You are on page 1of 5

MALIN

KUNDANG

Pada jaman dahulu kala, di sebuah desa nelayan di pesisir Sumatra, hiduplah sebuah keluarga
miskin. Mereka terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak laki-laki. Begitu miskinnya mereka,
gubuk tempat tinggalnya yang terbuat dari daun dan pelepah nipah, bergoyang-goyang tertiup
angin. Pakaian mereka compang-camping. Badan mereka kurus kering karena kurang makan.
Malin Kundang, demikian nama anak laki-laki itu. Ia sebenarnya anak yang tampan, cerdas dan
tangkas. Hanya saja, tubuhnya yang kurus dan balutan baju yang buruk membuatnya tampak
sangat jelek dalam pandangan mata. Malin Kundang mempunyai bekas luka di siku tangan
kanannya. Bekas luka itu cukup besar sehingga sangat mudah terlihat. Ia pernah terjatuh sewaktu
mengejar anak-anak ayam tetangga dan terluka akibat terjerembab di atas batu.

Menyadari akan kemiskinan mereka, ayah Malin Kundang pergi merantau untuk mendapatkan
kehidupan dan pekerjaan yang lebih layak. Akan tetapi berbilang hari, bulan, dan tahun, ayah
Malin Kundang tak pernah kembali. Tinggal ibu dan anak yang malang.
Ibu Si Malin Kundang telah melupakan ayah Malin Kundang. Ia bekerja membanting tulang
untuk mengisi perut mereka. Pekerjaan apapun dilakukan asalkan halal. Perempuan itu sangat
menyayangi Malin Kundang.
Bertahun-tahun mereka lewati, kini Malin Kundang sudah beranjak remaja. Si Malin Kundang
kini sudah mulai bisa bekerja dan membantu ibunya mencari nafkah. Ketampanan, kecerdasan
dan ketangkasannya memikat banyak orang. Balutan baju buruk bertambal-tambal tidak lagi

dapat menutupi pesonanya. Hingga, suatu hari seorang nakhoda kaya raya bersandar di pantai di
kampung nelayan itu. Ia mengajak Malin Kundang untuk ikut berlayar bersamanya.
Dengan berat hati ibu Malin Kundang melepaskan kepergian anaknya. Ia hanya mengharapkan

anaknya itu selalu ingat padanya dan kampung halamannya jika telah sukses merantau dalam
pelayarannya.
Singkat cerita, ikutlah Malin Kundang berlayar dalam kapal besar itu. Ia dengan cepat menjadi
orang kepercayaan dan kesayangan nakhoda kaya. Semua suka padanya. Ia cepat belajar dan
bertumbuh menjadi lelaki dewasa yang kuat.
Pada suatu pelayaran mereka, kapal itu diserang perompak yang amat ganas. Nakhoda dan
semua awak kapal terbunuh. Barang-barang berharga dan bermacam perhiasan dirampas. Untung
nasib, para bajak laut itu tak menyadari Malin Kundang yang bersembunyi dalam suatu lubang
sempit di dalam kapal. Tak ada barang apapun yang disisakan di kapal itu saat para perompak
meninggalkan dan menenggelamkannya. Berhari-hari Malin Kundang terkatung-katung di
tengah samudra hingga akhirnya terdampar di sebuah desa yang sangat kaya. Desa itu sangat
subur dan pelabuhannya sangat maju.
Di desa ini Malin Kundang ditolong orang-orang desa. Ia kemudian memulai hidup baru dengan
bekerja. Dengan cepat ia disukai banyak orang. Ia dengan cepat pula menjadi saudagar yang
kaya raya. Rupanya, kecerdasan, ketampanan, dan ketangkasan serta pengalaman hidupnya yang
banyak telah mengantarkannya kepada kesuksesan. Ia kemudian menikah dengan seorang putri
saudagar yang kaya. Saudagar itu memiliki banyak kapal-kapal besar untuk urusan
perdagangannya. Malin Kundang bersama istrinya yang cantik jelita kemudian sering bepergian
dalam urusan perniagaan.
Malin Kundang malu dengan keadaan ibunya yang tua renta dan compang-camping
Di kampung halamannya, berita tentang keberhasilan Malin Kundang telah sering didengar oleh
ibunya yang kini telah menjadi tua dan renta. Perempuan tua itu sangat merindukan anaknya. Ia
yakin suatu saat anaknya yang gagah dan kaya itu akan menjemputnya. Setiap sore ia
menantikan Malin Kundang di dermaga. Ia berharap Malin Kundang akan menjemputnya.
Pada suatu sore yang tenang, sebuah kapal besar merapat ke dermaga tempat di mana ibu Malin
Kundang duduk setia menanti. Ketika si saudagar kaya pemilik kapal dan dan istrinya keluar
berdiri di haluan kapal, yakinlah ibu Malin Kundang bahwa saudagar kaya itu adalah anaknya.
Baju yang indah dan segala perhiasan yang menempel di tubuh anaknya itu tidak membutakan
matanya. Ia masih dapat mengenali Malin Kundang. Perempuan tua itu semakin yakin ketika ia
melihat bekas luka di tangan anaknya itu. Luka bekas terjatuh ketika Malin Kundang mengejar
anak-anak ayam.
Ibu Malin Kundang langsung memeluk anaknya ketika saudagar itu turun dari kapal bersama
istrinya. Ia mengucapkan kegembiraannya bahwa Malin Kundang anaknya telah menjadi orang
yang berhasil dalam perantauan.
Akan tetapi, sungguh di luar dugaan ibunya. Malin Kundang merasa malu memiliki ibu yang tua
renta dengan baju yang buruk compang-camping. Di hadapan istrinya, ia mengatakan bahwa ia
bukanlah anak dari perempuan tua itu.

Sungguh amat terluka hati ibu Malin Kundang. Anak satu-satunya yang sangat disayanginya itu
telah menyakitinya. Ia berusaha meyakinkan Malin Kundang bahwa ia memang ibunya. Tetapi
Malin Kundang yang hanya karena perasaan malu mempunyai ibu yang buruk rupa terus
berusaha menyanggah. Ia bahkan menjadi marah. Malin Kundang membentak dan mendorong
ibunya hingga terjatuh ke tanah.
Akhirnya, perempuan tua itu menyerah. Sambil menangis Ia menadahkan tangan dan berdoa.
Ya Allah, jadikanlah anak durhaka ini sebagai kisah untuk pelajaran berharga di masa datang.
Jadikanlah ia batu karena telah durhaka kepada ibu kandungnya sendiri.
Si Malin Kundang yang kesal dan marah segera mengajak istrinya naik ke kapal. Mereka segera
mengangkat sauh dan berlayar. Tetapi hanya sekejap, badai datang menerjang. Ombak samudra
bergulung-gulung. Kapal Malin Kundang yang besar dan kuat diombang-ambingkan, hingga
pecah terbelah. Malin Kundang jatuh ke laut dan terdampar di pantai. Ia berusaha meminta
ampun kepada ibunya, tetapi kutukan telah datang. Ketika ia bersimpuh, petir menyambar.
Semua telah terlambat. Malin Kundang berubah menjadi batu. Ia menjadi pelajaran bagi
siapapun yang durhaka kepada ibu.

AMANAT : Jangan Durhaka Kepada Orang Tua

Laporan
Cerita

Ferdy Sanajaya
VIII-2 SMPN 234
Jakarta

You might also like