You are on page 1of 21

PAPER ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN

PRINSIP-PRINSIP MANAJEMEN KESEHATAN KERJA UNTUK


PERLINDUNGAN TERHADAP PEKERJA TAMBANG DARI
PENYAKIT SERTA GANGGUAN PERNAFASAN

OLEH

I PUTU ADI SURYADI PUTRA (0820025026)

PROGRAM STUDI
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2009

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah kepentingan pengusaha, pekerja


dan pemerintah di seluruh dunia. Menurut perkiraan ILO (International Labour
Organisation), setiap tahun di seluruh dunia 2 juta orang meninggal karena masalah-
masalah akibat kerja. Dari jumlah ini, 354.000 orang mengalami kecelakaan fatal.
Disamping itu, setiap tahun ada 270 juta pekerja yang mengalami kecelakaan akibat
kerja dan 160 juta yang terkena penyakit akibat kerja. Biaya yang harus dikeluarkan
untuk bahaya-bahaya akibat kerja ini amat besar. ILO memperkirakan kerugian yang
dialami sebagai akibat kecelakaan-kecelakaan dan penyakitpenyakit akibat kerja
setiap tahun lebih dari US$1.25 triliun atau sama dengan 4% dari Produk Domestik
Bruto (GDP).
Tingkat kecelakaan-kecelakaan fatal di negara-negara berkembang empat kali
lebih tinggi dibanding negara-negara industri. Di negara-negara berkembang,
kebanyakan kecelakaan dan penyakit akibat kerja terjadi di bidang-bidang pertanian,
perikanan dan perkayuan, pertambangan dan konstruksi. Tingkat buta huruf yang
tinggi dan pelatihan yang kurang memadai mengenai metode-metode keselamatan
kerja mengakibatkan tingginya angka kematian yang terjadi karena kebakaran dan
pemakaian zat-zat berbahaya yang mengakibatkan penderitaan dan penyakit yang tak
terungkap termasuk kanker, penyakit jantung dan stroke.
Praktek-praktek ergonomis yang kurang memadai mengakibatkan gangguan
pada otot, yang mempengaruhi kwalitas hidup dan produktivitas pekerja. Selain itu,
masalah-masalah sosial kejiwaan di tempat kerja seperti stres ada hubungannya
dengan masalah-masalah kesehatan yang serius, termasuk penyakit-penyakit jantung,
stroke, kanker yang ditimbulkan oleh masalah hormon, dan sejumlah masalah
kesehatan mental.
Khusus untuk pekerja di bidang pertambangan, tambang merupakan salah satu
bidang pekerjaan yang paling beresiko mengalami masalah dalam kesehatan dan
keselamatan kerja, hal ini disebabkan karena pekerja tambang sangat mudah terpapar
debu dan partikel-partikel yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan baik

2
gangguan pernafasan maupun gangguan kesehatan lain yang dapat mengganggu
optimalisasi mereka dalam bekerja, disini saya akan membahas penyakit apa yang
sangat beresiko terjadi pada pekerja tambang batubara dan manajemen kesehatan
seperti apa yang digunakan untuk mengurangi resiko tersebut, serta apa upaya
perusahaan tambang untuk melindungi pekerjanya dari resiko kesehatan kerja.
Untuk itu sangat diperlukan manajemen yang tepat serta upaya-upaya untuk
melindungi pekerja tambang dari dampak negative bagi kesehatan yang timbul karena
pekerjaan mereka, untuk itu diperlukan pencegahan serta perlindungan yang tepat
untuk pekerja tambang.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah prinsip-prinsip manajemen kesehatan kerja bagi pekerja


tambang?
2. Apakah penyakit pernafasan yang beresiko terjadi pada pekerja tambang?
3. Apakah pencegahan dan perlindungan yang tepat untuk masalah keselamatan
dan kesehatan kerja pertambangan?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui prinsip-prinsip manajemen kesehatan kerja yang baik bagi pekerja


tambang.
2. Mengetahui penyakit yang beresiko terjadi pada pekerja tambang.
3. Mampu melakukan pencegahan serta perlindungan kepada pekerja tambang
dari masalah kesehatan kerja.

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah agar kita mampu memberikan promosi
serta pencegahan terhadap resiko-resiko kesehatan yang mungkin muncul dalam
pekerjaan pertambangan, selain itu agar kita mengetahui prinsip-prinsip dasar
manajemen kesehatan kerja yang dapat dijadikan kerangka dasar dalam
melaksanakan pencegahan tersebut.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Prinsip-prinsip manajemen kesehatan kerja

1. Pengertian

• Upaya Kesehatan Kerja adalah upaya penyerasian antara kapasitas kerja,


beban kerja dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara
sehat tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat di
sekelilingnya, agar diperoleh produktivitas kerja yang optimal (UU Kesehatan
Tahun 1992 Pasal 23).
• Konsep dasar dari Upaya Kesehatan Kerja ini adalah : Identifikasi
permasalahan, Evaluasi dan dilanjutkan dengan tindakan pengendalian.

2. Ruang Lingkup Kesehatan Kerja

Kesehatan Kerja meliputi berbagai upaya penyerasian antara pekerja dengan


pekerjaan dan lingkungan kerjanya baik fisik maupun psikis dalam hal cara/metode
kerja, proses kerja dan kondisi yang bertujuan untuk :

1. Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan kerja masyarakat


pekerja di semua lapangan kerja setinggi-tingginya baik fisik, mental
maupun kesejahteraan sosialnya.
2. Mencegah timbulnya gangguan kesehatan pada masyarakat pekerja
yang diakibatkan oleh keadaan/kondisi lingkungan kerjanya.
3. Memberikan pekerjaan dan perlindungan bagi pekerja di dalam
pekerjaannya dari kemungkinan bahaya yang disebabkan oleh faktor-
faktor yang membahayakan kesehatan.
4. Menempatkan dan memelihara pekerja disuatu lingkungan pekerjaan
yang sesuai dengan kemampuan fisik dan psikis pekerjanya.

4
3. Kapasitas Kerja, Beban Kerja dan Lingkungan Kerja

Kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja merupakan tiga komponen
utama dalam kesehatan kerja, dimana hubungan interaktif dan serasi antara ketiga
komponen tersebut akan menghasilkan kesehatan kerja yang baik dan optimal.
Kapasitas kerja yang baik seperti status kesehatan kerja dan gizi kerja yang baik serta
kemampuan fisik yang prima diperlukan agar seorang pekerja dapat melakukan
pekerjaannya dengan baik.Kondisi atau tingkat kesehatan pekerja sebagai (modal)
awal seseorang untuk melakukan pekerjaan harus pula mendapat perhatian. Kondisi
awal seseorang untuk bekerja dapat depengaruhi oleh kondisi tempat kerja, gizi kerja
dan lain-lain.

Beban kerja meliputi beban kerja fisik maupun mental. Akibat beban kerja yang
terlalu berat atau kemampuan fisik yang terlalu lemah dapat mengakibatkan seorang
pekerja menderita gangguan atau penyakit akibat kerja.Kondisi lingkungan kerja
(misalnya panas, bising debu, zat-zat kimia dan lain-lain) dapat merupakan beban
tambahan terhadap pekerja. Beban-beban tambahan tersebut secara sendiri-sendiri
atau bersama-sama dapat menimbulkan gangguan atau penyakit akibat kerja.

Gangguan kesehatan pada pekerja dapat disebabkan oleh faktor yang berhubungan
dengan pekerjaan maupun yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa status kesehatan masyarakat pekerja dipengaruhi
tidak hanya oleh bahaya kesehatan ditempat kerja dan lingkungan kerja tetapi juga
oleh factor-faktor pelayanan kesehatan kerja, perilaku kerja serta faktor lainnya.

4. Lingkungan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja yang ditimbulkan

Penyakit akibat kerja dan atau berhubungan dengan pekerjaan dapat disebabkan oleh
pemajanan dilingkungan kerja. Dewasa ini terdapat kesenjangan antara pengetahuan
ilmiah tentang bagaimana bahaya-bahaya kesehatan berperan dan usaha-usaha untuk
mencegahnya. Misalnya antara penyakit yang sudah jelas penularannya dapat melaui
darah dan pemakaian jarum suntik yang berulang-ulang, atau perlindungan yang
belum baik pada para pekerja Rumah sakit dengan kemungkinan terpajan melalui
kontak langsung. Untuk mengantisipasi permasalahan ini maka langkah awal yang
penting adalah pengenalan / identifikasi bahaya yang bisa timbul dan di Evaluasi,

5
kemudian dilakukan pengendalian. Untuk mengantisipasi dan mengetahui
kemungkinan bahaya dilingkungan kerja ditempuh tiga langkah utama, yakni:

1. Pengenalan lingkungan kerja.

Pengenalan linkungan kerja ini biasanya dilakukan dengan cara melihat dan
mengenal (walk through inspection), dan ini merupakan langkah dasar yang
pertama-tama dilakukan dalam upaya kesehatan kerja. Hal ini dilakukan agar
pekerja tambang mengenal serta memahami kondisi lingkungan tempat mereka
bekerja disamping itu dengan pengenalan lingkungan yang baik akan dapat
mencegah resiko kesehatan bagi mereka.

2. Evaluasi lingkungan kerja.

Merupakan tahap penilaian karakteristik dan besarnya potensi-potensi bahaya


yang mungkin timbul, sehingga bisa untuk menentukan prioritas dalam mengatasi
permasalahan.

3. Pengendalian lingkungan kerja.

Dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan pemajanan terhadap


zat/bahan yang berbahaya dilingkungan kerja. Kedua tahapan sebelumnya,
pengenalan dan evaluasi, tidak dapat menjamin sebuah lingkungan kerja yang sehat.
Jadi hanya dapat dicapai dengan teknologi pengendalian yang adekuat untuk
mencegah efek kesehatan yang merugikan di kalangan para pekerja.

Pengendalian lingkungan (Environmental Control Measures)

 Desain dan tata letak yang adekuat


 Penghilangan atau pengurangan bahan berbahaya pada
sumbernya.

Pengendalian perorangan (Personal Control Measures)

Penggunaan alat pelindung perorangan merupakan alternatif lain untuk


melindungi pekerja dari bahaya kesehatan. Namun alat pelindung
perorangan harus sesuai dan adekuat. Pembatasan waktu selama

6
pekerja terpajan terhadap zat tertentu yang berbahaya dapat
menurunkan risiko terkenanya bahaya kesehatan di lingkungan kerja.
Kebersihan perorangan dan pakaiannya, merupakan hal yang penting,
terutama untuk para pekerja yang dalam pekerjaannya berhubungan
dengan bahan kimia serta partikel lain.

2.2 Penyakit yang beresiko terjadi pada pekerja tambang

Paru-paru Hitam (penyakit pekerja tambang)

DEFINISI
Paru-paru Hitam (pneumoconiosis pekerja tambang, penyakit pekerja tambang,
miner's asthma, anthracosis, anthrasilicosis ) adalah suatu penyakit pernafasan yang
terjadi karena menghirup debu batubara dalam jangka panjang.
Pneumokoniosis pekerja batubara terjadi dalam 2 bentuk, yaitu simplek dan
komplikata (fibrosis masif progresif). Tipe simplek biasanya bersifat ringan,
sedangkan tipe komplikata bisa berakibat fatal. Pada paru-paru hitam simplek, serbuk
batubara berkumpul di sekeliling saluran nafas kecil (bronkiolus). Walupun relatif
lembam dan tidak menimbulkan banyak reaksi, serbuk batubara akan menyebar ke
seluruh paru-paru dan terlihat sebagai bercak-bercak kecil pada foto dada. Serbuk
batubara tidak menyumbat saluran nafas. Tetapi setiap tahunnya, 1-2% penderita
paru-paru hitam simplek, akan berkembang menjadi bentuk penyakit yang lebih serius
yang disebut sebagai fibrosis masif progresif, yang ditandai dengan terbentuknya
jaringan parut yang luas di paru-paru (minimal dengan diameter 1 cm). Meskipun
sudah tidak lagi terjadi pemaparan debu batubara, tetapi fibrosis masif progresif akan
semakin memburuk. Jaringan parut bisa menimbulkan kerusakan pada jaringan dan
pembuluh darah paru-paru.

Sindroma Caplan

merupakan kelainan yang jarang terjadi, yang dapat menyerang penambang


batubara yang menderita artritis rematik. Nodul jaringan parut yang bulat dan besar
akan berkembang dengan cepat di paru-paru. Nodul seperti ini mungkin juga
terbentuk pada orang-orang yang terpapar debu batubara, walaupun mereka tidak
menderita paru-paru hitam.

7
PENYEBAB

Paru-paru hitam merupakan akibat dari terhirupnya serbuk batubara dalam jangka
waktu yang lama. Merokok tidak menyebabkan meningkatnya angka kejadian paru-
paru hitam, tetapi bisa memberikan efek tambahan yang berbahaya bagi paru-paru.
Resiko menderita paru-paru hitam berhubungan dengan lamanya dan luasnya
pemaparan terhadap debu batubara. Kebanyakan pekerja yang terkena berusia lebih
dari 50 tahun. Penyakit ini ditemukan pada 6 dari 100.000 orang.

GEJALA

Paru-paru hitam simplek biasanya tidak menimbulkan gejala. Tetapi banyak


penderita yang mengalami batuk menahun dan mudah sesak nafas karena mereka juga
menderita emfisema (karena merokok) atau bronkitis (karena merokok atau terpapar
polutan industri toksik lainnya). Fibrosis masif progresif yang berat juga
menyebabkan batuk dan sesak nafas.

DIAGNOSA

Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan rontgen dada dan tes fungsi
paru-paru. Yang menentukan apakah pekerja tambang tersebut mengalami gangguan
kesehatan atau tidak.

Silikosis

Penyakit ini terjadi karena inhalasi dan retensi debu yang mengandung
kristalin silikon dioksida atau silika bebas. Pada berbagai jenis pekerjaan yang
berhubungan dengan silika penyakit ini dapat terjadi, seperti pada pekerja

1. Pekerja tambang logam dan batubara

2. Penggali terowongan untuk membuat jalan

3. Pemotongan batu seperti untuk patung, nisan

4. Pembuat keramik dan batubara

8
5. Penuangan besi dan baja

6. Industri yang memakai silika sebagai bahan misalnya pabrik amplas dan
gelas.

7. Pembuat gigi enamel

8. Pabrik semen

Usaha untuk menegakkan diagnosis silikosis secara dini sangat


penting, oleh karena penyakit dapat terus berlanjut meskipun paparan telah
dihindari. Pada penderita silikosis insidens tuberkulosis lebih tinggi dari
populasi umum. Secara klinis terdapat 3 bentuk silikosis, yaitu silikosis akut,
silikosis kronik dan silikosis terakselerasi.

• Silikosis Akut

Penyakit dapat timbul dalam beberapa minggu, bila seseorang


terpapar silika dengan konsentrasi sangat tinggi. Perjalanan penyakit
sangat khas, yaitu gejala sesak napas yang progesif, demam, batuk dan
penurunan berat badan setelah paparan silika konsentrasi tinggi dalam
waktu relatif singkat. Lama paparan berkisar antara beberapa minggu
sampai 4 atau 5 tahun. Kelainan faal paru yang timbul adalah restriksi
berat dan hipoksemi disertai penurunan kapasitas di fusi. Pada foto toraks
tampak fibrosis interstisial difus, fibrosis kemuclian berlanjut dan terdapat
pada lobus tengah dan bawah membentuk djffuse ground glass
appearance mirib edema paru.

• Silikosis Kronik

Kelainan pada penyakit ini mirib dengan pneumokoniosis pekerja


tambang batubara, yaitu terdapat nodul yang biasanya dominan di lobus
atas. Bentuk silikosis kronik paling sering ditemukan, terjadi setelah
paparan 20 sampai 45 tahun oleh kadar debu yang relatif rendah. Pada
stadium simple, nodul di paru biasanya kecil dan tanpa gejala atau

9
minimal. Walaupun paparan tidak ada lagi, kelainan paru dapat menjadi
progresif sehingga terjadi fibrosis yang masif.

Pada silikosis kronik yang sederhana, foto toraks menunjukkan nodul


terutama di lobus atas dan mungkin disertai klasifikasi. Pada bentuk lanjut
tertepat masa yang besar yang tampak seperti sayap malaikat (angel's
wing). Sering terjadi reaksi pleura pada lesi besar yang padat. Kelenjar
hilus biasanya membesar dan membentuk bayangan egg shell calcification.

Jika fibrosis masif progresif terjadi, volume paru berkurang dan


bronkus mengalami distorsi. Faal paru-paru menunjukkan gangguan
restriksi, obstruksi atau campuran. Kapasitas difusi dan komplians
menurun. Timbul gejala sesak napas, biasa disertai batuk dan produksi
sputum. Sesak pada awalnya terjadi pada saat aktivitas, kemudian pada
waktu istirahat dan akhirya timbul gagal kardiorespirasi.

• Silikosis Terakselerasi

Bentuk kelainan ini serupa dengan silikosis kronik, hanya perjalanan


penyakit lebih cepat dari biasanya, menjadi fibrosis masif, sering terjadi
infeksi mikobakterium tipikal atau atipik. Setelah paparan 10 tahun sering
terjadi hipoksemi yang berakhir dengan gagal napas.

Bronkitis Industri

Berbagai debu industri seperti debu yang berasal dari pembakaran


arang batu, semen, keramik, besi, penghancuran logam dan batu, asbes dan
silika dengan ukuran 3-10 mikron akan ditimbun di paru. Efek yang lama dari
paparan ini menyebabkan paralisis silia, hipersekresi dan hipertrofi kelenjar
mukus. Keadaan ini meyebabkan saluran nafas rentan terhadap infeksi dan
timbul gejala-gejala batuk menahun yang produktif. Pada pekerja tambang
batubara bila paparan menghilang, gejal klinis dapat hilang. Pada pekerja yang
berhubungan dengan tepung keadaanya Iebih kompleks. Berbagai komponen
debu padi-padian (antigen padi-padian, jamur kumbang padi, tungau,

10
endotoksin bakteri, antigen binatang, dan debu inert) berperan menimbulkan
bronkitis.

Berbagai zat telah dipastikan sebagai penyebab terjadinya bronkitis


industri sedangkan zat-zat lain kemungkinan besar atau diduga sebagai
penyebab. Pada bronkitis industri atau bronkitis kronik foto toraks dapat
normal, atau menunjukkan peningkat.an corakan bronkopulmoner terutama di
lobus bawah.

Pada awal penyakit pemeriksaan faal paru tidak menunjukkan


kelainan. Karena meningkatnya resistensi pemapasan, pada stadium lanjut
terjadi obsiruksi saluran napas yang tepat menjadi ireversibel.

Apabila telah timbul obstruksi yang ireversibel, penyakit akan berjalan


secara lambat dan progresif Pemeriksan faal paru berguna untuk menentukan
tahap perjalanan penyakit, manfaat bronkodilator, perburtikan fungsi paru dan
menentukan prognosis.

Asma Kerja

Asma kerja adalah penyakit yang ditandai oleh kepekaan saluran nafas
terhadap paparan zat di tempat kerja dengan manifestasi obstruksi saluran
nafas yang bersifat reversibel. Penyakit ini hanya mengenal sebagian pekerja
yang terpapar, dan muncul setelah masa bebas gejala yang berlangsung antara
beberapa bulan sampai beberapa tahun. Pada tiap individu masa bebas gejala
dan berat ringannya penyakit sangat bervariasi.

Berbagai debu dan zat di tempat kerja tepat menimbulkan asma kerja.
Zat itu tepat berasal dali tumbuh-tumbuhan seperti tepung gandum, debu kayu,
kopi, buah jarak, colophony, binatang seperti binatang pengerat, anjing,
kucing, kutu ganchim, ulat sutra, kerang; zat kimia seperti isosionat, garam
platina, khrom, enzim seperti iripsin dan papain. Dapat juga berasal dari obat-
obatan seperti pada produksi piperazin, tetrasiklin, spinamisin dan penisilin
sintetik.

11
Pada individu atopik keluhan asma timbul setelah bekerja 4 atau 5
tahun, sedangkan pada individu yang notatopik keluhan ini muncul beberapa
tahun Iebih lama. Pada tempat yang mengandung zat paparan kuat seperti
isosionat dan colophony gejala dapat timbul lebih awal bahkan kadang-kadang
beberapa minggu setelah mulai bekerja. Keluhan asma yang khas adalah
mengi yang berhubungan dengan pekerjaan. Gejala pada tiap individu
bervariasi, kebanyakan membaik pada akhir pekan dan waktu libur. Analisis
riwayat penyakit yang rinci penting untuk menegakkan diagnosis. Ada
individu yang terserang setelah paparan beberapa menit, pada individu lain
sering timbul beberapa jam sesudah paparan dengan gejala yang mengganggu
pada malam berikutnya.

Pemeriksaan faal paru di luar serangan dapat normal. Pada waktu


serangan terlihat tanda obstruksi. Pemeriksaan arus puncak ekspirasi
menunjukkan penurunan lebih dari 15% pada waktu serangan. Bila faal paru
normal dan pasien dicurigai menderita asma, pemeriksaan uji provokasi
bronkus merupakan pemeriksaan yang menunjang. Indikasi utama uji
provokasi bronkus adalah.

1.) Bila pekerja diduga menderita asma kerja tapi tidak diketahui zat yang
menyebabkannya.

2.) Bila pekerja terpapar oleh lebih dari satu zat yang dapat menyebabkan
asma kerja.

3.) Bila konfirmasi mutlak untuk diagnosis penyakit di perlukan, misalnya


sebelum menyuruh penderita berhenti bekerja.

Pemeriksaan lain yang tidak spesifik tapi dapat memberikan informasi

adalah uji kulit, yaitu dengan tes goresan. Sebagian penderita yang tidak

mempunyai gejala akan menunjukkan reaksi positif sesudah uji kulit. Tidak

ada hubungan yang pasti antara pekerjaan kulit dan bronkus.

12
6) Kanker Paru

Mekanisme terjadinya kanker akibat paparan zat belum diketahui


secara tuntas. Para ahli sepakat paling kurang ada 2 stadium terjadinya kanker
karena bahan karsinogen. Pertama adalah induksi DNA sel target oleh bahan
karsinogen sehingga menimbulkan mutasi sel, kemudian terjadi peningkatan
multiplikasi sel yang merupakan manifestasi penyakit.

Zat yang bersifat karsinogen dan dapat menimbulkan kanker paru


antara lain adalah asbes, uranium, gas mustard, arsen, nikel, khrom, khlor
metil eter, pembakaran arang, kalsium kiorida dan zat radioaktif serta tar
batubara.

Pekerja yang berhubungan dengan zat-zat tersebut dapat mendenta


kanker paru setelah paparan yang lama, yaitu antara 15 sampai 25 tahun.
Pekerja yang terkena adalah mereka yang bekerja di tambang, pabrik, tempat
penyulingan dan industri kimia.

3. Pencegahan dan perlindungan yang telah dilaksanakan untuk masalah keselamatan


dan kesehatan kerja pertambangan.

Undang-undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Indonesia mempunyai kerangka hukum K3 dan peraturan pertambangan yang


ekstensif, sebagaimana terlihat pada daftar peraturan pertambangan dan K3 yang
terdapat dalam tabel dibawah. Undang-undang K3 yang terutama di Indonesia adalah
Undang-Undang No. 1/ 1970 tentang Keselamatan Kerja. Undang-undang ini meliputi
semua tempat kerja dan menekankan pentingnya upaya atau tindakan pencegahan
primer. Undang-Undang No. 23/ 1992 tentang Kesehatan memberikan ketentuan
mengenai kesehatan kerja dalam Pasal 23 yang menyebutkan bahwa kesehatan kerja
dilaksanakan supaya semua pekerja dapat bekerja dalam kondisi kesehatan yang baik
tanpa membahayakan diri mereka sendiri atau masyarakat, dan supaya mereka dapat
mengoptimalkan produktivitas kerja mereka sesuai dengan program perlindungan
tenaga kerja (Departmen Kesehatan 2002). Khusus untuk bidang pertambangan
undang-undang yang mengatur dapat saya rangkum sebagai berikut :

13
Tahun Bidang/Subjek/ Nama Instansi
Sektor

1964 K3 umum Peraturan Menteri Tenaga Kerja DEPNAKERTRANS


No
7 (4/PMP/1964) yang
menetapkan
kondisi kesehatan, higiene,
pencahayaan, kelembaban,
pengaturan tata letak ruangan
dan
penempatan barang
(housekeeping),
kualitas udara di dalam ruangan,
dan
sistem ventilasi.

1967 Pertambangan Undang-undang No 11, 1967. Departmen


Peraturan pokok pertambangan Pertambangan dan
Energi

1970 K3 umum Undang-undang No 1 (1970) DEPNAKERTRANS


tentang Keselamatan Kerja.
Undang-undang ini mewajibkan
tempat kerja yang mengindahkan
keselamatan dan kesehatan
pekerja, dan pembentukan
komite kesehatan dan
keselamatan pabrik/ tempat
kerja. Pengusaha
melapor kepada instansi-instansi
pemerintah; Inspeksi-inspeksi
Pemerintah.
1973 Pertambangan Undang-undang No 19, 1973 Departmen
tentang Peraturan dan Inspeksi Pertambangan dan
Keselamatan Kerja di Area Energi
Pertambangan

1985 Asbes Peraturan Menteri Tenaga Kerja DEPNAKERTRANS


No
PER/03/MEN/1985 tentang
keselamatan dan kesehatan
dalam pemakaian asbes.
Pengusaha
berkewajiban memonitor dan

14
mengendalikan debu/ serat asbes
di lingkungan kerja, termasuk
memastikan adanya ventilasi dan
teknik penyaringan; alat
pelindung
diri bagi pekerja;
memasyarakatkan
upaya kesehatan dan
keselamatan;
dan menyelenggarakan
pemeriksaan
kesehatan bagi pekerja. Pekerja
berkewajiban memakai alat
pelindung diri, berganti pakaian,
dan
menyimpan pakaian kerja dan
alat
pelindung diri di tempat khusus
1992 Kesehatan kerja Undang-undang Kesehatan, No. DEPKES
23, 1992

1993 Pertambangan Keputusan No. Departmen


1245/K/26/DJP/93 Pertambangan dan
tentang inspeksi, keselamatan, Energi
kesehatan dan lingkungan di
pertambangan.
1995 Pertambangan Keputusan No. 555/K/26MPE/93 Departmen
tentang keselamatan dan Pertambangan dan
kesehatan Energi
di bidang pertambangan umum

1997 K3 umum Keputusan Menteri Tenaga Kerja DEPNAKERTRANS


KEP-19/M/BW/1997
tentang persyaratan terbaru untuk
audit keselamatan kerja pabrik
sebagaimana diwajibkan oleh
Undang-undang Nomor 25
(1975).
1999 Bahan-bahan Peraturan Menteri Tenaga Kerja DEPNAKERTRANS
Berbahaya PER/187/MEN/1999, untuk
melindungi pekerja dari bahaya
bahan-bahan kimia. Mewajibkan
pemberian label pada wadah
bahan kimia, disediakannya
lembar data bahan bagi
keselamatan kerja dan syarat-
syarat jumlah petugas kimia
untuk kesela$matan kerja di
perusahaan

15
Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan

Pelayanan kesehatan kerja adalah tanggung jawab Pusat Kesehatan Kerja di


bawah Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Pusat ini dibagi menjadi Seksi
Pelayanan Kesehatan Kerja, Seksi Kesehatan dan Lingkungan Kerja, dan Unit
Administrasi. Pusat ini sudah menyusun Rencana Strategis Program Kesehatan Kerja
untuk melaksanakan upaya nasional. K3 merupakan salah satu program dalam
mencapai Visi Indonesia Sehat 2010, yang merupakan kebijakan Departemen
Kesehatan saat ini. Visi Indonesia Sehat 2010 dibentuk untuk mendorong
pembangunan kesehatan nasional, meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata
dan terjangkau untuk perorangan, keluarga, dan masyarakat (Departmen Kesehatan,
2002). Tantangannya adalah bagaimana memperluas pelayanan kesehatan kerja ke
seluruh masyarakat bekerja dengan fasilitas dan infrastruktur yang terbatas. Data
dasar tentang kesehatan kerja masih kurang. Begitu pula halnya dengan sumber daya
manusia yang ada dalam hal kualitas, kuantitas dan distribusi geografis. Se€bagai
konsekuensinya, penyakit-penyakit akibat kerja tidak ditangani secara efisien
sehingga akibatnya, tindakan preventif jarang dilakukan.

Khusus untuk mencegah pekerja dari bahaya paparan debu dan partikel-partikel
wajib dilakukan hal-hal sebagai berikut :

Petugas ventilasi harus mendapat latihan dan pengalaman dalam merancang


dan mengoperasikan sistem ventilasi tambang :

• Melaporkan kepada pengusaha pertambangan tentang semua hal yang


berkenaan dengan ventilasi dan sistem pembersihan udara, karena
digunakannya sistem ventilasi yang didesain secara baik dan diawasi dengan
semestinya dapat memperkecil penyinaran zat radioaktif di udara.
• Menjamin sistem ventilasi beroperasi dengan baik seperti yang dirancang dan
melaksanakan perubahan apabila perkembangan tambang memerlukan. Desain
ventilasi dan perencanaan tambang harus dilakukan secara bersamaan dengan
tujuan untuk memperoleh sistem ventilasi sekali jalan atau paralel untuk
menjamin kualitas udara yang baik. Apabila sistem ventilasi diubah, rusak
atau dihentikan, pekerja hanya diizinkan kembali ke tempat kerja mereka
setelah sistem ventilasi beroperasi kembali.
16
• Menjamin aliran dan kecepatan udara dan sesuai dengan ketentuan tentang
ventilasi yang berlaku.
• Menjamin bahwa instrumen yang digunakan telah dikalibrasi dengan betul.
• Memimpin program pengambilan contoh dan pengendalian debu.
• Turut serta dalam program latihan, mepersiapkan atau menyetujui bahan
latihan yang berkaitandengan ventilasi dan pengendalian debu.

Petunjuk Kerja
Untuk setiap jenis tempat kerja dan tugas, Pengusaha Pertambangan harus
menjamin bahwa lembaran petunjuk kerja yang berkaitan dengan peraturan dan
prosedur proteksi radiasi yang digunakan untuk tempat kerja dan tugas tersebut,
ditempatkan atau ditempel pada tempat yang mudah dilihat, dan bahwa
pemberitahuan ini harus menggunakan bahasa (termasuk pictogram) yang dipahami
oleh semua pekerja tambang, dan bahwa semuanya itu selalu dalam keadaan masih
dapat dibaca, petunjuk kerja sebaiknya mengenai :

• Potensi bahaya terhadap kesehatan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka.


• Metoda dan teknik kerja yang aman.
• Sikap seksama yang harus dilakukan untuk membatasi penerimaan radiasi dan
pemasukan zat radioaktif dan pertimbangan dilakukannya tindakan tertentu.
• Ciri utama sistem ventilasi seluruh tambang dan pentingnya semua komponen
sistem itu bekerja sebagaimana mestinya.
• Pemeliharaan terhadap ventilasi tambahan untuk pengadaan catu udara segar
ke tempat kerja.
• Pentingnya pemanfaatan semua cara/alat untuk pengurangan debu.
• Pentingnya dan cara pencegahan sirkulasi ulang udara setempat di tempat
kerja dan di daerah yang lebih luas dari seluruh tambang.
• Perlunya melapor segera jika terjadi kemacetan sistem ventilasi kepada
pengawas atau Petugas Ventilasi.
• Pemakaian, pengoperasian dan pemeliharaan sebagaimana mestinya peralatan
monitor perorangan dan pelindung perorangan.
• Pentingnya higiene perorangan dalam membatasi pemasukan zat radioaktif.

17
• Nama-nama dokter, Petugas Proteksi Radiasi dan Petugas Ventilasi, serta
nama-nama dan alamat wakil BAPETEN dan pekerja di tambang.
• Perlu memberitahukan setiap masalah kesehatan.
• Tindakan pertolongan pertama

Pengawasan
Pengawasan bertujuan dalam mengevaluasi paparan debu terhadap pekerja dan
memperoleh data yang diperlukan untuk pengendalian batas dosis yang
diperbolehkan.
1. Dalam wilayah kerja tambang
• Mengawasi daerah kerja dimana paparan tahunan yang diterima
perorangan dapat melampaui dosis yang ditetapkan dan harus di monitor di
bawah pengawasan Petugas Proteksi dan berkonsultasi dengan Petugas
Ventilasi.
• Pemonitoran debu dan zat-zat berbahaya harus dilaksanakan secara teratur,
apabila di dalam tambang dan instalasi pengolahan terdapat kemungkinan
masuknya debu ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan atau
pencernaan. Frekuensi pemonitoran ini harus ditentukan dengan
memperhatikan konsentrasi debu dan potensi.
• Munculnya debu harus dikurangi dengan menggunakan teknik
penambangan dengan pola peledakan yang tepat, penggunaan air, dan
sebagainya, dan diharapkan tidak menyebar kemudian sebelum dibuang ke
lingkungan harus melalui filter. Penyebaran debu dikendalikan dengan
sirkulasi pertukaran udara untuk mengencerkan tingkat konsentrasi debu
yang diperbolehkan.
• Pengendalian debu sebaiknya dioperasikan terus-menerus.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Upaya Kesehatan Kerja adalah upaya penyerasian antara kapasitas kerja, beban kerja
dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa
membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat di sekelilingnya, agar diperoleh
produktivitas kerja yang optimal (UU Kesehatan Tahun 1992 Pasal 23). Konsep dasar
dari Upaya Kesehatan Kerja ini adalah : Identifikasi permasalahan, Evaluasi dan
dilanjutkan dengan tindakan pengendalian, serta perlunya penerapan konsep dasar
kesehatan kerja. Adapun penyakit-penyakit yang mungkin timbul pada pekerja
tambang adalah seperti Silokisis, Bronkitis Paru-paru, Asma kerja, dan Penyakit paru-
paru hitam tetapi resiko terswebut dapat dikurangi dengan penerapan konsep
pengaturan ventilasi oleh petugas, petunjuk kerja yang tepat, serta pengawasan
terhadap paparan debu serta partikel-partikel yang dapat menyebabkan gangguan
kesehatan kepada pekerja tambang tersebut

3.2 Saran

1. Pengusaha Pertambangan bertanggung jawab atas


pengawasan keselamatan pekerja dari bahaya debu dan zat
berbahaya. Pengusaha Pertambangan harus mengawasi agar
paparan terhadap setiap pekerja, dan zat yang masuk ke
dalam tubuhnya tetap berada dalam batas-batas yang
dizinkan.
2. Pekerja harus mentaati semua ketentuan mengenai
pengendalian dan pengawasan zat berbahaya dalam
lingkungan kerja dan tidak boleh lalai dan bahkan harus tidak
melakukan kegiatan yang mungkin membawa akibat yang
tidak semestinya bagi dirinya atau teman sekerjanya.
3. Petunjuk kerja yang berkaitan dengan peraturan dan prosedur
proteksi keselamatan dan kesehatan kerja yang digunakan
untuk tempat kerja dan tugas tersebut, ditempatkan atau
ditempel pada tempat yang mudah dilihat.

19
4. Untuk membatasi penerimaan dosis paparan debu atau pun
radiasi pada pekerja yang ditimbulkan oleh kegiatan
persiapan penambangan, penggalian, produksi, pemrosesan
dan penanganan bijih yang radioaktif harus memperhatikan
sistem pembatasan dosis, yang mencakup pembenaran
kegiatan yang dilakukan, optimasi proteksi radiasi dan
pembatasan dosis ekivalen terhadap seseorang.
5. Penggolongan daerah kerja dan pembagian daerah kerja
dilakukan untuk membatasi pekerja menerima dosis lebih dari
yang ditentukan.

20
DAFTAR PUSTAKA

• Topobroto HS; Kebijakan dan Kondisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja di


Indonesia (Policy and Condition of Occupational Safety and Health in
Indonesia); ILO-Jakarta; 2002
• Keputusan Kepala BAPETEN Nomor : 12/Ka-BAPETEN/VI-99
tentang “Ketentuan Keselamatan Kerja Penambangan Dan
Pengolahan Bahan Galian Radioaktif ”
• Undang-Undang Republik Indonesia (No. 13/ 2003) tentang Tenaga Kerja
• Yunus, Faisal. 2006. Dampak Debu Industri pada Paru Pekerja dan
Pengendaliannya. http://google.com
• Pudjiastuti, Wiwiek. 2002. Debu Sebagai Bahan Pencemar yang
Membahayakan Kesehatan kerja. http://depkes.co.id /download/debu.pdf.

21

You might also like