You are on page 1of 35

HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK VI
GILANG MAULANA
LILIK ADIK KURNIAWAN
MIKAEL WIL ISKANDAR SIAHAAN

UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM EKSTENSI
2016
STATEMENT OF AUTHORSHIP
Kami yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir
adalah murni hasil pekerjaan kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang kami
gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.
Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah/tugas
pada mata ajaran lain kecuali kami menyatakan dengan jelas bahwa kami menyatakan
dengan jelas menggunakannya.

Kami memahami bahwa tugas yang kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau
dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.
Mata Ajaran
Judul Makalah/Tugas
Tanggal
Dosen

: Pengantar Hukum Bisnis


:.Hukum Penyelesaian Sengketa
: 26 May 2015
: Supriyanto

Nama
NPM
Tanda Tangan

: Gilang Maulana
:
:

Nama
NPM
Tanda Tangan

: Lilik Adik Kurniawan


:
:

Nama
NPM
Tanda Tangan

: Mikael Wil Iskandar Siahaan


:
:
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat membuat dan menyelesaikan
makalah ini tepat waktu. Penyusunan makalah yang berjudul Hukum Penyelesaian
Sengketa ini dilakukan dalam rangka memenuhi tugas kelompok pada Mata Kuliah
Pengantar Hukum Bisnis.
Makalah ini kami buat dan selesaikan dengan bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besamya
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya dalam
pembuatan makalah ini.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan, untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar
makalah ini dapat lebih disempumakan lagi. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca berupa tambahan ilmu dan informasi khususnya tentang Hukum
Perusahaan.
Depok, 26 May 2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.

Latar Belakang
Sengketa merupakan ketidaksepahaman mengenai suatu hal antara dua orang
atau lebih. Sengketa tidak pernah bisa terpisahkan dengan konflik karena sengekta
adalah sebuah konflik namun tidak semua konflik dapat di kategorikan sebagai
sengketa. Konflik sendiri memiliki pengertian pertikaian antara pihak-pihak.
Sengketa internasional adalah sengketa yang bukan secara ekslusif merupakan
urusan dalam negeri suatu negara. Dari pengertian ini tentu saja dapat dipahami bahwa
sengekta internasional merupakan sengketa yang cakupannya diluar urusan eksekutif
dalam negeri suatu negara. Contohnya negara dengan negara atau karena seiringnya
perkembangan mengenai subyek hukum internasional sengketa negara dengan non
negara.
Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas
berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai
perilaku dan hubungan antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan
internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum
internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada
batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu. Karena pola hubungan
internasional yang semakin kompleks membuat semakin banyak sengketa di ranah
hukum perdata internasional. Untuk itu diperlukan cara untuk menyelesaikan sengketa
tersebut.
Semakin banyak dan luasnya aktivitas perdagangan maka frekuensi terjadinya
sengketa dimungkinkan juga akan semakin tinggi, selain itu membiarkan sengketa

tersebut tanpa adanya penyelesaian yang cepat maka akan menimbulkan pembangunan
yang tidak efisien, produktifitas menurun, dunia bisnis akan mengalami kemunduran
serta beragam kerugian-kerugian lainnya yang akan menimpa jika suatu sengketa
terlambat diselesaikan. Oleh karena itu, perlu cara-cara khusus yang diterapkan agar
penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cepat, efektif dan efisien. Untuk itu
harus dibina & diwujudkan suatu sistem penyelesaian sengketa yang dapat
menyesuaikan diri dengan laju perkembangan perekonomian dan perdagangan di masa
2.

datang.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis merumuskan masalah
terkait Alternatif Penyelesaian Sengketa Bidang Usaha sesuai dengan UU No. 30 Tahun
1999, yaitu:
a. Melalui Pengadilan Negeri
b. Diluar Pengadilan Negeri
- Mediasi
- Konsiliasi
- Arbritase

BAB II
PEMBAHASAN
1.

Pengertian Sengketa Bisnis

Pengertian sengketa bisnis menurut Maxwell J. Fulton a commercial disputes


is one which arises during the course of the exchange or transaction process is central
to market economy. Dalam kamus bahasa Indonesia sengketa adalah pertentangan atau
konflik. Konflik berarti adanya oposisi, atau pertentangan antara kelompok atau
organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Menurut Winardi, Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu
individu atau kelompok kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang
sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu
dengan yang lain.
Menurut Ali Achmad, sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih
yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepemilikan atau hak milik yang
dapat menimbulkan akibat hukum antara keduanya.
Dari pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa Sengketa adalah perilaku
pertentangan antara kedua orang atua lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu
akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara
keduanya.
2.

Urgensi Alternatif Penyelesaian Sengketa Bidang Usaha


Penyelesaian sengketa secara konvensional dilakukan melalui sebuah badan
yang disebut dengan pengadilan. Sudah sejak ratusan bahkan ribuan tahun badan-badan
pengadilan ini telah berkiprah. Akan tetapi, lama kelamaan badan pengadilan ini
semakin terpasung dalam tembok-tembok yuridis yang sukar ditembusi oleh para
pencari keadilan, khususnya jika pencari keadilan tersebut adalah pelaku bisnis dengan
sengketa yang menyangkut dengan bisnis. Maka mulailah dipikirkan alternatifalternatif lain untuk menyelesaikan sengketa, diantaranya adalah lewat badan arbitrase.
Yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata
yang bersifat swasta di luar pengadilan umum yang didasarkan pada kontrak arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, di mana pihak penyelesai
sengketa (arbiter) tersebut dipilih oleh para pihak yang bersangkutan. Yang terdiri dari
orang-orang yang tidak berkepentingan dengan perkara yang bersangkutan, orangorang mana akan memeriksa dan memberi putusan terhadap sengketa tersebut.
Orang yang bertindak untuk menjadi penyelesai sengketa dalam arbitrase
disebut dengan arbiter. Arbiter ini, baik tunggal mauoun majelis yang jika majelis
biasanya terdiri dari 3 (tiga) orang. Di Indonesia syarat-syarat untuk menjadi arbiter
adalah sebagai berikut :

a. Cakap dalam melakukan tindakan hukum.


b. Berumur minimal 35 (tiga puluh lima) tahun.
c. Tidak mempunyai hubungan sedarah atau semenda sampai dengan derajat
kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa.
d. Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan
arbitrase.
e. Mempunyai pengalaman atau mengusai secara aktif dalam bidangnya paling
sedikit selama 15 (lima belas) tahun.
f. Hakim, jaksa, paniteran, dan pejabat peradilan lainnya tidak boleh menjadi
arbiter.
Arbitrase (nasional maupun internasional) menggunakan prinsip-prinsip hukum
sebagai berikut :
a. Efisien.
b. Accessibility (terjangkau dalam arti biaya, waktu dan tempat)
c. Proteksi hak para pihak.
d. Final and binding.
e. Adil (fair and just)
f. Sesuai dengan sense of justice dalam masyarakat.
g. Kredibilitas. Jika arbiter mempunyai kredibilitas, maka putusannya akan
dihormati orang.
3.

Jenis-Jenis Alternatif Penyelesaian Sengketa Bidang Usaha


Perlu dipahami bahwa Penyelesaian sengketa bidang usaha bertujuan untuk
menghentikan pertikaian dan menghindari kekerasan dan akibat-akibat yang mungkin
akan terjadi akibat dari persengketaan tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan
kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama bisnis, yang meningkat dari
hari ke hari. Semakin meningkatnya kerjasama bisnis, menyebabkan semakin tinggi
pula tingkat sengketa diantara para pihak yang terlibat didalamnya.
Sebab-sebab terjadinya sengketa diantaranya :
1. Wanprestasi.
2. Perbuatan melawan hukum.
3. Kerugian salah satu pihak.
Berikut ini beberapa jenis-jenis penyelesaian sengketa bidang usaha, yaitu
sebagai berikut :
A. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan Negeri / Proses Litigasi
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase dan APS)
berbunyi:

Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui
alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan
mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H. dalam bukunya Hukum Penyelesaian
Sengketa (hal. 1-2) mengatakan bahwa secara konvensional, penyelesaian sengketa
dalam dunia bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan, proyek pertambangan,
minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya dilakukan melalui proses
litigasi.
Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama
lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir
(ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan
hasil. Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan.
Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus
oleh hakim. Penyelesaian melalui Litigasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengatur penyelasaian melalui
peradilan umum, peradilan militer, peradilan agama, peradilan tata usaha negara,
dan peradilan khusus seperti peradilan anak, peradilan niaga, peradilan pajak,
peradilan penyelesaian hubungan industrialdan lainnya. Melalui sistem ini tidak
mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua
belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak
akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah.
Litigasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur
pengadilan dengan menggunakan pendekatan hukum dengan lembaga penyelesaian
sebagai berikut :
a. Pengadilan umum
Pengadilan Negeri berwenang memeriksa sengketa bisnis, mempunyai
karakteristik :
- Prosesnya sangat formal
- Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)
- Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
- Sifat keputusan memaksa dan mengikat (Coercive and binding)
- Orientasi ke pada fakta hukum (mencari pihak yang bersalah)
- Persidangan bersifat terbuka
b. Pengadilan niaga
Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan
pengadilan umum yang mempunyai kompetensi untuk memeriksa dan
memutuskan Permohonan Pernyataan Pailit dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (PKPU) dan sengketa HAKI. Pengadilan Niaga mempunyai


karakteristik sebagai berikut :
- Prosesnya sangat formal
- Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)
- Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
- Sifat keputusan memaksa dan mengikat (coercive and binding)
- Orientasi pada fakta hukum (mencari pihak yang salah)
- Proses persidangan bersifat terbuka
- Waktu singkat
Kebaikan dan Kelemahan Sistem Litigasi
Kebaikan dari sistem ini adalah:
a. Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan di
Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer dan peradilan Tata Usaha Negara sehingga hampir
semua jenis sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini)
b. Biaya yang relatif lebih murah (Salah satu asas peradilan Indonesia adalah
Sederhana, Cepat dan Murah)
Kelemahan dari sistem ini adalah:
a. Kurangnya kepastian hukum (karena terdapat hierarki pengadilan di Indonesia
yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dimana jika
Pengadilan Negeri memberikan putusan yang tidak memuaskan salah satu
pihak, pihak tersebut dapat melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan
Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung sehingga butuh waktu yang relatif lama
agar bisa berkekuatan hukum tetap)
b. Hakim yang awam (pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis
hukum. namun jika sengketa yang terjadi terjadi pada bidang yang tidak
dikuasai oleh hakim, maka hakim tersebut harus belajar lagi. Hal ini
dikarenakan para pihak tidak bisa memilih hakim yang akan memeriksa perkara.
Tentunya hal ini akan mempersulit penyusunan putusan yang adil sesuai dengan
bidang sengketa. Hakim juga tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu
perkara karena hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Jadi tidak boleh ada hakim
yang menolak perkara. apalagi hanya karena dia tidak menguasai bidang
sengketa tersebut.)
Berdasarkan konsekuensi bahwa putusan hakim akan memenangkan salah
satu pihak dan mengalahkan pihak yang lain, maka berdasarkan hukum acara

perdata di Indonesia , hakim wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan


mediasi (nanti akan dibahas lebih lanjut) untuk mendamaikan para pihak. Jika tidak
dicapai perdamaian maka pemeriksaan perkara akan dilanjutkan. Meskipun
pemeriksaan perkara dilanjutkan kesempatan untuk melakukan perdamaian bagi
para pihak tetap terbuka (dan hakim harus tetap memberikannya meskipun putusan
telah disusun dan siap untuk dibacakan).
Jika para pihak sepakat untuk berdamai, hakim membuat akta perdamaian
(acte van daading) yang pada intinya berisi para pihak harus menaati akta
perdamaian tersebut dan tidak dapat mengajukan lagi perkara tersebut ke
pengadilan. Jika perkara yang sama tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka
perkara tersebut akan ditolak dengan alasan ne bis in idem (perkara yang sama tidak
boleh diperkarakan 2 kali) karena akta perdamaian tersebut berkekuatan sama
dengan putusan yang final dan mengikat (tidak dapat diajukan upaya hukum).
Sebelum keluarnya Undang-undang Hubungan Industrial penyelesaian
sengketa perburuhan dalam perusahaan diatur didalam Undang-undang No.22 tahun
1957 melalui peradilan P4D dan P4P. Untuk mengantisipasi penyelesaian dan
penyaluran sengketa Buruh dan Tenaga Kerja sejalan dengan tuntutan kemajuan
zaman dibuat dan di undangkan Undang-undang No.2 Tahun 2004 sebagai wadah
peradilan Hubungan Industrial disamping peradilan umum.
Dalam Pasal 56 Undang-undang No.2 Tahun 2004 mengatakan Pengadilan
Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan :
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak
b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan
c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Adapun susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
terdiri dari:
a. Hakim
b. Hakim ad Hoc
c. Panitera Muda, dan
d. Panitera Pengganti.
Untuk Pengadilan Kasasi di Mahkamah Agung terdiri dari :
a. Hakim Agung
b. Hakim ad Hoc pada Mahkamah Agung ; dan
c. Panitera

Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad Hoc pada Pengadilan


Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung RI harus
mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :
a. warga negara Indonesia
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
c. setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
d.
e.
f.
g.

Tahun 1945
berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun
berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
berpendidikan serendah-rendahnya Starata Satu (S-1) kecuali bagi Hakim Ad
Hoc pada Mahkamah Agung, syarat pendidikan Sarjana Hukum serta
berpengalaman dibidang hubungan industrial minimal 5 (lima) tahun.
Pengangkatan dan penunjukan Hakim Ad Hoc tersebut pad pengadilan

Hubungan Industrial berdasarkan SK. Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Sebelum memangku jabatan Hakim Ad Hoc wajib disumpah
atau memberikan janji menurut agama dan kepercayaannya masing-masing serta
Hakim Ad Hoc tersebut tidak boleh merangkap Jabatan sebagaimana dituangkan
dalam Pasal 66 Undang-Undang No.2 Tahun 2004.
Hukum acara yang dipakai untuk mengadili sengketa perburuan tersebut
adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dilingkungan Pengadilan Umum,
kecuali di atur secara khusus oleh Undang-Undang No 2 Tahun 2004 serta menuggu
keputusan Presiden untuk menentukan Tata Cara pengangkatan Hakim Ad Hoc
Ketenaga Kerjaan.
Sebelum Undang-Undang ini berlaku secara effektif didalam masyarakat
dalam penyelesaian pemutusan Hubungan Kerja masih memakai KEP/MEN/150
Tahun 2000 dan Undang-Undang No.13 Tahun 2003, tentang Undang-Undang
Ketenagakerjaan .
Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan Hubungan Industrial PHI
bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a. Tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b. Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c. Tingkat pertama mengenai perselisihan PHK;
d. Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh dalam satu perusahaan.
Ketentuan Beracara dalam PHI tidak berbeda seperti Hukum Acara Perdata.
Kecuali hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU No. 2 Tahun 2004 (Pasal 81

Pasal 115). Putusan PHI mengenai Perselisihan Hak dan PHK dapat diajukan ke
MA melalui Upaya Hukum Permohonan Kasasi paling lama 14 hari setelah putusan
dibacakan, atau menerima pemberitahuan putusan.
Para pihak yang terlibat dalam dunia perusahaan ingin agar segala
sesuatunya dapat berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan. Akan tetapi, dalam
praktik ada kalanya apa yang telah disetujui oleh kedua belah pihak tidak dapat
dilaksanakan karena salah satu pihak mempunyai penafsiran yang berbeda dengan
apa yang telah disetujui sebagaimana yang tercantum dalam kontrak sehingga dapat
menimbulkan perselisihan.
Apabila suatu sengketa terjadi dan diselesaikan melalui badan pengadilan,
hakim harus memutuskannya berdasarkan sumber hukum yang ada secara teori
salah satu yang dapat dijadikan rujukan sebagai sumber hukum adalah
yurisprudensi. Selain untuk menjaga agar tidak terjadi kesimpangsiuran putusan,
yang berakibat pada ketidakpastian hukum bagi pihak-pihak yang berperkara,
yurisprudensi juga berguna untuk menyederhanakan pertimbangan hukum dalam
pengambilan putusan.
Sengketa yang diselesaikan melalui Pengadilan, ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkanoleh kedua belah pihak selain waktu dan biaya yang harus
dikeluarkan cukup banyak, juga identitas para pihak yang bersengketa akan
diketahui oleh masyarakat. Sebagaimana diketahui prinsip yang dianut oleh
lembaga peradilan adalah pada asasnya terbuka untuk umum. Masalah lainnya
adalah bahwa penyelesaian sengketa melalui pengadilan prosesnya cukup lama. Hal
ini tiada lain karena proses pengadilan ada beberapa tingkatan yang harus dilalui,
yakn tingkat pertama di pengadilan negeri (PN); tingkat kedua di pengadilan tinggi
(PT) untuk tingkat banding, dan tingkat ketiga adalah mahkamah agung (MA)
sebagai tingkat kasasi yang merupakan instansi terakhir dalam hierarki lembaga
peradilan.
Sengketa terjadi jika salah satu pihak menghendaki pihak lain untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak berlaku demikian.
Penyelesaian ini harus dilakukan menurut hukum atau berdasarkan kesepakatan awal
di antara para pihak. Salah satu penyelesaian sengketa dalam dunia ekonomi yaitu
melalui melalui badan pengadilan (litigasi). Litigasi dianggap sebagai yang paling
tidak efisien oleh para pelaku dunia ekonomi komersial dalam penyelesaian sengketa
dibandingkan dengan non-litigasi, berkaitan dengan waktu dan biaya yang

dibutuhkan. Rendahnya kesadaran hukum juga ikut mempengaruhi, di mana para


pihak yang berperkara di pengadilan bukan untuk mencari keadilan melainkan untuk
memenangkan perkara. Beberapa faktor lain yang mengakibatkan pengadilan
bersikap tidak responsif, kurang tanggap dalammerespon tanggapan umum dan
kepentingan rakyat miskin (ordinary citizen). Hal yang palingutama adalah
kemampuan hakim yang sifatnya generalis (hanya menguasai bidang hukum secara
umum tanpa mengetahui secara detil mengenai suatu perkara).
B. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Berdasarkan pasal 33 ayat 1 UUD Tahun 1945 Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan berdasarkan Piagam
PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh tidak melalui pengadilan yaitu melalui
cara-cara sebagai berikut: Negosiasi (perundingan), Enquiry atau penyelidikan,
Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase, serta Organisasi-organisasi atau Badan-badan
Regional.
Selain itu, berdasarkan Pengertian autentik alternatif penyelesaian sengketa
menurut UU Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan dalam Pasal 1 butir 10 adalah
lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
1. Konsultasi
Merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu
pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak
konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada
klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.
2. Negosiasi/Perundingan
Negosiasi adalah komunikasi dua arah dirancang untuk mencapai
kesepakatan pada saat keduabelah pihak memiliki berbagai kepentingan
yang sama atau berbeda. Penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui
proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas
dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.
Adapun Keuntungan Negoisasi yaitu:
a. Mengetahui pandangan pihak lawan.
b. Kesempatan mengutarakan isi hati untuk didengar pihak
lawan
c. Memungkinkan sengketa secara bersama-sama.

d. Mengupayakan solusi terbaik yang dapat diterima oleh


kedua belah pihak.
e. Tidak terikat kepada kebenaran fakta atau masalah hukum.
f. Dapat diadakan dan diakhiri sewaktu-waktu.
Adapun Kelemahan Negoisasi :
a. Mengetahui pandanga pihak lawan.
b. Tidak dapat berjalan tanpa adanya kesepakatan dari kedua
belah pihak.
c. Tidak efektif jika dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang
mengambil kesepakatan
d. Sulit berjalan apabila posisi para pihak tidak seimbang.
e. Memungkinkan diadakan untuk menunda penyelesaian untuk
mengetahui informasi yang dirahasiakan lawan.
f. Dapat membuka kekuatan dan kelemahan salahsatu pihak.
g. Dapat membuat kesepakan yang kurang menguntungkan.
Tahapan Negoisasi menurut William Ury dibagi menjadi Empat
Tahap yaitu :
a. Tahapan Persiapan :
- Persiapan sebagai kunci keberhasialan
- Mengenal lawan, pelajari sebanyak mungkin pihak lawan
-

dan lakukan penelitian


Usahakan berfikir dengan cara berfikir lawan dan seolah-

olah kepentingan lawan sama dengan kepentingan anda


Sebaiknya persiapkan pertanyaan - pertanyaan sebelum
pertemuan dan ajukan dalam bahasa yang jelas dan
jangan sekali-kali memojokkan atau menyerang pihak

lawan.
Memahami kepentingan kita dan kepentingan lawan.
Identifikasi masalahnya, apakah masalah tersebut

menjadi masalah bersama?


Menyiapkan agenda, logistik, ruangan dan konsumsi dan

Menyiapkan tim dan strategi.


Menentukan BTNA (Best Alternative to A Negitieted

Agreement) alternative lain atau harga dasar (Bottom Line).


b. Tahap Orientasi dan Mengatur Posisi :
- Bertukar Informasi
- Saling menjelaskan permasalahan dan kebutuhan
- Mengajuakan tawaran awal.
c. Tahap Pemberian Konsensi/ Tawar Menawar

Para pihak saling menyampaikan tawaranya, menjelaskan

alasanya dan membujuk pihak lain untuk menerimanya.


Dapat menawarkan konsensi, tapi pastikan kita

memperoleh sesuatu sebagai imbalanya


Mencoba memahai pemikiran pihak lawan
Mengidentifikasi kebutuhan bersama
Mengembangkan
dan
mendiskusiakan

opsi-opsi

penyelesaian.
d. Tahapan Penutup
- Mengevaluasi opsi-opsi berdasarkan kriteria obyektif.
- Kesepakatan hanya menguntungkan bila tidak ada lagi
opsi lain yang lebih baik, bila tidak berhasil mencapai
kesepakatan, membatalkan komitmen.

3. Penyelidikan (Enquiry)
Metode penyelidikan digunakan untuk mencapai penyelesaian
sebuah sengketa dengan cara mendirikan sebuah komisi atau badan
untuk mencari dan mendengarkan semua bukti-bukti yang bersifat
internasional, yang relevan dengan permasalahan. Dengan dasar buktibukti dan permasalahan yang timbul, badan ini akan dapat mengeluarkan
sebuah fakta yang disertai dengan penyelesaiannya. Dalam penyelesaian
sengketa dengan cara ini yaitu para pihak yang bersengketa dalam
menyelesaikan sengketanya terlebih dahulu mencari fakta yang
sebenarnya yang menimulkan suatu sengketa itu terjadi karena pihak
yang bersengketa pasti mempersengketakan perbedaan mengenai fakta,
maka untuk memperulus hal tersebut, campur tangan pihak ketiga dirasa
perlu untuk mencari fakta yang sebenarnya. Yang biasanya para pihak
tidak meminta kepada pihak pengadilan akan tetapi meminta kepada
pihak ketiga yang sifatnya kurang formal.
Pencarian fakta ini biasanya baru dilakukan manakala dalam
proses penyelesaian sengketa secara konsultasi atau negosiasi tidak
menemui titik terang.
Tujuan dari penyelidikan atau pencarian fakta dalam suatu
sengketa yang terjadi adalah untuk:

1. Membentuk suatu dasar bagi penyelesaian sengketa diantara dua


Negara;
2. Mengawasi suatu perjanjian internasional;
3. Memberikan informasi guna membuat
internasional.
Tujuan dari

penyelidikan

tanpa

putusan

membuat

ditingkat

rekomendasi-

rekomendasi yang spesifik untuk menetapkan fakta yang mungkin


diselesaikan dengan cara memperlancar suatu penyelesaian yang
dirundingkan. Pada tanggal 18 Desember 1967, Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi yang menyatakan
pentingnya metode pencarian fakta (fact finding) yang tidak memihak
sebagai cara penyelesaian damai dan meminta negara-negara anggota
untuk lebih mengefektifkan metode-metode pencarian fakta. Serta
meminta Sekertaris Jenderal untuk mempersiapkan suatu daftar para ahli
yang jasanya dapat dimanfaatkan melalui perjanjian untuk pencarian
fakta dalam hubungannya dengan suatu sengketa.
4. Mediasi
Istilah mediasi disebut dalam Pasal 1 butir 10 namun indikasi
rumusan tindakan dan pengertiannya tidak disebutkan dalam Pasal 6,
melainkan hanya disebutkan orangnya, yaitu mediator disebut dalam
Pasal 6 ayat (3). Blacks Law Dictionary merumuskan mediasi sebagai :
A Method of non binding dispute resolution involving a neutral third
party who tries to help the disputing parties reach a mutually agreeable
solution . Dengan demikian mediasi adalah proses penyelesaian sengketa
dengan melibatkan pihak ketiga sebagai penghubung (mediator) untuk
mencapai kesepakatan penyelesaian di antara para pihak atas sengketa
yang terjadi.
Alasan Melakukan Mediasi
Para pihak sulit mencapai kesepakatan melalui negosiasi.
Para pihak tidak mungkin bertemu karena faktor lokasi tempat
tinggal yang berjauhan atau memang para pihak tidak mau bertemu

dikarenakan hambatan-hambatan psikologis.


Penyelesaian melalui mediasi tidak hanya dilakukan di luar
pengadilan saja, akan tetapi Mahkamah Agung berpendapat prosedur

mediasi patut untuk ditempuh bagi para pihak yang beracara di


pengadilan. Langkah ini dilakukan pada saat sidang pertama kali

digelar.
Adapun pertimbangan dari Mahkamah Agung, mediasi merupakan
salah satu solusi dalam mengatasi menumpuknya perkara di

pengadilan.
Proses ini dinilai lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan
akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh
keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang

dihadapi.
Di samping itu institusionalisasi proses mediasi ke dalam ststem
peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga
pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses

pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif).


Unsur-unsur Mediasi
Sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan.
Adanya pihak ketiga yang bersifat netral yang disebut sebagai
mediator (penengah) terlibat dan diterima oleh para pihak yang

bersengketa dalam perundingan itu.


Mediator tersebut bertugas membantu para pihak yang bersengketa

untuk mencari penyelesaian atas masalah-masalah sengketa.


Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan-

keputusan selama proses perundingan berlangsung.


Mempunyai tujuan untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan
yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri
sengketa.
Mediator harus independen dan netral serta mampu menciptakan

suasana yang kondusif. Sekalipun demikian ia tidak mempunyai


kewenangan untuk memaksakan kepada para pihak yang bersengketa
agar segera mencapai kesepakatan. Artinya kesepakatan untuk
mengakhiri sengketa tetap berada pada kewenangan dan kehendak para
pihak. Secara teknis dalam menjalankan tugasnya, setelah ditunjuk para
pihak, mediator bertemu dengan atau mempertemukan para pihak untuk
mengetahui duduk persoalan sengketa yang sebenarnya, selanjutnya ia
dapat

saja

membuat

catatan-catatan

tentang

fakta-fakta

yang

disampaikan para pihak sambil memberikan pendapat hukumnya tentang


kelemahan dan kekuatan kedudukan hukum masing-masing pihak. Atas
dasar itu kemudian membuat rumusan usulan tentang penyelesaian
sengketanya agar dapat dijadikan pertimbangan para pihak ; apakah
mereka akan menyetujuinya atau tidak. Tindakan-tindakan mediator
tersebut dapat dilakukan dalam suatu pertemuan yang dihadiri para
pihak maupun dilakukan sendiri berdasarkan informasi atau fakta-fakta
yang diterima dari para pihak dalam kesempatan yang terpisah.
Berdasar ketentuan Pasal 6 ayat (4) dapat dikatakan bahwa UndangUndang membedakan mediator ke dalam:
a. Mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak ; dan
b. Mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian yang ditunjuk para pihak. Pengertian lembaga arbitrase
sebagai dimaksud ketentuan diatas tentunya adalah lembaga arbitase
permanen, sebab arbitrase adhoc hanya diadakan untuk menyelesaikan
sengketa bukan untuk memberikan pendapat. Dengan demikian
lembaga arbitrase disamping berfungsi sebagai lembaga ajudikasi dan
pemberi pendapat hukum sebagaimana telah dikemukakan diatas, juga
berfungsi sebagai penyedia mediator.
Adapun tentang lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang
permanen sebagaimana dimaksud ketentuan diatas, keberadaannya masih
belum dikenal. Dengan demikian suatu ketika dapat saja organisasiorganisasi kemasyarakatan tertentu yang didirikan dengan maksud untuk
mengembangkan suatu profesi membentuk lembaga alternatif penyelesaian
sengketa untuk bertindak sebagai penyedia mediator bagi sengketasengketa antar stake holdernya, misalnya saja organisasi Lembaga
Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) yang keanggotaannya meliputi
unsur-unsur wakil perusahaan jasa konstruksi, perwakilan asosiasi profesi
jasa konstruksi, para pakar dan perguruan tinggi yang berkaitan dengan
bidang jasa konstruksi dan instansi Pemerintah yang terkait membentuk
lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang permanen.

Catatan lain

terhadap rumusan Pasal 6 ayat (3) dan (4) UU Nomor 30 Tahun 1999
adalah tentang jumlah mediator yang hanya seorang.

Berkaitan dengan lembaga mediasi Mahkamah Agung dengan


Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2002 tanggal 39 Januari 2002 telah
menerbitkan Surat Edaran tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat
Pertama Menerapkan Lembaga Dading. Dalam Surat Edaran tersebut
dinyatakan bahwa dalam perkara perdata di pengadilan negeri, sebelum
majelis

hakim

memeriksa

pokok

perkaranya

hendaknya

hakim

mengupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menunjuk hakim lain


yang bukan anggota mejelis untuk menjadi mediator guna membantu para
pihak menyelesaikan sengketanya dengan damai. Lembaga ini diadakan
guna mengurangi jumlah beban perkara pada pengadilan diatasnya. Sebab
bila perkara dapat diselesaikan dengan damai di peradilan tingkat pertama
tentunya tidak akan ada lagi upaya hukum para pihak untuk meninjau
keputusan tersebut.
Mediasi di Pengadilan
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2003 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan memberikan definisi sebagai:
penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan
dibantu oleh mediator.
Mediasi dilaksanakan melalui suatu perundingan yang melibatkan pihak
ketiga yang bersikap netral (non intervensi) dan tidak berpihak
(impartial) kepada pihak-pihak yang bersengketa serta diterima
kehadirannya oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Pihak ketiga tersebut adalah mediator atau penengah yang tugasnya
hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan
masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil
keputusan.
Dapat dikatakan seorang mediator hanya bertindak sebagai fasilitator
saja.
Melalui mediasi diharapkan dicapai titik temu penyelesaian masalah
atau sengketa yang dihadapi para pihak, yang selanjutnya dituangkan
sebagai kesepakatan bersama.
Pengambilan keputusan tidak berada di tangan mediator, tetapi berada di
tangan para pihak yang bersengketa.

Keuntungan Mediasi
Para pihak yang bersengketa dapat tetap berhubungan baik. Hal ini
sangat baik bagi hubungan bisnis karena pada dasarnya bertumpu pada
good relationship dan mutual trust
Lebih murah dan cepat
Bersifat rahasia (confidential), sengketa yang timbul tidak sampai
diketahui oleh pihak luar, penting untuk menjaga reputasi pengusaha
karena umumnya tabu untuk terlibat sengketa
Hasil-hasil memuaskan semua pihak
Kesepakatan-kesepakatan lebih komprehensif
Fungsi Mediator
Sebagai katalisator (mendorong suasana yang kondusif).
Sebagai pendidik (memahami kehendak, aspirasi, prosedur kerja, dan
kendala usaha para pihak).
Sebagai penerjemah (harus berusaha menyampaikan dan merumuskan
usulan pihak yang satu kepada pihak yang lain).
Sebagai nara sumber (mendaya gunakan informasi).
Proses Mediasi
Tahap pertama: menciptakan forum.
- Rapat gabungan.
- Pernyataan pembukaan oleh mediator, dalam hal ini yang dilakukan
adalah:
Mendidik para pihak;
Menentukan pokok-pokok aturan main;
Membina hubungan dan kepercayaan.
- Pernyataan para pihak, dalam hal ini yang dilakukan adalah:
dengar pendapat (hearing);
menyampaikan dan klarifikasi informasi;
cara-cara interaksi.
Tahap kedua: mengumpulkan dan membagi-bagi informasi.
- Dalam tahap ini kegiatan-kegiatan yang dilakukan
-

dengan

mengadakan rapat-rapat terpisah yang bertujuan untuk:


Mengembangkan informasi selanjutnya;
Mengetahui lebih dalam keinginan para pihak ;
Membantu para pihak untuk dapat mengetahui kepentingannya ;
Mendidik para pihak tentang cara tawar menawar penyelesaian

masalah.
Tahap ketiga: pemecahan masalah.
- Dalam tahap ketiga yang dilakukan mediator mengadakan rapat
bersama atau lanjutan rapat terpisah, dengan tujuan untuk:
- Menetapkan agenda.

Kegiatan pemecahan masalah.


Menfasilitasi kerja sama.
Identifikasi dan klarifikasi isu dan masalah.
Mengembangkan alternatif dan pilihan-pilihan.
Memperkenalkan pilihan-pilihan tersebut.
Membantu para pihak untuk mengajukan,

menilai

dan

memprioritaskan kepentingan-kepentingannya.
Tahap keempat: pengambilan keputusan.
- Dalam tahap ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebagai berikut:
- Rapat-rapat bersama.
- Melokalisasikan pemecahan masalah dan mengevaluasi pemecahan
masalah.
- Membantu para pihak untuk memperkecil perbedaan-perbedaan.
- Mengkonfirmasi dan klarifikasi kontrak.
- Membantu para pihak untuk memperbandingkan proposal
penyelesaian masalah dengan alternatif di luar kontrak.
- Mendorong para pihak untuk menghasilkan dan

menerima

pemecahan masalah.
- Mengusahakan formula pemecahan masalah berdasarkan win-win
solution dan tidak ada satu pihakpun yang merasa kehilangan muka.
- Membantu para pihak untuk mendapatkan pilihannya.
- Membantu para pihak untuk mengingat kembali kontraknya.
Untuk mediasi, di sebutkan dalam Pasal 6 ayat (4) yang
mediatornya ditunjuk para pihak, diberi tenggat waktu 14 hari dimana
harus sudah diputuskan apakah konsultasi menghasilkan kesepakatan
para pihak. Tidak sama dengan tenggat waktu dalam proses negosiasi
yang kesulitan dalam menentukan saat terhitungnya, maka tenggat
waktu untuk proses konsultasi dan mediasi dapat ditafsirkan terhitung
sejak adanya kesepakatan tertulis tentang penunjukan pihak ketiga
sebagai konsultan atau mediator. Adapun untuk mediasi yang
mediatornya ditunjuk lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (5) ada
dua tenggat waktu yaitu tenggat waktu yang menentukan saat
dimulainya proses mediasi yaitu tujuh hari setelah penunjukkan
mediator dan tenggat waktu pelaksanaan proses mediasi yang tidak
boleh lebih dari 30 (tiga puluh) hari sebagaimana diatur dalam Pasal 6
ayat (6).

JG Merrils menyatakan perbedaan antara konsiliasi dengan


mediasi adalah dalam mediasi umumnya usulan-usulan penyelesaian
lebih bersifat informal dan fakta-fakta yang diperoleh mediator terbatas
pada informasi para pihak saja, sedangkan pada konsiliasi fakta-fakta
yang diperoleh berdasarkan penyelidikannya sendiri, bahkan John
Collier dan Vaughan Lowe berpendapat bahwa konsiliasi merupakan
kombinasi yang di dalamnya terdapat karakter inquiry (penyelidikan)
dan mediasi. Walaupun kemudian JG Merrils menyatakan bahwa dalam
praktek perbedaan antara mediasi dan konsultasi sering menjadi kabur
5. Konsiliasi
Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat
didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai
sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak
lain atau adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau faktafakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa
yang berbeda.
Untuk mencegah penggunaan kekerasan oleh negara dalam suatu
persengketaan dengan negara lain perlu ditempuh suatu penyelesaian
secara damai. Usaha ini mutlak diperlukan sebelum perkara itu
mengarah pada suatu pelanggaran terhadap perdamaian. Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan kewajiban kepada negara
anggotanya bahkan kepada negara-negara lainnya yang bukan anggota
PBB untuk menyelesaikan setiap persengketaan internasional secara
damai sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan perdamaian
keamanan internasional serta keadilan.
Konsiliasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa
internasional diluar pengadilan yang berarti bahwa, proses penyelesaian
sengketa tersebut dilakukan secara damai apabila para pihak yang
bersengketa telah sepakat untuk menemukan solusi yang bersahabat.
Selain dengan cara konsiliasi, ada beberapa metode penyelesaian
sengketa internasional secara damai lainnya seperti, mediasi, arbitrase,
negosiasi, penyelesaian judicial, jasa-jasa baik, penyelidikan dan
penyelesaian di bawah naungan organisasi PBB.

Penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan


intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini
biasanya adalah negara, namun bisa juga sebuah komisi yang dibentuk
oleh para pihak. Komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak dapat
saja terlembaga atau bersifat ad hoc, yang kemudian memberikan
persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Fungsi komisi
konsiliasi adalah untuk menyelidiki sengketa dan batas penyelesaian
yang mungkin, memberikan informasi dan nasehat tentang pokok
masalah posisi pihak-pihak dan untuk menyarankan suatu penyelesaian
yang bertalian dengan apa yang mereka terima, bukan apa yang mereka
tuntut.
a. Apakah yang Dimaksud Dengan Konsiliasi?
Konsiliasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa
internasional diluar pengadilan yang berarti bahwa, proses penyelesaian
sengketa tersebut dilakukan secara damai apabila para pihak yang
bersengketa telah sepakat untuk menemukan solusi yang bersahabat.
Selain dengan cara konsiliasi, ada beberapa metode penyelesaian
sengketa internasional secara damai lainnya seperti, mediasi, arbitrase,
negosiasi, penyelesaian judicial, jasa-jasa baik, penyelidikan dan
penyelesaian di bawah naungan organisasi PBB.
Konsiliasi (Conciliation) menurut the Institute of International
Law melalui the Regulations the Procedur of International Conciliation
yang diadopsi pada tahun 1961 dalam Pasal 1 disebutkan sebagai suatu
metode penyelesaian pertikaian bersifat internasional dalam suatu
komisi yang dibentuk oleh pihak-pihak, baik sifatnya permanen atau
sementara berkaitan dengan proses penyelesaian pertikaian.
Istilah konsiliasi (conciliation) mempunyai arti yang luas dan
sempit. Pengertian luas konsiliasi mencakup berbagai ragam metode di
mana suatu sengketa diselesaikan secara damai dengan bantuan negaranegara lain atau badan-badan penyelidik dan komite-komite penasehat
yang tidak berpihak. Pengertian sempit, konsiliasi berarti penyerahan
suatu sengketa kepada sebuah komite untuk membuat laporan beserta
usul-usul kepada para pihak bagi penyelesaian sengketa tersebut.

Sengketa adalah hal yang lumrah dalam kehidupan bermasyarakat, yang


dapat terjadi saat dua orang atau lebih berinteraksi pada suatu peristiwa/
situasi dan mereka memiliki persepsi, kepentingan, dan keinginan yang
berbeda terhadap peristiwa/situasi tersebut.
Konsiliasi sebagai suatu cara untuk menyelesaikan sengketa
internasional mengenai keadaan apapun dimana suatu Komisi yang
dibentuk oleh pihak-pihak, baik yang bersifat tetap atau ad hoc untuk
menangani suatu sengketa berada pada pemeriksaan yang tidak
memihak atas sengketa tersebut dan berusaha untuk menentukan batas
penyelesaian yang dapat diterima oleh pihak-pihak, atau memberi pihakpihak pandangan untuk menyelesaikannya seperti bantuan yang mereka
pinta.
Konsiliasi merupakan kombinasi antara penyelidikan (enquiry)
dan mediasi (mediation). Pada prakteknya, proses penyelesaian sengketa
melalui konsiliasi mempunyai kemiripan dengan mediasi. Pembedaan
yang dapat diketahui dari kedua cara ini adalah konsiliasi memiliki
hukum acara yang lebih formal jika dibandingkan dengan mediasi.
Karena dalam konsiliasi ada beberapa tahap yang biasanya harus dilalui,
yaitu penyerahan sengketa kepada komisi konsiliasi, kemudian komisi
akan mendengarkan keterangan lisan para pihak, dan berdasarkan faktafakta yang diberikan oleh para pihak secara lisan tersebut komisi
konsiliasi akan menyerahkan laporan kepada para pihak disertai dengan
kesimpulan dan usulan penyelesaian sengketa.
Perbedaan diantaranya yaitu konsiliator

memiliki

peran

intervensi yang lebih besar daripada mediator. Dalam konsiliasi pihak


ketiga (konsiliator) secara aktif memberikan nasihat atau pendapatnya
untuk membantu para pihak menyelesaikan sengketa, sehingga para
pihak memiliki kebebasan untuk memutuskan atau menolak syaratsyarat penyelesaian sengketa yang diusulkan. Sedangkan mediator hanya
mempunyai

kewenangan

untuk

mendengarkan,

membujuk

dan

memberikan inspirasi bagi para pihak. Mediator tidak boleh memberikan


opini atau nasihat atas suatu fakta atau masalah (kecuali diminta oleh
para pihak). Jadi konsiliasi merupakan proses dari suatu penyelidikan

tentang fakta-fakta dimana para pihak dapat menerima atau menolak


usulan rekomendasi resmi yang telah dirumuskan oleh badan
independen.
Perjanjian pertama untuk mengatur konsiliasi diadakan antara
Swedia dan Chili (1920). Tahun 1975 ditandai dengan dua
perkembangan penting. Pertama suatu perjanjian antara Prancis Swiss
mendefinisan fungsi komisi konsiliasi permanen yaitu tugas komisi
konsiliasi permanen ialah untuk menjelaskan masalah dalam sengketa,
dengan mengumpulkan semua keterangnan yang berguna melalui
penyelidikan atau dengan cara lain,dan berusaha untuk membawa pihakpihak pada persetujuan. Komisi ini, setelah mempelajari kasus itu, dapat
mendekatkan pada pihak-pihak batas penyelesaian yang kelihatannya
sesuai dan menetapkan batas waktu kapan mereka harus membuat
keputusan.
Pada akhir pemeriksaannya komisi konsiliasi akan membuat
suatu laporan yang menyatakan bahwa pihak-pihak harus mencapai
persetujuan dan jika perlu, batas persetujuan, atau bahwa terbukti tidak
mungkin untuk melakukan penyelesaian. Pemeriksaan komisi, kecuali
jika pihak-pihak tidak setuju, harus diakhiri dalam waktu enam bulan
terhitung sejak hari diserahkannya sengketa itu pada komisitersebut.
Periode antara tahun 1925 dan Perang Dunia Kedua konsiliasi
berkembang luas dan hampir dibuat 200 perjanjian pada tahun 1940.
Sebagian 5 besar berdasarkan pada perjanjian antara Prancis Swiss
tahun 1925.
b. Kapan Penyelesaian Sengketa International Dilakukan Dengan
Cara Konsiliasi?
Proses penyelesaian sengketa yang sudah dikenal sejak lama
adalah

melalui

proses

litigasi

di

pengadilan.

Seiring

dengan

perkembangan zaman, proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan


menjadi alternatif dalam menyelesaikan sengketa. Penyelesaian sengketa
di luar pengadilan yang bersifat tertutup untuk umum dan proses
beracara lebih cepat dan efisien menjadikan penyelesaian sengketa di
luar pengadilan lebih banyak diminati dalam menyelesaikan sengketa.
Salah satunya ialah dengan cara konsiliasi.

Konsiliasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa di


luar pengadilan (atau yang sering disebut sebagai penyelesaian sengketa
secara damai) lazimnya diadakan berhubungan dengan jasa baik atau
perantaraan. Penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan
intervensi pihak ketiga,yang mana pihak ketiga memberikan jasajasanya untuk mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa dan
menyarankan penyelesaian secara damai. Pihak ketiga mempunyai
peranan yang lebih aktif dan ikut serta dalam perundingan-perundingan
dan memimpin pihak-pihak yang bersengketa sedemikian rupa sehingga
ditemukan penyelesaian secara damai, sekalipun saran-saran perantara
tidak mengikat.
Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini biasanya adalah
negara, namun bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak.
Komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak dapat saja terlembaga
atau bersifat ad hoc, yang kemudian memberikan persyaratan
penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Konsiliasi memiliki hukum
acara yang lebih formal jika dibandingkan dengan mediasi. Karena
dalam konsiliasi ada beberapa tahap yang biasanya harus dilalui, yaitu
penyerahan sengketa kepada komisi konsiliasi, kemudian komisi akan
mendengarkan keterangan lisan para pihak, dan berdasarkan fakta-fakta
yang diberikan oleh para pihak secara lisan tersebut komisi konsiliasi
akan menyerahkan laporan kepada para pihak disertai dengan
kesimpulan dan usulan penyelesaian sengketa.
Proses konsiliasi pada umumnya diberikan kepada sebuah komisi
yang terdiri dari beberapa orang anggota, tapi terdapat juga yang hanya
dilakukan oleh seorang konsiliator. Komisi-komisi Konsiliasi diatur
dalam Konvensi-konvensi the Hague 1899 dan 1907 untuk Penyelesaian
Damai Sengketa-Sengketa Internasional. Komisi tersebut dapat dibentuk
melalui perjanjian khusus antara para pihak dan tugasnya harus
menyelidiki serta melaporkan tentang situasi fakta dengan ketentuan
bahwa isi laporan itu bagaimanapun tidak mengikat para pihak dalam
sengketa. Ketentuan-ketentuan yang actual dalam konvensu-konvensi itu
menghindari kata-kata yang dapat dapat dianggap mewajibkan para

pihak untuk menerima suatu laporan Komisi. Laporan dari komisi


konsiliasi hanya sebagai proposal atau permintaan dan bukan merupakan
konstitusi yang sifatnya mengikat.
Konsiliasi terbukti paling berguna untuk sengketa-sengketa
mengenai hukum, tapi para pihak menginginkan kompromi yang sama.
Sengketa jenis ini ialah sengketa antara Italian Republic dan Holy See,
konsiliasi akan muncul untuk menawarkan suatu alternatif yang jelas.
Pertama, cara konsiliasi itu diatur melalui dialog dengan dan antara
pihak-pihak tidak terdapat resiko konsiliasi yang memberikan akibat
yang sangat mengejutkan pihak-pihak, seperti yang kadang terjadi dalam
acara pemeriksaan hukum. Kedua, proposal komisi tidak mengikat dan
jika tidak dapat diterima , boleh di tolak. Komisi konsiliasi pada daerah
landas kontinen antara Islandia dan Jan Mayen 1981, komisi ini telah
membuat rekomendasi tertentu untuk bagian batas daerah khusus kedua
belah pihak. Dalam praktek konsiliasi yang umum, cukup mendapat
tempat sederhana di antara prosedur yang terdapat dalam negara, dan
kasus Jan Mayen kebetulan merupakan peringatan akan nilainya. Seperti
penyelidikan, proses yang mengembangkan konsiliasi dapat diterima
dalam semua kebutuhan dan memperlihatkan kelebihan yang berasal
dari struktur keterlibatan pihak luar dalam menyelesaikan sengketa
internasional.
c. Bagaimana

Cara

Penyelesaian

Masalah

Dengan

Cara

Konsiliasi?
Konsiliasi merupakan suatu cara penyelesaian sengketa oleh
suatu organ yang dibentuk sebelumnya atau dibentuk kemudian atas
kesepakatan para pihak yang bersengketa. Organ yang dibentuk tersebut
mengajukan usul-usul penyelesaian kepada para pihak yang bersengketa.
Rekomendasi yang diberikan oleh organ tersebut tidak bersifat
mengikat. Organ tersebut disebut dengan komisi konsiliasi.
Fungsi komisi konsiliasi adalah untuk menyelidiki sengketa dan
batas penyelesaian yang mungkin. Fungsi komisi konsiliasi adalah
memberikan informasi dan nasehat tentang pokok masalah posisi pihakpihak dan untuk menyarankan suatu penyelesaian yang bertalian dengan
apa yang mereka terima, bukan apa yang mereka tuntut. Karena proposal

komisi konsiliasi dapat diterima atau ditolak, praktek yang umum untuk
komisi itu adalah memberikan pihak-pihak

jangka waktu tertentu

selama beberapa bulan guna memperlihatkan tanggapan mereka.


Prosedur konsiliasi sangat bermanfaat dan sangat penting, karena
dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ada
beberapa tahap yang harus dilalui, yaitu :
- penyerahan sengketa kepada komisi konsiliasi,
- kemudian komisi akan mendengarkan keterangan lisan para pihak,
- dan berdasarkan fakta-fakta yang diberikan oleh para pihak secara
lisan tersebut komisi konsiliasi akan menyerahkan laporan kepada
para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan penyelesaian
sengketa.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa konsiliasi
merupakan kombinasi antara penyelidikan (enquiry) dan mediasi
(mediation). Salah satu penyebab munculnya sengketa antar negara
adalah karena adanya ketidaksepakatan para pihak mengenai fakta.
Untuk menyelesaikan sengketa ini, akan bergantung pada penguraian
fakta-fakta para pihak yang tidak disepakati. Yang mana untuk dapat
mengetahui kebenaran fakta-fakta yang diberikan oleh para pihak secara
lisan tersebut komisi konsiliasi akan melakukan penyelidikan. Tujuan
dari suatu penyelidikan, tanpa membuat rekomendasi-rekomendasi yang
spesifik, adalah untuk menetapkan fakta, yang mungkin dengan cara
demikian memperlancar penyelesaian sengketa yang dipermasalahkan.
Sama halnya dengan mediasi, pihak-pihak yang melakukan
konsoliasi bersifat aktif dan ikut serta dalam negosiasi-negosiasi demi
tercapainya penyelesaian terhadap sengketa tersebut, melibatkan pihak
ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak
ketiga dapat berupa individu atau kelompok (individual or group),
negara atau kelompok negara atau organisasi internasional. Dalam
mediasi, negara ketiga bukan hanya sekedar mengusahakan agar para
pihak yang bersengketa saling bertemu, tetapi juga mengusahakan dasardasar perundingan dan ikut aktif dalam perundingan,
Setelah
dapat
menyimpulkan
duduk
dipersengketakan

oleh

masing-masing

pihak,

perkara
komisi

yang

konsiliasi

kemudian memberikan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para

pihak. . Namun keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi ini


tidak mengikat para pihak. Para pihak memiliki kebebasan untuk
memutuskan apakah akan menerima atau menolak syarat-syarat
panyelesaian yang diusulkan oleh komisi konsiliasi.
Jika proposal komisi diterima komisi itu membuat proces-verba
(persetujuan) yang mencatat fakta konsiliasi dan menentukan batas
penyelesaian.Jika batas penyelesaian yang diusulkan ditolak, maka
konsiliasi itu gagal dan para pihak tidak mempunyai kewajiban lagi. [8]
Contoh dari konsiliasi adalah pada sengketa antara Thailand dan
Perancis, kedua belah pihak sepakat untuk membentuk Komisi
Konsiliasi. Dalam kasus ini Thailand selalu menuntut sebagian dari
wilayah Laos dan Kamboja yang terletak di bagian Timur tapal batasnya.
Karena waktu itu Laos dan Kamboja adalah protektorat Perancis maka
sengketa ini menyangkut antara Thailand dan Perancis.
6. Abritase
a. Pengertian
Menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat (1
arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
b. Objek Arbitrase
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan
di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga
alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1
Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (UU Arbitrase) hanyalah
sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut
hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh
pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain:
perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan
hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase
memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang
dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa

yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan


perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab
kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
c. Hal-hal Prinsip dalam Arbitrase
1. Penyelesaian sengketa dilakukan diluar peradilan
2. Keinginan untuk menyelesaikan sengketa diluar peradilan harus
berdasarkan atas kesepakatan tertulis yang dibuat oleh pihak
yang bersengketa.
3. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah
sengketa dalam bidang perdagangan dan mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersangkutan.
4. Para pihak menunjuk arbiter/wasit di luar pejabat peradilan
seperti hakim, jaksa, panitera tidak dapat diangkat sebagai
arbiter.
5. Pemeriksaan sengketa dilaksanakan secara tertutup. Pihak yang
bersengketa mempunyai hak yang sama dalam mengemukakan
pendapat masing-masing.
6. Penyelesaian sengketa melalui

arbitrase dapat

dilakukan

menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional.


7. Arbiter/majelis arbiter mengambil putusan berdasarkan ketentuan
hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan.
8. Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 hari sejak
pemeriksaan ditutup Putusan arbitrase bersifat final and binding
artinya final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta
mengikat.
9. Putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter kepada
panitera pengadilan Negeri, dan dalam hal para pihak tidak
melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, maka putusan
dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua PN, atas permohonan
salah satu pihak yang bersengketa. Yang berwenang menangani
masalah

pengakuan

dan

pelaksanaan

Putusan

Arbitrase

Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.


d. Klausul Arbitrase
Dalam Pasal 1 angka 3 UU nomor 30/1999 ditegaskan bahwa
Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula

arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat


para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian sutau
perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul
sengketa.
e. Jenis Arbitrase
1. Arbitrase Ad Hoc (Arbitrase Volunteer)
Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan
yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU
No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya
arbitrase

ad-hoc

direntukan

berdasarkan

perjanjian

yang

menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur


pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan
arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul
arbitrase.
2. Arbitrase Institusional
Arbitrase institusial adalah suatu lembaga permanen yang
dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan
yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan
arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang
internasional seperti The Rules of Arbitration dari The
International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The
Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of
Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan
tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendirisendiri.
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi
standar klausul arbitrase sebagai berikut:
"Semua sengketa yang timbul dari perjanjianini, akan
diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur
arbitrase BANI,yang keputusannya mengikat kedua belah
pihak yang bersengketa,sebagai keputusan dalam tingkat
pertama dan terakhir".

Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation


Comission ofInternational Trade Law) adalah sebagai berikut:
"Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang
terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan
prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan
diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturanaturan UNCITRAL.
Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang
diperiksa pertama kali adalah klausul arbitrase. Artinya ada atau
tidaknya, sah atau tidaknya klausul arbitrase, akan menentukan
apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase.
Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian
arbitrase dibuat setelah sengketa timbul.
f. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan
Umum Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca
beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase
dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :
kerahasiaan sengketa para pihak terjamin ;
keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan

administratif dapat dihindari ;


para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman,
memiliki latar belakang yang cukup mengenai masalah yang

disengketakan, serta jujur dan adil ;


para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk

penyelesaian masalahnya ;
para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase ;
putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para
pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung
dilaksanakan.
Para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai

keunggulan arbitrase. Menurut Prof. Subekti bagi dunia perdagangan


atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan,
mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan
dengan cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara HMN

Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit


(arbitrase) adalah:
Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat.
Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang
diper-sengketakan, yang diharapkan mampu membuat

putusan yang memuaskan para pihak.


Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para

pihak.
Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak
mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perushaan yang
bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah
yang dikehendaki oleh para pengusaha.
Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas,

arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase. Dari praktek yang


berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya
upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan
untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional
sudah cukup jelas.

g. Keterkaitan antara Arbitrase dengan Pengadilan


1. Hubungan Arbitrase dan Pengadilan
Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada
pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase.
Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di
pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga
arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak
untuk menaati putusannya.
Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase
berdasar UU Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter
atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan
(pasal 14 (3)) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase
nasional maupun nasional yang harus dilakukan melalui
mekanisme sistem peradilan yaitu pendafataran putusan tersebut
dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase

internasional mengembil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta


Pusat.
2. Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam
Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para
pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar
putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan
tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan
pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan
lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional
oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri,
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase
diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final
dan mengikat.
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan
mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan
hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak
diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari
putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa
yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada
pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase
nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi
perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu
apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5
(khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi
maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan
arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum

apapun.
Putusan Arbitrase Internasional
Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing
di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa
1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara

peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi


berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni
1958 di New York ditandatangani UN Convention on the
Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award.
Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut
dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5
Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober
1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan
Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan
dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan
adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan
arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi
dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam
eksekusi putusan arbitrase asing.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka, dapat disimpulkan bahwa:
1. Sengketa dapat diartikan sebagai sebuah konflik atau pertentangan, jadi
secara umum sengketa ekonomi adalah sebuah pertentangan antara satu
pihak dengan pihak lain yang saling berinteraksi serta saling berhungan satu
2.

sama lain.
Mekanisme atau cara penyelesaian sengketa khususnya dalam hubungan
bisnis dapat dilakukan dengan cara legitasi yaitu bisa dengan melalui
( pengadilan umum dan pengadilan niaga), serta cara lain yang bisa
ditempuh dalam melakukan penyelesaian sengketa adalah dengan nonlegitasi yang biasanya berupa tindakan-tindakan konsultasi, negosiasi,

mediasi, konsiliasi, arbitrase, dll.


B. Saran
Berdasarkan pasal 33 ayat 1 UUD Tahun 1945 Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan berdasarkan
Piagam PBB, penyelesaian sengketa diutamakan ditempuh tidak melalui
pengadilan akan tetapi melalui cara-cara seperti Konsultasi, Negosiasi

(perundingan), Enquiry atau penyelidikan, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase, serta


Organisasi-organisasi atau Badan-badan Regional.
Selain itu di dalam mempelajari mengenai penyelesaian sebuah sengketa
khususnya dibidang usaha, maka dibutuhkan pemahaman secera mendalam
tentang aturan-aturan atau hukum serta undang-undang yang mengatur tentang
persengketaan.

DAFTAR PUSTAKA

UU No. 30 Tahun 1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa


UU No. 2 Tahun 2004 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52897351a003f/litigasi-danalternatif-penyelesaian-sengketa-di-luar-pengadilan

You might also like