You are on page 1of 12

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008

FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS MALAYI Di WILAYAH KERJA PUSKESMAS CEMPAKA MULIA KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR PROPINSI KALIMANTAN TENGAH Budi Setiawan
Jurusan Epidemiologi dan Penyakit Tropik FKM Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta Jl. Prof. Dr. Soepomo, S.H., Janturan, Yogyakarta 55164, Indonesia E-mail: epidemiologi_04@yahoo.com

ABSATRAK Filariasis merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria. Ketiga spesies tersebut tersebar luas di wilayah Indonesia, tetapi setiap spesies mempunyai daerah sebaran sendiri sesuai dengan karakteristik vektornya, sehingga setiap wilayah berbeda spesiesnya. Brugia malayi merupakan salah satu agen filariasis yang banyak ditemukan di daerah Kalimantan, khususnya Kabupaten Kotawaringin Timur, Propinsi Kalimantan Tengah. Penyakit tersebut telah menjadi penyakit endemik di Kabupaten tersebut. Filariasis tidak mengakibatkan kematian, tetapi dapat mengakibatkan kecacatan seumur hidup, stigma sosial negatif, serta hambatan psikososial sehingga, menurunkan produktivitas kerja penderita, keluarga, dan masyarakat yang menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Biaya perawatan yang diperlukan penderita filariasis pertahun adalah 17,8% dari seluruh pengeluaran keluarga atau 32,3% dari biaya makan keluarga. Dalam mengatasi filariasis, khususnya mencegah terinfeksinya hospes, diadakan penelitian yang dapat mengidentifikasi berbagai macam faktor risiko penyebab filariasis. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko (keluar malam, pemakaian kelambu, penggunaan kawat kasa, dan memelihara kucing) yang berhubungan dengan filariasis. Penelitian ini menggunakan case-control study, hasilnya dianalisis menggunakan chi-square dengan taraf signifikansi 95% dan penghitungan Odds Ratio (OR), sehingga diketahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dan seberapa besar risiko terjadinya variabel bebas. Pembahasan dalam tulisan ini difokuskan pada ketidaksesuaian antara teori dengan hasil penelitian yang diperoleh di lapangan. Kesimpulan yang diperoleh adalah tidak adanya hubungan antara keluar malam (P=0,15; OR=1,93), penggunaan kelambu (P=0,29; OR=1,71), penggunaan kawat kasa (P=0,71; OR=0,82), dan memelihara kucing (P=0,76; OR=1,15) dengan kejadian filariasis. Hal ini penting bagi pengembangan program eliminasi filariasis di daerah endemik, khususnya yang terkait dengan perilaku hospes. Kata kunci: brugia malayi, filariasis, faktor risiko.

1. PENDAHULUAN Filariasis merupakan penyakit menular menahun yang sampai saat ini masih banyak terdapat di dunia. Pada tahun 2004, filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara seluruh dunia dan 1/5 penduduk dunia atau 1,1 milyar penduduk di 83 negara berisiko terinfeksi filariasis, terutama di daerah tropis dan subtropis (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

ISBN : 978-979-1165-74-7

IV-71

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008

2006a). Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah tropis, yang menyebabkan rawan terjadinya filariasis. Penduduk yang mempunyai kebiasaan tidur diruang terbuka sehingga sulit menggunakan kelambu serta rumah dengan ventilasi yang tidak memakai kawat kasa merupakan salah satu aspek untuk terpapar filaria karena gigitan nyamuk dan juga kebiasaan penduduk yang berada diluar rumah pada malam hari akan semakin meningkatkan risiko terpapar filaria (Putra, 2007). Penyakit ini tidak mengakibatkan kematian, tetapi dapat mengakibatkan kecacatan seumur hidup, stigma sosial, serta hambatan psikososial sehingga menurunkan produktivitas kerja penderita, keluarga, dan masyarakat yang menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Hasil penelitian Departemen Kesehatan dan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia tahun 1998 dalam Depkes RI (2006a), menunjukan bahwa biaya perawatan yang diperlukan seorang penderita filariasis pertahun 17,8% dari seluruh pengeluaran keluarga atau 32,3% dari biaya makan keluarga. Berdasarkan survei yang dilaksanakan pada tahun 2000-2004, di Indonesia terdapat lebih dari 8000 orang menderita klinis kronis filariasis yang tersebar di seluruh propinsi. Secara epidemiologi, data ini mengindikasikan lebih dari 60 juta penduduk Indonesia berada di daerah yang berisiko tinggi tertular filariasis, dengan enam juta penduduk diantaranya telah terinfeksi (Depkes RI, 2006a). Survei lain mengatakan sebanyak 8.243 orang di Indonesia telah menderita klinis kronis filariasis terutama di pedesaan (Depkes RI, 2006a), sedangkan berdasarkan survei cepat tahun 2000, jumlah penderita kronis yang dilaporkan sebanyak 6.233 orang tersebar di 1.553 desa, di 231 kabupaten, 26 propinsi. Data ini belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena hanya dilaporkan oleh 42% puskesmas dari 7.221 puskesmas. Kabupaten Kotawaringin Timur dengan ibu kota Sampit, yang terletak di Propinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu daerah endemis filariasis. Dalam laporan Hasil Eliminasi dan Pengobatan Filariasis Tahun 2006, menyatakan bahwa, microfilaria rate di seluruh daerah (kecamatan) di Sampit diatas satu persen. Kecamatan Cempaga, yang dibagi menjadi delapan desa, hanya satu desa Mf rate nya 0 (nol) persen, yaitu desa Lubuk Ranggan (pengambilan sampel, tahun 1994). Berdasarkan penelitian Soeyoko (1994), dari hasil pemeriksaan serologis dengan antibodi monoclonal pada penduduk di Desa Lubuk Ranggan, Patai, dan Luwek Bunter, 38,8% penduduk pernah terpapar filaria. Kebiasaan penduduk berpengaruh terhadap tingginya Mf rate di Kecamatan Cempaga. Menurut Soeyoko (1994) dalam jurnal Berita Kedokteran Masyarakat (1998), laki-laki mempunyai risiko yang lebih besar dari perempuan untuk terinfeksi filariasis, tapi secara statistik tidak bermakna. Menurut Depkes RI (2006e), hal ini berkaitan dengan intensitas kontak dengan vektor filariasis, sebagai contoh, kebiasaan keluar malam, tidak memakai kelambu saat tidur, ventilasi yang tidak tertutup, akan meningkatkan risiko terinfeksi.

ISBN : 978-979-1165-74-7

IV-72

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008

Penelitian yang dilakukan Mahdiansyah (2002), di Sampit, mendapatkan gambaran tentang kebiasaan penduduk yang memakai kelambu dan keluar malam. Penduduk yang mempunyai kebiasaan tidur tidak memakai kelambu sebesar 1,74% dan yang memakai kelambu 98,25%, sedangkan penduduk yang tidak mempunyai kebiasaan keluar malam sebesar 6,39% dan yang mempunyai kebiasaan keluar malam sebesar 93,60%. Hasil penelitian tersebut hanya dilakukan di satu desa, dengan jumlah sampel sebanyak 172 responden. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, penelitian ini dilakukan.

2. METODE PENELITIAN 2.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik dengan menggunakan rancangan studi case control (kasus kontrol). Desain kasus kontrol memilih kelompok penelitian berdasarkan status penyakit, satu kelompok dengan penyakit, yaitu kasus dan kelompok lainnya tanpa penyakit, yaitu kontrol (Murti, 2003). Desain tersebut bertujuan untuk mengetahui besarnya risiko masing-masing variabel yang diteliti, yaitu dengan menghitung Odds Ratio (OR).

2.2 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat di wilayah penelitian. Sampel sebanyak 90 orang yang diambil berdasarkan kriteria inklusi dan eklusi.

2.3 Teknik Pengumpulan Data Penetapan kasus melalui data sekunder yang terdapat dalam laporan hasil puskesmas, sehingga sudah dinyatakan positif oleh pihak Puskesmas Cempaka Mulia. Cara pengambilan sampel menggunakan totality sampling. Seluruh warga yang namanya tercantum dalam hasil laporan puskesmas dijadikan sampel kasus filariasis, yang berada di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Mulia, Sampit, dan kemudian ditelusuri ke alamat dari kasus yang terambil, yaitu sebanyak 30 orang warga. Pembanding diambil dari tetangga yang tidak menderita filariasis (berdasarkan data sekunder dan primer) dan dilakukan penyetaraan terhadap umur dan jenis kelamin. Perbandingan jumlah kasus dan kontrol perbandingannya 1:2.

2.4 Analisis Data Analisis data hasil penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu: 1. Analisis bivariat (tabulasi silang)

ISBN : 978-979-1165-74-7

IV-73

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008

Analisis bivariat adalah uji hipotesis antara dua variabel, yakni satu variabel bebas dan satu variabel terikat. Out put atau hasil keluaran berupa odds ratio (OR) dan P value. Nilai P merupakan peluang untuk mendapatkan hasil yang diperoleh bila hipotesis diterima (Sastroasmoro, 2002). Analisis bivariat dilakukan pada masing-masing variabel untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang diteliti dengan kejadian filariasis. Ada tidaknya perbedaan atau kemaknaan secara statistik ditunjukkan dari hasil perhitungan tabel silang 2x2. Tingkat kepercayaan yang digunakan 95% dan P < 0,05, artinya Ha (hipotesis alternatif) akan bermakna jika P < 0,05 dan atau Confidence Interval (CI) tidak mencakup angka satu. Variabel yang bermakna kemudian dianalisis secara bersamaan melalui analisis multivariat. Namun, apabila secara statistik tidak bermakna tapi secara biologis bermakna, maka apabila P < 0,25 variabel tersebut tetap dilanjutkan pada analisis multivariat. Analisis data menggunakan komputerisasi dengan bantuan program SPSS 15. for windows. 2. Analisis multivariat Analisis multivariat dilakukan untuk menentukan variabel manakah yang menjadi faktor paling dominan terhadap kejadian filariasis. Variabel bebas yang telah dilakukan analisis multivariat dengan menggunakan analisis regresi logistik, dikatakan bermakna secara statistik dan dikatakan sebagai faktor risiko penyebab kejadian filariasis jika P < 0,05 dan CI tidak mencakup angka satu. Analisa data dengan menggunakan komputerisasi dengan bantuan program SPSS 15. for windows. 3. Pengendalian confounder saat penelitian, menggunakan teknik matching yaitu proses pemilihan kelompok kontrol sehingga kelompok kontrol tersebut sama dengan kelompok kasus dalam hal karekteristik umur dan jenis kelamin (Sastroasmoro, 2002).

2.5 Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Ada hubungan kebiasaan keluar malam dengan kejadian filariasis di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Mulia, Sampit, Kalimantan Tengah. 2. Ada hubungan pemakaian kelambu dengan kejadian filariasis di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Mulia, Sampit, Kalimantan Tengah. 3. Ada hubungan rumah yang ventilasinya memakai kawat kasa dengan kejadian filariasis di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Mulia, Sampit, Kalimantan Tengah. 4. Ada hubungan memelihara kucing dengan kejadian filariasis di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Mulia, Sampit, Kalimantan Tengah.

ISBN : 978-979-1165-74-7

IV-74

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Penelitian Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan dengan menggunakan tabulasi silang yang bertujuan untuk melihat hubungan variabel bebas (independent) dengan variabel terikat (dependent) berdasarkan distribusi sel-sel yang ada. Uji statistik yang digunakan adalah chi square (X2) dengan tingkat kemaknaan p<0,05 dengan mengetahui besarnya X2 , maka dapat diestimasi hubungan antara kebiasaan keluar malam, penggunaan kelambu, pemakaian kawat kasa dan memelihara kucing dengan kejadian filariasis. Untuk mengetahui besarnya risiko digunakan Ods Ratio (OR) dengan Interval Kepercayaan (IK) 95%. 1. Hubungan kebiasaan keluar malam dengan kejadian filariasis Untuk mengetahui hubungan dan seberapa besar kebiasaan keluar malam berisiko dengan terjadinya kejadian filariasis dapat dilihat pada tabel 1 berikut. Tabel 1. Hubungan Kebiasaan Keluar Malam Dengan Kejadian Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Cempaka Mulia,Tahun 2008 Keluar malam Ya Tidak Filariasis Ya Tidak 13 17 17 43 Total 30 60 90 P value OR (95%CI) 1,93 (0,70-5,34)

0,15

Total 30 60 Sumber : Data primer (2008).

Dari hasil analisis bivariat diketahui bahwa dari 30 responden (kasus) yang mempunyai kebiasaan keluar malam sebanyak 13 responden, sedangkan 17 responden lainya tidak mempunyai kebiasaan keluar malam hari. Responden yang tidak terinfeksi filaria tetapi mempunyai kebiasaan keluar malam sebanyak 17 responden dan responden yang tidak mempunyai kebiasaan keluar malam sebanyak 43 responden. Hasil tersebut, menunjukkan bahwa terinfeksinya responden terhadap filaria lebih banyak terjadi pada responden yang tidak mempunyai kebiasaan keluar malam, jika dibandingkan dengan responden yang mempunyai kebiasaaan keluar malam. Hasil uji statistik diperoleh nilai P=0,15 pada =0,05, berarti dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan keluar malam dengan kejadian filariasis. Untuk melihat besarnya risiko dapat dilihat pada nilai OR, dari hasil output diperoleh nlai OR=1,93, artinya bahwa orang yang mempunyai kebiasaan keluar malam akan meningkatkan

ISBN : 978-979-1165-74-7

IV-75

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008

risiko terkena filariasis sebesar 1,93 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai kebiasaan keluar malam, tetapi secara statistik tidak bermakna. 2. Hubungan kebiasaan memakai kelambu dengan kejadian filarisis Untuk mengetahui hubungan dan seberapa besar risiko pemakaian kelambu dengan kejadian filariasis, dapat dilihat pada tabel 2 berikut. Tabel 2. Hubungan Pemakaian Kelambu Dengan Kejadian Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Cempaka Mulia, Tahun 2008 Kelambu Tidak Ya Filariasis Ya Tidak 9 21 12 48 Total 21 0,29 69 90 Total 30 60 Sumber : Data primer (2008). 1,71 (0,56-5,24) P value OR (95%CI)

Dari 30 responden yang positif filariasis (kasus) terdapat 9 responden yang tidak menggunakan kelambu pada saat tidur, sedangkan 21 responden yang positif filariasis menggunakan kelambu pada saat tidur. Responden yang tidak mengalami filariasis tetapi tidak memakai kelambu pada saat tidur sebanyak 12 responden, sedangkan yang memakai kelambu sebanyak 48 responden. Hasil ini menunjukkan bahwa, filariasis lebih banyak terjadi pada responden yang tidur menggunakan kelambu. Hasil uji statistik diperoleh nilai P=0,29 pada =0,05, berarti dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan tidur menggunakan kelambu dengan kejadian filariasis. Besarnya risiko dapat dilihat pada nilai OR, dari hasil output diperoleh nilai OR=1,71, artinya bahwa orang yang mempunyai kebiasaan tidur tidak menggunakan kelambu akan meningkatkan risiko terkena filariasis sebesar 1,71 kali lebih besar dari orang yang tidur menggunakan kelambu, tetapi secara statistik tidak bermakna. 3. Hubungan pemakaian kawat kasa dengan kejadian filariasis Untuk mengetahui hubungan dan seberapa besar risiko pemakaian kawat kasa dengan kejadian filariasis, dapat dilihat pada tabel 3. Pada tabel 3 menunjukkan hasil analisis bivariat, bahwa dari 30 responden yang positif filariasis (kasus) terdapat 23 responden yang tidak menggunakan kawat kasa dirumahnya, sedangkan 7 responden yang positif filariasis menggunakan kawat kasa. Responden yang tidak mengalami filariasis tetapi tidak memakai kawat kasa sebanyak 48 responden, sedangkan yang memakai kelambu sebanyak 12 responden. Hasil ini menunjukkan bahwa, filariasis lebih

ISBN : 978-979-1165-74-7

IV-76

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008

banyak terjadi pada responden yang tidak menggunakan kawat kasa dirumahnya dibandingkan yang menggunakan kawat kasa. Tabel 3. Hubungan Pemakaian Kawat Kasa Dengan Kejadian Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Cempaka Mulia, Tahun 2008 Kawat kasa Tidak Ya Filariasis Ya Tidak 23 7 48 12 Total 71 0,71 19 90 Total 30 60 Sumber : Data primer (2008). 0,82 (0,25-2,69) P value OR (95%CI)

Hasil uji statistik diperoleh nilai P=0,71 pada =0,05, berarti dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara rumah yang memakai kawat kasa dengan kejadian filariasis. Besarnya risiko dapat dilihat pada nilai OR, dari hasil output diperoleh nilai OR=0,82, yang artinya secara kemaknaan biologis, tidak memakai kawat kasa bukan sebagai faktor risiko dan secara statistik tidak bermakna. 4. Hubungan kebiasaan memelihara kucing dengan kejadian filariasis Untuk mengetahui hubungan dan seberapa besar risiko kebiasaan memelihara kucing dengan kejadian filariasis, dapat dilihat pada tabel 4 berikut. Tabel 4. Hubungan Kebiasaan Memelihara Kucing Dengan Kejadian Filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Cempaka Mulia,Tahun 2008 Kucing Ya Tidak Filariasis Ya Tidak 13 17 24 36 Total 37 0,76 53 90 Total 30 60 Sumber : Data primer (2008). 1,15 (0,43-3,06) P value OR (95%CI)

Pada tabel 4 menunjukkan hasil analisis bivariat, bahwa dari 30 responden yang positif filariasis (kasus) terdapat 13 responden yang memelihara kucing, sedangkan 17 responden yang positif filariasis tidak memelihara kucing. Responden yang tidak mengalami filariasis tetapi memelihara kucing sebanyak 24 responden, sedangkan yang tidak memelihara kucing sebanyak 36 responden. Hasil ini menunjukkan bahwa, filariasis lebih banyak terjadi pada responden yang tidak memelihara kucing.

ISBN : 978-979-1165-74-7

IV-77

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008

Hasil uji statistik diperoleh nilai P=0,76 pada =0,05, berarti dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan memelihara kucing dengan kejadian filariasis. Besarnya risiko dapat dilihat pada nilai OR, dari hasil output diperoleh nilai OR=1,15, artinya bahwa orang yang mempunyai kebiasaan memelihara kucing akan meningkatkan risiko terkena filariasis sebesar 1,15 kali lebih besar dari orang yang tidak memelihara kucing, tetapi secara statistik tidak bermakna. 3.2 Pembahasan Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2008 di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Mulia, Sampit, terhadap 90 orang responden dengan perbandingan 1 banding 2 antara kasus dan kontrol, tidak ditemukan variabel yang berhubungan atau bermakna secara statistik. 1. Hubungan kebiasaan keluar malam dengan kejadian filariasis Keluar malam merupakan salah satu risiko individu terinfeksi filaria, hal ini berkaitan dengan kebiasaan menggigit vektor filariasis, yaitu Mansonia sp khususnya filariasis dengan agent Brugia malayi yang merupakan jenis filaria yang paling banyak ditemukan di Kalimantan, khususnya Kabupaten Kotawaringin Timur. Mansonia mempunyai kebiasaan menggigit/mencari mangsa di waktu malam hari, sehingga individu yang mempunyai kebiasaan untuk keluar pada malam hari menjadi rentan terhadap gigitan vektor ini. Namun, dalam beberapa penelitian yang dilakukan diberbagai daerah, kebiasaan keluar malam tidak berhubungan secara statistik dengan kejadian filariasis. Dari hasil analisis bivariat yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan di Kecamatan Cempaka Mulia, didapatkan hasil P=0,15 dan OR=1,93, yang berarti individu yang mempunyai kebiasaan keluar malam berisiko 1,93 kali lebih besar menderita filariasis dibanding individu yang tidak keluar malam, tetapi hasil tersebut tidak berhubungan secara statistik. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan Mahdiansyah (2002) dilokasi yang sama tetapi penelitian yang dilakukan Mahdiansyah hanya mencakup tiga desa. Hasil yang diperoleh dari penelitian Mahdiansyah adalah P=0,76 dan OR=0,82 yang berarti bahwa secara statistik dan teoritis, kebiasaan keluar malam tidak ada hubungannya dengan filariasis. Penelitian yang mendukung penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan Putra (2007) P=0,062 dan Uloli (2007) P=0,178. Ada beberapa kemungkinan yang mengakibatkan tidak berhubungannya antara kedua variabel tersebut. Kemungkinan yang pertama adalah bahwa Mansonia sp tidak hanya menggigit/mencari makan (menghisap darah) pada malam hari. Sebagian besar penduduk di wilayah penelitian bekerja sebagai petani atau penyadap karet yang bekerja antara pagi sampai siang dan dilanjutkan pada sore hari, tetapi sebelum magrib telah kembali kerumah. Penularan kemungkinan besar hanya terjadi pada saat penduduk berada di luar rumah. Kemungkinan kontak dengan vektor yang hanya terjadi pada siang hari mengakibatkan
ISBN : 978-979-1165-74-7 IV-78

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008

vektor hanya mempunyai kesempatan untuk menggigit manusia pada siang hari, apabila nyamuk tersebut lapar maka manusia yang berada dalam jarak terbangnya kemungkinan akan tetap digigit walaupun pada siang hari. Hal ini juga serupa dengan Aedes togoi yang merupakan nyamuk siang, tetapi juga dapat menggigit pada malam hari (Sudjadi, 2005). Kemungkinan yang kedua adalah vektor filariasis di Kecamatan Cempaka Mulia bukan Mansonia sp, tetapi Aedes togoi hal ini juga berkaitan dengan periodisitas microfilaria Brugia malayi (non-periodik). Penelitian yang dilakukan Sudjadi (2005) mengenai periodisitas microfilaria Brugia malayi yang terdapat di Cheju (Korea) dan Bireun (Aceh) menyatakan bahwa ada kemampuan adaptasi antara microfilaria Brugia malayi dengan Aedes togoi di Cheju, yang menyebabkan microfilaria tersebut mempunyai kecenderungan bersifat sub-periodik. Kecenderungan tersebut bukanlah suatu kebetulan atau tanpa arti dalam konteks survival parasit filaria. Dalam habitatnya B.malayi di Cheju ditularkan oleh Aedes togoi yang dikenal sebagai nyamuk siang. 2. Hubungan kebiasaan memakai kelambu dengan kejadian filariasis Pemakaian kelambu saat tidur merupakan salah satu tindakan preventive dalam usaha mencegah kontak dengan vektor penyakit. Berbagai macam penyakit yang mempunyai vektor ordo diptera dapat diminimalisir dampaknya sehingga menurunkan morbiditas penyakit tersebut. Pada masyarakat urban penggunaan kelambu sudah jarang ditemukan karena alasan kepraktisan dan suhu yang gerah saat menggunakan kelambu. Namun, bagi masyarakat rural pemakaian kelambu masih banyak ditemukan. Masyarakat di wilayah penelitian tidak mengetahui alasan penggunaan kelambu dalam sudut pandang kesehatan, alasan penduduk di wilayah tersebut cenderung lebih kepada kepercayaan setempat yang bersifat mistis. Dari hasil analisis bivariat didapatkan hasil P=0,29 dan OR=1,71, yang berarti tidak adanya hubungan antara pemakaian kelambu dengan filariasis, walaupun terdapat risiko sebesar 1,71 bagi yang tidak memakai kelambu. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Mahdiansyah (2002) dan Putra (2007). Pada penelitian Mahdiansyah (2002) didapatkan nilai P=1,00 dan OR=2,02 sedangkan penelitian yang dilakukan Putra (2007) nilai P=0,371 dan OR=2,09. Berbeda dengan penelitian Uloli (2007), dimana nilai P=0,009 dan OR=11,5, yang berarti terdapat hubungan secara statistik dengan nilai risiko yang sangat besar, pada masyarakat ditempat penelitian Uloli individu yang tidak menggunakan kelambu mempunyai risiko 11,5 kali lebih besar menderita filariasis dibanding individu yang menggunakan kelambu. Tidak bermaknanya penelitian yang dilakukan di Kecamatan Cempaka Mulia dimungkinkan sudah banyaknya masyarakat yang memakai kelambu pada malam hari bila dirumah, baik kasus maupun kontrol. Hal ini dibuktikan pada penelitian yang dilakukan,

ISBN : 978-979-1165-74-7

IV-79

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008

bahwa responden yang tidak memakai kelambu sebanyak 9 responden pada kasus dan 12 responden pada kontrol. 3. Hubungan pemakaian kawat kasa dengan kejadian filariasis Fungsi pemakaian kawat kasa yang dipasang di bagian ventilasi dalam suatu rumah hampir sama dengan fungsi dari pemakaian kelambu. Kawat kasa merupakan salah satu upaya untuk mencegah nyamuk masuk kedalam rumah sehingga terhindar dari gigitan nyamuk. Penggunaan kawat kasa di suatu rumah sangat jarang ditemukan di lokasi penelitian, hal ini berkaitan dengan pendapatan ekonomi masyakarat dilokasi penelitian dimana hanya penduduk yang mempunyai tingkat pendapatan menengah yang menggunakan kawat kasa dirumahnya. Dari hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Cempaka Mulia di peroleh nilai P=0,71 dan OR=0,82, nilai tersebut berarti tidak terdapat hubungan secara statistik maupun biologis. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Putra (2007) dengan nilai P=0,165 dan OR=1,904. Namun, berbeda dengan penelitian yang dilakukan Uloli (2007) dimana terdapat hubungan secara statistik (P=0,047) dan nilai OR=2,07 yang berarti bahwa responden yang tidak mempunyai kawat kasa dirumahnya berisiko 2,07 kali lebih besar menderita filariasis dibanding responden yang menggunakan kawat kasa. Tidak berhubungannya penelitian yang dilakukan di Kecamatan Cempaka Mulia di karenakan antara kasus dan kontrol sama-sama tidak menggunakan kawat kasa, kasus yang menggunakan kawat kasa hanya 7 responden dan 12 responden untuk kontrol. Hal ini juga karena sebagian besar responden menggunakan kelambu, sehingga beranggapan tidak perlu untuk memakai kawat kasa dirumahnya. 4. Hubungan kebiasaan memelihara kucing dengan kejadian filariasis Felis catus (kucing) merupakan salah satu dari hewan reservoir dari filariasis yang disebabkan oleh Brugia malayi tipe non-periodik nokturna yang mempunyai intensitas kontak dengan manusia relatif sering. Kebiasaan masyarakat memelihara kucing di sebagian lokasi penelitian dibagi menjadi dua daerah, daerah hulu yang lokasinya berupa hutan dan dataran tinggi lebih sedikit memelihara kucing dibandingkan dengan masyarakat yang berada di daerah hilir. Bagi masyarakat yang memelihara kucing, kebiasaan ini didasarkan kepada pemahaman agama (Islam) yang menyatakan bahwa hewan yang paling disukai oleh Muhammad s.a.w. adalah kucing, alasan untuk mengikuti perilaku Muhammad s.a.w. inilah yang menjadi alasan utama masyarakat untuk memelihara kucing. Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Cempaka Mulia, didapatkan hasil nilai P=0,76 dan OR=1,15 yang berarti secara statistik tidak terdapat perbedaan atau hubungan yang signifikan antara kebiasaan memelihara kucing dengan kejadian filariasis, tetapi secara biologis kebiasaan memelihara kucing akan meningkatkan risiko 1,15 kali lebih besar

ISBN : 978-979-1165-74-7

IV-80

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008

menderita filariasis dibanding yang tidak memelihara kucing. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Putra (2007) dengan nilai P=0,35 dan OR=1,39. Namun, berbeda dengan penelitian yang dilakukan Uloli (2007) dengan nilai P=0,038 dan OR=0,45, serta penelitian yang dilakukan Sudjadi (1998). Hasil penelitian ini berbeda dengan Sudjadi (1998) yang menyatakan bahwa memelihara kucing/kera akan berisiko terinfeksi filaria. Pada penelitian Sudjadi, kucing yang mengakibatkan faktor risiko adalah kucing hutan, sedangkan pada penelitian di Cempaka Mulia pada umumnya responden, baik kasus maupun kontrol memelihara kucing sebagai hewan peliharaan dirumah, pendapat ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Putra (2007). Kemungkinan lain yang mengakibatkan tidak berhubungannya penelitian ini adalah sebenarnya kucing bukan reservoir utama dalam penyebaran filariasis malayi. Terdapat tiga hewan yang berperan sebagai reservoir dari filariasis malayi tipe subperiodik dan non-periodik nokturna, yaitu, Macaca fascicularis, Felis catus, dan Presbytis cristatus, dari ketiga hewan tersebut F.catus merupakan hewan yang paling dekat dengan manusia. Namun, P.cristatus memiliki pravelensi infeksi lebih tinggi dibanding dengan F.catus. Jumlah microfilaria yang terdapat dalam aliran darah P.cristatus lebih banyak dibandingkan dengan yang lainnya, hal ini mengakibatkan kemungkinan vektor menyebarkan cacing filaria yang dapat berubah menjadi larva 3 semakin besar. 4. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak adanya hubungan secara statistik antara kebiasaan keluar malam, pemakaian kelambu, penggunaan kawat kasa, dan memelihara kucing dengan kejadian filariasis di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Mulia, Sampit tahun 2008.

UCAPAN TERIMA KASIH 1. Prof. Dr. dr. Soeyoko, DTM&H., S.U, selaku pembimbing pertama yang telah memberikan bimbingan secara mendalam terkait masalah teoritis. 2. Prof. Dr. dr. KRT. Adi Heru Husodo, M.Sc., DCN., DLSHTM., PKK, atas masukannya dan evaluasi dalam penyusunan awal rencana penelitian. 3. Trisno Agung Wibowo, SKM., M.Kes, yang telah memberikan bantuan dalam masalah epidemiologi dan metode penelitian yang sangat berguna saat berada di lapangan sebagai pembimbing kedua. 4. Widodo Hariyono, A.Md., ST., M.Kes, yang telah memberikan motivasi dalam setiap penyusunan karya tulis ilmiah. 5. Abdul Kadar, SKM., M.Kes, yang selama ini telah memberikan semua ilmu epidemiologinya.

ISBN : 978-979-1165-74-7

IV-81

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008

6. Haryono, SKM., M.Kes, sebagai dosen yang pertama kali menggerakan peneliti untuk melakukan penelitian. 7. Pihak Dekanat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. 8. Az-Zahra, yang memberikan cahayanya.
\

DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006a. Epidemiologi Filariasis. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006b. Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006c. Pedoman Penentuan dan Evaluasi Daerah Endemis Filariasis. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006d. Pedoman Promosi Kesehatan Dalam Eliminasi Filariasis. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006e. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis. Jakarta. Mahdiniansyah 2002. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis Malayi di Kecamatan Cempaka Mulia Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah, Tesis FK-UGM, Yogyakarta. Putra, A 2007. Risiko Filariasis di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Propinsi Jambi, Tesis FKUGM, Yogyakarta. Sastroasmoro dan Ismael, 2002. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-2, Sagung Seto, Jakarta. Soeyoko 1998. Filariasis Malayi di Wilayah Puskesmas Cempaka Mulia, Sampit, Kalimantan Tengah (beberapa faktor yang mempengaruhi penularannya). Jurnal Berita Kedokteran Masyarakat, Gadjah mada University Press, Yogyakarta. Sudjadi, F.A. 2005. Varian Korea dan Indonesia Brugia malayi Periodik Nokturnal Penyebab Filariasis. Berkala Ilmu Kedokteran, 37 (3): 103111.

Uloli, R. 2004. Analisis Faktor-Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Kabupaten Bone Bolango Propinsi Gorontalo, Tesis FK-UGM, Yogyakarta.

ISBN : 978-979-1165-74-7

IV-82

You might also like