You are on page 1of 65

UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN KEBIASAAN MENCUCI TANGAN DENGAN


KEJADIAN KECACINGAN PADA SISWA SD X DI
CILINCING, JAKARTA UTARA





SKRIPSI





AMBARTYAS NIKEN WIJAYANINGRUM
0706258630








FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER UMUM
JAKARTA
JUNI 2011









UNIVERSITAS INDONESIA


HUBUNGAN KEBIASAAN MENCUCI TANGAN DENGAN
KEJADIAN KECACINGAN PADA SISWA SD X DI
CILINCING, JAKARTA UTARA






SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran





AMBARTYAS NIKEN WIJAYANINGRUM
0706258630







FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER UMUM
JAKARTA
JUNI 2011

ii





iii







iv

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama penulis ingin memanjatkan puji dan syukur kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Penyusunan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi salah satu syarat
untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran dalam Program Studi Pendidikan
Dokter Umum Fakultas Kedokteran Indonesia.
Tak lupa penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Dengan bantuan merekalah skripsi ini dapat terselesaikan.
1. dr. Agnes Kurniawan, PhD, Sp.Park selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingannya dalam hal mengarahkan penulis dalam menyusun
skripsi ini. Terima kasih telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik;
2. dr. Muchtaruddin Mansyur, MS, SpOK, PhD selaku dosen pembimbing
statistik dalam hal menyusun skripsi ini;
3. Dr. dr. Saptawati Bardosono, MSc selaku ketua modul riset yang telah
memberikan ijin untuk dilakukannya penelitian ini;
4. Para guru serta staf SD X di Cilincing, Jakarta Utara yang telah
memberikan ijin untuk dilakukan penelitian di tempat tersebut dan
memberikan fasilitas yang memadai sehingga penelitian bisa terlaksana
dengan baik
5. Orang tua serta keluarga yang telah memberikan dukungan baik moral
maupun material;
6. Serta teman-teman sekelompok Amy Cynthia, Arfenda Puntia, Dieta Rizki,
Imam Ciptadi, dan Nur Laila Fitriati Ahwanah yang telah banyak membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.






v

Pada akhirnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki
banyak kekurangan dalam hal penulisan, oleh karena itu penulis ingin meminta
maaf yang sebesar-besarnya. Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat
bagi masyarakat sekitar khususnya dalam bidang kedokteran.
.
Jakarta, Juni 2011
Penulis







































vi

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:

Nama : Ambartyas Niken Wijayaningrum
NPM : 0706258630
Program Studi : Pendidikan Dokter Umum
Fakultas : Kedokteran
Jenis karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive
Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Hubungan Kebiasaan
Mencuci Tangan dengan Kejadian Kecacingan pada Siswa SD X di Cilincing,
Jakarta Utara beserta perangkat yang ada (bila diperlukan). Dengan Hak Bebas
Royalti Non-Eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelolah dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemiliki Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.


Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 17 Juni 2011

Yang menyatakan,


Ambartyas Niken Wijayaningrum


vii
ABSTRAK


Nama : Ambartyas Niken Wijayaningrum
Program Studi : Pendidikan Dokter Umum
Judul : Hubungan Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Kejadian
Kecacingan pada Siswa SD X di Cilincing, Jakarta Utara

Kecacingan masih menjadi masalah kesehatan pada anak Indonesia di pedesaan
dan daeran perkotaan yang padat penduduk dengan sanitasi dan higiene yang
kurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan
mencuci tangan dengan kejadian kecacingan pada anak SD X di Cilincing
Jakarta Utara. Penelitian dilakukan secara cross-sectional. Data didapatkan
melalui wawancara dan pengisian kuesioner pada 104 siswa SD X kelas 3-5.
Selanjutnya dilakukan skor penilaian dan dianalisis secara statistik dengan
program SPSS v 13.0 dan uji Fisher. Hasil penelitian memperlihatkan 65 siswa
(62,5%) mengalami kecacingan terdiri dari 30 anak terinfeksi A. lumbricoides, 10
anak terinfeksi T. trichiura dan 25 anak dengan infeksi campuran. Analisis
kebiasaan mencuci tangan menunjukkan 100 orang siswa (96.2%) memiliki
kebiasaan mencuci tangan yang baik yaitu selalu mencuci tangan sebelum makan,
setelah defekasi maupun bermain. Analisis statistik menunjukkan tidak adanya
hubungan yang bermakna antara kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian
kecacingan. (p = 1,000; p > 0,05) Untuk itu diperlukan rancangan penelitian yang
melibatkan kelompok studi dan control serta observasi mendalam.



Kata kunci : kecacingan, kebiasaan mencuci tangan, siswa SD, Cilincing



vii

ABSTRACT


Name : Ambartyas Niken Wijayaningrum
Major : General Medicine
Title : The Association between Hand Washing Habit and the
Occurrence of Intestinal Helminthiasis in Elementary School
Students at Cilincing, North Jakarta

Intestinal helminthiasis is still a problem among school children in Indonesia and
affect mostly those living in rural area or densely populated urban area with
inadequate hygiene and sanitation. This study was aimed to investigate the
association between hand washing habits with intestinal helminthiasis among the
elementary school students in Cilincing, North Jakarta. A cross-sectional study
was performed involving 104 students from grade 3 5. Data was obtained
through questionnaires and interview, was then scored, analyzed statistically with
SPSS v 13.0 program and Fisher test. The result showed that 65 out of 104
students (62.5%) were infected with worms, majority by Ascaris lumbricoides
(46.2%), followed by Trichuris trichiura (15.4%) and the rest was a mixed
infection (38.5%). Analysis of hand washing habit showed 100 students (96.2%)
had good habit which was statistically no significant association between hand
washing habit with worm infection (p = 1,000; p > 0,05). Better study design
involving case control groups and close observation are necessary to elucidate the
association.


Keywords : intestinal helminthiasis, hand washing habit, elementary school
students, Cilincing


viii

DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................. iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ............................................... vi
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
ABSTRACT ........................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... x
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xii

I. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
I.1. Latar Belakang ........................................................................................... 1
I.2. Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
I.3. Hipotesis .................................................................................................... 2
I.4. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 2
I.4.1. Tujuan Umum .................................................................................. 2
I.4.2. Tujuan Khusus ................................................................................ .3
I.5. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 3
I.5.1. Manfaat Bagi Penulis ....................................................................... 3
I.5.2. Manfaat Bagi Institusi ...................................................................... 3
I.5.3. Manfaat Bagi Masyarakat ................................................................ 3

II. LANDASAN TEORI ....................................................................................... 4
II.1. Definisi Kecacingan .................................................................................. 4
II.2. Informasi Mengenai Nematoda Usus ........................................................ 4
II.2.1. Ascaris lumbricoides ...................................................................... 4
II.2.2. Trichuris trichiura .......................................................................... 5
II.2.3. Cacing Tambang ............................................................................. 6
II.2.4. Oxyuris vermicularis ...................................................................... 6
II.3. Informasi Mengenai Kecacingan ............................................................... 7
II.3.1. Askariasis ....................................................................................... 7
II.3.2. Trikuriasis ..................................................................................... 11
II.3.3. Infeksi Cacing Tambang............................................................... 12
II.3.4. Enterobiasis .................................................................................. 15
II.4. Informasi Mengenai Faktor-Faktor Kecacingan.....................................17
II.4.1. Kebiasaan Mencuci Tangan ......................................................... 17
II.4.2. Kebiasaan Menggunting Kuku ..................................................... 18
II.4.3. Aktivitas Memasukkan Tangan ke Mulut ................................... 18
II.4.4. Kebiasaan Bermain Tanah ............................................................ 19
II.4.5. Kebiasaan Jajan ............................................................................ 20
II.4.6. Kebiasaan Buang Air Besar.......................................................... 21


ix

II.3.7. Pemakaian Alas Kaki ................................................................... 22
II.4. Kerangka Konsep ..................................................................................... 23


III. METODE PENELITIAN ............................................................................. 24
III.1. Desain Penelitian .................................................................................... 24
III.2. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................ 24
III.3. Populasi Penelitian ................................................................................. 24
III.3.1. Populasi Target........................................................................... 24
III.3.2. Populasi Terjangkau ................................................................... 24
III.4. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel ...................................................... 24
III.5. Estimasi Besar Sampel ........................................................................... 25
III.6. Kriteria Inklusi dan Eksklusi .................................................................. 25
III.7. Cara Kerja .............................................................................................. 26
III.8. Identifikasi Variabel ............................................................................... 26
III.9. Definisi Operasional............................................................................... 26
III.10.Pengolahan dan Analisis Data ................................................................ 26
III.11.Etika Penelitian ...................................................................................... 28

IV. HASIL PENELITIAN ................................................................................... 29
IV.1. Profil Subjek Penelitian .......................................................................... 29
IV.2. Hubungan Kebiasaan Mencuci Tangan dan Kejadian Kecacingan ........ 29

V. PEMBAHASAN ............................................................................................. 35
V.1. Infeksi Kecacingan pada Siswa SD ......................................................... 35
V.2. Analisis Hubungan Kebiasaan Mencuci Tangan dan Kejadian
Kecacingan.......................................................................................................35
V.3. Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian ................................................... 37

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 38
VI.1. Kesimpulan ............................................................................................ 38
VI.2. Saran ....................................................................................................... 38

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 39
LAMPIRAN .......................................................................................................... 43
1. Informed Consent ............................................................................................... 43
2. Kuesioner ........................................................................................................... 44
3. Tabel Penilaian Kebiasaan Mencuci Tangan ..................................................... 45
4. Hasil Pengolahan Data SPSS ............................................................................. 46











x



DAFTAR GAMBAR


Gambar 2.1 A. lumbricoides dewasa dan telur ......................................................... 5

Gambar 2.2 T. trichiura dan telur ............................................................................ 6

Gambar 2.3 A. duodenale jantan dan betina dan telur ............................................. 6

Gambar 2.4 O. vermicularis dan telur ...................................................................... 7

Gambar 2.5 Daur hidup A. lumbricoides ................................................................. 8

Gambar 2.6 Daur hidup T. trichiura ...................................................................... 11

Gambar 2.7 Daur hidup cacing tambang................................................................ 13

Gambar 2.8 Daur hidup O. Vermicularis ............................................................... 15

Gambar 2.9 Skema Penyebaran Penyakit melalui Tinja ........................................ 22














xi

DATA TABEL


Tabel 4.1 Data Umum Siswa SD X Cilincing, Jakarta Utara ............................. 29

Tabel 4.2 Distribusi Kelas ...................................................................................... 30

Tabel 4.3 Distribusi Jenis Kelamin ........................................................................ 30

Tabel 4.4 Distribusi Infeksi Kecacingan ................................................................ 31

Tabel 4.5 Distribusi Infeksi Kecacingan berdasarkan Jenis Cacing ...................... 31

Tabel 4.6 Distribusi Kebiasaan Mencuci Tangan .................................................. 32

Tabel 4.7 Distribusi Kebiasaan Mencuci Tangan Baik dan Tidak Baik ................ 33

Tabel 4.8 Analisis Statistik uji chi-square pada masing-masing faktor dengan
angka kejadian kecacingan ..................................................................................... 33

Tabel 4.9 Hubungan Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Infeksi Kecacingan ..... 33






























xii


DAFTAR SINGKATAN


BAB : Buang Air Besar

ERCP : Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography

FAO : Food and Agriculture Organization

FKUI : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Ig : Imunoglobulin

Puslitbang : Pusat Penelitian dan Pengembangan

RI : Republik Indonesia

SD-WGT-Taskin : Sekolah Dasar Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu
Pengentasan Kemiskinan

SDN : Sekolah Dasar Negeri

SPSS : Statistical Package for the Social Sciences

USG : Ultrasonography

WHO : World Health Organizatin
1

Universitas Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang
Penyakit infeksi cacing usus merupakan penyakit infeksi kronik yang
banyak menyerang balita dan anak terutama usia sekolah dasar.
1
Apabila kondisi
ini berlangsung pada jangka waktu yang lama dapat mengganggu proses
pertumbuhan serta perkembangan pada anak tersebut.
2
Di Indonesia sendiri,
infeksi kecacingan masih banyak terjadi yaitu sekitar 60% hingga 90%
bergantung kepada lokasi dan sanitasi suatu daerah.
3
Jenis cacing yang
menginfeksi pun beraneka ragam namun berdasarkan bagian parasitologi fkui
rscm, jenis cacing terbanyak menginfeksi antara lain A. lumbricoides, T. trichiura,
dan A. americanus.
4

Pada penelitian yang telah dilakukan pada tahun 1996 didapatkan
prevalensi kecacingan di Jakarta Utara sebesar 59.96% akibat A. lumbricoides dan
79.64% diakibatkan oleh T. trichiura.
5
Prevalensi Ascaris dan Trichuris pada
anak-anak usia dibawah 5 tahun di daerah Joglo, Jakarta adalah masing-masing
sebesar 73.2% dan 60.9%.
6
Sedangkan pada daerah Kramat, Jakarta Pusat, dengan
usia yang sama, infeksi Ascaris dan Trichuris berturut-turut sebesar 66.67% dan
61.12%.
7
Berdasarkan hasil penelitian dari departemen Parasitologi FKUI pada
tahun 2008 sebanyak 65% siswa di SD X cilincing, Jakarta Utara terinfeksi oleh
cacing usus dimana cacing gelang merupakan penyebab terbanyak diantara cacing
usus lainnya seperti cacing tambang, cacing cambuk, dan cacing kremi.
8

Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dapat terinfeksi cacing antara
lain adalah iklim tropis, rendahnya kesadaran terhadap kebersihan diri, buruknya
sistem sanitasi yang ada, rendahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat, serta
jumlah penduduk yang padat (Prof. Tjandra Yoga Aditama, Sp. P (K), MARS,
DTM & H).
9

Berikut ini adalah yang termasuk di dalam kesadaran akan kebersihan diri
antara lain kebiasaan mencuci tangan, menggunting kuku, memasukkan tangan ke
mulut, bermain tanah, jajan, dan kebiasaan buang air besar.
2

Universitas Indonesia

Kuman dapat ditemukan di berbagai tempat dan barang seperti alat tulis,
buku, dan benda lainnya. Anak usia sekolah khususnya yang berada di sekolah
dasar sering menggunakan benda-benda tersebut dan saling bertukar. Dengan cara
inilah kuman-kuman tersebut berpindah tangan dari satu anak ke anak lainnya dan
bentuk infektif dari cacing gelang masuk melalui mulut bersama makanan dan
minuman dan tangan yang kotor.
10
Oleh karena itu, mencuci tangan adalah salah
satu faktor penting untuk mencegah terjadinya kecacingan.
11

Hal tersebut diatas sangatlah menarik untuk diteliti. Penelitian ini dibuat
untuk menambah keilmuan di bidang kedokteran dan megetahui tatalaksana
selanjutnya yang akan diberikan.
Hal-hal tersebut melatarbelakangi penulis untuk menyusun penelitian
dengan judul Hubungan Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Kejadian
Kecacingan pada Siswa SD x di Cilincing, Jakarta Utara.

I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, pertanyaan dalam penelitian
ini adalah:
Bagaimana hubungan antara kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian
kecacingan pada siswa SD x di Cilincing Jakarta Utara?

I.3. Hipotesis
Terdapat hubungan antara kebiasaan mencuci tangan yang tidak baik
dengan adanya kejadian kecacingan pada siswa SD x di Cilincing
Jakarta Utara .

I.4. Tujuan
I.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian
kecacingan pada siswa SD x di Cilincing Jakarta Utara.



3

Universitas Indonesia

I.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui sebaran jenis cacing, jenis kelamin, usia dan pekerjaan
orang tua responden
2. Mengetahui jumlah siswa yang memiliki kebiasaan mencuci tangan
yang baik dan tidak baik

I.5. Manfaat
I.5.1 Manfaat Bagi Peneliti
1. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan peneliti dalam
melaksanakan penelitian.
2. Meningkatkan pengetahuan peneliti mengenai hubungan kebiasaan
mencuci tangan dengan kejadian kecacingan pada siswa SD x di
Cilincing Jakarta Utara.
3. Sebagai sarana melatih empati dan mengaplikasikan ilmu Parasitologi
yang telah dipelajari oleh peneliti.

I.5.2 Manfaat Bagi Institusi
1. Mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
2. Turut serta mewujudkan visi FKUI menjadi fakultas kedokteran riset
terkemuka di Asia Pasifik dan 80 terbaik di duniapada tahun 2014.
3. Menciptakan lulusan FKUI yang memenuhi kriteria seven stars doctor.

I.5.3 Manfaat Bagi Masyarakat
1. Mendapatkan pengetahuan mengenai hubungan kebiasaan mencuci
tangan dengan kejadian kecacingan pada siswa SD x di Cilincing
Jakarta Utara.
2. Dapat melakukan pencegahan kecacingan melalui perubahan perilaku
dan kebiasaan anak, khususnya berkaitan dengan kebiasaan mencuci
tangan .
3. Dapat melakukan penatalaksanaan yang tepat terhadap anak-anak yang
kecacingan.
4

Universitas Indonesia

BAB II
LANDASAN TEORI

II.1 Definisi Kecacingan
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) suatu kata yang
mendapatkan imbuhan ke dan akhiran an pada kata benda akan membuat kata
tersebut mengandung arti menderita atau mengalami kejadian. Oleh karena itu
orang yang kecacingan maka orang tersebut mengalami kecacingan.
12


II.2 Informasi Mengenai Nematoda Usus
II.2.1 Ascaris lumbricoides
Ascaris lumbricoides adalah nematoda terbesar yang menginfeksi manusia
dan bentuk dewasanya hidup di usus halus manusia.
13
Terdapat kurang lebih 1.4
juta manusia yang terinfeksi A. lumbricoides dimana prevalensi negara
berkembang; jumlah prevalensi terkecil sebesar 4% dan paling besar sebesar 90%
di beberapa daerah di Indonesia, lebih besar dibandingkan dengan negara maju
lainnya.
14

Cacing betina memiliki tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan
cacing jantan dimana panjang cacing betina bisa mencapai hingga 49 cm dengan
diameter 3 6 mm dan tubuhnya berwarna putih hingga kekuningan dan
berselubung kutikula yang bergaris halus, sedangkan panjang cacing jantan
berukuran 10 30 cm, berwarna kemerahan dimana ujung posterior cacing
tersebut berbentuk lancip dan melengkung ke arah vertikal dan dilengkapi dengan
pepil kecil dan spekulum yang berjumlah dua buah dengan ukuran 2 mm. Cacing
dewasa hidup selama 10 24 bulan di dalam jejunum dan ileum tengah.
15,16,17,18

Telur cacing A. lumbricoides dapat tumbuh dengan subur di tempat yang
lembab, hangat, dan tidak terpengaruh dengan berbagai macam kondisi
lingkungan. Di negara yang sedang berkembang, telur ini dapat sangat mudah
ditemukan, antara lain lingkungan dengan sanitasi yang buruk dan daerah
pedesaan.
13,15
Ukuran telur pun bermacam-macam dan tampil dalam dua bentuk,
fertilized (yang telah dibuahi) dan unfertilized (belum dibuahi) dimana telur yang
belum dibuahi biasanya lebih panjang dan besar daripada yang sudah dibuahi.
5

Universitas Indonesia

Telur cacing yang sudah dibuahi memiliki ukuran lebar 30 40 m dan panjang
3-6 m, memiliki warna coklat keemasan, berdinding luar tebal dan tidak teratur
serta dinding dalam lebih tipis dan teratur. Telur yang sudah dibuahi berukuran
lebar 40 50 m dan panjang 88-95 m. Telur ini nantinya akan menetas di usus
halus dan mengakibatkan suatu kondisi yang disebut dengan askariasis.
15
Cacing
betina A. lumbricoides dapat menghasilkan telur rata-rata 200.000 250.000
perhari.

Telur yang sudah dibuahi dan terdapat di tanah dapat menjadi menular
dalam waktu 5 10 hari. Infeksi terjadi karena terkontaminasinya tangan atau
makanan dengan tanah yang terdapat telur cacing di dalamnya.
19









II.2.2 Trichuris trichiura
T. trichiura atau sering biasa disebut dengan whipworm dalam bahasa
inggris dan cacing cambuk sebagaimana sebagian orang Indonesia memanggil
merupakan cacing yang ditularkan melalui tanah seperti cacing tambang. Sekitar
604 795 juta manusia di dunia terinfeksi cacing ini. Sama halnya dengan cacing
tambang, cacing betina T. trichiura memiliki ukuran yang lebih besar dari cacing
jantannya yaitu berkisar 35 50 mm dan jantan 30 45 mm. Cacing dewasa
hidup dengan cara memasukkan bagian anterior dari tubuhnya ke dalam mukosa
usus di kolon asendens. Pada individu dengan infeksi yang berat infeksi dapat
ditemukan pada bagian distal saluran cerna seperti rektum dan kolon. Cacing ini
disebut dengan cacing cambuk karena bagian posteriornya berbentuk seperti
gagang cambuk.
19,21

Telur yang dihasilkan oleh cacing betina berkisar 3000 hingga 5000 butir
perharinya. Ukuran telur pun bervariasi antara 50 54 mikro x 32 mikron. Telur
berbentuk seperti tempayan dan terdapat dua tonjolan bening di masing-masing
Gambar 2.1 A. Lumbricoides dewasa dan telur
6

Universitas Indonesia

kedua ujungnya. Kulit luar telur berwarna kekuning-kuningan dan jernih pada
bagian dalamnya.
19









II.2.3 Cacing Tambang
Cacing tambang merupakan salah satu parasit yang hidup dalam tubuh
manusia. Namun dua spesies yang sering menginfeksi manusia adalah
A.duodenale dan N.americanus dimana cacing A. duodenale memiliki tubuh yang
cenderung lebih besar dibandingkan dengan N. americanus yaitu sekitar 7 11
mm x 0,4 0,5 mm. Cacing N. americanus memiliki bentuk badan menyerupai
huruf S, mempunyai benda kitin serta cacing betinanya mampu menghasilkan
9000 telur; sedangkan A. duodenale memiliki badan menyerupai huruf C, selain
itu mereka juga mempunyai dua pasang gigi dan pada cacing jantan terdapat bursa
kopulatriks, dan cacing betinanya dapat mengeluarkan telur sekitar 10.000 butir
telur. Kedua cacing ini menginfeksi saluran cerna manusia dan menghisap darah
di saluran cerna yang akhirnya berujung kepada anemia defisiensi besi dan
malnutrisi.
19

Infeksi cacing ini diperkirakan mempengaruhi seperempat dari populasi
manusia di bumi. Infeksi paling umum terjadi pada daerah tropis dan subtropis.
Infeksi cacing tambang hanya terjadi pada daerah dengan iklim yang terisolasi.
19

Pada daerah endemik, infeksi pun biasa terjadi di daerah pedesaan dimana feses
manusia dijadikan sebagai bahan pupuk untuk tanaman atau pada daerah dengan
sanitasi yang tidak adekuat.
19

Penyakit cacing tambang bisa menimbulkan kefatalan terutama apabila
terjadi pada bayi. Satu ekor cacing dewasa A. duodenale dapat mengakibatkan
hilangnya darah sekitar 0,2 ml perhari sedangkan N. americanus sebesar 0,02 ml
Gambar 2.2 T. trichiura dan telur
7

Universitas Indonesia

perharinya. Suatu infeksi dikatakan ringan apabila ditemukan sekitar < 100 cacing
di dalam tubuh, moderate (menengah) sebanyak 100 500 cacing, dan berat
sebanyak 500 1000 cacing. Infeksi cacing menengah hingga berat dapat
menimbulkan anemia defisiensi besi bagi penderitanya.
19



II.2.4 Oxyuris vermicularis
O. vermicularis atau lebih dikenal dengan Enterobius vermicularis atau
cacing kremi merupakan penyebab tersering timbulnya kecacingan di Amerika.
Cacing lebih senang hidup di daerah yang dingin dibandingkan dengan daerah
beriklim panas.
19

Cacing jantan berukuran lebih kecil dibandingkan dengan cacing
betinanya. Cacing betinanya memiliki ukuran rata-rata 8 -13 mm x 0,4 mm,
sedangkan yang jantan memiliki ukuran 2 5 mm dan terdapat sayap dan ekor
yang melengkung sehingga mirip dengan tanda tanya. Memiliki alae yaitu
pelebaran kutikulum yang menyerupai sayap dan terletak pada bagian anterior
cacing.
19

Cacing ini tumbuh dan berkembang biak di usus. Baik usus besar maupun
usus halus dekat dengan rongga sekum. Telur oxyuris berbentuk asimetris dimana
terdapat satu bagian berbentuk lonjong dan bagian lainnya berbentuk datar.
Sedangkan untuk dindingnya sendiri tampak bening dan lebih tebal dibandingkan
dengan telur cacing tambang.
19


Gambar 2.3 A. N. americanus (kiri), duodenale jantan (tengah) dan telur (kanan)
8

Universitas Indonesia










II.3 Informasi Mengenai Kecacingan
II.3.1 Askariasis
A. lumbricoides merupakan cacing yang paling banyak menginfeksi manusia.
Infeksi yang disebabkan oleh cacing ini disebut dengan askariasis.
13


Siklus Hidup
Telur A. lumbricoides yang telah dibuahi merupakan bentuk infektif yang
nantinya akan menetas di usus halus setelah tertelan oleh manusia. Larva akan
melalui usus dan bermigrasi ke sistem portal menuju hati dan paru.
Larva yang sudah berada di paru nantinya akan masuk menembus
pembuluh darah dan seterusnya masuk ke dinding alveolus lalu ke dalam rongga
alveolus lalu naik ke trakea melalui bronkioulus dan bronkus. Apabila sudah
mencapai faring, maka larva tersebut akan memberikan rangsangan dan membuat
penderita batuk dan akhirnya larva tersebut tertelan dan berkembang biak menjadi
cacing dewasa, proses ini membutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan.
19



Gambar 2.4 O. vermicularis dan telur
9

Universitas Indonesia


















Patogenesis Seluler dan Molekuler

Pada saat fase migrasi infeksi, terjadi proses inflamasi karena antigen dari
cacing A. lumbricoides keluar melalui molting process, dimana proses ini
berhubungan dengan infiltrasi eosinofil pada jaringan, eosinofilia perifer, dan
level IgE yang meningkat.
13

A. Lumbricoides dewasa akan mensekresi faktor anti tripsin dimana faktor ini
berperang penting terhadap kondisi nutrisi seseorang. Apabila nutrisi tersebut
tidak terpenuhi maka pertumbuhan fisik, kognitif, serta perkembangan
intelektualnya dapat terganggu.
13


Mortalitas dan Morbiditas
Pada anak-anak obstruksi saluran cerna dapat disebabkan karena beban
berat cacing ( 60). Diperkirakan 2 dari 1000 penderita yang terinfeksi cacing
khususnya anak-anak akan berkembang menjadi penyumbatan saluran cerna
Gambar 2.5 Daur hidup A. Lumbricoides
10

Universitas Indonesia

setiap tahunnya. Anak-anak yang menderita askariasis kronik akan terhambat
pertumbuhan serta perkembangannya karena berkurangnya asupan makanan.
13,15
Pada penderita dewasa sendiri biasanya askariasis akan berkembang
menjadi komplikasi bilier akibat adanya migrasi cacing dewasa yang
kemungkinan diprovokasi oleh penyakit lainnya seperti demam malaria. Sebuah
study terkini mengemukakan bahwa hal ini kemungkinan terjadi akibat adanya
dilatasi dari saluran empedu dan peningkatan kadar cholesystokinin dengan
relaksasi yang dihasilkan oleh sfingter oddi.
13,15


Diagnosis
Gejala awal dari askariasis pada saat migrasi paru awal antara lain batuk,
dyspnea, wheezing, dan nyeri dada. Sedangkan nyeri perut, kolik, nausea, diare
intermiten mungkin disebabkan karena adanya penyumbatan lengkap atau
sebagian yang disebabkan oleh cacing dewasa.
13,15

Pada pemeriksaan fisik mungkin dapat ditemukan adanya rales maupun
wheezing, serta takipnea ketika memasuki fase migrasi paru. Perut yang
membuncit dapat ditemukan terutama pada anak-anak.
13,15

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis antara lain adalah pemeriksaan tinja secara langsung. Apabila
ditemukan telur berwarna coklat berukuran 60 m x 50 m maka dapat dipastikan
orang tersebut menderita askariasis. Namun tes ini mungkin saja memberikan
hasil yang negatif untuk ova hingga 40 hari setelah terjadinya infeksi. Hal ini
terjadi akibat dibutuhkan waktu untuk migrasi dan maturasi dari cacing. Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan peningkatan eosinofil pada fase migrasi
jaringan pada saat infeksi.
13,15

Selain itu dapat pula dilakukan pemeriksaan USG, CT scan, dan ERCP
(endoscopic retrograde cholangiopancreatography) untuk mendiagnosis
askariasis.
13,15





11

Universitas Indonesia

Pengobatan
Pengobatan yang biasa dilakukan adalah dengan menggunakan piperasin,
pirantel pamoat, mebendazol atau albendazol. Albendazole 400 mg merupakan
drug of choice untuk mengobati askariasis. Namun obat ini tidak dianjurkan
diberikan kepada wanita yang sedang hamil. Untuk wanita yang sedang hamil,
dapat diberikan pirantel pamoat.
Pemberian obat hanya berpengaruh terhadap cacing dewasa dan bukan
terhadap larva. Oleh karena itu, orang yang tinggal di daerah endemik atau yang
akan pindah rumah harus di re-evaluasi dalam 3 bulan dan dilakukan pemeriksaan
tinja ulang.
19


Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara memperbaiki sanitasi, melakukan
pembuangan sampah pada malam hari, pengobatan secara masal, dan
menggalakkan gerakan mencuci tangan sebelum makan. Telur A. lumbricoides
dapat mati pada suhu melebihi 40
0
C dan akan mati 12 jam setelah terpajan sinar
matahari.
13


II.3.2 Trikuriasis
Siklus hidup
Trikuriasis sama seperti halnya askariasis menular melalui transmisi fekal-
oral. Setelah 10 14 hari, telur yang berada di tanah, telur tersebut akan berubah
menjadi bentuk infektif.
19

Pertama-tama telur tertelan oleh manusia, kemudian telur tersebut masuk
ke dalam usus dan di usus telur tersebut menetas dan menjadi larva. Larva ini
nantinya akan masuk ke dalam usus halus dan setelah menjadi dewasa cacing
dewasa akan turun ke bagian distal usus lalu masuk ke dalam kolon asendens dan
lalu sekum. Waktu yang diperlukan untuk berubah dari bentuk larva ke dalam
cacing dewasa adalah sekitar kurang lebih 3 bulan.
19




12

Universitas Indonesia

















Klinik
Gejala klinis yang timbul bergantung kepada banyaknya jumlah cacing,
lamanya suatu penderita mengalami infeksi, dan umur serta status kesehatan
seseorang. Seseorang dengan infeksi T. trichiura dapat mengalami disentri karena
cacing masuk kedalam epitel sekum dan menyebabkan mukosanya menjadi rapuh.
Selain itu dapat disertai dengan adanya kejang di perut, tenesmus rektum, dan
prolaps rektum.
21


Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan cara menemukan telur di dalam tinja. Telur
tersebut harus disebutkan jumlahnya (jarang, sedikit, sedang, banyak), karena
infeksi ringan biasanya tidak menyebabkan masalah dan tidak memerlukan
pengobatan.
21

Disentri yang disebabkan oleh T. trichiura biasanya lebih kronis,
berhubungan dengan malnutrisi dan dapat menyebabkan prolaps rektum,
dibandingkan dengan disentri yang disebabkan oleh Entamoeba histolytica.
Gambar 2.6 Daur hidup T. trichiura

13

Universitas Indonesia

Ditemukannya telur dan/atau tropozoit protozoa akan membedakan kedua jenis
infkesi ini.
21


Pengobatan
Pengobatan mungkin tidak diperlukan, namun tergantung dari jumlah telur
yang ditemukan dalam tinja atau Dapat juga diberikan mebendazol, albendazol
dan oksantel pamoat.
19,21


Epidemiologi dan Pencegahan
Penyebaran geografik dari T. trichiura sama dengan A. lumbricoides dan
seringkali kedua infeksi ini ditemukan bersama-sama dalam satu hospes. Telur
tidak dapat bertahan dalam suasana kering atau dingin sekali.
21

Pembuangan tinja yang memenuhi syarat akan mengurangi jumlah infeksi
dan jumlah cacing. Hal ini penting diperhatikan terutama bila berhubungan
dengan anak-anak yang melakukan defekasi di tanah.
21


II.3.3 Infeksi Cacing Tambang
Siklus hidup
Telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1 1,5
hari keluarlah larva rabditiform. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rabditiform
tumbuh menjadi larva filariform, yang dapat menembus kulit dan dapat hidup
selama 7 8 minggu di tanah.
19

Infeksi pada manusia didapat melalui penetrasi larva filariform yang
terdapat di tanah ke dalam kulit. Setelah masuk ke dalam kulit, pertama-tama
larva dibawa aliran darah ke vena jantung bagian kanan dan kemudian ke paru-
paru. Larva menembus alveoli, bermigrasi melalui bronki ke trakea dan faring,
kemudian tertelan sampai ke usus kecil dan hidup di situ. Mereka melekat di
mukosa, mempergunakan struktur mulut sementara, sebelum struktur mulut
permanen yang khas terbentuk. Apabila larva filariform A. duodenale tertelan,
mereka dapat berkembang menjadi cacing dewasa dalam usus tanpa melalui siklus
paru-paru.
21

14

Universitas Indonesia















Klinik
Gejala-gejala awal setelah penetrasi larva ke kulit seringkali tergantung
dari jumlah larva. Dapat timbul rasa gatal yang minimal sampai berat dengan
kemungkinan infeksi sekunder apabila lesi menjadi vesikuler dari ruam papula
eritematosa disebut sebagai ground itch.
21

Gejala-gejala infeksi pada fase usus disebabkan oleh 1) nekrosis jaringan
usus yang berada di dalam mulut cacing dewasa dan 2) kehilangan darah karena
langsung dihisap oleh cacing dan terjadinya perdarahan terus menerus di tempat
asal perlekatannya, yang kemungkinan diakibatkan oleh sekresi antikoagulan oleh
cacing.
21

Apabila jumlah cacing yang menginfeksi banyak maka penderita akan
mengalami kelelahan, nausea, muntah, sakit perut, diare dengan tinja yang hitam
atau merah (hal ini tergantung dengan jumlah darah yang keluar), lesu, dan
pucat.
21


Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan cara menemukan telur di dalam tinja yang
segar. Di dalam tinja yang lama mungkin akan ditemukan adanya larva. Untuk
Gambar 2.7 Daur hidup cacing tambang
15

Universitas Indonesia

membedakan spesies N. americanus dengan A. duodenale maka dapat dilakukan
biakan tinja dengan cara Harada-Mori.
19

Pemeriksaan radiologis memperlihatkan hipermotilitas usus, dilatasi
proksimal jejunum, dan lipatan mukosa menjadi kasar.
21


Pengobatan
Terdapat beberapa antihelmintik yang efektif. Gizi yang adekuat dapat
mencegah dan mengatasi gejala-gejala penyakit, tetapi tidak infeksinya sendiri.
Pada infeksi berat ternyata tidak mungkin terjadi absorbsi yang adekuat dari besi
dan gizi, meskipun dengan suplementasi diet yang ekstensif.
21

Selain itu dapat diberikan juga pirantel pamoat karena obat ini memberikan
hasil yang cukup baik apabila digunakan beberapa hari berturut-turut.
19


Epidemiologi dan Pencegahan
Sanitasi pembuangan tinja merupakan usaha pencegahan infeksi yang
utama. Hal tersebut kadang-kadang sulit diterapkan di desa-desa, masyarakat
miskin di mana fasilitas sanitasinya minim atau tak ada sama sekali. Untuk usaha
pencegahan yang menyeluruh juga diperlukan program penyuluhan. Penggunaan
sepatu dan usaha mensterilkan tanah belum terbukti mudah dalam
penerapannya.
21

Ancylostoma duodenale (cacing tambang Dunia Lama) terutama
ditemukan di Eropa Selatan, pantai utara Afrika, India utara, Cina utara, dan
Jepang. N. americanus (cacing tambang Dunia Baru) ditemukan di seluruh
Amerika Serikat bagian Selatan, Karibia, Amerika Tengah dan Amerika Selatan,
bagian utara, Afrika tengah dan selatan, Asia selatan, Melanesia, dan Polynesia.
21


II.3.4 Enterobiasis
Siklus hidup
Telur O. vermicularis menjadi matang dalam waktu kira-kira 6 jam setelah
dikeluarkan pada suhu badan. Telur resisten terhadap desinfektan dan udara
dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari.
19

16

Universitas Indonesia

Infeksi cacing kremi dapat terjadi apabila seseorang menelan telur matang, atau
bila larva dari telur yang menetas di daerah perianal bermigrasi kembali ke usus
besar. Bila telur matang yang tertelan, telur menetas di duodenum dan larva
rabditiform berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di yeyenum dan dibagian
atas ileum.
19

Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur
matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal,
berlangsung kira-kira 2 minggu hingga 2 bulan.
19














Klinik
Pada umumnya enterobiasis tidak berbahaya. Munculnya gejala klinis
disebabkan iritasi di sekitar anus, perineum, dan vagina oleh cacing betina gravid
yang bermigrasi ke daerah anus. Ccaing yang bermigrasi ke daerah anus
menyebabkan pruritus ani terutama pada malam hari, sehingga penderita
terganggu tidurnya karena terus-menerus menggaruk bagian yang gatal.
19

Kadang-kadang cacing dewasa muda juga dapat bergerak ke usus halus
bagian proksimal sampai ke lambung, esofagus, dan hidung, sehingga
menyebabkan gangguan di daerah tersebut. Radang saluran telur juga dapat terjadi
jika cacing betina gravid bergerak menuju tuba Fallopii.
19

Gambar 2.8 Daur hidup cacing kremi

17

Universitas Indonesia

Gejala lain yang dapat muncul akibat infeksi cacing ini berupa
berkurangnya nafsu makan, enuresis, emosi tak stabil, berat badan menurun,
insomnia, namun kadang-kadang sulit untuk membuktikan munculnya gejala
tersebut dengan infeksi cacing kremi.
19

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan cara menemukan telur dan cacing dewasa. Telur
cacing dapat diambil menggunakan anal swab yang ditempelkan disekitar anus
pada waktu pagi hari sebelum anak buang air besar dan mencuci pantat (cebok).
19


Pengobatan
Seluruh anggota keluarga sebaiknya diberi pengobatan bila ditemukan
salah seorang anggota mengandung cacing kremi. Penderita dapat diberikan
piperazin, pirvinium pamoat, ataupun tiabendazol. Efek samping yang mungkin
terjadi antara lain yaitu mual dan muntah. Mebendazol dan pirvinium efektif
terhadap semua stadium perkembangan cacing kremi, sedangkan pirantel dan
piperazin yang diberikan dalam dosis tunggal tidak efektif untuk stadium muda.
19


Epidemiologi dan Pencegahan
Epidemiologi cacing kremi lebih luas daripada cacing lain. Penularan
sering terjadi pada satu kelompok individu yang tinggal bersama dalam satu
keluarga atau di asrama atau di panti. Penelitian menunjukkan prevalensi cacing
kremi pada berbagai golongan manusia antara 3 - 80%. Penelitian lain di wilayah
Jakarta Timur menunjukkan bahwa kelompok usia terbanyak yang menderita
enterobiasis adalah anak usia 5 - 9 tahun, yaitu sebanyak 46 orang (54,1%) dari 85
anak yang diperiksa.
19

Penularan dapat terjadi melalui kontak tangan ke mulut setelah menggaruk
daerah perianal (autoinfeksi), tangan ini dapat menyebarkan telur kepada orang
lain dan diri sendiri karena memegang benda-benda maupun pakaian yang
terkontaminasi.
19

18

Universitas Indonesia

Frekuensi enterobiasis di Indonesia masih tinggi dan mayoritas dialami
oleh golongan ekonomi lemah. Frekuensi oarang kulit putih lebih tinggi daripada
orang Negro.
19

Untuk mencegah penularan cacing ini, kebersihan perorangan sangat
penting. Biasakan cuci tangan sebelum makan dan menggunting kuku secara
teratur. Apabila anak sudah terinfeksi, sebaiknya anak menggunakan celana
panjang ketika akan tidur agar tidak mengkontaminasi alas kasur. Hindarilah
menggaruk daerah perianal dengan menggunakan tangan dan cucilah pakaian atau
alas kasur setiap hari dan juga hindari makanan yang ada dari debu.
19


II.4 Informasi Mengenai Faktor-Faktor Kecacingan
II.4.1 Kebiasaan Mencuci Tangan
Anak-anak paling sering terserang penyakit cacingan karena biasanya jari-
jari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut, atau makan nasi tanpa cuci
tangan, namun demikian sesekali orang dewasa juga perutnya terdapat cacing.
Cacing yang paling sering ditemui adalah cacing gelang, cacing tambang, cacing
benang, cacing pita, dan cacing kremi.
22

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), kedua tangan kita adalah salah
satu jalur utama masuknya kuman penyakit ke dalam tubuh. Sebab, tangan adalah
anggota tubuh yang paling sering berhubungan langsung dengan mulut dan
hidung. Penyakit-penyakit yang umumnya timbul karena tangan yang berkuman,
antara lain: diare, kolera, ISPA, cacingan, flu, dan Hepatitis A.
23

Mahfudin dkk (1994) pernah melakukan penelitian dengan menggalakan
mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, dan sesudah buang air besar
(BAB). Ternyata aktivitas ini dapat menurunkan infeksi cacing usus.
11
Mencuci
tangan sesuai dengan salah satu cara pencegahan infeksi cacing usus, yaitu
pendidikan kebersihan dan kesehatan perorangan yang sangat penting untuk
memutus rantai penularan.
24

Berdasarkan artikel yang dilansir oleh Departemen Kesehatan RI pada situs
web resmi mereka, mencuci tangan yang tepat adalah sebagai berikut:
23

19

Universitas Indonesia

1. Cuci tangan dengan air yang mengalir dan gunakan sabun. Tak perlu harus
sabun khusus antibakteri, namun lebih disarankan sabun yang berbentuk
cairan.
2. Gosok tangan setidaknya selama 15-20 detik.
3. Bersihkan bagian pergelangan tangan, punggung tangan, sela-sela jari, dan
kuku.
4. Basuh tangan sampai bersih dengan air yang mengalir.
5. Keringkan dengan handuk bersih atau alat pengering lain
6. Gunakan tisu/handuk sebagai penghalang ketika mematikan keran air

II.4.2 Kebiasaan Menggunting Kuku
Kebersihan perorangan penting untuk pencegahan kecacingan. Kuku
sebaiknya selalu dipotong pendek untuk menghindari penularan cacing dari
tangan ke mulut.
19
Fungsi utama kuku adalah melindungi ujung jari yang lembut
dan penuh urat saraf, serta mempertinggi daya sentuh.
25,26,27

Menurut Departemen Kesehatan R.I (2001:100)
19
usaha pencegahan
kecacingan, antara lain menjaga kebersihan badan, kebersihan lingkungan dengan
baik, makanan dan minuman yang baik dan bersih, memakai alas kaki, BAB di
jamban (kakus), memelihara kebersihan diri dengan baik seperti memotong kuku,
dan mencuci tangan sebelum makan.


II.4.3 Aktivitas memasukkan tangan ke mulut
Anak-anak paling sering terserang penyakit cacingan karena biasanya jari-
jari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut, atau makan nasi tanpa cuci
tangan. Cacing yang paling sering ditemui adalah cacing gelang, cacing tambang,
cacing benang, cacing pita, dan cacing kremi.
11

Infeksi usus dapat disebabkan karena higienitas yang buruk, sebagai
contoh kebiasaan makan dengan tangan kotor atau memasukkan benda-benda
yang mengandung bakteri atau elemen lain ke dalam mulut, sehingga tertelan.
28

Cacing gelang betina dewasa memproduksi telur yang kemudian
dikeluarkan ke daerah perianal dan didistribusikan ke lingkungan sekitarnya. Hal
ini menimbulkan infeksi yang tidak langsung melalui pakaian, tempat tidur atau
20

Universitas Indonesia

makanan, ataupun infeksi langsung yang berasal dari anus ke mulut menggunakan
media tangan. Suatu penelitian yang dilakukan di Taiwan menyatakan bahwa
anak-anak yang menggigit kuku atau tidak mencuci tangan sebelum makan
mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk menelan telur cacing dari lingkungan
sekitarnya.
29


II.4.4 Kebiasaan Bermain Tanah
Pencemaran tanah merupakan penyebab terjadinya transmisi telur cacing
dari tanah ke manusia melalui tangan atau kuku yang mengandung telur cacing,
lalu masuk ke mulut bersama makanan.
30

Penyebaran infeksi cacing dapat terjadi melalui terkontaminasinya tanah
dengan tinja yang mengandung telur T. Trichiura. Telur tumbuh dalam tanah liat
yang lembab dengan suhu optimal 30
0
C.
31
Tanah liat yang berkelembaban
tinggi dan dengan suhu yang berkisar antara 25
0
C - 30
0
C sangat baik untuk
berkembangnya telur A. lumbricoides sampai menjadi bentuk infektif. Untuk
pertumbuhannya, Larva N. americanus memerlukan suhu optimum 28
0
C - 32
0
C
dan tanah gembur seperti pasir atau humus. Sedangkan untuk A. duodenale
diperlukan suhu yang lebih rendah yaitu 23
0
C - 25
0
C.
19

Angka kecacingan tertinggi terdapat pada anak-anak. Mereka
terkontaminasi tanah tempatnya bermain dan kemudian dapat terjadi infeksi
melalui telur dari tanah ke mulut.
21


II.4.5 Kebiasaan Jajan
Pada umumnya kebiasaan yang sering menjadi masalah pada anak-anak
adalah kebiasaan makan di kantin atau warung di sekitar sekolah dan kebiasaan
makan fast food. Jajanan yang dijual oleh pedagang kaki lima atau dalam bahasa
Inggris disebut street food menurut Food and Agriculture Organization (FAO)
didefinisikan sebagai makanan dan minuman yang dipersiapkan dan dijual oleh
pedagang kaki lima di jalanan dan di tempat-tempat keramaian umum lain yang
langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut.
32

Jajanan yang dijual pedagang kaki lima menyumbang asupan energi bagi
anak sekolah sebanyak 36%, protein 29%, dan zat besi 52%. Dengan demikian,
21

Universitas Indonesia

jajanan kaki lima dapat mempengaruhi pertumbuhan dan prestasi belajar anak
sekolah.
33

Padahal keamanan jajanan tersebut baik dari segi mikrobiologis maupun
kimiawi masih dipertanyakan.
Pada penelitian yang dilakukan di Bogor telah ditemukan Salmonella
paratyphi A pada 25 - 50% sampel minuman yang dijual oleh penjual kaki lima.
34

Telur cacing O. vermicularis dapat diisolasi dari debu yang ada di kantin
atau kafetaria sekolah yang mungkin menjadi sumber infeksi bagi anak-anak
sekolah.
19

Foodborne diseases atau penyakit bawaan makanan merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang utama di banyak negara. Penyakit ini dianggap bukan
penyakit yang serius, sehingga seringkali kurang diperhatikan.
35

Makanan dapat menjadi salah satu perantara dari infeksi cacing. Telur
cacing gelang keluar bersama tinja pada tempat yang lembab dan tidak terkena
sinar matahari, telur tersebut tumbuh menjadi infektif. Infeksi cacing gelang
terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau
minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor.
36

Lalat merupakan vektor penting dalam penyebaran infeksi cacing.
Keberadaan lalat di sekitar jajanan juga perlu diwaspadai. Lalat merupakan vektor
mekanik penyakit cacing usus yang tempat perindukannya di timbunan sampah,
tinja manusia dan binatang.
37

Foodborne diseases yang disebabkan oleh parasit umumnya memiliki
masa inkubasi yang sangat lama (1 - 4 minggu). Namun pada Entamoeba
histolytica dapat terjadi dalam jangka waktu singkat. Infeksi yang dapat
ditimbulkan oleh parasit, antara lain giardiasis, amebiasis, kriptosporidiosis,
siklosporiasis, trikinosis, sistiserkosis, anisakiasis, cacing pita ikan, dan cacing
pipih.
38

Pada sistiserkosis, infeksi disebabkan bentuk larva dari cacing pita (T.
solium) dan sering didapat melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh
telur cacing pita. Adapun infeksi anisakiasis, cacing pita ikan, dan cacing pipih
sering timbul setelah mengkonsumsi ikan mentah.
39


22

Universitas Indonesia

Gambar 2.9 Skema Penyebaran Penyakit melalui Tinja
II.4.6 Kebiasaan Buang Air Besar
Kurangnya perhatian terhadap pengelolaan tinja disertai dengan cepatnya
pertambahan penduduk akan mempercepat penyebaran penyakit yang ditularkan
lewat tinja. Penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja manusia antara lain tipus,
disentri, kolera, bermacam-macam cacing (cacing gelang, cacing kremi, cacing
tambang, cacing pita), skistosomiasis, dan sebagainya.
40

Jamban adalah bangunan untuk tempat buang air besar (BAB) dan buang
air kecil (BAK). BAB dan BAK harus di dalam jamban, bukan di sungai atau di
sembarang tempat karena dapat menimbulkan penyakit.
40

Suatu penelitian pada komunitas di India menyatakan bahwa penggunaan
air dan sabun setelah BAB dan penggunaan air sumur bersifat protektif terhadap
kecacingan. Adapun penggunaan air dari pompa dan kombinasi air pompa serta
defekasi di tempat terbuka dapat meningkatkan risiko kecacingan pada anak.
41

Pompa tangan yang digali pada tempat dangkal mudah berkontak dengan
kotoran karena letaknya dekat dengan saluran yang terbuka, saluran yang meluap,
atau kontak fisik dengan air sisa kotoran. Hal ini memberikan kondisi optimal
bagi pertumbuhan telur cacing A. lumbricoides.
41














II.4.7 Pemakaian Alas Kaki
23

Universitas Indonesia

Untuk mencegah kecacingan yang disebabkan transmisi melalui tanah,
salah satunya dapat digunakan alas kaki. Pemakaian alas kaki akan mencegah
kontak dengan tanah yang terkontaminasi tinja serta dapat mengurangi infeksi
cacing tambang. Transmisi dari cacing usus terjadi melalui tanah yang
terkontaminasi atau tangan yang tidak dicuci. Langkah pengontrolan transmisi,
antara lain melalui pembuangan tinja pada tempatnya, penyediaan air minum
bersih, dan kebersihan indvidu.
42

Apabila implementasi program penyediaan air dan sanitasi pada tingkat
rumah tangga dan komunitas memerlukan waktu, pencegahan individu untuk
mengatasi infeksi cacing tambang dapt dilakukan segera dengan menggunakan
alas kaki secara tepat untuk menghindarkan kulit kaki, pergelangan kaki, dan
tungkai dari kontak langsung terhadap larva infektif.
43


II.5 Kerangka Konsep

















Keterangan:
AGENT
HOST
ENVIRONMENT
Jajan
Memotong kuku
Memasukkan tangan ke mulut
Kebiasaan bermain tanah
Kebiasaan BAB
Lantai rumah
Tempat MCK
Penggunaan
air bersih
Ascaris
lumbricoides
Trichuris
trichiura
Necator
americanus
Ancylostoma
duodenale
Kebiasaan Mencuci Tangan

24

Universitas Indonesia

: lingkup penelitian
: tidak diteliti

25

Universitas Indonesia

BAB III
METODE PENELITIAN

III.1 Desain Penelitian
Penelitian ini berbentuk penelitian deskriptif analitik. Peneliti
menggunakan desain cross-sectional. Tujuannya untuk mengetahui hubungan
kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian kecacingan pada siswa SD. Hal ini
dilakukan melalui wawancara, pengisian kuisioner, dan analisis data.

III.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat pelaksanaan : SD X di Cilincing, Jakarta Utara
Waktu penelitian : Mei Juni 2009
Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap persiapan (Mei
2009), tahap pelaksanaan (Mei - Juni 2009), serta tahap analisis dan pelaporan
(Januari - Juni 2011).

III.3 Populasi Penelitian
III.3.1 Populasi Target
Siswa SD X di Cilincing, Jakarta Utara.

III.3.2. Populasi Terjangkau
Siswa kelas 3, 4, dan 5 SD X di Cilincing, Jakarta Utara.

III.4 Sampel dan Cara Pemilihan Sampel
Sampel dari penelitian ini adalah siswa kelas 3 - 5 SD X tahun ajaran
2008 2009 yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Cara pengambilan
sampel dengan consecutive sampling. Pada cara pengambilan sampel ini, semua
subjek yang datang dan memenuhi kriteria inklusi dimasukkan dalam penelitian
sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi.



26

Universitas Indonesia

III.5 Estimasi Besar Sampel
Untuk menentukan besar sampel, rumus yang digunakan adalah rumus
penghitungan sampel tunggal untuk data nominal:
n=

dengan
n = besar sampel minimal
= derajat kepercayaan (kesalahan tipe 1), dalam penelitian ini = 0,05
Z = deviat baku normal untuk = 1,96
P = proporsi siswa dengan kecacingan (dari penelitian sebelumnya diketahui p
= 0,65)
q = 1-p = proporsi anak-anak tanpa kecacingan
d = tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki (ketepatan absolut yang
diinginkan = 10%)
N = 1,96
2
x0,5x0,5 / 0,2
2
(0,04)
3,85x0,25=0,9625 24,0625

Dari rumus di atas dapat dihitung besar sampel:
n = (1,96
2
x 0,65 x 0,35) / 0,1
2
= 88 orang

Untuk mengantisipasi adanya kesalahan, peneliti menambahkan 10% dari
n = 88+9 = 97 orang.

III.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi :
a) Siswa kelas 3 5 yang berada di sekolah saat dilakukan wawancara
dan pengisian kuesioner.
b) Bersedia menjadi subjek penelitian.
c) Telah dilakukan pemeriksaan tinja

Kriteria eksklusi :
a) Belum dilakukan pemeriksaan tinja parasit.
Z
2
x p x q
d
2

27

Universitas Indonesia

b) Tidak hadir saat wawancara

III.7 Cara Kerja
- Menyusun dan mengajukan proposal kepada penanggung jawab
penelitian (modul Riset)
- Memohon persetujuan kepada kepala sekolah dan guru-guru SD X ,
Jakarta Utara
- Membuat kuesioner/daftar pertanyaan yang sesuai dengan tujuan serta
melakukan uji kevalidan kuisioner
- Menentukan besar sampel
- Menyeleksi subjek berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi
- Melakukan wawancara pada siswa kelas 3, 4, dan 5 SD
- Melakukan entri data dari jawaban kuesioner dan wawancara
- Mengolah dan menganalisis data untuk melihat hubungan antara
kebiasaan mencuci tangan dan kejadian kecacingan
- Menyusun laporan penelitian

III.8 Identifikasi Variabel
Variabel dependen : kejadian kecacingan.
Variabel independen : kebiasaan mencuci tangan

III.9 Definisi Operasional
1. Yang dimaksud dengan kecacingan adalah kondisi di mana subjek
terkena infeksi cacing gelang, dan/atau cacing cambuk, dan/atau
cacing tambang, dan/atau cacing kremi yang dibuktikan pada
pemeriksaan tinja.
2. Kebiasaan mencuci tangan dikatakan baik apabila subjek mencuci
tangan setelah BAB, sebelum makan, setelah bermain tanah, dan
menggunakan air beserta sabun pada saat mencuci tangan.

III.10 Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data: menggunakan SPSS 13.
28

Universitas Indonesia

Data yang diperoleh antara lain:
- Kebiasaan mencuci tangan (baik atau tidak bauk), meliputi beberapa
pertanyaan:
1. Kebiasaan mencuci tangan setelah BAB (ya atau tidak)
2. Mencuci tangan sebelum makan (ya atau tidak)
3. Mencuci tangan setelah bermain tanah (ya atau tidak)
4. Cara mencuci tangan (hanya dengan air atau menggunakan air dan
sabun)
- Infeksi kecacingan (ya atau tidak)
- Interpretasi hasil
Setiap pilihan jawaban kuesioner memiliki nilai sebagai berikut:
(Lampiran 3)
1. Mencuci tangan setelah BAB : ya bernilai 1, sedangkan tidak
bernilai 0.
2. Mencuci tangan sebelum makan : ya bernilai 1, sedangkan tidak
bernilai 0.
3. Mencuci tangan setelah bermain tanah : ya bernilai 1, sedangkan
tidak bernilai 0.
4. Cara mencuci tangan: hanya menggunakan air 1, sedangkan jika
menggunakan air dan sabun bernilai 2.
- Kebiasaan mencuci tangan dikatakan baik jika subjek mendapatkan
nilai total lebih atau sama dengan 3 ( 3), sedangkan jika kurang dari
3 ( < 3) dikatakan tidak baik.
- Data diolah dan dianalisis menggunakan uji statistik Fisher (untuk
menguji kebenaran hipotesis). Uji statistik Chi-Square tidak digunakan
karena lebih dari 50% sel yang mempunyai expected count kurang dari
5. Dengan menggunakan uji statistik Fisher dapat diketahui nilai
significancy dari hipotesis. Apabila nilai p kurang dari 0,05 (p < 0,05),
maka terdapat hubungan bermakna dari faktor risiko (kebiasaan
mencuci tangan) dan kejadian kecacingan


29

Universitas Indonesia


- Bagan Alur Penelitian















III.11 Etika Penelitian
a. Memohon persetujuan/izin dari Kepala SD X di Cilincing, Jakarta
Utara dengan menyetujui informed consent.
b. Memberi penjelasan kepada subjek (siswa) mengenai penelitian ini,
serta menjamin data subjek dijaga kerahasiaannya.
c. Memberi hak sebesar-besarnya kepada subjek untuk mengikuti atau
menolak menjadi subjek penelitian.

Subjek
Memenuhi semua kriteria inklusi
Tidak terdapat kriteria eksklusi
Pencatatan data hasil
Pengolahan data
Wawancara subjek
Tidak diikutsertakan
dalam penelitian
Ya
tidak
30

Universitas Indonesia

BAB IV
HASIL PENELITIAN

IV.1 Data Umum
Dari pengambilan data yang telah kami lakukan sebelumnya terhadap
responden yang merupakan siswa/i SDN 06 Kalibaru Jakarta Utara didapatkan
data umum yang mencakup jenis kelamin, kelas, dan pekerjaan orang tua. Data ini
diperoleh dari hasil wawancara dengan responden tersebut.
Tabel IV.1. Data Umum Siswa SD X Cilincing, Jakarta Utara
Variabel n
Jenis Kelamin
- Perempuan
- Laki-laki
59
45
Kelas
- 3 (tiga)
- 4 (empat)
- 5 (lima)
36
29
39
Pekerjaan Orang Tua
- Tidak bekerja
- Nelayan
- Buruh
- Guru
- Wiraswasta
- Karyawan
- Lain-lain
- Tidak menjawab
3
17
15
3
25
17
17
7

Dari data diatas menunjukkan bahwa jumlah responden yang mengikuti penelitian
ini adalah 104 orang. Responden didominasi oleh perempuan sebanyak 59 orang
(56.7%) dari keseluruhan jumlah responden. Responden berasal dari 3 kelas yaitu
kelas 3 (tiga) sebanyak 36 orang (34.6%), kelas 4 (empat) sebanyak 29 orang
(27.9%), dan kelas 5 (lima) sebanyak 39 orang (37.5%). Sementara untuk
31

Universitas Indonesia

pekerjaan orang tua dari tiap responden didapatkan jumlah terbanyak adalah
pekerjaan sebagai wiraswasta sebanyak 25 orang (24%) lalu berturut-turut adalah
nelayan, karyawan, dll yang berjumlah 17 orang (16.3%) di ikuti buruh sebanyak
15 orang (14.4%), 7 orang (6.7%) tidak menjawab, dan sisanya guru dan tidak
bekerja sebanyak 3 orang (2.9%).

IV.2 Data Khusus
IV.2.1 Karakteristik Siswa
IV.2.1.1 Distribusi Kelas
Tabel IV.2. Distribusi Kelas dengan Infeksi Kecacingan pada siswa SD X
Cilincing, Jakarta Utara
Kelas
Infeksi Kecacingan Jumlah
Ya Tidak
3 26 10 36
4 18 11 29
5 21 18 39
Jumlah 65 39 104

Dari data diatas diketahui bahwa siswa kelas 3 lebih banyak mengalami infeksi
kecacingan yaitu sebanyak 26 orang (25%) dibandingkan dengan siswa kelas 4
yang berjumlah 18 orang (17.3%) dan kelas 5 sebanyak 21 orang (20.2%).

IV.2.1.2 Distribusi Jenis Kelamin
Tabel IV.3 Distribusi Jenis Kelamin dengan Infeksi Kecacingan pada siswa SD
X Cilincing, Jakarta Utara
Jenis
Kelamin
Infeksi Kecacingan Jumlah
Ya Tidak
Perempuan 36 23 59
Laki-laki 29 16 45
Jumlah 65 39 104

32

Universitas Indonesia

Dari data diatas diketahui bahwa siswa perempuan lebih banyak yang mengalami
infeksi kecacingan yaitu sebesar 36 orang (34.6%) dibandingkan dengan siswa
laki-laki yang berjumlah 29 orang (27.9%).

IV.2.2 Infeksi Kecacingan
Tabel IV.4 Distribusi Infeksi Kecacingan Siswa SD X Cilincing, Jakarta Utara
No Infeksi Kecacingan
Jumlah
n
1 Ya 65
2 Tidak 39
Jumlah 104

Dari tabel diatas maka diketahui sebanyak 62.5% (65 orang) siswa SD x
Cilincing Jakarta Utara mengalami infeksi kecacingan. Sedangkan sebesar 39
orang siswa (37.5%) tidak mengalami infeksi kecacingan.

IV.2.3 Infeksi Kecacingan berdasarkan Jenis Cacing
Tabel IV.5. Distribusi Infeksi Kecacingan berdasarkan Jenis Cacing pada Siswa
SD X Cilincing, Jakarta Utara
No Jenis Cacing
Jumlah
n
1 A. lumbricoides 30
2 T. trichiura 10
3 Infeksi Campuran 25
Jumlah 65

Dari 65 orang siswa yang mengalami infeksi kecacingan didapatkan data bahwa
siswa yang terinfeksi cacing A. lumbricoides adalah sebanyak 30 orang (46.2%)
sedangkan yang terinfeksi cacing T. trichiura adalah sebanyak 10 orang (15.4%)
dan yang mengalami infeksi campuran sebanyak 25 orang (38.5%).

33

Universitas Indonesia

IV.2.4 Kebiasaan Mencuci Tangan pada Siswa SD X Cilincing, Jakarta
Utara
Tabel IV.6. Distribusi Kebiasaan Mencuci Tangan pada Siswa SD X Cilincing,
Jakarta Utara
Faktor Jumlah Siswa
- Mencuci Tangan setelah
BAB
a. Ya
b. Tidak


90
14
- Mencuci Tangan sebelum
Makan
a. Ya
b. Tidak


90
14
- Mencuci Tangan setelah
Bermain Tanah
a. Ya
b. Tidak


88
16
- Cara Mencuci Tangan
a. Air
b. Air dan Sabun

37
67

Dari data tersebut diatas diketahui terdapat 86.5% siswa (90 siswa) yang
mempunyai kebiasaan mencuci tangan setelah BAB dan sebanyak 14 orang
(13.5%) tidak mempunyai kebiasaan mencuci tangan setelah BAB, 86.5% siswa
(90 orang) yang mempunyai kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, dan
sebesar 14 orang (55.9%) siswa mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan
setelah bermain tanah Selain itu untuk cara mencuci tangan didapatkan sebanyak
64.4% siswa (sebanyak 67 orang) yang mencuci tangan menggunakan air dengan
sabun dan sisanya 37 orang (35.6%) mencuci tangan hanya dengan menggunakan
air saja.


34

Universitas Indonesia

Tabel IV.7. Distribusi Kebiasaan Mencuci Tangan Baik dan Tidak Baik Siswa SD
X Cilincing, Jakarta Utara
No
Kebiasaan Mencuci
Tangan
Jumlah
n
1 Baik 100
2 Tidak Baik 4
Jumlah 104

Hasilnya adalah sebanyak 4 orang (3.8%) yang mempunyai kebiasaan
mencuci tangan yang tidak baik, sedangkan 100 orang (96.2%) lainnya
dinyatakan memiliki kebiasaan yang baik.

IV.2.5. Hasil Analisis bivariat antara masing-masing faktor risiko dengan
kejadian kecacingan
Tabel IV.8. Analisis Statistik uji chi-square pada masing-masing faktor dengan
angka kejadian kecacingan pada Siswa SD X Cilincing, Jakarta Utara
Faktor Risiko p (p < 0.05)
Mencuci tangan setelah BAB 0.458
Mencuci tangan sebelum Makan 0.182
Mencuci tangan setelah Bermain Tanah 1.000
Cara Mencuci tangan 0.081

IV.2.6. Hubungan Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Infeksi Kecacingan
Tabel IV.9. Hubungan Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Infeksi Kecacingan
pada Siswa SD X Cilincing, Jakarta Utara
Kebiasaan Mencuci
Tangan
Infeksi
Kecacingan
Jumlah
Ya Tidak
Baik 62 38 100
Tidak Baik 3 1 4
Jumlah 65 39 104

35

Universitas Indonesia

p = 1,000
Dari data diatas didapatkan sebanyak 4 orang yang mempunyai kebiasaan
mencuci tangan yang tidak baik, dimana 1 orang (1%) tidak mengalami infeksi
kecacingan dan 3 orang lainnya (2.9%) mengalami infeksi kecacingan, sedangkan
100 orang dinyatakan memiliki kebiasaan yang baik dimana 38 orang (36.5%)
tidak mengalami infeksi kecacingan dan 62 orang lainnya (59.6%) mengalami
infeksi kecacingan.
Pada uji korelasi antara variabel kebiasaan mencuci tangan dan infeksi
kecacingan didapatkan hasil yang tidak bermakna secara statistic sebesar p =
1,000 ( p < 0.05) diantara keduanya.

36

Universitas Indonesia

BAB V
PEMBAHASAN

V.1 Infeksi Kecacingan pada Siswa SD x Cilincing, Jakarta Utara
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 104 siswa SD X Cilincing
Jakarta Utara ini didapatkan sebanyak 65 orang (62.5%) mengalami infeksi
kecacingan dengan rincian 30 orang (46.2%) terinfeksi A. lumbricoides, 10 orang
(15.4%) terinfeksi oleh T. trichiura, dan sisanya sebanyak 25 orang (38.5%)
mengalami infeksi campuran. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1996 di
Sekolah Dasar di daerah Jakarta Pusat ternyata prevalensi askariasi sebesar
66.67% , dan trikuriasis sebesar 61,12% sedangkan infeksi campuran 45,56%.
7

Hasil survei kecacingan Sekolah Dasar di 27 Propinsi Indonesia menurut jenis
cacing tahun 2006 prevalensi Ascaris lumbricoides 17,8%, Trichuris trichiura
24,2% dan Hookworm 1,0%.
44

Selain itu dapat diketahui pula bahwa siswa perempuan lebih banyak yang
mengalami infeksi kecacingan sebanyak 36 orang (34.6%) dibandingkan dengan
siswa laki-laki yang berjumlah 29 orang (27.9%). Walaupun demikian, secara
statistik hubungan ini tidak bermakna dengan p = 0.721 lebih besar dari 0.05
(0.721 > 0.05).
Pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2008 pada anak SD di Desa
Tertinggal Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir, diperoleh data Jenis
kelamin responden terbanyak yaitu laki-laki sebanyak 116 (57,4%), perempuan
sebanyak 86 orang (42,6%).
45
Oleh karena itu tidak ada perbedaan yang bermakna
antara laki-laki dan perempuan dan mereka mempunyai kesempatan yang sama
untuk terinfeksi oleh cacing.

V.2 Hubungan Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Infeksi Kecacingan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 104 siswa
didapatkan sebanyak 4 orang yang mempunyai kebiasaan mencuci tangan yang
tidak baik, dimana 1 orang (1%) tidak mengalami infeksi kecacingan dan 3 orang
lainnya (2.9%) mengalami infeksi kecacingan, sedangkan 100 orang dinyatakan
37

Universitas Indonesia

memiliki kebiasaan yang baik dimana 38 orang (36.5%) tidak mengalami infeksi
kecacingan dan 62 orang lainnya (59.6%) mengalami infeksi kecacingan.
Berdasarkan uji anlisis chi-square yang dilakukan terhadap masing-masing
faktor resiko didapatkan kebiasaan mencuci tangan setelah BAB memiliki p =
0.458; kebiasaan mencuci tangan sebelum makan memiliki p = 0.182; kebiasaan
mencuci tangan setelah bermain tanah memiliki p = 1.000; dan cara mencuci
tangan memiliki p = 0.081 hal ini menunjukkan secara statistik hubungan tersebut
tidak bermakna dikarenakan memiliki p lebih besar dari 0.05 dimana hubungan
yang bermakna di dapatkan p < 0.05.
Berdasarkan uji fisher yang dilakukan pada penelitian antara kebiasaan
mencuci tangan dengan infeksi kecacingan tidak didapatkan hubungan yang
bermakna dengan p-value sebesar 1,000 ( p < 0.05).
Penelitian yang dilakukan oleh Evi Yulianto (2006/2007) terhadap siswa
SD di Kecamatan Tembalang Kota Semarang mengenai hubungan antara
kebiasaan mencuci tangan dengan kecacingan memiliki nilai p = 0.028 yaitu
terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan mencuci tangan seseorang
dengan prevalensi kecacingan di suatu daerah.
46

Tangan merupakan salah satu jalur utama masuknya kuman penyakit
karena tangan merupakan salah satu anggota tubuh yang langsung berhubungan
dengan mulut dan hidung. Penyakit yang biasa ditimbulkan oleh tangan yang
berkuman adalah diare, kolera, ISPA, cacingan, flu, dan Hepatitis A. WHO
Mencuci tangan menggunakan air bersih dan sabun merupakan salah satu
cara yang efektif untuk memutus tali penularan infeksi cacing melalui tangan.
Mencuci tangan menggunakan air dapat lebih efektif membersihkan kotoran dan
telur cacing yang menempel pada permukaan kulit, kuku dan jari-jari pada kedua
tangan.
47

Sementara cara mencuci tangan yang tepat berdasarkan Departemen
Kesehatan RI yang dilansir di situs resmi mereka adalah sebagai berikut:
1. Cuci tangan dengan air yang mengalir dan gunakanlah sabun. Tak perlu harus
sabun antibakteri, namun lebih disarankan sabun yang berbentuk cairan.
2. Gosok tangan setidaknya 15-20 detik.
3. Bersihkan pergelangan tangan, punggung tangan, sela-sela jari, dan kuku.
38

Universitas Indonesia

4. Basuh tangan sampai bersih dengan air yang mengalir.
5. Keringkan dengan handuk bersih atau pengering lain.
6. Gunakan tisu atau handuk sebagai penghalang ketika mematikan keran air.
Namun terdapat faktor risiko lainnya yang dapat menyebabkan seseorang
mengalami infeksi kecacingan selain kebiasaan mencuci tangan yaitu iklim tropis,
kesadaran akan kebersihan yang masih rendah, sanitasi yang buruk, kondisi sosial
ekonomi yang rendah, serta kepadatan penduduk dapat berpengaruh terdapat
infeksi kecacingan disuatu daerah.
23
Oleh sebab itu infeksi kecacingan disebabkan
oleh berbagai macam faktor (multifaktorial).

V.2. Kelebihan dan Kekurangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan desain studi
cross-sectional. Kelebihan menggunakan jenis desain ini adalah kita dapat
mengetahui hubungan antara kecacingan dengan kebiasaan mencuci tangan pada
anak SD X Cilincing, Jakarta Utara.
Sedangkan kekurangan dari penelitian ini adalah tidak dapat mengetahui
hubungan sebab akibat antara variabel dependen dan independen karena penelitian
ini memang tidak digunakan untuk menjelaskan keadaan tersebut.
Kekurangan lainnya yaitu bias yang terjadi pada saat wawancara. Hal ini
terjadi karena tingkat pemahaman siswa yang diwawancara berbeda antara satu
dan lainnya.











39

Universitas Indonesia

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1. Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:
1. Sebagian besar responden menderita kecacingan
2. Sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan
3. Sebagian besar responden berasal dari kelas 5
4. Sebagian besar responden mempunyai kebiasaan mencuci tangan yang baik
5. Sebagian besar responden terinfeksi oleh cacing A. lumbricoides
6. Dengan menggunakan tes uji Fisher diketahui bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna secara statistik antara kebiasaan mencuci tangan dengan
infeksi kecacingan pada siswa SD x Cilincing, Jakarta Utara
7. Tingginya angka kejadian kecacingan di SD X Cilincing, Jakarta Utara
mungkin berkaitan dengan faktor kebersihan perorangan lainnya dan bukan
karena faktor kebiasaan mencuci tangan.

VI.2. Saran
1. Dilakukan penyuluhan kepada para siswa SD X Cilincing, Jakarta Utara
mengenai hidup bersih dan bebas dari cacing












40

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

1. Mardiana L, Djarismawati. Prevalensi Cacing Usus pada Murid Sekolah Dasar
Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah
Kumuh di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2008;7:769 774.
2. Nokes C. 1992. Moderato to Heavy Infections of Trichiura affect Cognitif
Function in Jamaica School Children, Parasitologi
3. Hadidjaja, P. 1994. Masalah penyakit kecacingan di Indonesia dan
penanggulangannya. Maj. Kedok. Indon. 44: 215 216.
4. Prof. Dr. Sri S Margono. 2003. Controlling Disease Due to Helminth Infection
WHO Departemen Parasit FKUI
5. Margono Sri, S., Sri Oemijati, Runizar Roesin, Hd Ilahude, Rumsah Rasad.
1974. The use of some technics in the diagnosis of soil transmitted helminthes.
The first conference of the APCO, Proceedings, 229-233.
6. Ismid, I.S. 1996. Infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah pada anak
Balita yang kurang kalori protein di Kelurahan Kramat, Jakarta Pusat. Maj.
Parasitol. Ind. 9 (1): 1 5.
7. Ismid, I.S. 1996. Survey penyakit kecacingan pada anak murid Sekolah Dasar
di Jakarta Pusat. Jurnal Kesehatan Vol. 2. No.2
8. Atmadja AK. Kecacingan pada Siswa SD di Jakarta Utara. Jakarta:
Departemen Parasitologi FKUI. 2008
9. Prof. Tjandra Yoga Aditama, Sp. P (K), MARS, DTM & H. 2010. Penyakit
Kecacingan Masih Dianggap Sepele Available from: http://www.depkes.go.id.
10. Gillespie, Stephen H, Richard D.P. Principles and Practice of Clinical
Parasitology. England: John Wiley and Sons Ltd. 2001. p566-68.
11. Mahfudin HP, Hadidjaja P, Ismid IS, Liana V. Pengaruh Cuci Tangan
terhadap Reinfeksi Ascaris lumbricoides. Maj.Parasitol. Ind.1994:7 (2):1 5
12. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2001. Kamus Bahasa Indonesia.
Balai Pustaka. Jakarta.
13. Despommier, Dickson D, et all. Parasitic Diseases. 4rd ed. New York: Apple
Tree Production, LLC. 2000. p106.
41

Universitas Indonesia

14. Albonico M, Ramsan M, Wright V, et al. Soil-transmitted nematode infections
and mebendazole treatment in Mafia Island schoolchildren. Ann Trop Med
Parasitol. Oct 2002;96(7):717-26
15. Gillespie, Stephen H, Richard D.P. Principles and Practice of Clinical
Parasitology. England: John Wiley and Sons Ltd. 2001. p566-68.
16. Haryanti, E., 2002. Helmintologi Kedokteran. Bagian Parasitologi Fakultas
Kedokteran USU. Medan
17. Onggowaluyo,S,J. 2002. Parasitologi Medik (Helmintologi). Pendekatan
Aspek Identifikasi Diagnosis dan Klinik. Anggota IKAPI. EGC. Jakarta
18. Prasetyo, H. 2003. Atlas Berwarna Helmintologi Kedokteran. Cetakan
pertama. Editor Winarko. Airlangga University Press. Anggota IKAPI.
Surabaya
19. Srisasi Gandahusada, 2000, Parasitologi Kedokteran edisi ke 3, Jakarta: EGC
20. Sandjaja, B. 2007. Helminthologi Kedokteran . Editor Pedo Herri. Cetakan
Pertama. Prestasi Pustaka. Jakarta
21. Garcia, Lynne S. Diagnosis Parasitologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 1996
p148-150
22. Oeswari E. Penyakit dan Penanggulangannya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama; 1991. p53
23. Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia 2010: PERILAKU SEDERHANA
BERDAMPAK LUAR BIASA Available from: http://www.depkes.go.id.
24. WHO. Control of Ascaris. Report of WHO Expert Committee, WHO
Technical Report Series, the World Health Organization. H; 1997. p339
25. .Toenail Definition. Available from: http://www.medterms.com/
26. American Academy of Dermatology. Nail Fungus & Nail Health. Available
from: http://www.aad.org/
27. Dugdale DC. Capillary nail refill test. 2009. Available from:
http://www.nlm.nih.gov/ medlineplus/)
28. Anonymous. Causes of Intestinal Infection. Available from:
http://www.tandurust.com/ digestive-disorders/)
42

Universitas Indonesia

29. Sung JC, Lin RS, Huang KC, Wang SY, Lu AY. Pinworm Control and Risk
Factors of Pinworm Infection Among Primary-School Children in Taiwan.
Am. J. Trop. Med. Hyg. 2001;65(5):558562.
30. Faust EC, Russell PD. Craig & Fausts Clinical Parasitology. 7th ed.
Philadelphia: Lea 7 Febiger; 1964. p341-429
31. Departemen Kesehatan R.I, Pedoman Umum Program Nasional
Pemberantasan Cacingan di Era Desentralisasi, Jakarta: Depkes R.I; 2004
32. FAO. Street Foods. Report of an FAO technical meeting on street foods,
Calcutta, 6-9 November 1995. FAO Food and Nutrition paper 63. FAO,
Rome; 1997.
33. Guhardja S, Madanijah S, Wulandari S, Natal NPS, and Akbar M. The role of
street foods in the household food consumption: A survey in Bogor.
Proceeding of the 4th ASEAN Food Conference 1992. IPB Press; 1992.
34. Anita N. Mutu mikrobiologis minuman jajanan kantin di tiga sekolah wilayah
Bogor. Institut Pertanian Bogor; 2002
35. WHO. Foodborne disease: a focus for health education. World Health
Organization, Geneva; 2000
36. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 424/MENKES/SK/VI. Pedoman
Pengendalian Cacingan, Jakarta: Departemen Kesehatan; 2006
37. Djakaria S. Hospes perantara. Dalam: Gandahusada S, Ilanude HD, Pribadi
W, penyunting. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2006. p243.
38. Maskar D.H. Assessment of illegal food additives intake from street food
among primary school children in selected area of Jakarta. Thesis. SEAMEO-
TROPMED RCCN University of Indonesia; 2004
39. Sood SK. Food Poisoning. 2009. Available from: www.e-medecine.com
40. Notoatmodjo S. Metode Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta; 2002.
p159
41. Awasthi S, Verma T, Kotecha V, Venkatesh V, Joshi V, Roy S. Prevalence
and risk factors associated with worm infestation in pre-school children (6-23
months) in selected blocks of Uttar Pradesh and Jharkand, India. Indian J Med
Sci. 2008;62:484-91.
43

Universitas Indonesia

42. Boon NA, Davidson S. Davidsons principles and practice of medicine.
19th ed. Edinburgh: Elsevier Science, 2002
43. Luong TV. Prevention of Intestinal Worm Infections through Improved
Sanitation and Hygiene. In: UNICEF East Asia & Pacific Regional Office
Bangkok, Thailand. Oktober 2002
44. Depkes. RI. Kamis. Profil Kesehatan Indonesia.Jakarta. available from:
http://www.depkes.go.id/
45. Agustaria Ginting : Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar Di Desa Tertinggal Kecamatan
Pangururan Kabupaten Samosir Tahun 2008, 2009 USU Repository 2008
46. Evi Yulianto. 2007. Hubungan Higiene Sanitasi dengan Kejadian Penyakit
Cacingan pada Siswa Sekolah Dasar Negero Rowosaro -1 Kecamatan
Tembalang Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/2007. Under Graduates thesis,
Universitas Negeri Semarang
47. Ir. Dina Agoes M, Kes dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Volume
2 Nomor 6, Juni 2008.
















44

Universitas Indonesia

Lampiran 1: Informed Consent


Jakarta, .....2009
Yth. Ibu Kepala SD X
Jakarta Utara

Saat ini mahasiswa tingkat II FKUI tengah melaksanakan penelitian
mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingginya insidenssi
kecacingan pada siswa SD X .
Saat ini kecacingan masih menjadi masalah kesehatan, khususnya pada
anak-anak. Penyakit ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi,
kecerdasan dan produktivitas penderitanya, sehingga secara umum dapat
menyebabkan penurunan kualitas sumber daya manusia.
Besarnya angka kecacingan dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah
satunya kurangnya perilaku hidup bersih yang meliputi kebiasaan tidak mencuci
tangan, jarang menggunting kuku, suka menggigit kuku, bermain tanah, jajan
sembarangan, serta buang air besar tidak di jamban.
Oleh karena itu, kami bermaksud melakukan wawancara pada siswa-siswa
SD X yang kecacingan untuk mengetahui hubungan faktor-faktor di atas
dengan insidensi kecacingan, khususnya askariasis.
Kami memohon kesediaan Ibu mewakili siswa SD X untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini. Penelitian ini sifatnya tidak memaksa. Atas
kesediaan Ibu, kami ucapkan terima kasih.






INFORMED CONSENT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS INDONESIA
Jl. Salemba Raya No. 6, Jakarta Pusat
45

Universitas Indonesia

Lampiran 2: Kuesioner
1.
2. Identitas Responden:
a) Kode Sampel : Punya hewan Peliharaan
b) Nama :
c) Tempat Tanggal Lahir:
d) Jenis Kelamin :
e) Kelas :
f) Alamat :
g) Anak ke : ..............., Jumlah saudara : ..............
h) Nama Orang Tua
Nama Ayah :
Pekerjaan :..
Pendidikan : tidak sekolah SMP D3
SD SMA S1

Nama Ibu :
Pekerjaan :..
Pendidikan : tidak sekolah SMP D3
SD SMA S1
3. Kebiasaan Mencuci Tangan
a) Apakah adik mencuci tangan setelah BAB?
a. Ya
b. Tidak
b) Apakah adik mencuci tangan sebelum makan?
a. Ya
b. Tidak
c) Apakah setelah bermain tanah adik mencuci tangan?
a. Ya
b. Tidak
d) Bagaimana cara adik mencuci tangan?
a. Air dengan sabun
b. Air saja

46

Universitas Indonesia

Lampiran 3: Tabel Penilaian Kuesioner

Keterangan Ya (skor) Tidak Kriteria keparahan:
Kebiasaan Mencuci Tangan
- Mencuci tangan setelah BAB
- Mencuci tangan Sebelum
makan
- Mencuci tangan Setelah
Bermain Tanah
- Cara Mencuci Tangan

1
1

1

Air =
2
Air dan sabun =
3

0
0

0

0

3-5 : baik
0-2 : buruk



























47

Universitas Indonesia



Lampiran 4: Hasil Pengolahan Data SPSS

Crosstabs Uji chi-square masing-masing Faktor dengan Kejadian
Kecacingan
1. Kebiasaan Mencuci Tangan setelah BAB dengan Kejadian Kecacingan




























Mencuci Tangan setelah BAB * Infeksi Kecacingan Crosstabulation
4 10 14
5.3 8.8 14.0
3.8% 9.6% 13.5%
35 55 90
33.8 56.3 90.0
33.7% 52.9% 86.5%
39 65 104
39.0 65.0 104.0
37.5% 62.5% 100.0%
Count
Expected Count
% of Total
Count
Expected Count
% of Total
Count
Expected Count
% of Total
tidak
ya
Mencuci Tangan
setelah BAB
Total
Tidak Ya
Inf eksi Kecacingan
Total
Chi-Square Tests
.550
b
1 .458
.198 1 .656
.569 1 .451
.561 .334
.545 1 .460
104
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
a
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Cases
Value df
Asy mp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Computed only f or a 2x2 table
a.
0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.
25.
b.
48

Universitas Indonesia


2. Kebiasaan Mencuci Tangan sebelum Makan dengan Kejadian Kecacingan












Mencuci Tangan sebelum Makan * Infeksi Kecacingan Crosstabulati on
3 11 14
5.3 8.8 14.0
2.9% 10.6% 13.5%
36 54 90
33.8 56.3 90.0
34.6% 51.9% 86.5%
39 65 104
39.0 65.0 104.0
37.5% 62.5% 100.0%
Count
Expected Count
% of Total
Count
Expected Count
% of Total
Count
Expected Count
% of Total
tidak
ya
Mencuci Tangan
sebelum Makan
Total
Tidak Ya
Inf eksi Kecacingan
Total
Chi-Square Tests
1.783
b
1 .182
1.079 1 .299
1.915 1 .166
.242 .149
1.766 1 .184
104
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
a
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Cases
Value df
Asy mp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Computed only f or a 2x2 table
a.
0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.
25.
b.
49

Universitas Indonesia

3. Kebiasaan Mencuci Tangan setelah Bermain Tanah dengan Kejadian
Kecacingan














Mencuci Tangan setel ah Bermain Tanah * Infeksi Kecaci ngan Crosstabulation
6 10 16
6.0 10.0 16.0
5.8% 9.6% 15.4%
33 55 88
33.0 55.0 88.0
31.7% 52.9% 84.6%
39 65 104
39.0 65.0 104.0
37.5% 62.5% 100.0%
Count
Expected Count
% of Total
Count
Expected Count
% of Total
Count
Expected Count
% of Total
tidak
ya
Mencuci Tangan setelah
Bermain Tanah
Total
Tidak Ya
Inf eksi Kecacingan
Total
Chi-Square Tests
.000
b
1 1.000
.000 1 1.000
.000 1 1.000
1.000 .616
.000 1 1.000
104
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
a
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Cases
Value df
Asy mp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Computed only f or a 2x2 table
a.
0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.
00.
b.
50

Universitas Indonesia

4. Cara Mencuci Tangan















Cara Mencuci Tangan * I nfeksi Kecacingan Crosstabulation
18 19 37
13.9 23.1 37.0
17.3% 18.3% 35.6%
21 46 67
25.1 41.9 67.0
20.2% 44.2% 64.4%
39 65 104
39.0 65.0 104.0
37.5% 62.5% 100.0%
Count
Expected Count
% of Total
Count
Expected Count
% of Total
Count
Expected Count
% of Total
air
air dengan sabun
Cara Mencuci
Tangan
Total
Tidak Ya
Inf eksi Kecacingan
Total
Chi-Square Tests
3.046
b
1 .081
2.352 1 .125
3.015 1 .082
.094 .063
3.016 1 .082
104
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
a
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Cases
Value df
Asy mp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Computed only f or a 2x2 table
a.
0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.
88.
b.
51

Universitas Indonesia

Crosstabs Nilai Total Kebiasaan Mencuci Tangan
Case Processing Summary
104 100.0% 0 .0% 104 100.0%
Nilai total * Inf eksi
Kecacingan
N Percent N Percent N Percent
Valid Missing Total
Cases


Nilai total * Infeksi Kecacingan Crosstabul ation
1 3 4
1.5 2.5 4.0
1.0% 2.9% 3.8%
38 62 100
37.5 62.5 100.0
36.5% 59.6% 96.2%
39 65 104
39.0 65.0 104.0
37.5% 62.5% 100.0%
Count
Expected Count
% of Total
Count
Expected Count
% of Total
Count
Expected Count
% of Total
tidak baik
baik
Nilai
total
Total
Tidak Ya
Inf eksi Kecacingan
Total


Chi-Square Tests
.277
b
1 .598
.000 1 1.000
.294 1 .588
1.000 .518
.275 1 .600
104
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
a
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Cases
Value df
Asy mp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Computed only f or a 2x2 table
a.
2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.
50.
b.

You might also like