You are on page 1of 135

KADAR DEBU TOTAL DAN GEJALA ISPA RINGAN PADA

PEKERJA DEPARTEMEN PEMINTALAN DI INDUSTRI


TEKSTIL PT. UNITEX, Tbk BOGOR
TAHUN 2014

SKRIPSI

Oleh :
Alya Mutiara Basti
1110101000056

PEMINATAN KESEHATAN LNGKUNGAN


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLLAH
JAKARTA
1435 H/ 2014 M

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa

1.

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah safu persyaratan memperoleh gelar strata

di

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam


Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.

Semua sumber ylmg saya gunakan dalam penelitian

ini telah

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

saya

di Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UfN)


Syarif Hidayatullah Jakarta

3.

Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya

asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka

saya bersedia menerima' sanksi yang berlaku

di

Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri rufN)


Syarif Hidayatullah Jakarta.

lakarta, Juli 2014

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, Agustus 2014
Alya Mutiara Basti, NIM : 1110101000056
KADAR DEBU TOTAL DAN GEJALA ISPA RINGAN PADA PEKERJA
DEPARTEMEN PEMINTALAN DI INDUSTRI TEKSTIL PT. UNITEX
Tbk BOGOR TAHUN 2014
xv + 95 halaman + 4 tabel + 4 lampiran
ABSTRAKSI
Latar Belakang: Data statistik dari RPJMD kota Bogor tahun 2010-2014
menunjukkan, ISPA merupakan penyakit dengan presentasi tertinggi dari 10
penyakit utama. Selain itu berdasarkan data dinas kesehatan Bogor, telah terjadi
kenaikan jumlah penderita ISPA pada tahun 2012 jika dibandingkan dengan tahun
2011. Kemudian, data klinik PT.Unitex dalam lima bulan tahun terakhir tahun
2013 penyakit ISPA merupakan penyakit pertama dari 6 penyakit dengan
kunjungan pasien paling banyak pada bulan tersebut. Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui kadar debu total dan sebaran gejala ISPA ringan pada pekerja
non-shift departemen pemintalan PT.Unitex.
Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional.
Pada penelitian ini tidak dilakukan pengambilan sampel, sehingga semua pekerja
non-shift departemen pemintalan PT.Unitex diteliti. Penelitian ini menggunakan
data primer yaitu gejala ISPA ringan, kadar debu total dan karakteristik individu
pekerja (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, masa kerja, bagian kerja,
perilaku merokok dan lama pajanan). Gejala ISPA ringan dan karakteristik
individu pekerja diambil dengan menggunakan kuesioner. Kadar debu total diukur
dengan menggunakan High Volume Sampler atau HVS dengan metode gravimetri.
Hasil Penelitian : Hasil penelitian menunjukkan kadar debu total di ring spinning
sebesar 188,6 mg/m3 dan di blowing & carding sebesar 379,4 mg/m3. Kemudian,
sebanyak 57,4% pekerja mengalami gejala ISPA ringan. Selain itu sebaran gejala
ISPA ringan juga dilihat menurut karakteristik individu pekerja. Berdasarkan
umur, pekerja <36 maupun 36 tahun lebih dari setengahnya mengalami gejala
ISPA ringan. Berdasarkan masa kerja pekerja dengan masa kerja <12 tahun
sebesar 66,7% mengalami gejala ISPA ringan, dan pekerja perempuan lebih
banyak yang mengalami gejala ISPA ringan. Adapun pekerja dengan tingkat
pendidikan rendah sebanyak 42,9% mengalami gejala ISPA ringan. Pekerja ring
spinning sebanyak 76% mengalami gejala ISPA dibandingkan dengan pekerja
blowing & carding sebesar 41,4%. Pekerja dengan perilaku merokok sebanyak
setengahnya mengalami gejala ISPA ringan. Dari pekerja dengan lama pajanan
jam kerja normal sebanyak 55,6% (25 dari 45 orang) mengalami gejala ISPA
ringan.
ii

Simpulan : Jumlah pekerja yang mengalami gejala ISPA ringan sebanyak 57,4%,
dengan demikian diharapkan supaya dilakukan peningkatan kesehatan pekerja.
Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan pada kesehatan dan
kenyamanan lingkungan kerja bagi kesehatan pernapasan. Seperti melakukan
evaluasi dan perawatan berkala pada peralatan untuk mengurangi debu di tempat
kerja seperti alat penghisap debu otomatis dan ventilasi udara di area kerja. Selain
itu dapat dibatasi jam kerja lembur pekerja, dan meningkatkan kesadaran pekerja
akan perilaku preventif yang dapat mencegah gejala ISPA ringan seperti
penggunaan masker di lingkungan kerja.
Kata Kunci : ISPA pekerja, kadar debu total, tekstil, Bogor
Daftar Bacaan : 68 (1984-2014)

iii

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ISLAMIC STATE UNIVERSITY


FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH, MAJOR ENVIRONMENTAL HEALTH
A Thesis, August 2014
Alya Mutiara Basti, Student Identification Number : 1110101000056
TOTAL SUSPENDED PARTICLES AND MILD ARI (ACUTE
RESPIRATORY INFECTION) SYMPTOMS AMONG SPINNING
WORKERS AT TEXTILE INDUSTRY PT.UNITEX TBK, BOGOR 2014
xv + 95 pages + 4 tables + 4 appendix
ABSTRACT
Background: Statistical report from RPJMD Bogor in 2010-2014 showed that,
ARI is the highest percentages disease among 10 other diseases. After that,
referred to Bogor health department report, number of ARIs patients has been
increased in 2012 compared in 2011. And according to Unitexs clinic report in
2013s last five months, ARI ranked first from six disease with most patient visit
each month. This research was conducted to determine total suspended particles
and the spread of mild ARI symptoms among spinning department non-shift
workers.
Methods: This study was using a cross sectional study. In this study, sampling
was not done, so that all of non-shift workers in spinning department investigated.
This study used mild ARI symptoms, total suspended particles and workers
individual characteristic as primary data. Workers individual characteristic
including mild ARI symptoms, age, sex, level of education, years of service, work
place, smoking behavior and length of exposure. ARI symptoms and workers
individual characteristic had been taken using questionare according to respiratory
symptoms by british medical council and total suspended particles had been taken
using high volume sampler or HVS with gravimetric.
Results: The results of this study showed that, total suspended particles were
measured 188,6 mg/m3 in ring spinning and 379,4 mg/m3 in blowing & carding.
And then, as many as 57,4% of workers had mild ARI symptoms. Beside that, the
spread of mild ARI symptoms also looked by worker individual characteristics.
Based on age, more than half <36 years and 36 workers had mild ARI symptoms.
Based on the years of service, among workers with less than 12 years years of
service, 66.7% had mild ARI symptoms, and more female workers who had mild
respiratory infection symptoms. As for workers with low education levels as many
as 42.9% had mild ARI symptoms. Ring spinning workers as many as 76% had
symptoms of mild ARI than blowing & carding workers by 41.4%. Workers with
smoking behavior as many as half had mild ARI symptoms. Workers with long
exposure normal working hour as many as 55.6% (25 of 45) had a mild ARI
symptoms.

iv

Conclusion: About 57,4% workers had mild ARI symptoms, thus expected to
make better improvements to the health and ease of work environment. An
evaluation and periodic maintenance on equipment such as automatic vacuum
cleaner and air ventilation in workplace needed, to reduce dust in the workplace.
Moreover, overtime hours work must be restricted and increase workers
awareness of preventive behaviors that could prevent mild ARI Symptoms such as
the use of mask in the workplace.
Keywords : Workers ARI, total suspended particles, textile, Bogor
Reading list : 68 (1984-2014).

PERI{YATAAN PERSETUJUAN

KADAR DEBU TOTAL DAN GEJALA ISPA RINGAN PADA


PEKERJA DEPARTEMEN PNUTTNTA.LAN INDUSTRI TEKSTIL
PT.UNTTEX

tit

, BOGOR TATTUN 2014

Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi


Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

DISUSUN OLEH

ALYA MUTIARA BASTI


1110101000056

Jakarta, Agustus 2014

MengeJahui

Pembimbing I

;t

Pernbimbing II

-,(/ M.Kes
Dr. EIa Laelasari. SKM.
197210022006042001

197s0215200901200s'

PANITIA SIDAI\IG SKRIPSI


PR,OGRAM STUDI KESEHATAII MASYARAKAT

TAKULTAS KEDOIffERAN

D,AT'{

ILMU KESEIIATAIY

I}NTVERSITAS ISLA1U NEGERI SYARItr' HIDAYATULLAH JAKARTA

Iakartq Agustus 2014


Mengetahui

Penguji

.x

-j

NrP.19790421 200s01 2 00s

Penguji

II

:=

19811 1 001

,.

l_-

NIP. 197603222006M 1 008

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama

: Alya Mutiara Basti

Tempat, tanggal, lahir : Jakarta, 27 Agustus 2014


Usia

: 22 Tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Golongan Darah

:O

Alamat

: Perumahan Puri Gading Vila Tampak Siring Blok B2 no.1


Jatimelati Pondok Melati, Bekasi, 17415

Nomor Telepon

: 085697141229

Email

: alya.basti3@gmail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN
1996-1998

: TK Islam Yasfi Buaran

1998-2004

: SD Islam As-Syafiiyah Jatiwaringin

2004-2007

: Pesantren Al-Quran As-Syafiiyah Sukabumi

2007-2010

: MAN 3 Malang

2010-2014

: S1-Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta

viii

KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
berkat, rahmat, taufik dan hidayahnya, maka penyusunan skripsi yang berjudul
Kadar Debu Total (TSP) dan Gejala ISPA Pada Pekerja Departemen
Pemintalan di Industri Tekstil PT.Unitex Tbk Bogor dapat diselesaikan tepat
pada waktunya. Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini
banyak mengalami kendala. Namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari
berbagai pihak dan berkah dari Allah Swt kendala-kendala tersebut dapat diatasi.
Untuk itu penulis menghaturkan banyak terimakasih kepada :
1. Keluarga penulis yaitu ayah dan ibu penulis H. Musono Basuki SH, MH,
Hj. Eli Hartati serta saudara penulis Nisa Permata Basti dan Adiprawiro
Rahmatullah Basti yang telah memberikan doa dan bantuan moril,
motivasi, dan material bagi penulis.
2. Bapak Prof. Dr. dr. MK Tajudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
3. Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Program Studi Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta,
4. Ibu Dewi Utami Iriani, Ph.D selaku pembimbing pertama yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan saran yang berharga
dalam penyusunan skripsi ini,

ix

5. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes selaku pembimbing kedua yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan saran yang berharga
dalam penyusunan skripsi ini,
6. Teman seperjuangan Karlina Sulistiani yang telah memberikan banyak
masukan dan saran serta teman kamar Mushallina Lathifa atas dorongan
semangatnya.
7. Teman Envihsa yang telah memberikan doa dan bantuan moril, motivasi,
dan bagi penulis.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih terdapat
kekurangan-kekurangan, sehingga penulis mengharapkan adanya saran dan kritik
yang bersifat membangun sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik.
Jakarta, Agustus 2014

Alya Mutiara Basti

DAFTAR ISI

Hal
Lembar Pernyataan .............................................................................................
Abstrak

............................................................................................................ ii

Lembar Persetujuan ............................................................................................. vi


Daftar Riwayat Hidup ........................................................................................viii
Kata Pengantar ................................................................................................... ix
Daftar Isi ............................................................................................................ xi
Daftar Tabel .......................................................................................................xiv
Daftar Lampiran ................................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 7
1.3 Pertanyaan Penelitian ....................................................................... 8
1.4 Tujuan Penelitian.............................................................................. 8
1.4.1 Tujuan Umum ........................................................................ 8
1.4.2 Tujuan Khusus......................................................................... 8
1.5 Manfaat Penelitian............................................................................ 9
1.5.1 Manfaat bagi PT.Unitex .......................................................... 9
1.5.2 Manfaat bagi Pekerja ............................................................... 9
1.5.3 Manfaat bagi Peneliti .............................................................. 9
1.5.4 Manfaat bagi Institusi Pendidikan .......................................... 10
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ......................................... 13
2.1.1 Klasifikasi ISPA ...................................................................... 13
2.1.2 Gejala ISPA ............................................................................. 14
2.1.3 Faktor Resiko ISPA ................................................................. 15
2.2 Udara ............................................................................................... 20
xi

2.2.1 Pengertian Udara ..................................................................... 20


2.2.2 Pengertian Udara Ambien ...................................................... 21
2.2.3 Baku Mutu ............................................................................... 21
2.3 Pencemaran Udara............................................................................ 21
2.3.1 Klasifikasi Pencemaran Udara ................................................ 23
2.4 Debu ................................................................................................ 25
2.4.1 Macam-Macam Debu .............................................................. 27
2.4.2 Kadar Debu Total ................................................................... 30
2.4.3 Metode Sampling Kadar Debu Total ..................................... 30
2.4.4 Nilai Ambang Batas Debu ..................................................... 35
2.5 Sistem Pernapasan ........................................................................... 35
2.5.1 Anatomi Sistem Pernapasan .................................................... 38
2.5.2 Masuknya Debu ke Sistem Pernapasan ................................... 44
2.6 Industri Tekstil ................................................................................. 46
2.6.1 Alur Produksi Industri Tekstil ................................................ 46
2.6.2 Kegiatan di PT.Unitex ............................................................. 47
2.6.3 Distribusi Karyawan PT.Unitex ............................................. 53
2.7 Kerangka Teori ................................................................................ 54
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep ............................................................................. 56
3.2 Definisi Operasional ......................................................................... 59
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian .............................................................................. 62
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian............................................................ 62
4.3 Populasi dan Sampel ........................................................................ 63
4.4 Metode Pengumpulan Data .............................................................. 63
4.5 Jenis Data ......................................................................................... 66
4.6 Pengolahan Data ............................................................................... 66
4.7 Analisis Data .................................................................................... 67
4.8 Penyajian Data.................................................................................. 67
xii

BAB V HASIL
5.1 Hasil Penelitian ................................................................................ 68
5.1.1 Gejala ISPA Ringan Pada Pekerja Pemintalan ....................... 68
5.1.2 Kadar Debu Total di Bagian Pemintalan................................. 68
5.1.3 Distribusi Karakteristik Individu Bagian Pemintalan ............. 69
5.1.4 Gejala ISPA Ringan Menurut Kadar Debu Total.................... 72
5.1.5 Gejala ISPA Ringan Menurut Karakteristik Individu ............. 73
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian .................................................................... 77
6.2 Gejala ISPA pada Pekerja Pemintalan ............................................. 77
6.3 Kadar Debu Total di Pemintalan ...................................................... 79
6.4 Umur Pekerja Pemintalan PT.Unitex ............................................... 82
6.5 Masa Kerja Pekerja Pemintalan PT.Unitex ...................................... 84
6.6 Distribusi Jenis Kelamin Pekerja Pemintalan PT.Unitex ................. 85
6.7 Tingkat Pendidikan Pekerja Pemintalan PT.Unitex ......................... 85
6.8 Bagian Kerja Pekerja Pemintalan PT.Unitex ................................... 86
6.9 Perilaku Merokok Pekerja Pemintalan PT.Unitex ........................... 88
6.10Lama Pajanan Pemintalan PT.Unitex............................................... 99
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan....................................................................................... 91
7.2 Saran ................................................................................................. 93

LAMPIRAN

xiii

DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 2.1

Baku Mutu Udara Lingkungan Industri

22

Tabel 5.1

Distribusi Gejala ISPA Ringan, Kadar Debu Total, Umur,

70

Masa Kerja, Jenis Kelamin, Pendidikan, Bagian Kerja,


Perilaku Merokok dan Lama Pajanan Pekerja non-shift
Tabel 5.2

Pemintalan PT.Unitex

73

Distribusi Gejala ISPA Ringan menurut Kadar Debu Total


Tabel 5.3

Pada Pekerja non-shift Pemintalan PT.Unitex


Distribusi Gejala ISPA Ringan menurut Umur, Masa Kerja,
Jenis Kelamin, Pendidikan, Bagian Kerja, Perilaku Merokok
dan Lama Pajanan Pekerja non-shift Pemintalan PT.Unitex.

xiv

74

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.

Surat Izin Pengambilan Data

Lampiran 2.

Kuesioner

Lampiran 3.

Hasil Uji Kadar Debu Total

Lampiran 4.

Analisis dan Pengolahan Data dengan SPSS

xv

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
ISPA merupakan salah satu masalah kesehatan yang masih ada di
negara berkembang maupun negara maju, karena masih tingginya angka
kesakitan dan kematian karena ISPA di kedua negara tersebut. Di Amerika
pneumonia yang termasuk ISPA, menempati urutan keenam dari semua
penyebab kematian, dan merupakan peringkat pertama di antara kematian
akibat penyakit infeksi. Di Spanyol angka kematian akibat pneumonia
mencapai 25%, sedangkan di Inggris dan Amerika sekitar 12% atau 25-30
per 100.000 penduduk (Agussalim,2012).
Sedangkan untuk kematian akibat ISPA di Filipina pada tahun 1999
menempati urutan ke dua dari sepuluh penyakit penyebab kematian yaitu
mencapai 11,1%. Untuk Singapura ISPA menempati peringkat ketiga dari
sepuluh penyakit yang menyebabkan kematian dengan prevalensi sebesar
10,9%. Selanjutnya ISPA menempati peringkat keempat di negara Thailand,
Vietnam dan Jepang. Prevalensi penyakit ini di Thailand sebesar 4,1%,
Vietnam 5,8% dan Jepang mencapai 10,0% (IMFJ, 2001). ISPA di
Indonesia masih termasuk masalah kesehatan utama, hal ini dilihat dari
prevalensi dan penyebarannya yang masih tinggi. Dalam satu tahun rata-rata
seorang anak di pedesaan dapat terserang penyakit ISPA sebanyak tiga kali,
dan untuk wilayah perkotaan sendiri dapat mencapai enam kali (Depkes RI,
1993).
1

Prevalensi penyakit ISPA nasional mencapai 25,50% dan sebanyak 16


provinsi mempunyai prevalensi diatas prevalensi nasional. Adapun 16
provinsi ini yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Bengkulu,
Bangka Belitung, Riau, Jawa Tengah, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah,
Gorontalo, Maluku, Papua Barat dan Papua (Depkes, 2008).
Data statistik dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) kota Bogor tahun 2010-2014, dari sepuluh penyakit utama yang
ditemukan di puskesmas, ISPA merupakan penyakit dengan persentasi
tertinggi. Persentasi penyakit ISPA yaitu sebesar 41,99% dibandingkan
penyakit lainnya. Selain itu berdasarkan data Dinas Kesehatan Bogor, telah
terjadi kenaikan jumlah penderita ISPA dari tahun 2011 sebanyak 4383
kasus dan tahun 2011 sebanyak 5470 kasus.
Adapun faktor-faktor yang dapat memengaruhi risiko seseorang terkena
ISPA dapat dibagi menjadi empat garis besar yaitu faktor pencemaran,
karakteristik individu, perilaku pekerja, ataupun karena faktor lingkungan.
Faktor pencemaran yaitu akibat pencemaran di dalam maupun luar ruangan,
kemudian karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin dan tingkat
pendidikan juga dapat memengaruhi risiko kerentanan terkena ISPA.
Selanjutnya perilaku pekerja yaitu seperti merokok atau penggunaan masker.
Faktor lingkungan meliputi suhu, kelembapan curah hujan dan kecepatan
serta arah angin (Sormin, 2012).

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan tekstil di Indonesia maka


industri tekstil sebagai produsen TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) semakin
berkembang. Peningkatan kebutuhan tekstil di Indonesia dapat dilihat dari
konsumsi TPT yang semakin meningkat tiap tahunnya. Hal ini sebagaimana
yang disampaikan oleh Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) yaitu
Ade Sudrajat yang mengatakan konsumsi TPT meningkat pada tahun hingga
tahun 2013 naik yaitu sebanyak 7,5 kg.
Industri tekstil dan produk tekstil yang selanjutnya disebut TPT
merupakan perusahaan industri yang menghasilkan tekstil dan produk tekstil.
Kegiatan didalam industri tekstil secara umum meliputi kegiatan pemintalan,
penenunan,

pencelupan

dan

penyempurnaan.

Kegiatan

pemintalan

memroses bahan baku menjadi benang, penenunan memroses benang


menjadi kain, pemolesan yaitu pemolesan kain terhadap warna, sedangkan
pencelupan berupa pencelupan benang sebelum benang ditenun menjadi
kain.
Bahan baku proses pembuatan benang dapat menggunakan kapas dan
poliester. Kapas merupakan serat halus yang berasal dari tumbuhan kapas
(Gossypium). Tumbuhan atau tanaman kapas telah dikembangkan di
Indonesia sejak jaman penjajahan Belanda, dilanjutkan pada jaman
penjajahan oleh Jepang hingga saat ini telah menjadi salah satu komoditi
ekspor non-migas Indonesia.
Selain menggunakan kapas yang berasal dari tumbuhan, bahan baku
untuk industri tekstil juga dapat menggunakan kapas buatan atau poliester.

Poliester atau polietilen tereftalat adalah sebuah polimer (sebuah rantai dari
unit yang berulang-ulang) dimana masing-masing unit dihubungkan oleh
sambungan ester (Clark, 2007).
PT.Unitex merupakan salah satu industri tekstil yang telah berdiri sejak
lama di Indonesia. Dibangun sejak tahun 1971 dan mulai berproduksi secara
komersial pada tahun 1972 di wilayah Tajur, Bogor. Perusahaan ini
merupakan perusahaan yang melibatkan kerjasama dua negara yaitu negara
Indonesia dengan negara Jepang. PT.Unitex bergerak dibidang tekstil dari
hulu hingga ke hilir yaitu mulai dari bahan mentah (kapas dan poliester)
hingga bahan jadi (kain/bahan pakaian), atau disebut dengan bidang tekstil
terpadu (PT.Unitex, 2014).
Dalam proses produksinya industri tekstil menggunakan kapas dalam
jumlah besar, kapas ini kemudian akan dicacah supaya mengembang
sebelum diolah lebih lanjut. Pencacahan ini dilakukan secara manual oleh
pekerja tekstil bagian awal produksi di departemen pemintalan. Dalam satu
hari PT.Unitex dapat menggunakan kapas dan poliester rata-rata sebanyak 8
bal, dengan berat 1 balnya kira-kira sebesar 227 Kg. Sehingga dalam satu
hari kira-kira PT.Unitex menggunakan kapas dan poliester mencapai 1816
Kg. Pencacahan dari kapas ini seringkali melepaskan kotoran-kotoran
berupa debu halus dari kapas mentah ke udara. Dengan jumlah 8 bal perhari
maka dapat diperkirakan akan banyak debu halus yang terdeposisi di udara
dan berisiko untuk terhirup ke saluran pernapasan pekerja.

Debu di lingkungan kerja dapat berpengaruh terhadap kesehatan, salah


satunya kepada sistem pernapasan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan
dalam penelitian Nugrahaeni mengenai analisis faktor risiko debu terhadap
fungsi paru. Di penelitian ini disebutkan gangguan fungsi paru pekerja
secara bermakna disebabkan oleh kadar debu di udara pada ruang kerja, dan
diperberat oleh masa kerja, kebiasaan merokok, dan riwayat penyakit paru
(Nugrahaeni 2004).
Debu yang dihisap oleh pekerja dapat menyebabkan gangguan fungsi
paru yang merupakan organ utama pernafasan. Hal ini ditandai dengan
menurunnya fungsi paru yang pada stadium lanjut dapat menyebabkan
turunnya elastisitas paru. Turunnya elastisitas paru kemudian dapat
mengurangi volume penampungan volume udara (Marsam, 2003).
Dalam jurnal mengenai gejala sakit di pernapasan dan fungsi paru yang
dilakukan pada pekerja tekstil di Nigeria, pekerja yang terekspos debu dari
kapas mentah mengalami keluhan batuk, produksi phlegm atau dahak,
rhinitis, bersin-bersin, sakit pada dada, dan susah napas. Gejala pernapasan
ini lebih tinggi di daerah kerja yang berdebu dibanding daerah kerja lainnya
di industri tekstil, yaitu di departemen pemintalan dan penenunan (Nagoda
dkk, 2011).
Selain itu, studi epidemiologi yang meneliti debu TSP dan
hubungannya dengan fungsi paru pekerja di lingkungan industri semen
menemukan bahwa kadar debu yang di industri semen ini telah melebihi
baku mutu yaitu sebesar 32,59 mg/m3. Berdasarkan pengukuran, ditemukan

sebanyak 64,4% dari responden yang diteliti mengalami gangguan fungsi


paru (Setiawan, 2002).
Dalam penelitian yang berjudul Hubungan pajanan debu dengan
kejadian ISPA ringan pekerja di PT.Texmaco yang bertujuan untuk
menganalisis hubungan pajanan debu dengan ISPA ringan pada pekerja,
ditemukan adanya hubungan antara pajanan debu dengan kejadian ISPA
ringan pada tenaga kerja. Dengan nilai p= 0,002 dan x2 serta odds ratio
sebesar 9,68 (Wuninggar, 2002).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Alemu, Abera dan Gail dalam
jurnalnya yang berjudul Byssinosis and other respiratory symptomps among
factory workers in Akaki textile factory dengan metode potong lintang ini
ditemukan hubungan yang kuat antara pajanan debu di industri tekstil
dengan gangguan pernafasan. Debu ini diketahui memiliki hubungan yang
kuat dengan bisinosis atau yang lebih dikenal dengan sindrom paru-paru
coklat (brown lung disease) yang merupakan salah satu penyakit ISPA.
Selain itu juga berpengaruh terhadap penyakit bronkhitis dan gejala
gangguan pernafasan lainnya seperti batuk, flek dan dyspnea (Alemu dkk,
2010).
Risiko gangguan pernafasan yang ditimbulkan debu di lingkungan
kerja industri tekstil ini berbeda menurut bagian dari kegiatan industri tekstil.
Bagian yang memiliki kadar debu cukup tinggi adalah di departemen
pemintalan. Menurut studi yang dilakukan pada pekerja tekstil di Karachi,
Pakistan ditemukan bahwa debu yang terdapat di bagian spinning atau

pemintalan berpengaruh terhadap tingginya penyakit bisinosis (Memon dkk,


2008).
Data klinik PT.Unitex dalam lima bulan tahun terakhir menyebutkan
pada Agustus, September, Oktober dan Desember 2013 penyakit ISPA
merupakan penyakit pertama dari 6 penyakit dengan kunjungan pasien
paling banyak pada bulan tersebut. Sedangkan pada bulan November, ISPA
menempati urutan kedua dengan urutan pertamanya merupakan penyakit
otot (Laporan Bulanan Klinik PT.Unitex, 2013).
Berdasarkan pajanan tersebut peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dan pengukuran kadar debu total di lingkungan kerja pada
industri tekstil khususnya di PT.Unitex. Pengukuran ini akan dilakukan di
departemen pemintalan atau spinning. Selain melakukan pengukuran kadar
debu total penulis juga ingin mengetahui sebaran pekerja yang mengalami
gejala ISPA ringan pada departemen pemintalan di PT.Unitex.
1.2

Rumusan Masalah
Industri tekstil merupakan industri yang mengolah bahan baku yaitu
kapas dan poliester menjadi produk tekstil. Di dalam proses produksinya
terutama di departemen pemintalan terdapat banyak debu yang terutama
berasal dari residu kapas mentah. Salah satu bagian di industri tekstil yang
banyak menghasilkan debu adalah di departemen pemintalan. Jika cuaca
sedang panas dan terang seringkali debu yang berasal dari kapas ini dapat

dilihat secara kasat mata melayang-layang di udara. Debu ini berisiko


menyebabkan berbagai gangguan pernapasan.
Menurut data puskesmas Bogor didapatkan bahwa ISPA merupakan
penyakit dengan persentasi tertinggi dan merupakan penyakit sepuluh besar.
Data dari klinik PT.Unitex juga menyebutkan dalam 5 bulan terakhir tahun
2013 ISPA masuk ke dalam tiga penyakit utama (PT.Unitex 2013).
Berdasarkan pemaparan tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui kadar
debu total di departemen pemintalan dan sebaran pekerja di tempat tersebut
yang memiliki gejala ISPA ringan.
1.3. Pertanyaan Penelitian
1.3.1 Umum
Bagaimanakah kadar debu total pada bagian pemintalan di PT. Unitex
dan distribusi gejala ISPA ringan pada pekerja di bagian tersebut?
1.3.2 Khusus
a)

Berapakah kadar debu total yang terukur di departemen pemintalan di


PT. Unitex Tbk. Tajur, Bogor ?

b)

Bagaimanakah sebaran pekerja di departemen pemintalan yang


mengalami gejala ISPA ringan berdasarkan area kerja ?

c)

Bagaimanakah karakteristik individu pekerja (umur, jenis kelamin,


masa kerja, bagian kerja, tingkat pendidikan, perilaku merokok, lama
pajanan) di departemen pemintalan PT.Unitex Bogor ?

d)

Bagaimanakah gejala ISPA ringan pekerja menurut karakteristik


individu?

1.4

Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kadar debu total dan
distribusi pekerja yang mengalami gejala ISPA ringan di departemen
pemintalan PT. Unitex Tahun 2014.
1.4.2 Tujuan Khusus
a)

Mengetahui kadar debu total pada bagian pemintalan di beberapa titik


pengukuran.

b)

Mengetahui distribusi pekerja departemen pemintalan PT.Unitex yang


mengalami gejala ISPA ringan berdasarkan area kerja.

c)

Mengetahui karakteristik individu pekerja (umur, jenis kelamin, masa


kerja, bagian kerja, tingkat pendidikan, perilaku merokok, lama
pajanan) di departemen pemintalan PT.Unitex Bogor.

d)
1.5

Mengetahui gejala ISPA ringan pekerja menurut karakteristik individu.

Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat bagi PT. Unitex
a)

Dapat mengetahui data terbaru dari hasil penelitian ini yaitu kadar
debu total di departemen pemintalan pada Mei-Juni Tahun 2014.
Dengan demikian, jika diperlukan dapat dilakukan langkah-langkah
penanggulangan dan pencegahan bila kadar debu total di atas baku
mutu.

b)

Mengetahui sebaran pekerja yang memiliki gejala ISPA ringan pada


Mei-Juni 2014.

10

1.5.2 Manfaat bagi pekerja


a)

Menambah pengetahuan dan kesadaran pekerja akan dampak debu


bagi kesehatan dan faktor risiko dari gejala ISPA ringan di lingkungan
kerja.

1.5.3 Manfaat bagi peneliti


a)

Menambah pengetahuan dan melakukan studi keilmuan mengenai


debu dan gejala ISPA ringan.

b)

Menerapkan berbagai mata kuliah secara praktikal di lapangan yang


kemudian dapat menambah pengalaman kerja peneliti.

1.5.4 Manfaat bagi institusi pendidikan


a)

Terjalinnya kerjasama yang baik antara institusi pendidikan dengan


perusahaan.

b)

Menambah koleksi pustaka tentang kadar debu total di industri tekstil


dan gejala ISPA ringan pada institusi.

1.6

Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini dilakukan di industri tekstil PT. Unitex Tbk Tajur, Bogor
untuk mengetahui kadar debu total lingkungan kerjan, khususnya di
departemen pemintalan pada beberapa titik pengukuran. Setelah itu juga
akan dilakukan pengambilan data untuk mengetahui sebaran pekerja yang
mengalami gejala ISPA ringan di departemen tersebut. Kemudian juga akan
dilakukan pengambilan data untuk mengetahui karakteristik individu

11

pekerja di departemen pemintalan di PT. Unitex, Bogor. Adapun


pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juni 2014.
Penulis memilih untuk melakukan penelitian di industri tekstil karena
pada industri tersebut terdapat debu yang berisiko mengganggu kesehatan
pernapasan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan desain studi cross sectional atau potong lintang. Data yang
dikumpulkan mencakup dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer didapat dari observasi dan pengisian kuesioner. Sedangkan data
sekunder didapat dari PT.Unitex.
Ruang lingkup penelitian terbatas pada pekerja PT. Unitex Tbk di
departemen pemintalan. Variabel dependen penelitian yaitu gejala ISPA
pada pekerja bagian pemintalan. Variabel independen yaitu kadar debu total
di titik pengukuran departemen pemintalan, umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, bagian kerja, perilaku merokok dan lama pajanan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)


ISPA menurut WHO (2007) adalah penyakit saluran pernapasan atas
atau bawah, biasanya menular yang dapat menimbulkan berbagai spektrum
penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai
penyakit parah dan mematikan.
ISPA merupakan penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian
dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga
alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga
telinga tengah dan pleura. Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi,
saluran pernapasan dan akut (Depkes, 2006).
a.

Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh


manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

b.

Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli


beserta organ adneksanya. ISPA secara anatomis mencakup saluran
pernapasan bagian atas, saluran pernapasan bagian bawah (termasuk
jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernapasan.

c.

Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.


Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk
beberapa penyakit yang dapat digolongkan menjadi ISPA prosesnya
dapat berlangsung lebih dari 14 hari.

12

13

2.1.1 Klasifikasi ISPA


ISPA berdasarkan tingkatannya dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga kelompok (Depkes RI, 2002) :
a. ISPA ringan
Meliputi salah satu atau lebih gejala seperti batuk tanpa pernapasan
cepat (40 kali/menit), pilek (mengeluarkan lendir), serak, sesak
yang disertai atau tanpa disertai panas atau demam (>37C) dan
keluarnya cairan dari telinga lebih dari dua minggu tanpa rasa sakit
pada telinga.
b. ISPA sedang
Meliputi gejala ISPA ringan ditambah dengan satu atau lebih gejala
seperti pernapasan lebih cepat dari 50 kali per menit atau lebih
pada umur >1tahun dan 40 kali per menit pada umur 1-5 tahun,
panas

39C,

mengi,

tenggorokan

kemerahan,

telinga

mengeluarkan cairan disertai rasa sakit, timbul bercak di kulit


menyerupai campak dan pernapasan berbunyi.
c. ISPA berat
Meliputi gejala ISPA ringan dan sedang disertai dengan satu atau
lebih gejala seperti penarikan dada ke dalam saat napas, stidor
(napas berbunyi seperti mengorok), nafsu makan menurun. Tanda
lain seperti sianosis, kejang, dehidrasi, kesadaran menurun, nadi
>160 per menit atau tak teraba.

14

2.1.2 Gejala ISPA


Penyakit ISPA adalah penyakit yang timbul karena menurunnya
sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karean kelelahan
atau stres. Bakteri dan virus penyebab ISPA di udara bebas akan
masuk dan menempel pada saluran pernapasan bagian atas yaitu
tenggorokan dan hidung. Pada stadium awal, gejalanya berupa panas,
kering dan gatal dalam hidung, yang kemudian diikuti oleh bersin
terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta demam dan
nyeri kepala (Halim, 2000).
Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak.
Akhirnya terjadi peradangan yang disertai demam, pembengkakan
pada jaringan tertentu hingga kemerahan. Infeksi dapat menjalar ke
paru-paru, dan menyebabkan sesak atau pernapasan terhambat,
oksigen yang dihirup berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang
mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah,
infeksi saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia
(Halim, 2000).
Adapun menurut Putranto (2007), hal-hal yang mendasari
timbulnya gejala penyakit pernapasan adalah :
a. Batuk
Timbulnya gejala batuk karena iritasi partikulat adalah jika terjadi
rangsangan pada bagian-bagian peka saluran pernapasan, misalnya
trakeobronkial, sehingga timbul sekresi berlebih dalam saluran

15

pernapasan. Batuk timbul sebagai reaksi refleks saluran pernapasan


terhadap iritasi pada mukosa saluran pernapasan dalam bentuk
pengeluaran udara dan lendir secara mendadak disertai bunyi khas.
b. Dahak
Dahak terbentuk secara berlebihan dari kelenjar lendir (mucus
glands) dan sel goblets oleh adanya stimuli, misalnya yang berasal
dari gas, partikulat, alergen dan mikroorganisme infeksius. Karena
proses inflamasi, di samping dahak dalam saluran pernapasan juga
terbentuk cairan eksudat yang berasal dari bagian jaringan yang
berdegenerasi.
c. Sesak Napas
Sesak napas atau kesulitan bernapas disebabkan oleh aliran udara
dalam saluran pernapasan karena penyempitan. Penyempitan dapat
terjadi karena saluran pernapasan menguncup, oedema atau karena
sekret yang menghalangi arus udara. Sesak napas dapat ditentukan
dengan menghitung pernapasan dalam satu menit.
d. Bunyi Mengi
Bunyi mengi merupakan salah satu tanda penyakit pernapasan yang
turut diobservasikan dalam penanganan infeksi akut selama
pernapasan.
2.1.3 Faktor Resiko ISPA
Menurut berbagai penelitian sebelumnya terdapat berbagai faktor
resiko yang dapat menyebabkan terjadinya ISPA. Yaitu perilaku

16

merokok, kualitas udara, pencemaran udara dalam ruangan atau


(IAP/Indoor air pollution), pencemaran udara luar ruangan, faktor
lingkungan (suhu kelembapan dan pencahayaan), umur, lama bekerja,
dan penggunaan masker (Sormin, 2012).
a. Perilaku merokok
Merokok pada dewasa dapat menimbulkan berbagai gangguan
sistem pernapasan seperti kanker paru, gejala iritan akut, asma,
gejala pernapasan kronik, penyakit paru obstruktif kronik, infeksi
pernapasan (Tarlo dkk, 2010).
Asap rokok merupakan zat iritan yang dapat menyebabkan
infeksi pada saluran pernapasan. Asap rokok mengandung ribuan
bahan kimia beracun dan bahan-bahan yang dapat menimbulkan
kanker (karsinogen). Kebiasaan merokok dapat meningkatkan
resiko terjadinya ISPA sebanyak 2,2 kali (Suryo, 2010).
Adapun pengertian perokok menurut WHO dalam Depkes
(2004) adalah mereka yang merokok setiap hari untuk jangka
waktu minimal 6 bulan selama hidupnya dan masih merokok saat
survei dilakukan.
b. Pencemaran udara dalam ruangan
Pencemaran udara merupakan peningkatan konsentrasi zat-zat di
dalam udara yang dapat diakibatkan oleh akitivitas manusia.
Pencemaran terbagi menjadi dua yaitu pencemaran udara dalam
ruangan dan pencemaran udara luar ruangan. Pencemaran udara

17

dalam ruangan dapat berasal dari berbagai sumber baik bahanbahan sintetis maupun bahan alami. Pencemaran udara ini
kemudian berhubungan dengan penyakit ISPA (Fitria dkk, 2008).
c. Umur
Semakin bertambah umur seseorang maka akan terjadi
degenerasi otot-otot pernapasan dan elastisitas jaringan menurun.
Sehingga kekuatan otot-otot pernapasan dalam menghirup oksigen
menjadi menurun. Kemudian karena faktor umur yang bertambah
maka semakin banyak alveoli yang rusak dan daya tahan tubuh
semakin rendah. Karena itu seseorang tersebut rentan terkena ISPA.
Kemudian pajanan debu yang terkumpul di paru-paru juga dapat
memengaruhi menyebabkan ISPA pada seseorang dengan umur
lebih tua (Nelson dkk, 2005).
d. Jenis Kelamin
Faktor jenis kelamin merupakan salah satu variabel deskriptif
yang dapat memberikan perbedaan angka/rate kejadian pada pria
dan wanita. Perbedaan insiden penyakit menurut jenis kelamin,
dapat timbul karena bentuk anatomis, fisiologis dan sistem
hormonal yang berbeda (Noor, 2008).
e. Masa kerja
Semakin lama manusia terpapar debu di tempat kerja yang bisa
dilihat dari lama bekerja maka debu kemungkinan besar akan
tertimbun di paru-paru. Hal ini merupakan hasil akumulasi dari

18

inhalasi selama bekerja. Lama bekerja bertahun-tahun dapat


memperparah kondisi kesehatan pekerja karena frekuensi pajanan
yang sering (Sumamur, 1991).
f. Bagian Kerja
Hasil penelitian oleh Nagoda dkk (2011) pada pekerja tekstil di
Nigeria menemukan bahwa dari beberapa pekerja tekstil di bagian
kerja yang berbeda, terdapat pula perbedaan gejala pernapasan
yang dialami pekerja tersebut. Penelitian ini melibatkan pekerja
tekstil

dari

bagian

pemintalan,

penenunan,

pencelupan,

pemeliharaan, pemasaran. Gejala gangguan pernapasan paling


banyak dialami oleh pekerja dari pemintalan yaitu sebanyak 27,3%.
g. Lama Pajanan
Lama

pajanan

debu

beresiko

mempengaruhi

keparahan

gangguan pernapasan yang diderita oleh pekerja. Karena semakin


lama pajanan maka debu yang menumpuk semakin banyak.
Berdasarkan penelitian mengenai pengaruh pajanan debu urea
terhadap ISPA pekerja, ditemukan bahwa pekerja yang mengalami
lama pajanan debu >8 jam mengalami ISPA lebih tinggi (Florencia,
2013).
h. Penggunaan masker
Masker berfungsi untuk menghalangi partikel berbahaya yang
dapat masuk ke pernapasan. Seperti gas, uap, debu, atau udara yang
mengandung polutan, racun dan substansi lain yang mengganggu.

19

Oleh karena itu penggunaan masker dapat menjadi alat pelindung


untuk mencegah manusia menghirup partikulat yang berbahaya.
Dalam penelitian mengenai pengendalian pajanan debu yang
dilakukan di daerah Deli, ditemukan bahwa nilai fungsi paru
pekerja yang menggunakan masker rata-rata lebih tinggi sekitar
361,91 ml dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak
menggunakan masker yaitu 342,35 ml. Dengan demikian penelitian
tersebut menunjukkan ada pengaruh yang bermakna penggunaan
masker terhadap fungsi paru pekerja (Suryanta, 2009).
i Status Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi sangat erat hubungannya dengan
karakteristik lainnya seperti pekerjaan, pendapatan keluarga,
kebiasaan hidup keluarga, dan lain-lain. Sehingga faktor sosial
ekonomi merupakan salah satu karakteristik tentang orang yang
perlu mendapatkan perhatian tersendiri. Status sosial ekonomi
dapat

menentukan

bagaimana

seseorang

dalam

menerima

pelayanan kesehatan. Dan pelayanan kesehatan merupakan salah


satu hal yang memengaruhi status kesehatan menurut teori H.L.
Blum (Noor, 2008).
j. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan dapat berpengaruh terhadap pengetahuan
seseorang. Pengetahuan kemudian merupakan salah satu faktor
yang dapat membentuk perilaku selain dari sikap dan tindakan.

20

Perilaku

seseorang

kemudian

dapat

memengaruhi

status

kesehatannya.
Dalam penelitian mengenai hubungan tingkat pendidikan dan
pekerjaan ibu dengan perilaku pencegahan ISPA pada balita,
ditemukan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan
dengan

perilaku

pencegahan

ISPA

pada

Balita.

Terdapat

kecenderungan bagi ibu yang dengan tingkat pendidikan menengah


keatas memiliki perilaku pencegahan ISPA yang lebih baik
(Firdausia, 2013).
2.2

Udara
2.2.1 Pengertian Udara
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2012), udara
adalah campuran berbagai gas yang tidak berwarna dan tidak berbau
yang memenuhi ruang di atas bumi seperti yang kita hirup apabila kita
bernapas.
Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang
mengelilingi bumi. Komposisi campuran gas tersebut tidak selalu
konstan. Komponen yang konsentrasinya paling bervariasi adalah air
dalam bentuk uap H2O dan karbon dioksida. Jumlah uap air yang
berada di udara bervariasi tergantung cuaca dan suhu (Fardiaz, 1992).
Udara dapat diartikan sebagai campuran beberapa macam gas yang
perbandingannya tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara,
tekanan udara dan lingkungan sekitar. Komposisi campuran gas

21

tersebut tidak selalu konstan. Komponen udara yang konsentrasinya


paling bervariasi adalah air (H2O) dan Karbon Dioksida (CO2) dengan
konsentrasi sekitar 0,03% (Wardhana, 1994).
2.2.2 Pengertian Udara Ambien
Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan
troposfir yang berada di dalam wilaya yuridiksi Republik Indonesia
yang dibutuhkan dan memengaruhi kesehatan manusia, makhluk
hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya (PP No.41 Tahun 1999).
2.2.3 Baku Mutu
Baku mutu udara di lingkungan industri
Baku mutu udara di lingkungan industri menurut Keputusan
Menteri

Kesehatan

1405/MENKES/SK/XI/2002

Republik
tentang

Indonesia
Persyaratan

Nomor
Kesehatan

Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri sebagaimana yang dapat


dilihat di tabel 2.1. Kandungan debu maksimal didalam udara ruangan
dengan pengukuran 8 jam.
2.3

Pencemaran Udara
Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi, dan atau komponen lainnya ke dalam udara ambien oleh
kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya
(UU No. 23 Tahun 1997).

22

Tabel 2.1
Baku Mutu Udara Lingkungan Industri
No.

Parameter

Konsentrasi Maksimal

1.

Suhu

18C 30 C

2.

Kelembapan

65% - 95%

3.

Debu Total

10 mg/m3

4.

Asbes Total

5 serat/ml udara dengan panjang


serat 5(mikron)

5.

Silikat Total

50 mg/m3

Sumber : Kepmenkes No. 1405/MENKES/SK/XI/2002

Sedangkan menurut Chambers (1976) dan Masters (1991) dalam


prinsip dasar kesehatan lingkungan oleh Mukono (2000), yang dimaksud
pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substrat fisik atau kimia
ke dalam lingkungan udara normal yang mencapai sejumlah tertentu,
sehingga dapat dideteksi oleh manusia, binatang, vegetasi dan material.
Pencemaran udara merupakan masuknya substansi atau zat apapun ke
udara yang dapat berasal dari kegiatan anthropogenik, biogenik, ataupun
dari aktivitas gunung berapi yang bukan merupakan bagian dari atmosfer
alami atau yang konsentrasinya berada di atas baku mutu di atmosfir, yang
kemudian dapat menimbulkan efek jangka pendek maupun jangka panjang
(Daly dan Paolo, 2007).
Pencemaran udara dapat berdampak pada kesehatan manusia melalui
berbagai cara. Telah banyak studi penelitian yang menyebabkan bahwa
pencemaran udara terkait dengan berbagai masalah kesehatan seperti

23

menurunnya kesehatan pernapasan dan kardiovaskuler, menurunnya fungsi


paru, meningkatkan frekuensi dan keparahan gejala gangguan pernapasan
seperti sulit bernapas dan batuk-batuk, meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi pernapasan, mengganggu sistem saraf termasuk otak seperti
penurunan IQ dan ingatan, kanker, hingga kematian dini.
2.3.1 Klasifikasi bahan pencemar udara
Bahan pencemar udara atau dapat disebut polutan dapat dibagi
menjadi polutan primer dan polutan sekunder.
a.

Polutan Primer
Polutan primer yaitu polutan yang secara langsung dikeluarkan
oleh sumbernya ke atmosfir (Mukono, 2000).

Polutan primer

merupakan polutan yang mencakup 90% dari jumlah polutan di udara


sesungguhnya (Ratnani, 2008).
Polutan primer dapat berupa :
1. Polutan Gas, Terdiri dari :
a) Senyawa karbon, yaitu hidrokarbon, hidrokarbon teroksgenasi,
dan karbon dioksida (CO atau CO2).
b) Senyawa sulfur, yaitu sulfur oksida.
c) Senyawa nitrogen, yaitu oksida dan amoniak
d) Senyawa halogen, yaitu fluor, klorin, hidrogen klorida,
hidrokarbon terklorinasi dan bromin.

24

2. Partikel
Partikel adalah pencemar udara yang dapat berada bersama-sama
dengan bahan atau bentuk pencemar lainnya. Partikel dapat
diartikan secara murni atau sempit sebagai bahan pencemar yang
berbentuk padatan.
Partikel dapat berupa keadaan berikut (Wardhana, 1995).
a) Aerosol, adalah istilah umum yang menyatakan adanya partikel
terhambur dan melayang di udara.
b) Fog atau kabut adalah aerosol yang merupakan butiran air yang
ada di udara.
c) Smoke atau asap adalah aerosol yang berupa campuran antara
butir padatan dan cairan yang terhambur melayang di udara.
d) Dust atau debu adalah aerosol yang berupa butiran padat yang
terhambur dan melayang di udara karena adanya hembusan
angin.
e) Mist artinya mirip dengan kabut penyebabnya adalah butiranbutiran zat cair (bukan butiran air) yang terhambur dan
melayang di udara.
f) Fume adalah aerosol yang berasal dari kondensasi uap logam.
g) Flume adalah asap yang keluar dari cerobong asap suatu industri.
h) Smog adalah campuran smoke dan fog.

25

b.

Polutan Sekunder
Polutan sekunder merupakan polutan yang bukan dikeluarkan
secara langsung oleh sumbernya, melainkan terbentuk di atmosfir
akibat reaksi kimia antara polutan primer (Mukono,2000).
Polutan sekunder biasanya terjadi karena reaksi dari dua atau lebih
bahan kimia di udara, misalnya reaksi foto kimia. Sebagai contoh
adalah disosiasi NO2 yang menghasilkan NO dan O radikal. Proses
kecepatan dan arah reaksinya dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
konsentrasi relatif bahan reaktan, derajat fotoaktivasi, kondisi iklim
dan topografi lokal dan adanya embun.

2.4

Debu
Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel
yang melayang di udara (Suspended Particulate Meter/SPM) dengan ukuran
1 mikron sampai dengan 500 mikron. Dalam kasus pencemaran udara baik
di dalam maupun diluar gedung debu sering dijadikan salah satu indikator
pencemaran. Digunakan untuk menunjukkan tingkat bahaya baik terhadap
lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (Pudjiastuti,
2002).
Partikel debu akan akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama
dalam keadaan melayang-layang di udara kemudian masuk ke dalam tubuh
manusia melalui pernapasan. Selain dapat membahayakan kesehatan, debu
juga dapat mengurangi jarak dan daya pandang manusia. Kemudian debu ini
dapat bereaksi secara kimia, sehingga komposisi debu di udara menjadi

26

partikel yang sangat rumit karena merupakan campuran dari berbagai bahan
dengan ukuran dan jumlah yang relatif berbeda (Pudjiastuti, 2002).
Merujuk pada International Standardization Organisation/ISO (ISO
4255-ISO, 1994) debu merupakan partikel padat berukuran kecil, yaitu
partikel yang diameternya berukuran dibawah 75m dan dapat berkurang
beratnya tetapi akan tetap bertahan dalam beberapa waktu (WHO, 1999).
Sedangkan menurut Glossary of the Atmospheric Chemistric Terms
debu didefinisikan sebagai : partikel kecil, kering dan padat yang
diproyeksikan ke udara oleh kekuatan alami seperti angin, erupsi volkanik,
dan oleh kekuatan mekanik atau proses yang dilakukan oleh manusia seperti
penghancuran, penggilingan, pengeboran, pembongkaran, penyekopan,
penyaringan dan penyapuan. Partikel debu biasanya berukuran kisaran
diameter 1 - 100m yang kemudian turun dari udara secara perlahan-lahan
karena pengaruh gravitasi (Calvert, 1990).
Dalam ilmu sains mengenai aerosol, secara umum telah disetujui bahwa
partikel dengan diameter aerodinamik >50m tidak biasanya tetap berada di
udara dalam waktu terlalu lama. Karena partikel tersebut memiliki
kecepatan terminal >7cm/detik. Namun, tergantung kondisi partikel debu
yang berukuran >100m bisa saja (tapi jarang bertahan lama) berada di
udara. Partikel debu sering ditemukan berukuran <1 m dan partikel
berukuran tersebut memiliki keceparan terminal sekitar 0,03 mm/detik. Jadi
pergerakannya di udara lebih penting diperhatikan daripada endapannya di
permukaan (WHO, 1999).

27

Dengan demikian kesimpulan dari berbagai pemaparan sebelumnya,


disimpulkan debu merupakan partikel padat yang berukuran kisaran 1 m 100 m, yang mana dapat atau akan menjadi bertahan di udara, tergantung
sumber debu tersebut, karakteristik fisik, dan kondisi ambiennya. Adapun
didalam higiene lingkungan kerja, istilah Airborne Dust, digunakan di
lingkungan higiene perusahaan. Sedangkan untuk istilah yang merujuk pada
polusi yang berada di lingkungan atmosfir, istilah Suspended Particulate
Matter lebih sering digunakan (WHO, 1999).
2.4.1 Macam-macam debu
Debu memiliki beberapa sifat yaitu (Mengkidi, 2006):
a) Sifat pengendapan, yaitu debu yang cenderung selalu mengendap
karena gaya grafitasi bumi. Namun, karena kecilnya kadang-kadang
debu ini relatif tetap berada di udara. Debu yang mengendap dapat
mengandung proporsi partikel lebih dari pada yang ada di udara
b) Sifat permukaan basah, sifat permukaan debu akan cenderung selalu
basah dilapisi oleh air yang sangat tipis. Sifat ini penting dalam
pengendalian debu dalam tempat kerja.
c) Sifat penggumpalan, Oleh karena permukaan debu selalu basah,
sehingga dapat menempel satu sama lain dan menggumpal.
Kelembapan

di

bawah

saturasi

kecil

pengaruhnya

terhadap

penggumpalan debu. Akan tetapi bila tingkat kelembapan di atas titik


saturasi maka akan mempermudah penggumpalan. Oleh karena

28

partikel debu bisa merupakan inti dari pada air yang berkonsentrasi,
partikel jadi besar.
d) Sifat listrik statik, debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat
menarik partikel lain yang berlawanan dengan demikian partikel
dalam larutan debu mempercepat terjadinya proses penggumpalan.
e) Sifat Opsis, partikel yang basah/lembap lainnya dapat memancarkan
sinar yang dapat terlihat dalam kamar gelap.
Sedangkan dari jenisnya debu dikategorikan sebagai (Pudjiastuti, 2002):
a) Debu mineral : Debu ini terdiri dari persenyawaan yang kompleks
seperti : SiO2, SiO3, arang batu dan lainnya. Sifat debu ini tidak
fibrosis pada paru.
b) Debu kimia lainnya : Debu kimia dan insektisida.
c) Debu organik dan sayuran : Debu yang berasal dari tumbuh-tumbuhan
dan organik seperti tepung, kayu, kapas dan serbuk bunga. Debu
organik dapat menimbulkan efek patofisiologis dan kerusakan alveoli
atau penyebab fibrosis pada paru.
d) Debu Biohazards : Partikel hidup, cendawan dan spora.
e) Debu metalik : Debu yang mengandung unsur logam seperti Pb, Hg,
Cd, Arsen dan lainnya. Debu ini menyebabkan keracunan, akibat
absorbsi rubuh melalui kulit dan lambung.
Dari segi karakter zat debu fisik ( debu tanah, batu , mineral, fiber), kimia
(mineral organik dan inorganik), biologis (virus, bakteri , kista), dan
debu radioaktif.

29

Debu berdasarkan akibat fisiologinya terhadap tenaga kerja. Klasifikasi


debu berdasarkan tingkat bahayanya (Mengkidi, 2006):
a) Debu Fibrogenik (bahaya terhadap sistem pernapasan)
Contoh : Silika (kwarsa, chert), silicate (asbestos, talk, mica, silimate),
metal fumes, biji beryllium, bijih timah putih, beberapa bijih besi,
carborundum, batu bara (anthracite, bituminous).
b) Debu Karsinogenik (dapat menyebabkan kanker)
Contoh : debu hasil peluruhan radon, asbestos, arsenik.
c) Debu-debu beracun (toksik terhadap organ atau jaringan tubuh)
Contoh : Bijih beryllium, arsen, timbal, uranium radium, torium,
kromium, vanadium, merkuri, kadmium, antimony, slenium, mangan,
tungsten, nikel dan perak.
d) Debu radioaktif (berbahaya karena radiasi alfa dan beta)
Contoh : Bijih-bijih uranium, radium, torium.
e) Debu eksplosif
Contoh : Debu-debu metal (magnesium, aluminium, zinc, timah putih,
besi), batu bara (bituminous, lignite) bijih-bijih sulfida, debu-debu
organik.
f)

Debu-debu pengganggu/nuisance dust (mengakibatkan kerugian yang


ringan terhadap manusia)

g) Inert dust / debu yang tidak bereaksi kimia dengan zat lain (tidak
mempunyai akibat pada paru-paru)

30

h) Respirable dust (debu yang dapat terhirup oleh manusia yang


berukuran <10).
i)

Irrespirable dust (debu yang tidak dapat terhirup oleh manusia yang
berukuran <10).

2.4.2 Kadar Debu Total


Dalam Environmental Protection Department (EPG, 2006)
disebutkan kadar debu total atau juga dikenal sebagai partikulat
tersuspensi total (TSP) mengacu pada semua partikel di atmosfer.
Kadar debu total merupakan partikel di udara yang memiliki diameter
kurang dari 100 m (mikrometer). Di antara kadar debu total,
termasuk partikel yang dapat terhisap oleh sistem pernapasan. Partikel
ini merupakan partikel di atmosfer yang memiliki ukuran sama
dengan atau bahkan kurang dari 10 m .
2.4.3 Metode Sampling Kadar Debu Total
Pengukuran sampling udara secara umum dibagi dua yaitu
sampling udara emisi dan sampling udara ambien. Sampling udara
emisi adalah teknik sampling udara pada sumbernya seperti cerobong
pabrik dan saluran knalpot kendaraan bermotor. Sedangkan udara
ambien adalah sampling kualitas udara pada media penerima
polutan/emisi udara. Alat-alat yang digunakan untuk menguji
partikulat di udara antara lain (Arief, 2013) :

31

a. HVS (High Volume Sampler)


Menurut Lodge (1989) dalam Purigiwati (2010) pengukuran
kadar debu total atau kadar partikel tersuspensi di udara dapat
dilakukan salah satunya dengan alat HVS. Alat ini dapat mengukur
partikel dengan ukuran 0 m - 10 m. Alat ini terdiri dari beberapa
komponen seperti inlet, penyangga filter, penggerak udara,
pengontrol laju alir dan timer. Adapun ilustrasi alat ini terdapat
pada gambar 2.1.

Gambar 2.1
High Volume Sampler
Sumber : Arief, 2013

Cara operasional alat ini adalah sebagai berikut :


a.

Panaskan kertas saring pada suhu 105C, selama 30 menit.

b.

Timbang kertas saring, dengan neraca analitik pada suhu 105


C dengan menggunakan vinset (Hati-hati jangan sampai
tersentuh tangan)

c.

Pasangkan pada alat TSP, dengan membuka atap alat TSP,


kemudian dipasangkan kembali atapnya.

32

d.

Simpan alat HVS tersebut pada tempat yang sudah ditentukan


sebelumnya.

e.

Operasikan alat dengan cara, menghidupkan (pada posisi


On) pompa hisap dan mencatat angka flow rate-nya (laju alir
udaranya).

f.

Matikan alat sampai batas waktu yang telah ditetapkan.

g.

Ambil kertasnya, panaskan pada oven listrik. Timbang kertas


saringnya.

h.

Hitung kadar TSP nya sebagai mg/NM3

i.

Metode penggunaan alat ini juga bisa digunakan, terhadap


pm10 atau apa pun pada pengukuran parameter logam.

b. MVS (Middle Volume Sampler)


Pengukuran dengan MVS menggunakan filter berbentuk
lingkaran dengan porositas 0,3-0,45 m, kecepatan pompa yang
dipakai untuk penangkapan debu adalah 50-500 lpm. Operasional
dari MVS sama dengan HVS, perbedaannya hanya terletak pada
ukuran filter membrannya. HVS menggunakan filter A4 persegi
panjang, sedangkan MVS menggunakan filter berukuran bulatdiameter 12 cm (BPLHD Jabar, 2007).

33

Gambar 2.4
Middle Volume Sampler (MVS)
Sumber : BPLHD Jabar, 2007

c. LVS (Low Volume Sampler)


LVS dapat digunakan untuk mengukur partikulat di dalam
maupun luar ruangan. Pompa vakum bertujuan untuk menarik
partikulat di udara ke dalam alat, kemudian ukuran partikulat
disortir oleh pemisah (impaktor) dan partikel debu dienapkan pada
filter. Setelah itu akan dilakukan analisis secara gravimetri.

Gambar 2.3
Low Volume Sampler
Sumber : BPLHD Jabar, 2007

34

Metode pengukuran dengan LVS menggunakan filter berbentuk


lingkaran dengan porositas 0,3-,45 m dengan kecepatan pompa
penangkap 10-30 lpm (Arief, 2013).
Cara operasional alat ini sebagai berikut (SNI 16-7058-2004):
1)

LVS dihubungkan dengan pompa pengisap udara dengan


menggunakan selang silikon atau teflon.

2)

LVS diletakkan di titik pengukuran (di dekat tenaga kerja


terpapar debu) dengan menggunakan tripod setinggi zona
pernapasan pekerja.

3)

Pompa

pengisap

udara

dihidupkan

dan

lakukan

pengambilan contoh dengan kecepatan aliran udara


(flowrate) 10 l/menit.
4)

Lama pengambilan

contoh

dapat

dilakukan selama

beberapa menit hingga satu jam (tergantung kebutuhan,


tujuan dan kondisi pengukuran).
5)

Pengambilan contoh dilakukan minimal 3 kali dalam 8 jam


kerja yaitu pada awal, pertengahan dan akhir shift kerja.

6) Setelah selesai pengambilan contoh, debu pada bagian luar


holder dibersihkan untuk menghindari kontaminasi.
7)

Filter dipindahkan dengan menggunakan pinset ke keset


filter dan dimasukkan ke dalam desikator selama 24 jam.

35

2.4.4 Nilai Ambang Batas Debu


Nilai ambang batas atau NAB adalah standar faktor-faktor
lingkungan kerja yang dianjurkan di tempat kerja agar tenaga kerja
masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan penyakit atau
gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak
melebihi 8 jam atau 40 jam seminggu.
Nilai Ambang Batas debu mengikuti ambang batas udara ambien
yaitu berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomr 41
Tahun 1999. Atau PP RI No.41 Tahun 1999. Yang menyebutkan NAB
dalam 1 jam adalah 90 ug/Nm3 sedangkan dalam 24 jam adalah 230
ug/Nm3. Untuk debu ditempat kerja dapat mengacu pada Keputusan
Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No.1405/ MENKES/SK/XI/2002. Di
dalam peraturan ini disebutkan NAB maksimal di industri sebesar 10
mg/m3.
2.5

Sistem Pernapasan
Sistem pernapasan terutama berfungsi untuk pengambilan oksigen (O2)
oleh darah dan pembuangan karbon dioksida (CO2). Paru dihubungkan
dengan lingkungan luarnya melalui serangkaian saluran, berturut-turut
hidung, faring, laring, trakea dan bronki. Pertukaran gas antara oksigen yang
dihirup dari udara masuk ke dalam darah dan karbondioksida yang akan
dikeluarkan melalui traktus respiratorius (jalan napas) terjadi didalam paruparu. Kemudian masuk ke tubuh melalui kapiler-kapiler vena pulmonalis

36

kemudian masuk ke serambi kiri jantung (atrium sinistra) terus ke aorta dan
dilanjutkan ke seluruh tubuh (Muttaqin, 2008).
Pernapasan merupakan suatu proses yang terjadi dengan sendirinya.
Pada saat bernapas ada dua proses yang terjadi yaitu inspirasi dan ekspirasi.
Frekuensi terjadinya inspirasi dan ekspirasi adalah selama 15-18 kali setiap
menit. Kedua proses ini diatur oleh otot diafragma dan otot antar tulang
rusuk (Mikrajuddin dkk, 2007).

Gambar 2.5
Saluran Pernapasan
Sumber : Muttaqin, 2008

Ampas atau sisa dari pembakaran berupa karbon dioksida yang


dikeluarkan melalui peredaran darah vena diteruskan ke jantung (serambi
kanan/atrium dekstra). Dari sini keluar melalui peredaran darah arteri
pulmonalis ke jaringan-jaringan paru-paru.
Beberapa istilah yang berhubungan dengan sistem pernapasan seperti :

37

a.

Respirasi (Sloane, 2004)


1)

Respirasi sel
Adalah penggunaan O2 oleh sel-sel tubuh untuk produksi energi,
dan pelepasan produk oksidasi (CO2 dan air) oleh sel-sel tubuh.

2)

Respirasi eksternal
Merupakan proses pertukaran gas atau difusi O2 dan CO2 antara sel
darah dan sel-sel jaringan sehingga oksigen dari paru masuk ke
dalam darah, dan karbon dioksida dan air keluar dari darah masuk
ke paru.

3)

Respirasi internal
Merupakan proses difusi O2 dan CO2 antara sel darah dan sel-sel
jaringan.

b.

Ventilasi (Muttaqin, 2008)


Merupakan proses mekanik yang berakibat masuk dan keluarnya udara

dari paru, yang mencakup inspirasi dan ekspirasi.


1)

Inspirasi
Masuknya udara yang kaya oksigen dan miskin karbondioksida ke
dalam jalan napas sampai dengan ke alveoli.

2)

Ekspirasi
Keluarnya udaya yang kaya karbondioksida dan miskin oksigen
melalui jalan napas.

38

2.5.1 Anatomi sistem pernapasan


Anatomi saluran pernapasan secara garis besar terdiri atas saluran
pernapasan bagian atas (rongga hidung, sinus paranasal, dan faring),
saluran pernapasan bagian bawah (laring, trakhea, bronkhus dan
alveoli), sirkulasi pulmonal (ventrikel kanan, arteri pulmonar, kapiler
pulmonar, venula pulmonar, vena pulmonar dan atrium kiri), paru
(paru kanan 3 lobus dan paru kiri 2 lobus), rongga pleura, dan otototot pernapasan (dapat dilihat pada gambar 2.6)

Gambar 2.6
Komponen sistem pernapasan
Sumber : Muttaqin, 2008

Saluran Pernapasan Bagian Atas


a.

Rongga Hidung
Rongga hidung terdiri dari tonjolan seperti rak, yaitu turbinat
yang bekerja seperti kisi-kisi radiator untuk menghangatkan dan

39

melembabkan udara. Mukosa rongga ini memiliki banyak


pembuluh darah dan bervariasi (Ester, 1999).
Hidung terdiri atas dua nostril yang merupakan pintu masuk
menuju rongga hidung. Rongga hidung adalah dua kanal sempit
yag satu sama lainnya dipisahkan oleh septum. Dinding rongga
hidung dilapisi oleh mukosa respirasi serta sel epitel batang,
bersilia

dan

berlapis

semu.

Mukosa

tersebut

menyaring,

menghangatkan dan melembapkan udara yang masuk melalui


hidung. Vestibulum merupakan bagian dari rongga hidung yang
berambut dan berfunggsi menyaring partikel-partikel asing
berukuran besar agar tidak masuk ke saluran pernapasan bagian
bawah.
Dalam

hidung

juga

terdapat

saluran-saluran

yang

menghubungkan antara rongga hidung dengan kelenjar air mata,


bagian ini dikenal dengan kantung nasolakrimalis. Kantung
nasolakrimalis ini berfungsi mengalirkan air melalui hidung-yang
berasal dari kelenjar mata- jika seseorang menangis (Muttaqin,
2008).
b.

Sinus Paranasal
Sinus paranasal berperan dalam menyekresi mukus, membantu
pengaliran air mata melalui saluran nasolakrimalis, dan membantu
dalam menjaga permukaan rongga hidung tetap bersih dan lembap.
Sinus paranasal juga termasuk dalam wilayah pembau di bagian

40

posterior rongga hidung. Wilayah pembau tersebut terdiri atas


permukaan inferior palatum kribriform, bagian superior septum
nasal, dan bagian superior konka hidung. Reseptor di dalam epitel
pembau ini akan merasakan sensasi bau.
c.

Faring
Faring atau tenggorok adalah tuba muskular yang terletak di
posterior rongga nasal dan oral di anterior vertebra servikalis.
Secara deskriptif, faring dapat dibagi menjadi tiga segmen, setiap
segmen dilanjutkan oleh segmen lainnya yaitu nasofaring,
orofaring dan laringofaring (Asih dan Effendy, 2004).
Faring (tekak) adalah pipa berotot yang bermula dari dasar
tengkorak dan berakhir sampai persambungannya dengan esofagus
dan batas tulang rawan krikoid. Faring terdiri atas tiga bagian yang
dinamai berdasarkan tata letaknya, yakni nasofaring (di belakang
hidung), osofaring(di belakang mulut), dan laringofaring (di
belakang faring) (Muttaqin, 2008).

Gambar 2.7
Anatomi Saluran Pernapasan Bagian Atas
Sumber : Muttaqin, 2008

41

Saluran Pernapasan Bagian Bawah


a.

Laring
Laring adalah

suatu katup yang rumit pada persimpangan

lintasan makanan dan lintasan udara. Laring terangkat dibawah


lidah saat menelan dan karenanya mencegah makanan masuk ke
trakea (Ester, 1999).
Sedangkan dalam Sloane (2004) disebutkan laring adalah
tabung pendek berbentuk seperti kotak triangular dan ditopang oleh
sembilan kartilago, tiga berpasangan dan tiga tidak berpasangan.
Kartilago

berpasangan

yaitu

kartilago

aritenoid,

kartilago

kornikulata, dan kartilago kuneiform. Sedangkan kartilago tidak


berpasangan yaitu kartilago tiroid, krikoid, dan epiglotis
Laring (tenggorok) terletak di antara faring dan trakhea.
Berdasarkan letak vertebra servikalis, laring berada di ruas ke-4
atau ke-5 dan berakhir di vertebra servikalis ruas ke 6. Laring
disusun oleh 9 kartilago yang disatukan oleh ligamen dan otot
rangka pada tulang hioid di bagian atas dan trakhea di bagian
bawahnya (Muttaqin, 2008).

42

Gambar 2.8
Struktur anatomi laring (a) Pandangan anterior (b) Pandangan posterior
(c) pandangan melintang
(Sumber Simon dan Schuster, 2003)

Otot yang mengabdusikan laring berkontraksi pada awal inspirasi


(menghisap udara), menarik pita suara saling menjauhi dan
membuka glottis. Sewaktu menelan atau bersenda gurau terdapat
refleks kontraksi otot-otot aduktor yang menutup glottis dan
mencegah aspirasi makanan, cairan atau muntahan ke dalam paruparu.
b.

Trakhea
Trakhea adalah saluran udara tubular yang mempunyai
panjang sekitar 10 sampai 13 cm dengan lebar sekitar 2,5 cm.
Trakhea terletak di depan esofagus dan saat palpasi teraba sebagai
struktur yang keras, kaku, tepat di permukaan anterior leher.
Trakhea memanjang dari laring atas ke arah bawah ke dalam

43

rongga toraks tempatnya terbagi menjadi bronkhi kanan dan kiri


(Asih dan Effendy, 2004).
Pengertian lain menyebutkan trakhea sebagai tuba atau pipa
udara dengan panjang 10-12 cm dengan diameter 2,5 cm dan
terletak di atas permukaan anterior esofagus. Tuba ini merentang
dari laring pada area vertebra serviks keenam sampai area verebra
toraks kelima tempatnya membelah menjad dua bronkus utama
(Sloane, 2004).

Gambar 2.9
(a) Ilustrasi trakhea (b) gambaran melintang trakhea
Sumber : Muttaqin, 2008

c.

Bronkhus
Bronkhus

mempunyai

struktur serupa dengan trakhea.

Bronkhus kiri dan kanan tidak simetris. Bronkhus kanan lebih


pendek, lebih lebar, dan arahnya hampir vertikal dengan trakhea.
Sebaliknya bronkhus kiri lebih panjang, lebih sempit dan sudutnya
lebih runcing. Bentuk anatomi ini memiliki implikasi klinis

44

tersendiri jika ada benda asing yang terinhalasi, maka benda itu
lebih memungkinkan berada di bronkhus kanan dibandingkan
dengan bronkhus kiri karena arah dan lebarnya (Muttaqin, 2008).
2.5.2 Masuknya debu ke sistem pernapasan
Partikel yang ukurannya cukup kecil untuk dapat menetap di
udara dapat terhirup melalui hidung yaitu melalui rongga hidung
ataupun melalui

mulut.

Kemampuan partikel

untuk

terhirup

tergantung pada diameter partikel, pergerakan udara di sekitar tubuh,


dan rasio pernapasan. Partikel yang terhirup ini kemudian dapat
mengendap ataupun dihembuskan kembali, tergantung pada fisiologi
dan

faktor

terkait

partikel.

Lima

mekanisme

deposisi

atau

pengendapan partikel dalam tubuh manusia yaitu sedimentasi, impaksi


inersia, difusi (hanya untuk partikel dengan ukuran <0,5 m),
intersepsi dan pengendapan elektrostatis. Sedimentasi dan impaksi
merupakan mekanisme yang paling penting yang berhubungan dengan
debu udara yang terhirup, dan hal ini merupakan proses yang
ditentukan oleh diameter partikel (Lippman, 1977).
Menurut

Brown (1976) dalam Sintorini (2002) dikatakan

sebanyak 55% debu yang terhisap melalui udara ke pernapasan


mempunyai ukuran antara 0,25m - 6 m. Dan jumlah debu yang
terhisap tersebut 15-95% dapat mengalami retensi (debu tertahan di
dalam tubuh). Proporsi retensi tersebut mempunyai hubungan
langsung dengan sifat-sifat fisik debu. Didasarkan atas sifat fisiknya

45

suspensi debu yang terdapat dalam udara dan anatomi sistem


pernapasan maka dapat dikatakan bahwa partikel debu yang
mempunyai ukuran lebih besar dari 10 m dapat dikeluarkan oleh
saluran napas bagian atas.
Partikel debu yang berukuran 5 m dengan 10 m tertahan
terutama pada saluran pernapasan bagian atas. Debu yang memiliki
ukuran 5 m sampai dengan 10 m akan ikut jatuh sejalan dengan
percepatan gravitasi. Dan bila terhirup melalui pernapasan biasanya
akan jatuh pada alat pernapasan bagian atas dan menimbulkan banyak
penyakit berupa iritasi sehingga menimbulkan penyakit pharingitis.
Partikel debu dengan ukuran 3 m sampai dengan 5 m akan
ditahan oleh saluran pernapasan bagian tengah. Partikel debu tersebut
jatuhnya

lebih

ke

dalam

yaitu

pada

saluran

pernapasan

(bronchus/broncheolus). Hanya bedanya disini lebih banyak memiliki


aspek fisiologis yaitu menimbulkan bronchitis, alergis atau asma. Dan
lebih mudah terkena pada orang yang semula sudah memiliki
kepekaan berdasarkan keadaan seperti itu.
Partikel debu yang berukuran 1 m sampai dengan 3 m dapat
mencapai bagian yang lebih dalam lagi dan mengendap di alveoli
karena adanya gravitasi dan difusi. Partikel debu bergerak sejalan
dengan suatu kecepatan yang konstan untuk jenis-jenis debu tertentu.
Debu-debu tersebut menghambat fungsi alveoli sebagai media
pertukaran gas. Sehingga dengan melekatnya debu ukuran ini akan

46

mengganggu kemampuan proses pertukaran gas yang lebih kecil


ukurannya dan lebih perlahan jatuhnya .
2.6

Industri tekstil
Menurut Peraturan Menteri Perinustrian atau Permenperin Nomor
15/M-IND/PER/2 Tahun 2012, mengenai program revitalisasi dan
penumbuhan industri melalui restrukturisasi mesin/peralatan industri tekstil
dan produk tekstil serta industri alas kaki, pengertian industri tekstil dan
produk tekstil yang selanjutnya disebut TPT adalah perusahaan industri
yang menghasilkan tekstil dan produk tekstil.
2.6.1 Alur Produksi Industri Tekstil

Bagan 2.2
Alur Produksi Industri Tekstil

47

2.6.2 Kegiatan di PT.Unitex


Industri tekstil merupakan industri yang bertujuan untuk
menghasilkan TPT yaitu produk tekstil. Kegiatan industri tekstil
secara umum meliputi delapan bagian utama. Yaitu bagian spinning,
bagian weaving, biro koordinasi pusat (BKP), bagian dyeing, bagian
celup benang, bagian garansi mutu, bagian teknik industri dan bagian
utility (PT. Unitex Tbk).
a. Bagian spinning
Bagian spinning atau pemintalan adalah proses memroses bahan
baku (kapas dan poliester) menjadi benang.
1. Seksi blowing dan carding
Tugas seksi ini yaitu melakukan proses pembuatan benang, dimana
bahan baku yaitu kapas atau poliester dimasukkan kedalam mesin
blowing untuk diuraikan gumpalan-gumpalan seratnya, dibersihkan
kotoran-kotorannya, dan diaduk sehingga terjadi pencampuran
yang merata beberapa jenis kapas. Dari proses ini dihasilkan Lap
yang selanjutnya diproses dalam mesin carding dan menghasilkan
Silver.
2. Seksi combing, drawing dan finishing
Tugas seksi ini adalah melanjutkan seksi sebelumnya yaitu melalui
proses Pre Drawing yang berfungsi meluruskan dan mensejajarkan
serat, memperbaiki kerataan serat dan membuat Silver dengan

48

berat persatuan panjang tertentu. Tugas seksi ini juga membuat


campuran antara poliester dengan kapas melalui proses Drawing.
3. Seksi ring spinning dan finishing
Tugas dari seksi ini adalah menyiapkan benang dari hasil
pemintalan dalam bentuk "Cones" dengan mesin Mach Conner.
b. Bagian Weaving
Bagian Weaving (penenunan) adalah bagian yang memproses
benang menjadi kain. Proses ini diawali dari mempersiapkan benang
dalam seksi persiapan hingga terbentuk anyaman benang tate yang
siap masuk mesin tenun, selanjutnya diproses dalam mesin tenun.
1. Seksi Persiapan
Tugas seksi ini adalah menggulung ulang dari bentuk Cones
menjadi bentuk Hank (relling), melakukan proses pengkajian
untuk benang-benang tertentu yang perlu dikanji, mempersiapkan
benang tate pada mesin Warper dan pengkanjian benang tate yang
telah tergulung pada Beam dalam mesin Zising, dan membuat
anyaman benang tate pada Dropper, Herdo dan Osa sesuai dengan
desain dan jenis anyaman yang diinginkan.
2. Seksi Penenunan
Tugas seksi ini adalah melakukan proses penenunan hingga
menghasilkan kain sesuai dengan yang diinginkan.

49

c. BKP / Biro koordinasi pusat


Bagian ini berfungsi untuk mengontrol produksi sesuai dengan
order yang diterima. BKP menerima order dari kantor Jakarta yang
berasal baik dalam maupun luar negeri, kemudian dipelajari untuk
menentukan jenis dan cara pembuatan kain tersebut. BKP mengatur
perencanaan proses produksi mulai dari persiapan bahan baku,
persiapan proses sampai dengan proses pengeluaran barang jadi dari
gudang untuk dikirim kepada pelanggan.
d. Bagian Dyeing
Departemen Dyeing adalah bagian pemolesan kain terhadap warna,
penampilan dan pegangan (handling). Departemen ini merupakan
bagian pemrosesan kain yang terakhir mulai dari bahan baku kapas
dan poliester sampai pada produk kain yang siap dipasarkan.
1. Seksi Sarashi
Seksi ini merupakan gabungan unit kerja yang mempersiapkan kain
mentah sampai kain tersebut siap untuk dicelup warna sesuai
dengan pesanan.
2. Seksi Pencelupan
Tugas seksi ini adalah kain yang berasal dari seksi persiapan
(sarashi) diproses kembali melalui proses pengaturan panas
(berfungsi untuk menstabilkan serat ester dan menghilangkan garisgaris

lipatan),

pencelupan,

resin

finish

(berfungsi

untuk

50

memperbaiki kehalusan kain) dan Sanforized (berfungsi untuk


mengurangi penyusutan kain pada saat dibuat baju atau dicuci).
3. Seksi Resin/ Finishing
Tugas seksi ini adalah untuk menyempurnakan hasil proses
pencelupan dengan memberikan cairan kimia resin dan proses
penyusutan dengan menggunakan mesin Sanforized.
4. Seksi Hozen
Tugas seksi ini adalah mendukung kelancaran proses produksi di
bagian dyeing dan celup benang dalam hal memastikan bahwa
semua mesin produksi dapat beroperasi dengan baik. Seksi ini juga
bertugas untuk melakukan perbaikan apabila terdapat kerusakan
pada mesin atau sarana produksi lainya.
a. Seksi Laborat
Tugas seksi ini adalah untuk mencari resep-resep pencelupan,
pengujian warna dan pengujian terhadap sifat fisik kain sesuai
standar internasional.
e. Bagian Celup Benang
Bagian ini pada dasarnya merupakan bagian yang berdiri sendiri
dalam departemen dyeing. Seluruh aktifitas mulai dari persiapan
sampai dengan pengeringan dilakukan dalam seksi ini dan tidak
terkait secara langsung dengan seksi-seksi lain. Pada bagian celup
benang ini terdapat dua seksi yaitu seksi celup benang itu sendiri dan
seksi soft winder.

51

Proses yang dilakukan pada seksi celup benang adalah proses


pencelupan benang hasil produksi bagian spinning yang sebelum
ditenun dicelup terlebih dahulu. Sedangkan proses yang dilakukan
pada seksi soft winder adalah proses penggulungan benang kembali
dari hasil spinning sehingga dapat dilakukan proses celup pada seksi
celup benang.
f. Bagian Garansi Mutu
Departemen garansi mutu adalah bagian yang berfungsi untuk
melakukan pengontrolan mengenai kualitas hasil produksi, baik
kualitas produksi kain mentah, kualitas kain jadi maupun kualitas
produksi benang. Bagian garansi mutu ini merupakan penggabungan
proses pengendalian mutu dari bagian produksi sebelumnya yaitu
bagian spinning (kualitas benang), seksi penenunan dan seksi make-up
(bagian dyeing/pencelupan).
1. Seksi Pemeriksaan
Tugas seksi ini adalah menerima kain hasil tenunan dari seksi
penenunan untuk dicek dan ditentukan tingkatannya, untuk
diperbaiki dan untuk diklasifikasikan sesuai dengan jenis dan
jadwal pengiriman kebagian dyeing.
2. Seksi Make-Up
Tugas seksi ini adalah melakukan penggolongan tingkatan,
penggulungan dan pengepakan sesuai dengan pemesanan.

52

g. Bagian Teknik Produksi


Departemen teknik produksi adalah bagian yang bertanggung
jawab dalam hal proses penanggulangan masalah apabila terdapat
ketidaksesuaian antara hasil rencana dengan hasil proses produksi.
Misalnya apabila terdapat ketidaksesuaian dalam hal kualitas warna,
maka bagian ini akan meneliti permasalahannya dan mengusulkan
cara penanggulangannya bersama-sama bagian yang bersangkutan.
h. Bagian Utility
Departemen

Utility

adalah

bagian

yang

berfungsi

untuk

menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh departemen


lainnya. Sarana dan prasarana yang disediakan oleh departemen utility
meliputi penyediaan sumber energi listrik, uap air panas, air bersih,
pengatur suhu

ruangan pabrik

(AC), pemasangan peralatan.

Disamping itu departemen utility juga mengelola air limbah sisa


proses pencelupan dari departemen dyeing.
1. Seksi Air Limbah
Tugas seksi ini adalah mengolah sisa-sisa air pencelupan baik celup
kain maupun celup benang yang berasal dari departemen dyeing
dan celup benang, sehingga pada saat air terbuat dibuang kesungai
tidak membahayakan kehidupan lingkungan sekitarnya.
2. Seksi Power Station
Tugas seksi ini adalah menyediakan kebutuhan sumber energi
listrik, uap air panas, pengaturan suhu ruangan (AC) serta air bersih.

53

3. Seksi Maintenace
Tugas seksi ini adalah menyediakan, memasang dan merawat
sarana dan prasarana pada seluruh departemen lainnya.
4. Seksi Bangunan
Tugas seksi ini adalah melaksanakan pembangunan sarana
(bangunan)

pada

departemen

lainnya

serta

melaksanakan

pembangunan perumahan karyawan PT Unitex.

2.6.3 Distribusi karyawan PT.Unitex

282

153
105
53
112

15

44
6

208

2322

47
2

48
14

63

Laki-Laki

58

Perempuan

*Data profil PT.Unitex Januari 2014


Grafik 2.1
Distribusi Karyawan Berdasarkan Tempat dan Jenis Kelamin
Data Berdasarkan Grafik 2.1 dapat dilihat bahwa jumlah pekerja di
PT.Unitex sebanyak 878 orang. Dan untuk departemen pemintalan

54

sendiri pekerjanya berjumlah 153 laki-laki dan 15 perempuan


sehingga totalnya adalah sebesar 168 orang.
2.6

Kerangka Teori
Pencemaran udara yang terjadi di lingkungan secara garis besar berasal
dari dua sumber yaitu akibat kegiatan manusia ataupun karena sebab
alamiah. Pencemaran udara akibat kegiatan manusia diantaranya yaitu
akibat penggunaan bahan bakar, kegiatan tambang, kegiatan rumah tangga
maupun industri. Sedangkan sebab alami salah satunya adalah karena erupsi
gunung berapi.
Pencemaran udara ini dihasilkan oleh polutan atau zat pencemar udara
diantaranya adalah berbagai jenis debu, nitrogen oksida, sulfur oksida,
karbon monoksida, dan partikulat dengan berbagai ukuran diantaranya yaitu
PM10, PM5 dan PM2,5 . Polutan ini kemudian akan terdeposisi di atmosfer
dalam jangka waktu tertentu. Lamanya polutan terdeposisi di atmosfer
tergantung dari ukuran polutan tersebut dan juga karena faktor lingkungan
lainnya seperti suhu, kelembapan, curah hujan, dan kecepatan arah angin.
Pencemaran selain terjadi di luar rungan juga dapat terjadi di dalam
ruangan atau lebih dikenal dengan istilah Indoor Air Pollution /IAP.
Pencemaran udara dalam ruangan diantaranya berasal dari asap rokok, asap
dari penggunaan bahan bakar memasak, ataupun dari penggunaan obat
nyamuk. Polutan yang berada di udara atau atmosfer ini kemudian dapat
masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan. Jika polutan ini

55

masuk ke dalam saluran pernapasan maka polutan tersebut akan menjadi


iritan dan mengganggu kesehatan pernapasan.
Adapun besar dampak dari polutan tersebut bagi kesehatan pernapasan
dapat berbeda tiap orangnya. Hal ini tergantung karakteristik maupun
perilaku dari individu itu sendiri. Karakteristik individu diantara lain adalah
umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, masa kerja, lama pajanan, tingkat
pendidikan maupun status sosial ekonomi. Sedangkan perilaku yang dapat
berpengaruh terhadap kesehatan pernapasan seperti perilaku merokok
maupun penggunaan masker. Selain bersifat iritan, polutan pencemar udara
ini juga dapat menimbulkan penyakit kronik maupun penyakit akut.
Penyakit kronik seperti silikosis, bisinosis, asbestosis, berryliosis, dan paru
obstruktif kronik. Sedangkan penyakit akutnya dapat berupa ISPA, asma
maupun bronkhitis akut. Dengan demikan dapat dirumuskan kerangka teori
sebagaimana dalam bagan 2.3 kerangka teori berikut :

Bagan 2.3 Kerangka Teori


Sumber : Depkes RI 2002, Dharmage 2009, Suryo 2010, Sormin 2012, Sumamur, 1991,
Florencia, 2013.

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1

Kerangka konsep
PT.Unitex merupakan industri tekstil yang mengolah bahan baku
menjadi bahan jadi. Di dalam proses produksinya dapat terproduksi debudebu yang kemudian beresiko menurunkan kesehatan kesehatan pernafasan
pekerja. khususnya bagian pemintalan. Adapun faktor resiko yang ingin
diukur dalam penelitian adalah kadar debu total, umur, jenis kelamin, masa
kerja, bagian kerja, tingkat pendidikan, perilaku merokok dan lama pajanan.
Di dalam industri tekstil terdapat tiga tahapan produksi utama yaitu
pemintalan, penenunan dan pencelupan. Kegiatan pemintalan merupakan
tahapan pengolahan bahan baku yaitu kapas mentah dan poliester menjadi
benang. Berdasarkan studi pendahuluan peneliti, di departemen pemintaan
dapat terlihat banyak debu-debu yang beterbangan dan melayang-layang.
Selanjutnya di penenunan debu yang tampak secara kasat mata tidak
terlalu banyak layaknya di departemen pemintalan. Kemudian di bagian
pencelupan, karena banyak bahan kimia yang digunakan maka terdapat
kemungkinan bahan kimia terdeposisi ke udara.
Hal ini kemudian dapat memengaruhi kualitas udara. Kualitas udara
yang buruk dikombinasikan dengan karakteristik tertentu pada pekerja dapat
beresiko menurunkan status kesehatan. Termasuk timbulnya gejala ISPA
pada pekerja dan juga gangguan fungsi paru.

56

57

Pada penyakit tertentu jenis kelamin wanita lebih rentan terkena


penyakit begitu pun sebaliknya. Kemudian umur juga dinilai sebagai faktor
resiko penyakit, seperti bayi, balita, lansia dan sebagainya. Umur terlalu
muda maka sistem pernapasannya belum begitu berkembang sempurna.
Sedangkan yang umurnya semakin bertambah akan semakin berkurang
elastisitas

saluran

pernapasannya.

Masa

kerja

dan

lama

pajanan

menunjukkan berapa lama seseorang terpapar oleh agen penyakit. Bagian


kerja menunjukkan tempat kerja yang lebih berdebu dan dapat meningkatkan
resiko gangguan pernapasan akibat debu yang terinhalasi pekerja saat
inspirasi.
Tingkat pendidikan memengaruhi perilaku yang dapat memengaruhi
status kesehatan. Perilaku merokok seringkali dikaitkan dengan dengan
menurunnya kesehatan paru sehingga merupakan salah satu resiko
meningkatkan kerentanan pejamu. Masa kerja dapat berpengaruh terhadap
seberapa besar debu yang telah memasuki saluran pernapasan pekerja dan
menimbulkan gangguan kesehatan.
Sedangkan lama pajanan menunjukkan batas waktu tertentu yang
diperbolehkan individu terpapar supaya tidak menimbulkan gangguan
kesehatan pada individu tersebut. Sehingga jika lama pajanan melebihi batas
yang ditentukan status kesehatan dan kenyamanan individu dapat terganggu.

58

Variabel Independen

Variabel Dependen

Kadar Debu Total debu di


departemen pemintalan
Gejala ISPA ringan
pada pekerja
pemintalan
Umur
Jenis Kelamin
Masa kerja
Bagian Kerja
Tingkat Pendidikan
Perilaku Merokok
Lama Pajanan

Bagan 3.1
Kerangka Konsep

59

3.2

Definisi Operasional

No.

Variabel

Definisi Operasional

1.

Gejala

Responden

ISPA

menderita salah satu atau lebih

ringan

gejala berikut batuk tanpa /


dengan

terdiagnosis Kuesioner

pernapasan

pilek,

serak,

cairan

dari

Cara ukur

sesak,

Hasil ukur
1. Ya

Skala ukur
Ordinal

2. Tidak

cepat,
keluar

telinga

dan

mengalami gejala selama 14


hari /2 minggu. (ISPA ringan
depkes)
2.

Kadar

Nilai debu yang terukur oleh

HVS (High

Debu Total

alat pengukur debu yaitu High

Volume

Volume Sampler

Sampler)

Rasio
mg/m3

(KEPMENKES RI
No.1405/MENKES/SK/XI/200
2).
3.

Bagian

Bagian kerja pekerja menurut

Kerja

sistem kerja yang berlaku di


pemintalan PT.Unitex. secara
umum terbagi menjadi tiga
yaitu combing drawing, ring
spinning, dan blowing carding.

Kuesioner

1. Combing
drawing
2. Ring
Spinning
3. Blowing
Carding

Nominal

60

4.

Jenis

Jenis kelamin responden sesuai Kuesioner

1. Laki-laki

Kelamin

yang tecatat di kartu tanda

2. Perempuan

Nominal

penduduk responden.
5.

Umur

Lama hidup responden yang

Kuesioner

Tahun

Rasio

Kuesioner

Tahun

Rasio

dihitung berdasarkan tahun


responden lahir yang tercatat
di kartu tanda penduduk
sampai tahun diadakannya
pengumpulan data.
6.

Masa Kerja

Jangka waktu responden


bekerja sejak masuk di bagian
pemintalan PT.Unitex sampai
tahun dilakukannya
pengumpulan data.

7.

Lama

Lama waktu kerja pekerja, Kuesioner

Jam kerja

Pajanan

dibagi menjadi dua kategori

normal

Ordinal

<Jam kerja
normal
8.

Perilaku

Perilaku responden menghisap Kuesioner

Merokok

rokok. Mengacu pada indeks


brinkman (IB), perokok ringan
merupakan perokok dengan IB
0-199, sedang IB 200-599, dan

Indeks
Brinkman

Rasio

61

perokok berat >600


9.

Status

Ijazah pendidikan terakhir

Pendidikan

yang diperoleh oleh pekerja

2. SMP

dalam riwayat pendidikan.

3. SMK

Kuesioner

1. SD

4. SMA
5. Diploma/PT

Ordinal

BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1

Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain studi
potong

lintang

(cross

sectional)

secara

observasional

atau

non

eksperimental. Pada penelitian ini akan dilakukan pengukuran terhadap


variabel dependen dan variabel independen secara bersamaan. Desain studi
cross sectional epidemiologi yang mempelajari prevalensi, distribusi,
maupun hubungan penyakit dan pajanan dengan cara mengamati status
pajanan, penyakit, atau karakteristik secara serentak pada individu dari
populasi pada satu waktu.
4.2

Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian akan dilakukan pada bulan Mei-Juni 2014. Penelitian
dilakukan di PT. Unitex, Tbk Tajur, Bogor di departemen spinning atau
pemintalan. Adapun kegiatan di bagian spinning atau pemintalan merupakan
kegiatan memroses bahan baku (kapas dan poliester) menjadi benang.
a.

Seksi blowing dan carding


Tugas seksi ini yaitu melakukan proses pembuatan benang, dimana
bahan baku yaitu kapas atau polyester dimasukkan kedalam mesin
blowing untuk diuraikan gumpalan-gumpalan seratnya, dibersihkan
kotoran-kotorannya, dan diaduk sehingga terjadi pencampuran yang
merata beberapa jenis kapas.

62

63

b.

Seksi combing, drawing dan finishing


Tugas seksi ini adalah melanjutkan seksi sebelumnya yaitu melalui
proses Pre Drawing yang berfungsi meluruskan dan mensejajarkan
serat, memperbaiki kerataan serat dan membuat Silver dengan berat
persatuan panjang tertentu. Tugas seksi ini juga membuat campuran
antara polyester dengan kapas melalui proses Drawing.

c.

Seksi ring spinning dan finishing


Tugas dari seksi ini adalah menyiapkan benang dari hasil pemintalan
dalam bentuk "Cones" dengan mesin Mach Conner.

4.3

Populasi dan sampel


Populasi adalah semua pekerja di departemen pemintalan PT.Unitex.
Adapun populasi yang diteliti adalah pekerja non-shift di departemen
pemintalan. Berdasarkan data sekunder mengenai distribusi karyawan pada
Januari 2014 yang didapatkan dari studi pendahuluan peneliti, diketahui
jumlah total pekerja non-shift di departemen pemintalan sebanyak 54 orang.
Pada penelitian ini tidak dilakukan pengambilan sampel, sehingga semua
jumlah pekerja non-shift di departemen pemintalan PT.Unitex sebanyak 54
orang diteliti.

4.4

Metode pengumpulan Data


1.

Observasi
Observasi dilakukan untuk mengamati keadaan umum lingkungan kerja
di departemen pemintalan .

64

2.

Gravimetri dengan alat HVS


Metode ini merupakan metode analisis yang didasarkan pada
pengukuran berat,

yang melibatkan pembentukan, isolasi dan

pengukuran berat dari suatu endapan.


2.1 Lokasi peletakan HVS
Berdasarkan SNI 16-7058-2004 mengenai pengukuran kadar debu
total di lingkungan kerja, alat pengukuran diletakkan setinggi zona
pernafasan di dekat tenaga kerja terpapar debu.
2.2 Pengambilan sampling debu total di udara
Pengambilan contoh sampling dilakukan selama 8 jam dalam satu
hari kerja. Alat diletakkan di tempat pengukuran dan ditunggu
selama 8 jam untuk mengetahui konsentrasi rata-rata kadar debu
total di tempat kerja selama 8 jam tersebut.
2.3 Cara penggunaan HVS/High Volume Sampler :
a. Panaskan kertas saring pada suhu 105C, selama 30 menit.
b. Timbang kertas saring, dengan neraca analitik pada suhu 105 C
dengan menggunakan vinset (Hati-hati jangan sampai tersentuh
tangan)
c. Pasangkan pada alat TSP, dengan membuka atap alat TSP,
kemudian dipasangkan kembali atapnya.
d. Simpan alat HVS tersebut pada tempat yang sudah ditentukan
sebelumnya.

65

e. Operasikan alat dengan cara, menghidupkan (pada posisi On)


pompa hisap dan mencatat angka flow rate-nya (laju alir
udaranya).
f. Matikan alat sampai batas waktu yang telah ditetapkan.
g. Ambil kertasnya, panaskan pada oven listrik. Timbang kertas
saringnya.
h. Hitung kadar TSP nya sebagai mg/NM3
i. Metode penggunaan alat ini juga bisa digunakan, terhadap pm10
atau apa pun pada pengukuran parameter logam.
3.

Kuesioner
Kuesioner ini digunakan untuk mengukur variabel gejala ISPA,
jenis kelamin, umur, bagian kerja, tingkat pendidikan, masa kerja, lama
pajanan, dan perilaku merokok. Untuk perilaku merokok mengacu pada
Indeks Brinkman dengan klasifikasi 0-199 perokok ringan, 200-599
sedang, dan >600 berat. Adapun rumus untuk menghitung Indeks
Brinkman adalah sebagai berikut :
Jumlah rata-rata rokok yang dihisap (batang) x lama merokok (tahun)

4.

Data Sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data perusahaan secara
umum, dan data distribusi karyawan pada pekerja di klinik di PT.Unitex.

66

4.5

Jenis Data
Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer yang diperoleh untuk mengukur variabel gejala ispa,
kadar debu total, umur, jenis kelamin, masa kerja, bagian kerja, lama
pajanan, perilaku merokok dan tingkat pendidikan. Sedangkan data
sekunder digunakan untuk mengambil data jumlah karyawan dari PT.Unitex.

4.6

Pengolahan Data
Empat tahapan dalam pengolahan data yang akan dilakukan yaitu :
1.

Menyunting data
Penyuntingan data dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan
kelengkapan pengisian dan ketepatan data sebelum data dimasukkan ke
pengolah data. Kegiatan penyuntingan data ini akan dilakukan ketika
berada di lapangan.

2.

Mengkode data
Pengkodean data digunakan untuk mengklasifikasi data dan memberi
kode untuk masing-masing jawaban di kuesioner. Setelah masingmasing jawaban dilakukan pengkodean baru data akan dimasukkan.

3.

Memasukkan data
Setelah dilakukan penyuntingan dan pengkodean data, data dari hasil
pengumpulan melalui kuesioner dan hasil pengukuran debu akan
dimasukkan untuk selanjutnya dianalisis.

67

4.

Membersihkan data
Tahap terakhir yaitu melakukan pengecekan ulang pada data yang telah
dimasukkan untuk memastikan data tersebut tidak ada yang salah
sebelum dilakukan analisis data.

4.7

Analisis Data
Analisis data dilakukan setelah semua data yang diperlukan
dimasukkan dan dilakukan pengecekan ulang untuk membersihkan data.
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu analisis univariat.
Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dan
persentase dari tiap variabel dependen dan independen. Variabel dependen
nya adalah gejala ISPA ringan dan variabel independennya adalah kadar
debu total, umur, masa kerja, bagian kerja, jenis kelamin, lama pajanan,
masa kerja, perilaku merokok dan tingkat pendidikan.

4.8

Penyajian Data
Secara umum penyajian data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan tabel dan grafik. Tabel digunakan untuk melihat distribusi
frekunesi variabel independen dan dependen. Seperti distribusi frekunesi
gejala ISPA ringan, kadar debu total, umur, jenis kelamin, masa kerja,
perilaku merokok dan lama pajanan. Kemudian, grafik digunakan untuk
melihat distribusi frekuensi variabel pendidikan dan bagian kerja yang
sebelum dianalisis memiliki kategori lebih dari dua.

BAB V
HASIL
5.1

Hasil Penelitian
5.1.1 Gejala ISPA Ringan pada pekerja pemintalan
Macam-macam gejala yang digunakan untuk menentukan pekerja
mengalami gejala ISPA merujuk pada klasifikasi ISPA ringan oleh
Depkes RI, 2002. Diantaranya yaitu batuk tanpa pernapasan cepat,
pilek (mengeluarkan lendir), serak, sesak yang disertai serta napas
terengah-engah. Selain itu gejala tersebut juga disebutkan oleh Depkes
RI, 2002 mengenai klasifikasi ISPA.

Adapun distribusi frekuensi

gejala ISPA pada pekerja pemintalan non-shift di PT.Unitex Tbk,


Bogor adalah sebagai berikut :
Jumlah responden adalah sebanyak 54 orang, dengan rincian
merupakan pekerja tekstil bagian pemintalan/spinning non-shift (jam
kerja 08.00-16.00). Adapun berdasarkan tabel 5.1 pekerja pemintalan
di PT.Unitex yang mengalami gejala ISPA tergolong cukup banyak,
hal ini ditunjukkan oleh lebih dari setengah responden yaitu sebanyak
31 orang atau 57,4% mengalami gejala ISPA.
5.1.2 Kadar debu total di bagian pemintalan
Pengukuran Kadar Debu Total dilakukan di dua bagian
departemen pemintalan yaitu di ruang Blowing Carding dan Ring
Spinning pada jam kerja normal (08.00-16.00). Panduan yang
digunakan untuk mengetahui nialai ambang batas kadar debu total

68

69

adalah Kepmenkes RI No.1405 Tahun 2002 mengenai persyaratan


kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri. NAB yang
ditetapkan adalah 10 mg/m3 atau 10000 g/m3 .
Berdasarkan tabel 5.1 diketahui semua kadar debu total di dua
titik pengukuran yaitu di ruangan blowing, carding dan di ruang ring
spinning nilainya dibawah NAB.
5.1.3 Distribusi karateristik individu bagian pemintalan
a. Umur
Pengambilan data umur dikumpulkan melalui kuesioner tanpa
klasifikasi dengan satuan tahun. Sebaran umur pada pekerja di
departemen pemintalan PT.Unitex cukup bervariasi.
Pada umumnya umur pekerja adalah berkisar antara 19 hingga
55 tahun. Dengan rata-rata umur sebesar 36,19 tahun dan nilai
tengah nya 34,50 tahun. Sedangkan standar deviasinya sebesar
10,013 tahun.
b. Masa Kerja
Sebagaimana variabel umur, masa kerja dikumpulkan melalui
kuesioner dengan satuan tahun. Lama masa kerja pekerja di
departemen pemintalan PT.Unitex sangat bervariasi, ada yang baru
selama 1 tahun hingga yang paling lama 32 tahun. Rata-rata lama
masa kerja pekerja pemintalan adalah 12,92 tahun. Dengan nilai
tengahnya sebesar 12 tahun dan standar deviasinya 8,517 tahun.

70

Tabel 5.1
Distribusi Gejala ISPA Ringan, Kadar Debu Total, Umur,
Masa Kerja, Jenis Kelamin, Pendidikan, Bagian Kerja,
Perilaku Merokok dan Lama Pajanan Pekerja non-shift
Pemintalan PT.Unitex
Variabel
Gejala ISPA Ringan
Ya
Tidak
Kadar Debu Total
(mg/m3)
Blowing & Carding
Ring Spinning
Umur
Masa Kerja
Jenis Kelamin
Laki-Laki
Perempuan
Pendidikan
SD
SMP
SMK
SMA
D3/PT
Bagian Kerja
Ring Spinning
Combing & Drawing
Blowing & Carding
Perilaku Merokok
(Indeks brinkman)
0
1-199
200-599
600
Lama Pajanan
<8 jam
8 jam

Mean

36,19
12,92

Median

34,50
12

SD

10,01
8,517

MinMaks

Total
n

31
23

57,4
42,6

379,4
188,6

53,7
46,3

40
14

74,1
25,9

1
13
13
25
2

1,9
24,1
24,1
46,3
3,7

25
17
12

46,3
31,5
22,2

34
13
6
1

63
24,1
11,1
1,9

45
9

83,3
16,7

19-55
1-32

c. Jenis Kelamin
Selain umur, variabel independen yang dikumpulkan adalah
jenis kelamin. Jenis kelamin diklasifikasikan menjadi dua kategori
yaitu laki-laki dan perempuan. Berdasarkan tabel 5.1 dapat
diketahui bahwa pada tahun 2014 khususnya di bulan Mei-Juni

71

responden di pemintalan lebih banyak yang berjenis kelamin lakilaki. Yaitu sebanyak 37 dari 50 pekerja, atau sebesar 74%.
d. Pendidikan
Pendidikan pekerja yang dimaksud adalah ijazah pendidikan
terakhir yang diterima oleh pekerja di pemintalan. Secara umum
dibagi menjadi lima klasifikasi yaitu SD yang merupakan
pendidikan terendah, SMP, SMA, SMK dan D3 atau Perguruan
Tinggi pendidikan tertinggi. Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa
kebanyakan pekerja merupakan lulusan SMA yaitu sebanyak 25
orang atau 46,3 %. Sedangkan paling sedikit yang lulusan SD yaitu
hanya 1 orang atau 1,9%.
e. Bagian Kerja
Bagian kerja responden dapat dibagi menjadi tiga yaitu ring
spinning, blowing carding dan combing drawing berdasarkan
wilayah kerja dan sistem kerja.
Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat bahwa sebagian besar
responden merupakan pekerja di bagian ring spinning, yaitu
sebanyak 25 pekerja atau 46,3%. Sedangkan paling sedikit pekerja
yang berasal dari blowing carding yaitu sebanyak 12 orang atau
22,2%.
f. Perilaku Merokok
Berdasarkan tabel 5.1 diketahui responden yang tidak merokok
sebanyak 34 orang atau sebesar 63%. Kemudian yang merokok

72

sebanyak

20

orang,

kemudian

responden

yang

merokok

dikategorikan durasi merokoknya berdasarkan indeks brinkman. 1199 artinya perokok ringan, 200-599 perokok sedang sedangkan
600 merupakan perokok berat. Diantara perokok responden paling
banyak merupakan perokok ringan yaitu sebanyak 13 orang atau
24,1 %.
g. Lama Pajanan
Lama pajanan merujuk pada jam kerja pekerja, klasifikasinya
adalah jam kerja normal dan <jam kerja normal. Acuan
klasifikasi yang digunakan adalah standar jam kerja normal yaitu 8
jam. Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa sebagian besar pekerja
bekerja lebih dari sama dengan jam kerja normal atau 8 jam.
Dengan jumlah sebanyak 45 orang atau 83,3%.
5.1.4 Gejala ISPA Ringan menurut Kadar Debu Total
Kadar debu total dilakukan di dua titik di departemen pemintalan
PT.Unitex yaitu di bagian blowing & carding serta di ring spinning.
Pengukuran ini kemudian diasumsikan sebagai kadar debu yang
memapari pekerja di bagian kerja. Kadar debu total di blowing &
carding sebesar 379,4 mg/m3 sedangkan di ring spinning sebesar
188,6 mg/m3.

73

Tabel 5.2
Distribusi Gejala ISPA Ringan menurut Kadar Debu Total Pada
Pekerja non-shift Pemintalan PT.Unitex
Variabel

Kadar
Debu Total

Kategori

188,6 mg/m3
379,2 mg/m3

Gejala ISPA
Ya
n
%
19
76,0
12
41,4

Total
Tidak
n
%
6
24,0
17
58,6

n
25
29

%
100
100

Berdasarkan tabel 5.2 diketahui 76% pekerja yang terpapar debu


di ring spinning mengalami gejala ISPA ringan. Sedangkan pada
pekerja di combing drawing dan blowing carding, sebanyak 41,4%
mengalami gejala ISPA ringan.
5.1.5 Gejala ISPA Ringan menurut Karakteristik Individu
a. Umur
Berdasarkan tabel 5.3, dapat dilihat bahwa pekerja dengan umur
<36 tahun lebih banyak yang mengalami gejala ISPA ringan
dibandingkan dengan pekerja dengan umur 36 tahun, yaitu
sebesar 59,3%.
b. Masa Kerja
Pada Tabel 5.3 dapat dilihat bahwa 66,7% pekerja yang
memiliki masa kerja <12 tahun memiliki gejala ISPA ringan, jika
dibandingkan dengan pekerja dengan masa kerja 12 tahun yaitu
sebesar 48,1%.

74

Tabel 5.3
Distribusi Gejala ISPA Ringan menurut Umur, Masa Kerja,
Jenis Kelamin, Pendidikan, Bagian Kerja, Perilaku Merokok
dan Lama Pajanan Pekerja non-shift Pemintalan PT.Unitex
Variabel

Umur
Masa Kerja
Jenis Kelamin
Pendidikan
Bagian Kerja
Perilaku
Merokok
Lama Pajanan

Kategori

< 36 Tahun
36 Tahun
<12 Tahun
12 Tahun
Laki-Laki
Perempuan
Rendah
Tinggi
Ring Spinning
Blowing & Carding
Ringan (1-199)
Sedang (200)
Jam Kerja Normal
<Jam Kerja Normal

Gejala ISPA
Ya
n
%

Tidak
n
%

16
15
18
13
18
13
6
25
19
12
7
3
25
6

11
12
9
14
22
1
8
15
6
17
6
4
20
3

27
27
27
27
40
14
14
40
25
29
13
7
45
9

100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100

59,3
55,6
66,7
48,1
45,0
92,9
42,9
62,9
76,0
41,4
53,8
42,9
55,6
66,7

Total

40,7
44,4
33,3
51,9
55,0
7,10
57,1
37,5
24,0
58,6
46,2
57,1
44,4
33,3

c. Jenis Kelamin
Berdasarkan tabel 5.3, dapat dilihat bahwa pekerja perempuan
lebih banyak yang mengalami gejala ISPA ringan dibandingkan
dengan pekerja laki-laki yaitu sebanyak 92,9%. Hal ini mungkin
disebabkan oleh jumlah pekerja yang sedikit dibandingkan dengan
pekerja laki-laki.
d. Pendidikan
Tingkat pendidikan diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu
pendidikan rendah dan pendidikan tinggi. Pendidikan rendah
meliputi tidak sekolah, tamat SD dan tamat SMP. Sedangkan
pendidikan tinggi meliputi tamat SMA, SMK dan Diploma 3 (D3)/

75

Perguruan Tinggi (PT). Adapun klasifikasi ini didasarkan pada PP


No.48 Tahun 2008 mengenai program wajib belajar 9 tahun.
Berdasarkan tabel 5.3, dapat dilihat bahwa pekerja dengan
pendidikan tinggi lebih banyak yang mengalami gejala ISPA ringan
yaitu sebesar 62,9% dibandingkan dengan pekerja yang memiliki
pendidikan rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh populasi
pekerja dengan pendidikan tinggi yang lebih banyak..
e. Bagian Kerja
Bagian kerja responden dapat dibagi menjadi tiga yaitu ring
spinning, blowing carding dan combing drawing, kemudian
diklasifikasikan kembali menjadi dua kategori yaitu ring spinning
dan blowing carding menurut sistem dan area kerja.
Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat bahwa sebagian besar
pekerja ring spinning mengalami gejala ISPA ringan yaitu sebesar
76% dibandingkan dengan pekerja blowing carding dengann gejala
ISPA ringan yaitu sebesar 41,4%.
f. Perilaku Merokok
Perilaku merokok didasarkan pada Indeks Brinkman (IB), cara
mengetahui indeks brinkman adalah dengan mengalikan rokok
yang dihisap per batang per hari dengan lama merokok dalam
satuan tahun. Kemudian akan didapatkan nilai IB. Nilai IB 1-199
menunjukkan seorang tersebut merupakan perokok ringan, IB 200599 perokok sedang sedangkan IB 600 merupakan perokok berat.

76

Kemudian dalam penelitian ini IB dikategorikan menjadi dua yaitu


IB 1-199 (ringan) dan IB 200 (sedang).
Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat bahwa pekerja dengan IB 1199 lebih banyak yang mengalami gejala ISPA ringan yaitu sebesar
53,8% dibanding dengan pekerja dengan IB 200 sebesar 42,9%.
g. Lama Pajanan
Pada Tabel 5.3 dapat dilihat bahwa pekerja yang memiliki lama
pajanan jam kerja normal cukup banyak yang memiliki gejala
ISPA ringan yaitu lebih dari setengahnya atau sebesar 55,6%.
Sedangkan pekerja dengan jam kerja normal yang tidak memiliki
gejala ISPA ringan sebanyak 44%.

BAB VI
PEMBAHASAN
6.1

Keterbatasan Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini terdapat beberapa kendala yang
menjadi keterbatasan penelitian yaitu :
1.

Pada penelitian ini pengukuran debu dilakukan di beberapa titik di


ruangan kerja namun pengukuran pajanan debu terhadap pekerja
sebaiknya dilakukan pada tiap pekerja bukan di ruangan kerja, supaya
dapat lebih melihat pajanan yang diterima tiap pekerja.

2.

Pada pengukuran kadar debu total, ketika alat sudah dipasang dan
dinyalakan ternyata pada sore hari sekitar jam 14.30 alat pengukur di
ring spinning sempat mengalami gangguan akibat konslet listrik.
Dengan demikian pengukuran kadar debu total di ring spinning tidak
optimal.

3.

Penelitian ini hanya meneliti pekerja non-shift,

sedangkan di

pemintalan PT.Unitex juga terdapat pekerja yang bekerja dengan sistem


shift. Sehingga penelitian ini belum dapat digeneralisasikan kepada
seluruh pekerja pemintalan.
6.2

Gejala ISPA pada Pekerja Pemintalan


Menurut WHO (2007) ISPA adalah penyakit saluran pernapasan atas
atau bawah, biasanya menular yang dapat menimbulkan berbagai spektrum
penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai
penyakit parah dan mematikan. Penyakit ISPA timbul karena menurunnya

77

78

sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau
stres. Bakteri dan virus penyebab ISPA di udara bebas akan masuk dan
menempel pada saluran pernapasan bagian atas yaitu tenggorokan dan
hidung. Pada stadium awal, gejalanya berupa panas, kering dan gatal dalam
hidung, yang kemudian diikuti oleh bersin terus menerus, hidung tersumbat
dengan ingus encer serta demam dan nyeri kepala (Halim, 2000).
Adapun menurut Putranto (2007), hal-hal yang mendasari timbulnya
gejala penyakit pernapasan adalah batuk, dahak, sesak napas dan mengi.
Timbulnya gejala batuk karena iritasi partikulat adalah jika terjadi
rangsangan pada bagian-bagian peka saluran pernapasan, misalnya
trakeobronkial, sehingga timbul sekresi berlebih dalam saluran pernapasan.
Dahak terbentuk secara berlebihan dari kelenjar lendir (mucus glands) dan
sel goblets oleh adanya stimuli, misalnya yang berasal dari gas, partikulat,
alergen dan mikroorganisme infeksius.
Kemudian sesak napas atau kesulitan bernapas disebabkan oleh aliran
udara dalam saluran pernapasan karena penyempitan. Penyempitan dapat
terjadi karena saluran pernapasan menguncup, oedema atau karena sekret
yang menghalangi arus udara. Sesak napas dapat ditentukan dengan
menghitung pernapasan dalam satu menit. Sedangkan bunyi mengi
merupakan salah satu tanda penyakit pernapasan yang turut diobservasikan
dalam penanganan infeksi akut selama pernapasan.
Berdasarkan hasil penelitian di pemintalan PT.Unitex pada pekerja
menunjukkan, 57,4%

responden mengalami gejala ISPA ringan, yang

79

diperoleh dari pengisian kuesioner berdasarkan keluhan sesuai gejala ISPA


ringan oleh Depkes yaitu batuk tanpa pernapasan cepat, pilek, serak, sesak
yang disertai atau tanpa disetai panas dan demam, serta keluar cairan dari
telinga. Jika pekerja mengalami salah satu atau lebih dari gejala diatas
kemudian gejala tersebut dialama dalam jangka waktu 14 hari atau 2
minggu maka pekerja dianggap mengalami gejala ISPA ringan.
Untuk penanganan gejala ISPA pekerja di PT.Unitex masih bersifat
kuratif dan kurang upaya preventif, menurut pengakuan petugas kesehatan
di klinik perusahaan PT.Unitex, pekerja yang mengalami gejala sakit
pernapasan biasanya hanya meminta obat ke petugas klinik. Kecuali jika
gejalanya sudah menetap lebih dari seminggu, barulah pekerja berinisiatif
untuk memeriksakan dirinya ke dokter klinik perusahaan. Kemudian pekerja
tersebut akan mendapatkan resep obat. Jika pekerja masih mengalami
keluhan setelah itu, pekerja akan dirujuk ke rumah sakit.
6.3

Kadar Debu Total di Pemintalan


Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel
yang melayang di udara (Suspended Particulate Meter/SPM) dengan ukuran
1 mikron sampai dengan 500 mikron. Dalam kasus pencemaran udara baik
di dalam maupun diluar gedung debu sering dijadikan salah satu indikator
pencemaran. Digunakan untuk menunjukkan tingkat bahaya baik terhadap
lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (Pudjiastuti,
2002).

80

Dalam Environmental Protection Department (EPG, 2006) disebutkan


kadar debu total atau juga dikenal sebagai partikulat tersuspensi total (TSP)
mengacu pada semua partikel di atmosfer. Kadar debu total merupakan
partikel di udara yang memiliki diameter kurang dari 100 m (mikrometer).
Partikel debu di tempat kerja yang diukur dengan menghitung kadar
debu total, dapat berpengaruh terhadap pernapasan pekerja, karena partikel
debu dapat melayang-layang di udara dalam jangka waktu tertentu sehingga
terhirup oleh sistem pernapasan saat melakukan inspirasi. Menurut Brown
(1976) dalam Sintorini (2002) debu yang terhirup oleh sistem pernapasan
akan menimbulkan retensi (debu tertahan di dalam tubuh) dan menyebabkan
iritasi pada organ pernapasan.
Pengukuran kadar debu total di pemintalan PT.Unitex menggunakan
alat pengukur debu yaitu High Volume Sampler atau HVS. Pengukuran di
dua titik di lingkungan kerja pemintalan PT.Unitex yaitu di bagian kerja
ring spinning dan blowing carding adalah sebesar 188,6 g/m3 dan 379,4
g/m3.
Nilai Ambang Batas untuk Kadar Debu Total di Industri menurut
peraturan nasional yaitu Kepmenkes RI No.1405 Tahun 2002 adalah 10000
g/m3. Studi terhadap pekerja tekstil yang dilakukan Roach dan Schilling
(1960) menemukan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara respons
biologis tubuh dengan kadar debu total di tempat kerja. Kemudian mereka
juga menyebutkan jika kadar debu total maksimal di tempat kerja yang
masih dalam batas aman bagi kesehatan adalah 100 g/m3. Standar ini

81

kemudian digunakan sebagai nilai ambang batas debu di industri di Amerika


Serikat (Neil, 2011).
Lingkungan kerja di pemintalan PT.Unitex umumnya sangat berdebu,
untuk debu yang kasat mata banyak terdapat terutama di lantai-lantai area
kerja dan ventilasi udara. Karena di tempat ini terjadi pengolahan kapas
mentah menjadi benang. Kapas mentah banyak mengandung kotoran dan
partikel debu halus yang kemudian beterbangan saat proses pengolahan
dilakukan. Partikel debu ini kemudian dapat terhirup dan beresiko
menimbulkan gejala ISPA.
Pada ventilasi di ruangan kerja, peneliti menemukan beberapa ventilasi
terlihat berdebu tebal seperti jarang dibersihkan dan kurang mendapatkan
perawatan. Untuk meminimalkan debu yang terdapat di ruangan kerja telah
terdapat vakum otomatis yang berjalan mengitari mesin dan ruangan kerja.
Selain itu, terdapat alat pompa angin yang digunakan untuk menyingkirkan
debu ke arah sudut ruangan supaya mudah dibersihkan.
Berdasarkan pengamatan peneliti, pekerja di pemintalan PT.Unitex
sebagian besar tidak menggunakan masker, padahal pemintalan merupakan
daerah kerja yang berdebu. Penggunaan masker dapat mengurangi resiko
paparan debu terhadap gangguan pernapasan. Hal ini diperkuat oleh data
penelitian dari department of preventive and social medicine Baroda dalam
Ambarwati (2007) pada pekerja tekstil di kota Baroda yang menyatakan,
dari 11 responden yang tidak disiplin mengenakan masker 8 orang
mengalami penurunan fungsi paru. Sedangkan dari 11 responden yang

82

disiplin menggunakan masker terdapat dua orang yang mengalami


penurunan fungsi paru.
Pencegahan dan penanggulangan dampak debu terhadap kesehatan
pekerja diperlukan pengawasan, evaluasi dan perbaikan secara kontinyu
pada langkah-langkah keselamatan dan kesehatan kerja pada PT.Unitex.
Langkah-langkah yang memungkinkan untuk mengendalikan kadar debu
berdasarkan hirarki pengendalian resiko adalah dengan pengendalian
administratif, modifikasi dan penggunaan APD.
Untuk menghindari lamanya paparan pekerja dapat digunakan sistem
shift, dan membatasi waktu lembur pekerja. Sedangkan untuk modifikasi
tempat kerja yang lebih aman sebenarnya telah diterapkan oleh PT.Unitex
yaitu dengan memasang alat penghisap debu otomatis, alat pompa angin dan
tersedianya ventilasi. Namun demikian, alat-alat ini tentunya harus
dilakukan perbaikan dan pengecekan berkala. Pengecekan ini berfungsi agar
alat tersebut dapat berfungsi optimal sesuai fungsinya. Penggunaan alat
pelindung diri terhadap debu pada pekerja seperti masker juga harus sesuai
dengan besar partikel debu di lingkungan kerja.
6.4

Umur Pekerja Pemintalan PT.Unitex


Umur adalah salah satu karakteristik individu yang dapat memberikan
gambaran tentang faktor penyebab penyakit ataupun faktor sekunder yang
harus diperhitungkan untuk meneliti perbedaan frekuensi penyakit dengan
variabel lainnya (Halim, 2012).

83

Menurut Nelson dkk, (2005) semakin bertambah umur seseorang maka


akan terjadi degenerasi otot-otot pernapasan dan elastisitas jaringan
menurun. Sehingga kekuatan otot-otot pernapasan dalam menghirup
oksigen menjadi menurun. Kemudian karena faktor umur yang bertambah
maka semakin banyak alveoli yang rusak dan daya tahan tubuh semakin
rendah. Karena itu seseorang tersebut rentan terkena ISPA.
Pada umumnya umur pekerja di departemen pemintalan PT.Unitex
berkisar antara 19 hingga 55 tahun. Dengan rata-rata umur sebesar 36,19
tahun dan nilai tengah nya 34,50 tahun. Sedangkan standar deviasinya
sebesar 10,01 tahun. Rentang antara umur pekerja cukup besar yaitu mulai
dari usia dewasa muda hingga dewasa tua. Hal ini disebabkan hampir semua
pekerja di PT.Unitex merupakan lulusan SMA, SMK dan SMP. Sehingga
usia mereka mendaftar kerja di PT.Unitex adalah usia setelah lulus sekolah.
Hanya sebagian kecil yang merupakan lulusan perguruan tinggi yaitu D3
atau Perguruan Tinggi. Jikapun ada yang merupakan lulusan perguruan
tinggi, mereka akan bekerja di bagian office atau kantor perusahaan, bukan
di tempat produksi. Jika ada dari mereka kerja di bagian tempat produksi
maka akan menjadi supervisor atau pengawas.
Adapun terdapatnya pekerja dengan umur dewasa tua dikarenakan
pekerja di PT.Unitex umumnya bekerja dalam jangka waktu yang lama,
artinya pekerja cenderung bertahan di perusahaan tersebut. Dalam beberapa
kasus untuk pekerja di PT.Unitex yang memiliki keahlian khusus dan telah

84

memiliki banyak pengalaman, pekerja tersebut dapat dipanggil kembali


untuk bekerja walaupun umurnya sudah memasuki usia pensiun.
6.5

Masa Kerja Pekerja Pemintalan PT.Unitex


Masa kerja menunjukkan sudah berapa lama (tahun) pekerja bekerja di
pemintalan, sehingga dapat mengindikasikan lama paparan dalam tahun
terhadap kondisi lingkungan di area kerja. Seperti salah satunya lama
paparan terhadap kadar debu total. Semakin lama pekerja terpapar dengan
debu di lingkungan kerja, maka terdapat resiko paparan debu tersebut,
terutama yang berukuran kecil <3m akan mengendap di saluran
pernapasan bagian tengah dan dalam sehingga dapat memunculkan reaksi
radang dan alergi dan gangguan lainnya (Lipman, 1977).
Pekerja di departemen pemintalan PT.Unitex pada umumnya memiliki
masa kerja yang bervariasi yaitu ada yang baru bekerja selama satu tahun
hingga mencapai 32 tahun. Dengan rata-rata masa kerja sebesar 12,92 tahun
dan nilai tengah nya 12 tahun. Sedangkan standar deviasinya sebesar 8,517
tahun. Pekerja di PT.Unitex kebanyakan cenderung bertahan bekerja di
perusahaan tersebut, sehingga terdapat pekerja yang bekerja hingga puluhan
tahun. Hal ini juga mungkin disebabkan oleh letak PT.Unitex yang berada di
kabupaten Bogor, tidak terlalu banyak lapangan pekerjaan di daerah tersebut
yang dapat memberikan pendapatan pekerja sesuai upah minimum rata-rata.
Sehingga PT.Unitex dipandang dapat memberikan pendapatan yang
memadai.

85

6.6

Distribusi Jenis Kelamin Pekerja Pemintalan PT.Unitex


Menurut Noor (2008) faktor jenis kelamin merupakan salah satu
variabel deskriptif yang dapat memberikan perbedaan angka/rate kejadian
pada pria dan wanita. Perbedaan insiden penyakit menurut jenis kelamin,
dapat timbul karena bentuk anatomis, fisiologis dan sistem hormonal yang
berbeda antara laki-laki dan perempuan. Selain itu perbedaan frekuensi
penyakit tertentu menurut jenis kelamin dapat juga disebabkan akibat
adanya perbedaan jenis pekerjaan, akses dan penggunaan ke pelayanan
kesehatan, pola makan dan kerentanan.
Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa pekerja di pemintalan
lebih banyak yang berjenis kelamin laki-laki. Yaitu sebanyak 40 dari 54
pekerja, atau sebesar 74,1%. Pekerja di PT.Unitex yang merupakan industri
tekstil umumnya merupakan pekerjaan yang dinamis, karena jarang
ditemukan pekerja yang berdiam di satu tempat, khususnya di bagian
produksi seperti pemintalan. Selain itu pekerjaan yang dilakukan juga cukup
berat dan berhubungan dengan mesin. Mungkin karena hal tersebut lebih
banyak pekerja laki-laki di bagian produksi seperti departemen pemintalan.

6.7

Tingkat Pendidikan Pekerja Pemintalan PT.Unitex


Tingkat pendidikan dapat berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang.
Pengetahuan kemudian merupakan salah satu faktor yang dapat membentuk
perilaku selain dari sikap dan tindakan. Perilaku seseorang kemudian dapat
memengaruhi status kesehatannya.

86

Berdasarkan tabel 5.1 diketahui sebagian besar pekerja di departemen


pemintalan merupakan pekerja lulusan SMA yaitu sebanyak 25 dari 54
orang atau 46,3%, kemudian disusul oleh lulusan SMK dan SMP yang
sama-sama sebanyak 13 dari 54 orang atau 24,1%. Sedangkan pekerja yang
merupakan lulusan diploma tiga/ perguruan tinggi hanya sebanyak 2 orang
atau 3,7%.
Pekerjaan di pemintalan industri tekstil umumnya tidak memerlukan
memiliki keterampilan khusus. Biasanya pekerja akan cepat beradaptasi
dengan sistem kerja dan tata cara kerja di tempat kerja setelah beberapa
bulan bekerja. Oleh karena itu sebagian besar pekerja di PT.Unitex
merupakan lulusan SMA. Walaupun demikian karena industri tekstil
merupakan industri yang banyak melibatkan mesin dalam produksinya,
maka dibutuhkan tenaga kerja yang memiliki kemampuan teknis. Oleh
karena itu terdapat pekerja yang memiliki latar belakang pendidikan SMK.
Adapun pekerja yang memiliki latar belakang pendidikan D3/PT biasanya
ditempatkan di bagian manajemen dan di kantor perusahaan ataupun bagian
fungsional non-teknis lainnya.
6.8

Bagian Kerja Pekerja Pemintalan PT.Unitex


Bagian kerja di pemintalan PT.Unitex secara umum dapat dibagi
menjadi tiga bagian kerja, blowing carding, combing drawing dan ring
spinning. Pada bagian kerja blowing carding

dilakukan penguraian

gumpalan-gumpalan serat kapas mentah dan pembersihan kotoran pada


kapas. Setelah penguraian, kemudian dilakukan pencampuran antara

87

beberapa jenis kapas secara merata. Kemudian proses dilanjutkan ke bagian


combing drawing. Pada bagian ini dilakukan penyisiran serat, pelurusan dan
pensejajaran serat, serta perbaikan kerataan campuran serat. Setelah itu
proses di pemintalan dilanjutkan ke bagian akhir yaitu ring spinning, disini
dilakukan peregangan benang dan penggulungan benang.
Cemaran yang beresiko mengganggu sistem pernapasan selama proses
di pemintalan mulai dari blowing carding hingga ring spinning adalah debu.
Namun berdasarkan kegiatan di tiap bagian kerja di pemintalan,
kemungkinan banyaknya debu berbeda-beda di tiap bagian. Pada bagian
kerja blowing carding dan combing drawing kapas masih dalam keadaan
serat-serat halus, sedangkan pada bagian ring spinning kapas telah
berbentuk benang untuk kemudian digulung ke dalam cones (tempat untuk
gulungan benang). Kadar debu di bagian kerja dapat berbeda-beda. Pada
bagian ring spinning jumlah mesin lebih banyak namun jenis mesin
kemungkinan lebih sedikit menghasilkan debu karena mesin di bagian ini
mengolah kapas yang bentuknya sudah hampir mendekati benang.
Sedangkan blowing carding jumlah mesin lebih sedikit tetapi jenis
mesinnya kebanyakan adalah mesin untuk proses pencacahan kapas mentah.
Adapun sebagian besar pekerja di departemen pemintalan PT.Unitex
merupakan pekerja di bagian ring spinning, yaitu sebanyak 25 pekerja atau
46,3%. Combing & drawing sebesar 31,5% dan paling sedikit pekerja yang
berasal dari blowing carding yaitu sebanyak 12 orang atau 22,2%.
Kemudian bagian kerja dikelompokkan lagi menjadi dua kategori

88

berdasarkan sistem kerja dan wilayah kerja yaitu ring spinning dan blowing
carding Perbedaan jumlah pekerja mungkin disebabkan oleh kesibukan
kegiatan dan beban kerja yang berbeda-beda ditiap bagian kerja. Seperti
jumlah mesin yang ada di tiap bagian kerja dan jumlah tahapan kerja yang
tidak sama diantar bagian.
6.9

Perilaku Merokok Pekerja Pemintalan PT.Unitex


Asap rokok merupakan zat iritan yang dapat menyebabkan infeksi pada
saluran pernapasan. Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia beracun
dan bahan-bahan yang dapat menimbulkan kanker (karsinogen). Kebiasaan
merokok dapat meningkatkan resiko terjadinya ISPA sebanyak 2,2 kali ,
oleh karena itu perilaku merokok merupakan salah satu faktor resiko ISPA
(Suryo, 2010).
Menurut Suryo (2010) merokok diketahui mempunyai hubungan dalam
meningkatkan resiko pada berbagai penyakit pernapasan seperti kanker paru,
dan bronkhitis kronis. Dalam satu batang rokok yang dihisap akan
dikeluarkan sekitar 4.000 bahan kimia berbahaya, di antaranya yang paling
berbahaya adalah Nikotin, Tar, dan Karbon Monoksida. Demikian pula
menurut Tarlo dkk (2010) merokok pada dewasa dapat menimbulkan
berbagai gangguan sistem pernapasan seperti kanker paru, gejala iritan akut,
asma, gejala pernapasan kronik, penyakit paru obstruktif kronik, infeksi
pernapasan.
Pekerja PT.Unitex di departemen pemintalan sebagian besar merupakan
pekerja laki-laki, sehingga perilaku merokok (pada jam istirahat) pada

89

pekerja dapat dengan mudah ditemui di kawasan perusahaan tersebut.


Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 20 dari 40 pekerja
laki-laki atau sekitar 50% nya memiliki perilaku merokok. Adapun sebesar
24,1% merupakan perokok ringan (IB 1-199), 11,1% perokok sedang (IB
200-599) dan 1,9% nya perokok berat (IB600).
Adanya perokok aktif tentunya selain membahayakan perokok tersebut
juga dapat menimbulkan resiko kesehatan pada perokok pasif (pekerja yang
tidak merokok tapi menghirup asap perokok). Adapun hal yang telah
dilakukan perusahaan untuk mengurangi resiko kesehatan perokok pasif
adalah dengan menyediakan tempat khusus merokok di kawasan industri ini.
Jikalau ada pekerja yang melanggar, yaitu merokok di tempat yang tidak
seharusnya akan menerima sanksi dan teguran keras dari pihak P2K3
PT.Unitex.
6.10 Lama Pajanan Pemintalan PT.Unitex
Lama pajanan debu merupakan salah satu faktor resiko yang dapat
mempengaruhi keparahan gangguan pernapasan yang diderita oleh pekerja.
Karena semakin lama paparan maka debu yang menumpuk semakin banyak
Dalam penelitian ini

lama pajanan pada pekerja dibagi menjadi dua

kategori yaitu diatas sama dengan jam kerja normal, dan dibawah jam kerja
normal.
Adapun jam kerja normal adalah 8 jam kerja. Berdasarkan hasil
penelitian diketahui sebagian besar pekerja memiliki jam kerja diatas sama
dengan jam kerja normal yaitu 85,3%. Dan yang memiliki jam kerja

90

dibawah normal adalah sebesar 16.3%. Hal yang dapat dilakukan untuk
mengurangi lama pajanan misalnya dengan membatasi waktu lembur bagi
pekerja.

BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1

Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di departemen
pemintalan PT.Unitex selama bulan Mei-Juni Tahun 2014 maka simpulan
yang didapatkan adalah sebagai berikut :
1. Pengukuran kadar debu total di departemen pemintalan PT.Unitex
dilakukan di dua titik yaitu di bagian ring spinning dan blowing carding.
Hasil pengukuran menunjukkan kadar debu total di ring spinning adalah
188,6 g/m3 dan blowing carding adalah 379,4 g/m3.
2. Pekerja pemintalan yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah
pekerja non-shift sebanyak 54 orang. Dari jumlah tersebut sebanyak
57,4% responden mengalami gejala ISPA ringan.
3. Karakteristik individu pekerja yang diteliti adalah umur, jenis kelamin,
masa kerja, bagian kerja, tingkat pendidikan, perilaku merokok dan lama
paparan.
a.

Umur pekerja pemintalan non-shift di PT.Unitex berkisar antara 1955 tahun dan rata-ratanya berumur 36,19 tahun dengan nilai tengah
34,5 tahun.

b.

Sebanyak 74,1% pekerja berjenis kelamin laki-laki, sedangkan


perempuan hanya 25,9%.

c.

Rata-rata masa kerja pekerja adalah 12,92 tahun, nilai tengahnya 12


tahun dengan kisaran lama kerja di antara 1 hingga 32 tahun.

91

92

d.

Pekerja paling banyak yang bekerja di bagian ring spinning yaitu


sebesar 46%.

e.

Pendidikan dibagi menjadi empat kategori yaitu SD, SMP, SMA,


SMK dan D3/PT, sebanyak 46,3% pekerja merupakan lulusan SMA
dan yang lainnya tersebar di kategori lainnya. Kemudian pendidikan
diklasifikasikan menjadi dua tingkatan yaitu rendah (SD dan SMP)
dan tinggi (SMA, SMK, D3/PT). Sebanyak 74% memiliki
pendidikan tinggi.

f.

Sebanyak 37% pekerja merokok dengan perokok ringan paling


banyak yaitu sebesar 24,1%.

g.

Sebagian besar pekerja memiliki lama paparan 8 jam per harinya.

4. Gejala ISPA ringan menurut kadar debu total dan karakteristik individu
pekerja
a.

Dari pekerja yang terkena paparan debu 188,6 mg/m3 (pekerja ring
spinning), sebanyak 76% mengalami gejala ISPA ringan. Sedangkan
dari pekerja yang terkena paparan debu

sebesar 379,4 mg/m3

(pekerja blowing carding dan combing drawing) sebesar 41,4%


mengalami gejala ISPA ringan.
b.

Dari pekerja dengan umur <36 tahun sebanyak 59,3% mengalami


gejala ISPA ringan dan 36 tahun 55,6%.

c.

Dari pekerja dengan masa kerja <12 tahun sebanyak 66,7%


mengalami gejala ISPA dan 12 tahun 48,1%.

93

d.

Dari pekerja dengan jenis kelamin laki-laki tahun sebanyak 45%


mengalami gejala ISPA dan perempuan 92,9%.

e.

Dari pekerja dengan tingkat pendidikan rendah tahun sebanyak


42,9 % mengalami gejala ISPA ringan.

f.

Dari pekerja ring spinning sebanyak 76% mengalami gejala ISPA


dan blowing carding sebesar 41,4%

g.

Dari pekerja yang memiliki perilaku merokok, setengahnya atau


50% mengalami gejala ISPA ringan.

h.

Dari pekerja dengan lama pajanan jam kerja normal sebanyak


55,6% (25 dari 45 orang) mengalami gejala ISPA ringan sedangkan
pekerja dengan <jam kerja normal 66,7% (6 dari 9 orang).

7.2

Saran

7.2.1 Bagi Departemen Pemintalan PT.Unitex


1. Perlu dilakukan evaluasi pada SOP (Standard Operation Procedure
/ langkah-langkah kerja) yang diterapkan dan diamati resiko bahaya
dari tiap langkah kerja.
2. Pengawasan dan evaluasi berkala secara kontinyu terhadap
pengendalian administratif dan modifikasi lingkungan kerja yang
telah dilakukan.
3. Mendisiplinkan pekerja yang bekerja tidak memenuhi syarat
keselamatan yang ditetapkan oleh P2K3 perusahaan seperti tidak
menggunakan alat pelindung diri di lingkungan kerja.

94

4. Dokter di klinik perusahaan sebaiknya memberikan pembekalan


kepada perawat dan petugas klinik bagaimana penetapan pekerja
yang mengalami ISPA ketika dilakukan pencatatan. Hal ini perlu
dilakukan supaya tidak terjadi bias dalam pencatatan jumlah kasus
ISPA di perusahaan.
7.2.2 Bagi Pekerja
1. Bekerja sesuai dengan SOP yang ada dan disiplin menggunakan
peralatan safety (masker) sesuai dengan standar untuk mengurangi
resiko terpapar oleh pajanan berbahaya bagi kesehatan seperti
misalnya debu.
2. Jika ada keluhan sakit dan mulai timbulnya gejala sebaiknya tidak
menunda untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan terdekat
seperti klinik perusahaan.
7.2.3 Bagi Peneliti Lain
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui faktor yang
paling berhubungan dengan gejala ISPA pada pekerja pemintalan.
2. Memilih sampel secara keseluruhan pada pekerja tekstil PT.Unitex
seperti melibatkan pekerja baik pada pemintalan, penenunan dan
pencelupan dan dibandingkan kadar debu total di masing-masing
lingkungan kerja tersebut terhadap gejala ISPA atau penyakit
pernapasan lainnya.

95

3. Pengukuran pajanan debu terhadap pekerja sebaiknya dilakukan


pada tiap pekerja bukan di ruangan kerja, supaya dapat lebih
melihat pajanan yang diterima tiap-tiap pekerja.

DAFTAR PUSTAKA
Agussalim. 2012. Hubungan Pengetahuan, Status Imunisasi dan Keberadaan
Perokok Dalam Rumah dengan Penyakit ISPA pada Balita di Puskesmas
Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar. Jurnal ilmiah STIKES UBudiyah.
Vol 1, No 2, Maret 2012. Aceh
Alemu, Kassahun, Abera Kumie dan Gail Davey. 2010. Byssinosis and other
respiratory symptomps among factory workers in Akaki textile factory,
Ethiopia. Ethiop. J.Health. Dev. 24(2) 133-139.
Ambarwati dkk. 2007. Rancang Bangun Alat Pemisah Serabut dengan Biji Kapuk.
Surakarta. Warta Vol 10 No 2 September 2007
Amerika Serikat. 2010. National Ambient Air Quality Standards by United State
Environmental Protection Agency (USEPA) dalam Himpunan Peraturan
Perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Kementerian
Lingkungan Hidup RI.
Arief, Muhammad Latar. 2013. Lingkungan Kerja Faktor Debu. Fakultas Ilmu
Kesehatan, Program Studi Kesehatan Masyarakat. Universitas Esa Unggul.
Jakarta
Asih, Niluh Gede Yasmin dan Christiany Effendy. 2004. Keperawatan Medikal
Bedah : Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Penerbit EGC. Jakarta
Barus, Nerseri. 2005. Prevalensi dan Pola Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan
Akut di Tiga Kelurahan Kecamatan Medan Baru, Kota Medan. Fakultas
Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara

Calvert, Jack G. 1990. International Union of Pure and Applied Chemistry


(IUPAC), Glossary of Atmospheric Chemistry Terms. IUPAC. Britania Raya
Clark,

Jim.

2007.

Polyester.

Tersedia

di

http://www.chem-is-

try.org/materi_kimia/sifat_senyawa_organik/ester1/poliester/. Diakses pada


23 Januari 2014.
Daly, Aaron dan Paolo Zanmettii. 2007. An Introduction to Air PollutionDefinitions, Classifications anda History. (Jurnal). The Arab School for
Science and Technology (ASST) USA
Dharmage. 2009. Risk Factors of Acute Lower Tract Infections in Children Under
Five Years Of Age. Medical Public Health.
Depkes. 1993. Bimbingan Keterampilan dalam Tata Laksana Penderita Infeksi
Saluran Pernapasan Akut pada Anak. Dirjen P2PM Depkes RI. Jakarta
Depkes.

2002.

Etiologi

ISPA

dan

Pneumonia.

Tersedia

di

litbang.depkes.co.id,online. Akses : 8 Maret 2014


Depkes. 2004. Kawasan tanpa rokok. Pusat Promkes. Depkes RI. Jakarta
Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Depkes RI.
Jakarta
Depkes RI. 2006. Glosarium Data dan Informasi Kesehatan. Depkes RI. Jakarta
Depkes RI. 2008. Riskesdas 2007. Badan Penelitian dan
Kesehatan, Depkes RI. Jakarta

Pengembangan

EPG (Environmental Protection Department). 2006. Air Quality. Tersedia di :


http://www.epd.gov.hk/epd/english/environmentinhk/air/air_quality/aq_ann
ualrpt_96_4.html, Diakses pada 20-04-14 20:46 WIB.
Ester, Monica. 1999. Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan dan Sistem
Kardiovaskular. Penerbit EGC. Jakarta
Fardiaz, Srikandi. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta. Penerbit Kanisius
Firdausia, Annisa. 2013. Hubungan Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan dengan
Perilaku Pencegahan ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gang
Sehat, Pontianak. Fakultas Kedokteran. Universitas Tanjungpura Pontianak
Fitria, Laila et al. 2008. Kualitas Udara Dalam Ruang Perpustakaan Universitas
x Ditinjau Dari Kualitas Biologi, Fisik dan Kimiawi, Makara, Kesehatan.
Vol 12 No2.
Florencia, Dinda Anggun. 2013. Pengaruh Pajanan Debu Urea Terhadap Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Pekerja di Unit Pengantongan
Pupuk Urea (PPU) PT.Pupuk Sriwijaya Palembang. Skripsi. Fakultas
Kesehatan Masyarakat. Universitas Sriwijaya Palembang.
Halim, D. 2000. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta. Hipokrates.
Hastono, S.P. 2001. Analisis Data. Jakarta. Universitas Indonesia. Jakarta.
IMFJ. 2001. Seamic Health Statistics, Internatioanal Medical Foundation of
Japan. Seamic Publication No 84 ISBN 4-930783-84-4. Japan.
Istijanto, 2005. Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta. PT Gramedia Pustaka
Utama.

KBBI. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus versi online dalam
jaringan.

Kementerian

Pendidikan

dan

Budaya.

Tersedia

di

http://kbbi.web.id/udara
Lemeshow, Stanley, David W. Hosmer dkk. 1997. Besar Sampel dalam
Penelitian Kesehatan (terjemahan). Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Lippman. 2007. Regional Deposition of Particles in the Human Respiratory
Tract dalam Lee DHK, Murphy S (Editor),Handbook of Physiology:Section
IV. Environmental Physiology. William and Wilkins Press, Philadelphia.
Tarlo, Susan M. dkk. 2010. Occupational and Environmental Disease.UK. WileyBlackwell Press.
Marsam, Soleh. 2003. Hubungan Pemaparan Debu Kapas dengan Penurunan
Fungsi Paru (VC,FV dan FEV1) Pada Pembuat Kasur di Desa Banjakerta
Kecamatan Karanganyar Kabupaten Purbalingga Tahun 2003. FKM
Universitas Dipenogoro. Semarang
Memon, Ismail dkk. 2008. Prevalence of byssinosis in spinning and textile
workers of Karachi, Pakistan. Pakistan. Environmental and Occupational
Health, Vol.63, No.3, 2008. Hal 138-142
Mengkidi, Dorce. 2006. Gangguan Fungsi Paru dan Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhinya Pada Karyawan PT.Semen Tonasa Pangkep Sulawesi
Selatan. Tesis, Program Pascasarjana Kesehatan Lingkungan Industri.
Universitas Dipenogoro Semarang.
Mikrajuddin dkk. 2007. IPA Terpadu. Esis. Jakarta

Mukono, H.J. 2000. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Airlangga University


Press. Surabaya.
Muttaqin,Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta. Penerbit Salemba Merdeka
Nagoda, Okapi dan Babashani. 2011. Assesment of Respiratory Symptomps and
Lung Function Among Textile Workers At Kano Textile Mills, Kano Nigeria.
Nigerian Journal of Clinical Practice Vol 15 Issue 4. Nigeria
Neil, Schachter. 2011. Respiratory Effects and Other Disease Patterns in Textile
Industry. ILO Encyclopedia of Occupational Health&Safety. Geneva
Noor, Nur Nasry. 2008. Epidemiologi. Jakarta. Rineka Cipta Press
Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta
Nugrahaeni, S.F.S, 2004. Analisis Faktor Resiko Kadar Debu Organik di Udara
Terhadap Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Industri Penggilingan Padi
di Kabupaten Demak. Tesis, Magister Ilmu Kesehatan Lingkungan.
Universitas Dipenogoro Semarang.
Paudyal dkk. 2010. Exposure Dust and Endotoxin in Textile Processing Workers.
Oxford Journal of Medicine and Health Vol 55, Issue 4.Nepal
Pemerintah Daerah Kota Bogor. 2012. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) 2010-2014. Bappeda Kota Bogor.
BPLHD Jawa Barat. 2007. Laporan Akhir : Pemantauan Kualitas Udara dengan
Passive Sampler. BPLH Jabar.
Pemerintah Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999
Tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Jakarta

Pemerintah Indonesia. 2012. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan


Akut. Kemenkes RI. Jakarta
Pemerintah Indonesia. 1984. Undang-Undang tentang Perindustrian. UU No.5
Tahun 1984, LN 1984 Nomor 22 Tahun 1984.
Setiawan, Ebta. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI. Kementerian
Pendidikan dan Budaya. Jakarta
Pradika, Zenis Dulkan. 2011. Pengaruh Paparan Debu Total di Tempat Kerja
Terhadap Fungsi Paru Karyawan PT.Marunda Grahamineral Job Site
Laung Tuhup Kalimantan Tengah. Fakultas Kedokteran. Universitas
Sebelas Maret Surakarta
PT.Unitex. 2013. Laporan Bulan Januari - Desember 2013 PT.Unitex. PT.
Unitex. Bogor
Pudjiastuti, Wiwiek. 2002. Debu Sebagai Bahan Pencemar Yang Membahayakan
Kesehatan Kerja. Depkes RI. Jakarta
Purigiwati, Astiti. 2010. Rancang Bangun dan Uji Kinerja Alat Pengukur Total
Suspended Particulate (TSP) dengan Metode High Volume Air Sampling.
Skripsi. IPB Bogor
Putranto, R. 2007 . Pajanan Debu Kayu (PM10) dan Gejala Penyakit Saluran
Pernapasan pada Pekerja Mebel Sektor Informal di Kota Pontianak
Kalimantan Barat. (Tesis) PS-UI
Setiawan A. 2002. Hubungan Kadar Total Suspended Particulate (TSP) dengan
Fungsi Paru di Lingkungan Industri Semen (Studi Kasus pada Cibinong
Pabrik Cilacap). Tesis . Semarang.

Singh, SB dkk. 2012. Respiratory Morbidities of Jute Mill Workers in Nepal.


Nepal

Journal

Online

Vol

10

(No.3)

181-186.

Tersedia

di

http://www.nepjol.info/index.php/HREN/article/view/7132. Nepal
Sintorini, MM. 2002. Hubungan Antara Kadar PM10 Udara Ambien dengan
Kejadian Gejala Penyakit Saluran Pernapasan. PS-UI Depok.
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Penerbit EGC. Jakarta
Sormin, Kety Rohani. 2012. Hubungan Karakteristik dan Perilaku Pekerja yang
Terpajan Debu Kapas dengan Kejadian ISPA di PT. Unitex Tahun 2011.
Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia Depok
Sumamur. 1991. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Haji Mas Agung.
Jakarta
Suryanta, Naik. 2009. Pengaruh Pengendalian Paparan Debu Pada Pekerja
Pensortiran Daun Tembakau di PT.X Kabupaten Deli,Serdang. Tesis.
Universitas Sumatera Utara. Medan
Suryo, Joko. 2010. Herbal Penyembuhan Gangguan Sistem Pernapasan. Bentang
Pustaka. Yogyakarta
Tim Dosen Biologi. Biologi Dasar. Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Jakarta. 2008
Trisnawati, Yuli dan Juwarni. 2012. Hubungan Perilaku Merokok Orangtua
dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Rembang
Kabupaten Purbalingga 2012. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.
Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto

Wardhana, W.A. 1994. Dampak Pencemaran Lingkungan, Andi Offset,


Yogyakarta
WHO. 1999. Hazard Prevention And Control In The Work Environment:
Airborne Dust. WHO. Jenewa
WHO. 2007. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) Yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. WHO. Jenewa
WHO. 2010. The WHO Air Quality Guideline, World Health Organization 2006.
Dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan di bidang pengelolaan
lingkungan hidup. Kementerian Lingkungan Hidup RI.
Wuninggar, Nur Roshita. 2002. Hubungan Paparan Debu dengan Kejadian ISPA
Ringan Pekerja Bagian Texturizing PT Texmacao Taman Syntethics
Kaliwungu.

Skripsi.

Dipenogoro Semarang.

Fakultas

Kesehatan

Masyarakat.

Universitas

KEMENTERIAN AGAMA
UNTVERSTTAS rSLAM NEGERT ( UrN )
SYAR]F HIDAYATT]LLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

I IIL.

gTI I
r.

Kcrtamukti No. 5 pisangan ciputat

r54re

$if;n"

Nomor :Un.0l/Fl0lKM.0t.2l n
Lampiran

Hal

;ffi.?,J,fl::if ffirf:'ift'd1fffr:".,.

Ciputat,

o3

lanuari 2014

D0t4

:: Permohonan Izin Studi Pendahuluan


Kepada Yang Terhormat,
General Manager PT. UNITEX Tbk.
di Jl. Raya Tajur No.1
Bogor-Jaw,a Barat

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Dalam rangka penyelesaian tugas akhir perkuliahan mahasiswa


diperlukan penyusunan Skripsi yang berjudul "Kadar Debu Total dan Gejala
ISPA Rrngan Pada Pekerja Departemen Pemintalan di
[pT.UNITDL Tbk Bogor
Tahun 2Ol4''
Sehubungan dengan itu karni mohon diberikan izin melaksanakan studi
pendahuluan atas nama

Nama

Alya Mutiara Basti

NIM

I 1 10101000056

Semester

VI]

Program Studi

Kesehatan Masyarakat

Fakultas.

Kedokteran dan llmu Kesehatan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

Demikian atas perhatian dan bantuan Saudara kami ucapkan terima


kasih.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

mik,

,/
Widjajakusumah, AIF,., PFK
Tembusan:
1. Dekan FKIK

Lampiran 2 : Kuesioner

KUESIONER PENELITIAN ANALISIS KADAR DEBU TOTAL (TSP) TERHADAP


RESIKO ISPA PADA PEKERJA DEPARTEMEN PEMINTALAN DI PT.UNITEX
BOGOR TAHUN 2014
LEMBAR KESEDIAAN RESPONDEN
Assalamualaikum. Wr. Wb.
Saya Alya Mutiara Basti, Mahasiswi Peminatan Kesehatan Lingkungan Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sedang melakukan
penelitian tentang ANALISIS KADAR DEBU TOTAL (TSP) TERHADAP RESIKO ISPA PADA
PEKERJA DEPARTEMEN PEMINTALAN DI PT.UNITEX BOGOR. Adapun penelitian ini ditujukan
sebagai alat pengumpulan data primer untuk kegiatan skripsi peneliti.
Kami berharap Bapak/Ibu bersedia menjadi responden penelitian kami dengan menjawab semua
pertanyaan yang ada di kuisioner ini. Informasi yang anda berikan akan kami jaga kerahasiaannya. Jika
anda bersedia di mohon untuk menandatangani lembar persetujuan yang telah disediakan.
Data Responden
1.

Nomor responden

: ____________________________

2.

Nama responden

: ____________________________

3.

Hari/tanggal pengamatan

: ____________________________

Dengan ini bersedia menjadi responden pada penelitian ini.

, 2014

Responden

(...............................................)

Lampiran 2 : Kuesioner

KODING

KARAKTERISTIK PEKERJA

(Diisi Peneliti)

KP1

Nomor Responden

KP2

Nama Responden

KP3

Nomor
Hp/Telp.Rumah/Email

(Kosongkan)

(Pilih salah satu)


KP4

Alamat

KP5

Jenis Kelamin

KP6

Umur

Tahun

KP7

Masa Kerja

Tahun

KP8

Pendidikan terakhir

a.
b.
c.
d.
e.

SD
SMP
SMK
SMA
Diploma/Perguruan
Tinggi

KP9

Tempat kerja di Pemintalan

a.
b.
c.
d.

Kepala Bagian
Kepala Seksi
Blowing & Carding
Combing, Drawing,
Finishing
Ring spinning, finishing
Lainnya (sebutkan):

e.
f.

KODING

A. PERILAKU MEROKOK (TEMBAKAU)

(Diisi Peneliti)

A1

Apakah anda pernah merokok?


(Tidak jika kurang dari 20 pak rokok atau 12 rokok
klentingan selama hidup dan kurang dari 1 batang

a. Ya
b. Tidak

Lampiran 2 : Kuesioner

rokok perhari selama setahun)


(Jika Tidak lanjutkan ke pertanyaan bagian B)
Jika Ya lanjutkan ke pertanyaan A.2)
A.2

Apakah anda sekarang sedang merokok?

A.3

Umur berapa anda pertama kali merokok? (Umur


dalam tahun)

a. Ya
b. Tidak

Tahun
A.4

Apabila anda pernah benar-benar berhenti merokok,


umur berapa anda saat berhenti merokok tersebut?
Tahun

A.5

Saat ini, berapa batang rokok yang anda konsumsi


per hari?
batang

A.6

Selama anda merokok, kira-kira berapa rata-rata


batang rokok perhari yang anda konsumsi?
batang

A.7

Apakah anda menghisap atau pernah menghisap asap


dari rokok?

a. Tidak sama
sekali
b. Sedikit
c. Sedang
d. Dalamdalam

KODING

B. LAMA PAPARAN

(Diisi Peneliti)

B.1

Apakah anda bekerja penuh waktu (30 jam atau lebih


per minggu atau 8 jam perhari dalam waktu 6 bulan
atau lebih?

a. Ya
b. Tidak

B.2

Apakah anda pernah bekerja lembur (>8jam perhari)


dalam seminggu terakhir?

a. Ya
b. Tidak

Lampiran 2 : Kuesioner

KODING

C. GEJALA ISPA

(Diisi Peneliti)

C.1

Apakah dalam satu bulan


terakhir anda mengalami
salah satu atau lebih dari
gejala berikut ?

a. Batuk tanpa pernapasan cepat


(<40 kali/meit)
b. Pilek (mengeluarkan lendir),
c. Serak
d. Sesak yang disertai atau tanpa
disertai panas atau demam (>37C)
e. Keluarnya cairan dari telinga tanpa
rasa sakit pada telinga.

C.2

Jika Ya pada pertanyaan 1,


Apakah anda mengalami
gejala tersebut hingga 14
hari/ 2 minggu ?

a. Ya
b. Tidak

Lampiran 3 : Hasil Uji Lab Kadar Debu Total

Lampiran 4 : Hasil Analisis SPSS

Uji Normalitas Data Numerik


Umur ,

Masa Kerja

Lampiran 4 : Hasil Analisis SPSS

Hasil Univariat
1. Gejala ISPA

2. Kadar Debu Total

Lampiran 4 : Hasil Analisis SPSS

3. Umur

Lampiran 4 : Hasil Analisis SPSS

4. Masa Kerja

Lampiran 4 : Hasil Analisis SPSS

5. Jenis Kelamin

6. Tingkat Pendidikan

7. Bagian Kerja

Lampiran 4 : Hasil Analisis SPSS

8. Perilaku Merokok

9. Lama Pajanan

Lampiran 4 : Hasil Analisis SPSS

Distribusi gejala ISPA ringan menurut kadar debu dan karakteristik individu
pekerja
1. Kadar debu total

2. Umur

Lampiran 4 : Hasil Analisis SPSS

3. Masa Kerja

4. Jenis Kelamin

5. Bagian Kerja

Lampiran 4 : Hasil Analisis SPSS

6. Tingkat Pendidikan

7. Perilaku Merokok

Lampiran 4 : Hasil Analisis SPSS

8. Lama Pajanan

You might also like