Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh spesies
Mycobacterium dan ditandai dengan pembentukan tuberkel dan nekrosis kaseosa
pada jaringan-jaringan. Berbagai organ dapat terkena, walaupun pada manusia
paru adalah tempat utama penyakit ini dan biasanya merupakan pintu gerbang
masuknya infeksi untuk mencapai organ lainnya (Dorland, 2002). Sedangkan
menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, tuberkulosis adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2006).
2.2. Epidemiologi tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
di dunia. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency . Laporan WHO tahun
2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun
2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Setiap detik
ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga penduduk
dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di
Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari
jumlah penduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2
kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2006).
Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat tuberkulosis pada tahun 2002.
Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang
atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti
tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi
HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001
didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab
6
kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa
penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001
menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematianpertama pada
golongan penyakit infeksi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
Sementara itu dari hasil laporan yang masuk ke subdit TB P2MPL
Departemen Kesehatan tahun 2001 terdapat 50.443 penderita BTA positif yang
diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA positif ). Tiga perempat dari
kasus TB ini berusia 15 49 tahun. Pada tahun 2004 WHO memperkirakan setiap
tahunnya muncul 115 orang penderita tuberkulosis paru menular (BTA positif)
pada setiap 100.000 penduduk. Saat ini Indonesia masih menduduki urutan ke 3 di
dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2006). Sedangkan menurut data WHO tahun 2011, Indonesia
menempati urutan ke-empat dengan prevalensi Tuberkulosis terbanyak setelah
negara India, China, dan Afrika Selatan (WHO, 2012).
tuberculosis
berbentuk
batang
lurus
atau
sedikit
melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3
0,6 m dan panjang 1 4 m. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri
dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel
M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan
dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60
C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan
dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2006).
Unsur lain yang terdapat pada diniding sel bakteri tersebut adalah
polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang
kompleks tersebut menyebebkan bakteri M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai, tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut
dengan larutan asam alkohol. Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan
sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen
M.tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal .
Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton),
19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan spesifisiti yang
bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen
M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi
(somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup,
contohnya antigen 30.000 , protein MTP 40 dan lain lain (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2006).
Pertumbuhan secara aerob obligat. Energi didapat dari oksidasi senyawa
karbon yang sederhana. CO2 dapat merangsang pertumbuhan. Pertumbuhan
lambat, waktu pembelahan sekitar 20 jjam. Suhu pertumbuhan optimum 37 oC.
Pada pembenihan, pertumbuhan tampak setelah 2-3 minggu.
Daya tahan kuman tuberkulosis lebih besar apabila dibandingkan dengan
kuman lainnya karena sifat hidrofobik permukaan sel. Hijau malakhit dapat
membunuh kuman lain tetapi tidak membunuh Mycobacterium tuberculosis,
begitu pula asam dan alkali. Dengan fenol 5% diperlukan waktu 24 jam untuk
membunuh bakteri ini. Pada sputum kering yang melekat pada debu dapat hidup
8-10 hari. pengaruh pemanasan daya tahannya sama dengan kuman lainnya, jadi
dengan pasteurisasi kuman tuberculosis ini sudah dapat dibunuh.
2.3.2. Faktor Risiko Tuberkulosis
Faktor resiko mudah terjadinya infeksi TB paru adalah
sebagai berikut:
1. Umur
selama
masa
dewasa
dan
tidak
berfluktuasi.
3. Status gizi rendah, malnutrisi
Kehilangan protein menyebabkan penurunan jumlah
dan
fungsi
limfosit,
penurunan
sel
CD4+
dan
penekanan fagositosis.
4. Tinggal didaerah dengan insiden tinggi, atau tinggal
di tempat dimana banyak kasus TB yang tak terobati.
5. Pasien dengan diabetes melitus, kanker, Acquired
Immune Deficiency Syndrome (AIDS), pengguna obat
imunosupresif seperti steroid jangka lama (pasien
alergi, penyakit autoimune dan transplantasi) dapat
menurunkan sistem imun dan meningkatkan resiko
TB.
6. Faktor lingkungan dengan sanitasi yang buruk dan
sosial ekonomi rendah meningkatkan kerentanan
terhadap penyakit.
2.3.3. Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Tuberkulosis Paru
Lingkungan dapat mempengaruhi prevalensi tuberkulosis paru, diantaranya :
a. Kepadatan Hunian.
Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit.
Semakin padat maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular
melalui udara akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota
keluarga yang menderita Tb paru dengan BTA (+). Kuman Tb paru
10
luas
ventilasi
sesuai
Kepmenkes
No.
11
aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan
selalu mengalir; 4) lingkungan perokok akan menyebabkan udara
mengandung nitrogen oksida sehingga menurunkan kekebalan pada
tubuh terutama pada saluran napas karena berkembang menjadi makrofag
yang dapat menyebab infeksi.
Beberapa penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa
ventilasi bisa menjadi salah satu faktor penyebab (faktor risiko) Tb paru
seperti yang dilakukan oleh Ratnawati (2001) hasil penelitiannya
menunjukkan tidak ada hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian
Tb paru di Kabupaten Jepara (p > 0,05). Selanjutnya penelitian yang
dilakukan Sumarjo (2004) di Kabupaten Banjarnegara memperoleh hasil
yaitu adanya hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian Tb paru
dengan nilai p sebesar 0,003 dan OR = 6,176. Hal ini berarti individu
yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat
memiliki risiko terkena Tb paru sebesar 6,2 kali dibandingkan mereka
yang memiliki luas ventilasi yang memenuhi syarat. Selanjutnya, Tobing
(2009) menyatakan bahwa dalam penelitian yang dilakukannya diperoleh
hasil yatu nilai p sebesar 0,037 dan nilai OR sebesar 2,4 (9% CI-1,045.8). Selanjutnya, Darsoni (2005) yang melaksanaan penelitian di Desa
Padang memperoleh hasil yaitu bahwa adanya hubungan antara luas
ventilasi rumah dengan kejadian Tb paru dimana nilai p = 0,001 dan OR
sebesar 10,8. (Jufri Oksfriani, 2012)
Adnani dan Mahastuti (2007) yang meneliti tentang Tb paru di
Kecamatan Paseh menunjukkan bahwa individu yang memiliki ventilasi
yang tidak baik memilihi risiko terkena Tb paru sebesar 3,69 dari pada
mereka yang memiliki ventilasi yang memenuhi syarat. Selanjutnya,
penelitian yang dilakukan oleh Rusnoto dkk (2004) tentang faktor-faktor
yang berhubungan dengan kejadian Tb paru di Balai Pencegahan dan
Pengobatan Penyakit Paru ditemukan luas ventilasi berhubungan dengan
kejadian Tb paru dimana nilai OR sebesar 29,99 dengan 95% CI: 3,39265,50.
12
13
positif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif
2. Tuberkulosis Paru BTA (-)
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta
-
M.tuberculosis positif
- Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa
3. Berdasarkan Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu :
a. Kasus baru adalah penderita yang belum pernah mendapat
pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang
dari satu bulan (30 dosis harian)
b. Kasus kambuh (relaps) adalah penderita tuberkulosis yang
sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali
lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau
biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran
radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan
beberapa kemungkinan :
Infeksi sekunder
Infeksi jamur
TB paru kambuh
c. Kasus pindahan (Transfer In) adalah penderita yang sedang
mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah
berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus
membawa surat rujukan/pindah
14
15
Gambaran
- Batuk, 3 minggu atau lebih
- Penyakit saluran nafas, khususnya
-
16
Prosedur
lamanya)
Pada saat dilakukan prosedur yang
menginduksi
batuk
(bronskoskopi,
pengambilan sputum)
Adanya kavitas
Kultur positif M. tuberculosis
BTA positif
Gambaran
Makin banyak droplet nuclei kemungkinan
Ruang
Ventilasi
Sirkulasi udara
Penanganan spesimen
Tekanan udara
Patogenesis TB
Infeksi terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuclei yang
mengandung basil dan masuk sampai ke alveoli. Basil ini kemudian dimakan oleh
makrofag alveolar, sebagian besar basil ini dihancurkan atau dihambat dengan
cara membentuk suatu kapsul yang mengelilingi basil yang disebut granuloma.
Pada keadaan ini seseorang telah mengalami infeksi M. tuberculosis namun tidak
menimbulkan gejala.Seseorang menjadi Tb aktif jika bakteri pada penderita tb
laten menjadi aktif kembali atau bakteri berhasil bermultiplikasi secara
intraseluler. Bakteri yang bermultiplikasi secara intraseluler dapat keluar ketika
makrofag mati atau jika makrofag tetap hidup, basil ini berkemungkinan dapat
menyebar ke sistem limfatik atau masuk ke aliran darah dan dapat mencapai
jaringan dan organ yang letaknya jauh (otak, tulang, tulang belakang atau ginjal).1
Infeksi TB laten
Jumlah bakteri Tb sedikit, hidup, inaktif
Infeksi TB aktif
Jumlah bakteri Tb banyak, hidup, aktif
17
Tidak menular
Tidak ada gejala
Menular
Bergejala seperti batuk, demam, penurunan
BB, dll
Pemeriksaan tuberculin dan pemeriksaan Pemeriksaan tuberculin dan pemeriksaan
darah menunjukan infeksi TB
Radiografi normal
BTA dan kultur negatif
Pengobatan ditujukan untuk pencegahan
Tidak membutuhkan isolasi repirasi
TB dengan DM
TB dengan HIV
18
19
600 mg / kali
Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X semingggu, 50
mg /kg BB 2 X semingggu atau :
20
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1 000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg /kg BB,
30mg/kg BB 3X seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu atau :
BB >60kg : 1500 mg
BB 40 -60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali
21
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT
dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi,
kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan
pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B
kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah
menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra). Efek samping berat dapat
berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% penderita. Bila terjadi
hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan
pedoman TB pada keadaan khusus.
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simtomatik ialah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang-kadang diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tapi jarang terjadi ialah :
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus
distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan
-
khusus
Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah
satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin)
22
dapat
menyebabkan
gangguan
penglihatan
berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun
demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang
sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang
diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatanakan kembali normal dalam
beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan
pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita.
Risiko tersebut akan meningkat pada penderita dengan gangguan fungsi ekskresi
ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus),
pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat
segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan
maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitivitas kadang terjadi berupa demam yang timbul tibatiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara
dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang
mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu
maka dosis dapat dikurangi 0,25gr. Streptomisin dapat menembus barrier plasenta
sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf
pendengaran janin.
23
jalan.
Selain
OAT
kadang
perlu
pengobatan
tambahan
atau
a.
24
b.
c.
b.
- TB paru milier
- Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai
dengan keadaan klinis dan indikasi rawat
BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
25
26
27
enzim
yang
merusak
obat
aktif
dan
mengubah
28
yang terkait erat atau yang mempunyai cara pengikatan atau yang
mempunyai cara kerja yang sama (Brooks dkk, 2008).
29
2.10.
Kerangka Teori
Terapi
- Obat tunggal
- Regimen kurang efektif
- Aturan Pakai Salah
- Peresepan kurang
Penderita
- Tidak patuh
- Gangguan absorbs
- HIV
- Terlambat didiagnosis
Resistensi bakteri
terhadap OAT
Resisten
Komunitas
- Pendidikan rendah
- Sosial ekonomi rendah
- Sosio demografi kurang
terjangkau
Bakteri
- Hasilkan enzim yang hancurkan
bahan aktif obat
- Ubah permeabilitas
- Perubahan jalur metabolic
- Perubahan struktur target obat
Monoresisten
Poliresisten
Multi Drug
Rifampisin
Isoniazid
Pirazinamid
Ethambutol
Streptomisin