Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini dilakukan untuk dua tujuan, yakni tujuan secara umum
dan tujuan secara khusus.
Adapun tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
terstruktur mata kuliah komunitas 1 tahun akademik 2015/2016 Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura dan mengetahui secara garis
besar masalah sistem neurobehavior dan asuhan keperawatannya.
Adapun tujuan khusus penulisan karya tulis ilmiah ini adalahsebagai berikut.
Meningkatakan pengetahuan dan wawasan mengenai konsep dasar penyakit
Alzheimer, yang meliputi pengertian, Etiologi, Manifestasi klinis, Patofisiologi
(Pathway),
pencegahan,
komplikasi,
penatalaksanaan
medis
dan
pemeriksaan
dignostiknya.
Memberikan gambaran Asuhan keperawatan yang teoritis kepada pasien mengenai
penyakit Alzheimer.
1.4. Manfaat
Penulisan makalah ini mengandung beberapa manfaat yaitu:
1.4.1. Sebagai sarana pembelajaran dalam perkuliahan mata kuliah komunitas 2.
1.4.2.
Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai masalah Alzheimer
pada lansia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Menurut Alzheimers Disease Education & Referral (ADEAR) Center, U.S. Department
of Health and Human Service; penyakit Alzheimer adalah penyakit otak yang bersifat ireversibel
dan progresif yang perlahan merusak memori serta kemampuan berpikir, bahkan kemampuan
untuk melakukan tugas sederhana.
Alzheimer adalah penyakit pada otak yang menyebabkan masalah pada daya ingat, daya
piker, dan perilaku. Ia bukanlah bagian normal dari proses penuaan.
Alzheimer ialah bentuk demensia yang paling umum. Demensia sendiri ialah istilah
umum yang digunakan untuk menyatakan penurunan daya ingat dan kemampuan intelektual lain
yang cukup serius mengganggu kegiatan harian (Alzheimers Association, 2012).
Alzheimer merupakan penyakit kronik, progresif, dan merupakan gangguan degeneratif
otak dan diketahui mempengaruhi memori, kognitif dan kemampuan untuk merawat diri
(Brunner &,Suddart, 2002 ).
Alzheimer merupakan penyakit degenerative yang ditandai dengan penurunan daya
ingat, intelektual, dan kepribadian. Tidak dapat disembuhkan, pengobatan ditujukan untuk
menghentikan progresivitas penyakit dan meningkatkan kemandirian penderita (Dr. Sofi Kumala
Dewi, dkk, 2008).
Maka dapat disimpulkan bahwa Alzheimer adalah penyakit yang dialami oleh individu
yang berusia diatas 65 tahun ditandai dengan penurunan daya ingat, kognitif, dan kepribadian
sehingga menghambat aktivitas sehari-hari.
2.2. Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternatif penyebab yang telah dihipotesa
adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi virus, polusi udara/industri, trauma,
neurotransmiter, defisit formasi sel-sel filament, presdiposisi heriditer. Dasar kelainan patologi
penyakit alzheimer terdiri dari degenerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang
mengakibatkan gangguan fungsi kognitif dengan penurunan daya ingat secara progresif.
Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian
selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh
adanya peningkatan calsium intraseluler, kegagalan metabolisme energi, adanya formasi radikal
bebas atau terdapatnya produksi protein abnormal yang non spesifik.
Penyakit alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa peran faktor genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa
peran faktor non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya
sebagai pencetus faktor genetika (Iskandar Japardi, 2002).
Para ilmuwan telah mengetahui bahwa penyakit Alzheimer melibatkan kegagalan sel
saraf dalam perjalanan penyakitnya, namun alasan hal ini terjadi masih belum diketahui pasti.
Bagaimanapun, telah mengidentifikasi beberapa faktor risiko yang meningkatkan risiko
terjadinya Alzheimer.
Usia
Faktor risiko yang paling banyak diketahui adalah pertambahan usia. Banyak
individu dengan penyakit ini berusia 65 tahun ke atas. Satu dari delapan orang pada
kelompok ini (lansia >65 tahun) mengalami Alzheimer. Sedangkan, hampir setengah dari
lansia berusia 85 tahun ke atas mengalami Alzheimer.
Riwayat keluarga dan genetic
Faktor risiko lain adalah riwayat keluarga. Penelitian menunjukkan bahwa mereka
yang mempunyai orang tua ataupun saudara dengan Alzheimer lebih cenderung akan
mengalami Alzheimer daripada mereka yang tidak mempunyai riwayat keluarga. Risiko
meningkat jika lebih dari satu anggota keluarga mengalami Alzheimer.
Para ilmuwan telah mengidentifikasi 3 gen yang pasti berpegaruh pada kejadian
Alzheimer, tapi hanya sejumlah kecil orang (sekitar 1%)yang membawa gen ini. Bentuk
E4 dari gen apolipoprotein E (APOE-E4) dibawa oleh 25% individu dan meningkatkan
risiko Alzheimer, namun tidak memastikan bahwa individu tersebut akan mengalami
Alzheimer. Para ahli percaya bahwa kebanyakan kasus Alzheimer disebabkan oleh
kombinasi kompleks dari pengaruh genetik dan non-genetik.
Ras
Penelitian menunjukkan bahwa lansia dengan ras Latin berisiko 1,5 kali lebih
besar terkena Alzheimer dibanding ras berkulit putih. Lansia Afro-Amerika dua kali lebih
berisiko dari pada ras berkulit putih.
Alasan perbedaan ini tidak terlalu dipahami, tetapi para peneliti percaya bahwa
rasio penyakit vaskuler yang tinggi (seperti diabetes, hipertensi dan hiperkolesterolemia)
pada kelompok ini juga berperan dalam angka kejadian Alzheimer.
Faktor risiko lain
Penelitian terbaru muali menunjukkan petunjuk tentang faktor risiko lain yang
berpengaruh. Tampak korelasi yang kuat antara riwayat cedera kepala serius dengan
angka kejadian Alzheimer. Beberapa bukti kuat menunjukkan hubungan yang kuat antara
kesehatan otak dengan kesehatan jantung.
meningkat oleh berbagai kondisi yang merusak jantung dan pembuluh darah. Ini
termasuk, penyakit jantung, diabetes, stroke, hipertensi, dan hiperkolesterolemia. Studi
organ otak menambah bukti kuatnya hubungan otak-jantung. Studi ini menunjukkan
bahwa plak dan pengecilan pada pembuluh darah yang menuju otak sangat beresiko
menyebabkan Alzheimer (Alzheimers Association, 2012).
2.3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penyakit Alzhetmer (Dewanto, 2009) terdiri atas manifestasi gangguan
kognitif dan gangguan psikiatrik serta perilaku. Gangguan kognitif awal yang terjadi adalah
gangguan memori jangka pendek atau memori kerja. Gangguan ini akan diikuti dengan kesulitan
berbahasa, disorientasi visuospasial dan waktu, serta inatensi. Penderita mengalami
ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-harinya seiring perjalanan penyakit, akan
muncul gangguan psikiatrik dan perilaku seperti depresi , kecemasan, halusinasi, waham, dan
perilaku agitasi.
Gambaran klinis Alzheimer berdasarkan stadiumnya:
1. Stadium awal
Dapat dianggap sebagai pikun yang wajar, kurang berenergi dan seringkali tidak
disadari.
Mengulang kata.kata, salah menempatkan benda, kesulitan menyebutkan nama untuk
benda-benda yang sudah dikenal, tersesat di jalan yang biasa dilewati, perubahan
perilaku, kehilangan minat pada hal-hal yang sebelumnya disukai, kesulitan
melakukan sesuatu yang bertujuan yang biasanya mudah dilakukan dan kesulitan
sama. Tau yang abnormal terpuntir masuk ke filament heliks ganda yang sekelilingnya masingmasing terluka. Dengan kolapsnya system transport internal, hubungan interseluler adalah yang
pertama kali tidak berfungsi dan akhirnya diikuti kematian sel. Pembentukan neuron yang kusut
dan berkembangnya neuron yang rusak menyebabkan Alzheimer.
Lesi khas lain adalah plak senilis, terutama terdiri dari beta amiloid (A-beta) yang
terbentuk dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel neuronal. A-beta adalah
fragmen protein prekusor amiloid (APP) yang pada keadaan normal melekat pada membrane
neuronal yang berperan dalam pertumbuhan dan pertahanan neuron. APP terbagi menjadi
fragmen fragmen oleh protease, salah satunya A-beta, fragmen lengket yang berkembang
menjadi gumpalan yang bisa larut. Gumpalan tersebut akhirnya bercampur dengan sel sel glia
yang akhirnya membentuk fibril fibril plak yang membeku, padat, matang, tidak dapat larut,
dan diyakini beracun bagi neuron yang utuh. Kemungkinan lain adalah A-beta menghasilkan
radikal bebas sehingga mengganggu hubungan intraseluler dan menurunkan respon pembuluh
darah sehingga mengakibatkan makin rentannya neuron terhadap stressor. Selain karena lesi,
perubahan biokimia dalam SSP juga berpengaruh pada AD. Secara neurokimia kelainan pada
otak.
2.5. Pathway
Faktor
genetik
Faktor
genetik
Lingkungan
imunologi
traum
a
Usia
Ras
Degenerasi neuron
irreversible
Kelainnan
neurotransmitter
Asetilkolin
menurun
ALZHEIM
ER
Daya ingat
Gangguan
kognitif
Perubahan
intelektual
Perubahan
perilaku
Kehilangan
fungsi neurologi
dan tonus otot
Kemampuan
melakukan
aktivitas
Perawatan
diri
Deficit
perawatan
diri
(personal
Hygine )
Mudah lupa
Muncul
gejala neuro
psikiatrik
Perubahan
nafsu makan
Resiko
tinggi
perubahan
nutirsi
kurang dari
kebutuhan
tubuh
Kesulitan
tidur
Perubahan
pola tidur
1. Kehilangan
kemampuan
menyelesaika
n masalah
2. Perubahan
mengawasi
keadaan
kompleks dan
berpikir
abstrak
3. Emosi labil,
pelupa, dan
apatis.
Koping
individu
tidak efektif
Perubahan
persepsi transmisi
integrasi sensori
Perubahan
persepsi sensori
Perubah
an
proses
Tingkah laku
tidak bisa diam
dan tidak
mampu
mengidentifikas
i bahaya
Perubahan
pola
eliminasi
urin/alvi
Resiko
trauma
Hambatan
interaksi
sosial
Hambatan
komunikasi
verbal
Kerusaka
n
mobilitas
fisik
Inhibitor kolinesterase
Tujuan: Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti
pemberian berlangsung
ESO: memperburuk penampilan intelektual pada orang normal dan penderita
bermakna.
Klonidin
Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat disebabkan kerusakan
noradrenergik kortikal.
Contoh: klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik alfa 2 reseptor
agonis.
Dosis : maksimal 1,2 mg peroral selama 4 minggu
2.7. Komplikasi
2.7.1.
penderita alzheimer menghirup (menghisap) apa yang mereka makan atau minum
ke dalam saluran pernapasan dan paru, yang dapat menyebabkan pneumonia.
2.7.2.
Jatuh dan masalah lain yang ditimbulkan. Pengidap alzheimer mudah
gamang sehingga bisa sering terjatuh. Akibat jatuh bisa terjadi luka di kepala,
seperti pendarahan otak. Operasi untuk memeperbaiki luka akibat jatuh juga
berisiko. Sebagai contoh, berbaring dalam waktu lama untuk pemulihan luka
akibat terjatuh meningkatkan risiko pembekuan darah di paru-paru (pulmonary
embolism), yang dapat menimbulkan kematian.
2.7.3.
Inkontinensia adalah gejala umum dari tengah dan penyakit tahap akhir
Alzheimer. Pada saat seseorang menderita kerugian total dari fungsi kandung
kemih, kateter urin kadang-kadang digunakan. Kateter dapat memperkenalkan
bakteri ke dalam tubuh menyebabkan infeksi saluran kemih (ISK). Pasien dengan
penyakit Alzheimer juga tidak bisa ke toilet sendiri sebagai sering atau dengan
penggunaan yang tepat dari kebersihan, yang menghasilkan pembentukan ISK.
2.7.4.
Dekubitus terjadi karena adanya penurunan aliran darah kedaerah yang
mengalami penekanan dan menyebabkan kerusakan pada daerah tersebut. Hal ini
dapat terjadi jika penekanan terjadi dalam waktu yang lama tanpa pergeseran berat
badan (misalnya setelah operasi/cedera).
Diagnosis
definitif
ditegakkan
dengan
konfirmasi
pemeriksaan
neuropatologi melalui autopsi. Secara umum, terdapat atrofi yang bilateral, simetris,
dengan berat otak yang sering mencapai sekitar 1000 gram (850-1250 gram).
Kemerdekaan RI? Tes memori juga dilakukan dengan memberikan daftar benda seharihari, lalu pasien diminta menyebutkan kembali 5 menit kemudian.
5. Tes neuropsikologik. Kadang-kadang dokter akan memberikan tes lebih lanjut mengenai
kemampuan memecahkan masalah, rentang perhatian, kemampuan berhitung, dan
bahasa. Hal ini snagat membantu dalam mendeteksi alzheimer dan demensia lainnya
secara dini. Dokter akan memberikan tes psikologis untuk menentukan apakah
kemampuan mental seseorang itu sesuai dengan pendidikan dan usianya. Adanya
keterlambatan mental yang terlihat selama tes neuropsikologis dapat membantu dokter
menentukan penyebab demensia.
6. Scan atau pemindaian otak. Dokter biasanya akan emngambil gambar otak dengan alat
pemindai otak. Ada beberapa metode pemindaian otak diantaranya, computerized
tomography (CT) scan, magnetic resonance imaging (MRI) scan dan positron emission
tomography (PET) scan. Dengan melihat gambar otak, dokter dapat menentukan ada
tidaknya abnormalitas pada otak. Para peneliti masih meneliti apakah pemindaian otak
dapat digunakan untuk mendeteksi resiko alzheimer pada orang sehat sebelum gejalanya
timbul.
7. Ktika cairan cerebrospinal dianalisa, dan terdapat peningkatan protein tertentu, termasuk
protein beta amyloid dapat mengindikasi bahwa seseorang itu terkena alzheimer.
8. Dengan berkembangnya teknologi imaging yang semakin mudah diakses dan digunakan,
praktisi kesehatan dapat menggunakan CAT scans untuk memvisualisasi mengecil atau
mengerutnya otak. Otak dengan sulci (lekuka permukaan otak) yang melebar, dan
ventrikel cerebral yang membesar (ruang di dalam otak yang dipenuhi oleh CSF)-semua
karakteristik alzheimer (dan kelainan saraf lainnya).
9. Metode brain imaging juga bisa digunakan untuk mendapatkan informasi aliran darah
dan aktivitas metabolic berbagai bagian di dalam otak.
BAB III
PEMBAHASAN
ASUHAN KEPERAWATAN ALZHEIMER
3.1. Pengkajian
Adapun pengkajian yang dilakukan pada pasien dengan penyakit Alzheimer
diantaranya:
3.1.1.
Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku bangsa,
yang
lain,
baik
yang
dapat
menjadi
faktor
karena
pasien menglami
kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep
diri didapatkan pasien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan mudah marah, dan
tidak kooperatif. Perubahan yang terpenting pada pasien dengan penyakit
Alzheimer adalah penurunan kognitif dan memori (ingatan).
3.1.4. Aktifitas istirahat
Gejala: Merasa lelah
Tanda: Siang/malam gelisah, tidak berdaya, gangguan pola tidur, letargi,
penurunan minat atau perhatian pada aktivitas yang biasa, hobi,
ketidakmampuan untuk menyebutkan kembali apa yang dibaca/ mengikuti
acara
program
ketidakmampuan
televise,
untuk
gangguan
melakukan
keterampilan
hal
motorik,
kehilangan multiple, perubahan citra tubuh dan harga diri yang dirasakan.
Tanda : Menyembunyikan ketidakmampuan ( banyak alasan tidak
mampu untuk melakukan kewajiban, mungkin juga tangan membuka
buku namun tanpa membacanya), duduk dan menonton yang lain,
aktivitas pertama mungkin menumpuk benda tidak bergerak dan emosi
stabil, gerakan berulang ( melipat membuka lipatan melipat kembali kain ),
diare.
3.1.8. Makanan/cairan
Gejala: Riwayat episode hipoglikemia (merupakan factor predisposisi)
perubahan dalam pengecapan, nafsu makan, kehilangan berat badan,
mengingkari terhadap rasa lapar/ kebutuhan untuk makan.
Tanda: Kehilangan kemampuan untuk mengunyah, menghindari/menolak
pada orang
lain
untuk
memasak
makanan
dan
hipoksia
yang
berlangsung secara
periodik
(sebagai
faktor
kerusakan otak).
Tanda : Kerusakan komunikasi : afasia dan disfasia; kesulitan dalam
menemukan kata- kata yang benar (terutama kata benda); bertanya
berulang-ulang atau percakapan dengan substansi kata yang tidak
memiliki arti; terpenggal-penggal, atau bicaranya tidak terdengar.
Kehilangan kemampuan
untuk
membaca
dan
menulis
bertahap
3.1.11. Kenyamanan
Gejala:
senilisme.
dengan inaktivitas.
B2 (Blood)
Hipotensi postural : berkaitan dengan efek samping pemberian obat dan juga
aktivitas.
Pengkajian Tingkat Kesadaran: Tingkat kesadaran klien biasanya apatis dan
juga bergantung pada perubahan status kognitif klien.
Pengkajian fungsi serebral
Status mental : biasanya status mental klien mengalami perubahan yang
berhubungan dengan penurunan status kognitif, penurunan persepsi, dan
penurunan memori, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Pengkajian Saraf kranial. Pengkajian saraf ini meliputi pengkajian saraf
kranial I-XII:
a. Saraf I. Biasanya pada klien penyakit alzherimer tidak ada kelaianan
fungsi penciuman
b. Saraf II. Tes ketajaman penglihatan mengalami perubahan, yaitu
sesuai dengan
keadaan
usia
lanjut
biasanya
klien
dengan
dan
koordinasi mengalami
gangguan
karena adanya
pemeriksaan.
Pengkajian Refleks
Pada tahap lanjut penyakit alzheimer sering mengalami kehilangan
refleks postural, apabila klien mencoba untuk berdiri dengan kepala
cenderung
ke depan
dan
berjalan
dengan
gaya
berjalan
seperti
jatuh.
Pengkajian Sistem sensorik
Sesuai barlanjutnya usia, klien dengan penyakit alzheimer
mengalami penurunan
Penurunan sensori yang ada merupakan hasil dari neuropati perifer yang
dihubungkan dengan disfungsi kognitif dan persepsi klien secara umum.
3.2. Diagnosa
Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan diagnosa medis
Alzheimer diantaranya:
3.2.1.
3.2.5.
3.2.6.
berhubungan
dengan
degenerasi
neuron
irreversible.
3.2.9.
Koping individu tidak efektif berhubungan dengan ketidakmampuan
menyelesaikan masalah, perubahan intelektual.
3.2.10.
Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan perubahan emosi (cepat
marah, mudah tersinggung, kurang percaya diri).
3.2.11.
Risiko trauma berhubungan dengan kelamahan, ketidakmampuan untuk
mengenali/ mengidentifikasi bahaya dalam lingkungan.
3.3. Intervensi
Dx 1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan denagn intake
tidak adekuat, perubahan proses pikir.
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam kebutuhan nutrisi klien terpenuhi
Kriteria Hasil: Mengerti tentang penting nutrisi bagi tubuh, memperlihatkan kenaikan
berat badan sesuai dengan hasil pemerikasaan LAB.
Intervensi
Evaluasi kemampuan makan klien
Observasi atau timbang berat badan jika memungkinkan
Memonitor pemakaian alat bantu
pemberian
cairan
selama tidak terjadi
gangguan
jantung
DxAnjurkan
2. Defisit
perawatan
diri2500cc/hari
(makan,minum,berpakaian,
hygiene)
yang
berhubungan
Lakukan pemerikasaan LAB yang di indikasikan sperti serum, transferin, BUN/Creatine,
dengan proses pikir.
dan glukosa
Tujuan
: dalam waktu 2x24 jam, terdapat perilaku peningkatan dalam pemenuhan
perawatan diri.
Kriteria Hasil: Klien dapat menunjukan perubahan gaya hidup untuk kebutuhan merawat
diri dan mengindentifikasi personal/keluarga yang dapat membantu.
Intervensi
Mandiri
Kaji kemampuan dan tingkat penurunan kemampuan melakukan ADL dalam skala 0 - 4
Hindari aktivitas yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila perlu
Ajarkan dan dukung klien selama aktivitas
Rencanakan tindakan untuk deficit motorik seperti tempat makanan dan peralatan
didekat klien agar mampu sendiri mengambilnya.
Modifikasi lingkungan
Gunakan pagar disekeliling tempat tidur
Kolaborasi
Pemberian suposituria dan pelumas feses atau pencahar
segar setelah bangun tidur, klien mampu mengungkapkan perasaan nyaman dan klien
mampu mengidentifikasikan hal-hal yang meningkatkan tidur.
Intervensi
Determinasi efek-efek medikasi terhadap pola tidur
Jelaskan pentingnya tidur yang adekuat
Ciptakan lingkungan yang nyaman
Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang teknik tidur klien
Fasilitas untuk mempertahankan aktivitas sebelum tidur
Kolaborasi
Kolaborasikan dengan tim medis lain untuk penggunaan obat tidur ( bila perlu)
Dx 6. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,
penurunan tonus atau kekuatan otot.
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam, diharapkan adanya peningkatan aktivitas klien.
Kriteria hasil : aktivitas klien meningkat dalam fisik, klien mengerti yujuan dari
peningkatan mobilitas
Intervensi
Monitor TTV sebelum dan sesudah latihan dan lihat respon klien saat latihan
Bantu lien menggunakan alat bantu gerak/ jalan seperti tongkat, walker atau kursi roda
(jika diperlukan), dan cegah terhadap cedera
Kaji kemampuan klien dalam mobilisasi
Latih klien dalam pemenuhan kebutuhan setiap hari secara mandiri sesuai kemampuan
Dampingi dan bantu klien saat mobilisasi dan bantu memenuhi keutuhan sehariharinya.
Dx 7. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi, transmisi,
dan/atau integrasi.
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam, diharapkan persepsi klien lebih terintegrasi.
Kriteria hasil : klien mampu mengungkapkan rasa aman dan nyaman, persepsi klien
membaik dan mampu berinteraksi dengan orang lain, kelompok atau organisasi.
Intervensi
Kurangi jumlah rangsang pada lingkungan pasien ( misalnya kebisingan rendah,
sedikit orang, dekorasi sederhana).
Pertahankan realitas melalui reorientasi dan fokus pada situasi-situasi dan orang- orang
yang sebenarnya.
Berikan jaminan terhadap keselamatan jika pasien memberikan respon dengan rasa
takut terhadap persepsi yang tidak akurat.
Perbaiki dekripsi pasien pada persepsi yang tidak akurat, dan uraikan situasinya yang
realitas.
Berikan perasaan aman dan stabilitas pada lingkungan pasien dengan memungkinkan
perawatan diberikan oleh petugas yang sama secara teratur.
Dx 8. Perubahan proses pikir berhubungan dengan degenerasi neuron irreversible.
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam, diharapkan pola pikir klien dapat dioptimalkan
Kriteria hasil : proses pikir membaik, mampu berinteraksi dengan orang lain.
Intervensi
Orientasikan pasien lebih sering kepada realitas dan sekelilingnya.
Berikan umpan balik positif bila pikiran dan perilaku tepat atau bila pasien
mengungkapkan bahwa ide yang diekspresikan tidak didasarkan pada realitas.
Gunakan penjelasan sederhana dan interaksi, saling berhadapan bila berkomunikasi
dengan pasien.
Jangan biarkan memikirkan ide-ide yang salah dengan berbicara keadaan nyata.
Observasi ketat terhadap perilaku pasien yang diindikasikan.
Dx 9. Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan perubahan proses pikir
dan disfungsi karena perkembangan penyakit.
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam terjadi penigkatan dalam perilaku berkomunikasi yang
efektif sesuai dengan kondisi keadaan klien
Kriteria Hasil : Membuat teknik atau meted komunikasi yang dapat dimengerti sesuai
kebutuhan dan meningkatkan kemampuan komunikasi
Intervensi
Kaji kemampuan klien untuk berkomunikasi
Letakan bel/lampu panggilan ditempat yang mudah dijangkau dan berikan penjelasan
cara menggunakannya. Jawab panggilan tersebut dengan segera. Penuhi kebutuhan klien.
Katakan kepada klien bahwa perawat siap membantu jika membutuhkan.
Buatlah catatan dikantor keperawatan tentang keadaan klien yang tidak dapat bicara.
Buat perekaman pembicaraan klien
Anjurkan keluarga/orang lain yang dekat dengan klien untuk berbicara dengan klien,
memberikan informasi tentang keluarganya dan keadaan yang sedang terjadi.
Kolaborasi dengan ahli wicara Bahasa
Dx 10. Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan perubahan emosi (cepat marah,
mudah tersinggung, kurang percaya diri).
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam, diharapkan komunikasi verbal klien membaik dan
mampu mengontrol perkataannya.
Kriteria hasil : klien mengungkapkan memiliki keinginan untuk berhubungan dengan
orang lain bisa berinteraksi dengan orang lain
Intervensi
Buat interaksi terjadwal
Identifikasi perubahan perilaku tertentu
Berikan umpan balik positif jika klien berinteraksi dengan orang
Anjurkan untuk bersikap jujur dan menghargai orang lain
Gunakan teknik bermain peran untuk meningkatkan keterampilan dan teknik
berkomunikasi
Dx 11. Risiko trauma berhubungan dengan kelamahan, ketidakmampuan untuk
mengenali/ mengidentifikasi bahaya dalam lingkungan.
Tujuan : diharapkan dalam waktu 2x24 jam resiko trauma tidak terjadi.
Kriteria hasil : klien terbebas dari trauma fisik, lingkungan sekitar tempat tinggal klien
aman, dan klien mampu mengaplikasikan perilaku pencegahan trauma/ jatuh.
Intervensi
Sediakan lingkungan yang aman bagi klien
Identifikasi kebutuhan keamanan klien sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi kognitif
klien dengan riwayat penyakit terdahulu
Menghindarkan lingkungan yang berbahaya
Memberikan penerangan yang cukup
Memindahkan barang-barang yang berbahaya
Mengontrol lingkungan dari kebisingan
BAB IV
PENUTUP
4.1. Simpulan
4.2. Saran
Daftar Pustaka
Wilsion, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis : Proses-Proses Penyakit, Edisi 6,
Volume 2. Jakarta : EGC.
Sumber : Dewanto, George, dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata
Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1996/1/bedah-iskandar%20japardi38.pdf
Alzheimers Disease Education and Refferal Center. 2011. (Alzheimers Disease)
Japardi, Iskandar. 2002. (Penyakit Alzheimer). USU digital library
Alzheimers Association. 2012. (Basics of Alzheimers Disease)
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC : Jakarta
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Salemba Medika: Jakarta
Ester, monica. 2010. Nanda Internasional Diagnosis Keperawatan Definisi dan
Klasifikasi 2009-2011. Jakarta : EGC
Ide, Pangkalan. 2008.Gaya Hidup Penghambat Alzheimer. Jakarta: Gramedia
Tarwoto, dkk. 2007. Keperawatan medikal bedah gangguan sistem persyarafan. Jakarta: CV.
Sagung Seto.
Doenges, Marilynn E. dkk. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumendasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta : EGC.
Muttaqin, Arif. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Agoes, Azwar dkk. 2011. Penyakit Di Usia Tua. Jakarta: EGC.
Ide, Pangkalan. 2008. Gaya Hidup Penghambat Alzheimer. Jakarta: Gramedia.