You are on page 1of 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh spesies
Mycobacterium dan ditandai dengan pembentukan tuberkel dan nekrosis kaseosa
pada jaringan-jaringan. Berbagai organ dapat terkena, walaupun pada manusia
paru adalah tempat utama penyakit ini dan biasanya merupakan pintu gerbang
masuknya infeksi untuk mencapai organ lainnya (Dorland, 2002). Sedangkan
menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, tuberkulosis adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2006).
2.2. Epidemiologi tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
di dunia. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency . Laporan WHO tahun
2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun
2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Setiap detik
ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga penduduk
dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di
Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari
jumlah penduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2
kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2006).
Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat tuberkulosis pada tahun 2002.
Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang
atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti
tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi
HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001
didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab
6

kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa
penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001
menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematianpertama pada
golongan penyakit infeksi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
Sementara itu dari hasil laporan yang masuk ke subdit TB P2MPL
Departemen Kesehatan tahun 2001 terdapat 50.443 penderita BTA positif yang
diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA positif ). Tiga perempat dari
kasus TB ini berusia 15 49 tahun. Pada tahun 2004 WHO memperkirakan setiap
tahunnya muncul 115 orang penderita tuberkulosis paru menular (BTA positif)
pada setiap 100.000 penduduk. Saat ini Indonesia masih menduduki urutan ke 3 di
dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2006). Sedangkan menurut data WHO tahun 2011, Indonesia
menempati urutan ke-empat dengan prevalensi Tuberkulosis terbanyak setelah
negara India, China, dan Afrika Selatan (WHO, 2012).

2.3. Etiologi dan Faktor Risiko Tuberkulosis


2.3.1. Etiologi Tuberkulosis
Mycobacterium tuberculosis biasanya terdapat pada manusia yang sakit
tuberculosis. Penularan yang terjadi melalui jalan pernafasan (Staf pengajar
FKUI, 1994).
Mycobacterium

tuberculosis

berbentuk

batang

lurus

atau

sedikit

melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3
0,6 m dan panjang 1 4 m. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri
dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel
M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan
dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60
C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan
dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2006).

Unsur lain yang terdapat pada diniding sel bakteri tersebut adalah
polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang
kompleks tersebut menyebebkan bakteri M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai, tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut
dengan larutan asam alkohol. Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan
sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen
M.tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal .
Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton),
19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan spesifisiti yang
bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen
M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi
(somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup,
contohnya antigen 30.000 , protein MTP 40 dan lain lain (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2006).
Pertumbuhan secara aerob obligat. Energi didapat dari oksidasi senyawa
karbon yang sederhana. CO2 dapat merangsang pertumbuhan. Pertumbuhan
lambat, waktu pembelahan sekitar 20 jjam. Suhu pertumbuhan optimum 37 oC.
Pada pembenihan, pertumbuhan tampak setelah 2-3 minggu.
Daya tahan kuman tuberkulosis lebih besar apabila dibandingkan dengan
kuman lainnya karena sifat hidrofobik permukaan sel. Hijau malakhit dapat
membunuh kuman lain tetapi tidak membunuh Mycobacterium tuberculosis,
begitu pula asam dan alkali. Dengan fenol 5% diperlukan waktu 24 jam untuk
membunuh bakteri ini. Pada sputum kering yang melekat pada debu dapat hidup
8-10 hari. pengaruh pemanasan daya tahannya sama dengan kuman lainnya, jadi
dengan pasteurisasi kuman tuberculosis ini sudah dapat dibunuh.
2.3.2. Faktor Risiko Tuberkulosis
Faktor resiko mudah terjadinya infeksi TB paru adalah
sebagai berikut:
1. Umur

Umur tua (>65 tahun) dihubungkan dengan kondisi


penurunan pertahanan tubuh secara alami, sering
ditemukan nutrisi yang kurang sehingga menurunkan
respon imun seluler seperti proliferasi limfosit dan
sintesis sitokin.
2. Jenis kelamin
TB lebih sering dijumpai pada pria karena androgen
pada pria bersifat imunosupresif, dilepas secara
menetap

selama

masa

dewasa

dan

tidak

berfluktuasi.
3. Status gizi rendah, malnutrisi
Kehilangan protein menyebabkan penurunan jumlah
dan

fungsi

limfosit,

penurunan

sel

CD4+

dan

penekanan fagositosis.
4. Tinggal didaerah dengan insiden tinggi, atau tinggal
di tempat dimana banyak kasus TB yang tak terobati.
5. Pasien dengan diabetes melitus, kanker, Acquired
Immune Deficiency Syndrome (AIDS), pengguna obat
imunosupresif seperti steroid jangka lama (pasien
alergi, penyakit autoimune dan transplantasi) dapat
menurunkan sistem imun dan meningkatkan resiko
TB.
6. Faktor lingkungan dengan sanitasi yang buruk dan
sosial ekonomi rendah meningkatkan kerentanan
terhadap penyakit.
2.3.3. Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Tuberkulosis Paru
Lingkungan dapat mempengaruhi prevalensi tuberkulosis paru, diantaranya :
a. Kepadatan Hunian.
Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit.
Semakin padat maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular
melalui udara akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota
keluarga yang menderita Tb paru dengan BTA (+). Kuman Tb paru

10

cukup resisten terhadap antiseptik tetapi dengan cepat akan menjadi


inaktif oleh cahaya matahari, sinar ultraviolet yang dapat merusak atau
melemahkan fungsi vital organisme dan kemudian mematikan.
Kepadatan hunian ditempat tinggal penderita Tb paru anak paling banyak
ialah tingkat kepadatan rendah. Suhu di dalam ruangan erat kaitannya
dengan kepadatan hunian dan ventilasi rumah (Behrman et al, 2003).
Kepadatan penghuni yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan
RI, yaitu rasio luas lantai seluruh ruangan dibagi jumlah penghuni
minimal 10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan tidak
dianjurkan digunakan lebih 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali
anak dibawah umur 5 tahun. Kepadatan hunian dapat juga ditentukan
dengan jumlah kamar tidur dibagi dengan jumlah penghuni (sleeping
density), dinyatakan dengan nilai: baik, bila kepadatan lebih atau sama
dengan 0,7 cukup, bila kepadatan antara 0,5 - 0,7 dan kurang bila
kepadatan kurang dari 0,5 (Anonim, 1999).
b. Ventilasi.
Standard

luas

ventilasi

sesuai

Kepmenkes

No.

829/Menkes/SK/VII/1999 adalah 10% dari luas lantai. Azwar (1999)


mengemukakan bahwa ventilasi mempunyai fungsi yaitu : 1) menjaga
agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga keseimbangan O 2
yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga. Kurangnya ventilasi
akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti kadar CO2
yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat; 2) menjaga
agar udara di ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban (humidity)
yang optimum. Kelembaban yang optimal (sehat) yaitu sekitar 40 70%
kelembaban yang lebih dari 70% akan berpengaruh terhadap kesehatan
penghuni rumah. Kelembaban udara di dalam ruangan naik karena
terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.
Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri
patogen (penyebab penyakit); 3) membebaskan udara ruangan dari
bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena disitu selalu terjadi

11

aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan
selalu mengalir; 4) lingkungan perokok akan menyebabkan udara
mengandung nitrogen oksida sehingga menurunkan kekebalan pada
tubuh terutama pada saluran napas karena berkembang menjadi makrofag
yang dapat menyebab infeksi.
Beberapa penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa
ventilasi bisa menjadi salah satu faktor penyebab (faktor risiko) Tb paru
seperti yang dilakukan oleh Ratnawati (2001) hasil penelitiannya
menunjukkan tidak ada hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian
Tb paru di Kabupaten Jepara (p > 0,05). Selanjutnya penelitian yang
dilakukan Sumarjo (2004) di Kabupaten Banjarnegara memperoleh hasil
yaitu adanya hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian Tb paru
dengan nilai p sebesar 0,003 dan OR = 6,176. Hal ini berarti individu
yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat
memiliki risiko terkena Tb paru sebesar 6,2 kali dibandingkan mereka
yang memiliki luas ventilasi yang memenuhi syarat. Selanjutnya, Tobing
(2009) menyatakan bahwa dalam penelitian yang dilakukannya diperoleh
hasil yatu nilai p sebesar 0,037 dan nilai OR sebesar 2,4 (9% CI-1,045.8). Selanjutnya, Darsoni (2005) yang melaksanaan penelitian di Desa
Padang memperoleh hasil yaitu bahwa adanya hubungan antara luas
ventilasi rumah dengan kejadian Tb paru dimana nilai p = 0,001 dan OR
sebesar 10,8. (Jufri Oksfriani, 2012)
Adnani dan Mahastuti (2007) yang meneliti tentang Tb paru di
Kecamatan Paseh menunjukkan bahwa individu yang memiliki ventilasi
yang tidak baik memilihi risiko terkena Tb paru sebesar 3,69 dari pada
mereka yang memiliki ventilasi yang memenuhi syarat. Selanjutnya,
penelitian yang dilakukan oleh Rusnoto dkk (2004) tentang faktor-faktor
yang berhubungan dengan kejadian Tb paru di Balai Pencegahan dan
Pengobatan Penyakit Paru ditemukan luas ventilasi berhubungan dengan
kejadian Tb paru dimana nilai OR sebesar 29,99 dengan 95% CI: 3,39265,50.

12

Hal ini dapat dipahami karena ventilasi memiliki berbagai fungsi


seperti membebaskan ruangan rumah dari bakteri pathogen terutama
kuman tuberculosis. Kuman Tb yang ditularkan melalui droplet nuclei
dapat melayang di udara karena memiliki ukuran yang sangat kecil (50
mikron). Ventilasi yang tidak baik karena dapat menghalangi sinar
matahari masuk ke dalam ruangan, padahal kuman Tb hanya dapat
dibunuh dengan sinar matahari secara langsung (Notoadmojo; 2003;
Lubis, 1989).
c. Suhu Udara.
Suhu udara yang ideal dalam rumah antara 18 - 30C. Suhu
optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi. Gould dan Brooker
(2003) menyatakan bahwa bakteri M. tuberculosis merupakan bakteri
mesofilik yang bisa hidup pada suhu udara 10-40 oC. Mycobacterium
tuberculosis tumbuh optimal pada suhu 37C. Paparan sinar matahari
selama 5 menit dapat membunuh M. tuberculosis dan tahan hidup pada
tempat gelap, sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah
yang gelap (Anonim, 1999).
d. Faktor Lantai
Terkait dengan tingkat kelembaban ruangan, sehingga pada
kondisi lantai rumah yang terbuat dari tanah, cenderung mempengaruhi
viabilitas kuman TBC di lingkungan yang pada akhirnya dapat memicu
daya tahan kuman TBC di udara semakin lama.
2.4. Jenis Tuberkulosis
Secara umum tuberkulosis terbagi menjadi tuberkulosis paru dan
tuberkulosis ekstra paru.
2.4.1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru) Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi dalam :

13

a. Tuberkulosis Paru BTA (+)


- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
-

positif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan

kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif


Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan

biakan positif
2. Tuberkulosis Paru BTA (-)
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta
-

tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas


Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan

M.tuberculosis positif
- Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa
3. Berdasarkan Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu :
a. Kasus baru adalah penderita yang belum pernah mendapat
pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang
dari satu bulan (30 dosis harian)
b. Kasus kambuh (relaps) adalah penderita tuberkulosis yang
sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali
lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau
biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran
radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan
beberapa kemungkinan :
Infeksi sekunder
Infeksi jamur
TB paru kambuh
c. Kasus pindahan (Transfer In) adalah penderita yang sedang
mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah
berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus
membawa surat rujukan/pindah

14

d. Kasus lalai berobat adalah penderita yang sudah berobat paling


kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang
kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan
hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
e. Kasus Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif
atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan
sebelum akhir pengobatan) atau penderita dengan hasil BTA
negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir
bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang
hasilnya perburukan
f. Kasus kronik adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2
dengan pengawasan yang baik
g. Kasus bekas TB adalah hasil pemeriksaan dahak mikroskopik
(biakan jika ada fasilitas)negatif dan gambaran radiologik paru
menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik serial
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT
yang adekuat akan lebih mendukung. Pada kasus dengan gambaran
radiologik meragukan lesi TB aktif, namun setelah mendapat
pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada perubahan
gambaran radiologik.
2.4.2. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dll. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur spesimen positif, atau
histologi, atau bukti klinis kuat konsisten dengan TB ekstraparu aktif, yang
selanjutnya dipertimbangkan oleh klinisi untuk diberikan obat anti tuberkulosis
siklus penuh. Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, TB ekstra paru dibagi
berdasarkan tingkat keparahan penyakit menjadi dua yaitu TB ekstra paru ringan
dan TB ekstra paru berat.

15

1. TB ekstra paru ringan


Misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
2. TB ekstra paru berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa
bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat
kelamin.
2.5. Cara Penularan Tuberkulosis
M. tuberculosis ditransmisikan melalui partikel-partikel udara, yang
disebut dengan droplet nuclei. Droplet nuclei yang infeksius dihasilkan oleh
seseorang yang mengalami TB pulmonal atau TB laring ketika batuk, berteriak,
atau bernyanyi. Bergantung pada lingkungan, partikel-partikel kecil ini dapat
bertahan di udara selama beberapa jam. Transmisi terjadi ketika seseorang
menghirup droplet nuclei yang mengandung M. tuberculosis, dan droplet nuclei
masuk melalui mulut atau hidung, saluran pernafasan atas, bronkus dan sampai di
alveolus. Transmisi juga dapat terjadi melalui kontak langsung pada kulit
sehingga menyebabkan TB verukosa kutis (CDC, 2013; Partogi, 2008).
Ada 4 faktor yang menentukan kemungkinan transmisi dari M. tuberculosis
1. Susceptibility
Kerentanan (status imunologi) dari individu yang terpapar
2. Infectiousness
Infeksius berkaitan dengan jumlah bakteri TB yang dikeluarkan di udara
3. Environment
Faktor lingkungan yang mempengaruhi konsentrasi M. tuberculosis
4. Exposure
Jarak , frekuensi, dan durasi dari paparan
Karakteristik pasien dengan TB yang dihubungkan sebagai keadaan yang
infeksius menurut CDC 2013 :
Faktor
Klinis

Gambaran
- Batuk, 3 minggu atau lebih
- Penyakit saluran nafas, khususnya
-

keterlibatan laring (sangat infeksius)


Tidak menutup hidung dan mulut

16

Prosedur

ketika batuk atau bersin


Pengobatan yang tidak adekuat (obat,

lamanya)
Pada saat dilakukan prosedur yang
menginduksi

Radiografi dan Laboratorium

batuk

(bronskoskopi,

pengambilan sputum)
Adanya kavitas
Kultur positif M. tuberculosis
BTA positif

Faktor Lingkungan yang meningkatkan kemungkinan transmisi M. tuberculosis


Faktor
Konsentrasi droplet nuclei

Gambaran
Makin banyak droplet nuclei kemungkinan

Ruang
Ventilasi
Sirkulasi udara
Penanganan spesimen
Tekanan udara

transmisi makin bertambah


Ruang tertutup dan sempit
Ventilasi yang tidak adekuat
Udara sirkulasi mengandung droplet nuclei
Penanganan spesimen yang tidak tepat
Tekanan udara positif sehingga M.
tuberculosis berpindah ke area yang lain

Patogenesis TB
Infeksi terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuclei yang
mengandung basil dan masuk sampai ke alveoli. Basil ini kemudian dimakan oleh
makrofag alveolar, sebagian besar basil ini dihancurkan atau dihambat dengan
cara membentuk suatu kapsul yang mengelilingi basil yang disebut granuloma.
Pada keadaan ini seseorang telah mengalami infeksi M. tuberculosis namun tidak
menimbulkan gejala.Seseorang menjadi Tb aktif jika bakteri pada penderita tb
laten menjadi aktif kembali atau bakteri berhasil bermultiplikasi secara
intraseluler. Bakteri yang bermultiplikasi secara intraseluler dapat keluar ketika
makrofag mati atau jika makrofag tetap hidup, basil ini berkemungkinan dapat
menyebar ke sistem limfatik atau masuk ke aliran darah dan dapat mencapai
jaringan dan organ yang letaknya jauh (otak, tulang, tulang belakang atau ginjal).1

Infeksi TB laten
Jumlah bakteri Tb sedikit, hidup, inaktif

Infeksi TB aktif
Jumlah bakteri Tb banyak, hidup, aktif

17

Tidak menular
Tidak ada gejala

Menular
Bergejala seperti batuk, demam, penurunan

BB, dll
Pemeriksaan tuberculin dan pemeriksaan Pemeriksaan tuberculin dan pemeriksaan
darah menunjukan infeksi TB
Radiografi normal
BTA dan kultur negatif
Pengobatan ditujukan untuk pencegahan
Tidak membutuhkan isolasi repirasi

darah menunjukan infeksi TB


Radiografi abnormal
BTA dan kultur positif
Pengobatan ditujukan untuk kuratif
Butuh isolasi repirasi (penggunaan masker)

Faktor risiko Tb laten menjadi Tb aktif


Faktor risiko
- Penderita HIV
- Anak <5 tahun
- Riwayat menderita Tb (Dalam 2 tahun yll)
- Riwayat pengobatan Tb yang tidak adekuat, atau tidak dapat pengobatan
- Mendapat obat immunosupresan
- Penderita silicosis, DM, Gagal ginjal kronis, Leukemia, Kanker
- Pernah operasi bypass gastrektomi atau jejunoileal
- Underweight
- Perokok, pengguna alkohol dan obat terlarang
- Area endemik, pelayanan kesehatan dibawah rata-rata, dan pendapatan yang rendah
Risiko terjadinya Tb aktif dari Tb laten
Faktor risiko
TB tanpa faktor risiko

Risiko terjadinya TB aktif


tanpa pengobatan, kemungkinan terjadi TB

TB dengan DM

aktif adalah 10% selama kehidupan


tanpa pengobatan, kemungkinan menjadi TB

TB dengan HIV

aktif, 30 % selama kehidupan


Tanpa pengobatan, kemungkinan menjadi
TB aktif meningkat 7-10% tiap tahunnya

2.6. Tatalaksana Tuberkulosis


Tatalaksana pada tuberkulosis dapat berupa tatalaksana farmakologi dan
non-farmakologi di antaranya obat anti tuberkulosis, pengobatan suportif atau
simtomatik termasuk di dalamnya edukasi yang dapat diberikan kepada penderita
tuberkulosis atau yang tidak menderita tuberkulosis yang dapat dijadikan upaya
pencegahan terhadap penyakit ini.

18

2.6.1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari
paduan obat utama dan tambahan.
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
a. Rifampisin
b. INH
c. Pirazinamid
d. Streptomisin
e. Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari :

Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150

mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan


Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,

isoniazid 75 mg dan pirazinamid 400 mg


3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
a. Kanamisin
b. Kuinolon
c. Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam
klavulanat
d. Derivat rifampisin dan INH

19

Tabel 2.1 Ringkasan Paduan OAT

2.6.1.1. Dosis OAT

Rifampisin . 10 mg/ kg BB, maksimal 600 mg 2-3X/ minggu atau BB > 60


kg :
600 mg BB 40-60 kg :
450 mg BB < 40 kg : 300 mg.
Dosis intermiten 600 mg / kali

INH 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 X seminggu, 15


mg/kg BB 2 X semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. lntermiten :

600 mg / kali
Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X semingggu, 50
mg /kg BB 2 X semingggu atau :

20

BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1 000 mg
BB < 40 kg : 750 mg

Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg /kg BB,
30mg/kg BB 3X seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu atau :
BB >60kg : 1500 mg
BB 40 -60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali

Streptomisin:15mg/kgBB atau BB >60kg : 1000mg


BB 40 - 60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai BB

Kombinasi dosis tetap


Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita
hanya minum obat 3-4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase
lanjutan dapat menggunakan kombinasi dosis 2 obat antituberkulosis
seperti yang selama ini telah digunakan sesuai dengan pedoman
pengobatan. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap
tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah
sakit / fasiliti yang mampu menanganinya.

2.6.1.2. Efek Samping OAT


Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek

21

samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT
dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi,
kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan
pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B
kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah
menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra). Efek samping berat dapat
berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% penderita. Bila terjadi
hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan
pedoman TB pada keadaan khusus.
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simtomatik ialah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang-kadang diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tapi jarang terjadi ialah :
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus
distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan
-

khusus
Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah
satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan

jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang


Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat,
air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses
metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan
kepada penderita agar dimengerti dan tidak perlu khawatir.

3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin)

22

dan kadangkadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini


kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.
Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol

dapat

menyebabkan

gangguan

penglihatan

berupa

berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun
demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang
sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang
diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatanakan kembali normal dalam
beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan
pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita.
Risiko tersebut akan meningkat pada penderita dengan gangguan fungsi ekskresi
ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus),
pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat
segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan
maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitivitas kadang terjadi berupa demam yang timbul tibatiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara
dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang
mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu
maka dosis dapat dikurangi 0,25gr. Streptomisin dapat menembus barrier plasenta
sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf
pendengaran janin.

23

Tabel 2.2 Ringkasan Efek Samping OAT

2.6.2. Pengobatan Suportif/Simptomatik


Pengobatan yang diberikan kepada penderita TB perlu diperhatikan
keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, dapat
rawat

jalan.

Selain

OAT

kadang

perlu

pengobatan

tambahan

atau

suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi


gejala/keluhan.

a.

1. Penderita rawat jalan


Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat
diberikan vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada

24

larangan makanan untuk penderita tuberkulosis, kecuali untuk


penyakit komorbidnya)
Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk,

b.
c.

sesak napas atau keluhan lain.


2. Penderita rawat inap
a.
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sebagai berikut :
-

Batuk darah (profus)


Keadaan umum buruk
Pneumotoraks
Empiema
Efusi pleura masif / bilateral
Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)

TB di luar paru yang mengancam jiwa :

b.

- TB paru milier
- Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai
dengan keadaan klinis dan indikasi rawat

2.6.3. Kriteria Sembuh


-

BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir

pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat .


Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan .
Bila ada fasilitas biakan, maka kriteria ditambah biakan negative

2.7. Definisi Resistensi


Resistensi dapat diartikan sebagai kemampuan mikroorganisme untuk
menahan efek obat yang mematikan terhadap sebagian besar anggota spesiesnya.
Secara umum resitensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi :
1. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan
2. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada
riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau tidak.

25

3. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan


OAT minimal 1 bulan (Soepandi, 2010)
Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap obat TB :
1. Monoresisten : Kekebalan terhadap salah satu OAT
2. Poliresisten
: Kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi
isoniazid dan rifampisin
3. Multidrug-resistance (MDR)

: Kekebalan terhadap sekurang-kurangnya

isoniazid dan rifampicin


4. Extensive drug-resistance (XDR) : TB- MDR ditambah kekebalan terhadap
salah salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari
OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin) (Soepandi,
2010).
2.8. Epidemiologi
Sejak dijalankannya Program Penanggulangan TB Global pada tahun
1994, data terjadinya resistensi OAT telah dikumpulkan dari 135 negara. Laporan
WHO tahun 2007 menyatakan persentase resistensi primer di seluruh dunia telah
terjadi poliresistensi 17,0%, monoresistensi terdapat 10,3%, dan Multidrug
Resistan-Tuberculosis (MDR TB) sebesar 2,9%. Sedangkan di Indonesia resistensi
primer jenis MDR terjadi sebesar 2%. Dari laporan 2007-2010, kasus MDR TB
baru diperkirakan sekitar 0-28,9% dengan Belarus 25,7%, Estonia 18,3%, Rusia
28,3%, dan Tajikistan 16,5%. Sedangkan MDR TB pada pasien yang telah
mendapat pengobatan berkisar 0-65%. Negara dengan proporsi lebih dari 50%
diantaranya Belarus 60,2%, Lithuania 51,5%, Republik Moldovo 65,1%, Federasi
Rusia dan Tajikistan (WHO 2007).
Di Indonesia sendiri belum mempunyai data nasional mengenai angka
resistensi M. tuberculosis ini. Data-data yang ada saat ini merupakan data yang
diambil dari rumah sakit sebagai pusat pendidikan kedokteran.
Suyata (1999) dalam penelitiannya tentang resistensi M. tuberculosis
terhadap obat anti tuberkulosis di Palembang mendapatkan angka resisten yang
tinggi, yaitu 67,9% resistensi sekunder, dan 40,2% resistensi primer. Dari
penelitian ini juga didapatkan angka MDR sekunder sebesar 28,6% dan 4,9%
MDR primer. Penelitian ini dilanjutkan oleh Irawan pada tahun 2006 dan

26

didapatkan penurunan angka resistensi menjadi 27,7% resistensi primer, 52,7%


resistensi sekunder, 7,2% MDR primer dan 16,4% MDR sekunder. (Irawan,
2006).
Hasil penelitian pada tahun 2008 yang dilakukan oleh Susi mengenai pola
resistensi M. tuberculosis pada narapidana di Lembaga Permasyarakatan Kelas 1
Pria Tanjung Gusta Medan didapatkan hasil DR TB sebesar 83,3% dan MDR TB
16,7%. (Susi, 2008). Yuniarti, pada tahun 2010 melakukan penelitian resistensi
OAT primer pada penderita baru tuberkulosis paru di Balai Pengobatan Penyakit
Paru (bp4) Lubuk Alung Sumatera Barat didapatkan resistensi primer sebesar
8,2%. (Yuniarti, 2010). Hasil penelitian Tirtana (2011) di Semarang, didapatkan
resistensi primer sebesar 73,3% dan resistensi sekunder sebesar 27,7% .
2.9. Patogenesis
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya resistensi M.tuberculosis
terhadap OAT antara lain:
1. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat, misalnya:
a. Penggunaan regimen yang efektivitasnya kurang memadai, misalnya
pasien dengan diagnosis tb paru bta (+) diberikan 2 atau 3 jenis obat
pada fase awal.
b. Pasien dengan OAT yang resisten yang mendapat pengobatan jangka
pendek dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah banyak
OAT yang resisten (The amplifier effect).
c. Peresepan yang kurang adekuat atau aturan pakai yang salah.
2. Faktor penderita
a. Ketidakpatuhan penderita
b. Gangguan absorbsi pada saluran cerna sehingga konsentrasi efektif
serum tidak tercapai.
c. HIV akan mempercepat terjadinya infeksi TB dan memperpanjang
periode infeksius.
d. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis
akan menyebabkan penyebaran galur resiten obat. Penyebaran ini tidak
hanya pada pasien di rumah sakit, tetapi juga pada petugas rumah
sakit, asrama, penjara dan keluarga pasien.
3. Faktor mikroba mengalami mutasi
4. Faktor komunitas

27

a. Pendidikan yang rendah yang menyebabkan kurangnya pemahaman


pentingnya pemakaian obat secara teratur.
b. Sosioekonomi rendah
c. Sosiodemografis yang kurang terjangkau
(Gillespie, 2002) (Soepandi, 2010)
2.9.1. Resistensi Mikroba Terhadap Antimikroba
Brooks dkk (2008) mengemukan, mikroorganisme dapat menjadi
resistensi melalui beberapa mekanisme diantaranya mikroorganisme
menghasilkan

enzim

yang

merusak

obat

aktif

dan

mengubah

permeabilitasnya terhadap obat serta mengembangkan sasaran struktur


yang dirubah terhadap obat. Jasad renik dapat kehilangan bentuk sasaran
khusus untuk suatu obat selama beberapa generasi dan resistensi.
2.9.2 Asal Resistensi Obat
1. Resistensi Non Genetik
Antimikroba dapat bekerja dengan baik bila kuman dalam
keadaan aktif membelah. Kuman yang tidak dalam keadaan masa
aktif akan resisten terhadap obat. Bila berubah menjadi aktif,
mikroba kembali menjadi sensitif dan keturunannya juga tetap
bersifat sensitif terhadap antimikroba tersebut (Brooks dkk, 2008).
2. Resistensi Genetik
Kebanyakan mikroba yang resisten obat timbul sebagai akibat
perubahan genetik dan proses seleksi yang terjadi kemudian oleh obat
antimikroba. Resistensi genetik didasarkan pada lokasi elemen untuk
resistensi, dikenal resistensi kromosomal dan ekstrakromosomal.
Mikroba dapat menjadi tidak peka terhadap antimikroba atau
memerlukan kadar antimikroba yang lebih tinggi. Hal ini terjadi karena
elemen yang membawa sifat genetik resisten itu diturunkan (Brooks
dkk, 2008).
3. Resistensi Silang
Mikroorganisme yang resisten terhadap obat tertentu juga dapat
resisten terhadap obat lain yang mempunyai mekanisme kerja yang
sama. Hubungan tersebut terutama terdapat di antara agen-agen kimia

28

yang terkait erat atau yang mempunyai cara pengikatan atau yang
mempunyai cara kerja yang sama (Brooks dkk, 2008).

29

2.10.

Kerangka Teori

Terapi
- Obat tunggal
- Regimen kurang efektif
- Aturan Pakai Salah
- Peresepan kurang

Penderita
- Tidak patuh
- Gangguan absorbs
- HIV
- Terlambat didiagnosis

Resistensi bakteri
terhadap OAT

Resisten

Komunitas
- Pendidikan rendah
- Sosial ekonomi rendah
- Sosio demografi kurang
terjangkau

Bakteri
- Hasilkan enzim yang hancurkan
bahan aktif obat
- Ubah permeabilitas
- Perubahan jalur metabolic
- Perubahan struktur target obat

Monoresisten
Poliresisten
Multi Drug

Rifampisin
Isoniazid
Pirazinamid
Ethambutol
Streptomisin

You might also like