You are on page 1of 7

ACARA I I. JUDUL Latihan Estimasi Kerapatan Liputan Kanopi II.

TUJUAN Melatih mahasiswa untuk dapat melakukan estimasi kerapatan liputan kanopi (pada foto udara) dan sekaligus menyeragamkan persepsi kerapatan. III. ALAT DAN BAHAN 1. Model simulasi kerapatan 2. Stereoskop cermin, foto udara, transparansi IV. DASAR TEORI Tutupan tajuk didefinisikan sebagai bagian lapangan persatuan luas yang terliput oleh proyeksi vertikal dari seluruh tajuk pohon, dan dalam kombinasi dengan tinggi tegakan, berdasarkan pada perhitungan paralak, sering digunakan untuk membagi peringkat hutan menjadi kelas volume kayu yang diukur pada foto udara, selalu liputan tajuk kasarnya. Liputan tajuk ditentukan berdasarkan: (a) stereogram yang meliputi julat kepadatan tegakan yang diharapkan dihitung pada foto, (b) kisi titik dengan jarak titik sesuai dengan skala foto dan dengan warna atau rona dari titik untuk membedakan dengan latar belakang foto, dan (c) kartu persentase liputan tajuk/tutupan tajuk untuk pembandingkan dengan citra liputan tajuk yang diamati dalam model stereo dan disiapkan dengan tekstur dari tiap kelas liputan untuk dicocokan dengan skala foto serta psiognomi hutan. Dengan menggunakan kartu tutupan mahkota, seorang penafsir dapat secara cepat menempatkan satu tegakan, seperti diamati pada satu pasang stereo foto, dalam kelas tutupan tajuk yang tepat. Seperti dikemukakan oleh Spurr (1960), perkiraan tutupan mahkota dapat lebih baik dan lebih cepat ditetapkan dari pandangan pada fotografik daripada di lapangan. Dia menguraikan bahwa foto berskala antara 1 : 7000 dan 1 : 30000 dalam sampel foto di Amerika Utara, menghasilkan taksiran tutupan mahkota 5 10 % lebih tinggi dari sebenarnya., kesalahan sampel dan perkiraan tutupan tajuk meningkat pada foto berskala lebih kecil. Pada umumnya pohon tinggi, lereng menghadap kutub, fokus lensa pendek, foto inframerah, foto terlalu pagi atau terlalu siang, daerah pada pinggiran foto dan foto berskala kecil, semua perkiraan tutupan tajuk ditafsir lebih tinggi dari sebenarnya.

Seperti dikemukakan oleh Husch (1963), kelemahan tutupan tajuk sebagai karakter deskriptif dari volume tegakan hutan ialah bahwa tutupan tajuk tidak berkaitan erat dengan jumlah pohon atau ukuran pohon. Penting juga diperhatikan bahwa persentase tutupan tajuk satu lapis tegakan sering tidak 100 % meliput luas medan, meskipun tampak penuh dengan tegakan. Biasanya satu tegakan hutan berada pada stocking maksimum ketika permukaan tanah tidak seluruhnya meliput medan. Studi vegetasi tidak hanya berorientasi pada aspek ekologis semata, melainkan juga aspek ekonomisnya. Dalam memanfaatkan sumberdaya vegetasi, khususnya hutan, surveyor memrlukan informasi mengenai ketersediaan kayu dalam suatu wilayah hutan. Apabila hal ini dilakukan sepenuhnya secara terestris, maka efesiensinya pun akan turun, mengingat bahwa tidak semua wilayah hutan yabg di aurvey dapat dijangkau dengan mudah. Oleh karena itu, pengukuran mengenai ketersediaan kayu pun dapat dilakukan melalui foto udara skala besar. Pada survey semacam ini, informasi yang harus tampak pada foto ialah kanopi tegakan secara individual. Dengan menghitung jumlah kanopi pada luasan tertentu, maka jumlah tegakan pada luasan tersebut dapat diperoleh, dan kemudian tingkat kerapatan tegakan per hektar pun dapat dihitung , setelah mempertimbangkan skala foto udara yang digunakan. Melalui foto udara pun garis tengah rata-rata setiap kanopi dapat dihitung. Setiap satuan pemetaan diasumsikan mempunyai tingkat kerapatan kanopi yang sama. Berdasarkan plot sampel pengukuran lapangan, maka setiap satuan pemetaan pun dapat dihitung luasnya, dan juga dapat diestimasi jumlah tegakannya. Dengan demikian, potensi wilayah hutan yang dikaji pun dapat diketahui secara kuantitatif. Melalui foto udara, dengan melakukan interpretasi dara foto udara yang stereoskopik maka kaitan antara bentuk pertumbuhan ataupun tahap pertumbuhan vegetasi dengan faktor-faktor fisik lahannya dapat dikenali dengan pendekatan ekologi bentang lahan. Pendekatan ini memandang suatu bentuk dan tahap pertumbuhan vegetasi merupakan satu kesatuan dengan kondisi medannya. Biasanya, dengan interpretasi foto udara, bentuk dan tahap pertumbuhan ini berusaha dikenali berdasarkan komposisi strukturalnya. V. LANGKAH KERJA A. Simulasi Latihan Estimasi Kerapatan Kanopi 1. Memperhatikan gambar-gambar yang tersedia pada petunjuk praktikum. Tiap kotak menyajikan kenampakan titik (dot) atau bercak dengan distribusi dan kerapatan yang tidak sama. Melakukan estimasi kerapatan bercak-bercak tersebut.

2. Menuliskan hasil estimasi pada tabel yang tersedia, mencocokkan dengan estimasi yang benar yang diberikan asisten. 3. Mencatat pada gambar mana terjadi kesalahan estimasi. 4. Mengulangi langkah 1 3 untuk gambar berikutnya. Pada gambar selanjutnya menentukan kerapatan obyek yang lebih dari satu. Memberikan estimasi kerapatan perjenis obyek. B. Latihan Estimasi Kerapatan kanopi dengan Foto Udara 1. Mengamati kenampakan vegetasi pada pasangan foto udara tersebut. Membatasi daerah yang dapat diamati secara setereoskopik. 2. Membagi bentang liputan vegetasi pada foto udara tersebut ke dalam satuansatuan pemetaan yang mempunyai tingkat kerapatan yang relatif sama. Memberi estimasi dalam bentuk persentase untuk setiap satuan pemetaan. 3. Membuat batasan bujur sangkar sisi berukuran antara 1 sampai 2 cm pada setiap satuan pemetaan. 4. Memberikan estimasi % pohon, % semak, % herba, % lahan terbuka pada satuan pemetaan yang dideliniasi dengan membuat kotak bujur sangkar pada sembarang posisi di dalam batas vegetasi di dalam kotak ini mewakili fenomena kerapatan kanopi pada seluruh wilayah yang dideliniasi. 5. Menghitung jumlah kanopi pada setiap bujur sangkar tersebut, dan merata-rata untuk seluruh bujur sangkar pada satuan pemetaan yang sama. Menghitung ratarata diameter kanopi pada setiap bujur sangkar tersebut. 6. Menentukan klas komposisi struktural hasil deliniasi ke dalam klas-klas yang ada. VI. HASIL PRAKTIKUM 1. Tabel hasil estimasi latihan 1 dan 2 (terlampir) 2. Perhitungan overestimate, underestimate dan akurasi interpretasi (terlampir) 3. Tabel kelas struktural daerah Anjalipan skala 1:20.000 4. Peta tentatif kelas vegetasi HVS dan transparansi (terlampir) VII. PEMBAHASAN Praktikum acara pertama ini praktikan diajarkan melakukan estimasi kerapatan liputan kanopi untuk mengetahui kerapatan tajuk sekaligus menyeragamkan persepsi kerapatan pada foto udara. Estimasi kerapatan liputan kanopi itu sendiri berarti penilaian tingkat kerapatan suatu liputan kanopi terhadap luasan area yang ada, sedangkan kanopi adalah lebar tutupan suatu vegetasi. Kanopi ini hanya dimiliki oleh vegetasi yang berupa tegakan.

Untuk melatih melatih penilaian kerapatan liputan kanopi pada foto udara, praktikan diberikan latihan terlebih dahulu menggunakan gambar gambar sederhana. Latihan ini diberikan untuk melatih dan membiasakan dalam penialian kuantitatif tingkat kerapatan obyek, yang nantinya akan diaplikasikan untuk menilai kerapatan obyek pada foto udara yang sesungguhnya. Latihan estimasi ini dilakukan sebanyak 2 kali menggunakan gambar yang berbeda. Pada latihan 1, praktikan melakukan estimasi kerapatan suatu obyek terhadap sebuah kotak. Untuk latihan ini penilaian dilakukan sangat subyektif. Tiap tiap orang memiliki penilaian yang berbeda beda tergantung persepsinya masing masing. Hasil estimasi praktikan hanya memiliki ketepatan 11,4%. Kebanyakan hasil estimasi pada latihan pertama ini bersifat overestimate atau terlalu jauh dari nilai yang sebenarnya. Nilai overestimate pada latihan ini sebesar 77,3 %, sedangkan nilai underestimatenya sebesar 11,4% juga. Latihan estimasi yang kedua menggunakan gambar yang lebih kompleks. Pada latihan ini praktikan dituntut membedakan kerapatan tiap tiap jenis obyek yang berbeda pada suatu luasan. Pada estimasi yang kedua ini, praktikan sedikit banyak sudah mengerti bagaimana cara mengestimasi dengan baik meskipun penilaian masih dilakukan secara subyektif. Hasil estimasi praktikan sudah mengalami kemajuan jika dibandingkan dengan latihan yang pertama. Pada latihan ini nilai ketepatannya sebesar 43,75%, underestimate 10 % dan underestimate 46,25%. Nilai yang paling tinggi masih overestimate. Hal ini terjadi karena praktikan masih banyak terkecoh dengan obyek yang tersebar merata pada luasan kotak tersebut sehingga memberikan kesan bahwa obyek tersebut memiliki kerapatan tinggi. Dari hasil kedua estimasi tersebut dapat disimpulkan bahwa pada pandangan pertama praktikan cenderung memberikan estimasi terlalu tinggi pada obyek-obyek yang berukuran kecil, tersebar merata dan teratur. Latihan ini nantinya sangat berguna saat mengenali kerapatan kanopi pada foto udara. Praktikum kali ini menggunakan foto udara daerah Anjalipan dengan skala 1:20.000. Untuk melakukan estimasi, praktikan menggunakan bantuan stereoskop agar foto udara dapat dilihat secara 3 dimensi. Sebelumnya foto udara yang bertampalan tersebut dibagi kedalam 10 poligon acak untuk menentukan kelas strukturalnya. Dari tiap tiap poligon itu nantinya dapat diketahui persentase pohon, semak, herba dan lahan kosongnya. Hal tersebut dapat dilihat dari perbedaan ketinggian saat foto dilihat secara 3 dimensi. Perbedaan kerapatan antar kanopi juga dapat dilihat dari ronanya. Jika dilihat dari rona, rona gelap berarti tutupan kanopinya rapat dan makin terang makin jarang. Dalam penentuan persentase pohon, semak dan herba tersebut praktikan mengalami kesulitan. Hal ini dikarenakan kurangnya jam terbang praktikan dalam

melakukan estimasi seperti ini. Selain itu, tidak ada standar baku untuk estimasi seperti itu, jadi praktikan tidak memiliki acuan pasti. Jadi keakuratan dalam penghitungan ini bersifat subyektif, tergantung ketelitian praktikan dalam mengamati. Penentuan persentase tersebut nantinya digunakan untuk menentukan kelas struktural pada setiap poligon yang telah dibuat. Kelas struktural pada tiap poligon dapat diketahui melalui perbandingan persentase semak dan pesentase pohon. Jika perbandingan semak dan pohon samasama tinggi, maka suatu wilayah dapat digolongkan menjadi wilayah hutan kerapatan tinggi. Jika persentase pohon dan semak sama-sama rendah, maka daerah tersebut dapatdigolongkan pada woodland dan grassland (lahan berumput). Untuk jumlah perbandingan semak dan pohon yang tidak sama, suatu daerah dapat dikategorikan dalam hutan kerapatan sedang, semak kerapatan sedang, semak diselingi pohon, lahan berumput diselingi semak, padang rumput, dan sebagainya. Dari hasil estimasi yang dilakukan praktikan pada sebagian daerah Ajalipan kelas strukturalnya terdapat hutan kerapatan tinggi, kerapatan sedang, semak rapat, woodland kerapatan tinggi. Tapi kelas struktural ini memiliki kelemahan karena pembandingan yang hanya dilakukan atau diterapkan pada persen semak dan persen pohon saja padahal dalam suatu kelas terdapat herba dan lahan kosong / lahan terbuka. Karena hal itulah maka persen herba dan lahan terbuka diabaikan pada penentuan klas struktur. Karena keterbatasan itu juga, maka daerah sawah dan lahan terbuka langsung diklasifikasikan tanpa pengeplotan kelas struktur. VIII. KESIMPULAN 1. Pandangan pertama praktikan cenderung memberikan estimasi terlalu tinggi pada obyek-obyek yang berukuran kecil, tersebar merata dan teratur 2. Perbedaan kerapatan antar kanopi juga dapat dilihat dari ronanya, rona gelap berarti tutupan kanopinya rapat dan makin terang makin jarang. 3. Tidak ada standar baku untuk estimasi kerapatan, pembedaan pohon, semak, dan herba, jadi praktikan tidak memiliki acuan pasti sehingga keakuratan dalam estimasi bersifat subyektif 4. Kelas struktural pada tiap poligon dapat diketahui melalui perbandingan persentase semak dan pesentase pohon 5. Kelas struktural ini memiliki kelemahan karena pembandingan yang hanya dilakukan atau diterapkan pada persen semak dan persen pohon saja padahal dalam suatu kelas terdapat herba dan lahan kosong / lahan terbuka

DAFTAR PUSTAKA Howard,John A. 1990. Remote Sensing of Forest Resource, An introduction. New York: Chapman and Hall Kiefer, Lillesand, 1997, Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Muller-Dombois, D. And H.Ellenberg. 1975. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York: John Wiley and Sons Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh Jilid 2. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

TUGAS Jelaskan kenapa herba tidak dimasukan dalam komposisi kelas struktural? Jawab : Herba tidak dimasukan dalam komposisi kelas struktural yang digunakan pada praktikum ini karena dimungkinkan diagram klasifikasi tersebut ditemukan oleh seorang peneliti yang melakukan penelitian diluar hutan tropis seperti yang kebanyakan ada di Indonesia, sehingga dalam penelitiannya ia tidak memperhitungkan persentase tutupan herba. Padahal pada daerah tropis seperti di Indonesia tutupan herba cukup memperngaruhi komposisi struktural dari kepadatan tutupan vegetasi pada suatu daerah. Tidak dimasukannya herba dalam kelas struktural ini menjadikan klasifikasi tersebut kurang akurat.

You might also like