You are on page 1of 18

Aceh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Aceh
Provinsi

Lambang

Motto: "Pancacita"
(dari bahasa Sansekerta yang artinya "Lima cita-cita")

Peta lokasi Aceh

Indonesia 7 Desember 1959 (hari jadi) UU RI No. 24/1956 UU RI No. 44/1999 Dasar UU RI No. 18/2001 hukum UU RI No. 11/2006 (Pemerintahan Aceh) Banda Aceh (dahulu Ibu kota Koetaradja) 1 40' - 6 30' LU Koordinat 94 40' - 98 30' BT Pemerintahan - Gubernur drh. Irwandi Yusuf, M.Sc.. - DAU Rp. 716.646.172.000,- (2011) Luas - Total 58.375,63 km2 Populasi (2010) - Total 4.494.410 - Kepadata 77/km n Demografi

Negara Hari jadi

Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, - Suku Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, bangsa Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon dan Nias. - Agama Islam (99,85%), Kristen (0,15%) Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, - Bahasa Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon, Nias dan Indonesia.[5][6] Zona waktu WIB Kabupaten 18 Kota 5 Kecamatan 276 Desa/kelura 6455 han Lagu Bungong Jeumpa daerah Situs web http://www.acehprov.go.id/ Aceh yang sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali. Yang terberat adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Singkil dan Simeulue. Aceh mempunyai kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam. Sumber alam itu terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga terkenal dengan sumber hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane, Aceh Tenggara, Seulawah, Aceh Besar, sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh Tenggara.

Sejarah

Masjid Raya Baiturrahman Pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaankerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda. Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya. Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.

Kesultanan Aceh
Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudera Pasai yang hancur pada abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.

Perang Aceh

Teuku Umar Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli yang berpura-pura masuk Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar Aceh. Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh pada tahun 1904. Saat itu, Ibukota Aceh telah sepenuhnya direbut Belanda. Namun perlawanan masih terus dilakukan oleh Panglima-panglima di pedalaman dan oleh para Ulama Aceh sampai akhirnya jepang masuk dan menggantikan peran belanda. Perang Aceh adalah perang yang paling banyak merugikan pihak belanda sepanjang sejarah penjajahan Nusantara.

Masa penjajahan
Bangkitnya nasionalisme

Replika pesawat Dakota RI-001 Seulawah sumbangan rakyat Aceh di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Mr. Teuku Muhammad Hasan). Saat Jepang mulai mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis Eropa dari Asia, tokoh-tokoh pejuang Aceh mengirim utusan ke pemimpin perang Jepang untuk membantu usaha mengusir Belanda dari Aceh. Negosiasi dimulai di tahun 1940. Setelah beberapa rencana pendaratan dibatalkan, akhirnya pada 9 Februari 1942 kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Masuknya Jepang ke Aceh membuat Belanda terusir secara permanen dari tanah Aceh. Awalnya Jepang bersikap baik dan hormat kepada masyarakat dan tokohtokoh Aceh, dan menghormati kepercayaan dan adat istiadat Aceh yang bernafaskan Islam. Rakyat pun tidak segan untuk membantu dan ikut serta dalam program-program pembangunan Jepang. Namun ketika keadaan sudah membaik, pelecehan terhadap masyarakat Aceh khususnya kaum perempuan mulai dilakukan oleh personil tentara Jepang. Rakyat Aceh yang beragama Islam pun mulai diperintahkan untuk membungkuk ke arah matahari terbit di waktu pagi, sebuah perilaku yang sangat bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu pecahlah perlawanan rakyat Aceh

terhadap Jepang di seluruh daerah Aceh. contoh yang paling terkenal adalah perlawanan yang dipimpin oleh Teungku Abdul Jalil, seorang ulama dari daerah Bayu, dekat Lhokseumawe.

Masa Republik Indonesia


Sejak tahun 1976, organisasi pembebasan bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah berusaha untuk memisahkan Aceh dari Indonesia melalui upaya militer. Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani persetujuan damai sehingga mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun. Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa. Di samping itu, telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah Aceh, khususnya di bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri dari Aceh dan membentuk provinsi-provinsi baru.

Gerakan Aceh Merdeka


Pasca Gempa dan Tsunami 2004, yaitu pada 2005, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sepakat mengakhiri konflik di Aceh. Perjanjian ini ditandatangani di Finlandia, dengan peran besar daripada mantan petinggi Finlandia, Martti Ahtisaari.

Kependudukan
Suku bangsa
Provinsi Aceh memiliki 13 suku asli, yaitu: Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon dan Nias. Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan hasil sebagai berikut: Aceh (50,32%), Jawa (15,87%), Gayo (11,46%), Alas (3,89%), Singkil (2,55%), Simeulue (2,47%), Batak (2,26%), Minangkabau (1,09%), Lain-lain (10,09%)

Bahasa

Kamus Bahasa Aceh - Indonesia Provinsi Aceh memiliki 13 buah bahasa asli yaitu bahasa Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon dan Nias.

Agama
Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam. Agama lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu. Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam.

Pendidikan
Dalam hal pendidikan, sebenarnya provinsi ini mendapatkan status Istimewa selain dari D.I. Yogyakarta. Namun perkembangan yang ada tidak menunjukkan kesesuaian antara status yang diberikan dengan kenyataannya. Pendidikan di Aceh dapat dikatakan terpuruk. Salah satu yang menyebabkannya adalah konflik yang berkepanjangan dan penganaktirian dari RI, dengan sekian ribu sekolah dan institusi pendidikan lainnya menjadi korban. Pada UAN (Ujian Akhir Nasional) 2005 ada ribuan siswa yang tidak lulus dan terpaksa mengikuti ujian ulang. Aceh juga memiliki sejumlah Perguruan Tinggi Negeri seperti

Universitas Syiah Kuala IAIN Ar-Raniry Universitas Malikussaleh Politeknik Negeri Lhokseumawe Politeknik Aceh STAIN Malikussaleh Lhokseumawe STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa

Aceh juga memiliki beberapa Universitas/Akademi Swasta seperti;


Universitas Abulyatama Aceh Universitas Muhammadiyah Aceh Universitas Iskandar Muda Universitas Serambi Mekkah Akafarma Banda Aceh Akademi Keperwatan

Pemerintahan

Kabupaten dan Kota di Aceh Sistem pemerintahan yang berlaku di Aceh saat ini ada 2, yaitu Sistem Pemerintahan Lokal Aceh dan Sistem Pemerintahan Indonesia. Berdasarkan penjenjangan, perbedaan yang tampak adalah adanya Pemerintahan Mukim di antara kecamatan dan gampong.

Sistem Pemerintahan Indonesia


Sejak tahun 1999, Aceh telah mengalami beberapa pemekaran wilayah hingga sekarang mencapai 5 pemerintahan kota dan 18 kabupaten sebagai berikut:

No Kabupaten/Kota . 1 Kabupaten Aceh Barat Kabupaten Aceh Barat 2 Daya 3 Kabupaten Aceh Besar 4 Kabupaten Aceh Jaya Kabupaten Aceh 5 Selatan Kabupaten Aceh 6 Singkil Kabupaten Aceh 7 Tamiang Kabupaten Aceh 8 Tengah Kabupaten Aceh 9 Tenggara 10 Kabupaten Aceh Timur 11 Kabupaten Aceh Utara Kabupaten Bener 12 Meriah 13 Kabupaten Bireuen 14 Kabupaten Gayo Lues Kabupaten Nagan 15 Raya 16 Kabupaten Pidie 17 Kabupaten Pidie Jaya 18 Kabupaten Simeulue 19 Kota Banda Aceh 20 Kota Langsa 21 Kota Lhokseumawe 22 Kota Sabang 23 Kota Subulussalam Jumlah

Pusat pemerintahan Meulaboh Blangpidie Kota Jantho Calang Tapak Tuan Singkil Karang Baru Takengon Kutacane Idi Rayeuk Lhoksukon Simpang Tiga Redelong Bireuen Blang Kejeren Suka Makmue Sigli Meureudu Sinabang

Kecama tan 12 9 23 6 16 10 12 14 11 21 27 7 17 11 5 22 8 8 9 5 4 2 5 264

Desa (atau sederajat) 321 132 592 172 369 127 128 268 164 580 1.160 232 514 97 213 946 215 135 80 52 67 18 74 6.656

Perwakilan

Meuligoe, tempat kediaman gubernur Aceh Berdasarkan Pemilihan Umum Legislatif 2009, Provinsi Aceh mengirimkan 13 anggota DPR, dengan perincian: Partai Demokrat tujuh orang, PKS dan Partai Golkar masing-masing dua orang, dan PAN serta PPP masing-masing satu orang.[14] Selain itu, empat anggota DPD yang berasal dari Aceh adalah Tgk. Abdurrahman BTM., H.T. Bachrum Manyak, Dr. Ahmad F. Hamid, M.S., dan Ir. H.T. A. Khalid, M.M.[15] Pada tingkat provinsi, DPRA dengan 69 kursi tersedia dikuasai oleh Partai Aceh (33 kursi)[14]. Partai Partai Aceh Partai Demokrat Partai Golkar PAN PKS PPP Partai Daulat Aceh PDI-P PKPI PBB PKB Partai Patriot Total Kur % si 33 47,8 10 8 5 4 3 1 1 1 1 1 1 69 14,5 11,6 7,3 5,8 4,4 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 100, 0

Sistem Pemerintahan Lokal Aceh


Sistem pemerintahan lokal Aceh terdiri dari gampng, mukim, nanggro, sago dan keurajeun.

Sumber daya alam

Minyak bumi Gas alam Emas Hutan

Kayu Kopi Ikan Rempah-rempah

Perekonomian
Pra-tsunami 2004 Sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004, perikanan merupakan salah satu pilar ekonomi lokal di Aceh, menyumbangkan 6,5 persen dari Pendapatan Daerah Bruto (PDB) senilai 1,59 triliun pada tahun 2004 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2005). Potensi produksi perikanan tangkap mencapai 120.209 ton/tahun sementara perikanan budidaya mencapai 15.454 ton/tahun pada tahun 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2004). Produksi perikanan tersebut merata, baik di Samudera Hindia maupun Selat Malaka. Industri perikanan menyediakan lebih dari 100.000 lapangan kerja, 87 persen (87.783) di sub sektor perikanan tangkap dan sisanya (14.461) di sub sektor perikanan budidaya. Sekitar 53.100 orang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian utama. Namun demikian, 60 persen adalah nelayan kecil menggunakan perahu berukuran kecil. Dari sekitar 18.800 unit perahu/kapal ikan di Aceh, hanya 7.700 unit yang mampu melaut ke lepas pantai. Armada perikanan tangkap berskala besar kebanyakan beroperasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Barat dan Aceh Selatan. Menurut Nurasa et al. (1993), nelayan Aceh sebagian besar menggunakan alat tangkap pancing (hook and line). Alat tangkap lain adalah pukat, jaring cincin (purse seine), pukat darat, jaring insang, jaring payang, jaring dasar, jala dan lain-lain. Infrastruktur penunjang industri ini meliputi satu pelabuhan perikanan besar di Banda Aceh, 10 pelabuhan pelelangan ikan (PPI) utama di 7 kabupaten/kota dan sejumlah tempat pelelangan ikan (TPI) kecil di 18 kabupaten/kota. Selain itu terdapat 36.600 hektar tambak, sebagian besar tambak semi intensif yang dimiliki petambak bermodal kecil. Tambaktambak ini tersebar di Aceh Utara, Pidie, Bireuen dan Aceh Timur. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia mengelola sebuah pusat pendidikan dan latihan (Pusdiklat) budidaya, sebuah pusat penelitian dan pengembangan (Puslitbang) budidaya, sebuah laboratorium uji mutu perikanan dan sebuah kapal latih. Di tiap kabupaten/kota, terdapat dinas perikanan dan kelautan. Total aset di sektor perikanan pra-tsunami mencapai sekitar Rp 1,9 triliun. Pasca-tsunami 2004

Kerusakan akibat tsunami di Banda Aceh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2005) memperkirakan 9563 unit perahu hancur atau tenggelam, termasuk 3969 (41,5%) perahu tanpa motor, 2369 (24,8%) perahu bermotor dan 3225 (33,7%) kapal motor besar (5-50 ton). Selain itu, 38 unit TPI rusak berat dan 14.523 hektar tambak di 11 kabupaten/kota rusak berat. Diperkirakan total kerugian langsung akibat bencana tsunami mencapai Rp 944.492,00 (50% dari nilai total aset), sedangkan total nilai kerugian tak langsung mencapai Rp 3,8 milyar. Sebagian besar kerugian berasal dari kerusakan tambak. Kerusakan tambak budidaya tersebar merata. Bahkan di daerah yang tidak terlalu parah dampak tsunaminya (misalnya di Aceh Selatan), tambaktambak yang tergenang tidaklah mudah diperbaiki dan digunakan kembali. Total kerugian mencapai Rp 466 milyar, sekitar 50 persen dari total kerugian sektor perikanan. Kerugian ekonomi paling besar berasal dari hilangnya pendapatan dari sektor perikanan (tangkap dan budidaya). Hilangnya sejumlah besar nelayan, hilang atau rusaknya sarana dan prasarana perikanan termasuk alat tangkap dan perahu serta kerusakan tambak menjadikan angka kerugian sedemikian besarnya.

Kapal PLTD Apung yang dibawa oleh tsunami sampai ke darat Diperkirakan produksi perikanan di Aceh akan anjlok hingga 60 persen. Proses pemulihan diperkirakan membutuhkan waktu paling sedikit 5 tahun. Di subsektor perikanan tangkap, bahkan diduga perlu waktu lebih lama (sekitar 10 tahun), karena banyaknya nelayan yang hilang atau meninggal selain rusaknya sejumlah besar perahu atau alat tangkap. Berdasarkan asumsi tersebut, total kerugian yang mungkin terjadi hingga sektor ini pulih total dan kembali ke kondisi pra-tsunami diperkirakan mencapai Rp 3,8 triliun.

Perbankan
Aceh terdapat dua kantor Bank Indonesia, bank sentral Republik Indonesia, yang dibuka di Banda Aceh (kelas III) dan Lhokseumawe (kelas IV). Tugas Bank Indonesia yang terdiri dari bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan. Di daerah-daerah tugas Bank Indonesia lebih dominan di bidang sistem pembayaran dan perbankan.

Di bidang sistem pembayaran menyelenggarakan sistem kliring dan BIRTGS dan di bidang perbankan mengawasi dan membina bank-bank agar beroperasi dengan sehat dan menguntungkan.

Industri
Aceh memiliki sejumlah industri besar di antaranya

PT Arun: Kilang Pencairan Gas Alam di Lhokseumawe PT PIM: Pabrik Pupuk Iskandar Muda di Lhokseumawe PT AAF: Pabrik Pupuk Asean di Lhokseumawe PT KKA: Pabrik Kertas di Lhokseumawe PT SAI-Lafarge: Semen Andalas di Aceh Besar ExxonMobil: Kilang Gas Alam di Lhokseumawe

Pertambangan
Emas di Woyla, Seunagan, Aceh Barat; Pisang Mas di Beutong, Payakolak, Takengon Aceh Tengah Batubara di Kaway XI, di Semayan di Aceh Barat, Batugamping di Tanah Greuteu, Aceh Besar; di Tapaktuan

Pariwisata

Museum Aceh di tahun 1915-1930


Masjid Raya Baiturrahman Graveyard in Bitay Village [1] Cut Nya Dien House [2] Indonesian Airline Monument. Seulawah-Indonesian First Airplane [3] Tsunami Monument & Garden [4]

Museum Aceh [5] Taman Putroe Phang Kuburan Kerkhoff Danau Laut Tawar Danau Aneuk Laot Iboih

Seni dan Budaya


Aceh merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya galibnya wilayah Indonesia lainnya. Aceh mempunyai aneka seni budaya yang khas seperti tari-tarian, dan budaya lainnya seperti:

Didong (seni pertunjukan dari masyarakat Gayo) Meuseukee Eungkot (sebuah tradisi di wilayah Aceh Barat) Peusijuek (atau Tepung tawar dalam tradisi Melayu)

Sastra

Bustanussalatin Hikayat Prang Sabi Hikayat Malem Diwa Legenda Amat Rhah manyang

Legenda Putroe Neng Legenda Magasang dan Magaseueng

Senjata tradisional

Pedang Sikin Panjang adalah salah satu senjata tradisional dari Aceh Rencong adalah senjata tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah. Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau ataupun pedang). Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya, seperti Sikin Panjang, Perisai Awe, Perisai Teumaga, siwah, geuliwang dan peudeueng.

Rumah Tradisional

Rumah tradisional Aceh di Museum Aceh Rumah tradisonal suku Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramo keu (serambi depan), seuramo teungoh (serambi tengah) dan seuramo likt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).

Tarian
Provinsi Aceh yang memiliki setidaknya 10 suku bangsa, memiliki kekayaan tari-tarian yang sangat banyak dan juga sangat mengagumkan. Beberapa tarian yang terkenal di tingkat nasional dan bahkan dunia merupakan tarian yang berasal dari Aceh, seperti Tari Rateb Meuseukat dan Tari Saman. Tarian Suku Aceh

Tarian Suku Gayo


Tari Laweut Tari Likok Pulo Tari Pho Tari Ranup Lampuan Tari Rapai Geleng Tari Rateb Meuseukat Tari Ratoh Duek Tari Seudati Tari Tarek Pukat

Tari Saman Tari Bines Tari Didong Tari Guel Tari Munalu Tari Turun Ku Aih Aunen

Tarian Suku Lainnya


Tari Ula-ula Lembing Tari Mesekat

Tari Seudati di Sama Langa tahun 1907

Tari Saman dari Gayo Lues

Tari Guel, khas Suku Gayo

Tari Didong

Makanan Khas
Aceh mempunyai aneka jenis makanan yang khas. Antara lain timphan, gulai itik, kari kambing yang lezat, Gulai Pliek U dan meuseukat yang langka. Di samping itu emping melinjo asal kabupaten Pidie yang terkenal gurih, dodol Sabang yang dibuat dengan aneka rasa, ketan durian (boh drien ngon bu leukat), serta bolu manis asal Peukan Bada, Aceh Besar juga bisa jadi andalan bagi Aceh.

Pahlawan
Cut Nyak Dien ketika ditangkap Belanda Bangsa Aceh merupakan bangsa yang gigih dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kegigihan perang bangsa Aceh, dapat dilihat dan dibuktikan oleh sejumlah pahlawan (baik pria maupun wanita), serta buktibukti lainnya (empat jenderal Belanda tewas dalam perang Aceh, serta kuburan Kerkhoff yang pernah mencatat rekor sebagai kuburan Belanda terluas di luar Negeri Belanda).

Pahlawan Perempuan

Pahlawan Pria

Cut Nyak Dhien Cut Nyak Meutia Laksamana Malahayati Pocut Baren Teungku Fakinah

Sultan Iskandar Muda Teungku Chik Di Tiro Teuku Umar Panglima Polem Teuku Nyak Arif Mr. Teuku Muhammad Hasan

Tokoh asal Aceh

Yap Thiam Hien

Hamzah Fansuri Nuruddin ar-Raniri Syiah Kuala Syamsuddin al-Sumatrani Tun Sri Lanang Teungku Chik Pante Kulu Ismail al-Asyi Mohamad Kasim Arifin Teungku Hasan Muhammad di Tiro P. Ramlee Teungku Ahmad Dewi

ACEH

Fika Anggia Pertiwi XII IPA 5 SMAN 4 Bandung

You might also like