You are on page 1of 9

LAPORAN ILMU PEMULIAAN TERNAK

ACARA I
STANDARISASI

Disusun oleh:
Kelompok XXI
Diah Ayu Utami

PT/06750

Jibril Abdul Aziz

PT/06764

Wiwi Juliansyah Putra

PT/06770

Haviz Maulana

PT/06808

Noor Cian Aryadi

PT/06851

Asisten Pendamping: Dita Novita Sari

LABORATORIUM GENETIKA DAN PEMULIAAN TERNAK


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Standarisari

merupakan

suatu

metode

yang

digunakan

untuk

memperoleh data yang seragam, homogen, atau standar. Hardjosubroto


(1994)

menyatakan

bahwa,

untuk

mendapatkan

bobot

sapih

perlu

distandarisasi pada umur sapih 100 hari. Hal ini dikarenakan anak domba
diasumsikan ditimbang pada umur yang seragam, yaitu pada umur 100 hari.
Standarisasi dilakukan dengan tujuan agar data yang diperoleh
standar. Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa, data berat sapih domba
perlu distandarisasi pada umur 100 hari agar diperoleh bobot sapih yang
standar. Wulandaru (2016) menyatakan bahwa, penyesuaian umur dapat
terhadap umur tertentu (misalnya umur 100 hari) atau rerata umur pada saat
disapih.
Standarisasi

bermanfaat

untuk

meningkatakan

akurasi

dan

meminimalkan pengaruh faktor lingkungan terhadap suatu data. Simbolon


(2016) menyatakan bahwa, peningkatan akurasi data dari pengaruh faktor
lingkungan dapat dilakukan dengan penyesuaian melalui koreksi terhadap
faktor lingkungan yang mempunyai kontribusi dalam penentuan data
tersebut. Noor (2004) menyatakan bahwa, faktor koreksi (standarisasi)
digunakan pada analisis data untuk menghindari bias yang ditimbulkan oleh
sumber keragaman lain seperti jenis kelamin, tipe kelahiran, dan umur induk.
Standarisasi dapat dilakukan dengan metode koreksi terhadap jenis
kelamin, umur induk, dan tipe kelahiran. Pengoreksian umur induk
diasumsikan bahwa data dilapangan rata-rata bobot badan terbesar diumur
60 bulan. Pengoreksian jenis kelamin diasumsikan bahwa data dilapangan
rata-rata bobot badan jantan lebih besar daripada betina. Pengoreksian tipe
kelahiran diasumsikan bahwa tipe kelahiran tunggal umumnya memiliki bobot
yang lebih besar dibandingkan dengan keturunan kembar (Simbolon, 2016).

Untuk mempermudah mencari umur pada saat penimbangan telah


dibuatkan suatu tabel dengan mengubah tanggal 1 januari sebagai tanggal
ke atau hari ke-1. Tanggal 31 januari sebagai hari ke-31. Tanggal 1 februari
sebagai hari ke-32, dan seterusnya sehingga tanggal 31 desember sebagai
hari ke-365. Tabel penanggalan yang dibuat atas dasar prinsip tersebut
disebut Penanggalan Julian atau Julian Date (Hardjosubroto, 1994).

BAB II
MATERI DAN METODE
Materi
Alat. Alat yang digunakan pada praktikun ini antara lain yaitu alat tulis,
dan kalkulator scientific.
Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu lembar kerja
praktikum.
Metode
Praktikum Ilmu Pemuliaan Ternak meliputi kegiatan praktikum di dalam
kelas dan diskusi dengan asisten, kegiatan mengerjakan soal-soal yang telah
disusun oleh asisten berdasarkan literatur yang digunakan, yang materinya
meliputi standarisasi pengukuran berat sapih domba ekor gemuk.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Metode yang dilakukan pada praktikum kali ini yaitu standarisasi
dengan Faktor Koreksi Umur Induk (FKUI). Umur induk yang dipakai pada
praktikum yaitu 1 tahun sehingga nilai FKUI adalah 1,21. Hanifah (2013)
menyatakan bahwa, apabila umur induk pada waktu melahirkan berturut-turut
adalah 1, 2, 3, 4, dan 5 tahun maka berat anak berturut-turut dikalikan
dengan 1,21; 1,10; 1,05; 1,03; dan 1,00.
Tabel 1. Berat sapih 100 hari dan berat sapih terkoreksi
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Rata-rata

BS100
7,83
6,94
6,37
6,24
5,47
8,51
6,42
8,04
6,90
5,89
6,861

BSterkoreksi
7,57
6,73
6,16
5,63
5,31
8,23
6,21
7,76
6,70
5,70
6,6

Berdasarkan praktikum yang dilakukan, terdapat perbedaan antara


BS100 dan BSterkoreksi. Perbedaan tersebut terdapat pada rumus yang
digunakan untuk memperoleh nilai BS100 dan BSterkoreksi. Nilai BS100 didapatkan

dengan rumus

x 100+BL )
( BSBL
Umur

xrerata umur sapih+ BL)


( BSBL
Umur

dan BSterkoreksi didapatkan dengan rumus

Perbandingan antara nilai BS100 dan BSterkoreksi adalah nilai BS100 lebih
besar daripada BSterkoreksi. Hal disebabkan karena dalam perhitungang BS 100,

selisih berat sapih dan berat lahir dikalikan dengan 100, sedangkan dalam
perhitungan BSterkoreksi, selisih berat sapih dan berat lahir dikalikan dengan
rata-rata umur sapih. BSterkoreksi dapat lebih besar nilainya dibandingkan BS 100
bila rata-rata umur sapih lebih dari 100.
Faktor yang mempengaruhi nilai BS 100 dan BSterkoreksi adalah umur sapih
dan rerata umur sapih domba dalam data yang diperoleh. Hardjosubroto
(1994) menyatakan bahwa, berat sapih biasanya disesuaikan dengan berat
cempe pada umur 100 hari. Apabila berat sapih akan disesuaikan dengan
rerata umur saat disapih, maka angka 100 dalam rumus diganti dengan
rerata umur saat penyapihan.
Berdasarkan praktikum yang dilakukan diperoleh rata-rata nilai BS 100
adalah 6,861 Kg dan rata-rata nilai BS terkoreksi adalah 6,6 Kg. Darmawan dan
Supartini (2012) menyatakan bahwa, bobot sapih DEG sebelum terkoreksi
adalah 11,27 2,40 dan bobot sapih DEG setelah terkoreksi adalah 15,45
2,94. Sumadi et al. (2014) menyatakan bahwa, berat nyata bobot sapih DEG
adalah 9,95 1,65 dan berat terkoreksi bobot sapih DEG adalah 9,80 1,61.
Hasil yang diperoleh dari praktikum tidak sesuai dengan literatur.
Faktor-faktor yang mempengaruhi berat sapih domba ekor gemuk
adalah variasi berat lahir dan umur sapih. Berat sapih berkorelasi positif
dengan berat lahir (Hanifah, 2013). Cempe yang mempunyai berat lahir tinggi
akan tumbuh lebih cepat sehingga mencapai berat sapih yang tinggi pula
(Kaswati, 2011).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan prenatal

dan berat lahir antara lain genotip induk dan anak, umur induk, lingkungan
uterus, nutrisi selama kebuntingan, dan jenis kelamin (Soeparno, 2005).
Umur cempe yang disapih lebih awal akan memiliki persentase berat sapih
yang lebih rendah dibandingkan cempe yang disapih pada umur siap sapih.
Hal ini karena domba yang umurnya masih terlalu muda, konsumsi pakannya
masih rendah dan nutrisi yang dikonsumsi masih belum cukup (Taylor dan
Field, 2004).

BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa,
standarisasi merupakan suatu metode yang digunakan untuk memperoleh
data yang homogen. Nilai standarisasi berat sapih DEG yaitu rata-rata nilai
BS100 adalah 6,861 Kg dan rata-rata nilai BS terkoreksi adalah 6,6 Kg. Berat sapih
dapat dipengaruhi oelh faktor genetik dan faktor lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
Darmawan, H., N. Supartini. 2012. Heritabilitas dan nilai pemuliaan domba
ekor gemuk di Kabupaten Situbondo. Buana Sains. Vol 12(1), Hal : 5162
Hanifah, N. 2013. Estimasi nilai ripitabilitas berat lahir dan berat sapih pada
domba ekor gemuk di UPT PT-HMT Garahan, Jember, Jawa Timur.
Skripsi. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliaan Ternak di Lapangan. Grasindo.
Jakarta.
Kaswati. 2011. Estimasi nilai heritabilitas beray lahir, sapih, dan satu tahun
pada Sapi Bali di BPTU Sapi Bali, Denpasar. Skripsi. Fakultas
Peternakan UGM. Yogyakarta
Noor, R.R. 2004. Genetika Ternak. Edisi Ketiga. Penebar Swadaya. Jakarta
Simbolon, E.S. 2016. Estimasi nilai heritabilitas average daily gain pra sapih
domba ekor gemuk di PT HRL Internasional, Pacet, Mojokerto, Jawa
Timur. Skripsi. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Sumadi, Muflikhun, I. G. S. Budisatria. 2014. Estimasi korelasi genetik berat
lahir dan berat sapih pada domba ekor gemuk di UPT PT-HMT
Garahan, Jember, Jawa Timur. Buletin Peternakan. Vol. 38(2), Hal : 6570
Taylor, R. E., and T. G. Field. 2004. Scientific Farm Animal Production. 8 Th
Edition. Prentice Hall, Inc. New Jersey.
Wulandaru, P.R. 2016. Estimasi korelasi genetic antara berat lahir dengan
berat sapih domba ekor gemuk di PT HRL Internasional, Pacet,
Mojokerto, Jawa Timur. Skripsi. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

You might also like