Professional Documents
Culture Documents
id
digilib.uns.ac.id
ACHMAD MUSA
G 0008189
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul : Perbedaan Lama Rawat Inap dan Biaya Perawatan
antara Terapi Teknik Konvensional dan Laparaskopi pada Pasien Apendisitis di
RSUD Dr. Moewardi
Achmad Musa., NIM : G0008189, Tahun : 2011
Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada hari Senin, Tanggal 9 Januari 2012
Pembimbing Utama
Nama
: Agus Raharjo, dr., Sp.B., KBD
NIP
: 19680927 200604 1 001
(..................................)
Pembimbing Pendamping
Nama
: Muthmainah, dr., M.Kes
NIP
: 19660702 199802 2 001
(..................................)
Penguji Utama
Nama
: H. Djoko Dlidir, dr., Sp.B., K.Onk
NIP
: 140050515
(..................................)
Anggota Penguji
Nama
: H. Endang Sutisna Sulaeman, dr., M.Kes
NIP
: 19560320 198312 1 002
(..................................)
Surakarta,........................2011
Dekan FK UNS
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan
sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah
dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Achmad Musa
NIM. G0008189
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Achmad Musa, G0008189, 2011. Perbedaan Lama Rawat Inap dan Biaya
Perawatan antara Terapi Teknik Konvensional dan Laparaskopi pada Pasien
Apendisitis di RSUD Dr. Moewardi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Achmad Musa, G0008189, 2011. The Hospital Stay Length and Medical Cost
Difference between Conventional and Laparoscopy Technique in Appendicitis
Patients in Moewardi Hospital. Medical Faculty of Sebelas Maret University
Surakarta
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PRAKATA
Alhamdulillaah, puji syukur ke hadirat Allah S.W.T yang telah memberikan berkat,
hidayah,, dan kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penyusunan laporan penelitian dengan judul Perbedaan Efisiensi Terapi Teknik
Konvensional dan Laparaskopi pada Pasien Apendisitis di RSUD Dr. Moewardi.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kendala dalam
penyusunan skripsi ini dapat teratasi atas pertolongan Allah SWT melalui bimbingan
dan dukungan banyak pihak. Untuk itu, perkenankan penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Muthmainah, dr., M.Kes, selaku ketua tim skripsi beserta tim skripsi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Agus Raharjo, dr., Sp.B, KBD, selaku Pembimbing Utama yang telah banyak
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan nasehat.
4. Muthmainah, dr., M.Kes, selaku Pembimbing Pendamping yang telah banyak
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan nasehat.
5. H. Djoko Dlidir, dr., Sp.B, K.Onk, selaku Penguji Utama yang telah
memberikan bimbingan dan nasihat.
6. H. Endang Sutisna Sulaiman, dr., M.Kes, selaku Anggota Penguji yang telah
memberikan bimbingan dan nasehat.
7. Seluruh Staff dan Perawat Poliklinik Bedah RSUD Dr. Moewardi yang telah
memberi banyak bantuan dalam penelitian ini.
8. Bapak, Ibu, adik-adik serta seluruh keluarga yang telah memberi dukungan
moral, material, serta senantiasa mendoakan untuk terselesaikannya skripsi ini.
9. Semua pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini dapat
bermanfaat bagi pembaca. Saran, pendapat, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak
sangat diharapkan.
Surakarta, 9 Januari 2012
Achmad Musa
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
PRAKATA ................................................................................................................
vi
ix
1. Apendiks.............................................................................................
2. Apendisitis..........................................................................................
16
16
B. Lokasi Penelitian............................................................................
16
commit.........................................................
to user
C. Sampel dan Teknik Sampling
16
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
F.
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2
2001).
prosedur
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis: diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang
terapi konvensional dan laparaskopi pada pasien apendisitis.
2. Manfaat Aplikatif: diharapkam dapat mengetahui perbedaan lama
rawat inap dan biaya perawatan terapi teknik konvensional dengan
laparaskopi sehingga dapat mempersingkat lama rawat inap dan
menekan biaya yang dikeluarkan oleh pasien.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Apendiks
a. Anatomi Apendiks Vermiformis
Apendiks vermiformis atau yang sering disebut apendiks saja, pada manusia
merupakan struktur tubular yang rudimenter dan tanpa fungsi yang
jelas. Apendiks
berkembang dari posteromedial dengan panjang bervariasi dengan rata-rata antara 6-10 cm
dan diameter antara 0,5-0,8 cm. Posisi apendiks dalam rongga abdomen juga bervariasi,
tersering berada posterior dari sekum atau kolon asendens. Hampir seluruh permukaan
apendiks dikelilingi oleh peritoneum, dan mesoapendiks (mesenter dari apendiks) yang
merupakan lipatan peritoneum berjalan kontinyu disepanjang apendiks dan berakhir di
ujung apendiks. (Segal dan Petras, 1992)
Vaskularisasi dari apendiks berjalan sepanjang mesoapendiks kecuali di ujung
dari apendiks di mana tidak terdapat mesoapendiks. Arteri apendikular, derivat cabang
inferior dari arteri iliocoli yang merupakan cabang trunkus mesenterik superior. Selain
arteri apendikular yang memperdarahi hampir seluruh apendiks, juga terdapat kontribusi
dari arteri asesorius. Untuk aliran balik, vena apendiseal cabang dari vena ileocoli berjalan
ke vena mesenterik superior dan kemudian masuk ke sirkulasi portal. Drainase limfatik
berjalan ke nodus limfe regional seperti nodus limfatik ileocoli. Persarafan apendiks
merupakan cabang dari nervus vagus dan pleksus mesenterik superior (simpatis) (Segal
dan Petras, 1992).
commit to user
4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5
Secara umum, permukaan eksternal apendiks tampak halus dan berwarna merah
kecoklatan hingga kelabu. Permukaan dalam atau mukosa secara umum sama seperti
mukosa kolon, berwarna kuning muda dengan permukaan nodular, dan komponen limfoid
yang prominen. Komponen folikel limfoid ini mengakibatkan lumen dari apendiks
seringkali berbentuk irreguler (stelata) pada potongan melintang dengan diameter 1-3 cm
(Rosai, 1996).
b. Perkembangan Embriologi Apendiks Vermiformis
Apendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8 yaitu
bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari
sekum yng berlebih akan menjadi apendiks, yang berpindah dari medial menuju katup
ileosekal (Sjamsuhidayat, 2004 ).
Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke
arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya kasus insiden apendisitis
pada usia tersebut. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang
mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal,
yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens.
Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks (Sjamsuhidayat, 2004 ).
c. Fisiologi Apendik Vermiformis
Apendik menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan
ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara
apendik tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis (Sjamsuhidayat, 2004).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7
lubang penghubung apendiks dan sekum tersebut. Jaringan limfa pada apendiks dapat
membengkak dan menutup apendiks (Lee, 2009). Hiperplasia limfoid primer maupun
sekunder karena infeksi saluran pernapasan atas, mononucleosis, gastroenteritis, penyakit
Crohn, ataupun infeksi parasit seperti cacing Oxyuris vermicularis, Schistosoma dan
Strongyloides. Terjadinya obstruksi ini juga dapat terjadi karena benda asing seperti
permen karet, kayu, dental amalgam, batu, sisa makanan, barium dan metastasis tumor.
Dapat juga terjadi karena endometriosis (Fenoglio et al., 2008). Penyebab tersering dari
obstruksi adalah fecalith (Rosai, 1996).
Obstrusi tersebut kemudian menyebabkan resistensi mukosa apendiks terhadap
invasi mikroorganisme. Obstruksi ini diyakini meningkatkan tekanan di dalam lumen
(Rosai, 1996). Ketika tekanan mural apendiks meningkat, tekanan luminal mulai
meningkatkan tekanan perfusi kapiler. Drainase vena dan limfa terganggu dan terjadi
iskemia. Sebagai hasilnya, terjadi pemecahan pertahanan mukosa epitel. Sekarang bakteri
luminal dapat menginvasi dinding apendiks menyebabkan inflamasi transmural.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
Inflamasi ini dapat meluas ke serosa, peritoneum parietal, dan organ lain yang berdekatan
(Graffeo dan Counselman, 1996).
Peningkatan tekanan tersebut menyebabkan adanya kontinuitas aliran sekresi
cairan dan mukus dari mukosa dan stagnasi dari material tersebut. Konsekuensinya,
terjadi iskemia dinding apendiks, yang menyebabkan hilangnya keutuhan epitel dan
invasi bakteri ke dinding apendiks. Bakteri intestinal yang ada di dalam apendiks
bermultiplikasi, hal ini menyebabkan rekruitmen dari leukosit, pembentukan pus dan
tekanan intraluminal yang tinggi. Dalam 24-36 jam, kondisi ini dapat semakin parah
karena trombosis dari arteri maupun vena apendiks yang menyebabkan perforasi dan
gangren apendiks (Rosai, 1996).
3. Apendisitis Akut Perforasi
Komplikasi dari apendisitis akut yang paling sering adalah perforasi. Perforasi
dari apendiks dapat menyebabkan timbulnya abses periapendisitis, yaitu terkumpulnya
pus yang terinfeksi bakteri atau peritonitis difus (infeksi dari dinding rongga abdomen
dan pelvis) (Lee, 2009). Apendiks menjadi terinflamasi, bisa terinfeksi dengan bakteri
dan bisa dipenuhi dengan pus hingga pecah, jika apendiks tidak diangkat tepat waktu.
Pada apendisitis perforasi, terjadi diskonuitas pada lapisan muskularis apendiks yang
terinflamasi, sehingga pus di dalam apendiks keluar ke rongga perut. Apendiks yang
perforasi ini belum tentu akan menyebabkan ruptur apendiks (Santacroce, 2006).
Alasan utama dari perforasi apendiks adalah tertundanya diagnosis dan
tatalaksana. Pada umumnya, makin lama penundaan dari diagnosis dan tindakan bedah,
kemungkinan terjadinya perforasi semakin besar. Untuk itu, jika apendisitis telah
didiagnosis, tindakan pembedahan harus dilakukan (Santacroce. 2006).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9
4. Apendisitis Kronis
Keberadaan apendisitis kronis masih kontroversial, tetapi para ahli bedah
menemukan banyak kasus di mana pasien dengan nyeri abdomen kronik, sembuh setelah
apendiktomi. Para ahli bedah sepakat bahwa ketika apendiks tidak terisi atau hanya terisi
sebagian oleh barium enema dengan keluhan nyeri abdomen kanan bawah yang bersifat
krnoik intermitten, maka diagnosis apendisitis kronis sangat mungkin (Santacroce, 2006).
Apendisitis kronis lebih jarang terjadi daripada apendisitis akut dan lebih sulit
untuk didiagnosis, insidensinya hanya 1% di Amerika Serikat. Untuk mendiagnosis
apendisitis kronis paling tidak harus ditemukan 3 hal yaitu (1) pasien memiliki riwayat
nyeri kuadran kanan bawah abdomen selama paling sedikit 3 minggu tanpa alternatif
diagnosis lain; (2) setelah dilakukan apendektomi, gejala yang dialami pasien tersebut
hilang; (3) secara histopatologik, gejalanya dibuktikan sebagai akibat dari inflamasi
kronis yang aktif pada dinding apendiks atau fibrosis pada apendiks (Santacroce, 2006).
Menurut Crabbe et al (1986), studi yang dilakukan pada 205 pasien yang telah menjalani
apendektomi, 21 pasien, yaitu (10%) memenuhi kriteria apendisitis rekuren, sementara 3
pasien (1,5%) memenuhi kriteria apendisitis kronis atau rekuren berdasarkan riwayat
perjalanan penyakit dan temuan histopatologi dari infiltrasi limfosit dan eosinofil pada
dinding apendiks dan terdapat fibrosis.
Banyak apendiks yang diperiksa dengan otopsi atau diangkat secara elektif
berukuran kecil, tanpa lumen, dan secara histologis, mukosa dan jaringan limfoidnya
atrofik dan submukosa sering digantikan dengan jaringan fibrosis dan lemak. Dan sulit
untuk memutuskan apakah perubahan ini adalah merupakan hasil dari atropi fisiologis
atau berasal dari inflamasi akut sebelumnya. Penelitian yang membandingkan apendiks
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10
dari pasien dengan gejala yang menunjukkan apendisitis dengan apendiks yang diangkat
tanpa gejala, telah menunjukkan perbedaan yang sangat sedikit pada gambara patologi
(Morson dan Dawson, 1990).
Untuk mendiagnosis apendisitis kronis, harus ada bukti inflamasi kronis yang
aktif dengan infiltrasi pada lapisan muskularis dan serosa oleh limfosit dan sel plasma.
Telah ada laporan yang mengatakan adanya besi pada apendiks merupakan indikator
untuk inflamasi dalam 6 bulan (Morson dan Dawson, 1990).
Gejala yang dialami pasien apendisitis kronis tidak jelas, dan progresifnya bersifat
lambat. Terkadang, pasien mengeluh nyeri pada kuadran kanan bawah yang intermiten
atau persisten selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Pada apendisitis kronis,
sumbatan hanya bersifat parsial, dengan lebih sedikit invasi bakteri. Sekalipun gejala dan
progresi tidak sehebat apendisitis akut, apendisitis kronis tetaplah berbahaya jika
dibiarkan tanpa ditangani (Birnbaum dan Wilson, 2006).
Mekanisme pastinya tidak jelas, walaupun obstruksi luminal juga dapat terjadi.
Penyakit seperti colitis ulseratif, sarcoidosis, poliarteritis nodosa, penyakit Crohn,
tuberkulosis, dan lain-lain dapat berhubungan dengan apendisitis kronis (Graffeo dan
Counselman, 1996).
5. Tata Laksana
a. Konvensional
Pembedahan teknik konvensional merupakan prosedur pembedahan yang
digunakan untuk tindakan apendisitis. Prosedur ini dilakukan dengan membuang
apendiks yang terinfeksi dengan satu insisi besar pada abdomen kuadran kanan bawah
(Lee, 2009).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
Insisi sepanjang 5-7,5 cm dibuat pada kulit dan lapisan dinding perut di atas area
apendiks yaitu pada kuadran kanan bawah abdomen. Setelah insisi dibuat ahli bedah akan
melihat daerah sekitar apendiks, apakah ada masalah lain selain apendisitis, jika tidak
ada, apendiks akan diangkat. Pengangkatan apendiks dilakukan dengan melepaskan
apendiks dari perlekatannya dengan mesenterium abdomen dan kolon, menggunting
apendiks dari kolon, dan menjahit lubang pada kolon tempat apendiks sebelumnya. Jika
ada abses, pus didrainase. Insisi tersebut lalu dijahit dan ditutup (Lee, 2009).
b. Laparoskopi
Menurut Sabiston (2001), pembedahan teknik laparoskopi, yang juga disebut
Minimal Invasive Surgery (MIS), adalah teknik pembedahan dimana pengoperasian
pembedahan pada abdomen dilakukan melalui insisi kecil sepanjang 0,5-1,5 cm. Dengan
pembedahan ini kita bisa melihat langsung apendiks, organ abdomen dan pelvis yang
lain. Jika apendisitis ditemukan, apendiks dapat langsung diangkat melalui insisi kecil
tersebut. Pada diagnosa apendiks yang meragukan, pembuangan apendik disarankan
dengan metode laparoskopi. Berikut merupakan gambar dari teknik laparaskopi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
Laparaskopi
Konvensional
Insisi
0.5-1.5 cm
5-7,5 cm
Nyeri
Lebih sedikit
Lebih nyeri
Rawat inap
Lebih sebentar
Lebih lama
Risiko infeksi
Lebih rendah
Lebih tinggi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
banyak ahli telah merekomendasikan pada CEA sedapat mungkin menggunakan QALYs
(Nord, 2001).
B. Kerangka Pikir
Penderita Suspek
Apendisitis
Eksklusi:
1. Peritonitis
2. DM
3. Perforasi
4. Hipertensi
Diagnosis
Apendisitis
Teknik Konvensional:
Teknik Laparoskopi:
1. Insisi 0,5-1,5 cm
2. Lebih tidak nyeri
dibandingkan dengan
konvensional
3. Rawat inap lebih
sebentar
4. Resiko infeksi lebih
rendah
1. Insisi 5-7,5 cm
2. Lebih nyeri
dibandingkan
laparaskopi
3. Rawat inap lebih lama
4. Resiko infeksi lebih
tinggi
Efisiensi terapi
1. Kelebihan
2. Kekurangan
commit to user
Efisiensi terapi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
C. Hipotesis
Terdapat perbedaan lama rawat inap dan biaya perawatan dari terapi teknik
konvensional dan laparaskopi pada pasien apendisitis.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan
cross sectional. Penelitian cross sectional merupakan penelitian yang
dilakukan tanpa mengikuti perjalanan penyakit, tetapi dilakukan
pengamatan sesaat atau dalam suatu periode tertentu (Budiarto, 2004).
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di RSUD Dr. Moewardi.
C. Sampel dan Teknik Sampling
1.
Teknik Sampling
Pengambilan sampel pada penelitian ini dengan cara incidental
Besar Sampel
Besar
sampel
yang
dibutuhkan
dalam
penelitian
commit to user
16
ini
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
n = 1,962.0,06.0,94
(0,050)2
n = 86,67 = 87
Keterangan:
n = besarnya sampel yang diperlukan
p = perkiraan prevalensi penyakit yang diteliti atau paparan
populasi (6%)
q =1 p
Z = nilai statistik Z pada kurve normal standar pada tingkat
kemaknaan (1,65 untuk 90%, 1,96 untuk 95%, dan 2,58 untuk
99%)
d = presisi absolut yang dikehendaki pada kedua sisi proporsi
populasi (dalam penelitian ini peneliti menggunakan tingkat
kepercayaan 0,05)
Dengan perhitungan di atas diperoleh besar sampel minimal
87 dengan kriteria restriksi penelitian sebagai berikut:
a.
Kriteria Inklusi:
1. Semua pasien penderita apendisitis yang di rawat di bangsal
kelas I.
2. Pasien apendisitis pada usia 20 39 tahun.
3. Terapi dengan teknik konvensional dan teknik laparaskopi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
b. Kriteria Ekslusi:
1. Penderita dengan komplikasi apendisitis, yaitu:
a. Peritonitis
b. Perforasi
2. Penderita dengan kelainan penyerta, yaitu :
a. Diabetes Mellitus.
b. Hipertensi
D. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional analitik
dengan pendekatan cross sectional dimana variabel bebas dan variabel
terikat diobservasi hanya sekali pada saat yang sama (Budiarto, 2004).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
Teknik
apendiktomi
konvensional
Apendisitis
sesuai kriteria inklusi
Teknik
apendiktomi
laparoskopi
Analisis cost
effectiveness
Interpretasi hasil
dan
kesimpulan
dengan
teknik
konvensional adalah
prosedur
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
sepanjang 0,5-1,5 cm yang kemudian pada insisi tersebut untuk dilalui alat
untuk prosedur pembedahan.
Skala ukuran variabel: nominal
2. Lama Rawat Inap dan Biaya Perawatan
Lama rawat inap diukur sejak pasien mendapatkan terapi yang berupa
prosedur pembedahan sampai dengan pulang dan bukan merupakan atas
permintaan sendiri. Sedangkan biaya diukur dari besarnya biaya yang
dibutuhkan pasien untuk operasi dan kamar inap sejak masuk rumah sakit
sampai dengan pulang dan bukan merupakan atas permintaan sendiri dan
dihitung dalam rupiah.
Skala ukuran variable: ratio
G. Cara Kerja
Penderita apendisitis datang ke UGD atau POLI dan diperiksa oleh
Dokter ahli. Setelah diagnosis pasti ditegakkan, akan dipilih teknik
apendektomi yang akan digunakan dalam operasi. Teknik yang akan
menjadi pilihan adalah teknik konvensional dan laparoskopi apendektomi.
Data pasien serta teknik apendektomi yang digunakan dalam operasi akan
didata pada Rekam Medis.
Di data Rekam Medis peneliti mendapatkan data tentang:
a. Jenis teknik apendektomi yang digunakan.
b. Kelainan penyerta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Data Peneliian
Penelitian dilaksanakan di Poliklinik Bedah dan Bagian Rekam Medik RSUD Dr.
Moewardi terhadap 87 pasien apendisitis mulai bulan Januari sampai dengan bulan
November 2011. Rincian dari 87 pasien tersebut adalah didapatkan 65 pasien menggunakan
terapi konvensional dan 22 pasien menggunakan terapi laparaskopi.
Karakteristik pasien berdasarkan umur dan jenis kelamin seperti terlihat pada tabel 1 di
bawah ini.
Tabel 1. Karakterisitik Pasien Berdasar Umur dan Jenis Kelamin (data terlampir di
halaman lampiran).
Terapi
Umur
Jenis kelamin
Jumlah
20-24
25-29
30-34
35-39
Pria
Wanita
Konvensional 23%
22%
28%
28%
29
36
65
Laparaskopi
27%
14%
32%
27%
10
12
22
Pada tabel di atas diketahui bahwa umur yang didapat adalah antara umur 20-39, hal ini
sesuai dengan kriteria inklusi yaitu pasien apendisitis yang berada pada umur decade II dan
III. Kemudian dari hasil penelitian diketahui bahwa jumlah pasien dengan rentang umur 3034 tahun dan 35-39 tahun merupakan pasien apendisitis yang mendapat terapi konvensional
terbanyak. Sedangkan pada pasien apendisitis yang mendapat terapi laparaskopi terbanyak
adalah pasien dengan rentang umur 30-34 tahun.
commit to user
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
Tabel 2. Perbandingan Lama Rawat Inap dan Besar Biaya antara Tteknik Konvensional
dan Laparaskopi (data terlampir di halaman lampiran).
Kelompok
Jumlah
Rerata Standar Deviasi
Lama rawat inap
(hari)
Laparaskopi
Konvensional
Total
22
65
87
Besar biaya
(juta rupiah)
2,45 0,8
4,4 1,02
2,77 88,05
2,48 112,67
Pada tabel di atas terlihat bahwa pasien yang mendapat terapi laparaskopi mengalami
rerata lama rawat inap yang lebih singkat (2,45 hari) daripada pasien yang mendapat terapi
konvensional. Sedangkan rerata besar biaya pada pasien yang mendapat terapi laparaskopi
lebih besar (4,4 hari) daripada pasien dengan terapi konvensional.
Tabel 3. Daftar Biaya Operasi dan Rawat Inap antara Teknik Konvensional dan
Laparaskopi.
Teknik Operasi
Konvensional
Rp 2.000.000,0-
Rp 110.000,0-
Laparaskopi
Rp 2.500.000,0-
Rp 110.000,0-
dan 5 berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
Tabel 4. Hasil Uji Normalitas Umur dan Lama Rawat Inap pada Pasien yang Mendapat
Terapi Konvensional.
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
df
Shapiro-W ilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
rawatinapkonvensional
.272
65
.000
.876
65
.000
umurkonvensional
.138
65
.003
.936
65
.002
Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Umur dan Lama Rawat Inap pada Pasien yang Mendapat
Terapi Laparaskopi.
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
df
Shapiro-W ilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
rawatinaplaparaskopi
.387
22
.000
.681
22
.000
umurlaparaskopi
.127
22
.200*
.940
22
.196
Pada kedua tabel di atas didapatkan interpretasi hasil uji Kolmogorov-Smirnov untuk
umur dan lama rawat inap pada pasien yang mendapat terapi konvensional dan hasil uji
Shapiro-Wilik untuk umur dan lama rawat inap pada pasien yang mendapat terapi
laparaskopi. Dari kedua data di atas di dapatkan nilai p = 0,000 dan p = 0,003 pada uji
Kolmogorov-Smirnov yang berarti distribusi data tidak normal kemudian pada hasil uji
Shapiro-Wilik didapatkan p = 0,000 dan p = 0,196. Hasil uji Shapiro-wilik ini didapatkan
salah satu hasil distribusi data normal, tetapi karena ada distribusi data yang tidak normal
maka distribusi data tersebut dianggap tidak normal. Karena distribusi data tidak normal
maka dilakukan transformasi data. Hasil transformasi data dapat dilihat pada tabel 6 dan 7 di
bawah ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
Tabel 6. Hasil Uji Normalitas Transformasi Data Umur dan Lama Rawat Inap pada
Pasien yang Mendapat Terapi Konvensional.
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
rawatinaptrans
.237
65
.000
.888
65
.000
umurtrans
.148
65
.001
.929
65
.001
Tabel 7. Hasil Uji Normalitas Transformasi Data Umur dan Lama Rawat Inap pada
Pasien yang Mendapat Terapi Laparaskopi.
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
umurrawatinaplaparas
.394
22
.000
.686
22
.000
umurlaparas
.123
22
.200*
.933
22
.143
Dari hasil uji transformasi di atas didapatkan distribusi data tidak normal oleh karena
itu, data diuji dengan uji Spearman. Hasil uji Spearman dapat dilihat pada tabel 8 di bawah
ini.
Tabel 8. Hasil Uji Spearman Hubungan Umur dan Lama Rawat Inap untuk Terapi
Konvensional.
Correlations
umurkonvens
Spearman's rho
umurkonvens
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
rawatinapkonven
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
rawatinapkonven
1.000
-.186
.137
65
65
-.186
1.000
.137
65
65
Interpretasi hasil Uji Spearman didapatkan p= 0,137 yang dapat diartikan bahwa
hubungan umur dengan lama rawat inap pada pasien yang mendapat terapi konvensional ini
tidak bermakna. Hasil bermakna adalah jika p< 0,05.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
Tabel 9. Hasil Uji Spearman Hubungan Umur dan Lama Rawat Inap untuk Terapi
Laparaskopi.
Correlations
umurlaparas
Spearman's rho
umurlaparas
Correlation Coefficient
1.000
.106
.638
22
22
Correlation Coefficient
.106
1.000
Sig. (2-tailed)
.638
22
22
Sig. (2-tailed)
N
rawatinaplaparas
rawatinaplaparas
Interpretasi hasil Uji Spearman didapatkan p = 0,638 yang dapat diartikan bahwa
hubungan umur dengan lama rawat inap pada pasien yang mendapat terapi laparaskopi ini
tidak bermakna. Hasil bermakna adalah jika P < 0,05.
2. Perbandingan Lama Rawat Inap dan Biaya Perawatan antara Terapi Konvensional
dan Laparaskopi
Data lama rawat inap dan besar biaya yang diperoleh dalam penelitian kemudian
dianalisis dengan uji t independent menggunakan SPSS versi 17.0. Syarat uji T independent
yaitu data harus berdistribusi normal, dan varians data bisa sama ataupu berbeda. Jika data
berdistribusi tidak normal dilakukan terlebih dahulu trasnformasi data, jika hasil
transformasi berdistribusi normal maka dipakai uji t independent. Namun jika hasil
trasnformasi tidak berdistribusi normal maka dipilih uji Mann-Whitney. Uji normalitas pada
penelitian ini dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
Hasil uji normalitas terhadap data lama rawat inap dan biaya terangkum dalam tabel 10
berikut ini.
Tabel 10. Uji Normalitas Lama Rawat Inap dan Besar Biaya
Kelompok
Nilai p
Lama rawat
inap
0,00
konvensional
laparaskopi
Besar biaya
0,00
0,00
0,00
Interpretasi hasil uji Kolmogorov-Smirnov adalah jika p > 0.05 berarti distribusi data
normal. Tabel di atas menunjukkan bahwa data lama rawat inap dan besar biaya mempunyai
nilai p = 0,00 yang menunjukkan distribusi data tersebut tidak normal.
Karena pada uji normalitas data tidak berdistribusi normal maka dilakukan transformasi
data. Hasil trasnformasi data terangkum dalam tabel 11 dan 12 berikut.
Tabel 11. Hasil Uji Normalitas Transformasi Data Rawat Inap
Kolmogorov-Smirnov
TeknikApendiktomi
transform
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Laparoskopi
.350
22
.000
.793
22
.000
Konvensional
.266
65
.000
.881
65
.000
.223
df
Shapiro-W ilk
Sig.
87
.000
Statistic
.916
commit to user
df
Sig.
87
.000
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
Dari dua hasil uji statistik di atas didapatkan hasil trasnformasi data tidak normal
sehingga syarat uji parametrik tidak terpenuhi. Oleh karena itu, data diuji dengan uji statistik
nonparametrik (Uji Mann-Whitney).
Hasil uji Mann-Whitney terhdap lama rawat inap dan besarnya biaya terangkum dalam
tabel 13 berikut ini.
Tabel 13. Uji Mann-Whitney Data Lama Rawat Inap dan Besar Biaya
Lama Rawat Inap
Mann-Whitney
Teknik
Konvensional
109,5
p
0,00
Besar Biaya
Mann-Whitney
36,0
p
0,00
dan Laparaskopi
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa dari hasil uji Mann-Whitney, didapatkan nilai p =
0,00 (p < 0,05) berarti terdapat perbedaan lama rawat inap dan besarnya biaya yang
bermakna antara kelompok pasien yang dioperasi dengan teknik konvensional dan
laparaskopi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V
PEMBAHASAN
commit to user
29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
dimana pasien yang mendapat terapi bedah konvensional harus lebih lama berada di rumah
sakit tetapi diharuskan membayar biaya terapi dan rawat inap yang lebih kecil, sedangkan
pada pasien yang mendapat terapi bedah laparaskopi lebih sebentar berada di rumah sakit
tetapi biaya terapi bedah dan rawat inap yang lebih besar.
Hal ini disebabkan karena pada pasien apendisitis yang mendapat terapi bedah
konvensional mendapat luka operasi yang lebih besar sehingga penyembuhan pada pasien
ini lebih lama dan rawat inap di rumah sakit menjadi lebih lama, sedangkan pasien
apendisitis yang mendapat terapi bedah laparaskopi mendapat luka operasi yang lebih kecil
sehingga penyembuhannya pun lebih cepat dan rawat inap di rumah sakit menjadi lebih
singkat juga.
Menurut studi di Amerika yang dilakukan oleh Robert (1995), bahwa prosedur
operasi bedah laparaskopi lebih banyak keuntunganya daripada prosedur operasi bedah
konvensional yaitu morbiditas lebih rendah, perawatan di rumah sakit lebih cepat, dan
proses penyembuhan lebih cepat. Meskipun demikian data yang diperoleh oleh peneliti di
RSUD Dr. Moewardi menunjukkan bahwa lebih banyak pasien yang memilih untuk
dioperasi melakukan prosedur bedah konvensional dikarenakan biaya yang lebih murah
dibandingkan dengan prosedur bedah laparaskopi. Penelitian yang dilakukan oleh Robert
di Amerika sesusai dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti di RSUD Dr.
Moewardi, dimana hasil yang didapat adalah perawatan di rumah sakit yang lebih cepat
dikarenakan tingkat penyembuhan yang lebih cepat, dan besar biaya yang didapat lebih
mahal untuk dilakukan prosedur operasi bedah laparaskopi.\
Menurut studi di Inggris yang dilakukan oleh Andre Chow dan Omar Omer Aziz
(2010), teknik operasi laparaskopi sudah menjadi gold standard pada pasien apendisitis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
akut. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, dimana pasien dapat memilih
teknik apendiktomi. Mungkin hal ini dikarenakan status ekonomi yang berbeda antara
Inggris dengan Indonesia.
Penelitian ini memiliki beberapa kelemahan dalam pelaksanaannya. Kelemahankelemahan tersebut antara lain kesulitan dalam mencari sampel pasien yang mendapat
terapi bedah laparaskopi yang sesuai kriteria inklusi dikarenakan lebih banyak pasien yang
memilih dilakukan prosedur bedah konvensional.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan lama rawat inap dan besar biaya perawatan dari terapi teknik konvensional dengan
laparaskopi pada pasien apendisitis yang signifikan. Pasien apendisitis yang menggunakan
terapi laparaskopi dirawat di rumah sakit lebih sebentar tetapi total biaya perawatan lebih
mahal, sedangkan pasien apendisitis yang dirawat dengan terapi konvensional dirawat di
rumah sakit lebih lama tetapi total biaya perawatan lebih murah.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka saran-saran penulis adalah sebagai
berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terutama dalam hal risiko infeksi dan efek
psikologis pasien setelah dilakukan operasi.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengukur parameter lain sehingga dapat
memberi gambaran sebenarnya terhadap teknik apendiktomi.
commit to user
32