Professional Documents
Culture Documents
Kata Pengantar
|i
Daftar Isi
Bab 1 Pendahuluan
1.1
1.2
1.3
1.4
| ii
Umum________________________________________________________________ 8-1
Identifikasi Risiko ______________________________________________________ 8-1
Penilaian Risiko________________________________________________________ 8-2
Alokasi Risiko _________________________________________________________ 8-3
Mitigasi Risiko _________________________________________________________ 8-3
| iv
Daftar Tabel
Table 3.1 Jenis Perizinan, Persyaratan dan Jangka Waktu Penerbitan____________ 3-21
Tabel 4.1 Rata-rata Produktifitas Pelabuhan (untuk kapal besar dan kecil)
pergerakan per jam ______________________________________________ 4-5
Tabel 4.2 BOR Maksimum (kinerja dermaga) __________________________________ 4-5
Tabel 4.3 Karakteristik Kapal______________________________________________ 4-10
Tabel 4.4 Kebutuhan Pengembangan Dermaga Pelabuhan Murhum Baubau________ 4-12
Tabel 4.5 Perhitungan Lebar Alur Pelayanan _________________________________ 4-13
Tabel 4.6 Perhitungan Kebutuhan Area Perairan Pelabuhan Baubau _____________ 4-19
Tabel 4.7 Kebutuhan Luasan yang Diperlukan Per TEUS ________________________ 4-28
Tabel 4.8 Luas Container Yard (m2) untuk setiap Tahap Pengembangan _________ 4-29
Tabel 4.9 Komposisi Penanganan Barang di Pelabuhan_________________________ 4-30
Tabel 4.10 Luas Transit Shed, Warehouse, dan Open Storage untuk Dermaga
Multi Purpose yang Diperlukan pada Tiap Tahap Pengembangan (m2) ___ 4-30
Tabel 4.11 Rekapitulasi Kebutuhan Transit Shed, Ware House, dan Open
Storage _______________________________________________________ 4-30
Tabel 4.12 Kebutuhan Parkir Truk Cargo _____________________________________ 4-31
Tabel 4.13 Rekapitulasi Kebutuhan Ruang Perkantoran _________________________ 4-33
Tabel 4.14 Rekapitulasi Kebutuhan Fasilitas Daratan Pelabuhan Baubau___________ 4-33
Tabel 4.15 Kebutuhan Peralatan Terminal Peti Kemas Pelabuhan Baubau _________ 4-37
Tabel 4.16 Perkiraan Biaya Konstruksi Pengembang Dermaga Pelabuhan Baubau____ 4-40
Tabel 5.1 Hasil Perhitungan Skenario-1: Pesimis _______________________________ 5-5
Tabel 5.2 Hasil Perhitungan Skenario-2: Optimis_______________________________ 5-6
Tabel 5.3 Hasil Perhitungan Metoda AP, Skenario-1: Pesimis ____________________ 5-7
Table 8.1 Tabel Acuan Alokasi Risiko ________________________________________ 8-4
| vi
Daftar Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar 5.1 Kriteria Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha _________________ 5-4
Gambar 5.2 Keterkaitan Antar Kajian terhadap Model Perhitungan Keuangan ______ 5-5
Gambar 5.3 Pola Perhitungan Proyek Keuangan ________________________________ 5-6
Gambar 8.1 Proses Analisa Risiko ____________________________________________ 8-1
| vii
Bab 1 Pendahuluan
1.1
LATAR BELAKANG
Bab 1 | 1
dermaga,
pengembangan
ruang
kawasan,
dan
pembangunan
terminal
penumpang.
Selain itu, pembangunan gudang transit, penambahan lapangan penumpukan peti
kemas, perluasan areal parkir dan pos jaga, penambahan pagar pengaman, penambahan
jalan akses dan pengaman, serta pembangunan jembatan penghubung. Pelabuhan
Baubau berada di bawah Direktorat Jenderal (Ditjen) Perhubungan Laut Kemenhub
dengan status Unit Pelaksana Teknis (UPT).
Sesuai dengan hasil screening pada Studi Kerjasama Pemerintah dan Swasta untuk
Pelabuhan Baubau Sulawesi Tenggara, ditetapkan dua proyek pembangunan dari
sembilan proyek yang diidentifikasi dapat dilaksanakan di Pelabuhan Baubau, yaitu
Pembangunan Terminal Penumpang dan Terminal Petikemas. Selanjutnya dalam kajian
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan Baubau,
Sulawesi Tenggara ini hanya akan dibahas mengenai dua jenis proyek di atas.
1.2
Maksud dari pekerjaan ini adalah melanjutkan penyusunan dokumen Kajian Awal
Prastudi Kelayakan (Outline Business Case) Pengembangan Pelabuhan Baubau yang telah
dilakukan sebelumnya, agar Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) siap untuk
masuk dalam tahap Transaksi untuk melaksanakan pelelangan Proyek ini.
Tujuan dari kegiatan ini adalah mereview dokumen kajian awal prastudi kelayakan
(OBC) dan menyusun dokumen Kajian Akhir Prastudi Kelayakan (Final Business Case),
Dokumen Lelang Investasi (Dokumen Prakualifikasi, Dokumen Pelelangan Umum, dan
Rancangan Perjanjian Kerjsama) Pelabuhan Baubau sehingga memenuhi ketentuan
proyek KPS.
1.3
KELUARAN
Keluaran dari kegiatan ini adalah tersedianya 2 Jenis Dokumen Transaksi untuk
mendukung Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan Baubau, Sulawesi
Tenggara yang terdiri dari:
1. Dokumen Kajian Akhir Prastudi Kelayakan atau Final Business Case Rencana
Pengembangan Pelabuhan Baubau.
Bab 1 | 2
1.4
RUANG LINGKUP
Berdasarkan KAK dan juga hasil rapat kick-off meeting, ruang lingkup kegiatan ini terdiri
dari beberapa hal sebagai berikut:
A. Review Kajian Prastudi Kelayakan (Outline Business Case), sekurang-kurangnya
terdiri dari:
1. Kajian hukum dan kelembagaan
Kajian hukum dan kelembagaan terdiri atas:
a. Analisis peraturan perundang-undangan, yang dilakukan dengan tujuan
untuk:
1) memastikan
bahwa
KPBU
dilaksanakan
sesuai
dengan
peraturan
kapasitas
keluaran
dan
standar
operasional
yang
ketersediaan
pasokan
sumber
daya
untuk
Bab 1 | 4
dan
pemukiman kembali.
c. Rancang bangun awal, yang memuat rancangan teknis dasar KPBU termasuk
lingkup KPBU yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik dari
masing-masing sektor;
d. Spesifikasi keluaran, yang meliputi:
1) Standar pelayanan minimum yang meliputi kuantitas, kualitas dan
ketersediaan (availibility);
2) Jadwal indikatif untuk pekerjaan konstruksi dan penyediaan peralatan;
3) Kepatuhan atas masalah lingkungan, sosial dan keselamatan;
4) Persyaratan pengalihan aset sesuai perjanjian KPBU; dan
5) Pengaturan pemantauan pada setiap tahapan:
a) konstruksi;
b) operasi komersial; dan
c) berakhirnya perjanjian KPBU.
3. Kajian ekonomi dan komersial, mencakup substansi sebagai berikut:
a. analisis permintaan (demand), yang bertujuan untuk memahami kondisi
pengguna layanan. Analisis permintaan ini dilakukan dengan paling kurang
memuat:
1) Survei kebutuhan nyata (real demand survey) untuk mendapatkan
gambaran
yang
akurat
seperti
mengenai
perkiraan
kebutuhan,
pasar
(market),
yang
bertujuan
untuk
mengetahui
tingkat
Bab 1 | 5
serta
kebutuhan
Dukungan
Pemerintah
dan/atau
Jaminan
pendapatan
yang
optimal
bagi
KPBU
dengan
dimungkinkan
pemberlakuan
mekanisme
penambahan
Bab 1 | 6
1) Perbandingan biaya dan manfaat dengan ada atau tanpa adanya KPBU;
2) Biaya yang dimaksud dalam angka 1 didasarkan pada harga konstan, yang
meliputi:
a) biaya penyiapan KPBU;
b) biaya modal;
c) biaya operasional;
d) biaya pemeliharaan; dan
e) biaya-biaya lain akibat dari adanya proyek.
3) Penilaian/pengukuran manfaat proyek bagi masyarakat dan negara
dengan mempertimbangkan paling kurang:
a) Penghematan oleh masyarakat; dan
b) penghematan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah yang diperoleh.
4) Penentuan biaya ekonomi yang dilakukan dengan mengubah harga
finansial menjadi harga ekonomi (shadow price) untuk setiap masukan
dan keluaran berdasarkan faktor konversi ekonomi yang sesuai;
5) Penentuan manfaat ekonomi dilakukan dengan mengkonversikan manfaat
tersebut menjadi kuantitatif;
6) Parameter penilaian kelayakan ekonomi dilakukan melalui pendekatan
EIRR dan ENPV dengan menggunakan tingkat diskonto ekonomi atau sosial
(economic atau social discount rate); dan
7) Analisis sensitivitas untuk mengkaji pengaruh ketidakpastian pelaksanaan
KPBU terhadap tingkat kelayakan ekonomi proyek.
e. Analisis keuangan, dilakukan dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1) Analisis keuangan bertujuan untuk menentukan kelayakan finansial KPBU
dengan menggunakan asumsi yang didasarkan pada:
a) Informasi ekonomi makro (nilai tukar, inflasi, dan suku bunga) yang
dikeluarkan oleh otoritas lembaga resmi seperti Bank Indonesia dan
BPS;
b) Analisis biaya modal yang terdiri dari biaya proyek, asumsi bunga dan
eskalasi biaya dari KPBU;
c) Biaya operasional dan pemeliharaan;
d) Biaya penyusutan dan nilai buku pada akhir masa konsesi;
e) Perhitungan biaya-biaya lain terkait KPBU termasuk biaya pemukiman
kembali, pemeliharaan lingkungan, perijinan, dan biaya tidak
langsung (management overhead cost);
Bab 1 | 7
pendapatan
yang
didasarkan
pada
hasil
analisis
Bab 1 | 8
Bab 1 | 9
3) Setelah memeriksa dan menyatakan tidak ada kekurangan dari data yang
diisikan, Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota mengeluarkan rekomendasi
yang selanjutnya diajukan kepada pejabat yang berwenang sebagai dasar
penerbitan izin untuk melakukan usaha atau kegiatan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
c. analisis sosial, diperlukan untuk:
1) menentukan dampak sosial KPBU terhadap masyarakat dan menyusun
rencana mitigasinya;
2) menentukan lembaga yang bertanggung jawab untuk pembebasan tanah
dan pemukiman kembali;
3) menentukan pihak-pihak yang akan terkena dampak oleh proyek dan
kompensasi yang akan diberikan, bila diperlukan;
4) memperkirakan kapasitas lembaga untuk membayar kompensasi dan
melaksanakan rencana pemukiman kembali, bila diperlukan; dan
5) menentukan rencana pelatihan dalam rangka melaksanakan program
perlindungan sosial untuk meningkatkan kapasitas masyarakat yang
terkena dampak.
d. rencana pengadaan tanah dan pemukiman kembali, mengikuti ketentuan
sebagai berikut:
1) menyiapkan dokumen perencanaan pengadaan tanah terlebih dahulu;
2) PJPK bertanggung jawab untuk menyiapkan dokumen perencanaan
pengadaan tanah yang merupakan persyaratan untuk memperoleh
penetapan lokasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
3) Izin Lingkungan diperlukan untuk memperoleh surat penetapan lokasi,
selain dokumen rencana pengadaan tanah; dan
4) rencana pemukiman kembali, yang merupakan bagian dari rencana
pengadaan tanah, disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan.
5. Kajian bentuk KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur
Kajian bentuk KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur mengikuti ketentuan sebagai
berikut:
a. pemilihan bentuk KPBU dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor
sebagai berikut:
1) kepastian ketersediaan Infrastruktur tepat pada waktunya;
2) optimalisasi investasi oleh Badan Usaha;
3) maksimalisasi efisiensi yang diharapkan dari pengusahaan Infrastruktur
oleh Badan Usaha;
Bab 1 | 10
membiayai,
merancang,
membangun,
merehabilitasi,
Bab 1 | 11
Bab 1 | 12
2.1
KOTA BAUBAU
Persentase
(%)
7,84
12,62
37,67
21,59
2,22
4,27
13,09
0,70
100
Bab 2 | 1
Karakteristik Wilayah Kota Baubau untuk wilayah utara cenderung subur dan bisa
dimanfaatkan sebagai wilayah pengembangan pertanian dalam arti luas, yaitu meliputi
wilayah Kecamatan Bungi, Sorawolio, sebagian Kecamatan Wolio dan Betoambari.
Wilayah selatan cenderung kurang subur diperuntukan bagi pengembangan perumahan
dan fasilitas pemerintahan. Sementara wilayah pesisir untuk pengembangan sosial
ekonomi masyarakat.
Kondisi topografi daerah Kota Baubau pada umumnya memiliki permukaan yang
bergunung, bergelombang dan berbukit-bukit. Di antara gunung dan bukitbukit
terbentang dataran yang merupakan daerah potensial untuk mengembangkan sektor
pertanian.
Kota Baubau memiliki sebuah sungai yang besar yaitu sungai Baubau. Sungai tersebut
melewati Kecamatan Wolio, Kecamatan Murhum dan Kecamatan Batupoaro. Sungai
tersebut pada umumnya memiliki potensi yang dapat dijadikan sebagai sumber tenaga
listrik, pertanian, perikanan, kebutuhan industri, kebutuhan rumahtangga dan
pariwisata.
2.1.2 Kependudukan
Berdasarkan data Baubau dalam Angka Tahun 2014, penduduk Kota Baubau tahun 2013
berjumlah sebanyak 145.427 orang. Dengan luas 221 km2, maka diperoleh kepadatan
penduduk Kota Baubau tahun 2013 sebesar 658 orang/km. Penduduk Kota Baubau
terdiri dari penduduk laki-laki sejumlah 71.817 jiwa dan penduduk perempuan
berjumlah 73.610 jiwa.
Tabel 2.2 Data Jumlah Penduduk dan KK Per Kecamatan Kota Baubau tahun 2013
Jumlah Penduduk
Rasio Jenis Kelamin
No Kecamatan
KK
Jumlah
(%)
L
P
1
Wolio
8.859
20.247
20.065
40.312
100,91
2
Betoambari
3.799
8.533
8.753
17.286
97,49
3
Sorawolio
1.662
3.776
3.785
7.561
99,76
4
Bungi
1.665
3.726
3.807
7.533
97,87
5
Murhum
4.493
9.961
10.486
20.447
94,99
6
Kokalukuna
3.906
8.808
8.959
17.767
98,31
7
Lea-lea
1.548
3.421
3.617
7.038
94,58
8
Batupoaro
6.041
13.345
14.138
27.483
94,39
Jumlah
31.973
71.817
73.610
145.427
97,56
Sumber: BPS Kota Baubau, 2014
Bab 2 | 3
Pada Tabel 2.3 di bawah ini dapat diketahui bahwa Kecamatan Batupoaro memiliki
kepadatan paling tinggi yaitu 17.731 orang/km, sedangkan Kecamatan Sorawolio
memiliki kepadatan penduduk terkecil yaitu 91 orang/km.
Tabel 2.3 Data Jumlah Kepadatan Penduduk Perkapita Dalam Wilayah Kota Baubau
Tahun 2013
No
Kecamatan
Jumlah Penduduk
Luas wilayah (km)
Kepadatan / km
1
Wolio
40.312
17,33
2.326
2
Betoambari
17.286
27,89
620
3
Sorawolio
7.561
83,25
91
4
Bungi
7.533
47,71
158
5
Murhum
20.447
4,90
4.172
6
Kokalukuna
17.767
9,44
1.882
7
Lea-lea
7.038
28,93
243
8
Batupoaro
27.483
1,55
17.731
Jumlah
145.427
221,00
658
Sumber: BPS Kota Baubau, 2014
pertanian
mempunyai
peranan
strategis
dalam
struktur
pembangunan
Bab 2 | 4
Wolio
Kokalukuna
Sorawolio
Bungi
428
19
7
3
-
110
-
110
1.301
-
137
454
220
11
-
150
250
1.025
344
41
1
1.200
156
169
225
10
15
34
90
386
256
116
28
-
1.440
1.709
3.289
1.084
409
67
35
15
150
71
119
628
300
212
171
718
- 5.860 1.742
410
105
150
463
578
17
54
474
739
944 8.325 4.771 2.893
8.012
1.771
2.938
22.100
3
12
490
300
45
22
155 1.733
Lea-Lea
Batupoaro
Tanah Sawah
Pekarangan
132
Tegal/Kebun
65
Ladang/Huma
172
Padang rumput
368
Rawa yang ditanami
Kolam/tambak
Sementara tidak
273
diusahakan
Lahan
tanaman
32
kayu-kayuan
Hutan negara
Perkebunan rakyat
172
Lainnya
1.575
Jumlah
2.789
Murhum
Penggunaan Tanah
Betoambari
Tabel 2.4 Luas Penggunaan Tanah menurut Kecamatan (ha) Tahun 2013
Kecamatan
Jumlah
Terdapat 8 komoditas utama pertanian yang meliputi padi sawah, padi ladang, jagung,
ubi kayu, ubi jalar, kacang kedelai, kacang tanah dan kacang hijau. Tanaman padi
sawah pada tahun 2013 memiliki luas panen 2.519 ha dengan hasil produksi sebesar
13.657,20 ton. Lokasi penanaman padi terkonsentrasi pada 3 kecamatan yakni
Kecamatan Sorawolio dengan luas panen sebesar 19 ha serta hasil produksi sebesar
72,20 ton, Kecamatan Bungi dengan luas panen 2.335 ha serta hasil produksi sebesar
12.842,5 ton, dan Kecamatan Lea-lea dengan luas panen 165 ha serta hasil produksi
sebesar 742,50 ton. Pada tahun 2013, luas panen tanaman jagung mencapai 215 ha
dengan hasil produksi sebesar 528,70 ton, dengan demikian terjadi penurunan hasil
produksi sebesar 26,30 persen bila dibandingkan dengan hasil produksi pada tahun 2012
yang menghasilkan produksi sebesar 717,40 ton. Untuk tanaman kedelai mengalami
penurunan 100 persen baik luas panen maupun hasil produksinya dimana pada tahun
2013 tidak ada hasil produksi. Sementara untuk tanaman kacang tanah mengalami
peningkatan luas panen dan hasil produksi dibanding tahun 2012. Untuk tanaman ubi
kayu dengan luas panen 120 ha mencapai hasil produksi sebesar 1.112 ton dimana
terjadi penurunan hasil produksi tanaman ubi kayu sebesar 31,79 persen bila
dibandingkan dengan hasil produksi tahun 2012 yang mencapai 1.630,25 ton. Sementara
itu, tanaman ubi jalar mengalami peningkatan hasil produksi sebesar den 44,17 persen
bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Bab 2 | 5
Tabel 2.5 Luas Panen (Ha), Produksi (Ton), dan Produktivitas (kg/ha) 8 Komoditas Utama Pertanian
Padi Sawah
Padi Ladang
Jagung
Kedelai
Kecamatan
Luas
Produk- Luas
Produk- Luas
Produk- Luas
ProdukProduksi
Produksi
Produksi
Produksi
Panen
tivitas Panen
tivitas Panen
tivitas Panen
tivitas
Betoambari
34
78,20
23,00
Murhum
5
10,00
20,00
Batupoaro
Wolio
49
122,50
25,00
Kokalukuna
10
21,00
21,00
Sorawolio
19
72,20
38
202
727.20
36,00
39
101,40
26,00
Bungi
2334 12.842,50
55
12
24,00
20,00
Lea-Lea
165
742,50
45
66
171,60
26,00
Kota Batubau
2013 2.519 13.657,20
54,22
202
727,20
36,00
215
528,70
24,59
2012 2.344 10.652,40
45,45
342 1.162,80
34,00
312
717,40
22,99
4
4
10
2011 2.460 12.214,68
49,65
371 1.187,20
32,00
303
763,90
25,21
1
1
10
2010 2.516 12.364,70
39,00
346
891,85
28,10
198
446,42
23,10
4
4
10
2009 2.040 10.274,56
49,30
562 2.050,59
36,40
277
363,00
22,10
9
9
10
Tabel 2.5 Luas Panen (Ha), Produksi (Ton), dan Produktivitas (kg/ha) 8 Komoditas Utama Pertanian (Lanjutan)
Kacang Tanah
Kacang Hijau
Ubi Kayu
Ubi Jalar
Kecamatan Luas
Produk- Luas
Produk- Luas
Produk- Luas
ProdukProduksi
Produksi
Produksi
Produksi
Panen
tivitas Panen
tivitas Panen
tivitas Panen
tivitas
Betoambari
20
184,00
92,00
8
48,00
60,00
Murhum
2
17,50
87,50
2
10,00
50,00
Batupoaro
Wolio
1
1,00
10,00
26
239,20
92,00
30
186,00
62,00
Kokalukuna
2
2,00
10,00
6
54,00
90,00
6
34,20
57,00
Sorawolio
7
7,00
10,00
1
0,95
9,50
9
81,90
91,00
7
42,00
60,00
Bungi
3
3,00
10,00
1
9,00
90,00
Lea-Lea
56
526,40
94,00
19
117,80
62,00
Bab 2 | 6
Kecamatan
Kota
Batubau
2013
2012
2011
2010
2009
Kacang Tanah
Kacang Hijau
Ubi Kayu
Ubi Jalar
Luas
Produk- Luas
Produk- Luas
Produk- Luas
ProdukProduksi
Produksi
Produksi
Produksi
Panen
tivitas Panen
tivitas Panen
tivitas Panen
tivitas
13
5
9
10
14
13,00
5,00
10,50
4,50
16,20
10,00
10,00
11,67
9,00
10,50
1
3
3
1
4
0,95
2,85
2,85
0,95
3,80
9,50
9,50
9,50
9,50
9,50
120
178
154
132
203
1.112,00
1.630,25
1.411,50
1.265,04
1.957,28
92,67
91,59
91,66
94,90
96,20
72
64
55
31
43
554,75
384,80
330,00
186,50
265,93
77,05
60,12
60,00
59,00
61,80
Bab 2 | 7
Data tanaman hortikultura yang disajikan pada Tabel 2.6 adalah tanaman sayur-sayuran
serta tanaman buah-buahan.
53
38
19
20
42
47
219
16
16
8
1
4
5
11
111
5
6
6
157
13
45
36
69
28
235
152
5
1
190
16
28
19
837
Lea-Lea
82
57
32
49
15
23
258
Bungi
Kokalukuna
Sorawolio
Wolio
Batupoaro
Murhum
Penggunaan
Tanah
Betoambari
75
384
238
120
120
90
159
95
439
241
26
22
34
140
137
91
555
244
93
110
42
529 1.907 1.019
88
94
151
333
130
137
267
Jumlah
846
335
390
748
68
311
947
315
3.960
90
154
244
88
314
517
919
29
19
61
64
232
519
651
24
17 1.935
12
631
134
14
18
5
41
14
33
77
45
477
217
360
60 2.842 1.417
818
4
31
9
9
1
3
170
681
909
321
61
27
54
39
25
19
2
23
113
166
180
563 4.515 5.888 2.647
169
2.051
1.976
815
162
158
1.486
5.627
63
2
5
3.268
165
124
510
16.581
Data jenis tanaman sayur-sayuran yang disajikan pada Tabel 2.6 terdiri dari dua
kelompok, yaitu: kelompok tanaman sayur-sayuran yang dipanen berkali-kali dan sayursayuran yang dipanen sekaligus. Kelompok pertama terdiri dari sembilan jenis, yaitu:
Kacang Panjang, Cabe, Tomat, Terung, Buncis, Ketimun, Labu, Kangkung dan Bayam.
Bab 2 | 8
Sedangkan kelompok kedua terdiri dari 6 jenis tanaman, yaitu: Bawang Merah, Bawang
Putih, Bawang Daun, Kubis, Petsai/Sawi dan Kacang Merah. Pada tahun 2013 produksi
tanaman sayur-sayuran yang dipanen berkali-kali paling banyak adalah jenis kangkung,
kacang panjang dan terung, masing-masing sebanyak 947 kuintal, 846 kuintal dan 748
kuintal.
2.1.3.2 Perkebunan
Tanaman perkebunan rakyat yang diusahakan terdiri dari 13 komoditi. Produktifitas
rata-rata tanaman perkebunan pada tahun 2013 mengalami penurunan. Hasil
perkebunan yang paling menonjol pada tahun 2013 adalah tanaman jambu mete dengan
produksi sebesar 75,94 ton, kelapa dalam 20,77 ton. Untuk tanaman perkebunan lainnya
hanya mampu berproduksi dibawah 10 ton.
Tabel 2.7 Luas Areal Tanaman Perkebunan menurut Jenis Tanaman dan Tingkat
Produktivitas Lahan (ha)
Jenis Tanaman
Produktif
Belum Produktif
Tidak Produktif
Jumlah
Kelapa Dalam
106,00
20,50
7,00
133,50
Kopi
37,25
18,25
4,00
59,50
Kapuk
22,65
2,85
1,00
26,50
Lada
0,80
2,40
3,20
Cengkeh
1,00
1,00
Jambu Mete
372,70
93,00
354,00
819,70
Kemiri
57,45
12,75
3,00
73,20
Coklat
102,00
23,75
43,25
169,00
Enau
9,50
3,00
1,25
13,75
Kelapa Hybrida
17,00
4,00
0,50
21,50
Asam Jawa
8,75
0,75
1,00
10,50
Pinang
1,30
0,10
1,40
Panili
1,00
2,00
1,00
4,00
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
2.1.3.3 Peternakan
Rata-rata jumlah populasi ternak besar dan kecil di Kota Baubau tahun 2013 mengalami
peningkatan dibandingkan tahun 2012. Populasi ternak di tahun 2013 seperti sapi dan
babi mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya yakni masing-masing sebesar 0,06
persen dan 0,77 persen. Untuk ternak unggas yang mengalami peningkatan hanya ayam
kampung dari 138.626 ekor menjadi 139.594 ekor serta ayam ras dari 36.000 ekor.
menjadi 41.050 eko tahun 2013, sedangkan itik/itik manila mengalami penurunan
populasi dari 5.828 ekor menjadi 5.590 ekor.
Tabel 2.8 Populasi Ternak Besar dan Kecil menurut Kecamatan (Ekor)
Kecamatan
Sapi
Kambing
Babi
Betoambari
67
197
Murhum
90
257
Jumlah
Bab 2 | 9
264
347
Kecamatan
Batupoaro
Wolio
Kokalukuna
Sorawolio
Bungi
Lea-Lea
Kota Batubau
Sapi
2013
2012
2011
2010
2009
157
22
325
939
192
1.792
1.791
1.657
2.255
2.168
Kambing
296
295
338
165
133
Babi
1.681
1.983
1.801
1.767
1.694
Itik
1.963
-
Jumlah
453
317
663
3.067
325
1.963
1.948
1.883
1.818
1.699
5.436
5.722
5.341
5.840
5.561
452
811
378
788
304
2.233
624
Jumlah
29.747
24.744
24.811
26.255
29.483
30.616
20.578
5.590
5.828
5.825
5.604
6.428
186.234
180.454
173.915
510.924
506.883
2.1.3.4 Perikanan
Kegiatan penangkapan ikan dilaksanakan melalui berbagai usaha meliputi perikanan laut
dan usaha perikanan darat (perairan umum, tambak dan kolam). Produksi hasil
perikanan laut dan perikanan darat disajikan pada Tabel 2.10 dan Tabel 2.11. Produksi
perikanan laut dikelompokkan menjadi 3, antara lain: penagkapan Ikan, budidaya
rumput laut dan budidaya mabe. Di tahun 2013 usaha penangkapan ikan di laut
mencapai 7.885,79 ton, budidaya rumput laut 2.668,66 ton dan budidaya mabe sebesar
12,78 ton, sedangkan produksi perikanan darat mencapai 7,30 ton. Usaha perikanan
darat terletak di 3 kecamatan. Produksi ikan darat terbanyak terdapat di Kecamatan
Bungi dengan hasil 6,09 ton. Di Kecamatan Sorawolio sebesar 1,21 ton, sedangkan untuk
tahun 2013 di Kecamatan Lea-lea tidak ada produksi perikanan darat.
Bab 2 | 10
2.1.4 Perdagangan
Sektor
perdagangan
merupakan
salah
satu
sendi
perekonomian
yang
dapat
meliputi
hasil
pertanian,
pertambangan,
industri,
perkebunan,
perikanan, perternakan dan kehutanan, sedangkan untuk impor adalah barang modal
dan bahan baku industry.
Meskipun peranannya masih belum begitu dominan dalam perekonomian daerah, namun
melihat potensi posisi Kota Baubau yang strategis, kegiatan industri memiliki peluang
yang cukup besar untuk dikembangkan. Jenis industri yang dominan yaitu industri
pengolahan makanan dan minuman, pengolahan hasil perikanan (pembekuan ikan dan
pengalengan), industri pengolahan hasil perkebunan dan kehutanan (penggergajian,
meubel, dan gembol).
Jumlah total volume perdagangan sebesar 6.211,68 ton, 10 ekor, 7.277 m3 dan 238.966
buah. Jumlah tersebut terdiri dari 0,16 ton hasil tanaman pangan, 2.819,51 ton hasil
perkebunan, 10 ekor peternakan, 2.613,88 ton hasil perikanan, 567,13 dan 7.202 m3
hasil kehutanan, serta 193 ton, 238.966 buah dan 75 m3 dari industri. Komoditas
tanaman pangan yang diperdagangkan antar pulau adalah bawang merah dengan volume
0,16 ton dan nilainya Rp. 6.400.000 atau menurun sebesar 97,44 persen sebagaimana
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Bab 2 | 11
Tabel 2.11 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Bumi dan Laut menurut
Jenis Komoditas
Jenis Komoditas
Satuan
Volume
Nilai (Rp. 000,-)
Tanaman Pangan
Ton
0,16
6.400
Perkebunan
Ton
2.819,51
23.431.410
Peternakan
Ekor
10
120.000
Perikanan
Ton
2.631,88
33.139.992
Ton
567,13
1.809.307
Hasil Kehutanan
m3
7.202
26.583.444
Ton
193
386.000
Industri
Buah
238.966
1.462.594
m3
75
675.000
Ton
6.211,68
58.773.109
Jumlah
Buah
10
120.000
m3
7.277
27.258.444
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
Volume dan nilai perdagangan hasil komoditi perkebunan yang di perdagangkan tahun
2013 mencapai 2.819,51 ton dengan nilai Rp. 23.431.410.000, dimana komoditas kopra
penyumbang volume terbesar yaitu 1.847,93 ton dengan nilai Rp. 12.935.510.000.
Sedangkan nilai perdagangan terkecil dari komoditas buah pala dengan volumen 0,72
ton senilai Rp. 14.400.000.
Tabel 2.12 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Perkebunan menurut Jenis
Komoditas
Volume
Nilai
Jenis Komoditas
(ton)
(Rp. 000,-)
Buah Pala
0,72
14.400
Jahe
2
4.000
Kopi
1,10
16.500
Kopra
1.847,93
12.935.510
Kacang Mete
26,06
1.823.850
Kelapa Biji
6
2.000
Mete Gelondongan
743,15
7.431.500
Biji Kemiri
81,45
366.525
Gula Merah
0,80
5.600
Biji Coklat
71,27
819.525
Asam
39,03
12.000
Jumlah
2013
2.819,51
23.431.410
2012
6.414,95
41.164.800
2011
3.419,62
27.467.479
2010
3.844,86
30.302.150
2009
7.474,88
46.309.664
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
memiliki volume perdagangan yang sangat tinggi yaitu 1.144,04 ton dan 964,35 ton.
Meskipun volume aga-agar tidak banyak dibandingkan ikan bete-bete tapi nilai
penjualanya lebih tinggi yaitu 11.572.200 ribu rupiah, sedangkan ikan bete-bete hanya
576.152 ribu rupiah.
Tabel 2.13 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Perikanan menurut Jenis
Komoditas
Nilai
Jenis Komoditas
Satuan
Volume
(Rp. 000,-)
Agar-agar
ton
964,35
11.572.200
Biji Mutiara
biji
19,45
583.500
Cumi-cumi Kering
ton
140
5.600
Ikan Baronang
ton
0,35
9.450
Ikan Beku
ton
50
1.750
Ikan Bete-bete
ton
1.144.04
576.152
Ikan Cakalang
ton
206,80
2.068.000
Ikan Deho
ton
595
2.380.000
Ikan Ekor Kuning
ton
5,20
15.600
Ikan Kaha-kaha
ton
8,25
20.625
Ikan Kakap Merah
ton
1,00
3.000
Ikan Lansu
ton
37,00
148.000
Ikan Layang
ton
46,50
186.000
Ikan Segar Campuran
ton
0,60
15.000
Ikan Tembang
ton
58,05
290.225
Ikan Belah
ton
4
100.000
Ikan Tongkol
ton
48,25
193.000
Kulit Lokan
ton
104,32
365.120
Kulit Mabe
ton
2,15
7.525
Kulit Mutiara
ton
3,49
20.940
Roci
ton
23,84
476.700
Teri Biasa
ton
105,39
2.107.800
Teri Masdak
ton
230,30
10.361.205
Teripang Campuran
ton
15,30
1.300.500
Tongkat Ikan Hiu
ton
0,60
27.000
Udang
ton
3,40
153.000
Udang Cuci/Pin
ton
3,38
152.100
Jumlah
2013
ton
3.821,11
33.139.992
ton
3.704,73
40.886.590
2012
biji
15.800
316.000
ton
3.504,97
36.767.048
2011
biji
31.150
623.000
ton
4.088,34
35.595.384
2010
biji
35.590
711.800
ton
4.664,14
37.383.969
2009
biji
10.300
206.000
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
Nilai hasil kehutanan yang diperdagangkan mencapai 1.809.207 ribu rupiah dengan
volume 567,13 ton dan 7.202 m3, dimana nilai terbesar berasal dari kayu jati olahan
Bab 2 | 13
yaitu dengan nilai 14.634.000 ribu rupiah sedangkan volume terkecil dari rotan polish
20,6 ton dengan nilai 195.700 ribu rupiah (Tabel 2.14).
Tabel 2.14 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Kehutanan menurut Jenis
Komoditas
Nilai
Jenis Komoditas
Satuan
Volume
(Rp. 000,-)
Kayu Jati Logs
m3
1.139,00
3.075.300
3
Kayu Jati Olahan
m
1.626,00
14.634.000
Kayu Rimba Olahan
m3
4.437,00
8.874.144
Rotan Asalan
ton
51,97
129.915
Rotan Batang
ton
379,76
1.139.292
Rotan Polish
ton
20,60
195.700
Kayu Cendana
ton
114,80
344.400
ton
567,13
1.809.307
Jumlah
2013
m3
7.202,00
26.583.444
ton
532,03
1.992.365
2012
m3
2.779,00
14.130.150
ton
704,07
2.455.126
2011
m3
3.145,00
20.589.607
ton
647,08
6.549.118
2010
3
m
2.963,00
25.921.800
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
Volume perdagangan terbesar di sektor industri adalah dari jenis botol kosong sebesar
196.150 buah dengan nilai 196.150 ribu rupiah. Namun jika dilihat dari nilainya maka
jenis bantal memiliki nilai perdagangan yang tinggi yaitu 771.750.000 rupiah dengan
volume 30.870 ton.
Tabel 2.15 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Industri menurut Jenis
Komoditas
Nilai
Jenis Komoditas
Satuan
Volume
(Rp. 000,-)
Baja/Besi Beton
ton
193
386.000
Bantal
buah
30.870
771.750
3
Jati Olahan
m
75
675.000
Kasur B1
buah
5.310
69.030
Kasur B2
buah
5.226
73.164
Kasur B3
buah
1.410
352.500
Botol Kosong
buah
196.150
196.150
ton
193
386.000
Jumlah
buah
238.966
1.462.594
2013
m3
75
675.000
ton
0,12
1.044.000
2012
buah
13.290
1.663.475
ton
1,83
10.457.100
2011
buah
9.537,00
1.179.238
ton
2010
buah
16.085
1.937.250
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
Bab 2 | 14
Tabel 2.16 menyajikan volume perdagangan antar pulau menurut pelabuhan tujuan
tahun 2013, dimana pelabuhan Surabaya merupakan tujuan terbanyak.
Tabel 2.16 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau menurut Pelabuhan Tujuan
Volume
Nilai
Pelabuhan Tujuan
Satuan
(ton)
(Rp. 000,-)
Jakarta
ton
202,14
12.661.775
ton
4.882,04
39.858.697
Surabaya
3
m
7.202
26.583.444
ton
202,82
3.241.360
Makassar
ekor
10
120.000
Lainnya
ton
48,41
199.400
ton
5.287
55.761.832
Jumlah
m3
7.202
26.583.444
2013
ekor
10
120.000
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
Tabel 2.17 menyajikan volume beras, gula pasir, tepung terigu dan jagung yang
disalurkan oleh Perum Bulog. Tahun 2013 hanya beras lokal yang disalurkan yaitu
sebanyak 7.260 ton. Kebijakan pemerintah dalam pembinaan koperasi ditujukan agar
koperasi menjadi lembaga yang kuat dan wadah utama untuk membina kemampuan
usaha golongan ekonomi lemah.
Tabel 2.17 Volume Beras, Gula Pasir, Tepung Terigu dan Jagung yang Disalurkan oleh
Perum Bulog Sub Divre Wil I di Kota Baubau (ton)
Tahun Beras Lokal
Gula Pasir
Jagung
2006
5.780,60
10,00
2007
5.850,60
14,39
2008
10.697,00
2009
9.853,30
2010
9.738,08
2011
10.365,25
2012
8.107.984,00
2013
7.260,00
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
2.1.5 Transportasi
2.1.5.1 Transportasi Darat
Panjang jalan tahun 2013 di Kota Baubau secara keseluruhan adalah 257,44 km, yang
terdiri dari jalan beraspal sepanjang 218,55 km atau 84,89 persen), dan Kerikil 38,89 km
atau 15,11 persen. Bila dilihat dari kondisinya, jalan yang dalam kondisi baik sepanjang
228,80 km, 22,49 km dalam kondisi sedang dan 6,15 km dalam kondisi rusak,
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.18.
Bab 2 | 15
Kondisi
Baik
Sedang
Rusak
Rusak Berat
Jumlah
Jumlah
Baik
Sedang
Rusak
Rusak Berat
Jumlah
Tahun Tinjauan
2012
2013
56,50
50,48
3,83
11,30
1,75
0,30
62,08
62,08
170,72
178,32
10,50
11,19
6,53
5,85
187,75
195,36
Sarana angkutan darat seperti kendaraan bermotor disamping dapat digunakan oleh
masyarakat sebagai angkutan penumpang, juga dapat digunakan sebagai angkutan
barang, baik barang produksi pabrik maupun barang hasil produksi pertanian dan hasilhasil lainnya. Pada Tabel 2.19 disajikan banyaknya kendaraan yang tercatat dan
terproses pada Samsat Kota Baubau. Jenis sarana angkutan tersebut meliputi mobil
penumpang sebanyak 202 buah, mobil barang sebanyak 947 buah, mobil bus sebanyak
1.584 buah dan sepeda motor sebanyak 21.347 buah.
Tabel 2.19 Banyaknya Kendaraan Bermotor menurut Jenis Kendaraan Terdaftar Pada
Samsat di Kota Baubau (unit)
Jenis Kendaraan
2009
2010
2011
2012
2013
Mobil Penumpang
187
285
335
314
202
- Sedan Non Taksi
28
46
45
48
45
- Jeep
59
102
90
100
111
- St. Wagon
100
137
200
166
46
Mobil Barang
597
605
480
613
947
- Truck barang
203
288
246
295
380
- Truck Trail
15
- Truck Tangki
14
18
19
17
30
- Pemadam Api
3
4
2
5
- Pick Up
377
284
211
299
532
Mobil Bus
783
1.013
1.016
1.111
1.584
- Mikro Bus (12 Seats)
349
489
709
766
1.571
- Mini Bus (12-32 Seats)
407
501
301
343
9
- Bus (32 Seats)
27
23
6
2
4
Sepeda Motor
13.235
18.954
19.538
17.537
21.347
- Scooter
91
28
7.768
262
521
- Motor
13.144
18.926
11.770
17.275
10.826
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
Bab 2 | 16
Jumlah kunjungan kapal laut tahun 2013 tercatat sebanyak 7.652 kunjungan menurun
dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 8.243 kunjungan atau turun 7,17 persen.
Jumlah penumpang naik mencapai 453.938 orang, dan jumlah penumpang turun
sebanyak 437.192 orang. Jumlah penumpang naik mengalami penurunan sebanyak 8,04
persen, sedangkan jumlah penumpang turun juga mengalami penurunan sebesar 2,54
persen.
Bab 2 | 17
Tabel 2.21 Lalu Lintas Pesawat Terbang dan Penumpang melalui Pelabuhan Udara
Betoambari Tahun 2006 - 2013
Lalu Lintas Pesawat
Penumpang (orang)
Tahun
Datang Berangkat Transit Datang Berangkat Transit
2006
6
6
50
53
2007
47
47
1.322
1.095
2008
243
243
6.805
4.710
2009
282
282
5.778
5.250
7
2010
1.224
1.224
2 37.058
34.872
2.810
2011
1.431
1.431
- 48.750
43.658
2012
1.471
1.471
- 57.988
56.773
2013
730
730
- 41.529
40.186
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
2.1.6 Pariwisata
Kota Baubau memiliki potensi wisata dan daya tarik wisata budaya dan wisata alam yang
cukup representatif untuk dikembangkan. Selain sebagai pusat pemerintahan, Kota
Baubau juga sekaligus sebagai pusat Budaya Kesultanan Buton sehingga menjadikan Kota
Baubau memiliki obyek wisata dari peninggalan sejarah dan kebudayaan yang sangat
menarik bagi wisatawan lokal maupun macananegara.
Berdasarkan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Kota Baubau, kawasan
pariwisata dikelompokan menjadi 6 bagian yaitu:
1. Kota Lama, sebagai pusat pelayanan wisata untuk Kota Bau Bau dan sekitarnya
serta wisata budaya berbasis pada bangunan tradisional dan pantai sebagai
penunjang, dengan obyek wisata meliputi Pantai Kamali, Malige, Batu Puaro, dan
Kota Lama.
2. Benteng, sebagai kawasan wisata budaya, dengan obyek wisata meliputi Benteng
Wolio dan Benteng Sorawolio.
3. Pantai sebagai kawasan wisata budaya alam berbasis pantai, dengan obyek wisata
meliputi Pantai Nirwana, Pantai Lakeba, Gua Lakasa, dan Gua Moko.
4. Bungi sebagai kawasan wisata alam berbasis air terjun dan ekologi hutan dan pantai
dengan obyek wisata meliputi Air Terjun Bungi, Pantai Kokalukuna, Air Terjun Tirta
Rimba, dan Hutan Wakonti.
5. Samparona sebagai kawasan wisata alam berbasis air terjun dan ekologi hutan
dengan obyek wisata meliputi Air Terjun Samparona dan Air Terjun Kantongara.
6. Pulau Makassar sebagai kawasan wisata budaya berbasis pemukiman dan tata cara
hidup nelayan serta pantai sebagai penunjang, dengan obyek wisata meliputi pulau
makassar.
Bab 2 | 18
Selain enam bagian potensi wisata di Kota Baubau yang telah ada saat ini, Kota Baubau
merupakan salah satu pintu gerbang utama menuju kawasan wisata Kepulauan Wakatobi
melalui lintas angkutan penyeberangan antar pulau yang menghubungkan Kota Baubau
dengan Pulau Kadatua Kabupaten Buton, Pulau Muna Kabupaten Muna dan Pulau
Wakatobi Kabupaten Wakatobi.
Pembangunan pariwisataan diarahkan pada peningkatan peran pariwisata dalam
kegiatan ekonomi yang dapat menciptakan lapangan kerja serta kesempatan berusaha
dengan tujuan meningkatkan pendapatan masyarakat serta penerimaan devisa. Upaya
yang dilakukan pemerintah adalah melalui pengembangan dan pendayagunaan berbagai
potensi kepariwisataan daerah, dan dampak yang ditimbulkan dari pembangunan
pariwisata di bidang ekonomi adalah meningkatnya pendapatan karena tercipta peluang
usaha. Jumlah hotel dan penginapan di Kota Baubau sebanyak 56 dengan jumlah kamar
sebanyak 757 dan jumlah tempat tidur sebanyak 1.032. Banyaknya tamu hotel bintang
dan non bintang tahun 2013 sebanyak 81.601 orang, yang terdiri dari 511 tamu asing dan
81.090 orang tamu dalam negeri. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa terjadi
peningkatan jumlah tamu dalam negeri sebesar 15,59 persen.
2.1.7 Perekonomian
Produk Domestik Regional Bruto merupakan salah satu indikator untuk mengetahui
keadaan ekonomi suatu daerah dalam suatu periode tertentu. PDRB dihitung
berdasarkan harga berlaku dan harga konstan, dimana PDRB atas dasar harga konstan
digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun.
Nilai PDRB Daerah Kota Baubau berdasarkan harga berlaku pada tahun 2012 sebesar
2.634.647,13 juta rupiah, sedangkan berdasarkan harga konstan sebesar 912.758,25 juta
rupiah dengan tahun dasar 2000. Penyajian PDRB menurut lapangan usaha dibagi
menjadi sembilan sektor, dan dirinci masing masing menjadi sub sektor dengan
perkembangan setiap sektor sebagai berikut:
1. Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan Sektor pertanian
mencakup sub sektor tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, peternakan,
kehutanan dan perikanan. Sektor pertanian pada tahun 2012 memberikan kontribusi
sebesar 12,75 persen terhadap total PDRB Kota Baubau.
2. Pertambangan dan Penggalian Sektor ini terdiri dari 2 sub sektor yakni
pertambangan dan penggalian, dimana sub sektor pertambangan di Kota Baubau
memberikan kontribusi 0,68 persen terhadap total PDRB Daerah Kota Baubau.
Bab 2 | 19
3. Industri Pengolahan Sektor industri pengolahan yang meliputi industri migas dan non
migas dalam hal ini industri makanan, tekstil, barang dari kayu, semen dan barang
galian bukan logam dan lain-lain pada tahun 2012 memberikan kontribusi sebesar
2,43 persen terhadap total Produk Domestik Regional Bruto Daerah Kota Baubau.
4. Listrik, Gas dan Air Bersih Sektor ini merupakan sektor penunjang seluruh kegiatan
perekonomian di Daerah Kota Baubau. Produksi listrik sebagian besar dihasilkan oleh
Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan sebagian oleh listrik non PLN. Sedangkan air
bersih dihasilkan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sektor ini pada tahun
2012 memberikan kontribusi sektoral sebesar 1,17 persen.
5. Konstruksi / Bangunan Sektor konstruksi/bangunan pada tahun 2012 memberikan
kontribusi sebesar 21,52 persen terhadap total PDRB Kota Baubau.
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran Sektor ini berperan sebagai penunjang kegiatan
ekonomi yang menghasilkan produk barang dan jasa. Secara keseluruhan pada tahun
2012 sektor ini memberikan kontribusi sektoral sebesar 26,73 persen.
7. Pengangkutan dan Komunikasi Sektor pengangkutan dan komunikasi memiliki
peranan sebagai pendorong aktivitas disetiap sektor ekonomi. Sektor ini pada tahun
2012 memberikan kontribusi sebesar 10,00 persen.
8. Keuangan Persewaan dan Jasa Perusahaan Sektor ini mencakup bank, lembaga
keuangan bukan bank, sewa bangunan dan jasa perusahaan disebut sektor finansial
karena secara umum kegiatan utamanya berhubungan dengan kegiatan pengelolaan
keuangan yang bersumber dari penarikan dana masyarakat maupun penyaluran
kembali. Sektor ini pada tahun 2012 memberikan kontribusi sebesar 6,39 persen.
9. Jasa - jasa Sektor jasa-jasa meliputi pemerintahan umum dalam hal ini administrasi
pemerintahan dan
jasa pemerintahan
serta swasta
kemasyarakatan, hiburan dan rekreasi juga perorangan dan rumah tangga. Sektor
jasajasa memberikan kontribusi sebesar 18,32 persen terhadap total PDRB Daerah
Kota Baubau.
Berdasarkan harga konstan tahun 2000, PDRB Kota Baubau pada tahun 2007 sebesar
586.325 juta Rupiah. Sektor listrik, gas dan air bersih mengalami pertumbuhan tertinggi
yaitu sebesar 44 persen, diikuti oleh sektor bangunan sebesar 12 persen dan industri
pengolahan sebesar 11 persen. Secara keseluruhan pendapatan regional dikota Baubau
pada tahun 2007 naik sebesar 7,81 persen bila dibandingkan pada tahun 2006. Nilai
PDRB atas dasar harga konstan tersebut tersajikan pada Tabel 2.22 dan Gambar 3.4.
Tabel 2.22 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan Kota
Baubau (Juta Rupiah)
No
Sektor
2010
2011
2012
Proporsi 2012 (%)
Bab 2 | 20
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Sektor
Pertanian
Pertambangan dan Penggalian
Industri
Listrik, Gas dan Air Bersih
Konstruksi
Perdagangan, Hotel, dan
Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi
Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan
Jasa-jasa
Total
2010
64.202,98
5.145,29
32.096,18
7.702,06
169.353,90
2011
65.486,03
6.027,71
34.192,70
8.310,74
190.202,01
2012
66.596,84
7.055,97
36.463,40
9.834,74
226.916,27
169.891,09
188.502,34
207.084,37
22,69
85.570,42
92.506,52
97.517,77
10,68
54.482,16
67.493,06
72.646,19
7,96
20,67
100,00
2.2
PELABUHAN BAUBAU
Secara Geografis Pelabuhan Baubau terletak diantara 502716,5 Lintang Selatan sampai
12203631,4 Bujur Timur, tepatnya Pelabuhan Baubau terletak di Kota Baubau bagian
selatan Sulawesi Tenggara, untuk lebih tepatnya Pelabuhan Baubau ini berada di Pulau
Buton yang terletak di Selat Buton dengan Pelabuhan Utama menghadap ke utara.
2.2.1 Fasilitas Pokok Pelabuhan
Status Pelabuhan Baubau adalah Pelabuhan yang tidak diusahakan yang diselenggarakan
oleh pengelolaan Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Baubau sebagai UPT Pusat.
Kondisi fasilitas pelabuhan yang ada saat ini pada dasarnya sangat memadai dengan
adanya penambahan dermaga tahun anggaran 2009-2012 dengan panjang total 120
meter. Fasilitas Pelabuhan Baubau secara lengkap dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.23 Fasilitas Pelabuhan di Pelabuhan Murhum Baubau
No
Fasilitas
Dimensi
Keterangan
1
Daerah Kerja Daratan
8 Ha Tanah urugan
Tipe lantai beton, dengan tiang pancang
2
Dermaga I
180 x 12 m
beton
Tipe lantai beton, dengan tiang pancang
3
Dermaga II (Baru)
120 x 15 m
beton
Tipe lantai beton, dengan tiang pancang
Dermaga Finger I
50 x 10 m
beton D=400mm, dibangun tahun 2002
4
Tipe lantai beton, dengan tiang pancang
Dermaga Finger II
50 x 10 m beton D=400mm, dibangun tahun 2012
(sedang berjalan)
5
Trantel I
97 x 8 m Tipe beton dengan tiang beton D=450mm
6
Transtel II
123 x 8 m Tipe beton dengan tiang beton D=450mm
7
Causeway I
55 x 8 m Tipe Gravity Wall
8
Causeway II
30 x 8 m Tipe Gravity Wall
9
Causeway III
60 x 10 m Tipe Gravity Wall
10 Talud I
P. 64 m Dinding Penahan Tanah
Bab 2 | 21
No
Talud II
Fasilitas
11
Mooring Dolphin
12
13
14
15
16
17
Kantor Pelabuhan
Terminal Penumpang
Gudang
Rumah Jaga (jalan masuk)
Rumah Jaga (jalan keluar)
Lapangan Penumpukan
Jalan Utama I
Jalan Utama II
Jalan Extra
Areal Parkir
Klinik Kesehatan
Pelabuhan
Karantina Tumbuhan
Karantina Hewan
Kantor Perusahaan
Pelayaran
Kantor Buruh / TKBM
Bak air
Tangki BBM
Pagar
Alat Bantu Navigasi
Suplay Listrik
Suplay Air
Telephone
SRP / Stasiun Radio
Taman I
Taman II
Lapangan Penumpukan
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
Dimensi
Keterangan
P. 130 m Dinding Penahan Tanah
Tipe beton dengan tiang Pancang Beton
2 unit
D=450mm
250 m2 Tipe struktur beton, kondisi cukup baik
780 m2 Tipe struktur beton, kondisi cukup baik
Nihil Tidak ada
6 x 4 m Tipe struktur beton, kondisi cukup baik
- 1.800 m2 Perkerasan dengan aspal kondisi cukup baik
94 x 11,5 m
Perkerasan dengan aspal kondisi cukup baik
32 x 6 m
53 x 6,75 m
42 x 68 m Perkerasan dengan aspal kondisi cukup baik
Menumpang di terminal
12 m2
1 unit
3 unit Menumpang pada terminal penumpang
24 m3
300 m3
Tidak ada
335 m3
1 unit
1.500 KVA
100 m3
2 line
SSB
53 x 6,30 m
33 x 6 m
68 x 64 m
Pintu utama pelabuhan bagi orang dan kendaraan yang keluar masuk di pelabuhan
mengalami hambatan karena belum terpisahnya pintu pejalan kaki dan kendaraan yang
menyebabkan sering terjadi kemacetan pada pintu utama disaat kegiatan puncak yaitu
embarkasi dan debarkasi penumpang Kapal Pelni.
2.2.2 Armada Angkutan Laut
Berdasarkan data yang didapat dari KUPP Pelabuhan Baubau, potensi armada angkutan
laut yang dioperasikan di Pelabuhan Baubau memiliki jumlah yang sangat besar.
Terdapat 52 kapal yang beroperasi dengan trayek asal Baubau yang dikelola oleh
sebanyak sebelas perusahaan termasuk PT Pelni. Perusahaan-perusahaan tersebut
adalah:
1. PT Pelni
Bab 2 | 22
Kapal
Call
Barang (T/M3)
Panjang (m)
Bongkar
Penumpang (Org)
Muat
Turun
Naik
2007
4.260
3.168.789
98.602
93.844
31.164
346.613
450.231
2008
4.441
3.798.409
114.955
103.944
207.387
372.947
504.375
2009
4.941
3.648.801
128.701
133.585
196.147
414.833
511.414
2010
5.052
4.302.453
159.981
189.960
237.218
428.784
473.353
2011
5.232
4.702.322
80.333
228.476
238.074
447.673
500.140
2012
5.230
5.820.272
154.738
254.268
175.264
491.149
532.080
2013
5.593
5.902.455
143.694
290.555
266.239
491.071
519.139
2014
5.802
6.377.392
149.640
325.758
290.628
389.609
458.652
Bab 2 | 23
Bab 2 | 24
Bab 2 | 25
Bongkar (Teus)
140,000
Bongkar (Ton)
120,000
Bongkar (Kosong)
100,000
80,000
Muat (Teus)
60,000
Muat (Ton)
40,000
Muat (Kosong)
20,000
0
2010
2011
2012
2013
2014
pesat dibandingkan dua pelabuhan lainnya di Kota Baubau, selain itu Pelabuhan Murhum
Baubau memiliki status sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada di bawah
Direktorat Jenderal (Dirjen) Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan. Melihat
status serta keberadaannya yang cukup vital bagi transportasi dan perekonomian maka
pemenuhan kebutuhan pergerakan di Pelabuhan Baubau perlu menjadi prioritas
pengembangan. Karena anggaran Pemerintah terbatas, maka perlu dibantu dari
anggaran/investasi
swasta
untuk
mencukupi
kebutuhan
pendanaan
penyediaan
2.4
Berdasarkan dokumen hasil Studi Kerjasama Pemerintah dan Swasta untuk Pelabuhan
BaubauSulawesi Tenggara, disampaikan mengenai potensi awal proyek KPBU di
Pelabuhan Murhum Baubau seperti dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.26 Potensi (Awal) Proyek KPBU di Pelabuhan Baubau
No
Tipe Proyek
Karakteristik
- Permintaan mapan dan terus
meningkat
- Pengembangan usaha dagang
- Kebutuhan lahan
Terminal
reklamasi/flatform antara 2
1
Penumpang
causeway
- Kebutuhan pembangunan gedung
baru
- Telah banyak diterapkan di
beberapa negara
- Permintaan terus meningkat
- Pasar yang mapan
- Dapat terisolasi dari kegiatan
pelabuhan umum
- Membutuhkan teknologi modern
Teminal Peti
2
untuk mencapai efisiensi
Kemas
- Terbatasnya jumlah klien
- Dapat dikembangkan dari operator
eksisting
- Telah banyak diterapkan di
beberapa negara
- Aset jangka panjang yang tidak
menghasilkan tingkat
pengembalian menarik bagi sektor
swasta karena permintaan
3
Kargo Umum
terbatas dan tarif rendah
- Pendapatan biasanya menyebar
dan sulit untuk dikumpulkan.
- Dapat dikembangkan sebagai pola
awal pengenalan KPBU
Penyediaan dan - Terlalu kecil untuk
4
pelayanan
dipertimbangkan sebagai JV /
Prioritas
- BOT
- Konsesi
- Manajemen
kontrak
privatisasi
Tinggi
- BOT
- Konsesi
- Manajemen
kontrak
privatisasi
Tinggi
hybrid
Rendah
hybrid
Sedang
Bab 2 | 27
No
Tipe Proyek
peralatan
pelabuhan
(cranes dan
gantry)
Pergudangan
Pelayanan tunda
dan pandu
Pengelolaan
SBNP
Reklamasi lahan
2.5
Karakteristik
BOT.
- Secara kolektif, masih kurang
besar nilainya sebagai BOT.
- Sulit untuk diisolasi dari kegiatan
pelabuhan lainnya.
- Keterbatasan lahan di kawasan
pelabuhan
- Sering dilakukan oleh perusahaan
swasta yang memberikan layanan
kepada perusahaan pengguna jasa
pengiriman.
- Nilai terlalu kecil untuk BOT.
- Frekuensi kapal yang masih rendah
- Pada umumnya, nilai terlalu kecil
sebagai BOT/JV.
- Investasi kapal yang cukup tinggi
- Kebutuhan tenaga spesialis
menetap.
- Frekuensi kapal yang masih rendah
- Pada umumnya, nilai terlalu kecil
sebagai BOT/JV.
- Pemanfaatan fasilitas yang telah
ada
- Kebutuhan supply air yang
menerus
- Fokus pada keselamatan pelayaran
- Investasi awal cukup tinggi
- Tidak ada pendapatan secara
langsung
Aset yang sangat jangka panjang
atau pengembangan yang belum
dapat menghasilkan keuntungan
yang memadai bagi investor sektor
swasta
Prioritas
BOT
Sedang
Manajemen
kontrak
Sedang
- Perusda (PDAM)
- Kontrak
pelayanan
Sedang
Kontrak pelayanan
Rendah
Pemerintah
Rendah
Dari hasil identifikasi pada Tabel 2.27 di atas, serta perhitungan awal kelayakan studi,
maka ditentukan proyek yang memiliki prioritas tinggi untuk dilaksanakan proyek KPBU
di Pelabuhan Bau Bau adalah Pembangunan Terminal Peti Kemas dan Multipurpose
dengan beberapa informasi kegiatan sebagai berikut:
a. Proyek Kerjasama Permerintah Swasta untuk Penyelenggaraan Terminal Peti Kemas
Pelabuhan
Baubau
meliputi
perencanaan,
pengelolaan,
pembangunan
dan
operasional terminal peti kemas termasuk prasarana dan sarana yang ada
didalamnya.
b. Pelayanan jasa peti kemas di Terminal Peti Kemas Pelabuhan Baubau termasuk hak
untuk menetapkan tarif pelayanan dermaga Peti Kemas yang meliputi:
Bab 2 | 28
2.6
Pelabuhan Baubau dalam Peraturan Daerah Kota Baubau Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Baubau Tahun 2011-2030 adalah Pelabuhan
Bab 2 | 29
2.7
Bab 2 | 30
Bab 2 | 31
3.1
pelaksanaan
skema
Kemitraan
Pemerintah
dan
Swasta
dalam
penyelenggaraan/pengusahaan pelabuhan.
Bab 3 | 1
b.
c.
penyediaan pergudangan;
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
Bab 3 | 2
l.
m.
n.
o.
kegiatan perdagangan;
p.
q.
r.
Kegiatan-kegiatan
penyediaan
dan/atau
pelayanan
jasa
terkait
dengan
3.1.1.3 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Perhubungan
Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2015 menjelaskan jenis PNBP yang berlaku pada
lingkungan Kementerian Perhubungan yang meliputi jasa transportasi darat, laut, udara
serta pendidikan dan pelatihan. Jasa transportasi laut sendiri, dibagi kedalam 4 jenis
jasa pelayanan yakni:
1. Jasa Kepelabuhanan, terdiri dari:
a. Jasa Pelayanan Kapal, (labuh, pandu, tunda dan tambat)
b. Jasa Pelayanan Barang (bongkar, muat, penumpukan petikemas, gudang)
c. Jasa Pelayanan Alat
2. Jasa Navigasi, terdiri dari:
a. Jasa Bantu Navigasi Pelayaran
b. Sewa Fasilitas Galangan Navigasi
c. Jasa Telekomunikasi Pelayaran
3. Penerimaan Uang Perkapalan, terdiri dari:
a. Pemeriksaan, pengujian dan sertfikasi keselamatan kapal
b. Pengukuran kapal
4. Jasa Angkutan Laut:
Bab 3 | 3
Besaran tarif jasa pemanduan di luar perairan wajib pandu dan perairan pandu luar
biasa dikenakan tarif PNBP sesuai dengan tarif jasa pemanduan di pelabuhan umum.
2.
Besaran tarif jasa pemanduan di luar perairan wajib pandu dan perairan pandu luar
biasa tersebut, tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi.
3.
Biaya akomodasi dan tansportasi tersebut dibebankan kepada wajib bayar yang
3.1.1.4 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 63 Tahun 2010 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kantor Otoritas Pelabuhan
Dalam Undang-undang nomor 63 tahun 2010 tentang organisasi dan tata kerja kantor
otoritas pelabuhan yang berhubungan dengan studi ini adalah sebagai berikut:
1. Kantor
Otoritas
Pelabuhan
mempunyai
tugas
melaksanakan,
pengaturan,
pelayanan
jasa
kepelabuhanan,
penyiapan
bahan
analisa
dan
evaluasi
3.1.2 Aspek Hukum Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha di bidang Infrastruktur
Pelabuhan
3.1.2.1 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 83 Tahun 2010 tentang Panduan
Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan
Infrastruktur Transportasi
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 83 Tahun 2010 tentang Panduan Pelaksanaan
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur Transportasi
mengatur mengenai:
1. Penyediaan Infrastuktur adalah kegiatan yang meliputi pekerjaan konstruksi untuk
membangun dan meningkatkan kemampuan infrastruktur dan/atau kegiatan
pengelolaan infrastuktur dan/atau pemeliharaan infrastruktur dalam rangka
meningkatkan kemanfaatan infrastuktur.
2. Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) adalah kerjasama pemerintah dengan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan Koperasi
3. Perjanjian
kerjasama
adalah
kesepakatan
yang
tertulis
untuk
Penyediaan
atau
pemberian
Izin
Pengusahaan
antara
Menteri/
Kepala
Lembaga/Kepala
Daerah
dan/atau
Menteri
Keuangan
sesuai
Bab 3 | 5
Bab 3 | 6
Bab 3 | 7
Perhubungan
Darat
danPerkeretaapian,
Kapus
Pengembangan
3.1.3 Aspek Pendirian Perusahaan dalam rangka Kerjasama Pemerintah dan Badan
Usaha
Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan
Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (Perpres 38/2015) dan Peraturan Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Pemerintah dengan
Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur (Permen PPN 4/2015) mengamanatkan
pemenang pelelangan dalam proyek KPBU untuk mendirikan badan usaha pelaksana.
Badan usaha pelaksana selanjutnya akan menandatangani perjanjian kerjasama dengan
penangung jawab perjanjian kerjasama (PJPK) dan bertanggung jawab dalam
pelaksanaan proyek.
Perpres 38/2015 dan Permen PPN 4/2015 mengamanatkan badan usaha pelaksana
berbentuk perseroan terbatas. Sehubungan dengan hal tersebut maka pendirian badan
usaha pelaksana akan tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (UU 40/2007).
Terdapat beberapa ketentuan dalam UU 40/2007 yang perlu dipertimbangkan dalam
pembentukan badan usaha pelaksana sebagai berikut:
1. Jangka waktu berdirinya badan usaha pelaksana
Pasal 6 UU 40/2007 mengatur bahwa suatu perseroan terbatas dapat didirikan untuk
jangka waktu terbatas atau tidak terbatas sebagaimana ditentukan dalam anggaran
dasar. Dalam kaitannya dengan Proyek, badan usaha pelaksana dibentuk untuk
melaksanakan Proyek dengan jangka waktu perjanjian yang telah ditentukan oleh
PJPK, oleh karenanya badan usaha pelaksana harus memiliki jangka waktu pendirian
yang meliputi seluruh jangka waktu perjanjian kerja sama berikut dengan
perpanjangannya.
Bab 3 | 8
Bab 3 | 9
Sehubungan dengan pendirian dan status badan hukum dari badan usaha pelaksana,
perlu juga diperhatikan ketentuan dalam Lampiran Permen PPN 4/2015 yang
mengatur bahwa badan usaha pelaksana harus telah didirikan secara sah paling
lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal penetapan pemenang pelelangan selanjutnya
perjanjian KPBU harus ditandatangani oleh Penanggung Jawab Proyek Kerjasama
(PJPK) dan badan usaha pelaksana selambat-lambatnya 40 (empat puluh) hari
kerja setelah terbentuknya badan usaha pelaksana (Bab IV E 1. b. dan c.).
Sehubungan dengan ketentuan tersebut di atas maka penandatanganan perjanjian
kerjasama antara PJPK dengan badan usaha pelaksana dilaksanakan setelah
pendirian badan usaha pelaksana tersebut telah mendapatkan pengesahan dari
Menkumham.
4. Kegiatan usaha badan usaha pelaksana
Pasal 18 UU 40/2007 mengatur bahwa suatu perseroan harus mempunyai maksud dan
tujuan serta kegiatan usaha yang dicantumkan dalam anggaran dasar perseroan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam kaitannya dengan
Proyek, badan usaha pelaksana khusus didirikan untuk melaksanakan Proyek,
sehingga dengan demikian badan usaha pelaksana harus mencantumkan dalam
anggaran dasarnya maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang sejalan dengan
Proyek dan tidak mencantumkan jenis usaha atau kegiatan lainnya di luar Proyek.
5. Pemindahan hak atas saham
Pasal 55 dan Pasal 56 UU 40/2007 pada dasarnya memberikan kebebasan kepada
pemegang saham untuk mengalihkan sahamnya sesuai dengan persyaratan yang
diatur dalam anggaran dasar perseroan. Untuk membatasi/mengatur pengalihan
saham dalam badan usaha pelaksana oleh para pemegang sahamnya maka perlu
diatur batasan-batasan pengalihan saham badan usaha pelaksana dalam perjanjian
kerjasama antara PJPK dengan badan usaha pelaksana. Pengaturan pengalihan
saham ini diperlukan untuk memastikan bahwa pengalihan saham dalam badan usaha
pelaksana tidak akan berdampak negatif terhadap Proyek, misalnya mengakibatkan
jadwal pembangunan Proyek menjadi tidak tercapai.
Dalam Bab IV E 2. f. 3. Permen PPN 4/2015 diatur mengenai tugas dari Simpul KPBU
sehubungan dengan pengalihan saham dalam badan usaha pelaksana sebelum proyek
Bab 3 | 10
KPBU beroperasi secara komersial. Dalam hal pengalihan saham tersebut di atas,
Simpul KPBU ditugaskan untuk melakukan kegiatan yang meliputi:
a. Penetapan kriteria pengalihan saham oleh PJPK yang meliputi:
1) pengalihan saham tidak boleh menunda jadwal mulai beroperasinya KPBU;
dan
2) pemegang saham pengendali yang merupakan pemimpin konsorsium dilarang
untuk mengalihkan sahamnya sampai dengan dimulainya operasi komersial
dari KPBU.
b. melakukan kualifikasi terhadap calon pemegang saham baru badan usaha
pelaksana yang sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan yang ditetapkan pada
saat dilaksanakan prakualifikasi pelelangan umum Badan Usaha Pelaksana;
c. mengajukan persetujuan kepada PJPK, apabila calon pemegang saham baru telah
memenuhi seluruh kriteria pengalihan saham yang ditetapkan dan memenuhi
persyaratan kualifikasi; dan
d. menyiapkan konsep persetujuan pengalihan saham yang akan ditandatangani
oleh PJPK.
6. Kewenangan Direksi badan usaha pelaksana untuk menandatangani perjanjian
kerjasama dengan PJPK
Berdasarkan Pasal 98 UU 40/2007 pada dasarnya direksi memiliki kewenangan dalam
mewakili badan usaha pelaksana baik di luar maupun di dalam pengadilan.
Kewenangan direksi untuk mewakili badan usaha pelaksana sebagaimana dimaksud
di atas tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam UU
40/2007, anggaran dasar, atau keputusan rapat umum pemegang saham.
Sehubungan dengan ketentuan tersebut di atas maka perlu dipastikan kapasitas atau
kewenangan dari direksi badan usaha pelaksana dalam anggaran dasar badan usaha
pelaksana untuk menandatangani perjanjian kerjasama. Jika dalam anggaran dasar
diatur mengenai persyaratan untuk mendapatkan persetujuan dari organ perseroan
untuk menandatangani perjanjian kerjasama maka persyaratan tersebut harus
diperoleh sebelum penandatanganan perjanjian kerjasama.
Dalam rangka memastikan legal standing dari badan usaha pelaksana termasuk
direksinya dalam menandatangani dan melaksanakan perjanjian kerjasama dan
perjanjian terkait lainnya, maka sebaiknya dalam perjanjian kerjasama disyaratkan
kewajiban dari badan usaha pelaksana untuk menyerahkan pendapat hukum dari
Bab 3 | 11
firma hukum yang menegaskan legal standing termasuk kewenangan dari direksi
badan usaha pelaksana untuk menandatangani dan melaksanakan perjanjian
kerjasama dan perjanjian proyek lainnya.
3.1.4 Aspek Hukum Investasi/Penanaman Modal
Mengenai penanaman modal asing di Indonesia, dalam proyek KPS sektor pelabuhan,
menurut Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang
Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman
Modal (Perpres 39/2014), terdapat batas kepemilikan asing untuk penanaman modal
di dalam perusahaan yang melakukan kegiatan usaha infrastruktur sektor pelabuhan
adalah sebesar 49 %. Oleh karena demikian, investor asing harus bergabung dengan
mitra lokal guna memiliki sedikitnya 51 % saham di Badan Usaha sebagaimana diatur
dalam daftar negatif investasi. Mitra lokal ini harus ikut serta dalam proses tender
sebagai anggota konsorsium investor asing.
Dalam hal perusahaan pemenang tender Proyek adalah badan hukum asing, maka badan
hukum tersebut dalam melakukan penanaman modal di Indonesia harus tunduk pada
ketentuan-ketentuan penanaman modal asing yang diatur dalam UU 25/2007.
Berdasarkan ketentuan UU 25/2007, setiap penanaman modal asing (investasi asing)
yang dilakukan di Indonesia harus dilakukan dalam bentuk perseroan terbatas
berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik
Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Suatu PT yang memiliki unsur
permodalan asing disebut sebagai perusahaan penanaman modal asing ("Perusahaan
PMA").
Sebelum pendirian atau pembentukan sebuah Perusahaan PMA, calon investor harus
mengajukan permohonan untuk pendaftaran penanaman modal di BKPM. Selama proses
aplikasi pendaftaran penanaman modal, Badan Koordinasi Penanaman Modal ("BKPM")
akan menentukan disetujui atau tidaknya permohonan penanaman modal tersebut.
Langkah-langkah dan prosedur untuk melakukan pendaftaran penanaman modal, izin
prinsip dan izin usaha, dan perubahan status Perusahaan PMA diatur dalam Peraturan
BKPM 5/2013.
Perusahaan PMA bisa
dalam bentuk
pembebasan bea masuk untuk mesin, pembebasan bea masuk untuk barang-barang dan
bahan-bahan dan pengurangan pajak pendapatan perusahaan (PPh perusahaan). Dalam
Bab 3 | 12
hal suatu Perusahaan PMA ingin mendapatkan insentif penanaman modal, maka
Perusahaan PMA tersebut harus terlebih dahulu mendapatkan izin prinsip dari BKPM.
Dalam mengajukan permohonan Izin Prinsip dari BKPM, Penanam Modal asing mengisi
aplikasi pendaftaran penanaman modal asing kepada BKPM sesuai dengan Peraturan
BKPM No.5 Tahun 2013. Setelah dikeluarkan Izin Prinsip dari BKPM, maka penanam
modal dapat mengajukan permohonan pemberian fasilitas investasi (pembebasan bea
masuk barang produksi, penangguhan pajak penghasilan badan). Penanam modal wajib
memperoleh izin usaha sesuai dengan ketentuan Peraturan BKPM No. 5 Tahun 2013 dan
peraturan lain yang terkait.
3.1.5 Aspek Keselamatan Kerja
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (UU 1/1970)
mengatur
mengenai
hak
tenaga
kerja
untuk
mendapatkan
perlindungan
atas
Bab 3 | 13
tempat yang mudah dilihat dan terbaca dan menurut petunjuk pegawai pengawas
atau ahli kesehatan kerja;
2. Memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua gambar keselamatan kerja
yang diwajibkan dan semua bahan pembinaan lainnya, pada tempat-tempat yang
mudah dilihat dan terbaca menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli
keselamatan kerja;
3. Menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada
tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang
lain yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang
diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.
Pasal 86 dan 87 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU
13/2003) mengatur bahwa setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dengan cara pencegahan
kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi
kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi. Lebih lanjut, untuk memastikan perlindungan
atas keselamatan dan kesehatan kerja tersebut, setiap perusahaan wajib menerapkan
sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem
perusahaan.
Dalam rangka K3, Pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan perundangundangan di bidang K3, antara lain:
1. Peraturan
Menteri
Tenaga
Kerja
Nomor
PER.05/MEN/1996
tentang
Sistem
Bab 3 | 14
Bab 3 | 15
Konstruksi bidang pekerjaan umum penyedia jasa konstruksi harus membuat Rencana
Keselamatan Kerja dan Kesehatan Kerja Kontrak yang disetujui oleh pengguna jasa.
Pasal 3 Permen PU 9/2008 mengatur bahwa untuk instansi di luar Kementerian
Pekerjaan Umum. Penyelenggaraaan SMK3 sebagaimana diatur dalam Permen PU 9/2008
perlu penyesuaian lebih lanjut sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Dalam kaitannya dengan Proyek, untuk memastikan dipenuhinya segala peraturan yang
berlaku di bidang K3 oleh badan usaha pelaksana, perlu diatur dalam perjanjian
kerjasama mengenai kewajiban dari badan usaha pelaksana untuk mematuhi segala
peraturan di bidang K3.
3.1.6 Aspek Hukum Pengadaan Lahan
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang akan digunakan dalam Proyek harus
dilaksanakan dengan berdasarkan UU No. 2/2012, Perpres 71/2012, dan Peraturan BPN
No. 5/2012 ("Kerangka Pengadaan Tanah"). Kerangka Pengadaan Tanah sebagai dasar
diadakannya pengadaan tanah suatu proyek yang terkait dengan kepentingan umum
harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Kerangka Pengadaan
Tanah tersebut.
Berdasarkan Kerangka Pengadaan Tanah, proses pengadaan tanah dibagi dalam tiga
tahap: tahap perencanaan, persiapan dan pelaksanaan. Tahapan pengadaan tanah
tersebut dapat dijalankan secara berdampingan dengan tahapan pelaksanaan proyek
kerjasama pada tahap perencanaan dan penyiapan Proyek.
Tahap pertama dari kerangka pengadaan tanah adalah tahap perencanaan. Tahapan
perencanaan terdiri dari studi kelayakan dan dokumen perencanaan pengadaan tanah.
Terlepas dari hal-hal lain, dokumen perencanaan pengadaan tanah harus menunjukan
bahwa pengadaan tanah tersebut didasarkan kepada:
1. rencana tata ruang dan wilayah yang ada; dan
2. prioritas pengembangan proyek seperti dijelaskan dalam rencana pembangunan
jangka menengah, rencana strategis, dan rencana kerja lembaga pemerintahan.
Tahapan persiapan dilaksanakan setelah rencana pengadaan tanah disetujui oleh
instansi yang memerlukan tanah. Tahapan persiapan terdiri dari, antara lain, konsultasi
publik dan penetapan lokasi awal rencana pembangunan. Tahapan pelaksanaan terdiri
Bab 3 | 16
dari: pendataan status tanah, penilaian atas tanah oleh seorang penilai independen
yang ditunjuk oleh BPN, negosiasi kompensasi dan penyerahan hak atas tanah.
Dalam Kerangka Pengadaan Tanah, bentuk kompensasi dapat berupa pembayaran uang,
tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham dalam proyek, atau bentuk
lain yang disetujui para pihak. Kerangka Pengadaan Tanah menetapkan kriteria yang
luas tentang orang yang berhak untuk mendapatkan kompensasi (tidak hanya pihak yang
memiliki tanah dengan status terdaftar). Kriteria-kriteria ini dijelaskan dalam pasal 17
sampai 26 dari Perpres 71/2012.
Kerangka Pengadaan Tanah memberikan mekanisme pengajuan keberatan bagi seluruh
pihak yang merasa keberatan. Setiap keberatan selama konsultasi publik diberikan
secara langsung pada tim terkait dengan konsultasi publik. Setiap keberatan terkait
inventarisasi status tanah harus disampaikan kepada BPN dalam 14 hari setelah
pengumuman status tanah terkait. Setiap keberatan sebagai hasil dari negosiasi
kompensasi harus diberikan kepada Pengadilan Negeri (dengan hak untuk mengajukan
banding kepada Mahkamah Agung).
Berdasarkan pasal 85 UU 17/2008 diatur bahwa Otoritas Pelabuhan dapat diberikan Hak
Pengelolaan atas tanah dan pemanfaatan perairan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pengaturan
tersebut
dimaksudkan
bahwa
tanah
yang
perpajakan
dalam
pelaksanaan
pembangunan,
pengelolaan
dan
Bab 3 | 18
c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah Negara yang belum
dibebani suatu hak;
d. digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan atas perlakuan
timbal balik;
e. digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan
oleh Menteri Keuangan.
Menurut ketentuan Pasal 5 UU 12/1985, besarnya PBB yang harus dibayarkan oleh
badan usaha terhadap bangunan yang memiliki fungsi berkaitan dengan Proyek dan
tidak termasuk dalam pengecualian obyek yang dikenakan PBB adalah sebesar 0,5%
(nol koma lima persen).
3. Pajak Pertambahan Nilai pada Perusahaan Pelaksana Proyek, dasar hukum Pasal 4A
UU 42/2009.
Badan Usaha wajib untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ketentuan yang
diatur pada Pasal 4A UU 42/2009, tidak menyebutkan bahwa penyelenggara
prasarana transportasi tidak termasuk dalam kategori jenis jasa yang tidak
dikenakan PPN. Oleh karena itu, kegiatan penyelenggaraan pelabuhan terkena
kewajiban membayar PPN yang dibayarkan oleh badan usaha dalam penyelenggaraan
pelabuhan sebesar 10% (sepuluh persen).
3.2
Sejauh ini, untuk kepastian pelaksanaan Proyek tidak teridentifikasi adanya kebutuhan
untuk diterbitkannya Peraturan baru.
3.3
Bab 3 | 19
Dalam hal ini rencana Proyek telah sesuai dengan RIPN dan RIP Bau-Bau. Pembangunan
pelabuhan laut oleh penyelenggara pelabuhan hanya dapat dilakukan setelah
diperolehnya
izin
pembangunan
pelabuhan.
Dikarenakan
pelabuhan
Bau-Bau
proses
pembangunan
suatu
Pelabuhan
Umum
terdapat
bebeberapa
Pembangunan
Pelabuhan,
adapun
Penetapan/Perizinan
tersebut
diantaranya adalah:
1. Penetapan Lokasi Pelabuhan
2. Rencana Induk Pelabuhan
3. Penetapan Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan
(Penetapan Batas-batas Tanah dan Perairan Pelabuhan)
4. Izin Pembangunan Pelabuhan
5. Perizinan Terkait Fasilitas Pelabuhan
6. Jaminan Kelestarian Lingkungan
7. Jaminan Keamanan dan Ketertiban
8. Izin Mendirikan Bangunan (Untuk Lahan Pelabuhan di daratan)
9. Izin Penggunaan Perairan (Untuk Lahan Pelabuhan di Perairan)
10. Izin Pengerukan dan Izin Reklamasi
11. Izin Pembangunan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran
12. Izin Pekerjaan Di Bawah Air
Bab 3 | 20
Dokumen
Jangka
Waktu
Penerbitan
30 hari
Keterangan
Pemohon adalah Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
Tidak
ditentukan
Tidak
ditentukan
Ditetapkan oleh:
1) Menteri untuk Pelabuhan Utama dan
Pelabuhan Pengumpul
2) Gubernur
untuk
Pelabuhan
Pengumpan regional, dan
Bab 3 | 21
No
Dokumen
Pelabuhan.
Jangka
Waktu
Penerbitan
Keterangan
3) Bupati/Walikota untuk pelabuhan
untuk pelabuhan pengumpan local.
Isi dalam Penetapan, paling tidak
memuat Antara lain:
1) Luas lahan daratan yang digunakan
sebagai Daerah Lingkungan Kerja;
2) Luas perairan yang digunakan
sebagai Daerah Lingkungan Kerja
dan Daerah Lingkungan Kepentingan
pelabuhan;
3) Titik koordinat geografis sebagai
batas Daerah Lingkungan Kerja dan
Daerah Lingkungan Kepentingan
pelabuhan.
Kewajiban-kewajiban
yang
harus
dipenuhi dalam penetapan:
1) Untuk Daerah Lingkungan Kerja
Daratan:
a) Memasang tanda batas sesuai
dengan batas Daerah Lingkungan
Kerja
daratan
yang
telah
ditetapkan;
b) Memasang papan pengumuman
yang
memuat
informasi
mengenai
batas
Daerah
Lingkungan
Kerja
daratan
pelabuhan;
c) Melaksanakan
pengamanan
terhadap aset yang dimiliki;
Bab 3 | 22
No
Dokumen
Jangka
Waktu
Penerbitan
Keterangan
Bab 3 | 23
No
7
8
9
10
Dokumen
Izin Pembangunan
Jaringan Jalan ke
Pelabuhan
Izin Pembangunan
Sarana
Bantu
Navigasi Pelayaran
Izin Pembangunan
Penahan
Gelombang,Izin
Pembangunan
Kolam Pelabuhan
dan
Izin
Pembangunan Alur
Pelayaran
Izin Pengerukan
Jangka
Waktu
Penerbitan
Keterangan
berdasarkan
hasil
penelitian
yang
dilakukan
Dirjen,
Menteri
dalam
Bab 3 | 24
No
11
Dokumen
Izin Reklamasi
Jangka
Waktu
Penerbitan
jangka
waktu
7
(tujuh) hari
kerja
menerbitkan
izin
pengerukan
Keterangan
hasil
penelitian
yang
dilakukan
Bab 3 | 25
No
12
Dokumen
Jangka
Waktu
Penerbitan
Direktur
Jenderal,
Menteri
dalam
jangka
waktu paling
lama
7
(tujuh) hari
menerbitkan
izin
reklamasi
Keterangan
Bab 3 | 26
No
Dokumen
Jangka
Waktu
Penerbitan
dalam
jangka
waktu
7
(tujuh) hari
kerja
menerbitkan
izin kegiatan
pekerjaan
bawah
Keterangan
Bab 3 | 27
3.4
Kajian Kelembagaan
mendelegasikan
kewenangannya
kepada
pihak
yang
dapat
mewakili
meliputi
sektor
Infrastruktur
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundangundangan.
Dalam rangka implementasi skema KPBU dalam Proyek, skema kelembagaan didasarkan
pada pembangunan dan pengembangan pelabuhan pada awalnya. Pelabuhan Baubau
dibangun dan dikembangkan dengan investasi pemerintah pusat dengan sumber
pembiayaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Berdasarkan pada hal
tersebut, maka Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (Selanjutnya disebut PJPK)
adalah Pemerintah Pusat c.q. Kementerian Perhubungan. PJPK akan menggunakan dan
mengijinkan Badan Usaha untuk menggunakan, mengoperasikan, merehabilitasi,
meningkatkan, memelihara dan memperbaiki aset eksisting yang dimiliki oleh PJPK,
Pemerintah Pusat c.q Kementerian Perhubungan. Hal ini merupakan bentuk kerjasama
pemanfaatan barang sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No. 27 tahun
2014 Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah.
Bab 3 | 28
Dalam hal pemilihan bentuk pemanfaatan barang milik negara/daerah terkait Proyek,
skema kerjasama yang dapat diimplementasikan adalah kerjasama pemanfaatan (untuk
aset eksisting) dan skema Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer) untuk aset yang
akan dibangun. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sewa, pinjam
pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik
negara diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dalam hal ini ketentuan mengenai
tata cara yang dimaksud adalah tertuang pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor
78/PMK.06/2014 Tentang Tata Cara Pemanfaatan Barang Milik Negara.
3.4.2 Analisa Pemetaan Stakeholders dan Peran Serta Tanggung Jawabnya
Stakeholders dan peran serta tanggung jawabnya dalam Proyek Pengembangan
Pelabuhan Bau-Bau dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Kementerian Perhubungan
Menteri Perhubungan merupakan penanggung jawab administrasi transportasi
Indonesia. Menteri Perhubungan atas nama pemerintah melaksanakan fungsi
penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian sektor tranportasi.
Merujuk pada peran dari Menteri Perhubungan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa Menteri Perhubungan merupakan penanggung jawab umum atas Proyek
Pengembangan Pelabuhan Bau-Bau.
Khusus dalam kaitannya dengan Proyek Pengembangan Pelabuhan Bau-Bau peran
dari Menteri Perhubungan juga meliputi penerbitan izin yang berada di bawah
kewenangan Menteri Perhubungan, antara lain, Izin Pembangunan Pelabuhan untuk
dapat melakukan pengembangan Pelabuhan Bau-Bau yang meliputi kegiatan
pembangunan dan pengoperasian pelabuhan tersebut.
2. Direktorat Pelabuhan dan Pengerukan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
Direktorat Pelabuhan dan Pengerukan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
memiliki peran dalam merumuskan serta melaksanakan kebijakan, standar, norma,
pedoman, kriteria dan prosedur serta bimbingan teknis, evaluasi dan pelaporan di
bidang pengembangan pelabuhan dan perancangan fasilitas pelabuhan, pengerukan
dan reklamasi, pemanduan dan pendundaan kapal, bimbingan pelayanan jasa dan
operasional pelabuhan.
Bab 3 | 29
Bab 3 | 30
a.
b.
2.1
Berdasarkan
Pasal
Peraturan
Kepala
Lembaga
Kebijakan
Pengadaan
b. Penitia Pengadaan
Pasal 8 Perka LKPP 19/2015 mengatur tugas dan tanggung jawab dari Panitia
Pengadaan sebagai berikut:
(i)
(ii)
(iii)
(iv)
(v)
(vi)
(vii)
(viii)
(ix)
(x)
(xi)
(xii)
PJPK;
(xiii) Menyerahkan dokumen asli proses pengadaan kepada simpul KPBU
setelah proses pengadaan selesai; dan
(xiv) Menyerahkan salinan dokumen proses pengadaan kepada PJPK.
Pasal 9 Perka LKPP 19/2015 mengatur bahwa Panitia Pengadaan berjumlah
minimal 5 (lima) orang dan dapat ditambah sesuai dengan kebutuhan.
Panitia pengadaan dapat berasal dari personil instansi sendiri dan dapat
berasal dari instansi/satuan kerja terkait serta personil unit layanan
pengadaan pada kementerian/lembaga setempat. Lebih lanjut diatur bahwa
panitia pengadaan terdiri dari anggota yang memahami tentang:
(i)
(ii)
(iii)
(iv)
(v)
(vi)
Prosedur pengadaan;
Prosedur KPBU;
Ruang lingkup pekerjaan proyek kerjasama;
Hukum perjanjian dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di bidang infrastruktur sektor bersangkutan;
Aspek teknis terkait dengan proyek kerjasama; dan
Aspek bisnis dan finansial terkait dengan proyek kerjasama.
Dalam Permen PPN 4/2014 diatur bahwa Tim KPBU memiliki peran dan
tanggung jawab untuk:
(i)
(ii)
(iii)
(iv)
melakukan kegiatan tahap penyiapan KPBU meliputi, kajian awal Prastudi Kelayakan
dan kajian akhir Prastudi Kelayakan;
melakukan kegiatan tahap transaksi KPBU hingga tercapainya pemenuhan pembiayaan
(financial close), kecuali kegiatan pengadaan Badan Usaha Pelaksana;
menyampaikan pelaporan kepada PJPK secara berkala melalui Simpul KPBU; dan
melakukan koordinasi dengan Simpul KPBU dalam pelaksanaan tugasnya.
Bab 3 | 33
c. Simpul KPBU
Selain Tim KPBU dan Panitia Pengadaan, berdasarkan Pasal 44 Perpres 38/2015, Menteri
diamanatkan untuk menunjuk unit kerja di lingkungan Kementerian/Lembaga/Daerah
sebagai Simpul KPBU. Simpul KPBU bertugas untuk menyiapkan perumusan kebijakan,
sinkronisasi, koordinasi, pengawasan, dan evaluasi pembangunan KPBU.
Pasal 41 Permen PPN 4/2015 mengatur lebih lanjut bahwa simpul KPBU dapat melekat pada
unit kerja yang sudah ada di lingkungan Kementerian/Lembaga/Daerah atau unit kerja baru
yang dibentuk dalam lingkungan Kementerian/Lembaga/Daerah.
Lebih lanjut dalam Lampiran Permen PPN 4/2014 diatur peran dari Simpul KPBU sebagai
berikut:
(i)
Dalam tahap manajemen pelaksanaan KPBU, Simpul KPBU membantu PJPK untuk
mengawasi dan mengendalikan jalannya pelaksanaan KPBU sesuai dengan ketentuanketentuan yang disepakati dan tercantum dalam perjanjian KPBU;
(ii)
(iii)
rancangan fasilitas baru atau penjelasan atas pelayanan yang akan disediakan;
penggabungan fasilitas baru dengan fasilitas yang telah ada;
hak untuk menyampaikan permasalahan terkait dengan kegagalan dan
ketidakmampuan Badan Usaha Pelaksana untuk memenuhi perjanjian KPBU;
penundaan atau perubahan jadwal konstruksi;
variasi disain konstruksi, apabila diminta oleh PJPK;
kesiapan pekerjaan/operasi;
pemantauan atas kesesuaian perencanaan teknik dengan pelaksanaan konstruksi;
permasalahan mengenai tenaga kerja; dan
risiko yang ditanggung oleh PJPK.
Apabila terjadi pengalihan saham Badan Usaha Pelaksana sebelum proyek KPBU
beroperasi secara komersial, Simpul KPBU melakukan kegiatan yang meliputi:
1)
2)
3)
4)
(iv)
Dalam tahap pengakhiran proyek KPBU, Simpul KPBU melakukan penilaian aset yang
meliputi kegiatan:
1)
2)
3)
4)
5)
Bab 3 | 35
Memperhatikan tugas Simpul KPBU dalam Permen PPN 4/2015 tersebut di atas maka
secara umum dapat disimpulkan tugas Simpul KPBU adalah membantu PJPK dalam
pelaksanaan KPBU, terutama dalam tahap pelaksanaan perjanjian kerjasama.
Berikut adalah organisasi kelembagaan dalam pelaksanaan KPBU menurut Permen PPN 4/2015:
2.2
Berdasarkan uraian pada bagian 2.3 di atas maka dapat diidentifikasi perangkat
regulasi/Keputusan yang diperlukan terkait dengan aspek kelembagaan adalah:
a. Surat Keputusan PJPK tentang Tim KPBU; dan
b. Surat Keputusan PJPK tentang Panitia Pengadaan.
2.3
Bab 3 | 36
Merujuk pada Ketentuan dalam Permen PPN 4/2015 dan Perka LKPP 19/2015
acuan pengambilan keputusan dalam perencanaan, penyiapan dan transaksi
proyek KPBU adalah sebagai berikut:
Jenis Keputusan
Penerbit/
Penanggung
Jawab
Tahap Perencanaan
Rencana Anggaran Dana
KPBU
Menteri
Dirjen
Menteri
Tahap Penyiapan
Pembentukan Tim KPBU
Tahap Transaksi
Pembentukan
Panitia
Pengadaan
Menteri
Menteri
PJPK
Persyaratan/Catatan
Penyusunan
rencana
aggaran meliputi setiap
tahap pelaksanaan KPBU
Dalam rangka identifikasi
proyek
KPBU
harus
disusun
studi
pendahuluan
Diputuskan berdasarkan
hasil identifikasi Proyek
KPBU
Dokumen
tersebut
dijadikan
dasar
oleh
Menteri
Perencanaan
dalam menyusun Daftar
Rencana KPBU
Dapat
dibantu
oleh
Badan penyiapan.
Pada Tahap ini PJPK
dibantu oleh Tim KPBU
melakukan
penyiapan
kajian
prastudi
kelayakan,
konsultasi
publik, penjajakan minat
pasar,
penyusunan
rencana
pengadaan
tanah dan pemukinam
kembali,
proses
perolehan
dukungan
pemerintah
dan/atau
jaminan
pemerintah,
serta
proses
kajian
lingkungan hidup (jika
proyek
disyaratkan
mendapatkan AMDAL)
PJPK
Bab 3 | 37
Konfirmasi
proyek KPBU
Kesiapan
Panitia
Pengadaan
Panitia
Pengadaan
Penyusunan
Pengadaan
Jadwal
Panitia
Pengadaan
Penetapan
Dokumen
Pengadaan
dan
perubahannya (jika ada)
Panitia
Pengadaan
PJPK
Berita
Acara
Pelelangan
Panitia
Pengadaan
hasil
Panitia
Pengadaan
PJPK
PJPK
PJPK
(sepuluh)
hari
kerja
setelah
diterimanya
sanggahan. Apabila PJPK
tidak
memberikan
jawaban dalam jangka
waktu tersebut di atas
maka PJPK dianggap
menolak
sanggahan.
Apabila
sanggahan
dinyatakan benar oleh
PJPK
maka
PJPK
menyatakan
evaluasi
ulang atau menyatakan
pelelangan gagal.
PJPK menerbitkan surat
pemenang lelang dengan
ketentuan:
a. Tidak ada sanggahan
dari peserta lelang;
b. Sanggahan
terbukti
tidak benar;
c. Masa sanggah telah
berkahir;
d. Pemenang
lelang
sudah
memperpanjang surat
jaminan penawaran
yang berlaku sampai
dengan
penandatanganan
perjanjian kerjasama.
PJPK menerbitkan Surat
Pemenang
Lelang
selambat-lambatnya
7
(tujuh) hari kerja setelah
proses sanggah selesai.
Surat diterbitkan dalam
jangka waktu paling lama
10 (sepuluh) hari kerja
setelah surat pemenang
lelang diterbitkan
Bab 3 | 39
Bab 3 | 40
4.1
Untuk dapat memberikan pelayanan yang baik dalam penyelenggaraan transportasi laut,
maka perlu ditetapkan standar kinerja teknis operasional pelabuhan yang dapat
dijadikan
sebagai
alat
untuk
mengukur
tingkat
keberhasilan
penyelenggaraan
Kinerja
Pelayanan
Operasional
adalah
variabel-variabel
Pelayanan,
penggunaan fasilitas dan peralatan pelabuhan. Indikator tersebut terdiri dari Waiting
Time (WT) atau waktu tunggu kapal, Approach Time (AT) atau waktu pelayanan
pemanduan, Effektive Time dibanding Berth Time (ET: BT), Produktivitas Kerja (T/G/J
dan B/C/H), Receiving/Delivery Petikemas, Berth Occupancy Ratio (BOR) atau atau
tingkat penggunaan dermaga, Shed Occupancy Ratio (SOR) atau tingkat penggunaan
gudang, Yard Occupancy Ratio (YOR) atau tingkat penggunaan lapangan penumpukan,
Kesiapan operasi peralatan.
Beberapa definisi yang berkaitan dengan kinerja pelayanan adalah sebagai berikut:
1. Kinerja Terminal Petikemas
Kriteria kinerja Terminal Petikemas, salah satunya dapat dilihat dari produktivitas
alat bongkar muat. Kemampuan alat bongkar muat yang dimiliki oleh Terminal
Petikemas harus dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk melakukan kegiatan bongkar
muat Peti Kemas yang keluar masuk terminal, antara lain di definisikan sebagai
berikut:
a. Produktifitas Alat Bongkar Muat (Crane)
/
Bab 4 | 1
dengan:
B = box
C = crane
S = ship
H = hour
c. Kinerja arus lalu tambatan / dermaga (Berth Through-Put, BTP)
=
dengan:
tempat
tambatan
(continous
berth),
perhitungan
penggunaan
+ 5)
100%
Dengan Nilai BOR, maka diketahui tingkat kepadatan sebuah pelabuhan. BOR
juga merupakan indikator yang menentukan apakah sebuah pelabuhan masih
memenuhi sarat untuk melayani kapal dan barang atau membutuhkan
pengembangan, dan BOR juga menggambarkan produktifitas pelabuhan.
e. Kinerja lapangan penumpukan (Container Yard Occupancy Ratio)
Tingkat pemakaian lapangan penumpukan petikemas CYOR atau YOR, merupakan
perbandingan jumlah pemakaian lapangan penumpukan petikemas yang dihitung
dalam 1 TEU per hari atau m per hari dengan kapasitas penumpukan yang
tersedia.
Container Yard:
Bab 4 | 2
100%
1
100%
Untuk mengatasi kondisi kritis (over load) dan menjamin kelancaran operasi di
lapangan
penumpukan
petikemas,
maka
dalam
perencanaan
harus
Bab 4 | 3
5) Idle time, yaitu waktu yang tidak digunakan untuk melakukan kegiatan
bongkar muat atau waktu menganggur, seperti waktu yang terbuang saat
peralatan bongkar muat rusak.
penggunaan
dermaga
yang
dinyatakan
dalam
satuan
persen
(%)
memberikan informasi mengenai seberapa padat arus kapal yang tambat dan
melakukan kegiatan bongkar muat di dermaga sebuah pelabuhan.
b. Pelayanan Petikemas
Kecepatan bongkar / muat Per Kapal.
1) Kecepatan bongkar / Muat di pelabuhan (Ton per Ship Hour in Port)
dengan:
(
(
/
/
)
)
Bab 4 | 4
dengan:
TSHB = kecepatan bongkar muat per shift di tambatan (ton jam)
3. Kongesti Pelabuhan
Kongesti/kemacetan pelabuhan akan timbul apabila kapasitas pelabuhan tidak
sebanding dengan jumlah kapal dan barang yang akan masuk ke pelabuhan untuk
melakukan kegiatan bongkar muat uang ditandai oleh indikator kinerja pelabuhan
(BOR). Gejala ini dapat terjadi apabila pada suatu pelabuhan terjadi kebutuhan yang
mendadak atau kelambatan kerja pelayanan bongkar muat di pelabuhan.
Kapal dan barang dapat menunggu berhari-hari bahkan berminggu-minggu di luar
pelabuhan untuk membongkar muatannya. Bila hal ini terjadi, perekonomian suatu
negara akan sangat terpengaruh dan pelayaran secara keseluruhan akan merasakan
akibatnya. Oleh karena itu, BIMCO (The Baltic and International Maritime
Conference), yaitu perkumpulan pemilik kapal yang dalam hal ini mewakili UNCTAD
membuat saran untuk menghindari kongesti pelabuhan (Shipping Pengangkutan
Intermodal Ekspor Impor Melalui Laut, R.P.Suyono, 2001).
Tabel 4.1 Rata-rata Produktifitas Pelabuhan (untuk kapal besar dan kecil)
pergerakan per jam
Produktifitas untuk Kapal Kecil
Produktifitas untuk Kapal Besar
Pelabuhan
Crane
Dermaga
Crane
Dermaga
Singapore
23
45
36
140
UEA Rashid & Jebel Ali
22
40
30
110
Khor-Fakkan
20
32
28
100
Salalah
29
90
Adem
28
70
India Nhava Sheva
18
30
22
40
Jawaharlal Nehru
16
24
20
36
Tuticorin
14
14
Colombo-SLPA
14
23
18
45
Colombo-SAGT
13
25
Sumber :
Container Terminal Productivity, 2007
Kapal Kecil: 400-1.800 TEU, Kapal Besar 1.800 TEU ke atas
Bab 4 | 5
4.2
+ 2.00 m
+ 0.00 m
1.0 m
Periode
6.0 s
Bilangan gelombang =
0.086
4.2.2.2 Arus
Kecepatan arus rencana berdasarkan hasil simulasi arus pasang surut yang telah
dilakukan:
Kecepatan Arus (U)
0.5 m/s
Bab 4 | 6
Koefisien Drag
Koefisien Inersia
4.3
Bab 4 | 7
penting adalah tinjauan ekonomi untuk mendapatkan bangunan yang paling ekonomis.
Pemilihan tipe dermaga didasarkan pada tinjauan berikut:
1. Tinjauan Topografi Daerah Pantai
Di perairan yang dangkal sehingga kedalaman yang cukup agak jauh dari darat,
penggunaan jetty akan lebih ekonomis karena tidak diperlukan pengerukan yang
besar.
dengan melakukan pemancangan tiang di perairan yang dalam menjadi tidak praktis
dan sangat mahal. Dalam hal ini pembuatan wharf adalah lebih tepat. Di suatu
daerah yang akan dibangun daerah industri atau pertambangan dekat pantai, di
mana daerah daratan rendah maka diperlukan penimbunan dengan menggunakan
pasir hasil pengerukan di laut. Untuk menahan tanah timbunan diperlukan dinding
penahan tanah. Dinding penahan tanah tersebut dapat juga sebagai dermaga dengan
menambah fasilitas tambatan, bongkar-muat, perkerasan halaman dermaga, dan
sebagainya. Dermaga ini disebut bulkhead wharf (wharf penahan tanah).
2. Jenis Kapal yang Dilayani
Dermaga yang melayani kapal kontiner (container cargo) memerlukan peralatan
bongkar-muat barang yang besar, rel khusus crane, gudang-gudang, dan lain-lain.
Karena kebutuhan fasilitas bongkar muat tersebut, areal darat lebih cocok berupa
timbunan. Apabila areal darat Untuk melayani kapal tersebut penggunaan pier atau
jetty akan lebih ekonomis.
3. Daya Dukung Tanah
Kondisi tanah sangat menentukan dalam pemilihan tipe dermaga. Pada umumnya
tanah di dekat daratan mempunyai daya dukung yang lebih besar daripada tanah di
dasar laut.
Dasar laut umumnya terdiri dari dari endapan yang belum padat.
Ditinjau dari daya dukung tanah, pembuatan wharf atau dinding penahan tanah
lebih menguntungkan. Tetapi apabila tanah dasar berupa karang, pembuatan wharf
akan mahal karena untuk memperoleh kedalaman yang cukup di depan wharf
diperlukan pengerukan. Dalam hal ini pembuatan pier akan lebih murah karena tidak
diperlukan pengerukan dasar karang.
Dengan
melihat
kondisi
di
lapangan
dan
mengacu
kepada
pertimbangan-
pertimbangan diatas dipilihlah tipe pier atau jetty untuk struktur dermaga karena
dinilai lebih ekonomis. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi pantai yang curam dan
jenis kapal yang dilayani adalah kargo dengan spesifikasi 30.000 DWT.
Bab 4 | 8
dengan:
E
= Elevasi dermaga
MHWL
perhitungan
kebutuhan
dermaga
diperlukan
pengetahuan
mengenai
karakterisitik kapal yang akan digunakan dalam perencanaan seperti panjang (loa),
lebar dan draft. Karakteristik kapal yang digunakan dalam pengembangan Pelabuhan
Baubau dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.3 Karakteristik Kapal
Panjang Loa
(m)
Kapal Penumpang (GRT)
500
51
1.000
68
2.000
88
3.000
99
5.000
120
8.000
142
10.000
154
15.000
179
20.000
198
30.000
230
Bobot
Lebar
(m)
Draft
(m)
10,2
11,9
13,2
14,7
16,9
19,2
20,9
22,8
24,7
27,5
2,9
3,6
4,0
4,5
5,2
5,8
6,2
6,8
7,5
8,5
3,7
4,2
4,9
5,7
6,8
8,0
8,5
9,3
10,0
10,9
11,7
12,4
8,1
9,0
9,8
10,6
11,4
11,9
13,3
14,5
16,1
18,0
Panjang
Loa (m)
Kapal Minyak (DWT)
700
50
100
61
2.000
77
3.000
88
5.000
104
10.000
130
15.000
148
20.000
162
30.000
185
40.000
204
50.000
219
60.000
232
70.000
244
80.000
255
30.000
185
Lebar
(m)
Draft
(m)
8,5
9,8
12,2
13,8
16,2
20,1
22,8
24,9
28,3
30,9
33,1
35,0
36,7
38,3
28,3
3,7
4,0
5,0
5,6
6,5
8,0
9,0
9,8
10,9
11,8
12,7
13,6
14,3
14,9
10,9
27,1
30,7
33,5
35,8
10,6
11,6
12,4
13,0
14,3
16,2
18,9
20,2
22,4
21,8
25,4
27,1
3,7
4,3
4,9
5,3
5,9
6,1
6,5
6,7
Bobot
Bab 4 | 10
: 34.538 TEUS
tidak beroperasi)
3. Jumlah efektif hari kerja perhari
: 12 jam
: 60%
: 5 box/jam
10. Total panjang dermaga peti kemas tahun 2020: 260 meter.
Bab 4 | 11
Peningkatan kinerja operasional pelabuhan yang meliputi BOR, jumlah jam operasi,
jumlah gang, serta produktifitas alat/gang mempengaruhi kebutuhan dermaga pada
pelabuhan yang dikaji. Pada kasus Pelabuhan Baubau, terdapat tiga jenis angkutan
utama yaitu angkutan penumpang, angkutan barang umum dan angkutan peti
kemas.
Perhitungan tiap tahapan pengembangan panjang dermaga Pelabuhan Murhum
Baubau lebih lengkapnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 4.4 Kebutuhan Pengembangan Dermaga Pelabuhan Murhum Baubau
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Uraian
Satuan
Sumber :
Eksisting
2015
Pendek
2016-2020
Menengah
2016-2025
Panjang
2016-2035
11.848
12
63
5
60
5.000
130
206
58
316
330
1,0
130
31.564
14
60
8
112
7.000
130
288
110
472
330
2,0
260
45.833
14
55
10
140
10.000
160
412
112
599
330
2,0
320
81.073
18
55
12
216
15.000
160
618
132
687
330
3
480
529.532
15
180
68
8,91
655
1.000
68
10,0
680
1.088.340
15
210
70
15,70
1122
2.000
100
12,0
1200
1.544.458
25
350
70
13,37
955
3.000
110
9,0
990
2.890.237
35
630
70
14
993
5.000
130
8
1.040
3. Lebar Dermaga
Lebar dermaga ditentukan bedasarkan peralatan dan kebutuhan bongkar muat
barang di atas dermaga. Dalam hal ini alat-alat yang disediakan. Dalam studi ini
lebar dermaga di desain sepanjang 20 m untuk memenuhi kebutuhan bongkar muat
kontainer.
Bab 4 | 12
Panjang alur pelayaran tergantung dari topografi dasar perairan (bathimetri) dan
kedalaman alur yang diinginkan, sedangkan arah alur pelayaran tergantung dari arah
angin dominan, topografi dasar perairan, dan material dasar perairan. Berdasarkan
pada karakteristik geografis Baubau, kedalaman alur pelayaran di Selat Masiri dan
Selat Buton berkisar antara 10 20 meter dengan lebar alur pelayaran yang cukup
memadai. Sedangkan arah alur pelayaran adalah dari arah barat daya Pelabuhan
Baubau dan khusus alur dari Kendari, alur pelayaran dari arah utara pelabuhan.
2. Lebar Alur
Untuk lebar alur dapat dihitung dengan menggunakan rumus seperti yang terlihat
pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Perhitungan Lebar Alur Pelayanan
No
Pemanfaatan alur
Satu jalur
Kondisi Alur
Kapal tidak berpapasan
Kapal sering berpapasan
(frekwensi lalu lintas kapal cukup banyak)
Kapal jarang berpapasan
(frekwensi lalu lintas kapal relatif sedikit)
Kapal sering berpapasan
Kapal jarang berpapasan
Lebar Alur
5B
7B + 30 M
4B + 30 M
9B + 30 M
6B + 30 M
Bab 4 | 13
D = d + 0.5H + s + c
Keterangan:
d
D
H
s
sebagai berikut:
Alur = (9B + 30) x Lajur
Keterangan:
B
Lalur
Bab 4 | 14
R
L
D
R
L
D
Bab 4 | 15
Bab 4 | 16
a. Kedalaman Kolam
Perairan kolam harus memiliki kedalaman yang cukup supaya kapal-kapal dapat
keluar-masuk dengan aman pada saat air surut terendah (LLWL). Kedalaman kolam
dihitung dengan persamaan di bawah ini.
h = d + H + C
dengan:
h = Kedalaman kolam pelabuhan saat surut terrendah.
d = draft = tinggi bagian kapal yang terrendam air pada saat muatan penuh (8.2 m)
H = Tinggi gelombang rencana (1.0 m)
C = keel clearence = sebagai pengaman, diambil nilai 10-100 cm.
Dari data-data yang dimiliki didapatkan kedalaman kolam putar:
h = 11.0 + (1.0) + 0.5
= 12.0 m
LOA
Bab 4 | 17
1,8 B
1,5 B
1,5 B
Kapal
1,5 B
1,8 B
1,8 B
Kapal
Kapal
1,5 B
= 7.6 x 27.5
= 209 ~ 210 m
Perencanaan luas kolam harus menunjang kemudahan manuver kapal dan dapat
menampung kegiatan yang dilakukan oleh kapal mulai dari kedatangan sampai
berangkat. Formula perhitungan kebutuhan luas kolam pelabuhan adalah:
A = A kolam putar + A sandar kapal
Berdasarkan pada asumsi kapal maksimum (Peti Kemas dan Barang Umum) pada masingmasing tahapan pengembangan, diperhitungkan kebutuhan luar area dalam wilayah
Bab 4 | 18
pelabuhan yang meliputi area alur pelayanan dari dan ke pelabuhan, tempat sandar,
kolam putar, tempat labuh, pindah labuh kapal, alih muat kapal, area penempatan
kapal mati, area keperluan darurat, percobaan berlayar, luas kolam pelabuhan
dijabarkan pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Perhitungan Kebutuhan Area Perairan Pelabuhan Baubau
No
Uraian
Karakteristik Kapal
Desain/Standar
a. Ukuran
b. LOA (Panjang), L
c. Beam (lebar), B
d. Draft minimum, D
Jumlah Kapal dilayani
a. Kedatangan
b. Sandar, N
c. Labuh
d. Alih Muat
e. Kapal Mati
Panjang Dermaga
a. Panjang Eksisting, Le
b. Panjang rencana, Lr
c. Panjang Tambahan, Lt
Dimensi Alur
Panjang Alur (Lalur) eksisting
Lebar Alur eksisting
Lebar Alur ukuran kapal
a. 1-way
b. 2-ways
Kedalaman Alur
Dimensi Kolam
a. Areal Alur Pelayaran dari
dan ke Pelabuhan
b. Areal Tempat Sandar
Lebar
Panjang
Luas untuk 1 kapal
Luas Total
c. Areal Kolam Putar
Diameter (dgn tunda)
Luas
Diameter (tanpa tunda)
Luas
d. Areal Tempat Labuh
Jari-jari
Satuan
Pendek
(2014-2018)
Peti
Kemas
Menengah
(2014-2023)
Barang
Umum
Peti
Kemas
Panjang
(2014-2033)
Barang
Umum
Peti
Kemas
Barang
Umum
DWT
m
m
m
7,000
109
20.1
6.8
2,000
81
12.7
4.9
10,000
135
20.8
7.6
3,000
92
14.2
5.7
15,000
158
23.3
8.7
5,000
109
16.4
6.8
unit
unit
unit
unit
unit
7
7
1
1
1
7
7
1
1
1
7
7
1
1
1
7
7
1
1
1
8
8
1
1
1
7
7
1
1
1
m
m
m
180
260
80
512
576
64
260
320
60
576
562
-
320
320
-
562
630
68
m
m
17,000
232
17,000
232
17,000
232
17,000
232
17,000
232
17,000
232
m
m
m
101
171
9-12
64
119
9-12
104
176
9-12
71
129
9-12
117
193
9-12
82
145
9-12
Ha
359
245
369
268
407
m
m
m2
Ha
164
196
32,079
22
122
146
17,715
12
203
243
49,208
34
138
166
22,853
16
237
284
67,403
54
m
Ha
m
Ha
218
26
327
59
162
14
243
32
270
40
405
90
184
19
276
42
316
63
474
141
180
140
211
156
Luas
m2
101,562
61,928
139,337
76,650
Luas Total
Ha
10
14
240
181,25
7
18
Bab 4 | 19
359
164
196
32,079
22
218
26
327
59
180
101,56
2
10
No
Uraian
e. Areal Pindah Labuh Kapal
Jari-jari
Luas
Luas Total
f. Areal Alih Muat Kapal
g. Areal Penempatan Kapal
Mati
h. Areal Keperluan Keadaan
Darurat
i .Areal Percobaan Berlayar
Lebar (Minimum)
Panjang (Minimum)
j. Luas kolam pelabuhan
Dengan tunda
Tanpa tunda
Sumber :
Satuan
Pendek
(2014-2018)
Peti
Kemas
Menengah
(2014-2023)
Barang
Umum
Peti
Kemas
Panjang
(2014-2033)
Barang
Umum
Peti
Kemas
Barang
Umum
180
101,56
2
10
10
180
140
211
156
m2
101,562
61,928
139,337
76,650
Ha
Ha
10
10
6
6
14
14
8
8
240
181,25
7
18
18
Ha
14
18
Ha
Ha
m
m
30
171
1,744
15
119
1,296
38
176
2,160
19
129
1,472
49
193
2,528
30
171
1,744
48.58
81.24
26.83
44.86
74.52
124.62
34.61
57.88
116.66
195.09
48.58
81.24
4. Sistem Fender
Sistem fender ditujukan untuk menjamin kapal pada saat berlabuh dari kerusakan
yang mungkin terjadi karena benturan antara lambung kapal dengan dermaga. Tipe
fender yang akan digunakan disesuaikan dengan gaya tambat dan energi reaksi pada
fender itu sendiri.
5. Alat Penambat Kapal
Alat-alat penambat berfungsi untuk menjaga kapal yang berlabuh dari gerakan yang
dapat mengganggu aktivitas bongkar muat. Gerakan-gerakan yang biasanya paling
mengganggu operasional kapal adalah gerak vertikal (heave) dan gerak horisontal
(surge). Penambatan kapal dilakukan dengan tali yang diikatkan pada bollard.
Bollard terbuat dari kayu atau baja yang ditanam dalam blok beton pada lantai
dermaga. Peralatan penambatan didesain dengan memperhitungkan gaya-gaya tarik
yang ditimbulkan oleh kapal. Gaya tarik oleh kapal pada saat ditambat dipengaruhi
oleh bobot kapal, gelombang, angin, dan arus.
6. Kebutuhan Trestle
Tipe dermaga terpilih berupa pier atau jetty yang dihubungkan oleh trestle ke
daratan. Kebutuhan panjang trestle disesuaikan hingga mencapai kedalaman
Bab 4 | 20
Bab 4 | 22
Bab 4 | 23
Bab 4 | 24
4.4
tegak dengan jarak antar tiang maksimum 5m. Adapun layout dan tampat samping
konfigurasi tiang pancang adalah sebagai berikut.
Bab 4 | 26
pancang sepanjang 6m, dengan jarak tiang ke tepi dermaga sepanjang 1m. Adapun
layout dan tampat samping konfigurasi tiang pancang adalah sebagai berikut.
4.5
= CMPY x ATT/365
Bab 4 | 27
NTSR
= HCR x ARPTEU
GTSAR
= NTSR/RAMSH
CPA
= GTSAR x (1 + RCSF/100)
Keterangan:
HCR
= Holding Capacity Required
CMPY
= Container Movements Per Year (1 tambatan)
ATT
= Average Transit Time
NTSR
= Net Transit Storage Requirement
ARPTEU
= Area Requirement per TEUs
GTSAR
= Gross Transit Storage Area Requirement
RAMSH
= Ratio Of Average To Maximum Stacking Height
RCSF
= Reserve Capacity Safety Factor
CPA
= Container Park Area
Berat 1 TEUs diambil 20 ton
Luas area penumpukan dihitung dengan pendekatan sebagai berikut:
{Bongkar muat pertahun X prosentase penumpukan di area terbuka X waktu tinggal X
kebutuhan ruang X Fk X (1 + faktor keamanan)}/ jumlah hari kalender per tahun X rata
rata tinggi tumpukan)
di mana Fk = 1,25 adalah faktor musim sibuk (peak season factor).
Selain
pendekatan
yang
dilakukan
diatas
dilakukan
juga
pendekatan
jumlah
penumpukan petikemas yang terdpat di Pelabuhan Baubau pada jangka pendek, jangka
menengah serta jangka panjang. Pendekatan ini menghasilkan jumlah kebutuhan luasan
yang diperlukan per TEUS (ARPTEU), dengan mengacu kepada Tabel 4.8. Hasil
perhitungan yang telah dilakukan disajikan pada Tabel 4.9.
Tabel 4.7 Kebutuhan Luasan yang Diperlukan Per TEUS
Luasan yang diperlukan per
teus (m2/teus)
pk 20 feet
pk 40 feet
Peralatan dan
metode
penanganan
Tinggi
penumpukan
trailer
60
45
60
80
30
40
20
27
truk forklift
straddle carrier
30
15
10
15
10
7,5
Bab 4 | 28
Tabel 4.8 Luas Container Yard (m2) untuk setiap Tahap Pengembangan
Tahun
2020
2025
2035
Sumber :
ATF
(ton/th)
473.467
687.498
1.216.101
CMPY
(TEU)
31.564
45.833
81.073
ATT
(hari)
4
4
4
ARPTEU
(m2)
7,5
7,5
7,5
RAMSH
RSCF
0,6
0,6
0,6
25
25
25
HCR
(TEU)
346
502
888
NTSR
(m2)
2.594
3.767
6.664
GTSAR
(m2)
4.324
6.279
11.106
=
=
=
=
=
=
ATTS x ATT/365
HCR/DOC
1,2 x NHVR
GHVR/ASH
1,4 x ASAR 1
ASAR 2 x (A+RCSF/100)
Keterangan:
HCR
ATTS
ATT
NHVR
GHVR
RCSF
ASAR 1
ASAR 2
DSA
DOC
ASH
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
Perhitungan luas area warehouse dihitung berdasarkan bongkar muat barang di mana
dengan pendekatan luas gudang tertutup adalah {Bongkar muat per tahun x prosentase
penumpukan di gudang x waktu tinggal x kebutuhan ruang x 1.25 x (1+ faktor
Bab 4 | 29
CPA
(m2)
5.405
7.848
13.882
keamanan)}/ jumlah hari kalender per tahun x rata rata tinggi tumpukan), di mana 1,25
adalah faktor perhitungan pada waktu sibuk.
Perbandingan luas areal warehouse dengan transit shed adalah 1:2 dengan skenario
komposisi barang sebagaimana dijabarkan pada Tabel 8.
Tabel 4.9 Komposisi Penanganan Barang di Pelabuhan
Komposisi Barang
disimpan di Gudang
disimpan di Open Storage
langsung dibawa
Pendek
20%
10%
70%
Sumber :
Menengah
20%
10%
70%
Panjang
10%
10%
80%
Tahun
Transit Shed
dan Ware 2020
House
2025
2035
Open Storage
2020
2025
2035
ATTS
ATT
DOC
(ton/th)
(ton/th)
(hari)
(ton/m3)
Tabel 4.11
Tahun
2020
2025
2035
ASH RCSF
(m)
HCR
NHVR
GHVR
(ton)
m3
m3
ASAR1 ASAR2
m2
m2
1.088.340
1.544.458
2.890.237
217.668
308.892
289.024
6
6
6
0,7
0,7
0,7
4
4
4
40
40
40
3578
5078
4751
5112
7254
6787
6134
8705
8145
1533
2176
2036
2147
3047
2851
1.088.340
1.544.458
2.890.237
108.834
154.446
289.024
10
10
10
1
1
1
2,5
2,5
2,5
50
50
50
2982
4231
7918
2982
4231
7918
3578
5078
9502
1431
2031
3801
2004
2843
5321
Sumber :
Sumber :
ATF
Ware
House
1.100
1.500
1.400
Open
Storage
3.006
4.265
7.982
perintang untuk
menggunakan fasilitas pelabuhan dengan pertimbangan lalu lintas yang digerakkan dan
kondisi jalan di sekitarnya.
Bab 4 | 30
DSA
m2
3006
4265
3991
3.006
4.265
7.982
Parkir kendaraan sebaiknya tidak ditempatkan di jalan, jika kondisi topografis atau
alasan lainnya mengharuskannya, maka ukuran dan lokasi parkir mobil harus memenuhi
persyaratan berikut:
Lebar jalan di dalam tempat parkir dan lebar untuk memundurkan dan
membelokkan kendaraan ke tempat parkir harus ditentukan dengan tepat sesuai
tipe kendaraan yang menggunakannya, sudut parkir, dan metode parkir.
Kebutuhan ruang area parkir untuk pelabuhan terdiri dari kebutuhan ruang untuk area
parkir kendaraan yang menyeberang serta area parkir kendaraan penjemput dan
transportasi umum.
Waktu menunggu maksiumum (jam) = pada jangka pendek dan menengah 4 jam,
pada jangka panjang 3 jam
Jam kerja bongkar muat (jam) = pada jangka pendek 15 jam, jangka menengah 18
jam, dan jangka panjang 18 jam
Panjang truk
= 20 feet
Daya muat
= 20 ton
= 54 m
Hari kerja
Jumlah Truk
Parkir
26
29
52
Luas Lahan
(m2)
1.404
1.566
2.808
Bab 4 | 31
= 14,4 m
Jumlah Karyawan
= 61 orang
= 15 unit
= 15 unit
= 20 unit
Jumlah Total
= 50 unit
Jadi kebutuhan luas lahan parkir = Jumlah Total Mobil x Ruang Gerak Mobil = 720 m
4.5.4 Perkantoran
Kebutuhan ruang luasan perkantoran pada Pelabuhan Baubau ini dapat dijelaskan pada
tabel berikut.
Asumsi:
Berdasarkan kondisi yang terdapat dilapangan kebutuhan karyawan untuk setiap 750.000
TEUS (kontainer) dibutuhkan 165 karyawan, kebutuhan karyawan untuk Pelabuhan
Baubau berdasarkan proyeksi kebutuhan petikemas dan Cargo adalah 54 orang
karyawan. Adapun perkiraan jumlah karyawan / kelompok kerja per sub bidang, yaitu:
-
EMKL
Amenities
Keagenan
: 2 kelompok kerja
Terminal Penumpang:
2.907 orang
6 pemberangkatan
485 orang/pemberangkatan
1,5 faktor arus maksimum
Karantina
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
: 10 orang
=
=
=
=
=
=
=
=
45 m
60 m
40%
30 m
2,4 m
120 m
1,8 m
100 m
Bab 4 | 32
Luas Sirkulasi
(m2)
96
48
72
24
24
48
48
24
120
Total (m2)
336
168
252
84
84
168
168
84
1,403
118
2.865
1
2
Uraian
6
7
8
9
10
11
4.6
PERALATAN PENUNJANG
Sumber :
Satuan
Eksisting
2015
Jgk Pendek
2016-2020
Jgk
Menengah
2016-2025
Jgk Panjang
2016-2035
m
m
130
680
260
1.200
320
990
480
1.040
m2
20.661
5.500
7.900
13.900
m2
m2
m2
m2
m2
m2
0
0
0
0
2.856
780
1.100
3.006
2.100
1.404
4.000
1.080
1.500
4.265
2.900
1.566
4.000
2.160
1.400
7.982
2.700
2.808
4.000
2.160
Peralatan penunjang yang dibutuhkan untuk pada Dermaga Peti Kemas dimaksudkan
untuk memaksimalkan kapasitas pelabuhan dalam menangani bongkar muat peti kemas.
Beragam peralatang yang umum digunakan pada pelabuhan peti kemas dengan berbagai
Bab 4 | 33
Bab 4 | 34
terbatas. Kapasitas forklift yang umum digunakan adalah ukuran 2.5, 3, 15 sampai 40
ton.
Bab 4 | 35
Bab 4 | 36
Untuk kebutuhan alat dan peralatan di Pelabuhan Baubau khususnya untuk mendukung
operasional terminal peti kemas disesuaikan dengan besaran demand pada setiap
tahapan pengembangan pelabuhan. Kebutuhan peralatan ini juga disesuaikan dengan
kondisi ketersediaan lahan dengan memperhatikan ketersediaan lahan pelabuhan yang
cukup terbatas. Kebutuhan peralatan di Terminal Peti Kemas Pelabuhan sampai dengan
jangka panjang dijabarkan pada Tabel 4.15.
Tabel 4.15 Kebutuhan Peralatan Terminal Peti Kemas Pelabuhan Baubau
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Uraian
Crane 40 Ton
Crane 25 Ton
Crane 5 Ton
Crane 3 Ton
Reach Stacker 42 Ton
Top Leader 36 Ton
Bottom Lift 15 Ton
Forklift 2 Ton
Forklift 3 Ton
Forklift 5 Ton
Head Truck
Mobile Crane 40 Ton
Transtainer
Sumber :
4.7
Satuan
Eksisting
2015
unit
unit
unit
unit
unit
unit
unit
unit
unit
unit
unit
unit
unit
0
1
0
0
0
0
0
0
1
1
4
0
0
Jgk
Pendek
2016-2020
0
1
1
1
0
0
0
2
1
1
6
1
0
Jgk Mngah
2016-2025
0
1
0
0
1
1
1
2
1
1
4
0
0
Jgk
Panjang
2016-2035
1
1
0
0
0
2
0
2
1
1
4
0
1
ANALISIS RISIKO
Secara teknis, risiko dari pengembangan Pelabuhan Baubau sangat kecil. Hal ini
dikarenakan kondisi fisik lingkungan yang memadai dari sisi kedalaman perairan, tinggi
gelombang dan kecepatan arus perairan. di sekitar lokasi Pelabuhan Baubau sendiri
terdapat sumber sedimen dari sungai yang berjarak 1 Km di sisi barat pelabuhan.
Namun, karena lokasi Pelabuhan terdapat di selat dengan kecepatan arus yang cukup
tinggi dan letak pengembangan dermaga berada di > -10m, pendangkalan di lokasi
dermaga dapat direduksi. Hasil analisa sedimentasi menunjukkan kadar sedimentasi di
lokasi dermaga mencapai 300mg/L dengan pendangkalan 0.3m/tahun.
Bab 4 | 37
Bab 4 | 38
Bab 4 | 39
4.8
Mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 78 Tahun 2014 mengenai Standar
Biaya di Lingkungan Kementerian Perhubungan, didapatkan harga satuan per m2 untuk
bangunan deck on pile sebesar Rp 9.669.150,00 dengan indeks kemahalan kota baubau
adalah 1,0493. Berdasarkan acuan harga tersebut didapatkan perkiraan biaya konstruksi
pengambangan dermaga di Kota Baubau sebagai berikut.
Tabel 4.16 Perkiraan Biaya Konstruksi Pengembang Dermaga Pelabuhan Baubau
Bab 4 | 40
No
Pekerjaan
satuan
Harga Satuan
2016-2020
volume
2016-2025
jumlah
volume
jumlah
2016-2035
volume
jumlah
A PEKERJAAN REKLAMASI
1
2
4
5
6
7
8
9
Tanah timbunan
Soil improvement
Geotextile woven
Geotextile non woven
Breakwater
Revetmen
Sand mat
Pemindahan tanah sisa preload
m3
m3
m2
m2
m
m3
m3
m3
687.500
68.750
52.465
42.321
13.609.185
312.500
437.500
43.750
3.240
324
3.240
324
16
324
162
648
2.227.500.000
22.275.000
169.986.600
13.711.887
220.468.797
101.250.000
70.875.000
28.350.000
m2
m2
m2
m2
m2
m
m2
m2
m2
m2
1.897.996
1.897.996
1.930.964
1.897.996
1.930.964
11.424.094
25.314.961
16.876.641
6.228.095
12.164.923
4.600
2.597
547
400
200
1.200
-
8.730.781.026
4.929.525.248
1.056.237.216
759.198.350
386.192.766
13.708.913.108
-
m2
m2
m2
m2
m2
m2
m2
m2
m2
m2
m2
LS
2.549.000
2.549.000
2.549.000
1.897.996
2.549.000
2.549.000
2.549.000
2.549.000
3.500.000
3.500.000
1.930.964
1.875.000.000
900
1.800
1.080
5.188
350
250
1.000
250
100
60
2.294.100.000
4.588.200.000
2.752.920.000
9.846.802.601
892.150.000
637.250.000
2.549.000.000
637.250.000
350.000.000
210.000.000
1.875.000.000
uni t
1.437.500.000
1.062.500.000
812.500.000
625.000.000
1.500.000.000
312.500.000
625.000.000
750.000.000
875.000.000
1.062.500.000
500.000.000
2.200.000.000
16.875.000.000
4.575
458
4.575
458
23
458
229
915
3.302.578.125
33.025.781
252.028.744
20.329.777
326.875.612
150.117.188
105.082.031
42.032.813
40.935
4.094
40.935
4.094
205
4.094
2.047
8.187
32.364.234.375
323.642.344
2.469.802.991
199.225.471
3.203.278.931
1.471.101.563
1.029.771.094
411.908.438
2.300
1.123
7.313
4.583.660.039
2.238.058.021
14.827.195.429
13.556.161.753
1.070.580.000
1.873.515.000
2.890.566.000
430.465.465
669.112.500
1.013.756.012
-
5.700
3.360
1.090
12.441.362.963
7.333.787.284
2.420.463.163
-
670
13.003.451.766
39.171.052.514
2.357.310.877
-
1 Perkerasan
a. Area container yard
b. Open storage
c. Jalan utama
d. Area parkir truk di CFS
e. Jalan lingkungan
f. Drainase
g. Dermaga peti kemas ukuran lebar 15 m
h. Dermaga cargo ukuran 10 m
i. Causeway
j. Trestle
3 Bangunan
a. Ware house
b. Transit shed
c. Terminal penumpang
d. Area parkir
e. Kantor operasi terminal peti kemas
f. Bengkel
g. Container Freight Station (CFS)
h. Gerbang terminal peti kemas
i. Oil storage tank
j. Kantin
4 Jalan akses
5 Pekerjaan elektrikal dan mekanikal
C Sarana Terminal Peti Kemas
1 Crane 40 Ton
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Crane 25 Ton
uni t
Crane 5 Ton
uni t
Crane 3 Ton
uni t
uni t
uni t
uni t
F o r k l i f t 2 Ton
uni t
F o r k l i f t 3 Ton
uni t
F o r k l i f t 5 Ton
uni t
Head Truck
Mobile Crane 40 Ton
uni t
Transtainer
uni t
4.9
uni t
Total
Total
510
400
700
1.080
216
250
500
1
1
1
2
1
1
6
1
1
Rp.
Rp.
1.062.500.000
812.500.000
625.000.000
1.500.000.000
875.000.000
1.062.500.000
3.000.000.000
2.200.000.000
16.875.000.000
87.070.437.600
0
1
0
0
1
1
1
2
1
1
4
0
0
1.115.625.000
1.575.000.000
328.125.000
656.250.000
1.575.000.000
918.750.000
1.115.625.000
2.100.000.000
56.769.515.289
2800
1.080
1
1
0
0
0
2
0
2
1
1
4
0
1
1.653.125.000
1.221.875.000
718.750.000
1.725.000.000
1.006.250.000
1.221.875.000
2.300.000.000
19.406.250.000
147.453.518.772
291.293.471.661
Jasa penundaan
Jasa tambat
Khusus untuk terminal peti kemas dan barang umum, terdapat beberapa komponen
pendapatan jasa yang diterima oleh penyelenggara pelabuhan sebagai imbal jasa
pelayanan yang diberikan. Pelayanan tersebut meliputi :
Kegiatan
operasi
kapal,
terdiri
atas
Kegiatan
dermaga,
Stevedoring,
kegiatan operasi lapangan, terdiri atas: penumpukan, lift on/lift off, gerakan ekstra,
relokasi, dan angsur;
Bab 4 | 42
5.1
KAJIAN EKONOMI
Kajian ekonomi bertujuan untuk melihat dampak atau kontribusi dari suatu proyek
terhadap masyarakat dan negara. Kajian ekonomi menjadi dasar bagi Pemerintah dalam
mengambil keputusan untuk merealisasikan proyek atau tidak.
Kota Baubau merupakan daerah penghubung (connecting/transit area) antara Kawasan
Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Kota Baubau juga berperan
sebagai daerah pengumpul hasil produksi dan distributor kebutuhan daerah hinterlandnya, yaitu Kab. Buton, Kab. Muna, Kab. Wakatobi, dan Kab. Bombana. Potensi
komoditas dari Kota Baubau dan hinterland-nya mencakup perikanan, budidaya rumput
laut,
budidaya
mutiara,
pertanian,
perkebunan,
peternakan,
perdagangan,
perindustrian, pariwisata.
Selama periode 2010-2013 bongkar muat peti kemas menunjukan pertumbuhan yang
cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 37.73% (TEUS) / 42.14% (Ton) untuk bongkar peti
kemas dan rata-rata sebesar 41,12% (TEUS) / 33.10% (Ton) untuk muat peti kemas.
Melihat kondisi tersebut dan rencana Kota Baubau untuk menjadi ibukota Provinsi
Kepulauan Buton, maka pengembangan Pelabuhan Baubau dipandang perlu untuk
dilaksanakan.
Beberapa manfaat dari pengembangan Pelabuhan Baubau adalah sebagai berikut:
1. Memenuhi kebutuhan permintaan (demand)
Dengan pertumbuhan seperti saat ini, Pelabuhan Baubau akan mencapai kapasitas
maksimalnya pada tahun 2018. Jika Pelabuhan Baubau tidak dikembangkan maka
komoditas, baik dari Kota Baubau dan hinterland-nya maupun dari KBI ke KTI dan
sebaliknya, tidak dapat difasilitasi yang selanjutnya berdampak pada terhambatnya
arus distribusi secara langsung serta terhambatnya pertumbuhan ekonomi secara
tidak langsung.
Bab 5 | 1
Pelabuhan
Baubau
juga
akan
menstimulus
perkembangan
Karunia, Diana Sekarayu dan Komara Djaja. 2013. Peran Pelabuhan terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Kota di Indonesia. Indonesia: Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia.
Bab 5 | 2
5.2
KAJIAN KOMERSIAL
Kajian komersial terhadap pembangunan pelabuhan Bau Baru didasarkan pada awalnya
dilakukan berdasarkan suatu keputusan yang menjawab pertanyaan apakah pengguna
jasa (masayarakat) harus membayar jasa layanan yang diberikan? (Yesombee, 2007),
jika jawabanannya ya berarti pemerintah harus memikirkan bagaimana caranya
memberi konsesi kepada pihak ketiga. Namun jika jawabannya adalah tidak, maka
pemerintah harus mulai berfikir bagaimana caranya membuat perhitungan keuangan.
Jika setelah dibuat model konsesi ternyata pendapatan mayoritsnya diperoleh dari
masyarakat, maka secara otomatis proyek tersebut adalah proyek milik pemerintah
(publik), dan jika pendapatannya hanya minoritas dari masyarakat, maka proyek
tersebut merupakan kerjasama dengan swasta (private). Keputusan berikutnya apakah
sektor swasta menanggung risiko permintaan (demand) dan spesifikasi produk yang
dihasilkan (ouput), jika jawaban kedua-duanya tidak, maka proyek tersebut merupakan
proyek kerjasama pemerintah (publik) dan sebaliknya jika jawabannya ya, maka proyek
tersebut merupakan kerjasama swasta. Hal ini dapat diilustrasikan dalam gambar 5.2.1
berikut:
Bab 5 | 3
diperlukan
beberapa kajian yang mendahului, yaitu kajian rencana pembangunan dan kajian
rencana produksi. Di dalam kajian rencana pembangunan, tahap pertama diperlukan
dua kajian utama, yaitu kajian studi teknis, rencana pembangungan dan kajian
lingkungan. Sementar itu tahap kedua diperlukan kajian legal, yang mempertimbangkan
aspek undang-undang dan peraturan yang berlaku serta kebijakan pemerintah (pusat
dan daerah). Pada fase yang lain, diperlukan kajian produksi yang mempertimbangkan
aspek kebutuhan pasar berdasarkan real demand survey dan kesiapan pelabuhan beserta
peralatan pendukung produksi dengan pertimbangan aspek transportasi. Sedangkan
dalam memfinalisasi model keuangan, juga diperlukan masukan terkait motivasi
peminjam (lenders), pihak investor (swasta) dan penjamin risiko (jika diperlukan). Jika
smua hal tersebut sudah dirangkum, maka barulah dapat dihasilkan model finansial,
yang dapat dijadikan pedoman bagi kajian ekonomi dan menjadi dasar dalam
penyusunan dokumen Financial Business Plan. Semua rangkaian kegiatan tersebut,
diilustrasikan dalam Gambar 5.2.
Bab 5 | 4
beberapa
perhitungan
keuangan
konvensional
yang
dilakukan
dengan
Rp
Rp
Parameter
3,22% 10,80%
2,70% 15,00%
(110.368)
0
(49.514)
0
0,34
1,4
0,24
1,0
Keputusan
Ditolak
Ditolak
Ditolak
Ditolak
Ditolak
Ditolak
Tidak Layak
Bab 5 | 5
Rp
Rp
Parameter
3,32% 10,80%
7,82% 15,00%
(104.314)
0
42.940
0
0,81
1,4
0,49
1,0
KESIMPULAN
Keputusan
Ditolak
Ditolak
Ditolak
Diterima
Ditolak
Ditolak
Tidak Layak
Dengan demikian maka apabila Financial Projection masih negatif sehingga Tidak
Layak seperti dijelaskan diatas, maka diperlukan kajian tambahan dengan pendekatan
metode pembayaran Ketersediaan Layanan (Availability Payment/AP) dengan ilustrasi
pada Gambar 5.3 berikut:
tahap kedua
Bab 5 | 6
SKENARIO-1
PESIMIS
Pembayaran AP 5 tahun
Pembayaran AP 5 tahun
Pembayaran AP 5 tahun
SKENARIO-1
PESIMIS
Pembayaran AP 5 tahun
Pembayaran AP 5 tahun
Pembayaran AP 5 tahun
SKENARIO-1
PESIMIS
Pembayaran AP 5 tahun
Pembayaran AP 5 tahun
Pembayaran AP 5 tahun
OPEX w/o
ROI
TOT AP
Deprc
1 Rp 39.182 Rp 34.358 Rp 46.374 Rp 17.111 Rp 97.842
2 Rp 30.475 Rp 26.440 Rp 36.068 Rp 13.309 Rp 75.817
3 Rp 17.414 Rp 12.486 Rp 20.610 Rp 7.605 Rp 40.701
Pembayaran
AP/Thn
Rp 19.568
Rp 15.163
Rp 8.140
OPEX w/o
ROI
TOT AP
Deprc
1 Rp 25.546 Rp 22.401 Rp 61.508 Rp 17.411 Rp 101.320
2 Rp 19.869 Rp 17.239 Rp 47.840 Rp 13.542 Rp 78.620
3 Rp 11.354 Rp 8.141 Rp 27.337 Rp 7.738 Rp 43.216
Pembayaran
AP/Thn
Rp 20.264
Rp 15.724
Rp 8.643
OPEX w/o
ROI
TOT AP
Deprc
1 Rp 48.727 Rp 42.728 Rp 87.828 Rp 27.311 Rp 157.867
2 Rp 37.899 Rp 32.881 Rp 68.311 Rp 21.242 Rp 122.434
3 Rp 21.656 Rp 15.527 Rp 39.035 Rp 12.138 Rp 66.700
Pembayaran
AP/Thn
Rp 31.573
Rp 24.487
Rp 13.340
Stage-1
Stage-2
Stage-3
CAPEX
CAPEX
CAPEX
Interest
Interest
Interest
ASUMSI DASAR
Government Support
0%
Ekuity-Private
30%
Interest rate
12%
Discount rate
9%
Tariff increase/3 years
10%
Pembulatan tarif
Rp 500
Loan Period (years)
18
Kenaikan demand
2,86
Tingkat ROI
20%
Parameter
10,80%
15,00%
0
0
1,4
1,0
KESIMPULAN
Keputusan
Ditolak
Ditolak
Diterima
Diterima
Ditolak
Ditolak
Tidak Layak
Memperhatikan kriteria seuai parameter yang disyaratkan Project IRR = WACC, Private
(Equity) IRR = Cost of Debt (Ke), Project dan Equity NPV 0, Average DSCR 1,4 dan
Minimum DSCR ,0. Maka dapat disimpulkan, sebagai berikut:
1. Hasil perhitungan proyeksi keuangan dengan metoda perhitungan keuangan normal,
dimana government support 0% proyek Tidak Layak karena Project NPV maupun
Equity NPV masih negatif;
2. Hasil perhitungan proyeksi keuangan dengan metoda perhitungan keuangan normal,
dimana government support diberikan maksimum sampai 49%, proyek masih tetap
Tidak layak karena Project NPV masih negatif.
Oleh sebab itu dibuat kembali perhitungan proyeksi keuangan dengan pendekatan
metode AP, dengan tanpa dukungan pemerintah (0%) sebagai berikut:
Skenario-2: AP Optimis
Bab 5 | 7
SKENARIO-3
OPTIMIS
Pembayaran AP 5 tahun
Pembayaran AP 5 tahun
Pembayaran AP 5 tahun
SKENARIO-3
OPTIMIS
Pembayaran AP 5 tahun
Pembayaran AP 5 tahun
Pembayaran AP 5 tahun
SKENARIO-3
OPTIMIS
Pembayaran AP 5 tahun
Pembayaran AP 5 tahun
Pembayaran AP 5 tahun
OPEX w/o
ROI
TOT AP
Deprc
1 Rp 39.182 Rp 34.358 Rp 58.365 Rp 19.509 Rp 112.232
2 Rp 30.475 Rp 26.440 Rp 45.395 Rp 15.174 Rp 87.008
3 Rp 17.414 Rp 12.486 Rp 25.940 Rp 8.671 Rp 47.096
Pembayaran
AP/Thn
Rp 22.446
Rp 17.402
Rp 9.419
OPEX w/o
ROI
TOT AP
Deprc
1 Rp 25.546 Rp 22.401 Rp 89.261 Rp 22.961 Rp 134.623
2 Rp 19.869 Rp 17.239 Rp 69.425 Rp 17.859 Rp 104.523
3 Rp 11.354 Rp 8.141 Rp 39.671 Rp 10.205 Rp 58.017
Pembayaran
AP/Thn
Rp 26.925
Rp 20.905
Rp 11.603
OPEX w/o
ROI
TOT AP
Deprc
1 Rp 48.727 Rp 42.728 Rp 145.295 Rp 38.804 Rp 226.827
2 Rp 37.899 Rp 32.881 Rp 113.007 Rp 30.181 Rp 176.069
3 Rp 21.656 Rp 15.527 Rp 64.576 Rp 17.246 Rp 97.349
Pembayaran
AP/Thn
Rp 45.365
Rp 35.214
Rp 19.470
Stage-1
Rp
Rp
Rp
Stage-2
Rp
Rp
Rp
Stage-3
Rp
Rp
Rp
CAPEX
CAPEX
CAPEX
Interest
Interest
Interest
ASUMSI DASAR
Government Support
0%
Ekuity-Private
30%
Interest rate
12%
Discount rate
9%
Tariff increase/3 years
56%
Pembulatan tarif
Rp 500
Loan Period (years)
Rp 18
Kenaikan demand
20%
Tingkat ROI
20%
10,85%
19,42%
83.718 Rp
29.394 Rp
4,15
1,39
Parameter
10,80%
15,00%
1,4
1,0
KESIMPULAN
Keputusan
Diterima
Diterima
Diterima
Diterima
Diterima
Diterima
Layak
Bab 5 | 8
2. Dana Pembayaran Ketersediaan Layanan adalah dana yang dialokasikan dalam APBN
atau APBD dalam rangka pelaksanaan Pembayaran Ketersediaan Layanan untuk KPBU
pada setiap tahun anggaran. Dimana tujuannya adalah untuk:
(1) memastikan keteresediaan layanan yang berkualitas;
(2) mengoptimalkan nilai guna dari APBN/APBD (value for money);
(3) menyediakan skema pengembalian investasi yang menarik minat Badan Usaha
untuk bekerjasama dengan Pemerintah dalam menyediakan layanan kepada
masyarakat melalui KPBU.
3. Untuk itu maka Pembayaran Ketersediaan Layanan ini harus memperhatikan prinsipprinsip:
(1) kemampuan keuangan negara (kapasitas fiskal);
(2) kesinambungan fiskal;
(3) pengelolaan risiko fiskal, dan;
(4) ketepatan sasaran penggunaan.
Hasil Perhitungan Skenario-2: Optimis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
ASUMSI DASAR
Government Support
0%
Ekuity-Private
30%
Interest rate
12%
Discount rate
9%
Tariff increase/3 years
56%
Pembulatan tarif
Rp 500
Loan Period (years)
Rp 18
Kenaikan demand
20%
Tingkat ROI
20%
10,85%
19,42%
83.718 Rp
29.394 Rp
4,15
1,39
KESIMPULAN
Parameter
10,80%
15,00%
1,4
1,0
Keputusan
Diterima
Diterima
Diterima
Diterima
Diterima
Diterima
Layak
Bab 5 | 9
Bab 6 | 1
a. Sanitasi Lingkungan
b. Keselamatan dan kesehatan kerja
c. Pola penyakit
Selain komponen lingkungan yang tersebut di atas akan ditelaah pula komponen
lingkungan
Bab 6 | 3
7.1
Studi OBC menjelaskan bentuk kerja sama yang diusulkan untuk dikaji lebih lanjut
terdiri atas 2 alternatif yaitu BOT terminal peti kemas dan BOT terminal penumpang.
Diantara kedua alternatif tersebut, studi OBC merekomendasikan BOT terminal peti
kemas sebagai bentuk kerjasama yang paling potensial.
Pada studi FBC, konsultan meninjau ulang kemungkinan kerja sama BOT terminal
penumpang, BOT terminal peti kemas, BOT terminal peti kemas dan kargo, dan BOT
untuk
keseluruhan
operasional
terminal
penumpang,
peti
kemas,
dan
kargo.
Bab 7 | 1
terminal. Hal ini mengingat Bau Bau sebagai gerbang pariwisata ke kawasan wisata
bahari Wakatobi, tentu perlu memberikan pelayanan yang terbaik.
3. Maksimalisasi efisiensi
Pengoperasian terminal peti kemas dan kargo secara KPBU diharapkan lebih
meningkatkan efisiensi pengoperasian pelabuhan dan meningkatkan pelayanan
dengan standar yang tinggi.
4. Kemampuan badan usaha
Berdasarkan hasil market sounding ke beberapa perusahaan investasi, operator
pelabuhan, dan pelayaran, badan usaha swasta lebih tertarik mengoperasikan
terminal peti kemas dan kargo daripada terminal penumpang. Hal ini dengan
mempertimbangkan tingkat pengembalian investasi dan proses bisnis yang dilakukan.
Pengelolaan terminal penumpang lebih mengedepankan jasa atas kenyamanan
individu yang dapat memberkan respon positif atau negatif seketika, sehingga cukup
berisiko. Berdasarkan analisa atas pelabuhan yang dikelola badan usaha ang ada di
Indonesia, umumnya merupakan terminal peti kemas, bukan terminal penumpang.
Adapun untuk terminal penumpang biasanya hanya dilakukan kontrak servis jasa
kebersihan terminal penumpang.
5. Alokasi risiko
Pemilihan skema RBOT dengan mempertimbangkan bahwa risiko konstruksi dan
risiko operasional ditransfer ke Badan Usaha. Kedua risiko ini merupakan risiko
utama di dalam skema ini. Mengingat pelabuhan ini bersifat non-komersil dimana
tarif ditetapkan oleh pemerintah, Badan Usaha akan keberatan untuk menangani
risiko demand dan pendapatan. Selain itu, dengan pertimbangan bahwa Bau Bau
berada di satu pulau, tentunya mengkreasikan demand dari dalam pulau sangat
susah. Demand diharapkan dapat tumbuh dari posisi Pelabuhan Bau Bau sebagai
pintu gerbang ekonomi dan pariwisata di Sulawesi Tenggara dan sebagai pelabuhan
pengumpul yang akan menjadi titik transfer penumpang dan barang ke lokasi
Indonesia timur lainnya. Selain itu, perlu dipertimbangkan bahwa terdapat 6
pelabuhan pengumpul di sekitar pelabuhan Bau Bau yaitu:
a. Pelabuhan Kendari (Kendari),
b. Pelabuhan Bangkutoko (Kendari),
c. Pelabuhan Kolaka (Kolaka),
d. Pelabuhan Watunohu (Kolaka Utara),
Bab 7 | 2
7.2
Hal yang perlu diingat terkait kerjasama ini bahwa Pelabuhan Bau Bau telah beroperasi
penuh saat ini. Oleh karena itu, proses kerjasama ini seharusnya tidak menghentikan
operasional pelabuhan.
Lingkup kerjasama skema RBOT meliputi:
1. Pelaksanaan rehabilitasi, pengoperasian, dan pemeliharaan prasarana dan fasilitas
eksisting sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal;
2. Pembangunan prasarana dan penyediaan fasilitas tambahan untuk pengembangan
pelabuhan dalam 2 tahap dengan mempertimbangkan pertumbuhan demand.
3. Pengoperasian
dan
pemeliharaan
prasarana
dan
fasilitas
tambahan
untuk
Bab 7 | 3
Bab 7 | 4
8.1
UMUM
Dalam rangka memenuhi tata cara penyusunan Pra-Studi Kelayakan seperti tertuang
didalam Permen PPN/Bappenas No. 4 tahun 2015, maka kajian risiko harus dilakukan.
Kajian risiko meliputi identifikasi risiko, penilaian risiko, alokasi risiko, dan mitigasi
risiko. Output kajian risiko berupa matriks risiko. Proses kajian risiko dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
Identifikasi Risiko
Penilaian Risiko
Alokasi Risiko
Mitigasi Risiko
Matriks Risiko
Gambar 8.1 Proses Analisa Risiko
8.2
IDENTIFIKASI RISIKO
Bab 8 | 1
4. Pendapat Ahli, yaitu meminta Pendapat Ahli dikarenakan tidak tersedianya data
dengan ketiga metode di atas, kondisi yang ditimbulkan dianggap baru dan
berubah-ubah, dan adanya unsur kerahasiaan/paten.
5. Wawancara pihak berkepentingan, yaitu melakukan wawancara dengan stakeholder
terkait
untuk
mengetahui
kepentingan,
kekhawatiran,
dan
hal-hal
yang
8.3
PENILAIAN RISIKO
Bab 8 | 2
8.4
ALOKASI RISIKO
Alokasi risiko bertujuan untuk menentukan pihak yang paling mampu mengelola risiko
dalam hal ini pemerintah, badan usaha, atau kedua belah pihak. Risiko yang
dialokasikan ke pemerintah menjadi retained risk, adapun risiko yang dialokasikan ke
badan usaha akan menjadi transferable risk. Alokasi risiko akan mengacu kepada buku
Acuan Alokasi Risiko PII.
8.5
MITIGASI RISIKO
Setelah proses identifikasi, penilaian dan aloaksi risiko dilakukan, selanjutnya dilakukan
proses mitigasi risiko. Mitigasi atau pengendalian risiko dapat berupa penghilangan
risiko, pemindahan risiko ke pihak ketiga, minimalisasi risiko, ataupun penerimaan atas
risiko tersebut. Hasil identifikasi, penilaian, alokasi dan mitigasi risiko dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Bab 8 | 3
Deskripsi
Publik
Swasta
1. RISIKO LOKASI
Kesulitan pada
kondisi lokasi yang
tak terduga
Keterlambatan karena
ketidakpastian kondisi lokasi
Gagal menjaga
keselamatan dalam
lokasi
Kontaminasi/polusi
ke lingkungan lokasi
2. RISIKO DESAIN, KONSTRUKSI DAN UJI OPERASI
Ketidakjelasan
spesifikasi output
Kesalahan desain
Menyebabkan ekstra/revisi
desain yang diminta operator
Terlambatnya
penyelesaian
konstruksi
Strategi Mitigasi
Sesuai Best Practice
Kondisi Spesifik
terkait Alokasi Risiko
RS
Data historis
penggunaan lahan dan
penyelidikan tanah
RR
Data historis
penggunaan lahan dan
penyelidikan tanah
NR
1x2
Kerusakan artefak
dan barang kuno
pada lokasi
Kenaikan biaya
konstruksi
Bersama
RS
Implementasi prosedur
keselamatan kerja
yang baik
SS
Kesesuaian dengan
studi Amdal yang baik
Klarifikasi saat proses
tender; Kapasitas
desain yang baik
Spesifikasi
output
PJPK harus mengacu
ke best practice
Biasanya
teridentifikasi saat
uji operasi teknis
x
R
RB
RB
RS
SB
Kesepakatan faktor
eskalasi harga tertentu
dalam kontrak
RB
Koordinasi kontraktor
dan operator yang baik
3. RISIKO SPONSOR
Bab 8 | 4
Deskripsi
Kinerja
subkontraktor yang
buruk
Default subkontraktor
Default BU
Publik
Swasta
x
x
Kegagalan
mencapai financial
close
Risiko struktur
finansial
Default sponsor
proyek
Bersama
NR
SS
RS
RB
RB
Strategi Mitigasi
Sesuai Best Practice
Kondisi Spesifik
terkait Alokasi Risiko
Proses pemilihan
subkontraktor yang
kredibel
Proses pemilihan
subkontraktor yang
kredibel
Konsorsium didukung
sponsor yang kredibel
dan solid
Proses PQ untuk
memperoleh sponsor
yang kredibel
4. RISIKO FINANSIAL
SS
RB
Konsorsium didukung
sponsor/lender yang
kredibel
Instrumen lindung
nilai; Pembiayaan
dalam Rupiah
SB
RB
RS
Bab 8 | 5
Deskripsi
Publik
Swasta
Ketersediaan
fasilitas
Buruk atau tidak
tersedianya layanan
Aksi industri
Kegagalan
manajemen proyek
Kegagalan atau
ketidakmampuan Badan
Usaha dalam mengelola
operasional Proyek Kerjasama
Kegagalan kontrol
dan monitoring
proyek
Terjadinya penyimpangan
yang tidak terdeteksi akibat
kegagalan kontrol dan
monitoring oleh Badan Usaha
atau PJPK
Bersama
NR
RS
Konsultansi dengan
spesialis/broker
asuransi
RS
Konsultansi dengan
spesialis/broker
asuransi
RB
SB
5. RISIKO OPERASI
Strategi Mitigasi
Sesuai Best Practice
RS
RS
RS
x
S
SS
Kondisi Spesifik
terkait Alokasi Risiko
Khususnya untuk
cakupan risiko terkait
keadaan kahar
Menyusun rencana
kontrol dan monitoring
serta evaluasi berkala
terhadap efektivitas
rancangan dan
pelaksanaannya
Bab 8 | 6
Deskripsi
Publik
Swasta
NR
Strategi Mitigasi
Sesuai Best Practice
Operator yang handal;
Spesifikasi output yang
jelas;
Faktor eskalasi dalam
kontrak
Kesalahan estimasi
biaya life cycle
Kecelakaan lalu
lintas atau isu
keselamatan
6. RISIKO PENDAPATAN
Perubahan proyeksi
volume permintaan
Kesalahan estimasi
pendapatan dari
model awal
Bersama
SB
RB
SR
x
S
SB
RB
RS
Pelanggan akhir
tidak membayar
Kegagalan
memungut
pembayaran tarif
Kegagalan
mengajukan
penyesuaian tarif
RS
RS
Kondisi Spesifik
terkait Alokasi Risiko
Kesepakatan/kontrak
dengan supplier sedini
mungkin
Asuransi kewajiban
pihak ketiga
Pertimbangan
menggunakan skema
Availability Payment
Pertimbangan
menggunakan skema
Availability Payment
Subsidi (khususnya
tarif) Sosialisasi yang
baik ke publik
Survei user
affordability and
willingness yang
handal
Kinerja operasi yang
baik dan jelas;
Pertimbangan
menggunakan skema
Availability Payment
7. RISIKO POLITIK
Bab 8 | 7
Deskripsi
Publik
Mata
uang
asing
tidak
tersedianya dan/atau tidak
bisa dikonversi dari Rupiah
Risiko ekspropriasi
Nasionalisasi/pengambilalihan
tanpa kompensasi (yang
memadai)
Perubahan regulasi
(dan pajak) yang
umum
Perubahan regulasi
(dan pajak) yang
diskriminatif dan
spesifik
Keterlambatan
perolehan
persetujuan
perencanaan
Gagal/terlambatnya
perolehan
persetujuan
Swasta
Bersama
NR
RB
RB
RB
RS
RS
Strategi Mitigasi
Sesuai Best Practice
Kondisi Spesifik
terkait Alokasi Risiko
- Pembiayaan
domestik
- Akun pembiayaan
luar negeri
- Penjaminan dari bank
sentral
- Pembiayaan
domestik
- Akun pembiayaan
luar negeri
- Penjaminan dari bank
sentral
- Mediasi,negosiasi
- Asuransi Risiko Politik
- Penjaminan
Pemerintah
- Mediasi,negosiasi
- Asuransi Risiko Politik
- Penjaminan
Pemerintah
Selain memiliki
provisi kontrak yang
jelas termasuk
kompensasinya
RS
RS
RB
Asuransi, bila
dimungkinkan
Bab 8 | 8
Deskripsi
Publik
Swasta
Bersama
Force majeure
berkepanjangan
NR
RB
RB
Cuaca ekstrim
RB
RB
Strategi Mitigasi
Sesuai Best Practice
Kondisi Spesifik
terkait Alokasi Risiko
Asuransi, bila
dimungkinkan
Asuransi, bila
dimungkinkan
Setiap pihak dapat
mengakhiri kontrak
KPS dan memicu
terminasi dini
Terutama bila
asuransi tdk tersedia
untuk risiko tertentu
Asuransi
Bab 8 | 9
Bab 8 | 10
9.1
DUKUNGAN PEMERINTAH
Proyek ini tidak memerlukan dukungan kelayakan (viability gap funding), karena
menggunakan mekanisme Availability Payment (AP) untuk pembayarannya. Oleh karena
itu, dibutuhkan kepastian dari pemerintah untuk dapat melakukan pembayaran AP
secara tepat waktu sesuai dengan yang diperjanjikan di dalam kontrak.
Selain itu, Badan Usaha Pelaksana (BUP) akan membutuhkan bantuan pemerintah untuk
memberikan kemudahan dalam proses perizinan badan usaha dan pemngoperasian.
Dukungan pemerintah dalam bentuk insentif pajak tidak diperlukan di dalam skema ini,
karena hanya merupakan kantong kanan kantong kiri saja.
9.2
PENJAMINAN PEMERINTAH
Penjaminan untuk proyek ini dapat dibutuhkan atau tidak dibutuhkan sangat tergantung
dengan ketertarikan pasar. Berdasarkan hasil market sounding awal, salah satu badan
usaha yakin pemerintah akan komitmen melakukan pembayaran secara AP sesuai
dengan kontrak. Jika pemerintah dikhawatirkan tidak komitmen dalam pelaksanaan
pembayaran, tentunya penjaminan pemerintah akan sangat membantu memberikan
kenyamanan tersebut.
Risiko yang diusulkan untuk dijamin adalah:
-
Risiko politik & regulasi. Kondisi politik yang dapat berubah sehingga dapat
mengubah regulasi yang kemungkinan dapat menimbulkan risiko negatif bagi proyek.
Risiko
pembayaran.
Risiko
terjadinya
penundaan
atau
tidak
dilakukannya
Bab 9 | 1
Bab 9 | 2