihat mahasiswa yang beraktivitas di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM). Hal itu diakui Waliudin, salah seorang aktivis Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Walisongo English Club (WEC). Kantor DEMA selalu kosong, katanya. Menanggapi kantor yang acap kosong, Ketua Dema 2011, Idris berkilah, pengurus DEMA kebanyakan semester IX yang ingin merampungkan skripsi. Banyak juga di antara pengurus sedang KKN. Mahasiswa jurusan Tadris Bahasa Inggris itu menyinggung prestasi DEMA. Yaitu, pada tahun 2011 DEMA menjadi Ketua BEM PTAI Se-Indonesia. Kinerja Minim Fungsi DEMA sangat signifikan. Di antaranya, sebagai lembaga perwakilan mahasiswa untuk menampung dan menyalurkan aspirasi mahasiswa (SK Dirjen Pendidikan Islam Depag RI No Dj.I/253/2007). Namun, fungsi itu tak banyak dirasakan mahasiswa. Mahasiswa masih kesulit-an dalam menyalurkan aspirasi. Hal itu diakui Busro Asmuni. Mahasiswa Pendidikan Agama Islam (PAI) ini mengaku belum merasakan fungsi tersebut. Menurutnya, seharusnya DEMA bisa menampung aspirasi dan memihak kepentingan mahasiswa. DEMA dibutuhkan terutama untuk menjembatani mahasiswa dengan birokrasi. DEMA harus pro mahasiswa tam, bahnya. Hal serupa dikatakan Ketua Walisongo Sport Club (WSC), Muhamad Anik. Alih-alih menyalurkan aspirasi, menjalin komunikasi dengan DEMA pun ia merasa kesulitan. Sebab, pengurus DEMA tak pernah ngantor. Ketemu saja susah, keluhnya. DEMA memiliki tugas melakukan pengembangan potensi mahasiswa. Termasuk, menjalin kerja sama serta koordinasi dengan lembaga kemahasiswaan lain, semisal UKM. Fungsi tersebut belum terlaksana secara maksimal. Salah seorang pengurus UKM Nafilah, Abdurrahman membenarkan hal tersebut. Menurutnya, DEMA jarang melakukan koordinasi dan konsolidasi terhadap UKM. Padahal, tambahnya, salah satu tugas DEMA adalah melakukan koordinasi dengan UKM. Boro-boro koordinasi, kantor saja dibiarkan kosong, ujar mahasiswa yang kerap disapa Gusdur ini. Padahal, dalam Proker DEMA 2011, rapat koordinasi dengan UKM diagendakan bulanan, tiap tanggal 10, disertai alokasi dana rapat. Sebagaimana penuturan Abdurrahman, DEMA hanya melakukan koordinasi kurang lebih tiga kali dalam setahun. Kenyataan itu diakui Idris. Ia mengatakan, hanya beberapa kali mengadakan rapat koordinasi dengan UKM. Pria yang selalu memakai peci ini mengakui, kinerja DEMA tahun ini belum
Amanat.Hamid

Kantor DEMA yang beberapa waktu lalu sempat dijadikan musholla oleh para penghuni PKM lantaran kosong.

maksimal. Terutama, program pengembangan UKM. Hanya beberapa persen saja program yang kami laksanakan, akunya. Idris mengatakan, program kerja DEMA pada periode 2011 terlalu banyak, sehingga tak semua program terlaksana.

Dema seharusnya dapat menjalankan amanat demokrasi. Menampung aspirasi dan memihak kepentingan mahasiswa.
Prof. Dr. Erfan Soebahar, M.Ag Mantan PR III

juan Anggaran (DIPA) sekitar tiga puluh juta rupiah. Dana sebesar itu menimbulkan pertanyaan di kalangan mahasiswa. Anik, misalnya, dia menganggap ada kesenjangan alokasi dana antara DEMA dengan UKM. Rata-rata UKM hanya mendapatkan alokasi dana 2-6 juta pertahun. Dana itu tak mencukupi kebutuhan UKM. Dana sebesar itu bukan masalah bagi Anik, jika sesuai dengan kinerja DEMA. Ia menyayangkan, besarnya dana tak diimbangi dengan kinerja yang maksimal. Dana besar kinerja nol, katanya. Berdasarkan laporan penggunaan dana DEMA. Kebanyakan alokasi dana, sekitar 28 juta hanya dipergunakan untuk rapat, delegasi, dan seminar. Hal itu diamini Anik, ia melihat DEMA lebih banyak menghabiskan dana untuk keperluan yang tak bersinggungan dengan kepentingan mahasiswa. DEMA banyak acara jalan-jalan, paparnya. (Bukan) untuk Mahasiswa DEMA dipilih melalui Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa). Model pemilihan itu sebagai media pembelajaran demokrasi di kampus. Sebagaimana prinsip demokrasi, ia menganut asas dari mahasiswa, oleh mahasiswa, dan untuk mahasiswa. Hal itu disampaikan mantan PR III Erfan Soebahar. Dengan prinsip tersebut, menurut Erfan, seharusnya dapat menjalankan amanat demokrasi. Yaitu, menampung aspirasi dan memihak kepentingan mahasiswa. Dipilih rakyat, untuk rakyat, katanya. Erfan menyayangkan, prinsip itu tak sepenuhnya dijalankan DEMA. Melihat kenyataan itu, Erfan menyimpulkan, hasil kinerja DEMA dengan model pemilihan Musyawarah Mahasiswa Jurusan (Musmaju) lebih baik dibanding Pemilwa.

Waktu satu tahun tak cukup untuk menjalankan semua program, tandasnya. DEMA sebenarnya memiliki beberapa badan (kementerian) yang bertugas membantu DEMA dalam menjalankan fungsinya. Di antaranya, Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Pemberdayaan UKM, Kementrian Advokasi dan Pengembangan Masyarakat, Kementrian Luar Negeri, dan Kementrian Hukum dan Perundangan. Untuk merumuskan, Program Kerja (Proker) pun dibentuk. Masing-masing kementerian mengagendakan program dalam setahun. Alokasi dana untuk mendukung program tersebut pun tak sedikit. Berdasarkan Proker DEMA 2011, DEMA mendapatkan alokasi Dana Isian Penga-

Kinerja DEMA hasil Musmaju lebih terasa bagi mahasiswa . Erfan juga menilai, kekacauan kinerja DEMA juga disebabkan karena peran yang dimainkan Senat Mahasiswa Institut (SMI) kurang maksimal. SMI yang bertugas melakukan pengawalan dan pengawasan terhadap DEMA justru menghadapi kemelut sendiri. Ketua SMI malah mundur di tengah jalan. Pasca pengunduran itu, Muhammad Ali menggantikan posisi Nursahid sebagai ketua SMI. Saya menggantikan setengah periode, kata Ali. Di akhir periode, SMI melakukan sidang evaluasi terhadap kinerja DEMA. Ali menuturkan, dari hasil evaluasi itu disimpulkan, kinerja DEMA selama satu periode tak maksimal. Puncaknya (31/12/11), sebelum purna jabatan, diselenggarakan rapat Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) DEMA. Hasil LPJ itu semakin menegaskan keburukan kinerja DEMA. Beberapa fraksi yang hadir dalam rapat menolak LPJ DEMA dengan berbagai pertimbangan. Fraksi dari Partai Mahasiswa Demokrat (PMD) menolak dengan alasan, di antaranya, DEMA tak mampu membangun hubungan harmonis dengan UKM. Partai Insan Cita (PIC) menganggap DEMA tak mampu menyejahterakan kampus. Salah satunya dibuktikan dengan minimnya kegiatan yang diselenggarakan DEMA. Terutama, kegiatan yang bersinggungan dengan kepentingan mahasiswa. Hanya fraksi dari Partai Pembaharuan Mahasiswa (PPM) yang menerima LPJ tersebut. DEMA 2011 gagal, tegas Ali. Shodiqin

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

L APORAN P ENDUKUNG

Pengabdian Compang-camping

Mendadak Pemilwa
Pemilwa berlangsung singkat. Tidak transparan.

Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa)

ejak jadwal Pemilwa diumumkan, mahasiswa simpatisan partai mulai memasang kuda-kuda. Tepatnya pada 22 Desember 2011, mereka mengarak calon Presiden dan Wakil Presiden keliling kampus IAIN Walisongo. Suara sirine dan kendaraan bermotor mengusik kampus hijau itu. Semua berlangsung tiba-tiba. Spanduk besar bertulis nama dan foto calon terpampang di banyak tempat. Tak banyak mengira, pemilwa hampir digelar. Seperti diceritakan Asrori. Mahasiswa Bimbingan Konseling Islam (BPI) Fakultas Dakwah ini mengaku terkejut, tiba-tiba ada spanduk di mana-mana. Menyaksikan itu, Asrori menilai, pemilwa tidak transparan. Dari awal pembentukan Komisi Pemilihan Mahasiswa (KPM) saja sudah tak ada kejelasan. Saya tidak tahu soal perekrutan anggota KPM, kata pemuda asal Demak itu. Ahmad Qosim, mahasiswa Fakultas Syariah turut mengamini. Membandingkan dengan Pemilwa tahun lalu, menurutnya, Pemilwa kali ini sangat tidak transparan. Seharusnya ada sosialisasi mengenai pemilihan anggota KPM, kata Qosim. Seleksi KPM Mengacu Surat Keputusan (SK) Rektor No 8 tahun 2011. Wewenang pembentukan KPM mutlak di tangan DEMA. Dengan landasan itulah, pada 5 Desember 2011, DEMA secara tertutup menunjuk Muhammad Irham Fakhuludin sebagai ketua KPM. Irham mengambil langkah. Segera ia merekrut anggota KPM dari empat fakultas. Setiap fakultas diambil 10 orang. Semua dilakukan secara tertutup, jelas mahasiswa asal Kendal itu. Setelah semua nama terkumpul, formasi KPM disetorkan ke Pembantu Rektor (PR) III dan disahkan oleh Rektor. Melihat persiapan Pemilwa kali ini, PR III, Darori Amin menilai, persiapan kurang. Pembentukan anggota KPM terlalu singkat. Dia khawatir, anggota KPM yang terpilih kurang berkualitas. Doktor alumnus UIN Sunan Kalijaga Yog-

Amanat.Akhmad Baihaqi A

Kampanye Berisik Agus Salim, mahasiswa Siyasah Jinayah tidak bisa konsentrasi ketika sedang kuliah di kelas. Saya terganggu gara-gara kampanye Pemilwa, keluhnya. Untuk pemilihan seperti itu, lanjut Salim, tak perlu diadakan kampanye. Apalagi sampai mengusik kuliah. Irham tak sependapat. Menurutnya, kampanye tetap penting dilaksanakan. Kampanye adalah rangkaian agenda Pemilwa. Agenda itu untuk mensosialisasikan visi-misi calon. Kampanye dan orasi politik untuk mensosialisasikan pemilwa, jelasnya. Bagaimanapun Irham tetap mengacu aturan yang berlaku. Ia menunjukkan UU Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) No 1 tahun 2010 pasal 13 tentang tahapan penyelenggara pemilwa. Dalam peraturan tersebut, menggelar kampanye ialah kewajiban yang harus dilaksanakan KPM. Meski kampanye menjadi kewajiban, tak sepatutnya kegiatan itu dilaksanakan dengan berisik. KPM semestinya bisa mencari cara yang lebih ramah. Darori Amin mengamini itu. Dosen Filsafat ini merasa terganggu saat mengisi kuliah. Tak seharusnya kampanye pengusungan calon dilaksanakan seperti itu. Kampanye bisa dengan seminar atau sosialisasi langsung kepada mahasiswa, usulnya. Minat Menurun Tibalah hari Rabu di pekan keempat bulan Desember, pemilwa digelar. Diikuti tujuh partai mahasiswa yang lolos verifikasi. Dari seleksi KPM, terpilih tiga pasang calon presiden dan wakil presiden. Misbahul Ulum-Koirul Waro dari Partai Insan Cita, Khoirul Anam-Siswoyo dari Partai Pembaharuan Mahasiswa koalisi Partai Mahasiswa Demokrat, dan Ayis MukholikSiti Nur Malikha perwakilan Partai Kebangkitan Mahasiswa. Dari hasil perhitungan KPM, Pasangan Anam mendapat 1340 suara, mengungguli kedua lawannya, pasangan Misbahul Ulum 103 suara, dan pasangan Ayis 421 suara. Berdasar perhitungan KPM, minat mahasiswa mengalami penurunan. Prosentase pemilih hanya mencapai 38,67%. Beda dengan tahun lalu yang bisa mencapai angka 42,83%. Terjadi pernurunan 4,16%, jelas Irham. Alfian Guntur A

Beberapa mahasiswa tengah melihat foto para calon. yakarta ini berharap, di Pemilwa berikutnya, pembentukan KPM tidak terburu-buru. Harapannya, anggota KPM yang terpilih benar-benar kompeten. Menanggapi pembentukan KPM yang terlalu terburu, Irham menjelaskan, waktu yang disediakan DEMA juga sangat singkat. Irham mengaku mulai mendapat perintah pada 5 Desember, padahal Pemilwa digelar 29 Desember. Secepat mungkin, Irham menunjuk anggota KPM. Ayis Mukholik menyayangkan tertutupnya pembentukan KPM. Menurutnya, perekrutan anggota KPM tak cukup di lingkup DEMA saja. Meski itu wewenang DEMA, mahasiswa harus tahu, tegasnya. Tak hanya KPM, pendaftaran bakal calon DEMA, SMI, BEM, dan yang lainnya juga tidak transparan. Hal itu dikatakan Muhammad Rizka. Mahasiswa Tarbiyah angkatan 2008 itu terkejut melihat sudah banyak nama calon terpampang di spanduk besar. Padahal sebelumnya tak ada informasi apapun terkait pencalonan. Jangan-jangan, informasi hanya disebar ke orang-orang tertentu, katanya. Irham menepis kecurigaan itu. Ia mengaku, sudah menyebar informasi ke setiap fakultas terkait syarat dan tata cara pencalonan. Informasi itu disebar dalam bentuk lembaran yang ditempel di papan informasi. Rizka merasa, itu masih kurang. Sebab, belum tentu semua mahasiswa melihat papan informasi. Mustinya informasi itu dipajang di tempat yang lebih mungkin dilihat mahasiswa. Bisa dengan memajang spanduk besar, katanya mengusulkan.

Bukan Sekadar Gerakan


Setelah anda dilantik, mau dibawa kemana DEMA setahun ke depan? Kita punya jargon progresif, aktif, dan inklusif. Jargon ini sebagai penyemangat untuk mewujudkan IAIN bersatu. Selama ini mahasiswa IAIN terkotak-kotak oleh kepentingan masing-masing. Untuk itu, ke depan kami melakukan perbaikan baik internal lembaga kemahasiswaan maupun mahasiswa pada umumnya. Juga perbaikan eksternal kampus. Perbaikan internal dan eksternal kampus seperti apa? Untuk perbaikan internal, kami akan memperkuat kerjasama dengan stake holder di kampus, baik itu rektorat maupun mahasiswa. Kemudian untuk perbaikan eksternal dengan mensolidkan jejaring alumni IAIN baik dari kalangan akademikus maupun yang berkecimpung di bidang lainnya. Selain itu, kami perlu mensolidkan jejaring mahasiswa lintas perguruan tinggi di dataran BEM regional Jateng maupun nasional. Prioritas dalam waktu terdekat? Peningkatan kualitas kabinet dengan membentuk menteri-menteri baru yang sesuai dengan kondisi saat ini. Kami juga akan mengajak mahasiswa untuk menciptakan gerakan bersama untuk rakyat. Mahasiswa harus peka terhadap isu-isu kemasyarakatan sebagai wujud sosial responsibility. Tentunya gerakan ini atas dasar kajian, riset, dan analisis yang mendalam. Sehingga benar-benar tepat sasaran. Tanggapan anda mengenai kondisi kampus/ mahasiswa saat ini? Ada dua problem mendasar yang melanda mahasiswa. Pertama, ketika masih kuliah mereka menganggap kegiatan kemahasiswaan tidak penting. Padahal kegiatan kemahasiswaan sebagai pengembangan diri yang menjadi bekal mahasiswa setelah lulus. Kedua, ketika mahasiswa IAIN lulus mereka harus menghadapi persaingan kerja yang ketat. Solusi yang ditawarkan DEMA?

Khoirul Anam Ketua DEMA 2012 Terpilih

DEMA hanya memfasilitasi saja. Mahasiswa sangat beragam dengan potensi dan kelebihannya. Kami hanya mendukungnya dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang mewadahi potensi mereka di bidang akademik, politik, seni, budaya, serta bakat-bakat lainnya. Kami memberi apresiasi sebagai motivasi dalam peningkatan prestasi mahasiswa. Bentuk penyaluran aspirasi mahasiswa kepada rektorat seperti apa? Jika mahasiswa terbelit urusan akademik atau lainnya, DEMA akan berada di garda terdepan menyuarakan aspirasi mahasiswa. Kami akan mengadakan dialog antara mahasiswa dengan rektorat. Sudah menjadi tugas DEMA untuk mengawal mahasiswa. Bagaimana DEMA menjalin komunikasi dengan UKM? Selama ini komunikasi DEMA dengan UKM lainnya memang lemah. Ke depan kami perlu menjalin komunikasi yang lebih intim dengan mereka. Kita berharap antara DEMA dan UKM saling mengerti dan satu persepsi. Abdul Arif

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

Pengabdian Compang-camping

K AJIAN
Organisasi Keagamaan

Terbuai Doktrin Adogmatik


Banyak masyarakat salah memposisikan organisasi keagamaan. Keyakinan terhadap organisasi menggeser nilai persaudaraan sesama Muslim.

Oleh Hammidun Na S
antunan ayat suci Al-Quran terpancar dari pengeras suara masjid. Itu suara Rasyid beserta jamaahnyamelantunkan Surat Yasin. Usai Surat Yasin dibaca, Rasyid melanjutkan ritual ibadahnya dengan Istighfar beberapa kali, shalawat, tasbih dan kalimah tayyibah lain. Semua jamaah mengikuti dengan khusyuk. Sementara di lain tempat, terdengar nada-nada pendek di antara kerumunan orang. Bidah! kata salah seorang di kerumunan itu. Ya, amalan yang tengah dikerjakan Rasyid itu adalah kemasan ibadah yang hanya ada di organisasi keagamaan tertentu. Oleh Rasyid, ibadah itu disebut tahlilan . Sementara orang yang mengklaim bidah tadi adalah kelompok organisasi lain yang kurang sependapat. Bagi mereka, kegiatan semacam itu tidak perlu dikerjakan. Justifikasi-justifikasi seperti itu kerap membuntutkan ketegangan. Kejadian itu dialami Imam Suprayogo di kampung kelahirannya masa dulu. Ritus peribadatan yang diterapkan organisasi keagamaan Imam kerap mendapat justifikasi sebagai amalan berbau syirik, tahayul, bidah dan khurafat. Dari sikap itu kemudian lahir antipati dan kebencian di antara masyarakat. Mereka terpecah. Pengalaman pribadi Rektor UIN Malang itu diceritakannya dalam sebuah tulisan di website-nya. Beragam Organisasi keagamaan sebenarnya hanyalah representasi dari apa yang berkembang di masyarakat. Karena masyarakat ini beragam, maka organisasi itu turut beragam. Keberagaman itu dapat dilihat dari banyaknya jumlah organisasi keagamaan di Indonesia. Saat ini, di Indonesia sudah ada sekitar 63 organisasi keagamaan (sumber: MUI). Masing-masing itu memiliki pandangan berbeda. Perbedaan itulah yang kemudian menjadi ciri khas antara organisasi satu dengan yang lain. Abdul Muti mengamati, letak perbedaan itu hanyalah pada aspek strategisnya

saja, bukan madzhabnya. Seperti misalnya Nahdlatul Ulama (NU) mendasarkan fikihnya pada empat madzhab, kemudian Muhammadiyah tidak menganut tapi tidak menolak madzhab. Ada juga Al-Ashlawiyah yang mirip dengan NU. Dalam hal prinsip mereka tidak berbeda. Yang berbeda hanyalah praktik ibadahnya. Dengan kata lain, secara ushuliyah mereka sama. Secara furuiyah mereka berbeda tergantung pada kondisi dan tingkat keyakinan mereka pada sebuah dalil. Termasuk perbedaan penafsiran. Seperti misalnya, perbedaan jumlah rakaat dalam sholat tarawih, menggunakan kunut atau tidak, menggunakan usholli dalam mengawali sholat atau tidak, sholat hari raya di masjid atau di lapangan, sholat jumat menggunakan adzan sekali atau dua kali, pakai kopiah atau tidak dan lain lagi macamnya. Namun, bukan berarti perbedaan yang hanya dalam tataran furu itu kemudian bersih dari perselisihan. Sebagaimana dikisahkan di awal, bahwa justifikasi dan klaim oleh kelompok lain masih kerap ditemukan. Sikap itu muncul akibat adanya fanatisme. Sederhanyanya, anggota kelompok tertentu memandang sempit suatu perbedaan. Sempitnya cara pandang itu akibat dari kurang luasnya pengetahuan. Itu disebabkan pengetahuan mereka terkait agama diperoleh melaui doktrin. Doktrin Pola-pola berdakwah dengan metode doktriner sedikit banyak memberi pengaruh terhadap sikap pengikutnya. Dicontohkan Muti, sekarang banyak kelompok kecil eksklusif yang mengeluarkan doktrin bahwa semua kelompok di luar organisasinya adalah kafir. Padahal mereka sama-sama mengaku Ahlu Sunnah, tapi tetap saja menyerang Ahlu Sunnah lain. Doktrin itulah yang kemudian membuat seseorang terkurung dalam satu pemikiran. Akibatnya, pemikiran mereka tak berkembang. Tak ada proses analisis. Mereka hanya menerima dan meyakini, tak peduli benar atau salah. Karena itulah

ketika bertemu pemikiran yang berbeda, serta-merta dia menolak, bahkan mengklaim salah. Di daerah-daerah, praktik pengajaran semacam itu masih terjadi. Di beberapa tempat mengaji, tak sedikit guru-guru mengajarkan tata cara beribadah tanpa memaparkan dasar dalilnya. Jika ada kelompok lain yang menerapkan tata cara berbeda, guru itu lantas berkata, Ini yang benar, mereka salah. Padahal jika dikaji, keduanya itu sama-sama memiliki dasar dalil yang belum tentu salah. Sayang, kepada murid-muridnya dia tidak memaparkan itu. Mustinya, ketika guru mengajarkan amalan kepada muridnya, guru itu memberitahukan dasar dalilnya. Begitu juga ketika ada perbedaan penggunaan dalil. Guru harus berlapang dada menjelaskan dalil yang digunakan mereka yang berbeda itu, bukan malah mengklaim salah padahal aslinya benar. Kasus lain misalnya, jumlah rakaat dalam shalat tarawih. Muhammadiyah menggunakan dalil yang menganjurkan delapan rakaat. Sedangkan NU meyakini dalil yang menganjurkan dua puluh rakaat. Perbedaan jumlah rakaat itu, oleh masing-masing pihak yang berhak menjelaskan alasan dan dasar dalilnya, rupanya luput melakukan itu. Mereka hanya menebar doktrin bahwa yang benar adalah yang tengah mereka kerjakan. Masyarakat awam yang tak mengerti apa-apa kemudian ikut menganggap salah yang lain. Karena itulah, menurut Muti perlu adanya pola-pola pendidikan agama yang terbuka dan mencerahkan masyarakat. Pemahaman yang diberikan harus komprehensif. Tujuannya, agar seseorang jadi lebih mengerti apa itu paham, mengerti dalil, kapan boleh berbeda, dan kapan harus sama. Konvergensi Di samping itu, menurut Muti perlu adanya rekayasa sosial yang memungkinkan terjadinya proses saling memahami orang lain. Karena, kunci agar pemikiran

masyarakat bisa terbuka adalah interaksi. Semakin luas pergaulan seseorang, akan semakin luas pula ilmunya. Dari interaksi itu kemudian lahir tiga kemungkinan. Pertama, terjadi proses saling mengenal orang lain. Dari situ seseorang akan memahami perbedaan-perbedaan. Kedua, terjadinya proses dialog, baik secara alamiah maupun terencana. Dialog itu menjadi sarana untuk saling bertukar pandangan. Ketiga, lahirnya pemikiran dan pandangan baru sebagai hasil konvergensi. Interaksi seperti itulah yang saat ini belum terjadi, khususnya di desa-desa yang mayoritas masyarakatnya masih fanatik. Gejolak pemikiran mereka terkurung oleh ruang dan lingkungan pemikiran yang sempit. Observasi Kuntowijoyo sejak 90-an menemukan adanya konvergensi antara kaum santri dan abangan. Disitu disebutkan, konvergensi itu adalah pengaruh dari pendidikan. Faktor lain yang mempengaruhi konvergensi menurut Muti adalah proses mobilitas sosial. Kondisi masyarakat yang semakin terbuka dan mudah berpindah-pindah memungkinkan adanya interaksi. Pada muaranya, konvergensi akan melahirkan pemikiran yang lebih luas. Itu sudah terbukti, terutama dalam kondisi masyarakat yang heterogen. Di sana perselisihan atas dasar perbedaan mulai surut. Seperti misalnya, fenomena shalat tarawih di Masjid Istiklal Jakarta. Setelah rakaat ke delapan jamaah di masjid itu terbagi menjadi dua. Yang satu langsung berlanjut ke witir, yang satu lagi menunggu untuk melanjutkan sampai rakaat kedua puluh. Perbedaan jumlah rakaat tak lagi menjadi soal. Sikap saling mengerti seperti itulah yang harusnya dikembangkan. Bukan tidak mungkin, organisasi keagamaan yang jumlahnya sekian banyak itu saling bekerja sama untuk satu tujuan baik, sampai pada tataran perbaikan negeri.

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

WACANA
Nikah Siri

Pengabdian Compang-camping

Mempertegas Hukum Nikah Siri


Nikah siri merupakan bentuk penjajahan seks yang kian memperkukuh dominansi laki-laki terhadap perempuan. Hukum perlu direkonstruksi ke arah yang lebih emansipatif.
batasi secara ketat dengan syarat keadilan Padahal, di ayat lain Allah menegaskan . bahwa manusia sekali-kali tidak akan bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya meskipun ia menghendakinya (QS. 4:129) Pada umumnya, para fuqaha klasik seperti imam Syafii dan Abu Hanifah cenderung memahami ayat tersebut secara tekstual. Tidak banyak disinggung tentang keadilan maupun hak istri. Keadilan lebih ditekankan pada masalah lahiriah, misal nafkah, penggiliran istri, dan warisan. Keadilan batin, misal kepuasan psikologis tidak disinggung. Perempuan, lagi-lagi dipandang sebagai objek untuk memenuhi kepuasan lelaki. Dalam keadaan normal, tidak ada alasan bagi kaum pria untuk mengambil istri kedua. Dalam Hadis Sahih dijelaskan, ketika Rasulullah mendengar Ali ibn Abi Thalib ingin mengambil istri kedua sementara ia sudah menikah dengan Fatimah r.a, Rasulullah menentang keras dan naik di atas mimbar seraya berkata, aku tidak mengizinkannya, sekali lagi aku tidak mengizinkannya. Putriku adalah bagian dari hidupku. Apa saja yang meyusahkannya adalah menyusahkanku dan apa saja yang menyakitinya adalah menyakitiku (Shahih . Al-Bukhari). Ideologi Gender Gender merupakan cerminan cara pandang dan tuntutan masyarakat tentang bagaimana laki-laki dan perempuan harus berpikir dan berperilaku. Semua itu ditentukan oleh konstruksi sosial yang dihayati sebagai sesuatu yang tidak bisa diubah, dianggap sebagai kodrat, bahkan menjadi semacam ideologi. Penghayatan seperti itu ditanamkan melalui proses sosialisasi dan internalisasi sehingga tercermin dalam sistem tata nilai yang ada. (Wardah Hafidz: 1995) Pada kenyataannya, pembedaan gender itu menimbulkan berbagai masalah karena sarat diskriminasi dan ketidakadilan gender pada jenis kelamin tertentu, terutama perempuan. Diskriminasi baik secara langsung, atau tak langsung, seperti melalui aturan, atau kebijakan diskriminatif terhadap jenis kelamin tertentu. Atau diskriminasi sistemik, karena sudah mengakar dalam sejarah, adat, norma, dan struktur masyarakat yang mewariskan keadaan diskriminatif. (Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial: 1996) Menurut Masdar Masudi, dalam Islam dan Hak Reproduksi Perempuan:1997, ketidakadilan dan diskriminasi gender berawal dari pelabelan sifat-sifat tertentu (stereotype) pada kaum perempuan yang cenderung merendahkan. Karena stereotip tersebut, perempuan sering dimanfaatkan laki-laki. Antara lain, perlakuan seksual yang menunjukkan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Laki-laki selalu berusaha untuk melestarikan kekuasaannya melalui berbagai cara, termasuk melalui seks. Seks menjadi wilayah penting untuk berlangsungnya hubungan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan. Kehidupan seks yang pada dasarnya dimaksudkan untuk melanjutkan keturunan, kenyataannya dimanipulasi manusia melalui lembaga untuk menaikkan status sosial. Misal, memiliki istri dua, tiga, atau empat untuk gengsi. Fungsinya pun berubah menjadi pemuas naluri dasar di luar perkawinan, dan pemuas nafsu seks belaka. (Gani Abdullah, Seks, Gender dan Reproduksi Perempuan :2001).

Oleh Khoirul Muzakki

ecara etimologis, nikah siri berarti nikah yang dilakukan secara sembunyi atau rahasia. Pengertian lebih luas, nikah siri merupakan pernikahan yang dinyatakan sah menurut ketentuan agama Islam karena telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan, namun tidak dicatat dan diawasi oleh pejabat negara (KUA). Ketentuan sah menurut agama ini ternyata berlawanan ketentuan hukum nasional. Pernikahan siri dinyatakan tidak sah karena menyimpang dari UU No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan perkawinan. Persoalannya adalah, ada pertentangan antara hukum Islam dengan hukum nasional yang dalam perjalanannya melahirkan ketegangan Mengingat mayoritas . penduduk Indonesia adalah Islam, hukum Islam berpengaruh kuat dalam menuntun praktik keberagamaan umat. Fiqh merupakan kenyataan operasional dalam beragama. Ia adalah hukum yang hidup di masyarakat. Hukum nasional dan hukum Islam, keduanya sama-sama menuntut ketaatan dan kepatuhan. Keduanya mesti dikembangkan secara searah, serasi, dan seimbang. Tanpa pertentangan. Jika ditarik ke ranah lebih luas, negara dan agama, keduanya bertolak pada satu tujuan, mewujudkan kemaslahatan bagi warga atau umat. Atau dalam bahasa Aristoteles, negara dibentuk untuk kebaikan umum. Terutama dalam kebijakan hukum, aspek tersebut tak boleh diabaikan. Dalam pembahasan fiqh, maslahat (maqasid asy-syariah) menjadi kendali hukum, meski harus bertentangan dengan teks. Menurut Ath-Thufi, maslahat adalah dalil syariat paling kuat. Bila terjadi pertentangan antara keduanya, maslahatlah yang dikedepankan. (Jamal al Banna :1997) Nikah siri bertentangan dengan prinsip tujuan tersebut. Nikah siri dalam praktiknya banyak menimbulkan persoalan. Pada akhirnya, menjurus pada kekerasan terhadap perempuan dan anak. Antara lain, kekerasan psikologis. Misalnya, istri mendapat stigma istri simpanan sehingga sulit untuk bersosialisasi. Istri juga sewaktuwatu bisa ditinggal sang suami pergi begitu saja, atau menikah lagi, karena tidak adanya ikatan hukum. Atau, kekerasan ekonomi, misal, istri tidak dinafkahi. Di samping, kekerasan fisik atau seksual yang biasa terjadi. Belum termasuk konskuensi hukum yang bakal diterima. Sebab menurut UU, istri dari pernikahan siri bukan merupakan istri sah. Karenanya, istri tidak berhak atas

nafkah dan warisan dari suami, serta tidak berhak atas harta gono-gini. Begitu juga dengan anak hasil perkawinan siri, ia bukan merupakan anak sah. Statusnya sama dengan anak luar kawin, atau anak hasil zina. Ia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan tak berhak atas nafkah, biaya pendidikan, atau warisan dari ayahnya. Langkah negara sudah tepat, meski belum tegas dalam menindak pelaku nikah siri. Yaitu, dalam rangka penertiban umum untuk mencapai kebaikan bersama. Juga untuk melindungi kaum perempuan dari praktik perkawinan yang tak bertanggungjawab. Wajib Catat Perdebatan hukum nikah siri berpangkal pada masalah pencatatan perkawinan. Fiqh tidak mengharuskan adanya pencatatan, sebab itu tidak termasuk syarat atau rukun pernikahan. Pun, di zaman rasulullah tidak ada istilah pencatatan perkawinan. Sosialisasi hukum Islam kepada masyarakat penting. Bukan hanya bentuk rumusan hukum normatifnya saja, namun, terutama tentang aspek tujuan hukum (maqasid asysyariah). Secara teoritis, hukum Islam dirumuskan perumusnya (Allah SWT). Secara umum, tidak lain bertujuan untuk meraih kemaslahatan dan menghindari kemudharatan. Berpijak dari tujuan meraih kemaslahatan dan menghindari kemudharatan , maka pencatatan perkawinan wajib hukumnya. Fungsi pencatatan di samping untuk mencapai ketertiban umum, sekaligus memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak. Jika suatu saat terjadi pengingkaran perkawinan, negara bisa memberikan sanksi hukum bagi yang bersangkutan. Pencatatan sebagai bukti pertanggungjawaban dalam perkawinan. Di tengah terjadinya desakralisasi, serta merosotnya kualitas keagamaan umat Islam saat ini, saksi saja tidak cukup. Perlu bukti otentik untuk menjamin kelangsungan perkawinan itu dapat dipertanggungjawabkan. Allah sendiri memerintahkan untuk mencatatkan setiap transaksi (hutang piutang) yang dilakukan oleh hambanya. (Q.S. Al Baqarah:282). Menurut teori Mariage Market yang dikemukakan Collins (Sociology of Marriege and the Family: 1987), perkawinan merupakan proses transaksi, semacam perdagan-

gan permanen antara sepasangan laki-laki dan perempuan. Masing-masing memiliki sumber daya personal untuk diperdagangkan kepada lawan pasangannya. Jika dalam transaksi hutang piutang saja wajib dicatatkan, apalagi dalam pernikahan yang bukan sekadar transaksi biasa. Ia merupakan ritus sakral yang di dalam Al Quran disebut sebagai suatu akad atau perjanjian yang kuat mitsaqan ghalidzan (an nisa:21). Di tengah kemudahan pengurusan administrasi perkawinan saat ini, tak ada alasan bagi setiap warga untuk tidak mencatatkan perkawinannya. Hasrat Poligami Motivasi seorang melakukan nikah siri memang dilatarbelakangi banyak faktor. Namun, kebanyakan kasus, ada korelasi antara nikah siri dengan hasrat poligami. Seorang melakukan perkawinan siri untuk menghindari kerumitan prosedur administrasi, atau karena tidak mendapatkan izin dari istri pertama. Sebab, peraturan perundang-undangan ketat dalam mengatur masalah poligami. Banyak yang tidak memenuhi syarat poligami menurut Undang-undang, lantas mengambil jalan pintas dengan melakukan nikah siri. Ketatnya prosedur poligami justru membuka celah bagi warga negara untuk melakukan nikah siri. Maka, aturan itu perlu diimbangi dengan peraturan tegas terhadap pelaku nikah siri. Sebab UU yang ada belum memadai untuk menindak pelaku nikah siri. UU perkawinan menentukan, asas yang dianut negara adalah asas monogami. Tertuang dalam rumusan perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri. Maka, untuk membentuk keluarga yang bahagia, konsekuensinya, seorang suami hanya memiliki seorang istri. Perhatian dan kasih sayang suami dapat maksimal karena tak terbagi. Dengan begitu tujuan perkawinan tercapai. Demikian juga, asas Islam adalah monogami. QS. 4:3 yang secara eksplisit membolehkan laki-laki untuk poligami harus dipahami secara kontekstual. Ayat itu diturunkan selepas tragedi perang uhud (tahun 3H). 70 orang muslin mati syahid dan ledakan jumlah anak yatim menjadi masalah serius bagi masyarakat kecil madinah. Maka diperbolehkan untuk menikahi janda korban perang dalam konteks untuk menyelamatkan anak yatim Itupun di.

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

Pengabdian Compang-camping

Mental Buruh Kaum Intelektual

ARTIKEL

TAJUK

Integrasikan Tri Darma

atak kaum intelektual di Indonesia terolah dalam semangat buruh. Buntut strategi pendidikan kolonial yang diancang sebagai sistem perburuh-an. Kerja sekolah mencetak kalangan berakal-pikir, tapi sekaligus dibebat mental kebergantungan: kebaikan penguasa mengangkatnya sebagai abdi. Wacana itu terbetik pada 1942. Rapat Umum PNI di Bandung dan Jakarta, ketika itu, pidato Bung Karno bertajuk Kewadjiban Kaoem Intellectueel seolah timah panas yang ditembakkan ke tubuh kaum intelektual pribumi. Pidato itu disarikan dalam buku Aku Pemuda Kemarin di Hari Esok suntingan A Zainoel Ihsan dan Pitoet Soeharto (1981). Jamak intelektual pribumi yang bermental buruh: mereka yang menggantungkan diri atas pekerjaan yang diberikan oleh pemerintah kolonial; menikmati jeratan kekuasaan; enggan berpal-

Oleh Musyafak
dan pikiran. Sikap itu terlalu mahal untuk menebus masa depan sebagai buruh halus di lembaga-lembaga atau perusahaan kolonial. Lain lubuk lain belalang. Kondisi kaum intelektual di India berbeda, meski sama-sama negeri jajahan. Kolonialisme Inggris bercorak imperialisme dagang. Inggris memproyeksikan masyarakat jajahan sebagai konsumen barangbarang yang diproduksi dari negerinya. Hasrat belanja dipacu dengan memberi pendidikan seluas mungkin kepada warga pribumi. Meningginya kadar pengetahuan otomatis meningkatkan tingkat kebutuhan. Modernisasi pikiran jadi pijakan untuk melesatkan hasrat konsumsi. Meski begitu, pola pendidikan kolonial Inggris yang maju dan relatif terbuka, menyebabkan kaum intelektual di India lebih progresif. Kaum terdidik kala itu memi-

ing pada barisan pergerakan rakyat yang menghasrati kemerdekaan republik. Mustinya, kaum intelektual, tak mangkir dari panggilan perjuangan yang diagendakan rakyat bersama para intelektual-pejuang. Taktik Imperial Saat itu, imperialisme-kapitalisme bercorak industrial yang ditanam Belanda masih mekar di Indonesia. Meski dominasi politik kolonial berangsur-angsur melemah. Kerja mengeruk rempahrempah, juga perusahaan-perusahaan yang dibangun kolonial, terus berjalan, menggemukkan timbunan untung dan jarahan. Sebagaimana tinjauan Bung Karno, yang merujuk gagasan Spreker, imperialisme-kapitalisme bercorak industrial menandaskan kuasa politik pengetahuan yang memengaruhi genealogi kaum intelektual Indonesia. Imperialisme industrial memerlukan banyak pekerja. Riwayat bangsa Indonesia terlarat sebagai buruh kasar dalam kerja paksa atau buruh industri yang berupah murah. Kaum intelektualyang oleh Bung Karno dimaknakan sebagai kalangan yang akal-pikirannya mendapat didikanmenjadi sasaran untuk diperburuhkan sebagai buruh lemas (buruh halus). Mental daulat tuanku membuat orang-orang pengenyam sekolahan itu justru menikmati pendisiplinan tubuh

liki cukup gairah untuk bergandeng tangan di barisan perjuangan. Wicara-kritik Bung Karno tentang kewajiban kaum intelektual untuk memihaki gerakan perubahan bangsa itu sudah tujuh dekade dilalui waktu. Sejauh itu, watak buruh di tubuh kaum intelektual sudahkah meluruh? Nada pertanyaan tersebut bisa jadi polifonik: kecemasan, kegemasan, kengenasan, penyangsian, juga penyangkalan. Kampus menjadi titik bidik segala gugat dan kritik. Sebab lembaga pendidikan tinggi itulah yang paling nyaring mendaku diri sebagai rahim sekaligus rumah kaum intelektual. Sarjana tingkat lanjut, juga calon sarjana, hidup berkerumun di lingkungan ilmiah yang diorganisasikan dengan aturan birokrasi. Obsesi profesionalitas, di sisi lain, menyusupkan agenda pendisiplinan pikiran. Tak jarang kampus menjadi ruang yang kontraproduktif bagi perkembangan pemikiran dan gagasan-gagasan yang bisa ditransformasikan ke dalam praktik-praktik kehidupan masyarakat. Pengulangan gagasan dengan tehnik pengutipan atau kompilasi gagasan orang lain tumbuh lebih subur. Ironi Profesionalitas Ironi kaum intelektual terbentang: dosen yang sekadar sibuk di ruang kelas; akademisi yang dibe-

bani amanat birokrasi sehingga duduk terpuruk di meja kerja. Profesionalisme memfungsikan dosen dan akademisi sekadar alat mencapai target dari program-program yang direncanakan oleh perguruan. Di bawah kaki profesionalisme, kaum intelektual melakukan kerja-kerja sesuai target dan imbalan. Laku intelektualitas berjalan di atas perhitungan produksipemikiran dan penghasilan. Hari ini, kita memafhumi, bahkan memaklumi, banyak kerja penelitian para akademisi kampus tereduksi sekadar menjadi obyek proyek yang berefek uang. Jauh hari Edward W Said meyerukan kegentingan intelektual (Representations of the Intellectual, 1994). Bahaya jika kaum intelektual sekadar menjadi kalangan profesional, bahkan cuma menjadi tokoh dalam tren sosial. Intelektual profesional seolah pekerja harian yang mengejar sokongan penghidupan dan kemapanan sosial. Said lebih menumpukan harapan kepada intelektual amatir. Intelektual amatir bergerak karena rasa, cinta dan obsesi, atas pengetahuan yang lebih besar yang mampu memuaskan dirinya. Intelektual amatir melintasi batas-batas pengkhususan ranah pemikiran dengan menjalin hubungan lintas batas di dalam pengembangan ide-ide dan gagasannya. Pemburuhan Hari Ini Diskursus Said menghadiahi generasi hari ini satu cermin untuk mengacai wajah intelektual kampus. Dalil profesionalisme, tanpa disadari, pun menanam semangat pemburuhan. Memang, sebagian kecil intelektual kampus kini, selain punya rasa cinta pengetahuan yang besar, juga terlibat dalam proses transformasi sosial, menjawab dan mengatasi perkara-perkara bangsa yang tak makin berkurang. Namun lebih banyak yang sibuk di dalam akrobat-akrobat birokratis-profesionalitas: mereka yang masih saja merasa dunia ini baik-baik saja; mereka yang sibuk mengurusi pamrih keuntungan dari posisi dan gelarnya sebagai intelektual. Mafhumlah kita, semangat pemburuhan itu telah menjelmakan jamak dosen di kampus tak ubahnya juragan kecil Berkacak . pinggang di pelbagai kesempatan seraya mendistribusikan perintah dan instruksi. Dosen berhak menukar ketidakhadirannya dengan penugasan. Alih-alih sadar kehilangan banyak waktu untuk mengerjakan tugas, mahasiswa justru senang tak bertatap muka dengan dosen. Model ujian take home jadi tren. Waktu yang mustinya didayagunakan faedahnya agar mahasiswa lebih berswasembada dengan berkegiatan di ranah intra/ekstrakulikuler, terenggut oleh kewajiban tugas. Kita pun menjadi bebal untuk sekadar heran terhadap mahasiswa-mahasiswa hari ini yang lebih banyak mengerjakan tugas-tugas kuliah, dan memar menatap buku-buku diktat. Betapa pendisiplinan itu perlahan mematikan. Akan jadi apa intelektual kampus hari esok? --Musyafak, esais, mantan pengelola SKM Amanat AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

ekali dalam satu semester IAIN menggelar KKN. Sejak mula dicetuskan, kegiatan itu memang untuk merealisasikan tri darma perguruan tinggi. Namun praktiknya, terdapat jarak amat nyata antara tiga unsur tri darma itu. Kegiatan yang diagendakan mahasiswa lebih cenderung pada pengabdian. Dua unsur lainnyapendidikan dan penelitianbelum tersentuh. Pun, pengabdian itu rupanya masih hambar. Tak sedikit mahasiswa di lapangan hanya ikut-nurut dengan apa yang di masyarakat sudah ada. Pada akhirnya, mahasiswa hanya menjadi pesuruh Bedanya, pangkat kepesuruhan itu tertutupi oleh bingkai . kegiatan pengabdianKKN. Bagi mereka, keadaan itu tak menjadi soal. Sebab mereka masih punya satu imbalan. Itu tak lain adalah nilai. Bagaimanapun keadaannya tak menjadi masalah, yang terpenting nilai keluar. Toh kegiatan ikut-ikutan itu oleh pemberi nilai sudah termasuk pengabdian. Tentu bukan pengabdian semacam itu yang diinginkan. Misi pengabdian yang diusung dari awal pada akhirnya karam dalam ketidak mampuan mahasiswa untuk memberi peran. Terang saja, bagaimana mahasiswa bisa berperan lebih jika sedari awal tak tahu di ranah mana mereka harus berperan. Di sinilah kampus sebagai pihak penyelenggara musti berkaca. Sudah sejauh manakah kampus memberi bekal mahasiswa. Sebab, ketika mahasiswa di lapangan hanya menjad pesuruh itu tak lep, as dari ketidak waspadaan kampus dalam mengenali kemampuan mahasiswanya. Mengikuti proses belajar selama kurang lebih tujuh semester tak dapat dijadikan rujukan bahwa mereka sudah siap diterjunkan. Harus diingat, bahwa selama kurun waktu kuliah itu yang mereka pelajari hanya teori-teori. Sementara keadaan masyarakat terlalu kompleks untuk dijadikan tempat menerjemahkan teori yang telah didapat. Maka kemudian menjadi penting adanya persiapan khusus untuk membekali mahasiswa terkait bagaimana cara mereka mengaplikasikan teori itu, serta membuat mereka mengerti di bagian mana saja dalam masyarakat yang membutuhkan teori atau pengetahuan mereka. Kecakapan untuk menelisik keadaan masyarakat juga dibutuhkan. Kemampuan itu berada satu paket dengan ilmu penelitian.

Harus ada satu program yang jelas. Dalam program itu, mahasiswa diharapkan bisa mengaplikasikan penelitian, pengabdian sekaligus pendidikan. Ragam kegiatan dalam satu bingkai kegiatan itu setidaknya bisa ditemukan dalam penelitian model participatory action research. Melalui itu, mahasiswa bisa meneliti sekaligus mengajar masyarakat.
Keadaan masyarakat yang bagi meraka baru itu terlebih dahulu harus diteliti. Masalah apa yang ada, bagaimana cara memecahkannya, apa solusinya, teori (ilmu) mana yang cocok untuk menyelesaikan permasalahan itu. Runtutan atau prosedur semacam itu tidak serta-merta dimiliki mahasiswa setelah semester tujuh. Artinya, mahasiswa harus benar-benar digembleng dengan metodologi penelitian yang sebenarnya. Bukan penelitian untuk skripsi seperti yang sekarang sudah ada. Di lapangan, mahasiswa kerap membuat agenda yang kurang tepat. Kegiatan itu adalah mengajar, baik di lembaga formal maupun non formal. Sayang, kegiatan itu, ditengarai sebatas pelarian. Sekali lagi, mereka melakukan itu supaya tak terlihat tak punya agenda. Ketika mengajar di sekolah misalnya, mustinya jika program itu seriusbukan pelarianmereka harus mengikuti koridor pembelajaran formal yang telah ditetapkan. Mereka harus mengerti apa itu model pembelajaran, mengerti silabus, bisa membuat Rencana Proses Pembelajaran (RPP), dll. Karena itu lah, nampaknya mustahil menerapkan unsur pendidikan di sekolah formal. Kecuali bagi mahasiswa jurusan pendidikan (tarbiyah). Untuk itu, harus ada satu program yang jelas. Dalam program itu, mahasiswa diharapkan bisa mengaplikasikan penelitian, pengabdian sekaligus pendidikan. Ragam kegiatan dalam satu bingkai kegiatan itu setidaknya bisa ditemukan dalam penelitian model participatory action research. Melalui itu, mahasiswa bisa meneliti sekaligus mengajar masyarakat. Integrasi semacam itulah yang ke depan musti tercapai. Tinggal bagaimana kampus sebagai penyelenggara bisa mempersiapkan itu. Mutlak pembekalan yang serius harus mahasiswa dapatkan. Tujuannya agar mahasiswa tidak menjadi pesuruh yang diberi imbalan nilai. Redaksi

10

KOLOM

Sampean Sukses?
Suhardiman

Konvergensi Belajar Agama


gama seringkali dijadikan api pemantik konflik. Sikap demikian muncul akibat pemahaman keagamaan yang tidak sempurna. Pemahaman agama yang tidak sempurna berawal dari keparsialan pengetahuan agama yang didapatkan. Berita tentang buruknya harmoni agama selalu menghiasi layar kaca. Hampir tiap bulan kita saksikan konflik kepentingan agama justru bermula dari hal sepele. Misalnya perbedaan ritual keagamaan, perbedaan madzhab hingga persoalan rebutan tempat ibadah. Lebih ekstrim lagi, perusakan rumah ibadah, pembakaran rumah tokoh agama, bahkan penghalalan pembunuhan. Perilaku binal itu sama sekali tidak mencerminkan kesucian Islam. Agama Islam dilahirkan bukan untuk memusuhi kelompok lain. Islam lahir di tengah kehidupan manusia mengajarkan tatanan sosial yang harmonis dan saling menghargai. Lalu kenapa agama selalu dijadikan alat untuk bermusuhan? Apakah ada kesalahan dalam pendidikan agama? Persatuan Agama Ada benarnya jika urusan agama hingga hari ini tidak diotonomikan pengelolaannya. Sebab agama selalu menjadi problematika sosial yang tidak pernah tuntas terselesaikan. Salah satu upaya dalam proses pemahaman keagamaan adalah dengan persatuan agama, bukan penyatuan agama. Maksudnya adalah, usaha bersama mempersatukan tokoh agama untuk melakukan pembinaan keagamaan. Negara memang memberikan kebebasan beragama. Tetapi kebebasan itu masih dalam koridor tata aturan berkebangsaan. Praktiknya, belum mencerminkan kebebasan. Padahal di Indonesia banyak ragam keyakinan agama. Peraturan itu wajib dihargai bersama. Di titik inilah terjadi kontradiksi. Di dalam doktrin agama mengajarkan: agama kita yang paling benar Namun dalam kehidupan . sosial dirubah: semua agama benar Maka butuh wawasan yang . luas dalam memahami agama sebagai doktrin individual dan agama sebagai perilaku sosial. Keluasan wawasan inilah yang akan dibahas dalam materi pendidikan agama dan keagamaan. Semestinya negara kita telah mempunyai aturan khusus mengenai hal ini. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan yang disahkan 5 Oktober 2007 telah memberikan tawaran tentang model pendidikan agama dan keagamaan. PP ini lahir atas respon terhadap UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 terutama pasal 12, 30 dan 37. Di dalamnya dibedakan antara arti pendidikan agama dan keagamaan. Pendidikan agama diartikan sebagai pendidikan yang memberikan pengetahuan AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

ARTIKEL

Pengabdian Compang-camping

etiap menginjak kalender baru masehi, di kota-kota besar, momentum itu acap kali dirayakan dengan gegap gempita. Riuh rendah selebrasi yang identik dengan hiburan dan kembang api bisa sekadar kosmetik jika tak memberi nilai pada pemaknaan waktu dan refleksi laku diri. Tahun baru menjadi ajang introspeksi, setelah itu mencanangkan resolusi. Dengan harapan, kegagalan tahun lalu tak terulang, syukur-syukur berganti kesuksesan. Setiap manusia normal, tentu menginginkan itu. Entah apapun profesi yang diperankan. Petani, pedagang asongan, tukang kayu, tukang becak, kuli bangunan, pegawai negeri, pegawai swasta, mahasiswa, pengemis, dan sebagainya. Sukses yang menurut KBBI berarti berhasil atau beruntung ternyata rumit juga jika diterjemahkan dalam realitas. Kesuksesan kerap didefinisikan dalam wilayah kasat mata; rumah megah, mobil mewah, pekerjaan mentereng, dan harta melimpah. Bahkan, kesuksesan kerap menjadi alat untuk menginterogasi seseorang. Kisah itu kerap dialami siapa saja. Termasuk saya. Suhardiman, kamu sekarang kerja di mana, sudah nikah belum, anakmu berapa, sekarang kok semakin ganteng, sampean sudah sukses ya? Pertanyaan klise itu dilontarkan beberapa kawan dalam sebuah reuni SMA pasca lebaran tahun lalu, setelah hampir satu dekade tak bersua. Saya yang selama ini hobinya keluyuran tidak jelas, dengan tersipu menjawab belum sukses . Saya tidak berani menjawab tidak sukses karena takut kualat. Bisa saja, jawaban saya itu menjadi doa manjur. Saya lebih memilih belum sukses karena dalam kosakata belum mengandung harapan untuk bisa mewujudkannya tanpa ada indikasi putus asa. Artinya, masih dalam proses berkelanjutan dan berkesinambungan yang terus diujicobakan. Mewujudkan kesuksesan materi bukan perkara mudah. Terutama bagi orang yang bernasab bukan dari orang sukses. Butuh perjuangan ekstra. Nasab tidak jelas, nasib pun melas. Bandingkan dengan mereka yang sejak lahir sudah menjadi bin atau binti anak konglomerat atau pejabat. Alkisah, ada seorang pemuda yang mendatangi Socrates guna mencari tahu apa rahasia sukses. Socrates menyuruh pemuda tersebut untuk menemuinya di pinggir sungai pada keesokan harinya. Setelah bertemu, Socrates mengajak si pemuda nyemplung ke sungai yang airnya hanya setinggi

Oleh M. Rikza Chamami


dan membentuk sikap, kepribadian dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran di semua jalur atau tingkatan. Sementara pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut pengua-

Kedua, ajaran agama yang bersifat sosial juga disampaikan secara rinci termasuk di dalamnya dikenalkan bagaimana agamanya juga mengajarkan hidup berdampingan dengan agama lain. Ini sebagai modal sosial bagi umat beragama agar tidak mudah tersulut konflik. Pola yang kedua dilakukan secara terbuka agar jiwa sosial terbangun kuat. Ketiga, penganut agama diajak melakukan studi lintas agama (dalam rangka pengenalan). Studi perbandingan ini akan semakin

Kalau semangat dan usahamu menginginkan sukses sama dengan ketika kamu menginginkan udara, kamu pasti akan sukses. Tidak ada rahasia lain.
dada. Tanpa diduga, Socrates menekan dan menenggelamkan kepala si pemuda ke dalam air. Sekonyong-konyong si pemuda megap-megap dan berontak. Akhirnya Socrates melepaskan kepala si pemuda. Si pemuda yang nafasnya tersengal-sengal ditanya oleh Socrates,apa yang sangat kau inginkan ketika kepalamu di dalam air? Si pemuda menjawab dengan tegas, udara. Maka Socrates pun mengatakan,Nah, kalau semangat dan usahamu menginginkan sukses sama dengan ketika kamu menginginkan udara, kamu pasti akan sukses. Tidak ada rahasia lain. Permasalahannya, dalam menggapai kesuksesan materi, setiap orang memiliki cara pandang berbeda-beda. Jika sudut pandangnya dari sisi materi saja, bukan tidak mungkin seseorang akan menghalalkan segala cara. Melanggar hukum, mencuri, merampok, korupsi dan segenap kosakata kriminal denotatif lainnya. Bagaimana mungkin, kesuksesan yang demikian dianggap sebagai kesuksesan? Apa artinya kebahagiaan diri jika harus banyak yang menderita? Apa indahnya popularitas yang diperoleh dengan mencari muka (pencitraan), menyudutkan dan menghinakan yang lain? Lho, Suhardiman, kamu iri ya dengan orang yang sukses? Kamu kok curiga dengan orang-orang kaya? Tidak, ada orang kaya yang memang berusaha dengan jalan halal. Ada pejabat yang tidak korupsi (mungkin). Ada orang miskin yang membanting tulang, kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala, begitu siang malam lalu jadi orang kaya. Saya hanya merangkum hasil interpretasi saya terhadap para motivator baik Mario Teguh, Andrie Wongso, Tung Desem Waringin, Tommy Siawira, Anthony Dio Martin, Gede Prama, bahwa kesuksesan sejati adalah kebahagiaan hati, ketenangan jiwa dan kedamaian pikiran. Saya juga sepakat dengan Nabi Muhammad bahwa sukses adalah jika hari ini lebih baik dari hari kemarin.

saan pengetahuan tentang ajaran agama agar menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajarannya. Pendidikan Tutup-Buka Dalam konteks membangun masyarakat Indonesia yang bermartabat dan berakhlak mulia, maka perlu reformasi pendidikan keagamaan. Langkah ini dimulai dari mengembalian fungsi pendidikan keagamaan sesuai arah pendidikan nasional. Fungsi pendidikan keagamaan ada dua macam. Pertama, mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai agamanya dan/atau menjadi ahli agama. Kedua, untuk membentuk peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya agar menjadi ahli agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif dan dinamis. Itu semua dilakukan agar terwujud kecerdasan kehidupan bangsa dengan landasan iman, takwa dan akhlak mulia. Salah satu model pendidikan agama yang perlu diterapkan adalah dengan tutup-buka. Maksudnya, kita harus mempelajari agama secara tertutup. Selain itu, kita juga harus terbuka mempelajari agama. Pertama, ajaran agama yang bersifat doktrin disampaikan dalam rangka menguatkan dasar agamanya. Penjelasan harus rinci beserta dalil teks agama bahwa doktrin adalah untuk kehidupan intern beragama. Ini yang disebut sebagai sistem pendidikan agama yang tertutup.

mempermudah lahirnya toleransi beragama dan terbentuknya sikap solidaritas antar agama. Selama ini pola yang ketiga jarang dilakukan. Pola ini sangat penting untuk membentuk karakter bangsa yang beragam tetapi tetap menampakkan persatuan. Keempat, perlu dilakukan kajian komprehensif mengenai perangkat pembelajaran (kurikulum), bahan ajar, media pembelajaran hingga strategi pembelajaran. Jika ditemukan bias disharmoni agama dalam materi pendidikan agama, maka sudah saatnya hal itu disesuaikan. Usaha membuat model pendidikan keagamaan yang ideal seringkali dilakukan, namun seringkali gagal. Maka, pendidikan agama model tutup-buka ini harus dilakukan dengan konsep BERSAHABAT: bersatu padu, harmonis dan bermartabat. Artinya antara satu dan lainnya mempunyai niat tulus menjadikan agama sebagai modal ketakwaan individual dan kesalehan sosial. Dengan itu diharapkan, pendidikan keagamaan dapat mewujudkan ahli agama yang santun dan peduli kerukunan. Sebab Indonesia tidak akan maju kalau persoalan agama masih terus tarik menarik. Satukan Indonesia dengan memformat pendidikan keagamaan tutup-buka.

--M. Rikza Chamami, MSI

Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang

11

Pengabdian Compang-camping

HUMANIORA
Sikep Samin

Samin di Tengah Badai Modernitas


Godaan modernitas tak membuat komunitas samin goyang. Konsistensi dalam memegang ajaran membuat eksistensi mereka semakin kuat.
tuk keluar dari tradisi bertani wajar. Mengingat, kondisi lahan di Blora tidak mendukung untuk mengembangkan pertanian, terutama saat kemarau tiba. Cari air saja sulit, kata mbah Lasio. Kondisi masyarakat Samin di dukuh Karangpace, menurut Jayadi, masih terbelakang. Terutama, dalam hal perekonomian. Minimnya akses pendidikan dan ekonomi menyebabkan komunitas Samin semakin tertinggal. Di sisi lain, Jayadi menyayangkan minimnya perhatian pemerintah terhadap komunitas Samin. Padahal, tambahnya, Samin memiliki kebudayaan unik yang merupakan bagian dari kekayaan budaya nasional. Dibutuhkan peran dan tanggungjawab pemerintah untuk melestarikannya. Masyarakat Samin perlu disentuh, tuturnya. Samin Pati Berbeda dengan Samin Blora, komunitas Samin di kecamatan Sukolilo, Pati lebih total dalam memegang tradisi Samin. Misalnya, anak-anak masyarakat Samin tidak diperbolehkan menempuh pendidikan formal. Sekolah orang sikep ya di sawah, kata mbah Badi, sesepuh Samin Pati. Meski tak menempuh jalur pendidikan formal, bukan berarti anak-anak Samin buta aksara. Anak-anak Samin masih mendapatkan pendidikan non formal dari orang tua mereka. Anak Samin bisa baca tulis semua, kata mbah Badi. Soal mata pencahariaan, masyarakat Samin pati masih melestarikan tradisi bertani. Konsistensi masyarakat Samin Pati dalam bertani mendorong mereka untuk mengembangkan sistem pertanian. Bahkan, beberapa diantara mereka sudah mampu mengembangkan pertanian organik. Salah seorang tokoh Samin, Gunritno, mengatakan, pengelolaan pertanian organik didorong atas sikap mereka yang tak mau bergantung dengan pemerintah. Apalagi, menurutnya, pupuk yang disuplai dari pemerintah tidak baik untuk pertanian karena mengandung bahan kimia. Bahkan, bisa merusak kesuburan tanah. Ia menyayangkan sikap petani di Indonesia yang terlalu bergantung dengan pemerintah. Sikap kebergantungan itu membuat petani tak mampu mandiri. Padahal, menurutnya, petani dapat mengelola pertanian mereka secara mandiri tanpa mengandalkan bantuan dari pemerintah. Salah satunya dengan menerapkan sistem pertanian organik dengan menggunakan pupuk organik buatan sendiri. Pupuk organik bisa dibuat sendiri, lebih hemat, anjurnya. Konsistensi masyarakat Samin Pati dalam bertani kentara. Terutama, ketika di kecamatan Sukolilo, beberapa tahun lalu, akan didirikan pabrik semen oleh PT. Semen Gresik. Masyarakat Samin menentang dan melakukan perlawanan terhadap pendirian pabrik tersebut, sebelum akhirnya pabrik gagal didirikan. Sikap penentangan itu karena pendirian pabrik semen akan mengancam kelangsungan hidup bertani mereka. Pendirian pabrik akan mengancam sumber air warga, tutur Gunritno. Aufal Marom

Amanat.Internet

Rumah salah satu pemuka kaum samin. ngin kemarau bertiup menembus sela-sela gubuk Mbah Lasio, sesepuh Samin Blora. Pohon jati berjajar memagari kampung. Tak jauh mata memandang, beberapa perempuan tua tengah sibuk mengupas kulit jagung yang telah mengering. Namun, pemandangan gersang itu tak nampak pada wajah Lasio. Senyumnya meneduhkan hati saat menyapa reporter Amanat di rumahnya. Padahal siang itu ia semestinya menggembalakan sapi di ladang. Pekerjaan itu ia tinggal lantaran kedatangan tamu. Kalian sedulur jauh, masak ditinggal. Meski, ia mengaku letih melayani tamu yang hampir tiap hari datang dengan keperluan yang sama, wawancara atau meneliti. Itu salah satu sikap masyarakat Samin terhadap tamu yang mereka anggap sebagai sedulur jauh , meski belum saling mengenal. Kata sedulur sangat lekat dengan kehidupan masyarakat Samin. Bahkan, mereka menyebut komunitas mereka sebagai Sedulur Sikep Sejalan dengan . prinsip kebersamaan dan kegotongroyongan masyarakat Samin. Nama Samin sendiri, menurut Mbah Lasio, diambil dari kata sami-sami yang artinya sama-sama. Masyarakat Samin menganggap semua sebagai sedulur (saudara). Itulah mereka selalu menjaga keharmonisan dengan siapapun. Termasuk, alasan mereka yang enggan memakai alas kaki demi harmonisasi mereka terhadap alam. Tanah, bagi mereka adalah ibu. Ada proses saling menjaga. Tak perlu mebuat jarak, apalagi memasang sekat (alas kaki) yang dapat memisahkan manusia dengan ibu mereka (tanah). Tanah ibu kita sendiri, dia menjaga

kita, kita menjaga mereka, jangan dijauhi, tutur Lasio. Samin bukan agama. Melainkan laku hidup. Sesepuh Samin Pati, mbah Badi mengungkapkan, ajaran Samin adalah tentang kebaikan. Jujur, ojo srei, ojo ngumbar tumindak, ojo ngumbar omongan, (jujur, jangan dengki, jangan berperilaku jelek, jangan berbicara jelek), papar Badi. Ajaran kebaikan itu mengilhami laku hidup masyarakat Samin. Bahkan, untuk menjaga kejujuran itu, masyarakat Samin enggan berdagang. Sebab, berdagang menurut mereka rentan terhadap perilaku tidak jujur. Berbicara Samin, tak lepas dari sepak terjang tokoh Samin Surosentiko (18591914). Oleh pemerintah Hindia Belanda, tokoh bernama asli Raden Kohar itu dianggap musuh. Sebab, ajarannya dapat mengancam stabilitas pemerintahan Hindia Belanda. Bentuk perlawanan Samin Surosentiko terhadap pemerintah Hindia Belanda salah satunya diwujudkan dengan tak mau membayar pajak. Dalam waktu singkat ajarannya tersebar hingga ke jalur pantai utara. Bahkan, sampai saat ini, beberapa kalangan menilai, sikap pembangkangan terhadap pemerintah Hindia Belanda terwariskan sampai saat ini. Itu tampak dari pesimisme masyarakat Samin terhadap pemerintah. Meski tidak diwujudkan dalam bentuk pemberontakan fisik, perlawanan Samin lebih bersifat kultural. Misal, menolak bantuan yang diberikan pemerintah. Seperti, terjadi pada masyarakat Samin Pati. Selain di Blora, komunitas Samin tersebar di berbagai daerah di pulau Jawa. Seperti, Pati, Kudus, dan Purwodadi. Di Blora, misalnya, sekitar 20 Kelompok Keluarga (KK) masyarakat Samin mendiami dukuh Karangpace, Blora. Mereka masih memegang teguh ajaran Samin yang

diusung oleh leluhur mereka, Samin Surosentiko. Samin Blora Lha wong kerjanya cuma duduk kok dibayar. Itu adalah kalimat sindiran Mbah Lasio terhadap mata pencaharian PNS. Dalam bermatapencaharian, masyarakat Samin pun memiliki prinsip. Masyarakat Samin enggan menjadi pegawai yang berhubungan dengan pemerintahan (PNS). Bertani merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Samin yang diwariskan secara turun-temurun. Bagi mereka, apa yang mereka tanam, itulah yang mereka makan. Kalau ingin makan jagung, ya harus menanam jagung, kata Mbah Lasio. Namun, di era industrialisasi saat ini, masyarakat Samin mendapatkan tantangan. Penyempitan lahan pertanian dan godaan modernisasi menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat Samin. Mereka dihadapkan pada situasi paradoksal. Antara, menjaga tradisi bertani atau keluar mengikuti arus budaya luar. Maka, dalam beberapa kasus, masyarakat Samin keluar dari tradisi. Komunitas Samin di dukuh Karangpace, Blora misalnya. Anak-anak Samin di komunitas tersebut sudah mulai bersekolah. Bahkan, putra mbah Lasio ada yang menempuh pendidikan sampai tingkat SLTA. Pun, mereka diberi kebebasan untuk mencari mata pencaharian di luar bertani. Meskipun begitu, masyarakat Samin tetap enggan untuk bekerja di jalur pemerintahan (PNS). Asal tidak jadi pegawai, boleh, tutur mbah lasio. Seorang pemerhati Samin Blora, Jayadi mengatakan, komunitas Samin di dukuh Karangpace sudah tak total dalam memegang tradisi Samin. Samin di sini sudah nasionalis, kata Jayadi. Keputusan masyarakat Samin Blora un-

12

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

HUMANIORA
Anak Jalanan

Pengabdian Compang-camping

Terjebak Lingkaran Kemiskinan


Orang tua terbelit kemiskinan. Anak-anak terpaksa turun ke jalanan.

ore itu langit mendung. Pemandangan di kawasan Pasar Johar begitu buram. Beberapa anak kecil bergerombolan di pinggir jalan. Mereka segera beranjak ketika sebuah bus kota datang dan berhenti. Lalu salah satu di antara mereka masuk ke dalam bus. Di bus itu ia berkeliling mendekati para penumpang. Dengan menengadahkan tangan anak itu mengharap uluran tangan para penumpang. Anak itu bernama Dika. Ia tidak sendiri. Ia bersama ibunya, Darwati. Mereka menggantungkan hidup dengan mengemis di jalan. Dalam sehari Darwati beroperasi selama delapan jam, mulai pukul 08.00 sampai 16.00. Ia mengaku, dalam jangka waktu itu dapat mengumpulkan Rp. 20.000 lebih. Jumlah itu tidak tentu, kadang kurang, kadang lebih, katanya. Suaminya yang bekerja sebagai tukang becak tak mampu membiayai sekolah anakanaknya. Meskipun ada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), ia tetap tak mampu menanggung biaya buku dan alat sekolah lainnya. Selama ini ia hanya pasrah. Tak ada jalan selain meminta-minta di jalanan. Pikirnya, kalau mencari kerja pasti akan ditolak. Pasalnya, ia hanya berijazah Sekolah Dasar (SD). Mending mengemis saja, katanya pasrah. Namun begitu Darwati masih bersyukur. Ia bersama anak-anaknya tak pernah kena razia. Meski ia tak tahu secara pasti jadwal razia. Seingatnya, jadwal razia tak tentu. Setiap saat kami harus waspada, katanya. Ia takut jika sampai terjaring razia. Kepada Darwati, beberapa teman yang pernah kena razia bercerita, Kena razia tidak enak, di kantor polisi kami dijadikan satu dengan orang-orang gila. Darwati tak bisa membayangkan jika sampai ia dan anak-anaknya terjaring razia. Dari lubuk paling dalam, ia ingin hidup lebih baik. Jika ada modal, saya akan jualan sayuran lagi, ujarnya penuh harap. Selain Darwati dan anak-anaknya, masih banyak aktor jalanan di Kota Semarang. Catatan Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Kota Semarang menunjukkan perkembangan kuantitas anak jalanan sejak 2000 mengalami fluktuasi. Data terakhir sebagaimana disampaikan kepala Dinas Sosial Jateng Adi Karsidi, jumlah anak jalanan Kota semarang pada 2011 mencapai 233 anak.

Bocah kecil menjajakan koran di tengah-tengah kendaraan bermotor. Dia hanya satu dari beberapa anak di Semarang yang bernasib serupa. Aspirasi Anak jalanan punya segudang mimpi. Aku ingin jadi Polisi, pekik Joko penuh semangat. Joko adalah siswa kelas empat SD. Ia mengemis di jalan untuk uang saku di sekolah. Joko rela turun ke jalanan untuk mengais rupiah atas inisiatif sendiri. Lain kisah dialami Riska. Ia mengaku, turun ke jalan atas dorongan orang tua. Ibu yang menyuruh minta-minta di jalan, aku gadis kecil yang masih duduk di kelas satu SD itu. Prihatin melihat nasib anak jalanan itu, beberapa pemuda yang tergabung dalam Setara mencoba melakukan upaya pendampingan. Setara adalah sebuah organisasi nonpemerintah yang memberikan perhatian terhadap hak-hak anak di Semarang. Lembaga ini berdiri sejak 1996. Kami sebatas partner pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, jelas Ira Nita Wijayanti salah satu pengelola Setara. Ira mengatakan, lebih dari seratus anak jalanan berada dalam naungan lembaganya. Kebanyakan mereka adalah anak-anak dari keluarga tidak mampu. Ada juga dari keluarga mampu, jelas Ira saat ditemui Amanat di kantornya, Sampangan Baru Blok A/14 Semarang. Kegiatan Setara lebih fokus pada agenda pendidikan. Yaitu dengan menyelenggarakan pendidikan nonformal untuk anak jalanan. Ira menuturkan ada 20 tutor yang turut membantu. Mereka bekerja lima hari dalam seminggu, yaitu Senin-Jumat. Soal jadwal belajar kondisional, jelasnya. Fasilitas yang diberikan Setara pun cukup memadai. Anak-anak disediakan alat tulis dan perpustakaan. Selain pelajaran sekolah seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan lainnya, anak-anak juga diajari bermain alat musik dan menjahit. Setiap kamis mereka berlajar main gitar, tutur Ira. Setara hanya mampu mendampingi anak-anak jalanan sampai usia 18 tahun. Harapannya, upaya itu dapat membantu anak jalanan menggapai mimpi dan masa depan lebih baik. Sindikat Di tengah upaya pemerintah mengentaskan anak jalanan, kuantitas mereka tetap besar. Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Walisongo Semarang, Mohammad Fauzi menengarai ada sindikat yang terlibat dalam kasus anak jalanan. Mereka dipekerjakan, duganya. Menurutnya, ada orang yang sengaja mengeksploitasi anak-anak untuk turun ke jalanan. Anak-anak didrop di jalanan, ketika sore dijemput lagi dengan mobil, terang dosen Fakultas Dakwah itu. Fauzi menduga berdasarkan asumsi masyarakat umum. Ia sendiri juga pernah menyaksikan, di sebuah lampu trafik ada seorang yang menjadi koordinator anakanak jalanan. Kasus semacam itu pernah diungkap dalam sebuah investigasi di salah satu setasiun televisi. Di situ ditayangkan ada ibuibu membawa seorang anak. Setelah ditelusuri, ternyata bukan anaknya sendiri. Dia anak sewaan. Selain itu, Fauzi menambahi, ada juga anak yang terpaksa turun ke jalanan karena faktor keluarga tidak mampu. Hal itu diakui Darwati. Ia mencari nafkah dari jalanan sejak lima tahun lalu. Tepatnya pada 2007 silam. Tak ada lagi modal untuk dagang sayuran, aku ibu enam anak itu sambil mengenang masa lalunya. Hasil penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Semarang pada 2008 menunjukkan, sebagian besar anak jalanan di Semarang berusia 13 tahun dan tidak bersekolah (60,79%). Mereka menjadi pengamen dan berasal dari keluarga berpendidikan rendah dengan penghasilan kurang. Penelitian itu membeberkan, mayoritas orang tua anak jalanan memiliki penghasilan rata-rata Rp. 625.000,- perbulan. Hasil penelitian itu semakin memperkuat pendapat kemiskinan sebagai penyebab utama anak turun ke jalanan. Angka prosentasenya mencapai 83,33%. Jika penelitian itu benar, Fauzi menuding pemerintah harus berada di garda terdepan untuk mengurangi angka kemiskinan tersebut. Komponen bangsa yang lain hanya bisa membantu sesuai bidangnya, jelasnya. Sementara itu dalam reportase TVKU Juni lalu kepala Dinas Sosial Jateng Adi Karsidi mengatakan, 2013 mendatang Jateng akan bebas dari anak jalanan. Ia mengimbau masyarakat agar mendukung target tersebut dengan tidak memberikan uang kepada anak jalanan. Dengan upaya tersebut ia yakin, anak jalanan tidak lagi menggantungkan hidup dengan mengemis dan mengamen di jalan. Namun Fauzi merasa pesimistis terhadap langkah itu. Menurutnya langkah untuk mengentaskan anak jalanan pada 2013 omong kosong belaka. Ia menilai, larangan memberi uang di jalan kepada anak jalanan tidak bisa menyelesaikan masalah. Anak jalanan akan berkurang jika ada penyadaran mental dan dukungan ekonomi dari negara, katanya tegas. Yuliyanti

Amanat.Kompasiana

Kepada pengendara mobil, satu dari tiga bocah menyodorkan kemasan bekas minuman sekadar meminta rupiah.

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

13

Amanat.Yestik Arum

Pengabdian Compang-camping

POLING
DEMA
adalah, apakah lembaga-lembaga itu bukan sesuatu yang penting? Dalam bahasa yang lebih sederhana, ada dan tiadanya lembaga itu, tak berpengaruh bagi mahasiswa? Yang sejatinya berhak memberi jawaban adalah mahasiswa. Untuk itulah, Amanat mengadakan jajak pendapat. Dengan metode cluster random sampling, angket berisi beberapa pertanyaan disebar kepada 90 mahasiswa Tarbiyah, 90 Syariah, Dakwah dan Ushuluddin masing-masing 60. Kategori responden yang kami ambil ialah mahasiswa semester 5 ke atas. Asumsi redaksi, mereka sudah berkali-kali menyaksikan kepengurusan DEMA. Pandangan mereka hampir seragam. DEMA cukup esensial, keberadaan DEMA masih dirasa penting. Hasil perhitungan kami menunjukkan, 77,2% pada pilihan itu. Hanya 21,5% responden yang mengatakan DEMA tidak penting. Lebihnya, 1,3% tidak berkomentar. Namun, betapapun penting DEMA di mata mahasiswa, dalam melaksanakan kegiatan, DEMA masih jauh dari yang diharapkan. Sepanjang pengamatan mahasiswa, kegiatan yang dilaksanakan DEMA masih jauh dari menyentuh kepentingan mahasiswa. Terhitung, sebanyak 86,1% berpendapat, kegiatan yang diselenggarakan DEMA belum menyentuh kepentingan mahasiswa. Hanya 13,3% mengatakan DEMA sudah memihak kepentingan mahasiswa. Sisanya, 0,6% abstain. Dalam beberapa kegiatan, DEMA belum bisa memenuhi janji-janjinya dulu. Kepada Amanat DEMA 2011 pernah menyampaikan, dengan wewenang yang di miliki, DEMA akan mengembangkan SDM di IAIN Walisongo. Merealisasikan itu, DEMA hanya mencatatkan kegiatan seminar empat kali. itu pun tak semua mahasiswa mengikuti. Mahasiswa berpendapat seragam. Dalam hal intelektual, kegiatan yang diselenggarakan DEMA kurang berpengaruh bagi mahasiswa. 62% mengatakan itu, hanya 37,3% mengatakan berpengaruh. Meski begitu, mahasiswa masih menyandangkan harapan kepada DEMA. Ketika diminta pendapat, apakah DEMA harus ditiadakan, mereka kebanyakan menyarankan untuk diperbaiki saja. Banyak saran mereka sampaikan untuk DEMA ke depan. Jangan muluk-muluk, jangan omong kosong,dan lain-lain. Intinya mereka butuh tindakan nyata. Di samping itu, DEMA harus mensosialisasikan program kerjanya. Dipilih oleh mahasiswa, jangan sampai lupa kepada mahasiswa. Mahasiswa berhak tahu, apakah kegiatan yang direncanakan DEMA sudah sesuai dengan fungsi DEMA sebenarnya. Tentu sebelum itu DEMA kudu mensosialisasikan apa fungsi mereka. Terakhir, kegiatan yang diselenggarakan DEMA harus bisa dirasakan semua mahasiswa. Redaksi

Jangan Omong Kosong, Tak Perlu Muluk-muluk


etiap tahun mahasiswa disibukkan agenda Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa). Konvoi dan kampanye pengusungan calon berjalan luarbiasa ramainya. Tak ketinggalan, janji manis dan program kerja muluk-muluk mereka kampanyekan. Menyaksikan itu, seolah-olah lembaga mahasiswa itu adalah lembaga yang krusial. DEMA 2011 memungkasi kepengurusannya. DEMA baru terbentuk. Catatan selama setahun kepengurusan lalu mengisyaratkan DEMA minim kinerja. Hal itu sangat kontras dengan janji-janji politik yang disampaikan ketika kampanye. Sungguh disayangkan, mengingat tanggung jawab mereka adalah kepada sekian banyak mahasiswa yang turut memilih. Mustinya, dengan proses pemilihan yang melibatkan hampir seluruh mahasiswa itu, paling tidak kinerja mereka dapat dirasakan mahasiswa kebanyakan. Kecurigaan yang muncul kemudian

1. Menurut anda, apakah lembaga seperti Dema adalah sesuatu yang krusial (penting)? a. Penting b. Tidak penting c =1,3% c. Abstain
b =21,5%

4. Dalam hal organisasi, kegiatan yang diselenggarakan Dema berpengaruh bagi mahasiswa? a. Berpengaruh b. Tidak berpengaruh c. Abstain
c =0,6%

5. Haruskah Dema ditiadakan? Atau cukup diperbaiki kinerjanya? a. Ditiadakan b. Diperbaiki c. Abstain c =1,9%
a =8,9%

a =41,8%

b =57,6% b =89,2%

a = 77,2%

2. Kegiatan yang diselenggarakan Dema selama ini, sudahkah menyentuh kepentingan mahasiswa? c =0,6% a. Sudah b. Belum a =13,3% c. Abstain
b =86,1%

3. Dalam hal intelektual, kegiatan yang diselenggarakan Dema berpengaruh bagi mahasiswa? c=0,6% a. Berpengaruh b. Tidak berpengaruh c. Abstain
b =62,0%

a=37,3%

Jajak pendapat ini diambil dengan metode Cluster Random Sampling. Sampel yang diambil, mahasiswa semester 5 ke atas. Tingkat kepercayaan 95%.

Varia Kampus

Leak Pukau Mahasiswa


Budaya Lokal sebagai Nafas Pendidikan
Selasa (13/12/2011), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Kependidikan Islam (KI) menyelenggarakan seminar nasional. Seminar tersebut bertajuk Manajemen Pendidikan Berbasis Local Wisdom. Dalam acara tersebut, HMJ KI menggandeng Ikatan Mahasiswa dan Pelajar Blora (IMPARA). Seminar berlangsung di Gedung Auditorium I kampus 1 IAIN Walisongo Semarang. Rektor IAIN Walisongo, Muhibbin hadir untuk membuka acara tersebut. Ratusan mahasiswa pun turut memadati Gedung tersebut. Hadir pula Eko Budiharjo, Fatah syukur dan Rofiudin sebagi narasumber. Eko Budiharjo berpesan, menjaga dan melestarikan budaya sendiri, tak perlu bermalu-malu. Ahmad Habibi selaku panitia mengatakan, seminar budaya tersebut sebagi upaya mengajak masyarakat kampus untuk menjaga budaya lokal melalui pendidikan. Budaya lokal sebagai nafas pendidikan, terangnya. Aufal Marom
ligus lucu pernah ia alami. Saya sempat diledek teman gara-gara puisi berjudul Aku Tulis Puisi. Ketika saya berjalan di depan Kantin, teman saya ada menirukan puisi saya dengan lantang; Aku Tulis Puisi, karena Aku tidak bisa menulis skripsi. Sontak penonton terpingkal-pingkal. Usai membaca puisi, Seniman kelahiran 23 September 1967 itu juga menjadi pemateri dalam bedah buku Antologi Puisi Fragmen Rindu . Antologi puisi itu diterbitkan Amanat.Akhmad Baihaqi Arsyad Leak tengah membaca puisi di Auditorium 1 Kampus I IAIN oleh Devisi Sastra Beta. Beberapa karya dimuat Walisongo Semarang. dalam buku tersebut. Antara Rabu malam, 7 Desember 2011, Sosiaw- lain; puisi Misbakhul Munir (Komeng), Istiwan Leak turut ramaikan peringatan 26 tahun rohah Roro, Abdul Wahib, Faiz Urhanul Hilal kelahiran Kelompok Pekerja Teater [KPT] beta. (Toples), Dwi Royanto, dan Devi Masfiyatus Dengan aksi panggung dan gaya khasnya, Leak Saadah. membacakan beberapa puisi; Negri Kadal, Aku Acara bedah buku itu dimoderatori Abas Tulis Puisi, Dunia Bogambola, Pejantan Babi, Efendy, pegiat media yang juga sesepuh Beta. Phobia, dan beberapa puisi lain. Dalam diskusi itu, Leak mengulas secara Setiap sela-sela pembacaan puisi, Leak umum puisi-puisi penulis dalam Antologi Puisi menceritakan muasal puisi itu dicipta. Beta tersebut. Selesainya acara bedah buku itu, Leak tak Seperti misalnya puisi berjudul Negri Kadal. Melalui puisi itu, Leak menggambarkan kead- langsung mengakhiri perjumpaannya dengan aan negeri ini. Semua sifat-sifat kadal, anatomi beta. Obrolan kecil masih berlangsung usai diskadal mulai dari ekor, sisik, serta segala hal ten- kusi, hingga larut malam. Leak dan warga Beta saling bertukar pengalaman hingga sekitar tang kadal, begitulah negeri ini menurut Leak. Gara-gara puisi, pengalaman pahit seka- pukul 01:00 WIB. Akhmad Baihaqi Arsyad

Turnamen Tenis, Rekatkan Ukhuwah


Jumat (23/12), Tarbiyah Sport Club (TSC) mengadakan Turnamen Tenis Meja Se-IAIN Walisongo Semarang dalam rangka Gebyar Purna Bakti TSC 2011. Kegiatan ini dilaksanakan di Auditorium II Kampus 3 IAIN Walisongo Semarang. Turnamen diikuti 40 peserta, terdiri dari pegawai, dosen dan mahasiswa. Ketua Panitia Gebyar Purna Bakti TSC Bagus Yusmanto mengatakan, salah satu tujuan diadakannya turnamen ini untuk mempererat ukhuwah islamiyah di antara pegawai, dosen maupun mahasiswa. Sekaligus untuk melatih mental peserta tenis meja, melihat ke depan akan diadakan turnamen se-kota Semarang, tambah Bagus. Turnamen yang dipersipakan sejak November ini merupakan kerja sama dengan Bravo Olah Raga dan Beswan, dengan diberikannya bola tenis meja. Dikatakan Ketua TSC Siti Nurul Afifah, adanya kerja sama tersebut turnamen tenis meja dapat dilaksanakan dengan baik tanpa adanya suatu halangan. Shodiqin

14

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

REHAT
Kuis Asah Otak (KAO ) 05/2012
1 3 9 2 4 5 10 8

Pengabdian Compang-camping

6 7

11

12 14

13

15 16 17 18 19 22 20 21 27 25 24 23

Mendatar: 1. Surat Kabar Mahasiswa IAIN Walisongo 2. Manis, asam, pahit, pedas 4. (.....) Palsu (Ayu ting-ting) 5. Timbangan 6. Sarjana Ekonomi 7. Upah/bayaran 8. Parah (penyakit) 15. Orang ketiga 16. Peti besar tempat menyimpan sesuatu 17. Sesuatu untuk memancing 18. Giat/ulet 20. Balasan perbuatan di masa lalu 21. Orang-orang berilmu (arab) 22. Lawan dari berbeda 24. Kependidikan Islam 25. Gangguan jiwa 26. Lawan surga 27. Sistem Informasi Akademik 28. Permohonan untuk datang Menurun: 1. Untuk diminum 3. Huruf 5. Sesuatu yg sudah ditentukan oleh Tuhan atas diri seseorang 8. Perbuatan baik/buruk 9. Bahari 10. Tidak memberikan suara/tidak memilih 11. Persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat 12. Tidak sebentar 13. (....) Ashor 14. Menjadi lemah (hati) 19. Pengetahuan 23. Jenuh dan jijik 25. Fungsi, manfaat 27. Tempat ibadat dan mengaji

Kupon KAO (KAO) 05/2012

Ketentuan Menebak:
1. Tulis jawaban di kertas, cantumkan nama, alamat, foto kopi KTM/KTP dan nomor HP yang bisa dihubungi. 2. Masukkan ke dalam amplop, tempel kupon di sampul luar. 3. Kirim jawaban ke alamat redaksi: Gedung PKM Lantai 1 Kampus 3 IAIN Walisongo Semarang Jl. Boja-Ngaliyan Km. 2 Semarang 50185. 4. Jawaban ditunggu paling lambat 30 Maret 2012. 5. Pemenang akan diumumkan di Tabloid Amanat edisi berikutnya. 6. Diambil 2 pemenang. Masing-masing mendapat buku menarik.

Pemenang KAO 04/2011


1. Siti Daimatun Ringinwok No. 10 2. Sofyan Efendi (Fakultas Ushuluddin) Perumahan Permata Puri Blok E4 Para pemenang dapat mengambil hadiah di Kantor Redaksi SKM Amanat dengan menunjukkan bukti identitas diri. Pengambilan hadiah paling lambat 29 Maret 2012.

26 28

Cerita Mini

Universitas Facebook
#1 Farah, terima kasih selama ini telah memotivasiku. Kini aku benar-benar senang sebentar lagi mimpiku terwujud. Aku masih ingat betul kalimat terakhir yang kau ucap sebelum kita berpisah. Ya, kukira tiga tahun sangatlah cukup untuk sekadar merajut persahabatan. Bangku SMA yang mempertemukan kita ternyata menciptakan jalinan yang tak bisa kita tinggalkan. Dan kau telah menyatu di hatiku. Kau tahu, betapa ngilu dadaku usai wisuda SMA saat itu. Namamu dan teman-teman lainnya disebut-sebut kepala sekolah saat pidatonya. Kau pasti senang telah diterima di universitas ternama di negeri ini. Aku juga masih ingat, kau menyambut dengan tawa histeris saat namaku juga disebut kepala sekolah. Lalu aku hanya menyunggingkan bibir dengan terpaksa. Aha, mungkin kau senang aku juga diterima di universitas kota ini meski tak lagi bersamamu. Tapi kau tak melihat bukan, tatapan ayah dan ibuku di pojok sana. Wajahnya seketika mendung. Entahlah, sejurus kemudian kulihat hujan merintik di pipinya. Di antara tawamu, aku mencuri waktu untuk menangis. Tangis yang barangkali muncul tiba-tiba. Padahal jauh-jauh benar telah kupersiapkan menyambut wisuda. Sambutan bukan dengan tangisan, tapi persiapan itu mungkin belum matang. #2 Farah, kau punya facebook ndak? begitu tanyamu suatu pagi lewat sms. Aku yang baru saja mencuci piring tergagap membaca pesanmu. Lama tak kubalas. Kuabaikan saja pesanmu. Lantas kutanyakan kepada anak majikan, Vina perihal facebook. Ia masih SMA. Dan bersyukurlah aku, ternyata ia punya facebook. Kumohon ia membuatkan facebook untukku. Ya aku punya,masih di bawa Vina ku, jawab pesanmu. Kau tahu, tiap kali kau bertanya sesuatu, aku bingung menjawabnya. Kau tahu sendiri bukan, aku orang desa tak tahu apa-apa. Tapi mungkin kau kira aku sedang membaca buku di bangku universitas. Seminggu lalu kau bertanya statistika. Untung saja ingatan SMAku masih segar. Lantas kujawab sebisanya. Kau malah ketawa ketika kau tanya berapa IPku. Aku hanya menjawab Rp. 700.000 perbulan dan masih dibawa juragan. Jangan bercanda ah be, gitulah kau menutup perbincangan kita lewat sms. #3 Farah, kau di sini?, kau terkejut melihatku. Aku biasa-biasa saja. Aku tahu, pasti kau ke rumahku lantas ibuku memberimu alamat rumah ini. Maafkan aku selama ini telah berbohong kepadamu. Sekarang kau tahu sendiri, bukan? Aku tidak kuliah di universitas. Aku seorang pembantu. Dan terima kasih kau telah mengajariku banyak hal. Jika kau tak menanyaiku ini-itu, aku takkan belajar banyak. Terima kasih, Tin. Lantas kau memeluk tubuhku. Kau menangis. Aku juga. Haru. Seperti SMA dulu. Aku kuliah di Universitas Facebook, kataku. Dan tangismu tiba-tiba menjadi tawa. Arif Srabi Lor

Selamat Kepada
Suudut Tasdiq, M. Priyo Manfaat, K. Rohmah Safitri, M. Abdul Nafi Siti Maemunah, Intan Nur Asih, Muhammad Iqbal, Nur Fai, datun Naimah, Arif Khoirudin, Lusi Eka Sari, Hartiningsih, Miftahul Arifin, Khoirul Umam, Mahya Afiyati Ulya, Ahmad Muhlisin, Muqoyyimah, Abdul Aziz, Nur Alawiyah, Evi Riani, Abdul latif

Atas diterimanya sebagai kru magang

SKM AMANAT 2011-2012

Genggam penamu ! Toreh sejarah dengan caramu.


AMANAT bukan segalanya tapi segalanya bisa berawal dari AMANAT

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

15

Pengabdian Compang-camping

RESENSI
Menggali Hubungan Pancasila-Syariat Islam
an pertama. Kejadian itu memunculkan banyak reaksi, bahkan sampai sekarang. Ada kecenderungan oleh beberapa kelompok untuk melakukan upaya Desoekarnoisasi secara sistematis. Kelompok itu selalu menistakan Bung Karno. Mereka menilai, menempatkan sila Kebangsaan sebagai sila pertama adalah kesalahan besar. Apalagi menempatkan sila Ketuhanan pada urutan terakhir. Pada dasarnya, kebangsaan atau nasionalisme Indonesia sama sekali tidak bertentangan dengan Syariat Islam, nasionalisme dalam artinya yang luhur justru disyariatkan oleh Allah SWT. Sebaliknya, secara filosofis, penempatan sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada urutan terakhir tak dapat dikatakan sebagai penistaan keyakinan terhadap agama. Dalam Syariat Islam, secara tekstual dan kontekstual, adalah sangat kuat dasarnya untuk menempatkan sila itu pada urutan terakhir. Dalam AlQuran, nama Allah tak selalu disebutkan di awal. Hubungan Kultural Indonesia bukanlah Negara Agama, dan tak satu pun Agama di Indonesia menjadi Agama Negara. Dengan kata lain antara Agama dan Negara tidak terdapat hubungan struktural. Maka dalam sila ketuhanan, bukan berarti bahwa agama yang transendental itu menjadi aspek yang tunduk dalam aturan Negara. Sila tersebut hanyalah pernyataan penegasan dan komitmen bangsa Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai bangsa yang berketuhanan. Antara negara dan agama terdapat hubungan kultural, bahwa negara Indonesia dibangun oleh bangsa yang beragama. M. Izzudin

Mengabdikan Diri di Pelosok Negeri


Judul Penulis Penyunting Penerbit Cetakan Resensator
etiap anak yang tak terdidik menjadi beban dosa bagi yang terdidik. Kata itulah yang menginspirasi Anis Baswedan untuk mendirikan Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar. Yayasan ini berusaha mengumpulkan anak muda terdidik untuk melunasi janji kemerdekaan negeri ini. Mereka dikenal sebagai Pengajar Muda. Mereka disebar ke pelosok negeri yang notabene belum menyandang kata lunas atas hak didiknya. Mulai dari Aceh sampai Papua. Tepatnya 10 November 2010, sebanyak 51 Pengajar Muda dilepas di Bandara Soekarno menuju 5 kabupaten: Bengkalis (Riau), Halmahera Selatan (Maluku Utara), Majene (Sulawesi Barat), Paser (Kalimantan Timur), dan Tulang Bawang Barat (Lampung). Hanya bermodal ketulusan pengabdi dan semangat juang yang tinggi, tanpa mengharap apa-apa. Dengan setahun mengajar, seumur hidup menginspirasi, begitu jargon mereka. Setahun berselang, mereka telah benar-benar mengabdi. Sedikit demi sedikit janji kemerdekaan terlunasi; mencerdaskan anak bangsa. Bahkan mereka telah menginspirasi 18.000 anak negeri. Mereka membangun pribadi-pribadi ajaib. Sejujurnya, mengajar bukan pekerjaan mudah. Mereka tidak hanya dituntut menyampaikan materi, lebih penting bagaimana mereka membuat anak didik haus akan materi. Mereka juga harus nyaman untuk berangkat ke sekolahan. Para Pengajar Muda berhasil mewujudkannya. Bahkan, di lokasi yang terbilang minim kemauan anak untuk belajar, mereka berhasil membuktikan bahwa mereka mampu mengatasinya. Mereka telah menghilangkan budaya tak nyaman di sekolah dan menanamkan kepercayaan pentingnya bersekolah . Indonesia Mengajar, adalah buku yang memuat kisah-kisah hasil rekaman para Pengajar Muda saat bertualang dalam medanmedan pengabdian. Berisikan catatan penting yang dikemas dalam catatan harian. Seperti Erwin Puspaningtyas, seorang Pengajar Muda yang juga pemilik novel bets seller Sebuah Penantian dan Hati yang Terluka sempat mematung kagum ketika mendapati coretan kertas milik Rizki Ramlan, bocah sembilan

: Indonesia Mengajar ; Kisah Para Pengajar Muda di Pelosok Negeri : Pengajar Muda : Ikhdah Henny dan Retno Widyastuti : Bentang, Yogyakarta : Cetakan 1, November 2011 : Muhammad Faizun
Yang dilakukan Adhi Nugroho, di antaranya membuat peraturan kelas terlebih dulu dengan kesepakatan bersama siswa. Apa bila dilanggar, maka ia pun harus dihukum. Tetapi yang jelas hukuman fisik sudah ditiadakan. Di depan kelas tersedia satu buah meja lengkap dengan kursi, yang disebut dengan kursi hukuman. Bagi siapa yang melanggar, siapsiap menduduki kursi yang telah diatur menghadap teman-teman sekelas. Lamanya duduk tergantung apa yang dilanggar. Biasanya paling lama dua jam. Sedangkan hukuman yang paling berat, yaitu dikeluarkan dari kelas dan diharuskan mengikuti pelajaran kelas 1, jelas dia akan malu, dianggap aneh dan ditertawakan (hal. 150). Senyum mengembang, terkadang hadir dari hal tak disadari. Seperti cerita Mansyur Ridho, ketika meminta siswanya untuk menggambar ekspresi. Maka dia terkejut ketika sebagian besar siswa menggambar ekspresi wajah senyum dan bertuliskan, Aku senang punya guru baru karena dia baik sekali. Ada juga siswa yang suatu ketika berkata,Pak, kata Wati dia ingin sekolah lagi karena gurunya baik sekali. Tentu dia sangat terharu (hal. 268). Diah Setiawaty menyembunyikan tangisnya dalam hati, saat ia mendapat surat ucapan selamat dari siswa-siswanya pada Hari Guru, ada yang menuliskan, Cinta saya kepada Ibu lebih dari uang saku. Bisa dibayangkan seberapa berharga uang saku di mata anak-anak, apalagi mereka yang jarang diberi uang saku. Ia terharu, banyak yang mengucapkan terima kasih dan ada lagi yang menuliskan puisi yang membuat decak kagum bagi Diah. Dalam hati Diah bergumam, Saya membayangkan penerus-penerus Chairil Anwar. Dibacanya sebait puisi dari salah seorang siswa kelas 4 SD: Dari guru saya banyak belajar, tetapi Ibu guru juga banyak belajar dari saya. Setidaknya buku ini adalah bukti cerita dari kesuksesan Pengajar Muda yang menenggelamkan diri dalam pelosok-pelosok negeri untuk menemukan bibit ajaib. Sebab bangsa ini telah berjanji atas pendidikan setiap warganya. Maka siapa lagi yang akan memenuhi? Inilah bukti bahwa darah pemuda masih andil dalam perjuangan bangsa. AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

tahunyang sempat berhenti sekolah selama 4 bulan lantaran tidak ada yang mengajarinya Matematikadilihatnya mampu mengerjakan soal yang pernah ia ajarkan di kelas 4 dan 6. Padahal ia baru kelas 3. Juga dilihatnya dalam kertas-kertas lain tentang soal yang Rizki buat sendiri, dan 80 % betul. Lalu ia pun mengajak Rizki menemukan hal baru di sekolah. Bayu Adi Persada mengisahkan tentang Munarsih, anak Helmahera. Ia tak jago Matematika, namun kemampuannya membaca cepat melebihi anak SMP. Sehingga tak ragu Bayu mengikutkannya dalam peserta Olimpiade Kuark. Waktu sore pun ia luangkan untuk menemaninya membaca di tepi pantai, dan waktu istirahat tak pernah ia sia-siakan sebagaimana tak ingin menyia-siakan bakat Munarsih. Bagi Bayu, bertemu anak seperti Munarsih seperti sebuah cahaya kecil di tengah hamparan pasir pantai penuh sampah di depan rumah. Bahkan ia percaya kalau suatu saat, ia akan dikabarinya, Pak Guru, saya telah lulus doktor! atau, Pak, saya mendapatkan beasiswa ke Amerika (hal. 67). Para Pengajar Muda tak pernah melupakan bagaimana melewatkan hari-hari bersama mereka. Agus Rachmanto di Hutan Samak, setiap hari harus sarapan Ubi atau pisang, dengan lauk ikan, yang dipancing terlebih dulu di sungai atau burung Punai. Rusli Saleh, berdasar pengalamannya, mengingatkan pembaca untuk tak mengumpat saat mati lampu, sebab di Tulang Bawang Barat, masyarakat selalu bersyukur meski menikmati listrik hanya 4,5 jam sehari. Bahkan banyak daerah yang tak tersentuh listrik. Hal yang pasti dirasakan adalah, jalan licin dan becek, sekolah tak kalah reot dengan gubuk. Meski demikian, motivasi demi motivasi terus terbangun seiring lika-liku masalah yang mereka hadapi. Terutama masalah siswa. Tak jarang, banyak di antara murid saling berkelahi, berisik saat diajar, enggan masuk sekolah, susah memahamimungkin hasil peninggalan kebiasaan. Budaya hukum fisik tak hilang di daerah itu. Sehingga tak heran banyak siswa yang terkadang pulang dengan kaki pincang hanya sebab gaduh atau berkelahi. Ini yang membuat keprihatinan para Pengajar Muda.

Judul Buku: Pancasila 1 Juni dan Syariah Islam Penulis: Prof. Dr. Hamka Haq, M. A. Penerbit: RM BOOKS Tebal Buku: 237 Halaman Cetakan: Pertama, Mei 2011
Eksistensi suatu bangsa dalam semesta dunia ditentukan oleh kesadaran bangsa akan hakikat jati dirinya. Bangsa bukan sekadar sekelompok orang, atau komunitas yang diakui keberadaannya karena hidup bersama. Lebih dari itu, mereka harus mempunyai identitas. Identitas itu tercermin dari suatu pandangan hidup. Pandangan hidup itu, oleh bangsa Indonesia telah dirangkum dalam Pancasila. Berawal dari topik itu, melalui buku ini, Hamka Haq Mencoba memberi wacana tambahan terkait Pancasila dan Islam. Perdebatan penafsiran Pancasila terjadi sejak sebelum Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan negeri ini. Penyebabnya tak lain adalah pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 yang menempatkan sila kebangsaan pada urut-

Film

Politik Kentut
Judul : Kentut Produser : Deddy Mizwar, Zairin Zain Sutradara : Aria Kusumadewa Penulis : Aria Kusumadewa Pemeran : Deddy Mizwar, Ira Wibowo, Keke Soeryo, Cok Simbara Tanggal edar : Rabu, 01 Juni 2011
Film ini diawali dengan kampanye pilkada. Jasmera (Dedy Miswar) adalah salah satu kandidat pilkada kabupaten yang disebut Kuncup Mekar didampingi Delarosa (Iis Dahlia), penyanyi dangdut terkenal. Sangat jelas Jasmera memilih Delarosa sebagai pasangannya, sebab, ketenaran Delarosa adalah senjata ampuh penarik masa. Jasmera selalu berkampanye dengan arak-arakan yang terlihat mencolok di sepanjang jalan, Jasmera adalah kandidat pilkada yang dianggap kontroversial dengan ideidenya yang konyol dan tidak masuk akal tanpa menunjukkan kemampuannya memajukan kabupaten Kuncup Mekar. Di lain pihak, Patiwa (Keke Soeryo) juga salah satu kandidat, didampingi tim kampanyenya Irma (Ira Wibowo). Beda dengan Jasmera, Patiwa berkampanye tidak dengan arak-arakan. Ia memilih cara yang lebih bermanfaat bagi rakyat. Membantu mengembangkan sektor pertanian, kesehatan dan peternakan. Namun, hal itu dikecam Jasmera, Patiwa orang yang munafik dengan janji-janjinya. Suasana berubah setelah tibatiba peluru meluncur dan bersarang di dada Patiwa. Dokter (Cok Birawa) yang melakukan operasi terhadap Patiwa mengatakan, Patiwa tidak bisa mengikuti pilkada di putaran ke dua jika belum bisa kentut. Seketika, kentut menjadi bahan pembicaraan banyak orang. Banyak orang datang ke rumah sakit sekadar mendoakan Patiwa agar bisa kentut. Seperti itulah kiranya panggung perpolitikan negeri ini. Pesan yang disampaikan mungkin, ketika ingin mencalonkan diri, tak ada lain yang dibutuhkan kecuali kentut. Percuma memiliki kemampuan, toh yang dibutuhkan cuma kentut. Satu hal yang disayangkan, kemasan humor yang terlalu mencolok membuat kritik-kritik pedas yang disampaikan kabur. Penonton mungkin akan mengira, film ini humor semata. M. Izzudin

16

MONUMEN

Pengabdian Compang-camping

1 201

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

17

Pengabdian Compang-camping

SKETSA
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM)

Membesarkan UKM
UKM minim peminat. Potensi besar di dalamnya terabaikan.
mata mahasiswa. UKM harus berinovasi. Hal itu diamini Pembantu Dekan III Fakultas Tarbiyah, Muhammad Ridwan. UKM memiliki peran penting dalam menggait mahasiswa. Menurutnya, tertarik tidaknya mahasiswa dalam mengikuti UKM bergantung dari seberapa besar peran dan manfaat UKM bagi mahasiswa. Terkait hal itu, Kepala Bagian (Kabag) Kemahasiswaan, Priyono mengimbau, UKM perlu melakukan evaluasi agar ke depannya lebih baik. UKM seharusnya melakukan evaluasi tahunan, imbau Priyono. Terhambat Dana Di sisi lain, UKM sulit mengembangkan diri karena beberapa sebab. Di antaranya, seperti dituturkan ketua UKM Mimbar Nasiudin, karena terhambat dana. Menurutnya, dana yang diberikan pihak birokrasi belum mencukupi kebutuhan UKM. Sering kali, UKM terbentur masalah pembiayaan dalam mengagendakan kegiatan. Gimana mau berkembang, dananya tidak cukup. Tak hanya masalah dana. Minimnya fasilitas turut menghambat UKM dalam mengembangkan diri. Menurut Nasiudin, birokrasi kurang memberikan perhatian terhadap fasilitas UKM. Fasilitasnya hanya seperti ini, keluhnya sembari menunjuk gitar yang sudah bopeng. Sependapat diungkapkan ketua UKM Nafilah, Fatmawati Ningsih. Baginya, dana operasional organisasi dari Dana Isian Pengajuan Anggaran (DIPA) sebesar 4,5 juta yang diterima UKM Nafilah tak mencukupi kebutuhan organisasi tersebut selama setahun. Untuk menambal kekurangan dana, UKM Nafilah biasa mencari dana tambahan dari luar (sponsorship). Alokasi dana UKM mesti ditambah, harapnya. Banyak Manfaat Mengikuti UKM bukan merupakan keharusan. Tidak ada peraturan dari kampus yang mewajibkan setiap mahasiswa mengikuti UKM. Mahasiswa punya hak untuk tidak atau aktif mengikuti UKM. Meskipun begitu, Muhammad Ridwan menganjurkan pada mahasiswa untuk terlibat dan aktif di dalam UKM. Ikut UKM banyak manfaatnya, sarannya. Sependapat dengan Erfan Soebahar. Guru Besar Ilmu Hadits ini menerangkan, UKM merupakan wadah efektif bagi mahasiswa untuk menempa dan mengembangkan potensi diri, baik dalam keterampilan maupun intelektual. Aktif di UKM kan gratis, sayang jika tak dimanfaatkan, kata Erfan. Di samping itu, banyak manfaat lain yang bakal dirasakan mahasiswa ketika mengikuti UKM. Seperti diungkapkan Ibnu Thalhah. Mahasiswa akan mendapatkan ilmu dan pengalaman yang tak didapatkan di bangku kuliah. Di dalam UKM, tambahnya, mahasiswa dapat belajar tentang organisasi yang meliputi, kepemimpinan, kerja tim, dan komunikasi. Di samping itu, soft skill yang didapatkan dari UKM dapat digunakan ketika terjun di masyarakat. Misal, untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan keterampilan yang didapat dari UKM. Mahasiswa harus multitalenta, karena di era persaingan ini, mengandalkan ijasah saja tak cukup, tutupnya. Rohman Kusriyono, Ulfa Mutmainnah

Dok.KSMW

Beberapa mahasiswa yang tergabung dalam UKM KSMW tengah berdiskusi.

iskusi sore itu tampak sepi. Perkumpulan itu hanya diikuti tak lebih dari lima orang. Padahal, jika berangkat semua, peserta diskusi mencapai tiga puluhan orang. Itu adalah suasana diskusi salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang diadakan saban minggu. Itu salah satu gambaran kegiatan UKM yang semakin lesu sebab penurunan anggota. Minat mahasiswa dalam mengikuti organisasi dirasakan sebagian pengurus UKM semakin menurun. Pengurus UKM Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) Khoirul Anam mengamini penurunan itu. Mula pendaftaran, diakuinya, jumlah pendaftar cukup banyak, sekitar empat puluh anggota. Namun, dalam perkembangannya, jumlah itu terus mengalami penurunan. Yang aktif tak lebih dari sepuluh orang. Hal senada dialami UKM Nafilah. Melihat jumlah pendaftar anggota baru, cukup menggembirakan. Mulanya, ungkap ketua UKM Nafilah Fatmawati Ningsih, pendaftar anggota baru mencapai ratusan orang. Namun, dalam perjalanannya, jumlah anggota yang aktif hanya tersisa belasan orang. Semakin lama semakin menurun. Hal serupa dialami UKM Mimbar. Ketua UKM Mimbar Ahmad Nasiudin mengungkapkan, minat mahasiswa dalam mengikuti UKM sangat kurang. Pada tahun 2011 misalnya, UKM Mimbar hanya mampu merekrut 16 anggota baru. Yang aktif sekarang tinggal 6. Fenomena serupa terjadi di setiap UKM. Terutama, UKM yang bergerak di bidang pengembangan intelektual mahasiswa (UKM Penalaran). Semisal, Nafilah, WEC, AMANAT, An-Niswa, dan KSMW.

Pragmatis Gejala penurunan minat mahasiswa sebenarnya sudah dirasakan sejak lama. Penurunan itu disebabkan banyak faktor. Salah satunya, seperti dituturkan mantan Pembantu Rektor III, Erfan Soebahar, disebabkan oleh perubahan paradigma mahasiswa. Menurutnya, pragmatisme menjadi sebab utama penurunan antusiasme mahasiswa dalam mengikuti organisasi. Mahasiswa sekarang lebih pragmatis.

UKM merupakan wadah efektif bagi mahasiswa untuk menempa dan mengembangkan potensi diri, baik dalam keterampilan maupun intelektual.
Prof. Dr. Erfan Soebahar, M.Ag Mantan Pembantu Rektor III

nilai kuliah sehingga mengabaikan organisasi. Pengejaran itu tak lain demi memenuhi hasrat pragmatis. Kuliah cepet lulus, cepet kerja, itu praktis. Beberapa mahasiswa lebih memilih berfokus pada kuliah, atau bekerja paruh waktu, di banding aktif di UKM. Keduanya dianggap lebih menjanjikan kepraktisan ketimbang mengikuti organisasi. Mahasiswa Fakultas Syariah, Wahyudi misalnya, mengaku tidak mengikuti UKM lantaran alasan sibuk kuliah. Beban tugas perkuliahan menuntutnya untuk fokus terhadap kuliah. Saya pilih fokus kuliah saja. Pembantu Rektor III, Darori Amin menyayangkan sikap mahasiswa yang mengabaikan UKM. Menurutnya, untuk mencapai tujuan pendidikan, kuliah saja tak cukup. Mahasiswa dituntut dapat mengembangkan keilmuan dan keterampilan lewat jalur lain. Salah satunya dengan mengikuti UKM. Waktu luang dimanfaatkan ikut UKM, sarannya. Stagnasi Minimnya animo mahasiswa mengikuti UKM tak hanya dipengaruhi faktor eksternal. Menurut Ibnu Thalhah, faktor internal juga turut mempengaruhi kemunduran UKM. Semisal, UKM tak memiliki nilai jual untuk menarik mahasiswa. Sehingga, mahasiswa lebih memilih mengikuti lembaga atau aktivitas lain yang lebih menjanjikan. UKM mengalami kemandekan. Mantan ilustrator harian Suara Merdeka itu menilai, UKM tidak mengalami perkembangan. Padahal, agar mampu bersaing, UKM harus mampu meningkatkan citra. Makanya, UKM perlu membangun kreativitas untuk mendongkrak citra di

Mahasiswa, tambah Erfan, cenderung menyukai hal yang bersifat praktis. Organisasi, termasuk UKM di dalamnya, tidak menjalankan prinsip praktis tersebut. Sebab, di dalamya membutuhkan ketekunan dan proses belajar lama untuk mencapai harapan yang diinginkan. Ibnu Thalhah membenarkan hal tersebut. Alumnus Surat Kabar Mahasiswa (SKM) AMANAT yang kini bekerja sebagai redaktur Tabloid Cempaka menilai, mahasiswa kini lebih berpikir pragmatis. Mahasiswa lebih berorientasi pada pengejaran

18

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

SKETSA
Auditorium

Pengabdian Compang-camping

Satu untuk Banyak Keperluan


Demi melayani masyarakat umum, kepentingan mahasiswa dikesampingkan.
rif berjalan setengah tergesa menuju halaman Gedung Auditorium II Kampus 3. Siang sekitar pukul dua itu ada rapat persiapan Olahraga, Seni, dan Intelektual (Orsenik). Beberapa panitia sudah menunggu di sana. Orsenik harus diundur! kata Arif tegas. Semua terperangah. Sebelumnya, Koordinator Orsenik yang bernama lengkap Arif Kurnia Rahman itu mendapat kabar dari Kepala Sub Bagian Rumah Tangga, Saidun, bahwa pada hari digelarnya Orsenik, Auditorium II digunakan untuk acara pernikahan. Seketika peserta rapat memasang raut kecewa. Apa pasal, Orsenik yang akan diselenggarakan 17-18 September 2011 itu sudah susah payah dipersiapkan. Panitia sudah menyewa peralatan lomba. Jadwal kehadiran juri pun sudah ditetapkan. Kami telah mempersiapkan segala sesuatu untuk Orsenik, tetapi tiba-tiba dibatalkan dengan alasan Auditorium digunakan untuk pernikahan, keluh Arif. Arif mengatakan, seharusnya fasilitas kampus menjadi hak penuh mahasiswa. Diundurnya Orsenik menunjukkan seakanakan birokrasi menomorduakan kepentingan mahasiswa. Padahal, tambahnya, sebulan sebelum Orsenik panitia telah melayangkan surat peminjaman Auditorium kepada Bagian Rumah Tangga. Ganjilnya, seminggu sebelum Orsenik digelar, pihak Rumah Tangga mengabarkan, Auditorium telah disewa untuk acara pernikahan. Saidun menjelaskan, benturan jadwal itu terjadi karena kesalahpahaman. Pada saat panitia mengajukan surat peminjaman, sebenarnya Auditorium sudah terlebih dahulu disewa orang. Yang lebih dulu memesanlah yang dapat menggunakan, tegasnya. Alih-alih menjelaskan kesalahpahaman

Amanat.Hamid

Untuk dapat menggunakan fasilitas itu, ada prosedur peminjaman yang harus dipenuhi. Salah satunya biaya sewa. Untuk Auditorium I sebesar Rp. 3.000.000 dan Rp. 5.000.000 untuk Auditorium II per 4 jam dari pukul 10.00-13.00. Lebih dari itu, biaya sewa ditambah Rp 60.000 per jam. Dana tersebut langsung masuk ke bendahara BLU. Selanjutnya dialokasikan untuk pembiayaan kegiatan mahasiswa, non mahasiswa dan tenaga kontrak yang ada di IAIN. Biaya penyewaan itu tidak berlaku bagi mahasiswa. Hanya saja mahasiswa harus meminjam minimal satu bulan sebelum kegiatan. Sedangkan untuk umum, lima bulan sebelum acara. Jika terjadi tabrakan, yang diutamakan adalah yang lebih dulu menyewa, terang Saidun. Penambahan dan pembenahan Untuk menghindari benturan jadwal pemakaian, perlu adanya penambahan Auditorium. Sebagaimana dikatakan Saidun, mahasiswa harus disediakan tempat sendiri untuk melakukan aktivitas dan kegiatan. Penambahan fasilitas itu juga harus dibarengi perbaikan manajemen. Ruswan melihat masih banyak ketimpangan terkait pengelolaan fasilitas. Salah satunya, ada UKM yang mengelola fasilitas kampus. Hal ini perlu pembenahan karena tidak ada satu UKM yang diberi wewenang untuk mengelola fasilitas infrastruktur, jelas Ruswan. Ruswan menambahkan, perencanaan menjadi kata kunci utama. Sebab, dengan adanya perencanaan, baik dari Rumah Tangga maupun mahasiswa sebagai pengguna, tabrakan jadwal dipastikan tak terjadi lagi. Irma Muflihah, Yestik Arum

Beberapa pekerja tengah mendekorasi Gedung Auditorium II untuk acara pernikahan. Selain pernikahan, gedung itu kerap disewakan untuk berbagai acara. tersebut, Saidun malah mengkritik persiapan Orsenik yang terburu-buru dan kurang matang. Katanya, waktu persiapan terlalu singkat. Buntut BLU Sejak 5 Maret 2009 IAIN Walisongo menjalankan sistem Badan Layanan Umun (BLU). BLU memberi wewenang kepada lembaga untuk mengelola keuangannya secara fleksibel. Bendahara BLU IAIN Walisongo Mahin Arianto menerangkan, BLU fleksibel karena semua uang masuk dikelola langsung oleh perguruan tinggi. Sedang pengeluaran tetap di bawah pengawasan Menteri Keuangan, serta mengacu pada program kerja yang telah direncanakan. Sebagaimana termaktub dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005, tujuan BLU untuk meningkatkan pelayanan lembaga kepada masyarakat luas. Salah satunya menyediakan akses bagi masyarakat umum untuk memanfaatkan fasilitas lembaga. Pembisnisan fasilitas kampus pun disahkan. Sejak BLU diterapkan, berbagai fasilitas kampus dapat dikomersilkan kepada masyarakat. Bukan cuma Auditorium yang dipinjamkan, tapi juga bus, mobil elf, kursi, lapangan sepak bola, lapangan tenis, asrama, dan kantin. Meski begitu, BLU mengembangkan bisnis tanpa keuntungan, ujar Mahin.

Tambah Ruang Kuliah


Kebutuhan Secara kuantitas, mahasiswa Fakultas Tarbiyah tergolong banyak. Sementara, banyaknya jumlah mahasiswa tak sebanding jumlah ruang. Tarbiyah hanya memiliki tiga ruang kuliah. Jumlah itu sangat kurang. Hal itu dibenarkan Pembantu Dekan II Fakultas Tarbiyah, Abdul Wahid. Menurutnya, keterbatasan ruang kuliah kerap menghadirkan persoalan. Seperti misalnya benturan jadwal. Ditambah lagi Tarbiyah memiliki mahasiswa non reguler yang aktif kuliah pada hari jumat, sabtu dan minggu. Tentu dibutuhkan ruang lebih. Keterbatasan jumlah ruang kuliah dirasakan benar oleh mahasiswa. Apalagi jika beberapa dosen mengganti jadwal kuliah. Hal itu dirasakan sendiri oleh Ibnu Wahid. Mahasiswa Tadris Matematika angkatan 2008 itu kerap berkeliling kampus hanya sekadar mencari ruang kosong. Sulit menemukan ruang kosong, katanya. Keterbatasan ruang, sebenarnya oleh fakultas sudah disiasati dengan mengatur jadwal kuliah sampaipukul 18.00. Beda dengan fakultas lain yang hanya sampai pukul 16.00. Namun, benturan jadwal masih saja terjadi. Ibnu berharap, dengan semakin banyaknya ruang kuliah mahasiswa bisa lebih leluasa. Tak akan ada lagi kekhawatiran terkait benturan jadwal kuliah. Abdul Wahid turut menambahkan, dengan semakin bertambahnya jumlah gedung, diharapkan animo masyarakat terhadap IAIN Walisongo semakin meningkat. Namun itu bukan berarti Tarbiyah berencana menambah jumlah mahasiswa. Fakultas masih mempertimbangkannya dengan memperhatikan kuantitas gedung dan jumlah mata kuliah. Di samping itu, Yuliana Puji Hestyaningtyas berharap, penambahan gedung itu diiringi peningkatan kualitas pelayanan fakultas. Baik pelayanan fasilitas maupun pendidikan. Mahasiswi Tadris Fisika semester 3 ini menambahkan, semakin bertambahnya ruang kuliah harus dibarengi peningkatan kualitas pendidikan. Tak terkecuali, kualitas tenaga pengajar. Gedungnya bagus, kualitas pendidikan juga harus bagus. Anik Sukhaifah, Azid Fitriyah, Zulaikha
Amanat.Hamid

Proses pembangunan gedung baru Fakultas Tarbiyah.

Kuantitas mahasiswa melampaui ketersediaan ruang. Tak terelakkan, benturan jadwal kuliah. Sebagai solusi, penambahan ruang.

eringat Suatmi basah mengalir. Dua ember berisi adukan semen dijinjing dengan kedua tangan. Bersama sekitar seratus lima puluh pekerja bangunan lainnya, mereka berkeras juang mendirikan bangunan. Hari demi hari berlalu, buah usaha mereka mulai nampak. Bangunan megah kini kokoh berdiri.

Sebelumnya, lahan itu hanyalah kebun singkong. Keadaan perlahan berubah ketika beberapa alat berat memasuki kompleks Kampus 2 IAIN Walisongo pada 11 juli 2011. Ya, bangunan megah yang berdiri di tanah itu nantinya akan dimanfaatkan sebagai ruang kuliah Fakultas Tarbiyah. Gedung itu dibangun melalui lelang. Sebanyak 62 perusahaan telah tercantum dalam daftar peserta lelang pembangunan. Melalui berbagai pertimbangan, panitia menetapkan, lelang pembangunan dimenangkan oleh CV. Wahyu Nugraha dengan penawaran harga Rp. 3.559.659.000. Dengan nominal rupiah lebih dari tiga milyar itu, panitia lelang berharap mendapatkan kualitas gedung yang baik.

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

19

Pengabdian Compang-camping

CERITA PENDEK ERITA ENDEK

Jembatan Alas Tua


Cerpen Farid Helmi
ak ada yang membantah atau meragukan cerita itu. Satu cerita yang jika mendengarnya bulu kudukmu berdiri tibatiba, atau setidaknya mimpi buruk bakal menghantui tidurmu pada malam-malam berikutnya. Orang-orang percaya ihwal cerita itu, jika di jembatan yang seluruh bagiannya bercat merah itu berhuni ribuan roh. Mereka percaya roh-roh itu banyak berhuni di sana: di bawah pohon randu atau diantara semak-semak di sekitar tiang penyangga. Maka tak heran jika banyak orang lalu menyebutnya jembatan hantu atau sebutan-sebutan lain yang membuat kita ngeri mendengarnya. Tapi sebagian lain menamainya jembatan alas tua, sesuai dukuh kami, Alas Tua. Kakek berkisah bahwa sebagian mereka adalah roh pekerja yang dulu meninggal ketika membangun jembatan. Diantara mereka ada yang meninggal karena terjatuh masuk jurang, sebagian lagi mendadak mati tanpa diketahui sebab pasti. Jika ada pekerja yang celaka atau mati, mandor dan pengawas proyek hanya berkilah, mengatakan itu lumrah. Mencoba meyakinkan jika itu kecelakaan biasa, bisa menimpa siapa saja. Namun keganjilan yang terus berulang jamak melahirkan prasangka. Mereka dijadikan tumbal kata kakek Ah, kakek mengada-ada Sungguh! Lalu buat apa tumbal-tumbal itu, kek? Kakek tak menjawab. Hanya diam lalu pergi dengan sepeda yang sama tua dengan usianya. Satu cerita yang juga akrab di telinga orang-orang dukuh alas tua adalah cerita puluhan anak-anak kecil yang juga bernasib serupa. Mereka bocah-bocah nakal yang gemar keluyuran, diculik dan dimasukkan dalam karung besar lalu dibawa ke sebuah gudang. Sesampai di gudang bocah-bocah itu dihabisi satupersatu. Kepala mereka digunduli, lalu dipenggal dan ditanam di balik tanah di bawah kaki-kaki konstruksi. Konon, kematian yang tak wajar itulah yang membuat roh mereka tak diterima di surga atau neraka, telantar hingga kini di sepanjang jembatan. * Waktu berselang, tragedi berulang. Sebuah tragedi mengenaskan kembali mengingatkan kami pada cerita-cerita itu. Sebulan lalu, pagi hari di mulut jembatan, tepat ketika jalanan telah ramai oleh hilir-mudik para kuli pemanen tebu, Nyi Dasimah serta dua anaknya yang masih kecil, Togop dan Soman nekat mengakhiri hidup. Mengadang laju kereta, tubuh mereka hancur ditindas gerbong sarat batubara. Persis sepersekian detik sebelum roda baja menggilas mereka, sempat kulihat beribu rasa yang memendar dari sorot mata ketiganya. Beribu rasa: perih, pedih, serta pahit getir kehidupan hanyut bersama kematian mereka. Kematian yang seolah menjadi lorong sempit yang membebaskan dari jerih kehidupan. Kehidupan yang mungkin hanya menyisakan perih dan luka. Tidak ada yang menduga Nyi

ayam dan kicau prenjak yang mulai nyaring beradu, memecah kesunyian langit dukuh alas tua. Kini Dukuh Alas Tua mulai terbangun, bukan atas hasrat dirinya, tapi oleh suara dentuman benda besar yang diikuti teriakan dari arah yang entah. Suara itu serupa lindu, yang menggetarkan dipan, tempat orang-orang sedang menggauli malam. Seketika berhampuran orang-orang keluar rumah hendak mencari tahu muasal bunyi yang telah membangunkan mereka. Di pelataran rumah, mereka hanya beradu pandang dengan air muka yang tampak kebingungan, mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Hingga pada akhirnya terdengar dentuman yang kedua, seperti bunyi dua benda besar yang saling beradu, keras dan nyaring. Diikuti teriakan, kali ini lebih kencang. Tersadar, aku bergegas mengejar asal suara itu, yang pekat tersembunyi di balik kebun bambu. Di sana jembatan alas tua sudah rubuh, kereta penumpang yang sedang melintas sebagian gerbongnya masih menggantung, sebagian lagi ringsek masuk ke dalam jurang. Jeritan orang-orang makin kencang berharap bantuan segera datang, sementara lainnya panik berusaha menyelamatkan diri. Sementara itu, di tepi jurang dekat jembatan, aku melihat serombongan makhluk aneh dan menjijikan. Mereka ada yang kakinya pengkor, ada yang mulutnya lebar, dengan liur selalu menetes dan berbau amis. Ada pula yang tinggi jangkung, bermata besar dan bertanduk. Sebagian lagi berambut panjang hingga ke pinggul, dengan punggung berlubang, penuh ulat dan kelabang. Diantara mereka aku juga melihat Jamin, Sanah, serta Nyi Dasimah dan kedua anaknya sedang melompat-lompat, seperti sedang merayakan sesuatu. Selintas pandangan mereka mengarah kepadaku, dan memanggilku, kang Pardi, mari ikut pesta bersama kami! Dasimah akan senekat itu. Orangorang lantas menyangka keputusannya mengakhiri hidup karena kemiskinan dan jerat hutang yang tak terbayar, serta penyakit kusta yang tak kunjung sembuh. Persangkaan itulah yang membuat orang-orang paham atas keputusan yang diambil Nyi Dasimah. Lepas tiga hari setelah kematian Nyi dasimah dan kedua anaknya, dukuh alas tua kembali geger. Sepasang mudamudi, Jamin dan Sanah nekat terjun ke jurang dekat jembatan. Menjalin kasih selama delapan tahun tapi tak lantas menemu kata restu, mendorong keduanya untuk mengakhiri kisah pilu di tempat itu, jurang curam dekat jembatan. Jamin tewas seketika, sementara Sanah meninggal di perjalanan ketika akan dibawa ke rumah sakit. Mencoba meraba maksud keduanya, aku menduga-duga barangkali di ujung kesadaran yang terakhir, terselip asa di benak mereka kelak beroleh nasib baik di kehidupan berikutnya. Asa kelabu tentunya oleh Tuhan mereka dihidupkan kembali, bukan lagi sebagai manusia, tapi sebagai sepasang merpati yang ditakdirkan selalu bersama. Mungkin saja! Lantas bagaimana dengan Nyi Dasimah dan kedua anaknya. Benarkah kemiskinan yang telah melahirkan keputusasaan dan hasrat untuk mengakhiri hidup. Ah, barangkali mereka sudah jenuh mengakrabi segala kepahitan, hingga kematian menjelma takdir yang dipilihkan sebagai pembebasan bagi ketiganya. Bagi sebagian orang, kematian mereka justru tak lain adalah karena ulah rohroh itu. Seperti hendak mencari teman, mereka membisiki, semacam pulung suara halus itu menyusupi telinga orangorang yang sedang kalap dilimbung masalah. Bisikan halus yang membujuk dan merayu orang-orang untuk menuntaskan beban hidup di jembatan itu. Lengkap sudah cerita-cerita yang turut mewarnai keberadaan jembatan itu, jembatan alas tua yang menyimpan banyak cerita. * Hari masih terlalu pagi, sang fajar pun masih malu-malu, hanya kabut kemuning yang telah membentang di langit timur. Dedaunan masih basah oleh air embun yang menggelantung di pucuk daun. Dukuh alas tua masih tertidur, belum ada tanda-tanda orang-orang telah terjaga. Sunyi masih menyelimuti rumahrumah warga, hanya sesautan kokok * Keesokan hari. Di televisi, di radio dan di koran-koran semua ramai memberitakan ambruknya jembatan alas tua. Salah satu saluran televisi secara langsung menayangkan proses evakuasi korban, sementara saluran lain mempertontonkan drama dua orang yang sedang berdebat saling menyalahkan. Satu pihak berpendapat ambruknya jembatan lantaran murni kecelakaan, namun pihak lain menjelaskan jika jembatan sudah tak layak digunakan, mendesak diperbaiki. Ia menyalahkan pihak-pihak yang tetap mengijinkan kereta tetap melaju di atas jembatan. Siang menjelang, perdebatan masih panjang, bahkan seru. Tentu saja, dengan logika dan bahasa yang rumit khas kaum elit. Sementara di luar rumah, orang-orang dukuh alas tua sedang berkumpul, membincangkan penyebab ambruknya jembatan. Orang-orang mengira ambruknya jembatan alas tua karena butuh tumbal untuk menyangga kokohnya jembatan. Semarang, 12 Januari 2012

20

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

SASTRA BUDAYA ASTRA UDAYA


Dolanan Anak

Pengabdian Compang-camping

Adiluhung yang Terlupakan


Dolanan tradisional anak-anak kian menjauh dari peradaban. Kepergiannya membuat anak-anak kehilangan pertemanan. Oleh Ayati Badriyah
Pada pemeran Caraka Fest 2011 yang digelar di hotel Gumaya Semarang, karya mereka selalu dilirik pengunjung. Karya yang kami buat memanfaatkan bahan bekas, kata koordinator TDC, Bhekti Haryo Suyono saat ditemui Amanat. Menurut Bhekti, TDC dibentuk karena keprihatinan melihat serbuan mainan luar negeri yang murah tapi minim edukasi. Ia pun beberapa kali menggelar pelatihan dan mengajak masyarakat untuk kreatif membuat mainan sendiri. Kehadiran mainan semacam itu dianggap Jazuli sebagai alternatif dari dolanan tradisional anak yang kian tersingkir. Ia tidak bisa menjamin permainan itu mampu menggantikan esensi dolanan tradisional. Yang terpenting adalah dolanan itu bisa mengumpulkan anak-anak, tandas Jazuli. Namun, pada kenyataannya anak-anak zaman sekarang tidak memikirkan apakah permainan itu bernilai atau tidak. Mereka lebih suka pada permainan yang menarik. Sebagaimana Wawan yang lebih suka bermain PS. Bermain PS lebih asyik. Permainannya sangat seru! aku siswa kelas 6 SD itu. Apapun kalau fungsional akan digemari masyarakat, tutur Jazuli. Ia mencontohkan pagelaran ketoprak di beberapa daerah di Jawa Tengah yang masih eksis. Ketoprak itu masih hidup karena didukung dan digemari oleh masyarakat, meskipun hanya sedikit, Ia melanjutkan, Sama halnya dengan dolanan anak, jika anak-anak mendukungnya, akan tetap ada. Dolanan anak adalah adiluhung yang harus dipertahankan. Jazuli menyarankan, upaya untuk melestarikan dolanan anak harus dimulai dari keluarga. Kalau keluarga mendukung, dengan sendirinya akan muncul gairah anak terhadap dolanan tradisional. Begitu juga sekolah. Bagi Jazuli, sekolah memiliki peran strategis dalam melestarikan dolanan tradisional anak-anak. Ia berharap agar di sekolah-sekolah tingkat dasar dikenalkan dolanan tradisional anak-anak tempo dulu. Bisa melalui bukubuku atau video. Namun sayang, tak banyak sekolah menyadari itu. Seorang guru SD di Kecamatan Ngaliyan Semarang mengaku, di sekolahnya hanya mengajarkan sesuai kurikulum dari pemerintah. Kami tidak mengajarkan dolanan tradisional karena di kurikulum tidak ada, kata guru yang tidak mau disebut namanya itu. Jazuli menyayangkan sikap guru sekarang yang minim kreativitas. Padahal kurikulum hanya pedoman. Bisa dikreasikan dan dikembangkan, tuturnya. Ia menambahkan, pemerintah juga harus tanggap dan proaktif menggerakkan lembaga-lembaganya untuk mempertahankan budaya.

Sajak-sajak Akhmad Baihaqi Arsyad

Seper i,
Seperti daun, Tumbuh, tambah Meranggas dan jatuh Bersetubuh dengan tanah, Menyisakan tangkai Seperti bunga, Kuncup, mekar, Kelopak jatuh mengering, Bersetubuh dengan tanah, Menyisakan buah Seperti manusia, ... Semarang, 04.2011

Bulan di per engahan Oktober


Bulan bulat, bulat putih susu. Bintang bersanding di tenggara tepat. Menakar jarak dengan perkiraan mataku yang kututup satu, satu sentimeter. Gerimis malam, kecil titik, meletik. Kutungkupkan tangan, tiupkan udara, hangat. Memandang bintang titik di tenggara bulan bundar putih. Saling bercumbu. Kali tiga, tengah malam. Dan rindu. Semarang, 15-17.10.2011

asinah bingung mencari anaknya, Wawan. Anak itu biasanya bermain petak umpet, atau kalau tidak bersepeda di sekitar rumah. Tapi kini tak terlihat batang hidungnya. Hingga sore menjelang, ia baru pulang. Seharian dicari tak ketemu, ternyata Wawan dan teman-temannya bermain play station (PS) di rental dekat sekolah. Ia pulang setelah beberapa lembar uang sakunya ludes untuk main PS. Siswa kelas enam Sekolah Dasar (SD) itu menghilang usai pulang sekolah. Ya, sepulang dari sekolah ia terus menanggalkan seragam lantas pergi lagi. Demam PS yang dialami Wawan itu membuat ibunya khawatir. Akhir-akhir ini uang jajannya selalu habis dipakai bermain PS. Semenjak rental PS berdiri di desanya, anak itu enggan bermain-main di sekitar rumah. Kehadiran PS dan mainan modern lain menggusur keberadaan dolanan tradisional. Anak-anak, seperti dilakukan Wawan dan teman-temannya, lebih memilih mainan modern dibanding dolanan tradisional. Guru Besar Fakultas Seni dan Bahasa Universitas Negeri Semarang (UNNES) Muhammad Jazuli prihatin melihat hal tersebut. Ia menilai beberapa tahun terakhir perkembangan dolanan tradisional anak kian tergusur oleh berbagai media maupun permainan modern saat ini. Mamang, saat ini beberapa komunitas dan instansi pemerintah ramai-ramai mengangkat kembali dolanan anak tradisional. Upaya itu mereka kemas dalam berbagai bentuk. Ada yang berbentuk festival dan pertunjukan. Dolanan anak dipentaskan di atas panggung diiringi nyanyi-nyanyian. Tetapi Jazuli menilai, ikhtiar semacam itu kurang efektif. Usaha semacam itu hanya melestarikan dari sisi apa yang tampak, belum bisa menjamin esensi dolanan anak, tegas lelaki yang suka wayang itu.

Ia menjelaskan, substansi dolanan anak tradisional adalah agar anak-anak bisa berkumpul, bekerjasama, serta mampu bersosialisasi dengan teman-temannya. Jazuli meyakini dolanan anak tradisional memiliki misi tertentu. Ia mencontohkan lagu lir-ilir sebagai dakwah Sunan Kalijogo. Lagu lir-ilir diciptakan untuk menggiring perhatian masyarakat agar tertarik dengan Islam, jelas Jazuli. Kroeber dalam Sukirman Dharmamulya (2008) berpendapat bahwa seandainya nenek moyang manusia tidak mempunyai gairah bermain, barangkali kita akan mewarisi kebudayaan yang miskin akan keindahan ataupun miskin dengan kecendikiawan. Dolanan tradisional anak-anak sarat akan nilai. Sebagaimana yang dikatakan Tashadi (1993), permainan tradisional anak-anak di Jawa mengandung nilai-nilai budaya tertentu. Di samping itu dolanan memiliki fungsi melatih pemainnya untuk melakukan hal-hal yang berguna untuk kehidupan mereka di tengah masyarakat nantinya. Nilai-nilai itu akan tertanam sejak dini dan ketika dewasa tinggal dikembangkan, Jazuli menambahi. Permainan modern, seperti dikatakan Sumintarsih (2008), semakin menjauhkan anak-anak dari hubungan perkawanan, dari komunalistik ke individualistik. Alternatif Jazuli mengakui, setiap zaman memiliki warna tersendiri. Anakanak yang lahir pada zaman tertentu diikuti dengan dolanan yang berkembang pada zaman itu. Tidak menutup kemungkinan, generasi sekarang menciptakan permainan baru yang bisa membungkus nilainilai sosial, tuturnya. Sementara itu sebuah komunitas yang berjuluk Toys Design Center (TDC) mencoba inovasi terhadap mainan anak. Komunitas yang didalangi mahasiswa UNDIP ini berhasil menciptakan berbagai permainan anak.

Udara dan Jarak


Jika jarak memisah pijakmu dan ku, maka ijinkan aku jadi udaramu, Bagi udara, jarak tak kuasa mencipta tabir di antara kita. Jarak tak ada daya, tak ada, mati. Kau masih bernapas bukan? dan anggaplah itu aku, udaramu, lantas kuanggap kau butuh, butuh yang candu Saat rinduku mengudara, Pun ku ijinkan pula kau, Saat kau rindu, Semarang, 10.2011

Kut lis namamu pada sebaris kalimat dalam buku catatanku,


Ada jejak-jejak yang berpijak, tertinggal bersama tanggal-tanggal ajal. Hujan selalu datangkanku cerita tentang kita. Cerita ketika kita rapatkan jarak mata, lantas kau katakan; aku melihat diriku di pupilmu. Tanpa kau tanyakan tentang apa yang kulihat. Sesekali aku datang, menjajaki tempat-tempat pencil yang sempat memanggil ingin. Seketika itu datang namamu, bersama tangis, tawa juga iba. Lantas kutulis namamu pada sebaris kalimat dalam buku catatanku, agar suatu saat bisa kubaca, kukirimkan kembali, kuhapus lagi atau bahkan kubuang berikut catatanku itu. Semarang, 29.11.2011
Akhmad Baihaqi Arsyad, Lahir di Salatiga, 11 Juni 1991, Aktif di Komunitas Sastra Soeket Teki Semarang dan Kelompok Pekerja Teater [KPT] beta Semarang,

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

21

Pengabdian Compang-camping

CERMIN
Patung monumen Rangga warsita di Museum Jawa Tengah Ranggawarsita.

Ranggawarsita

Berpetuah lewat Serat


Ranggawarsita bukan sekadar nama Museum. Petuahnya mengenai laku hidup dan kerusakan zaman digulirkannya melalui serat-serat (syair).
Oleh Slamet Tridadi dan Nazilatun Nihlah

edung empat lantai itu nampak tenang di pagi hari. Beberapa pemuda berpakaian rapi masuk melalui pintu gerbang. Berjalan beberapa langkah, pandangan mereka tertuju pada sebuah patung. Itu tak lain adalah patung monumen Ranggawarsita. Di sebelah kiri patung itu terukir Serat Kalatidha dalam aksara latin, dan sebelah kanan beraksara jawa. Melihat itu, mereka paham, Ranggawarsita bukanlah sekadar nama museum. Dia adalah seorang pujangga, kata Sugiarto, salah seorang dari rombongan itu. Ya, ranggawarsita adalah seorang pujangga. Dia lahir pada Senin Legi, tanggal 10 Dzulkaidah, tahun 1728, pukul 12.00, waktu sunggang, atau 15 Maret 1802 M di Kampung Yasadipura Surakarta. Nama aslinya adalah Bagus Burham. Dia adalah putra sulung Mas Panjangswara (Ranggawarsita II) yang berpangkat Jajar yang kemudian naik menjadi Carik (Juru Tulis) di kadipaten anom Surakarta. Mas Panjangswara sendiriyang sangat terkenal dengan suara merdunya merupakan putra sulung Sastranegara (Ranggawarsita I), abdi dalem Bupati kadipaten Anom yang juga sebagai pujangga Surakarta Hadiningrat. Ibunya bernama Mas Ajeng Ranggawarsita sebuah nama yang dinisbatkan kepada nama suaminya, Ranggawarsita II. Ibu Bagus Burham adalah putri dari Sudiradirja Gantang yang mahir dalam seni. Terutama sekar Macapat cengok lagu palaransebuah cengok lagu Macapatan yang dinisbatkan dari desa kelahiranya di Desa Palar, Trucuk, Klaten. Ketika masih kecil, Bagus Burham diasuh oleh Yasadipura kakek buyutnya. Dialah yang meramalkan bahwa Bagus Burham akan menjadi pujangga besar. Setelah berusia empat tahun, Bagus Burhan diserahkan oleh Sastranegara kepada Ki Tanujaya, seorang abdi kepercayaan Sastranegara. Di usianya yang ke 12, Bagus Burham dikirim ke Ponorogo untuk berguru kepada Kyai Imam Besari, di pondok pesantren

Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo Awalnya, Bagus Burham sangat malas dan tidak menunjukkan kemajuan sedikitpun. Dia bahkan lebih senang berjudi dibanding belajar. Perbuatannya itu mempengaruhi santri lain. Akibat perbuatannya, Bagus Burham diusir dari pesantren. dia pergi bersama pengasuhnya Ki Tanujaya. Sesaat setelah pergi. Kyai Imam Besari menyuruh abdinya bernama Ki Kramaleya dan Ki Jasana untuk mencari Bagus Burham dan Ki Tanujaya. Setelah bertemu di Kediri, mereka berdua diajak kembali ke Pondok Gebag Tinar. Namun rupanya kenakalan Bagus Burham tak berkurang. Karena itulah kemudian Kyai Imam Besari marah habis-habisan. Kemarahan itu ternyata menghadirkan suasana mencekam bagi Bagus Burham. Ia menjadi takut dan mengalami diseksistensi jiwa yang luar biasa. Pelan-pelan Bagus Burham insaf dan mulai rajin belajar. Bahkan dia kerap melakukan puasa, bertapa, semadi, dan perbuatan tirakat lain. Kepandaian bagus burham mulai tampak, bahkan melampaui teman-temannya. Setelah beberapa tahun dan dipandang cukup menguasai ilmu agama dan ilmu-ilmu lain, Bagus Burham pulang ke Surakarta. Di surakarta pendidikannya ditangani langsung oleh Sastranegara kakeknya. Beranjak dewasa, pada 21 Mei 1815, Bagus Burham diserahkan kepada panemban Buminata untuk mempelajari jaya kajiwayan(pendidikan untuk mendapatkan kesaktian), dan olah fisik. Setelah tamat berguru, Bagus Burham dipanggil Sri Paduka Pakubuwana IV dan diangkat sebagai pegawai istana. Keluarga Pujangga Silsilah kepujanggaan Bagus Burham dari garis keturunan ayah bermula dari Sultan Hadiwijaya, Raja Pajang. Sultan Hadiwijaya memiliki putra bernama Pangeran Benawa yang juga bernama Sultan Prabuwijaya. Sepuluh keturunan dari Pangeran Benawa berakhir pada Bagus Burham. Secara turun temurun, kakek buyutnya

Raden Yasadipura I adalah pujangga istana. Kemudian kakeknya Sastranegara (Raden Ngabehi Ranggawarsita I) juga seorang pujangga pengganti ayahnya . Pajangswara ayahnya juga seorang carik kliwon (juru tulis)dengan gelar Raden Ngabehi Ranggawarsita II. Nama Ranggawarsita sendiri sebenarnya merupakan nama pemberian raja, sehubungan dengan jabatan sebagai carik kliwon. Jenjang kepangkatan yang pernah dilalui Bagus Burham ialah, menjadi carik di kadipaten Anom dengan gelar Mas Panjanganom pada 1819. Kemudian pada 1822 dinaikkan menjadi mantri carik dengan gelar Mas Ngabehi Sarataka. Kemudian pada 1830 ia diangkat menjadi carik kliwon. Sejak saat itu, Bagus Burham lebih populer dengan sebutan Pujangga Raden Ngabehi Ranggawarsita. Oleh raja, pada 1845 Ranggawarsita dinobatkan menjadi pujangga istana menggantikan kakeknya. Manjadi seorang pujangga bukan hal mudah. Sebagaimana tertulis dalam Serat Wirid Hidayat Jati, dengan gelar pujangga, berarti Ranggawarsita adalah orang yang mahir dalam hal sastra, menguasai bahasa kawi (kesusastraan), pandai mengolah kata-kata, menguasai dan mampu memperindah irama lagu, kaya dan mahir bercerita, kaya akan segala ilmu dan kepandaian lahir batin, tajam penglihatan mata batinnya, serta memiliki daya ingat yang kuat. Otto Sukanto Cr, 2006, mengatakan, kepiawaian Ranggawarsita dalam bersastra tak diragukan lagi. Karyanya sangat banyak. Bahkan sampai sekarang belum ditemukan jumlah pastinya. Kisarannya adalah 60 buah, bahkan lebih. Meski secara kuantitas belum ada kepastian, secara kualitas sudah lebih dari cukup. Zaman Edan Ratune ratu utama, Patihe patih linuwih, pra nayaka tyas raharja, panekare becik-becik, paranedene tan dadi, paliyasing kala bendu, mandar mangkin andadra, rubeda angrebedi, beda-beda ardaning wong saknegara. Rajanya raja yang utama, patihnya

memiliki banyak kelebihan, semua anak buahnya sejahtera, pemuka masyarakatnya baik, tapi segalanya itu tak menciptakan kebaikan, oleh karena daya zaman kalabendu, bahkan kerepotan-kerepotan makin menjadi-jadi, lain orang lain pikiran dan maksudnya. Itulah potongan serat kalatida. Serat yang dikategorikan dalam Serat jangka karya sastra yang bersifat ramalan. Dalam serat itu Ranggawarsita bercerita tentang zaman edan. Jika kita menarik garis ke zaman sekarang ini, syair itu akan berbunyi, Presidennya orang berpendidikan, menterinya memiliki banyak kelebihan, jajaran pemerintahan dibawahnya sejahtera, namun segala kelebihan itu tak membekaskan kebaikan. Justru yang terjadi adalah berbagai pelanggaran. Begitulah keadaan bangsa kita saat ini. Di media masa banyak dikabarkan berita korupsi oleh pemerintah, kriminal, serta kasus-kasus lain. Kehidupan masyarakat menjadi morat-marit dan memprihatinkan. Sulit mencari orang baik. Tercantum dalam syair Ranggawarsita. Orang-orang dalam zaman pakewuh (edan), kerendahan budinya makin menjadi-jadi, kekacauan bertambah, banyak orang berhati sesat, melanggar peraturan yang benar, kesetiaan sudah tiada terlihat. Bagi orang yang tahu akan kebenaran, dalam hati terasa bingung, apabila tidak turut berbuat sesat, hidupnya akan merana, kalau ikut, menjadi rendah budi pekertinya (Purwadi, 2004). Pesan Ranggawarsita itu tentu bukan main-main. Bahkan, zaman ini mungkin akan menjadi semakin edan jika generasi bangsa ini tak benar-benar merenungi pesan itu. Dan nampaknya perenungan itulah yang saat ini luput dilakukan. Otto Sukanto mengatakan, agaknya generasi bangsa ini sedang dan telah melupakan pesan, amanat serta nilai-nilai sosial budaya yang diamanatkan oleh leluhur bangsa ini.

22

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

Amanat.Slamet Tridadi

MIMBAR

Pengabdian Compang-camping

Peran Perguruan Tinggi Mencegah Bunuh Diri Ekologis

Oleh Eko Budihardjo


stilah Bunuh diri Ekologis (Ecological Suicide) digaungkan oleh John Ormsbee Simonds dalm bukunya Earthscape (1978). Jadi sudah semenjak lebih dari 3 dekade yang silam Simonds mengungkapkan kekhawatirannya terhadap gejala perusakan planet bumi ini oleh keserakahan manusia. Konon, planet bumi ini cukup bagi seluruh umat manusia, tetapi tidak cukup bagi seorang mahluk berpredikat manusia yang serakah. Padahal menurut ajaran agama, tugas utama manusia sebagai mahluk Tuhan yang paling mulia adalah rahmatan lil alamin, atau memberi rahmat bagi alam semesta. Namum kenyataannya justru banyak anak manusia yang malah merusak alam. Pantai diurug untuk pembangunan hotel. Bukit-bukit dikepras ditanami rumah mewah. Pohon-pohon ditebang untuk permukiman dan kota baru. Isi laut dikuras. Hutan dijarah. Bumi dikeruk. Dan yang melakukan semua itu adalah notabene mereka yang mendapat amanah untuk membangun republik ini. Nah, dimana peran perguruan tinggi untuk mencegah kecenderungan bunuh diri

Sebagai sumber ilmu, barang tentu perguruan tinggi menempati posisi kunci, terutama dalam mengungkap, menggali, dan menyebarluaskan teori dan ilmu tentang pengelolaan planet bumi ini dengan landasan pembangunan berkelanjutan.
Penanggulangan Guna mencegah merebaknya kecenderungan bunuh diri ekologis, para pimpinan perguruan tinggi (Rektor dan para Pembantu Rektor), pimpinan Fakultas (Dekan dan para Pembantu Dekan), pimpinan Jurusan (Ketua dan Sekretaris Jurusan) dan pimpinan program-program studi mesti memberi contoh keteladanan terlebih dulu. Tatkala saya menjadi Rektor Perguruan tinggi Diponegoro dan mengawalinya dengan bedhol kampus dari Pleburan (luas 8 hektar) ke Tembalang (luas 213 hektar), pertama-tama saya canangkan gerakan Kampus Hijau Ditetapkan bahwa Koe.

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

ekologis semacam itu. Apa pula masalah dan kendala yang dihadapi. Dan bagaimana cara untuk menanggulanginya. Mari kita coba untuk mengupasnya. Masalah dan Kendala Sebagai sumber ilmu, barang tentu perguruan tinggi menempati posisi kunci, terutama dalam mengungkap, menggali, dan menyebarluaskan teori dan ilmu tentang pengelolaan planet bumi ini dengan landasan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Batasan pengertian tentang istilah pembangunan berkelanjutan yang sudah diterima secara luas adalah Pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan sendiri (Brundtland Commission, 1987). Masalahnya, sebagaimana dikemukakan oleh Leal Filho dalam tulisannya berjudul About the Role of Universities and Their Contribution to Sustainable Development (2011) adalah sebagai berikut. Pertama, pengertian tentang berkelanjutan terlalu abstrak, jauh dari kenyataan hidup sehari-hari. Kedua, cakupan atau ruang lingkup keberlanjutan terlalu luas dan tak ada ukuran yang jelas. Ketiga, kurangnya tenaga ahli yang kompeten untuk menerapkan kaidah keberlanjutan dalam tindak nyata. Keempat, terbatasnya dana yang tersedia untuk program atau proyek keseimbangan ekologis atau pelestarian lingkungan. Kelima, agenda untuk pembangunan berkelanjutan bukan merupakan prioritas atau belum menjadi arus utama (mainstream) dalam benak para penentu kebijakan. Kendala yang dihadapi, khususnya di perguruan tinggi-perguruan tinggi juga tidak kalah banyaknya. Antara lain kenyataan bahwa ilmu-ilmu lingkungan, termasuk yang berkaitan den-

gan pembangunan berkelanjutan, masih belum banyak dipahami oleh pejabatpejabat tinggi. Memang boleh dikatakan ilmu lingkungan di tanah air kita relatif merupakan ilmu baru. Kecuali itu, kendala yang cukup merisaukan adalah kendala finansial dan adminstratif, karena memang boleh dikata tidak ada dana khusus yang cukup signifikan untuk pelestarian lingkungan kampus agar betul-betul bisa berkelanjutan.

fisien Dasar Bangunan (KDB) di Kampus Tembalang adalah 30%. Maksudnya hanya 30% lahan yang boleh digunakan untuk bangunan dan 70% untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH). Agar rencana penghijauan kampus lebih profesional, khusus saya mengundang Prof. Dr. Soehardi, mantan Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada sebagai konsultan. Dirancangnya penghijauan kampus yang tidak sekadar berorientasi pada keteduhan atau kerindangan tetapi juga member manfaat ekonomis, menyejahterakan dan membahagiakan masyarakat. Jenis pohon yang dipilih termasuk hortikultura, dan juga tanaman yang bisa menjadi pakan ternak. Soalnya di kampus Tembalang banyak berkeliaran sapi-sapi milik penduduk. Nah rencananya semua sapi itu dikandangkan dan pakannya dipasok dari tanaman yang ditanam di kampus Tembalang. Selain itu dipilih jenis tanaman yang bisa menarik kedatangan burung-burung. Alangkah indahnya bila sambil belajar di kelas para mahasiswa juga mendengar kicau burung. Saya ingat pendapat arsitek lansekap dari negara Barat bahwa Park is Urban Paradise Taman adalah sorganya . perkotaan. Bila mahasiswa sudah merasa sumpek di dalam kelas, lantas keluar ke taman kampus, serasa menikmati surga. Mendengar kicau burung, desir angin dan dedauanan, syukur juga gemericiknya air. Di rumah serasa di surga (Baiti Jamnati) di taman kampus pun merasa di surga pula. Langkah ke Depan Langkah ke depan yang perlu dilakukan oleh sivitas akademika Perguruan tinggi adalah; Pertama, Menyusun pandaun praktis bagi segenap pemangku kepentingan tentang berbagai aras (level) pembanganan berkelanjutan, mencegah terjadinya bunuh diri ekologis. Kedua, Menerapkan aturan prosedur dan mekanisme yang jelas dengan prinsip insentif dan disinsentif, perharagaan dan sanksi, atau sistem meritokrasi dalam pengelolaan lingkungan. Ketiga, Memotivasi segenap pihak agar lebih ramah lingkungan dalam setiap kegiatannya, hemat energi dan kian efisien dalam pemanfaatan sumbernya. Ketiga, Mendirikan dan mengembangkan pusat-pusat studi lingkungan, penelitian tentang kursus-kursus tentang lingkungan bagi kalangan, baik di luar maupun di dalam kalangan Perguruan tinggi itu sendiri. Keempat, Membuat rencana, program dan pelaksanaan kegiatan pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan di kampus maupun di luar kampus. Melalui langkah-langkah tersebut diatas, peran Perguruan tinggi akan amat strategis dan menonjol sebagai garda depan pelestari lingkungan dan pengemban kaidah pembangunan berkelanjutan dalam aksi nyata. Insya Allah, dengan demikian maka bencana atau musibah bunuh diri ekologis akan dapat dicegah. -- Prof.Ir.H. Eko Budihardjo, MSc, Guru Besar Arsitektur, Mantan Rektor Universitas Diponegoro

23

Abdul Muti

SOSOK

Pengabdian Compang-camping

Cari Saja Titik Temunya


ukankah Islam dan Hindu samasama menyembah batu? tanya seorang kawan beragama Hindu kepada Muti. Ia tak lekas menjawab. Yang ia pikirkan ketika itu ialah, bagaimana memberi penjelasan dengan bahasa yang bisa diterima kawannya, tapi tak bertentangan dengan keyakinannya sendiri. Sama ketika di Australia. Kawan Muti yang kebetulan aktifis Hak Binatang mengatakan, Islam itu agama kanibal Hampir . di setiap ritual keagamaan ada prosesi penyembelihan. Bukankah binatang punya hak hidup? tanya kawan itu. Muti menjawab berdasar keyakinannya. Karena binatang tak punya akal, katanya. Kalau yang setiap tak punya akal boleh dibunuh, apakah orang gila dan idiot juga boleh dibunuh? balas kawan Muti lagi. Muti bisa saja membantah, bahkan memusuhi, tapi itu urung dilakukan. Ia tetap menghormati keyakinan kawannya yang berbeda itu. Sikap semacam itulah yang menurut Muti harus ditanamkan pada setiap diri, terutama bagi masyarakat multi kultural seperti Indonesia. Banyak sekali perbedaan yang harus disikapi dengan bijaksana, mulai dari keberagaman suku, ras, budaya, agama, bahkan paham agama. Selama ini, menurut Muti, keberagaman itu belum diformulasikan menjadi gerakan kultural yang khas Indonesia. Masyarakat melihat perbedaan lebih sebagai kenyataan sosial dibanding sebagai proses rekayasa sosial.

Misal, pertemuan seseorang dengan orang lain yang beda paham, itu lebih karena kebetulan. Bukan karena kesengajaan atau rekayasa pertemuan. Di balik ketidak sengajaan itu, mereka tidak memiliki dasar filosofis bagaimana harus menyikapi perbedaan. Padahal mereka yang berbeda itu tetap menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Berangkat dari kenyataan itu, Muti merasa tertarik untuk membangun kegiatan kultural. Langkahnya, dengan membangun kesadaran masyarakat akan adanya kemajemukan. Masyarakat diharapkan memiliki kearifan untuk menyikapi segala perbedaan dengan sikap saling memahami. Dalam setiap perbedaan, menurutnya, ada satu titik temu. Misalnya NU dan Muhammadiyah. Meskipun praktik ibadah mereka berbeda, mereka punya satu visi yang sama. Mereka sama-sama konsen untuk memberantas terorisme dan korupsi. Keduanya bisa bekerja sama membangun gerakan moral anti korupsi, katanya. Itulah yang musti disadari. Sebab berbagai perselisihan di negeri ini terjadi kebanyakan karena masyarakat salah menyikapi perbedaan. Yang mereka cari bukan titik temu, melainkan jurang pemisah. Aktifis Kemanusiaan Secara pribadi, Muti adalah sosok yang peduli soal kemanusiaan. Langkah yang ditempuh, salah satunya dengan bergabung dalam Forum Kemanusiaan Indonesia. Melalui forum itu, ia bisa melakukan banyak hal menyangkut kemanusiaan, seperti menghimpun dana kemanusiaan, melakukan penyuluhan, dan lain-lain.

Perhatiannya terhadap masalah kemanusiaan membuatnya dipercaya menjadi tim seleksi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM). Ia juga kerap terbang ke luar negeri untuk mengisi beberapa seminar. Bagi kalangan intelektual, namanya sudah tak asing. Bahkan ketika masih di Australia, nama Abdul Muti melambung lantaran jabatan yang disandangnya sebagai Presiden Islamic Assosiation The Flinders University di Australia Selatan. Meski begitu, sosoknya tetap mengutamakan kesederhanaan. Itu yang dipesankan orangtua saya, katanya. Dalam segala hal, ia mencoba tampil sederhana. Namun, ada satu hal yang baginya tak boleh sederhana. Yaitu soal buku. Kebiasaan itu sudah ditanamkannya sejak kuliah. Ceritanya, ketika masih semester tiga dulu, ia masih memakai celana abuabu seragamnya SMA. Ketika punya uang, ia lebih memilih membeli buku dibanding membeli celana. Pakaian bisa sederhana, tapi buku tidak! katanya. Hammidun Nafi S

Nama: Dr. H. Abdul Muti, M.Ed Pendidikan: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang (1991), Master of Education (MEd) School of Education, the Flinders University Of South Australia (1997), Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah Ciputat (2008) Organisasi: Surat Kabar Mahasiswa Amanat (1991), Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah IMM Jawa Tengah 1993-1994,

Presiden Islamic Association The Flinders University of South Australia 1995-1997, Wakil Sekretaris Tim Penanggulangan Terorisme Depag RI 2006. Karya: Hak Azasi Pendidikan murah Manusia (2008), Muhammadiyah Progresif: Manifesto Pemikiran Kaum Muda Muhammadiyah (2007), Muhammadiyah Politik Islam Inklusif murah (2006), Paradigma Pendidikan Islam (2001), Deformalisasi Islam (2004), Kristen Muhammadiyah: Konvergensi Muslim Kristen Dalam Pendidikan (Juni, 2009), Inkulturasi Islam (September 2009).

24

AMANAT Edisi 117/ Januari 2012

You might also like