You are on page 1of 16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Buah Semangka
Semangka (Citrullus vulgaris, Schard) merupakan salah satu buah yang sangat
digemari masyarakat Indonesia karena rasanya yang manis, renyah dan kandungan
airnya yang banyak. Menurut asal-usulnya, tanaman semangka konon berasal dari
gurun Kalahari di Afrika, kemudian menyebar ke segala penjuru dunia, mulai dari
Jepang, Cina, Taiwan, Thailand, India, Belanda, bahkan ke Amerika. Semangka biasa
dipanen buahnya untuk dimakan segar atau dibuat jus. Biji semangka yang
dikeringkan dan disangrai juga dapat dimakan isinya sebagai kuaci. Buah semangka
memiliki kulit yang keras, berwarna hijau pekat atau hijau muda dengan larik-larik
hijau tua tergantung kultivarnya, daging buahnya yang berair berwarna merah atau
kuning. (Prajnanta, 2003)


2.1.1 Sistematika Tanaman Semangka Merah

Berdasarkan klasifikasinya, tanaman semangka merah termasuk ke dalam:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Subkelas : Sympetalae
Ordo : Cucurbitales
Famili : Cucurbitaceae
Genus : Citrullus
Species : Citrullus vulgaris, Schard
(Rukmana, 1994)
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Manfaat Buah Semangka

Buah semangka diketahui mengandung zat-zat tertentu yang cukup efektif dalam
membunuh sel-sel kanker, yaitu zat yang mampu menghidupkan aktivitas fungsi sel
darah putih yang mampu meningkatkan sistem kekebalan. Hasil percobaan
menunjukkan bahwa semangka mengandung zat-zat yang dapat menstimulir
phagocyte, yaitu suatu sel darah yang mampu melindungi sistem darah dari infeksi
dengan cara menyerap mikroba untuk mematikan sel-sel penyebab penyakit kanker.
Kandungan kalori buah semangka sangat rendah sehingga semangka dapat berfungsi
sebagai diuretik. Buah semangka mengandung pigmen karotenoid jenis flavonoid
yang memberikan warna daging buah merah atau kuning. (Prajnanta, 2003)

2.1.3 Kandungan Gizi Buah Semangka
Kandungan gizi dari buah semangka dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1 Kandungan gizi buah semangka per 100 gram bahan
Kandungan gizi
Banyaknya
1) 2)
Air
Kalori
Protein
Lemak
Karbohidrat
Kalsium
Fosfor
Zat Besi
Serat
Natrium
Kalium
Niacin
Vitamin B
1

Vitamin C
92,10 g
28,00 kal
0,50 g
0,20 g
6,90 g
7,00 mg
12,00 mg
0,20 mg
-
-
-
-
0,05 mg
6,00 mg
92,30 g
28,00 kal
0,10 g
0,20 g
7,20 g
8,00 mg
7,00 mg
0,20 mg
0,50 mg
1,00 mg
82,00 mg
-
0,20 mg
6,00 mg
Sumber : 1) Direktorat gizi Depkes R.I (1981), 2) Food and Nutrition Research
Center, Handbook No.1 Manila (1964).
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Manfaat dan Kandungan Gizi Kulit/Pulp Buah Semangka
Menurut riset dari Bhimu Patil, seorang peneliti dan direktur Texas A&M's Fruit and
Vegetable Improvement Center, Amerika Serikat, pada daging dan kulit/pulp buah
semangka ditemukan zat citrulline. citrulline lebih banyak ditemukan pada kulit
semangka yakni sekitar 60 persen dibanding dagingnya. Zat ini juga dapat ditemukan
pada semua warna semangka dan yang paling tinggi kandungannya adalah jenis
semangka kuning. Zat citrulline ini akan bereaksi dengan enzim tubuh ketika
dikonsumsi dalam jumlah yang cukup banyak lalu diubah menjadi arginin, asam
amino non essensial yang berkhasiat bagi jantung dan kekebalan tubuh.



Gambar 2.1 Kulit Buah Semangka
(http://my.meishichina.com)
Kulit/pulp buah semangka juga kaya akan vitamin, mineral, enzim, dan
klorofil. Vitamin-vitamin yang terdapat pada kulit buah semangka meliputi vitamin A,
vitamin B
2
, vitamin B
6
, vitamin E, dan vitamin C. Kandungan vitamin E, vitamin C,
dan protein yang cukup banyak pada kulit buah semangka dapat digunakan untuk
menghaluskan kulit, rambut, dan membuat rambut tampak berkilau. Sedangkan
betakaroten dan likopen yang terdapat pada kulit buah semangka dapat dimanfaatkan
sebagai antioksidan untuk mengencangkan kulit wajah dan mencegah timbulnya
keriput pada wajah. (http://forum.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/ )
Cara memanfaatkan kulit/pulp semangka dapat dikatakan tidak sulit. Di
beberapa negara seperti Amerika Selatan, Rusia, Ukraina, Rumania, Bulgaria, dan
Arab, kulit buah semangka sering dibuat acar atau dimakan sebagai sayuran. Kulit
buah semangka juga dapat diminum setelah dijus dengan campuran buah lainnya.
Selain itu, kulit buah semangka dapat langsung digunakan dengan cara diparut dan
ditempel pada wajah sebagai masker atau digosok-gosokkan pada kulit kepala untuk
menghilangkan ketombe dan membuat rambut tampak lebih berkilau.
(http://forum.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/ )

Universitas Sumatera Utara
2.2 Acetobater xylinum

Acetobacter xylinum merupakan bakteri berbentuk batang pendek, yang mempunyai
panjang 2 mikron dan lebar 0,6 mikron, dengan permukaan dinding yang berlendir.
Bakteri ini biasa membentuk rantai pendek dengan satuan 6-8 sel dan dengan
pewarnaan Gram menunjukkan Gram negatif. Pada kultur sel yang masih muda,
individu sel berada sendiri-sendiri dan transparan. Koloni yang sudah tua membentuk
lapisan menyerupai gelatin yang kokoh menutupi sel koloninya.
(http://inacofood.wordpress.com/)

Acetobacter xylinum memproduksi kapsul secara berlebihan dan digunakan
dalam pembuatan nata de coco. (Fardiaz, 1992). Bakteri ini mampu mensintesis
selulosa dari glukosa. Nata yang dihasilkan berupa pelikel yang mengambang di
permukaan substrat. Bakteri ini juga terdapat pada produk kombucha yaitu teh yang
difermentasi. (Hidayat, 2006)

Acetobacter xylinum dapat tumbuh dengan baik pada kondisi aerob, yaitu perlu
adanya oksigen bebas dari udara dan dalam suasana asam. Untuk membuat suasana
aerob biasanya wadah untuk fermentasi memiliki permukaan yang luas dan penutupan
dengan penutup yang masih bisa ditembus oleh udara, misalnya dengan kertas yang
berpori-pori. (Wahyudi, 2003)
Acetobacter xylinum yang ditambahkan pada awal fermentasi sebagai bibit
dapat juga bersimbiosis dengan Acetobacter lain yang muncul selama proses
fermentasi berlangsung. Keberadaanya dapat menguntungkan maupun merugikan bagi
proses fermentasi. Selain itu, pada proses fermentasi dengan hasil yang baik,
keragaman spesies Acetobacter yang ada dalam media fermentasi harus terkontrol,
karena isolat Acetobacter yang berbeda akan menghasilkan karakter serat selulosa
yang berbeda pula. (Hidayat, 2006)
Bakteri Acetobacter xylinum mengalami beberapa fase pertumbuhan sel yaitu
fase adaptasi, fase pertumbuhan awal, fase pertumbuhan eksponensial, fase
pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan tetap, fase menuju kematian, dan fase
kematian. Fase pertumbuhan adaptasi dicapai pada 0-24 jam sejak inokulasi. Fase
Universitas Sumatera Utara
pertumbuhan awal dimulai dengan pembelahan sel dengan kecepatan rendah. Fase ini
berlangsung beberapa jam saja. Fase eksponensial dicapai antara 1-5 hari. Fase ini
sangat menentukan kecepatan strain Acetobacter xylinum dalam membentuk nata.
Fase pertumbuhan lambat terjadi karena nutrisi telah berkurang, terdapat
metabolik bersifat racun yang menghambat pertumbuhan bakteri. Fase pertumbuhan
tetap terjadi keseimbangan antara sel yang tumbuh dan yang mati. Matrik nata lebih
banyak diproduksi pada fase ini. Fase menuju kematian terjadi akibat nutrisi dalam
media sudah hampir habis. Setelah nutrisi habis, bakteri akan mengalami fase
kematian. Pada fase kematian sel dengan cepat mengalami kematian. Bakteri hasil dari
fase ini tidak baik untuk strain nata. (http://inacofood.wordpress.com/)
Meskipun bakteri Acetobacter xylinum dapat tumbuh pada pH 3,5 7,5,
namun akan tumbuh optimal bila pH nya 4,3. Sedangkan suhu optimum bagi
pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum pada suhu 28 31
0
C. Bakteri ini sangat
memerlukan oksigen. Sehingga dalam fermentasi tidak perlu ditutup rapat namun
hanya ditutup untuk mencegah kotoran masuk ke dalam media yang dapat
mengakibatkan kontaminasi. (http://inacofood.wordpress.com/)


2.3 Selulosa

2.3.1 Selulosa Tumbuhan

Selulosa merupakan komponen dasar dari bahanbahan asal tumbuh-tumbuhan, dan
produksi selulosa melampaui semua zat-zat alamiah lain. Zat- zat yang menetap di
dalam tanah dan sisa tumbuh-tumbuhan yang dikembalikan ke dalam tanah, 40-70%
terdiri dari selulosa. Komponen selulosa yang demikian tinggi menggaris bawahi
pentingnya pengurai selulosa pada proses mineralisasi dan peredaran karbon. Sifat-
sifat fisik dari fibril selulosa terutama kekokohan dan ketidaklarutannya, tidak sesuai
dengan struktur berupa rantai tunggal. Seutas benang selulosa terdiri dari fibril
selulosa yang diliputi oleh selaput lilin dan pektin. (Schiegel, 1994)


Universitas Sumatera Utara

Selulosa adalah polisakarida yang terdiri dari rantai-rantai panjang unit-unit
glukosa. Struktur dasarnya serupa dengan pati tetapi unit glukosanya berikatan dengan
cara yang berbeda. Selulosa penting sebagai sumber serat dalam susunan makanan dan
penting untuk kelancaran jalannya makanan dalam saluran pencernaan dan
pengosongan periodik rongga lambung. Sapi dan binatang ruminansia lain dapat
memecah dan menggunakan selulosa sebagai sumber energi karena mempunyai
bakteri yang mampu memecah selulosa dalam rumennya. (Gaman, 1992)








Gambar 2.2 Struktur Kimia Selulosa
(Sumber : Fessenden, R.J, dan Fessenden, J.S., 1986)

Selulosa merupakan senyawa organik yang paling melimpah di bumi. Selulosa
membentuk komponen serat dari dinding sel tumbuhan. Molekul selulosa merupakan
rantai-rantai, atau mikrofibril dari D-glukosa sampai sebanyak 14.000 satuan yang
terdapat sebagai berkas-berkas terpuntir mirip tali yang terikat satu sama lain oleh
ikatan hidrogen. Suatu molekul tunggal selulosa merupakan polimer lurus dari 1,4-
D-glukosa. Meskipun binatang menyusui tidak mengeluarkan enzim untuk memecah
selulosa menjadi glukosa, bakteri dan protozoa tertentu mengeluarkan enzim-enzim
ini. (Fessenden, R.J, dan Fessenden, J.S., 1986)


2.3.2 Selulosa Bakteri

Mikroorganisme yang dapat menghasilkan selulosa adalah Acetobacter. Acetobacter
adalah suatu bakteri yang digunakan untuk memproduksi asam cuka. Dalam produksi
asam cuka, sering ditemukan gel atau lapisan pada permukaan cairan. Sekitar seabad
yang lalu materi ini ditetapkan sebagai selulosa. Selulosa yang berasal dari bakteri ini
dinamakan selulosa bakteri, dan berbeda dengan selulosa yang berasal dari tumbuhan.
Universitas Sumatera Utara
Selulosa bakteri ini telah dimakan selama beberapa tahun terakhir sebagai makanan
pencuci mulut yang dinamakan nata de coco. (Phillips, G.O dan Williams, P.A.,
2000)

Beberapa jenis polisakarida disintesis oleh bakteri. Sebagai contoh, A. xylinum
memproduksi selulosa dari gliserol dan sumber karbon lainnya. (Pelczar, 1958)
Selulosa bakteri mempunyai kadar air sekitar 98-99%, mempunyai daya serap yang
baik terhadap cairan dan dapat disterilisasi tanpa merubah karakteristiknya. Karena
bentuknya yang mirip seperti kulit manusia, selulosa bakteri dapat digunakan sebagai
pengganti kulit untuk merawat luka bakar yang serius. Selulosa bakteri ini disintesis
dari Acetobacter xylinum. Struktur serat dari selulosa bakteri ini terdiri dari jaringan
mikrofibril tiga dimensi yang tersusun dari rantai glukosa yang terikat oleh ikatan
hidrogen (Ciechaska, 2004)







Gambar 2.3 Struktur Selulosa Bakteri
(http://res.titech.ac.jp)

Selulosa bakteri mempunyai struktur kimia yang sama dengan selulosa
tumbuhan, dan merupakan suatu polisakarida rantai lurus yang mempunyai molekul
D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan -1,4. Meskipun mempunyai struktur kimia
yang sama dengan selulosa tumbuhan, selulosa bakteri tersusun dari serat selulosa
yang lebih banyak. Setiap serat tunggalnya memiliki diameter sekitar 50 nm, dan
selulosa bakteri terdapat dalam bentuk kumpulan serat-serat tunggal yang berdiameter
0,1-0,2 m. Sebagai perbandingan, diameter dari serat selulosa tumbuhan adalah
sekitar 10-30 m. (Phillips, G.O dan Williams, P.A., 2000).

Universitas Sumatera Utara
Selulosa bakteri mempunyai keunggulan yaitu mempunyai kemurnian dan
derajat kristalinitas yang tinggi, mempunyai kerapatan antara 300 dan 900 kg/m
3
,
kekuatan tarik yang tinggi, serta elastis. (Krystinowich, 2001)

2.4 Fermentasi
Kata fermentasi berasal dari kata latin ferfere yang artinya mendidihkan. Ini
dapat dianggap sebagai suatu peninggalan pada waktu ilmu kimia masih sangat muda
sehingga terbentuknya gas dari suatu cairan kimia hanya dapat dibandingkan dengan
keadaan seperti air mendidih. Pada masa itu memang belum diketahui bahwa kejadian
tersebut dapat pula terjadi oleh terbentuknya gas-gas lain dalam cairan. (Judoamidjojo,
1992)
Fermentasi merupakan kegiatan mikrobia pada bahan pangan sehingga
dihasilkan produk yang dikehendaki. Mikrobia yang umumnya terlibat dalam
fermentasi adalah bakteri, khamir dan kapang. Contoh bakteri yang digunakan dalam
fermentasi adalah Acetobacter xylinum pada pembuatan nata de coco. (Hidayat, 2006)
Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan,
sebagai akibat dari pemecahan kandungan - kandungan bahan pangan tersebut.
Misalnya buah atau sari buah dapat menghasilkan rasa dan bau alkohol, susu menjadi
asam dan lainnya. (Winarno, 1980)

Fermentasi adalah reaksi dengan menggunakan biokatalis untuk mengubah
bahan baku menjadi produk. Biokatalis yang digunakan adalah bakteri, yeast atau
jamur. Prosesnya dilakukan dalam sebuah bejana yang disebut bioreaktor atau
fermentor. Umpan yang masuk ke fermentor disebut substrat. Substrat utama adalah
sumber karbon yang digunakan oleh mikroorganisme untuk memberikan energi untuk
pertumbuhan dan produksi produk akhir.

Mikroorganisme juga membutuhkan nutrient lainnya. Nutrient ini juga menyediakan
elemen-elemen kunci pada penyusunan struktur molekul dari komponen 2 sel seperti
nukleus, dinding sel, dan membran. Nutrien yang umum adalah sulfur, phosphor,
potassium, magnesium, nitrogen, dan mineral - mineral lainnya. Sel yang hidup
Universitas Sumatera Utara
membutuhkan oksigen untuk memelihara pertumbuhan, sehingga kebutuhan oksigen
untuk fermentasi dengan mikroorganisme aerobik disuplai dengan gelembung udara
ke dalam fermentor. (Riadi, 2007)

Alat atau perlengkapan yang memberi kondisi untuk berlangsungnya bioreaksi
dinamakan pula fermentor. Alat ini dapat dibuat dalam berbagai tipe. Menurut
Denbigh dan Turner, (1971) jenis fermentor dapat digolongkan dalam tipe berikut:

1. Fermentor Batch (FB)
Fermentor tipe batch adalah jenis yang asli yang mempunyai kelemahan
terutama dalam kecepatan produksi. Kondisi bahan maupun mikroorganisme dalam
fermentor batch secara menyeluruh mengalami perubahan seiring dengan waktu
sampai pada tingkat tertentu saat pemanenan harus dilakukan untuk proses lebih
lanjut, seperti pemurnian dan lain sebagainya.

2. Fermentor Teraduk kontinu (FTK)
Pada fermentor teraduk kontinu terdiri dari deretan bejana silindrik yang
dilengkapi masing-masing dengan alat pengaduk. Pemasukan bahan diberikan ke
dalam bejana secara periodik. Bahan terfermen sebagian dipindahkan ke bejana
selanjutnya dalam periode yang sama dalam pemberian pertama.

3. Fermentor Tubular (FT)
Fermentor tubular terdiri dari suatu tabung yang biasanya agak memanjang
untuk menjamin berlangsungnya fermentasi secukupnya selama proses dalam tabung
untuk dipanen pada terminal terakhir. (Judoamidjojo, 1992)


2.4.1 Pengendalian Fermentasi

Secara alami bahan pangan mengalami kontaminasi oleh mikrobia, dan akan menjadi
busuk bilamana tidak dijaga. Jenis kegiatan yang akan berkembang tergantung pada
kondisi lingkungan yang ada.

Universitas Sumatera Utara
a. pH kebanyakan bahan pangan segar alami yang dikonsumsi manusia sebagai
bahan pangan bersifat asam. Rentang nilai pH untuk sayuran ialah 6,5-4,6 dan
untuk buah-buahan ialah 4,5-3,0.

b. Sumber Energi Oleh karena kebutuhan yang utama dari mikrobia ialah
suatu sumber energi, maka karbohidrat yang terlarut dan cepat tersedia
berpengaruh pada populasi mikroba yang akan mendominasi.

c. Oksigen Derajat anaerobis merupakan faktor utama dalam pengendalian
fermentasi. Populasi bakteri yang akan mendominasi suatu substart dapat
dimanipulasikan dengan kebutuhan oksigennya dan ketersediannya. Produk
akhir dari suatu fermentasi sebagian dapat dikendalikan dengan tegangan
oksigen substrat apabila faktor-faktor lainnya optimum.

d. Suhu setiap golongan mikrobia memiliki suhu pertumbuhan yang optimum,
sehingga pengaturan suhu suatu substrat merupakan kendali yang positif
terhadap pertumbuhannya. Untuk memperoleh hasil yang maksimum selama
proses fermentasi, harus diciptakan kondisi suhu yang optimum bagi
pertumbuhan organisme. (Desrosier, 1988)


2.4.2 Keuntungan dan Kerugian Fermentasi

Makanan-makanan yang mengalami fermentasi biasanya mempunyai nilai gizi yang
lebih tinggi daripada bahan asalnya. Hal ini tidak hanya disebabkan karena mikroba
bersifat katabolitik atau memecah komponen-komponen yang kompleks menjadi zat-
zat yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dicerna, tetapi mikroba dapat juga
mensintesa beberapa vitamin yang kompleks dan faktor-faktor pertumbuhan badan
lainnya, misalnya produksi dari beberapa vitamin seperti riboflavin, vitamin B
12
dan
provitamin A. ( Winarno, 1980)

Melalui proses fermentasi juga dapat terjadi pemecahan oleh enzim-enzim
tertentu terhadap bahan-bahan yang tidak dapat dicerna oleh manusia seperti selulosa
Universitas Sumatera Utara
menjadi gula sederhana atau turunannya. Beberapa makanan yang mengalami
fermentasi juga dapat menyebabkan keracunan yang disebabkan oleh terbentuknya
toksin sebagai hasil metabolisme mikroba selama tumbuh. ( Winarno, 1980)


2.5 Fermentasi Nata

Nata berasal dari bahasa spanyol yang berarti krim (cream). Krim ini dibentuk oleh
mikroorganisme Acetobacter xylinum melalui proses fermentasi. Mikroorganisme ini
membentuk gel pada permukaan larutan yang mengandung glukosa. (Palungkun,
2006)

Nata merupakan suatu bahan makanan hasil fermentasi oleh bakteri Acetobacter
xylinum yang kaya akan selulosa, bersifat kenyal, transparan, dan rasanya menyerupai
kolang-kaling. Menurut Rahman (1992) Acetobacter xylinum dapat tumbuh dan
berkembang dalam medium glukosa dan akan mengubah glukosa menjadi selulosa.
(Budiyanto, 2004)

Sumber glukosa merupakan faktor penting dalam proses fermentasi. Bakteri
untuk menghasilkan nata membutuhkan sumber glukosa bagi proses metabolismenya.
Glukosa akan masuk ke dalam sel yang dibutuhkan dalam perkembang biakannya.
Jumlah glukosa yang ditambahkan harus diperhatikan sehingga mencukupi untuk
metabolisme dan pembentukan pikel nata. (Hidayat, 2006). Tanpa penambahan gula,
tekstur nata menjadi kurang tebal. Sebaliknya, penambahan gula yang terlalu banyak
(konsentrasi gula terlalu pekat) menyebabkan bakteri mengalami plasmolisis
(kematian). (Warisno, 2009)

Selain glukosa, nitrogen juga merupakan faktor penting. Nitrogen diperlukan
untuk pertumbuhan sel dan pembentukan enzim. Zwelzeneur Ammonia (ZA) atau
Urea mengandung nitrogen yang berguna untuk meningkatkan aktivitas atau sebagai
nutrisi Acetobacter xylinum. Keuntungannya nata yang dihasilkan menjadi lebih
banyak dalam waktu yang singkat. Sebaliknya, tanpa penggunaan nitrogen nata yang
dihasilkan akan sedikit. (Warisno, 2009)
Universitas Sumatera Utara

Bakteri Acetobacter xylinum akan tumbuh optimum pada media yang asam.
Derajat keasaman yang dibutuhkan dalam pembuatan nata adalah 3-5. Pada kedua
sisipH optimum, aktifitas enzim seringkali menurun dengan tajam. Suatu perubahan
kecil pada pH dapat menimbulkan perbedaan besar pada kecepatan beberapa reaksi
enzimatis yang amat penting bagi organisme. (Budiyanto, 2004). Jenis asam yang
sering digunakan adalah asam asetat atau asam cuka. Kelebihannya, harga lebih murah
dan mudah didapatkan dibanding asam organik lain. Jumlah penambahannya
tergantung pada derajat keasaman media sebelumnnya. (Warisno, 2009)

Lama fermentasi yang digunakan dalam pembuatan nata ini pada umumnya 2-
4 minggu. Minggu ke-4 dari waktu fermentasi merupakan waktu maksimal produksi
nata. Tempat fermentasi sebaiknya tidak terbuat dari unsur logam karena mudah
korosif, disamping itu tempat fermentasi diupayakan tidak mudah terkontaminasi,
tidak terkena cahaya matahari, dan jauh dari sumber panas dan jangan sampai
langsung berhubungan dengan tanah. (Budiyanto, 2004)

Selain itu, pada proses pembentukan nata harus dihindari gerakan atau
goncangan karena akan menenggelamkan lapisan nata yang telah terbentuk yang
menyebabkan terbentuknya lapisan baru, dimana lapisan pertama dan yang baru tidak
dapat bersatu. Hal ini akan menyebabkan ketebalan produk nata menjadi tidak
standard. Kriteria nata yang berkualitas dapat dilihat dari segi kandungan bahan gizi
(protein, karbohidrat, lemak, air, abu, dan kadar serat), segi organoleptik (bau, rasa,
warna, dan tekstur), dan dari segi penampakan produk (berat basah dan ketebalan
produk). (Anonymous, 1991; Rahman, 1992)

Temperatur ruang inkubasi harus diperhatikan karena berkaitan dengan
pertumbuhan bakteri sehingga dapat tumbuh dan berkembang baik secara optimal.
Pada umumnya temperatur fermentasi untuk pembuatan nata adalah pada suhu kamar
(28
0
C). Jika suhu terlalu rendah nata yang dihasilkan kurang memuaskan. Temperatur
ruang yang terlalu tinggi akan menganggu pertumbuhan bakteri nata yang akhirnya
juga akan menghambat produksi nata. (Budiyanto, 2004)

Universitas Sumatera Utara
Dari hasil penelitian yang telah ada ternyata nata mempunyai kandungan
bahan gizi dan tingkat organoleptik yang berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh
perbedaan jenis bahan baku yang digunakan, konsentrasi starter, pH fermentasi, lama
fermentasi, konsentrasi suplementasi, tempat fermentasi, dan sebagainya. (Budiyanto,
2004)


2.6 Kadar Nutrisi Nata

2.6.1 Kadar Air

Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan
dalam persen. Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan
pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan citarasa pada bahan
pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet
bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri,
kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan pada
bahan pangan (Winarno, 1997)

Air yang terdapat dalam bentuk bebas dapat membantu terjadinya proses
kerusakan bahan makanan misalnya proses mikrobiologis, kimiawi, enzimatik, bahkan
oleh aktivitas serangga perusak.

Salah satu cara penentuan kadar air adalah dengan metode pengeringan
(thermogravimetri). Prinsipnya adalah menguapkan air yang ada dalam bahan dengan
jalan pemanasan. Kemudian menimbang bahan sampai berat konstan yang berarti
semua bahan sudah diuapkan. Untuk mempercepat penguapan air serta menghindari
terjadinya reaksi yang menyebabkan terbentuknya air ataupun reaksi yang lain.
(Sudarmadji, 1989)


2.6.2 Kadar Abu

Universitas Sumatera Utara
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu
dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Bahan yang
mempunyai kadar air tinggi sebelum pengabuan harus dikeringkan terlebih dahulu.
Temperatur pengabuan harus diperhatikan karena banyak elemen abu yang dapat
menguap pada suhu yang tinggi misalnya unsur K, Na, S, Ca, Cl, P.

Penentuan abu total dapat dikerjakan dengan pengabuan secara kering dan
dapat pula secara basah. Penentuan kadar abu secara kering adalah dengan
mengoksidasikan semua zat organik pada suhu yang tinggi, yaitu sekitar 500-600
0
C
dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran
tersebut. Penentuan kadar abu secara basah prinsipnya adalah memberikan reagen
kimia tertentu kedalam bahan sebelum dilakukan pengabuan. Setelah selesai
pengabuan, bahan kemudian diambil dari dalam cawan dan dimasukkan ke dalam
oven bersuhu 105
0
C sekitar 15-30 menit selanjutnya dipindahkan ke dalam desikator
yang telah dilengkapi dengan bahan penyerap uap air, kemudian dilakukan
penimbangan sampai diperoleh berat abu yang konstan. (Sudarmadji, 1989)


2.6.3 Kadar Serat Kasar

Serat adalah komponen dalam makanan yang tidak dapat digunakan sebagai sumber
energi karena tidak adanya enzim dalam usus manusia yang mampu menghidrolisis
serat. (Budiyanto, 2004)

Serat kasar mengandung senyawa selulosa, lignin dan zat lain yang belum
dapat diidentifikasi dengan pasti. Didalam analisa penentuan serat kasar
diperhitungkan banyaknya zat-zat yang tak larut dalam asam encer ataupun basa encer
dengan kondisi tertentu. Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisisnya adalah:

1. Menghilangkan lemak yang terkandung dalam sampel menggunakan pelarut
lemak.
Universitas Sumatera Utara
2. Pelarutan dengan asam dan pelarutan dengan basa. Kedua macam proses ini
dilakukan dala keadaan tertutup pada suhu terkontrol (mendidih) dan sedapat
mungkin dihilangkan dari pengaruh luar.
Langkah terakhir dari analisis serat kasar yaitu dengan mengabukan sampel
dalam tanur.

Serat kasar sangat penting dalam penilaian kualitas bahan makanan karena
merupakan indeks dan menentukan nilai gizi bahan makanan tersebut (Sudarmadji,
1989)


2.7 Uji Organoleptik

Uji organoleptik adalah penilaian menggunakan panca indera, penilaian menggunakan
kemampuan sensorik, tidak dapat diturunkan pada orang lain. Salah satu pengujian
organoleptik adalah dengan metode uji penyicipan. Dalam kelompok uji penyicipan
ini termasuk uji kesukaan (hedonik). Pada uji hedonik, panelis diminta tangggapannya
tentang kesukaan atau ketidaksukaan.

Disamping panelis mengemukakan tanggapan senang, suka atau kebalikannya,
mereka juga mengemukakan tingkat kesukaanya. Tingkat kesukaan ini disebut skala
hedonik. Dalam penganalisaan, skala hedonik diubah menjadi skala numerik menurut
tingkat kesukaan. Dengan data numerik ini dapat dilakukan analisis-analisis statistik.
(Soekarto, 1981)

Pengujian dilakukan oleh panelis sebanyak 15 orang. Panelis diberi formulir
penilaian organoleptik dengan skala 1-5 menurut Elizabeth Larmond (1977) dengan
kriteria sebagai berikut:
Amat sangat suka =5
Sangat suka =4
Suka =5
Kurang suka =5
Tidak suka =5
Universitas Sumatera Utara
2.8 Syarat Mutu Nata

Tabel 2.2 Syarat Mutu Nata
No Jenis Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan :
1.1 Bau - Normal
1.2 Rasa - Normal
1.3 Warna - Normal
1.4 Tekstur - Normal
2 Bahan asing - Tidak boleh ada
3 Bobot tuntas % Min 50
4 Jumlah gula % Min 15
5 Serat makanan % Maks 4,5
6 Bahan tambahan makanan :
6.1 Pemanis buatan
- Sakarin
- Siklamat



Tidak boleh ada
Tidak boleh ada
6.2 Pewarna tambahan Sesuai SNI 01-0222-1995
6.3 Pengawet (Na-Benzoat) Sesuai SNI 01-0222-1995
7 Campran logam :
7.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 0,2
7.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks 2,0
7.3 Seng (Zn) mg/kg Maks 5,0
7.4 Timah (Sn) mg/kg Maks 40,0/250,0
8 Cemaran arsen (As) Maks 0,1
9 Cemaran mikroba :
9.1 Angka lempeng total Koloni/g Maks 2,0 x 10
2

9.2 Coliform APM/g <3
9.3 Kapang Koloni/g Maks 50
9.4 Khamir Koloni/g Maks 50
Sumber : SNI 01-2881-1992



Universitas Sumatera Utara

You might also like