You are on page 1of 18

ACARA III EVALUASI BILANGAN PEROKSIDA DAN TITIK ASAP MINYAK GORENG A. PENDAHULUAN 1.

Latar Belakang Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia sebagai alat pengolahan bahan-bahan makanan. Kebutuan minyak goreng semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, sehingga minyak goreng bekas yang dihasilkan semakin meningkat pula. Minyak goreng bekas adalah minyak goreng yang telah dipakai berulang kali, sehingga warnanya menjadi gelap dan kehitaman. Penggunaan minyak nabati berulang kali sangat membahayakan kesehatan. Hal ini dikarenakan selain semakin banyaknya kotoran yang terkandung dalam minyak goreng akibat penggorengan bahan makanan sebelumnya dan semakin banyaknya senyawa senyawa asam karboksilat bebas di dalam minyak. Penggorengan yang berulang menyebabkan warna minyak goreng yang semakin tidak jernih dan terjadi penurunan mutu pada minyak akibat meningkatnya bilangan peroksida. Bilangan peroksida merupakan indikator terjadinya ketengikan pada produk yang memiliki kandungan lemak. Meningkatnya bilangan peroksida disebabkan karena adanya reaksi oksidasi pada asam lemak tidak jenuh akibat proses pemanasan. Apabila bilangan peroksida ini semakin tinggi maka suatu bahan pangan akan berbau semakin tengik. Selain itu, syarat mutu minyak juga diukur berdasarkan spesifikasi standar mutu internasional yang meliputi kadar ALB, air, kotoran, logam besi, logam tembaga, angka peroksida, dan ukuran pemucatan. Dalam praktikum kali ini akan dilakukan pengujian mutu minyak dengan menilai sifat-sifat fisik dan kimia, yaitu dengan mengevaluasi bilangan peroksida dan titik asapnya.

2. Tujuan Tujuan dari praktikum acara Evaluasi Bilangan Peroksida dan Titik Asap Minyak Goreng ini adalah 1. Menentukan bilangan peroksida dan titik asap pada minyak goreng. 2. Mengetahui pengaruh bilangan peroksida dan titik asap terhadap kualitas minyak goreng. B. TINJAUAN PUSTAKA Penggorengan merupakan proses thermal-kimia yang menghasilkan karakteristik makanan goreng dengan warna coklat keemasan, tekstur krispi penampakan dan flavor yang diinginkan, sehingga makanan gorengan sangat popular. Salah satu fenomena yang dihadapi dalam proses penggorengan adalah menurunnya kualitas minyak setelah digunakan secara berulang pada suhu yang relatif tinggi (160-180C). Paparan oksigen dan suhu tinggi pada minyak goreng akan memicu terjadinya reaksi oksidasi. Minyak goreng curah selama ini didistribusikan dalam bentuk tanpa kemasan yang berarti bahwa minyak goreng curah sebelum digunakan banyak terpapar oksigen. Penggunaan minyak goreng dalam praktek penggorengan di rumah tangga maupun pedagang kecil dilakukan secara berulang-ulang, hal tersebut sangat memungkinkan terjadinya reaksi oksidasi yang lebih tinggi (Aminah, 2010). Oksidasi lemak adalah penyebab utama penurunan kualitas makanan. Lemak rentan terhadap proses oksidatif dengan sistem katalitik seperti cahaya, panas, enzim, logam, metalloprotein dan mikroorganisme, sehingga menimbulkan perkembangan off-flavour dan hilangnya asam amino esensial, vitamin yang larut dalam lemak, dan bioaktif lainnya. lipid

dapat mengalami autoksidasi, fotooksidasi, oksidasi termal, dan enzimatik oksidasi dalam kondisi yang berbeda, sebagian besar yang melibatkan beberapa jenis radikal bebas atau spesies oksigen. Autoksidasi adalah proses yang paling umum sebagai yang menyebabkan spontan kerusakan oksigen oksidatif dengan dan lipid.

didefinisikan

reaksi

Proses ini dapat dipercepat pada suhu tinggi, seperti yang dialami selama

deep frying, yang disebut oksidasi termal, dengan peningkatan asam lemak bebas (Shahidi, dkk, 2005). Beberapa faktor dapat dikendalikan untuk mengurangi jumlah oksidasi yang terjadi pada minyak. Faktor pertama adalah suhu, oksidasi dapat dikendalikan dengan mengurangi suhu sampai serendah mungkin pada pengolahan, pengiriman dan pembuatan. Paparan oksigen (di udara) akan menjadi katalis untuk produksi radikal bebas. Oleh karena itu oksigen perlu dikontrol, untuk mengurangi oksidasi, segel semua kontainer dengan ruang atas sekecil mungkin, mengurangi daerah minyak kontak dengan udara dan menutupi minyak dengan gas inert (seperti nitrogen). Cahaya (UV) dapat memicu reaksi oksidatif. Mengurangi kontak minyak dengan cahaya langsung menggunakan kaca coklat / wadah plastik atau kantong plastik hitam. Moisturein kombinasi dengan faktor-faktor lain yang dapat mempercepat oksidasi. Jika mungkin membatasi jumlah air dalam minyak kurang dari 0,2 % (Miller, 2010). Meningkatnya bilangan peroksida disebabkan karena adanya reaksi oksidasi pada asam lemak tidak jenuh akibat proses pemanasan. Asam lemak tidak jenuh yang terdapat dalam kelapa adalah asam lemak palmitat, oleat dan linoleat. Semakin tinggi suhu yang digunakan akan mempercepat terjadinya proses oksidasi. Bilangan peroksida berhubungan dengan nilai FFA, pada suhu pemanasan 80-90oC nilai FFA juga mengalami peningkatan. Bilangan peroksida merupakan indikator terjadinya ketengikan pada produk yang memiliki kandungan lemak. Semakin tinggi bilangan peroksida, maka semakin tinggi tingkat ketengikan suatu bahan pangan (Sukasih, dkk. 2009). Dekomposisi produk yang tidak diinginkan juga terbentuk karena interaksi antara bahan-bahan makanan dan minyak yang akan mempengaruhi rasa produk makanan, warna dan umur simpan. Namun, mengulangi menggunakan minyak goreng dapat mempengaruhi kualitas makanan dan memicu pembentukan senyawa yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia dan menyebabkan gorengan memiliki umur simpan yang terbatas karena perkembangan ketengikan pada saat menggoreng minyak yang diambil oleh

produk. Setelah proses penggorengan, konsumen khawatir tentang kualitas minyak dari aspek warna, titik asap dan tingkat ketengikan (Fan, dkk, 2013). Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Peroksida ini dpat ditentukan dengan metode iodometri. Cara yang sering digunakan untuk menentukan bilangan peroksida berdasarkan pada reaksi antara alkali iodida dalam larutan asam dengan ikatan peroksida. Iod yang dibebaskan paa rekasi ini, kemudian dititrasi dengan larutan natrium thiosulfat. Penentuan peroksida ini kurang baik dengan cara iodometri biasa meskipun peroksida bereaksi sempurna dengan alkali iod. Hal ini disebabkan karena peroksida jenis lainnya hanya bereaksi sebagian. Di samping itu dapat terjadi kesalahan yang disebabkan oleh reakasi antara alkali iodida dengan oksigen di udara (Ketaren, 1986). Oksidasi lemak dapat berlangsung melalui tiga jalan yaitu autooksidasi, fotooksidasi, dan oksidasi enzimatis. Proses oksidasi lemak dan lemak pda prinsipnya merupakan pemecahan yang terjadi di sekitar ikatan rangkap (tidak jenuh) dalammolekul gliserida penyusun minyak dan lemak. Tentu saja semakin tidak jenuh atau semakin banyak ikatan rangkap dalam molekulnya yang ditentukan oleh macam-macam lemak penyusun struktur trigliserida maka minyak dan lemak itu sama peka terhadap pemecahan oksidatif. Jalan lain oksidasi lemak tak jenuh berkaitan dengan adanya cahaya dan sensitisator seperti klorofil. Sedangkan oksidasi lemak jenuh dapat dikatalis oleh lipoksigenase (Cahyadi, 2006). Ada 2 tipe kerusakan minyak/lemak yang utama yaitu ketengikan dan hidrolisis. Ketengikan terjadi bila komponen cita rasa dan bau yang mudah menguap terbentuk sebagai akibat keruskan oksidatif dari lemak dan minyak yang tak jenuh. Komponen-komponen ini menyebabkan bau dan ciat rasa yang tak diinginkan dalam lemak/minyak dan produk-poduk yang mengandung minyak/lemak. Hidolisis minyak atau lemak menghasilkan asam-asam lemak bebas yang dpat mempengaruhi cita rasa dan bau daripada

bahan itu. Hidrolisis dapat disebabkan oleh adanya air dalam lemak atau minyak atau karena adanya kegiatan enzim (Buckle,1985). Jika lemak atau minyak dipanaskan sampai suhu tertentu akan mulai mengalami dekomposisi menghasilkan kabut berwarna biru atau

menghasilkan asap dengan bau karakteristik yang menusuk. Kebanyakan lemak dan minyak mulai berasap pada suhu di atas 200oC. Umumnya, minyak nabati mempunyai titik asap lebih tinggi daripada lemak hewani. Dekomposisi trigliserida menghasilkan sejumlah kecil gliserol dan asam lemak. Gliserol mengalami dekomposisi lebih lanjut menghasilkan senyawa yang dinamakan akrolein. Proses dekomposisi ini tidak dapat berlangsung balik dan sewaktu menggunakan lemak atau minyak untuk menggoreng, hendaknya suhu penggorengan agar selalu dibawah titik asap. Ttitik asap bermanfaat dalam menentukan minyak atau lemak yang sesuai untuk keperluan menggoeng. Pemanasan ulang lemak atau minyak dan terdapatnya bagian-bagian makan yang hangus akan menurunkan titik asap. Pemanasan ulang juga akan mengakibatkan perubahan oksidatif dan hidrolitik pada lemak dan minyak akibat akumulasi substansi yang akan memberikan flavor yang tidak disukai (Gaman dan Sherrington, 1981). Kerusakan lemak yang utama dalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak.

Molekul-molekul lemak yang mengandung radikal asam lemak tidak jenuh mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Bau tengik yang tidak sedap tersebut disebabkan oleh pembentukan senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida. Kemudian radikal ini dengan O2 membentuk peroksida aktif yang dapat membentuk hidroperoksida yang bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek oleh radiasi energi tinggi, energi panas, katalis logam, atau enzim. Senyawa-senyawa dengan rantai C lebih pendek ini adalah asam-asam lemak, aldehida-aldehida, dan keton yang bersifat volatil dan menimbulkan bau tengik pada lemak (Winarno, 2008). C. METODOLOGI 1. Alat a. Pipet tetes b. Pipet 20 ml c. Pipet 1 ml d. Buret 50 ml e. Gelas ukur 100 ml 2. Bahan a. Minyak sawit Minyak sawit baru Minyak sawit bekas tempe 1x Minyak sawit bekas tempe 3x Minyak sawit bekas tempe 5x Minyak sawit bekas tempe 7x Minyak sawit bekas tempe gosong Minyak sawit bekas goreng kerupuk Minyak sawit bekas goreng ikan f. Erlemeyer g. Hot plate h. Thermometer i. Neraca analitik j. Erlenmeyer 250 ml

b. Asam asetat glacial c. Kloroform d. KI jenuh e. Aquadest

f. Na-tiosulfat 0,01N g. Air h. Amilum 3. Cara Kerja a. Penentuan Bilangan Peroksida Ditimbang 5 gr sampel minyak ke dalam Erlenmeyer 250 ml

Erlemeyer dibungkus aluminium foil

Ditambahkan 30 ml pelarut (60% asam asetat glacial + 40% kloroform), dikocok sampai semua sampel minyak larut

Ditambahkan 0,5 ml larutan KI jenuh, didiamkan selama 2 menit di dalam ruang gelap sambil digoyang

Ditambahkan 30 ml aquadest

Ditambahkan 1 ml indikator amilum

Dititrasi dengan larutan Na-tiosulfat 0,01N b. Penentuan Titik Asap Diambil 50 ml sampel minyak

Ditaruh ke dalam erlemeyer

Dipanaskan minyak di atas hot plate

Dicatat waktu mulai terbentuknya asap

D. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 3.1 Penentuan Bilangan Peroksida Kel. Sampel Minyak sawit baru Minyak bekas tempe 1x Minyak bekas tempe 3x Minyak bekas tempe 5x Minyak bekas tempe 7x Minyak bekas tempe gosong Minyak bekas goreng kerupuk 8 & 16 Minyak bekas goreng ikan Sumber : Laporan Sementara 1&9 2 &10 3 & 11 4 & 12 5 & 13 6 & 14 7 & 15 ts (ml) 0,2 0,3 0,5 0,5 0,4 0,8 0,7 0,6 tb (ml) 0 0 0 0 0 0 0 0 Angka Peroksida 0,4 0,6 1 1 0,8 1,6 1,5 1,2

Penggorengan merupakan proses thermal-kimia yang menghasilkan karakteristik makanan goreng dengan warna coklat keemasan, tekstur krispi penampakan dan flavor yang diinginkan, sehingga makanan gorengan sangat popular. Penggunaan minyak goreng berulang kali akan mengakibatkan kerusakan minyak. Berbagai macam reaksi yang terjadi selama proses penggorengan seperti reaksi oksidasi, hidrolisis, polimerisasi, dan reaksi dengan logam dapat mengakibatkan minyak menjadi rusak. Kerusakan tersebut menyebabkan minyak menjadi berwarna kecoklatan, lebihkental, berbusa, berasap, serta meninggalkan odor yang tidak disukai pada makanan hasil gorengan. Perubahan akibat pemanasan tersebut antara lain disebabkan oleh terbentuknya senyawa yang bersifat toksik dalam bentuk hidrokarbon, asam asam lemak hidroksi, epoksida, senyawa-senyawa siklik, dan senyawa senyawa polimer (Ketaren, 1986). Mutu suatu minyak dapat diketahui dari rasa dan aromanya. Mutu minyak yang sudah tidak baik akan ditandai dengan timbulnya bau tidak sedap/tengik. Menurut Winarno (2008), bau tengik yang tidak sedap tersebut disebabkan oleh pembentukan senyawa-senyawa hasil pemecahan

hidroperoksida, yaitu adanya radikal bebas yang berikatan dengan O2 membentuk peroksida aktif yang kemudian dapat membentuk hidroperoksida tersebut. Salah satu parameter mutu minyak goreng adalah dengan

menghitung bilangan peroksida. Bilangan peroksida dinyatakan dalam miliekuivalen peroksida dalam kg minyak (Sudarmadji, 2003). Penyebab ketengikan dari lemak ada 2, yaitu proses hidrolitik dan oksidatif. Ketengikan hidrolitik biasanya disebabkan oleh bekerjanya mikroorganisme terhadap lemak/minyak yang menimbulkan hidrolisis sederhana dari lemak menjadi asam lemak digliserida, monogliserida, dan gliserol. Lemak yang mengalami ketengikan hidrolitik tidak akan terganggu nilai gizinya. Sedangkan ketengikan oksidatif adalah karena asam lemak mengalami pengurangan hidrogen sehingga membentuk radikal bebas menjadi menjadi asam lemak hidro peroksida. Perubahan hidrolitik dan oksidatif inilah yang bertanggung jawab terhadap timbulnya ketengikan minyak nabati (Winarno, 1989). Pada praktikum kali ini digunakan beberapa macam sampel yaitu minyak sawit baru, minyak bekas goreng tempe 1x, minyak bekas goreng tempe 3x, minyak bekas goreng tempe 5x, minyak bekas goreng tempe 7x, minyak bekas goreng tempe gosong, minyak bekas goreng kerupuk, dan minyak bekas goreng ikan. Kedelapan sampel minyak sawit tersebut dihitung angka peroksidanya dengan metode titrasi iodine dan juga diuji kerusakannya berdasarkan titik asap (smoke point). Bilangan peroksida ditentukan dengan prosedur sebagai berikut: Minyak sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam Erlenmeyer tertutup dan ditambahkan 30 ml pelarut campuran asam asetat glacial : kloroform (3:2 v/v). Setelah minyak larut sempurna ditambahkan 0,5 ml larutan KI jenuh dan dibiarkan 1 menit sambil dikocok, kemudian ditambahkan 30 ml aquades. Penambahan pelarut campuran asam asetat glacial : kloroform (3:2) ini bertujuan agar lemak dapat tercampur atau larut dan dapat bereaksi dengan KI jenuh. Iodium yang dibebaskan oleh peroksida dititrasi dengan larutan

standar natrium tiosulfat (Na2S2O3) 0.1015 N dengan indikator amilum sampai warna biru hilang. Indikator amilum dipilih karena pati mampu memerangkap iodium sehingga membentuk kompleks warna biru dan lama-

kelamaan akan menghilang dengan bertambahnya natrium tiosulfat (Na2S2O3) sebagai zat penitrasi (Aminah, 2010). Reaksi oksidasi lemak (Winarno, 2008) dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.1 Reaksi Oksidasi Lemak Metode titrasi iodine yaitu dengan melarutkan sejumlah minyak ke dalam campuran asetat : kloroform (3 : 2) yang mengandung KI sehingga terjadi pelepasan iod (I2). Reaksinya sebagai berikut: R.COO + KI R.CO + H2O +I2 + K+ Iod yang bebas kemudian dititrasi dengan Na-thiosulfat menggunakan indikator amilum sampai warna biru hilang. Sehingga reaksinya bisa digambarkan sebagai berikut: I2 + Na2S2O3 NaI + Na2S4O6 (Sudarmadji, 2003).

Suatu minyak dikatakan tengik apabila nilai bilangan peroksidanya melebihi 100 ppm (ambang batas). Minyak mulai terasa jelas tengik bila bilangan peroksidanya 20 40 m Eq/kg (LIPI,1989). Adapun standar mutu minyak goreng di Indonesia diatur dalam SNI 01-3741-2002 menurut (Wijana, dkk., 2005). Standar mutu minyak goreng telah dirumuskan dan ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) yaitu SNI 01-3741-2002, SNI ini merupakan revisi dari SNI 01-3741-1995, menetapkan bahwa standar

mutu minyak goreng untuk batas maksimal kandungan peroksida minyak adalah 1 mg O/100 gram minyak. Dari hasil praktikum, angka peroksida pada sampel minyak sawit baru, sampel minyak bekas tempe 1x, dan sampel bekas goreng tempe 7x tidak melebihi batas dari standar yang ditetapkan oleh SNI (SII-92 = 1 mg O/100 gram minyak) yaitu berturut-turut sebesar 0,4; 0,6 dan 0,8. Sehingga dapat dikatakan minyak goreng tersebut masih dalam kondisi baik dan memungkinkan dapat digunakan kembali untuk menggoreng. Untuk sampel minyak bekas goreng tempe 3x dan 5x mempunyai angka peroksida sebesar 1, dimana berada pada batas maksimal kandungan peroksida yang diijinkan. Sedangkan untuk sampel minyak goreng bekas tempe gosong, minyak goreng bekas kerupuk dan minyak goreng bekas ikan, kandungan peroksidanya telah melampaui batas maksimal standar, yaitu berturut-turut sebesar 1,6; 1,5 dan 1,2. Dengan demikian minyak goreng tersebut sudah mengalami kerusakan dan sebaiknya tidak digunakan kembali. Sampel yang memiliki bilangan peroksida terendah adalah sampel minyak sawit murni yakni 0,4. Hal ini disebabkan pada minyak sawit baru laju pembentukan peroksida baru lebih kecil dibandingkan dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat kadar peroksida cepat mengalami degradasi dan bereaksi dengan zat lain. Sedangkan sampel dengan bilangan peroksida tertinggi adalah sampel minyak bekas tempe gosong yakni 1,6. Hal ini disebabkan karena minyak mempunyai aroma semakin tajam dan warna semakin gelap pada pengulangan penggorengan yang semakin banyak. Komponen-komponen yang dihasilkan dari reaksi-reaksi yang terjadi selama penggorengan akan terakumulasi pada pengulangan penggorengan yang semakin banyak. Selama penggorengan tempe, komponen tersebut akan terserap bersama minyak sehingga meningkatkan bilangan peroksida (Aminah, 2010). Pada sampel minyak bekas goreng tempe 1x, minyak bekas goreng tempe 3x, minyak bekas goreng tempe 5x, minyak bekas goreng tempe 7x, minyak bekas goreng kerupuk dan minyak bekas goreng ikan didapatkan

bilangan peroksida berturut-turut sebesar 0,6 ; 1; 1; 0,8 ; 1,5 dan 1,2. Bilangan peroksida pada sampel minyak goreng bekas lebih besar daripada minyak sawit baru. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Oksidasi lemak oleh oksigen terjadi secara spontan jika bahan berlemak dibiarkan kontak dengan udara, sedangkan kecepatan proses oksidasinya tergantung pada tipe lemak dan kondisi penyimpanan (Ketaren, 1986). Minyak curah atau minyak goreng bekas terdistribusi tanpa kemasan, paparan oksigen dan cahaya pada minyak curah lebih besar dibanding dengan minyak kemasan. Paparan oksigen, cahaya, dan suhu tinggi merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi oksidasi. Penggunaan suhu tinggi selama penggorengan memacu terjadinya oksidasi minyak. Semakin sering digunakan tingkat kerusakan minyak akan semakin tinggi (Wijana, dkk, 2005). Semakin besar angka peroksida, mengindikasikan bahwa minyak tersebut semakin rusak. Minyak dikatakan tengik apabila melebihi batas kandungan peroksida. Sehingga dapat dikatakan sampel pada percobaan yang mengalami ketengikan yakni sampel minyak bekas tempe gosong, minyak bekas goreng kerupuk, dan minyak bekas goreng ikan dimana nilai peroksidanya melebihi batas yakni masing masing sebesar 1,5 ;1,6; dan 1,2. Hasil praktikum ini belum sesuai teori, karena seharusnya bilangan peroksida minyak bekas goreng ikan lebih tinggi daripada minyak bekas goreng kerupuk karena kadar air pada bahan ikan yang digoreng lebih besar daripada kadar air kerupuk. Kadar air berperan dalam proses hidrolisis minyak yang dapat menyebabkan ketengikan, semakin tinggi kadar air mengakibatkan minyak semakin cepat tengik (Sudarmadji, dkk, 2003). Jadi, urutan bilangan peroksida dari yang terkecil ke yang terbesar berdasarkan hasil praktikum adalah minyak sawit baru, minyak bekas goreng tempe 1x, minyak bekas goreng tempe 7x, minyak bekas goreng tempe 3x, minyak bekas goreng tempe 5x, minyak bekas goreng ikan, minyak bekas goreng kerupuk dan yang terakhir adalah minyak bekas goreng tempe gosong.

Tabel 3.2 Penentuan Titik Asap Kelompok Sampel Titik asap ( 0C ) 1&9 Minyak sawit baru 210 2 &10 Minyak bekas tempe 1x 208 3 & 11 Minyak bekas tempe 3x 212 4 & 12 Minyak bekas tempe 5x 206 5 & 13 Minyak bekas tempe 7x 213 6 & 14 Minyak bekas tempe gosong 211 7 & 15 Minyak bekas goreng kerupuk 198 8 & 16 Minyak bekas goreng ikan 208 Sumber : Laporan Sementara Titik asap adalah titik dimana minyak akan mengeluarkan asap tipis berwarna kebiru-biruan, sehingga pada titik ini minyak kehilangan kestabilannya terhadap kadar lemak tak jenuhnya. Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akreolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan, hidrasi gliserol akan membentuk aldehida tidak jenuh atau akrelein tersebut. Hasil praktikum didapatkan titik asap terkecil adalah sampel minyak bekas goreng kerupuk. Sedangkan titik asap terbesar adalah sampel minyak bekas goreng tempe 7x. Hasil ini tidak sesuai teori karena seharusnya sampel yang memiliki titik asap terbesar adalah minyak sawit baru karena belum rusak. Makin tinggi titik asap, makin baik mutu minyak goreng itu. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol bebas. Lemak yang telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan turun, karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak. Oleh karena itu untuk menekan terjadinya

hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak sebaiknya dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dari seharusnya (Winarno, 1989). Berdasarkan data hasil pengamatan bilangan peroksida, seharusnya sampel minyak bekas goreng tempe gosong memiliki titik asap paling rendah karena bilangan peroksidanya paling tinggi. Bilangan peroksida berhubungan dengan nilai % FFA (asam lemak bebas) dalam minyak. Menurut Nielsen (2009), menjelaskan bahwa kandungan FFA (asam lemak bebas) dalam minyak berpengaruh terhadap besarnya titik asap minyak goreng. Semakin

besar kandungan FFA (asam lemak bebas) dalam minyak maka titik asapnya akan semakin kecil atau menurun, yang berarti bahwa kualitas minyak semakin buruk. Menurut SNI 01-3741-2002 mengenai syarat mutu minyak goreng, titik asap minyak goreng minimal 2000C. Dari hasil praktikum, didapatkan hasil bahwa hanya sampel minyak goreng bekas kerupuk yang mempunyai titik asap dibawah 200oC yaitu sebesar 198oC, Hal ini berarti sampel tersebut memiliki mutu paling jelek dibandingkan dengan sampel-sampel yang lainnya. Menurut Gaman dan Sherrington (1981), umumnya, minyak nabati mempunyai titik asap lebih tinggi daripada lemak hewani. Dari hasil praktikum, nilai sampel minyak bekas goreng ikan (bahan hewani) mempunyai titik asap dibawah titik asap sampel minyak bekas goreng tempe (bahan nabati) secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena dekomposisi trigliserida menghasilkan sejumlah kecil gliserol dan asam lemak. Gliserol mengalami dekomposisi lebih lanjut menghasilkan senyawa yang dinamakan akrolein. Proses dekomposisi ini tidak dapat berlangsung balik dan sewaktu menggunakan lemak atau minyak untuk menggoreng. Sedangkan titik asap minyak bekas goreng tempe (nabati) secara keseluruhan berada diatas 200oC. Urutan titik asap dari yang terkecil ke yang terbesar menurut hasil praktikum adalah minyak bekas goreng kerupuk, minyak bekas goreng tempe 5x, minyak bekas goreng tempe 1x, minyak bekas goreng ikan, minyak sawit baru, minyak bekas goreng tempe gosong, minyak bekas goreng tempe 3x dan yang terakhir adalah minyak bekas goreng tempe 7x. Pemanasan ulang lemak atau minyak dan terdapatnya bagian-bagian makan yang hangus akan menurunkan titik asap. Pemanasan ulang juga akan mengakibatkan perubahan oksidatif dan hidrolitik pada lemak dan minyak akibat akumulasi substansi yang akan memberikan flavor yang tidak disukai (Gaman dan Sherrington, 1981). Sehingga urut-urutan hasil tersebut tidak sesuai dengan teori yang ada, karena pada pengulangan penggorengan ke 7x titik asapnya justru lebih besar dari pada sampel minyak baru, begitu pula pada sampel minyak bekas goreng

tempe 3x. Oleh karena itu, seharusnya urut-urutan titik asap yang sesuai dengan teori dari yang paling besar adalah sampel minyak sawit baru, minyak bekas goreng tempe 1x, minyak bekas goreng tempe 3x, minyak bekas goreng tempe 5x, minyak bekas goreng tempe7x, minyak bekas goreng kerupuk, minyak bekas tempe gosong dan minyak bekas goreng ikan.

E. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari acara III Evaluasi Bilangan Peroksida Dan Titik Asap Minyak Goreng ini adalah sebagai berikut: 1. Peroksida merupakan suatu tanda adanya pemecahan atau kerusakan pada minyak karena terjadi oksidasi (kontak dengan udara), yang menyebabkan bau/aroma tengik pada minyak 2. Bilangan peroksida dinyatakan dalam miliekuivalen peroksida dalam 1000 gram minyak 3. Urutan bilangan peroksida dari yang terkecil ke yang terbesar berdasarkan hasil praktikum adalah minyak sawit baru, minyak bekas goreng tempe 1x, minyak bekas goreng tempe 7x, minyak bekas goreng tempe 3x, minyak bekas goreng tempe 5x, minyak bekas goreng ikan, minyak bekas goreng kerupuk dan yang terakhir adalah minyak bekas goreng tempe gosong 4. Semakin besar angka peroksida, mengindikasikan bahwa minyak tersebut semakin rusak 5. Minyak dikatakan tengik apabila melebihi batas kandungan peroksida 6. Titik asap adalah titik dimana minyak akan mengeluarkan asap tipis berwarna kebiru-biruan, sehingga pada titik ini minyak kehilangan kestabilannya terhadap kadar lemak tak jenuhnya 7. Urutan titik asap dari yang terkecil ke yang terbesar menurut hasil praktikum adalah minyak bekas goreng kerupuk, minyak bekas goreng tempe 5x, minyak bekas goreng tempe 1x, minyak bekas goreng ikan, minyak sawit baru, minyak bekas goreng tempe gosong, minyak bekas goreng tempe 3x dan yang terakhir adalah minyak bekas goreng tempe 7x

8. Semakin tinggi titik asap maka semakin baik mutu minyak goreng, begitu juga sebaliknya

DAFTAR PUSTAKA

Aminah, Siti. 2010. Bilangan Peroksida Minyak Goreng Curah Dan Sifat Organoleptik Tempe Pada Pengulangan Penggorengan. Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 01 No. 01 Tahun 2010. Buckle, dkk. 1985. Ilmu pangan. UI-Press. Jakarta. Cahyadi, Dr. Ir. Wisnu. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Bumi aksara. Jakarta. Fan, H. Y., dkk. 2013. Frying Stability Of Rice Bran Oil and Palm Olein. School of Food Science and Nutrition, Universiti Malaysia Sabah, Jalan UMS, 88400 Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. International Food Research Journal 20(1): 403-407 (2013). Gaman dan sherrington. 1981. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Ketaren, S.1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press. Jakarta. Miller, Matt. 2010. Oxidation of food grade oils. Plant and Food Research.
Nielsen, S. Suzanne. 2009. Food Analysis. Fourth Edition. Purdue University Dept. Food Science, USA. Springer New York Dordrecht Heidelberg London.

Shahidi, Fereidoon, dkk. 2005. Lipid Oxidation: Measurement Methods. Memorial University of Newfoundland, St. Johns, Newfoundland. Canada. Sudarmadji. S, Bambang Haryono dan Suhardi. 2003. Analisis Bahan Pangan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta. Sukasih, dkk. 2009. Optimasi Kecukupan Panas Pada Pasteurisasi Santan dan Pengaruhnya Terhadap Mutu Santan yang Dihasilkan. J.Pascapanen 6(1) 2009: 34-42.
Winarno. 2008. Kimia Pangan dan Gizi Edisi Terbaru. M-Brio Press. Bogor.

You might also like