You are on page 1of 14

BLOK NEUROPSIKIATRI

TUGAS REVIEW JURNAL

ALZHEIMER

Disusun Oleh
HANAN AFIFAH
H1A 012 019

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram


Nusa Tenggara Barat
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Alzheimer ialah suatu gangguan yang diperoleh dari penurunan kognitif dan
perilaku yang secara nyata mengganggu fungsi social dan pekerjaan. Penyakit Alzheimer
merupakan suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan dengan perjalanan penyakit yang
panjang dan bersifat progresif. Pada penyakit ini, terdapat plak yang berkembang di
hipokampus dimana struktur ini membnatu dalam pengkodean memori dan pada daerah lain
dari korteks serebri yang digunakan dalam proses berpikir dan pengambilan keputusan
(Anderson HS, 2015; Kayed R, et al,. 2011).
Organisasi Alzheimer Desease International dengan mendasarkan laporan WHO
regional atas dasar kelompok umur, membuat estimasi prevalensi tentang demensia untuk
Indonesia adalah 1% untuk kelompok 60-64 tahun, 1,7% untuk kelompok usia 65-69 tahun,
3,4% untuk usia 70-74 tahun, 5,7% untuk usia 75-79 tahun, dan 10,8% untuk usia 80-84
tahun dan 17,6% untuk kelompok usia 85 tahun ke atas. Dilaporkan juga bahwa 60%
penyandang demensia berada di negara berkembang pada tahun 2001, dan akan meningkat
menjadi 71% di tahun 2040.
Secara keseluruhan frekuensi demensia adalah sama pada wanita dan pria, meski
beberapa studi menunjukkan bahwa resiko untuk terkena Alzheimer adalah lebih tinggi pada
wanita dibanding pria oleh karena hilangnya efek neurotropik dari estrogen pada wanita di
usia menopause.

BAB II
ISI
2.1 Definisi
Penyakit Alzheimer ialah suatu gangguan yang diperoleh dari penurunan kognitif dan
perilaku yang secara nyata mengganggu fungsi social dan pekerjaan. Penyakit Alzheimer
merupakan suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan dengan perjalanan penyakit yang
panjang dan bersifat progresif. Pada penyakit ini, terdapat plak yang berkembang di
hipokampus dimana struktur ini membnatu dalam pengkodean memori dan pada daerah lain
dari korteks serebri yang digunakan dalam proses berpikir dan pengambilan keputusan
(Anderson HS, 2015; Kayed R, et al,. 2011).
2.2 Epidemiologi
Organisasi Alzheimer Desease International dengan mendasarkan laporan WHO
regional atas dasar kelompok umur, membuat estimasi prevalensi tentang demensia untuk
Indonesia adalah 1% untuk kelompok 60-64 tahun, 1,7% untuk kelompok usia 65-69 tahun,
3,4% untuk usia 70-74 tahun, 5,7% untuk usia 75-79 tahun, dan 10,8% untuk usia 80-84
tahun dan 17,6% untuk kelompok usia 85 tahun ke atas. Dilaporkan juga bahwa 60%
penyandang demensia berada di negara berkembang pada tahun 2001, dan akan meningkat
menjadi 71% di tahun 2040.
Secara keseluruhan frekuensi demensia adalah sama pada wanita dan pria, meski
beberapa studi menunjukkan bahwa resiko untuk terkena Alzheimer adalah lebih tinggi pada
wanita dibanding pria oleh karena hilangnya efek neurotropik dari estrogen pada wanita di
usia menopause.
Secara dramatis, peningkatan angka harapan hidup juga meningkatkan angka penyakit
demensia. Mereka yang memiliki keluarga dekat yang menderita demensia, memiliki
kecendruangan lebih tinggi untuk terkena demensia dibandingkan populasi lainnya. Dan
mereka yang menderita Down Syndrome cenderung untuk terkena Demensia Alzheimer suatu
saat nanti.
Sekitar 5% dari penduduk di usia 65 tahun menderita Penyakit Alzheimer dan
prevalensi penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia dari 19% menjadi 30% setelah
usia 75 tahun. Secara keseluruhan, 90-95% dari penyakit Alzheimer merupakan bentuk
sporadis (Babusikova, et al., 2012).

2.3 Etiologi dan Faktor Resiko


Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternatif penyebab yang telah
dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi virus, polusi
udara/industri, trauma, neurotransmiter, defisit formasi sel-sel filament, presdiposisi heriditer.
Dasar kelainan patologi penyakit alzheimer terdiri dari degenerasi neuronal, kematian daerah
spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kognitif dengan penurunan daya
ingat secara progresif.
Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam
kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang
diakibatkan oleh adanya peningkatan calcium intraseluler, kegagalan metabolisme energi,
adanya formasi radikal bebas atau terdapatnya produksi protein abnormal yang non spesifik.
Penyakit alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan
bahwa peran faktor genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran
faktor non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai
pencetus faktor genetika.
Penuaan ialah faktor resiko utama gangguan neurodegeneratif seperti Penyakit
Alzheimer. Meskipun penyebab Penyakit Alzheimer elum diketahui, sebagian besar ahli
setuju bahwa Penyakit Alzheimer mungkin berkembang sebagai akibat dari beberapa faktor
dan bukan penyebab tunggal. Adapun faktor resiko Penyakit Alzheimer adalah (Babusikova,
et al., 2012):
-

Usia
Jenis kelamin
Polimorfisme gen
Hiperkolesterolemia
Diabetes mellitus
Stroke
Cedera otak
Pendidikan
Alkohol dan merokok

2.4 Patofisiologi
-

Penyakit Alzheimer kaitanya terhadap beta-amuloid

Pada penyakit Alzheimer ditemukan karakteristik neuropatologikal seperti hilangnya


neuronal selektif dan sinap, adanya plak neuritis yang mengandung peptida A dan
neurofibrillary tangles (NFTs) yang membentuk hiperfosforilasi dari protein tau. Plak
neuritik yang terjadi merupakan lesi ekstraseluler yang tersusun atas inti sentral dari agregasi
A peptida yang dikelilingi oleh neurit distropi, mikroglial yang teraktivasi, dan atrosit
reaktif. Sedangkan NFTs merupakan buntalan filamen di dalam sitoplasma sel saraf yang
mengelilingi sel saraf. Gambar 1 akan memberikan gambaran mengenai perubahan tingkat
seluler tersebut. Deposisi A pada otak merupakan salah satu implikasi dari patogenesis
penyakit Alzheimer. Akumulasi A (khususnya A42 peptida) pada otak merupakan inisiasi
terjadinya disfungsi neuron, neurodegenerasi, dan dementia.2,9,10 Mutasi gen APP pada
kromosom 21, PS1 pada kromosom 14, dan PS2 pada kromosom 1 mengarah pada
earlyonset penyakit Alzheimer tipe familial yang terjadi dalam produksi berlebihan dan/atau
peningkatan agregasi dari A. Beta-Amyloid merupakan produk fisiologi normal dari APP
dan merupakan komponen soluble dari plasma dan cairan cerebrospinal. Dalam pembentukan
A, APP dipecah oleh tiga enzim yaitu -, -, dan -secretase. Pemecahan APP oleh secretase kemudian oleh -secretase menghasilkan A sedangkan bila dipecah oleh secretase akan menghasilkan peptida yang bersifat nontoxic. Mutasi ganda pada APP
mengarah pada peningkatan A akibat pemecahan APP oleh -secretase yang meningkat.
Beta-Amyloid peptida merupakan komponen protein utama pada plak neuritik yang
merupakan karakteristik dari penyakit Alzheimer. Beta-Amyloid terkadang memulai aksi
toksik sebelum terbentuknya fibril.
Peningkatan derajat A soluble dan bukan plak A berhubungan dengan disfungsi
kognitif pada penyakit Alzheimer. Adanya gangguan kognitif pada individu yang menderita
penyakit Alzheimer sangat kuat dihubungkan dengan hilangnya sinap yang melewati region
kortikal otak. Self-agregation dari A menjadi oligomer soluble low-n merupakan penyebab
utama sinaptoksisitas pada penyakit Alzheimer. Terdapat dua varian terminal karboksil dari
A yaitu A40 yang merupakan sekret spesies utama dari sel kultur dan terdapat pada cairan
cerebrospinal sedangkan A42 merupakan komponen utama amyloid yang berdeposit di otak
pada penyakit Alzheimer. Peningkatan A42 lebih sering mengalami agregasi dan
membentuk fibril. Neurotoksik yang dihasilkan oleh agregasi A menghasilkan beberapa
mekanisme, seperti adanya akumulasi radikal bebas, disregulasi dari homeostatis kalsium,
respon inflamasi, dan adanya aktivasi dari beberapa signaling pathway (Pattni, 2013).
-

Akumulasi Radikal Bebas

Pada penyakit Alzheimer terjadi neurodegenerasi pada otak dan adanya stress
oksidatif yang dihubungkan dengan adanya peningkatan deposit A. Walaupun sebenarnya
mekanisme pastinya belum sepenuhnya dimengerti, A yang kontak atau masuk ke neuronal
dan glial membran bilayer menghasilkan radikal bebas oxygen-dependent yang kemudian
menyebabkan peroksidasi lipid dan oksidasi protein. Beta-Amyloid menyebabkan akumulasi
H2O2 pada kultur neuron hippokampus dan pada kultur neuroblastoma. Oligomer A
menyebabkan lepasnya lipid dari membran neuron mengakibatkan gangguan homeostatis
lipid neuron dan hilangnya fungsi neuron. Hilangnya integritas membrane akibat radikal
bebas yang dihasilkan oleh A mengarah pada disfungsi selular, seperti inhibisi dari ionmotive ATPase, inhibisi sistem pengambilan glutamat dari sel glial Na+- dependent sebagai
konsekuensi dari eksitasi neuron reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang dapat
menyebabkan hilangnya sinap pada neuron, hilangnya homeostatis kalsium, hilangnya fungsi
transporter protein, gangguan signaling pathway, dan aktivasi faktor transkripsi nuklear serta
jalur apoptosis (Pattni, 2013).
-

Gangguan Homeostatis Kalsium


Kalsium merupakan salah satu messengers intraselular yang penting pada otak karena

fungsinya sebagai perkembangan neuron, transmisi sinap, kekenyalan otak, dan meregulasi
jalur metabolik yang bervariasi. Neurotoksisitas akibat kalsium yang dimediasi oleh A
peptida terjadi karena A peptida dapat meningkatkan influx kalsium melalui voltage-gate
channel kalsium, membentuk channel ion yang kationnya bersifat selektif setelah A peptida
bergabung dalam membran selular, mengurangi blockade magnesium dari reseptor N-methylD-aspartate (NMDA) agar dapat meningkatkan influx Ca2+, dan menghambat channel K+
dan pertukaran Na+/Ca2+ (Pattni, 2013).
-

Respon Inflamasi
Asosiasi awal dari sel mikrogial yang teraktivasi dan reaktif astrosit pada plak neuritis

dan adanya penanda inflamasi mengindikasikan adanya inflamasi kronik pada penyakit
Alzheimer. Pada penderita penyakit Alzheimer terjadi peningkatan aktivasi imun dan/atau
aktivitas inflamasi pada otak penderita dibandingkan dengan yang tidak menderita penyakit
tersebut. Adanya proses neuroinflamasi yang terjadi secara terus-menerus disertai aktivasi sel
glial merupakan salah satu pathogenesis terjadinya penyakit Alzheimer. Aktivasi mikroglial
yang diinduksi oleh adanya A berperan sebagai trigger dalam jalur komplement klasik dan
sebagai trigger dalam produksi sitokin proinflamasi yang bervariasi. Protein komplement
merupakan komponen integral plak amyloid dan adanya vaskularisasi cerebral amyloid pada

otak penderita penyakit Alzheimer. Hal ini dapat ditemukan pada tahap awal deposisi
amyloid dan aktivasinya bertepatan dengan adanya ekspresi klinis dementia pada penyakit
Alzheimer. Sebuah penelitian juga menunjukkan adanya aktivasi dari jalur mitogen-activated
protein kinase (MAPK) sebagai respon adanya fibril A setelah terjadinya sinyal inflamasi
tyrosine kinase-dependent pada mikroglial. Sel mikroglial yang terpapar A akan
mengsekresi mediator inflamasi, seperti sitokin, kemokin, growth factor, komplement, dan
intermediate reaktive. Adanya paparan preagregasi A42 menyebabkan peningkatan dari
prointerleukin-1, interleukin-6, tumor necrosis factor-, monocyte chemoattractant protein1, macrophage inflammatory peptide-1, IL-8, dan macrophage colony-stimulating factor.
Respon inflamasi yang diinduksi oleh A merupakan mediator penting terjadinya cedera
neuron pada penyakit Alzheimer (Pattni, 2013).
-

Aktivasi Signaling Pathway


Beta-Amyloid telah diketahui dapat mengaktifkan signaling pathway, seperti MAPK

pathway dan juga A berperan dalam terjadinya hiperposphorilasi dari microtubuleassociated


protein (MAPT). Produksi yang berlebihan dan adanya agregasi dari MAPT dapat
menyebabkan hilangnya sinap pada neuron akibat pengaruh A (Pattni, 2013).
-

Hipotesis Alur Amyloid


Hipotesis alur Amyloid menunjukkan bagaimana Amyloid dapat menimbulkan adanya

dementia pada penyakit Alzheimer. Diawali dengan terjadinya kegagalan clearance


mechanisms dari A atau overproduksi A42, akibat kegagalan clearance terjadi akumulasi
dan oligomerisasi dari A42 di limbik dan berhubungan dengan korteks. Akumulasi ini
berlangsung terus-menerus secara bertahap sebagai plak. Plak yang terjadi mengaktivasi
mikroglial dan atrosit sebagi respon inflamasi. Kemudian terjadi perubahan homeostatis
neuron, dan terjadi oxidative injury yang mengakibatkan perubahan aktivitas kinase ataupun
phospat. Perubahan ini menyebabkan terjadinya hiperposporilasi dari protein tau yang akan
membentuk Neurofibrillary tangles. Disfungsi sinap atau neuron dan hilangnya neuron
selektif diikuti dengan adanya penurunan neurotransmitter merupakan perubahan yang terjadi
akibat Neurofibrillary tangles. Adanya Neurofibrillary tangles yang mengakibatkan
hilangnya sinap pada saraf dapat menyebabkan timbulnya dementia pada enyakit Alzheimer
(Pattni, 2013).

2.5 Manifestasi Klinik

Gejala utama berupa gangguan memori (pelupa) yang bertahap bertambah berat,
terutama memori jangka pendek. Sedangkan memori jangka panjang, biasanya tidak berubah.
Setelah gangguan memori menjadi jelas, diikuti gangguan fungsi serebral lainnya. Bicara
menjadi terputus-putus karena gangguan pada recall kata-kata yang diingini. Juga menulis
sering berhenti. Pada awal penyakit mengucapkan kalimat secara komprehensif masih
normal, tetapi pada stadium lanjut terdapat kegagalan pengucapan kalimat, bahkan sampai
tingkat afasia. Kadang-kadang sering ada pengulangan kata-kata (echolalia) (Shaik AS, et al.,
2010).
Kemampuan aritmatik terganggu (akalkulia), disorientasi visuospasial (sulit memarkir
kendaraan, kesalahan memasukkan lengan waktu berbaju, dan lain-lain) (Shaik AS, et al.,
2010).
Selain itu, terdapat beberapa gejala lain, yaitu (Shaik AS, et al., 2010):
-

Pola tidur
Pada pasien Alzheimer, terjadi gangguan pola tidur normal. Penderita akan

berkeliaran pada malam hari di sekitar tempat tidur dan akan tidur pada siang hari. Pola tidur
pada pasien Alzheimer akan diperbaiki dengan memberikan serotonin dan dopaminn secara
optimasi.
-

Mudah marah, agresi, dan sering berteriak


Hal ini dapat diatasi dengan memberikan penderita agen anxiolitik yang digabungkan

dengan serotonin dan optimasi dopamine.


-

Agitasi
Hal ini dapat diatasi dengan pengobatan agen anti ansietas pada gabungan pengobatan

dengan terapi obat anti-alzheimer.


-

Depresi
Kecemasan
Restless Leg Syndrome

2.6 Penegakan Diagnosis

Biologic marker untuk diagnosis penyakit Alzheimer belum ditemukan. Alat bantu
diagnostic yang dapat dilakukan antara lain dengan pemeriksan (Harsono, 2011) :
1. CT-scan didapatkan gambarab atrofi otak berupa sulkus-sulkus yang melebar dan
girus-girus yang dangkal. Ventrikel lateral dan ketiga yang melebar.
2. Elektro-ensefalogram, didapatkan gelombang lambat, biasanya pada stadium lanjut.
3. Pungsi lumbal, biasanya normal, kadang didapatkan peningkatan protein yang ringan.
Dengan data klinik, pemeriksaan CT-scan dan MRI, umur pasien dan perjalanan
penyakit, sensitivitas diagnostic mencapai 85-90%.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakan diagnsosi dari


Alzheimer adalah (Japardi, 2002):
1. Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi.
Secara umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris, sering kali berat otaknya berkisar
1000 gr (850-1250gr). Beberapa penelitian mengungkapkan atropi lebih menonjol pada lobus
temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital, korteks motorik primer, sistem
somatosensorik tetap utuh. Kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri
dari:
a. Neurofibrillary tangles (NFT)
Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen abnormal yang
berisi protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. NFT ini juga terdapat pada neokorteks,
hipokampus, amigdala, substansia alba, lokus seruleus, dorsal raphe dari inti batang otak.
NFT selain didapatkan pada penyakit alzheimer, juga ditemukan pada otak manula, down
syndrome, parkinson, SSPE, sindroma ektrapiramidal, supranuklear palsy. Densitas NFT
berkolerasi dengan beratnya demensia.
b. Senile plaque (SP)
Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve ending yang berisi
filamen-filamen abnormal, serat amiloid ektraseluler, astrosit, mikroglia. Amloid prekusor
protein yang terdapat pada SP sangat berhubungan dengan kromosom 21. Senile plaque ini
terutama terdapat pada neokorteks, amygdala, hipokampus, korteks piriformis, dan sedikit
didapatkan pada korteks motorik primer, korteks somatosensorik, korteks visual, dan
auditorik. Senile plaque ini juga terdapat pada jaringan perifer. Kedua gambaran histopatologi

(NFT dan senile plaque) merupakan gambaran karakteristik untuk penderita penyakit
alzheimer.
c. Degenerasi neuron
Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada penyakit
alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks terutama didapatkan pada
neuron piramidal lobus temporal dan frontalis. Juga ditemukan pada hipokampus, amigdala,
nukleus batang otak termasuk lokus serulues, raphe nukleus dan substanasia nigra. Kematian
sel neuron kolinergik terutama pada nukleus basalis dari meynert, dan sel noradrenergik
terutama pada lokus seruleus serta sel serotogenik pada nukleus raphe dorsalis, nukleus
tegmentum dorsalis. Telah ditemukan faktor pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik yang
berdegenerasi pada lesi eksperimental binatang dan ini merupakan harapan dalam pengobatan
penyakit alzheimer.
d. Perubahan vakuoler
Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat menggeser
nukleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna dengan jumlah NFT dan SP ,
perubahan ini sering didapatkan pada korteks temporomedial, amygdala dan insula. Tidak
pernah ditemukan pada korteks frontalis, parietal, oksipital, hipokampus, serebelum dan
batang otak.
e. Lewy body
Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada enterhinal,
gyrus cingulate, korteks insula, dan amygdala. Sejumlah kecil pada korteks frontalis,
temporal, parietalis, oksipital. Lewy body kortikal ini sama dengan immunoreaktivitas yang
terjadi pada lewy body batang otak pada gambaran histopatologi penyakit parkinson.
2. Pemeriksaan neuropsikologik
Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan
neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi kognitif umum
dan mengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi. Test psikologis ini juga bertujuan untuk
menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang berbeda-beda seperti
gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian dan pengertian berbahasa.
Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi diagnostik yang penting karena:

- Adanya defisit kognisi yang berhubungan dengan demensia awal yang dapat diketahui bila
terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang normal.
- Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif memungkinkan untuk membedakan
kelainan kognitif pada global demensia dengan deficit selektif yang diakibatkan oleh
disfungsi fokal, faktor metabolik, dangangguan psikiatri
- Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh demensia
karena berbagai penyebab.
The Consortium to Establish a Registry for Alzheimer Disease (CERALD)
menyajikan suatu prosedur penilaian neuropsikologis dengan mempergunakan alat batrey
yang bermanifestasi gangguan fungsi kognitif, dimana pemeriksaannya terdiri dari:
1. Verbal fluency animal category
2. Modified boston naming test
3. mini mental state
4. Word list memory
5. Constructional praxis
6. Word list recall
7. Word list recognition
Test ini memakn waktu 30-40 menit dan <20-30 menit pada kontrol

3. CT Scan dan MRI


Merupakan metode non invasif yang beresolusi tinggi untuk melihat kwantifikasi
perubahan volume jaringan otak pada penderita Alzheimer antemortem. Pemeriksaan ini
berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab demensia lainnya selain
alzheimer seperti multiinfark dan umor serebri. Atropi kortikal menyeluruh danpembesaran
ventrikel keduanya merupakan gambaran marker dominan yang sangat spesifik pada penyakit
ini. Tetapi gambaran ini juga didapatkan pada demensia lainnya seperti multiinfark,
parkinson, binswanger sehingga kita sukar untuk membedakan dengan penyakit alzheimer.
Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi dengan beratnya
gejala klinik danhasil pemeriksaan status mini mental. Pada MRI ditemukan peningkatan
intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping anterior horn pada ventrikel
lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk demensia awal. Selain didapatkan kelainan
di kortikal, gambaran atropi juga terlihat pada daerah subkortikal seperti adanya atropi
hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan fissura sylvii.

4. EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada
penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis yang non
spesifik
5. PET (Positron Emission Tomography)
Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran darah, metabolisma
O2, dan glukosa didaerah serebral.
6. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)
7. Laboratorium darah
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer.
Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit demensia
lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor, BSE, fungsi renal dan hepar,
tiroid, asam folat, serologi sifilis, skreening antibody yang dilakukan secara selektif.
2.7 Tatalaksana
Pengobatan khusus untuk penyakit Alzheimer tidak ada. Pemberian vasodilator,
stimulansia, vitamin B, C, E dosis tinggi tidak efektif. Pemberian flostigmin, kholin dan
lesitin hasilnyan kebanyakan tidak dapat dipastikan (Harsono, 2011).
Tujuan utama pengobatan adalah perawatan pasien dengan memperhatikan aspekaspek psikososial pasien. Pada beberapa kasus dapat dilakukan pelatiha daya ingat dan
stimulasi kegemaran. Bila terdapat perubahan perilaku antisocial atau stadium terminal,
memerlukan perwatan di rumah sakit (Harsono, 2011).
2.8 Prognosis
Penyakit Alzheimer pada awalnya dikaitkan dengan gangguan memori yang semakin
memburuk. Seiring dengan berjalannya waktu, pasien dengan Penyakit Alzheimer juga dapat
menunjukkan adanya gangguan kecemasan, depresi, insomnia, agitasi, dan paranoid. Pasien
Penyakit Alzheimer juga diketahui bergantung dengan orang lain pada kehidupan sehari-hari.
Selain itu, kesulitan berjalan dan kesulitan menelan akan semakin parah. Proses makanpada
pasien ini dimungkinkan hanya dengan tabung pencernaan, dan kesulitan menelan dapat
menyebabkan pneumonia aspirasi (Anderson HS, 2015).

Waktu dari diagnosis hingga kematian bervariasi dari sekitar 3 tahun hingga 10 tahun
atau lebih. Penyebab utama kematian adalah penyakit penyerta seperti pneumonia. Pasien
pada awal-awal Penyakit Alzheimer cenderung memiliki tingkat penyakit yang lebih agresif
dibandingkan dengan pada akhir onset (Anderson HS, 2015).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Penyakit Alzheimer ialah suatu gangguan yang diperoleh dari penurunan kognitif dan
perilaku yang secara nyata mengganggu fungsi social dan pekerjaan. Penyakit Alzheimer
merupakan suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan dengan perjalanan penyakit yang
panjang dan bersifat progresif. Pada penyakit ini, terdapat plak yang berkembang di
hipokampus dimana struktur ini membnatu dalam pengkodean memori dan pada daerah lain
dari korteks serebri yang digunakan dalam proses berpikir dan pengambilan keputusan
(Anderson HS, 2015; Kayed R, et al,. 2011).

Daftar Pustaka

Anderson HS. Alzheimer Disease. Medscape Journal. 2015


Babusikova E, et al. Alzheimers Disease: Definition, Molecular and Genetic Factors.
Intechopen. 2012.
Chan KY, et al. Epidemiology of Alzheimers disease and other forms of dementia in China,
19902010: a systematic review and analysis. Lancet2013; 381: 201623.
Harsono. 2011. Buku Ajar Neurologi Klinis. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia:
Universitas Gajah Mada
Kayed R, et al. Alzheimers Disease: Review of emerging Treatment Role for Intravenous
Immunoglobulins. Journal of Central Nervous System Disease 2011:3 6773.
Pattni, K.A.M. 2013. Beta-Amyloid sebagai Pathogenesi pada Penyakit Alzheimer.
Shaik AS, et al. Alzhemiers Disease Pathophysiology And Treatment. International
Journal of Pharma and Bio Sciences. 2010; V1(2). Pp 1-11.

Japardi, I. 2002. Penyakit Alzheimer.

Japardi, I. 2002. Penyakit Alzheimer.


Harsono. 2011. Buku Ajar Neurologi Klinis. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia:
Universitas Gajah Mada

You might also like