You are on page 1of 12

I.

BUDIDAYA TANAMAN SAMBILOTO


A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Semakin berkembangnya zaman, kebutuhan akan kesehatan
manusia semakin meningkat. Permintaan akan obat-obatan herbal pun
semakin meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan obat-obatan herbal perlu
dilakukan

manipulasi habitat tanaman obat dari lingkungan aslinya.

Manipulasi lingkungan sangat diperlukan karena tanaman obat merupakan


salah satu tanaman yang sensitif terhadap lingkungan tumbuh.
Lingkungan tumbuh yang tidak sesuai akan mengurangi kualitas maupun
kuantitas yang dihasilkan tanaman obat baik ripang, daun, maupun
batangnya. Kandungan senyawa aktif yang ada pada tanaman obat sensitif
terhadap lingkungan tumbuhnya. Lingkungan tumbuh yang dimaksud
meliputi tanah, iklim maupun curah hujan.
Tanaman yang bermanfaat sebagai obat sangat beragam, antara lain
temulawak, sambiloto, lempuyang, kunyit, kumis kucing, kapulaga, jahe,
broto wali, iler, lavender, kemuning dan masih banyak tanaman lain.
Setiap tanaman obat memiliki kebutuhan lingkungan tumbuh yang
berbeda-beda. Sehingga budidaya tanaman obat sangat diperlukan.
Budidaya tanaman sambiloto merupakan salah satu cara untuk
dapat memenuhi kebutuhan akan kesehatan obat-obatan herbal. Sambiloto
merupakan tumbuhan berkhasiat obat berupa terna tegak yang tingginya
bisa mencapai 90 sentimeter. Sambiloto tumbuh liar di tempat terbuka,
seperti di kebun, tepi sungai, tanah kosong yang agak lernbap, atau di
pekarangan. Tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 700 m dpl.
sambiloto

digunakan

untuk

mencegah

pembentukan

radang,

memperlancar air seni (diuretika), menurunkan panas badan (antipiretika),


obat sakit perut, kencing manis, dan terkena racun.

2. Tujuan Praktium

Adapun tujan dari Acara I Budidaya Tanaman Sambiloto adalah


untuk mengetahui perlakuan suhu terhadap perkecambahan dan
pertumbuhan tanaman sambiloto.
3. Manfaat Praktikum
Manfaat dari praktikum Acara VII tentang Budidaya Tanaman
Sambiloto ini adalah :
1. Mengetahui bagaimana membuat media tanam tanaman sambiloto
2. Mengetahui bagaimana budidaya tanaman sambiloto
3. Mengetahui manfaat/khasiat dan penggunaan dari tanaman
sambiloto

B. Tinjauan Pustaka
Sambiloto (Andrographis panuculata Ness.) dikenal sebagai King of
Bitters. Sambiloto merupakan tanaman asli India dan Cina. Sambiloto
termasuk dalam jenis tumbuhan family Acanthaceae yang telah digunakan
selama beberapa abad di Asia dalam sistem pengobatan. Dalam buku resmi
tanaman obat Indonesia, herba sambiloto digunakan sebagai diuretika dan
antipiretika. Saat ini sambiloto telah ditetapkan sebagai tanaman obat yang
dikembangkan sebagai obat fitofarmaka. Secara alami, sambiloto mampu
tumbuh mulai dari dataran pantai sampai dataran tinggi dengan kondisi jenis

tanah dan iklim beragam (Yusron 2005). Berikut ini adalah klasifikasi dari
tanaman sambiloto yaitu Divisi : Spermatophyta; Sub Divisi : Angiospermae;
Classis : Dicotyledoneae ; Ordo : Solanaceae; Familia : Acanthaceae; Genus :
Andrographis; Species :Andrographis paniculataNess.
Sambiloto (Andrographis pani-culata Nees) merupakan salah satu
tanaman obat herbal yang banyak dibutuhkan dalam industri obat tradisional
di Indonesia. Cukup banyak klaim yang menunjukkan manfaat sambiloto
dalam pengobatan tradisional, seperti untuk meningkatkan ketahanan tubuh
terhadap infeksi kuman, anti diare, gangguan lever, dan anti bakteri. Badan
POM

memasukkan

tanaman

ini

sebagai

tanaman

unggulan

untuk

dikembangkan dalam industri obat fitofarmaka. Dalam industri obat


tradisional Indonesia, sambiloto dimanfaatkan untuk berbagai produk, seperti
jamu anti inflamasi, obat penurun tekanan darah, dan sebagainya. Hasil survei
serapan tanaman obat untuk industri obat tradisional di Jawa dan Bali
memperlihatkan bahwa sambiloto digunakan baik oleh Industri Obat
Tradisional (IOT) maupun Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT). Jumlah
serapan sambiloto segar per tahun untuk kedua jenis industri obat tersebut
adalah 471.567 kg dan 385.840 kg, masing-masing untuk IOT dan IKOT
(Kemala et al. 2004).
Secara alami, sambiloto mampu tumbuh mulai dari dataran pantai
sam-pai dataran tinggi dengan kondisi jenis tanah dan iklim beragam. Yusron
et al. (2004) mengemukakan bahwa sambiloto ditemukan pada tanah pasir
pantai sampai pada ketinggian 900 m dpl pada tanah Andosol yang subur dan
tipe iklim B. Secara umum, sambiloto tumbuh di alam pada kondisi yang
relatif ternaungi di bawah tegakan hutan. Namun demikian untuk
mendapatkan hasil yang optimum dengan mutu yang memenuhi standar
MMI, sambiloto membutuhkan kondisi agro-ekologi yang sesuai dan optimal.
Yusron dan Januwati (2004) mengemukakan bahwa faktor agroekologi sangat
menentukan pertumbuhan, hasil, dan mutu simplisia sambiloto. Hasil
penelitian Yusron dan Januwati (2004) di Jawa Barat menunjukkan bahwa
faktor agroekologi yang mempengaruhi hasil dan mutu simplisia sambiloto
adalah ketinggian tempat dan ketersediaan air (curah hujan).

Ketinggian tempat sangat erat hubungannya dengan suhu udara, dimana suhu udara akan mempengaruhi proses fisiologis tanaman. Pada suhu
dingin proses fisiologis tanaman akan terganggu, menyebabkan pertumbuhan
terhambat dan hasil tanaman sambiloto rendah. Sedangkan ketersediaan air
merupakan faktor ekologis yang sangat menentukan pertumbuhan dan
kandungan bahan aktif tanaman sambiloto. Pertanaman sambiloto yang
kekurangan air cenderung berbunga dan membentuk buah lebih awal,
sehingga menurunkan produksi terna dan kandungan bahan aktif. Januwati
dan Nurmaslahah (2008) melaporkan bahwa kebutuhan air sambiloto untuk
menghasilkan produk terna tertinggi dan mutu memenuhi standar MMI
adalah 5 mm/hari. Apabila ketersediaan air dalam budidaya sambiloto hanya
mengandalkan pada curah hujan, kebutuhan air tersebut dapat terpenuhi pada
wilayah dengan tipe iklim C, B dan A.
Sambiloto atau Andrographis paniculata mengandung diterpene,
laktone, dan flavanoid. Flavanoid terutama ditemukan diakar tanaman, tetapi
juga ditemukan pada bagian daun. Bagian batang dan daun mengandung
alkana, ketone dan aldehid. Meskipun di awal diduga bahwa senyawa yang
menimbulkan rasa pahit adalah senyawa lakton andrographolide, lebih lanjut
diketahui

bahwa

daun

sambiloto

mengandung

dua

senyawa

yang

menimbulkan rasa pahit yakni andrographolide dan senyawa yang disebut


dengan kalmeghin. Empat senyawa lakton yang ditemukan dalam daun
sambiloto adalah: (1) deoxyandrographolide; (2) andrographolide; (3)
neoandrographolide dan (4) 14-deoxy-11, 12-didehydroandrographolide
(Akbar 2011).

C. Metode Praktikum
1. Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum budidaya tanaman sambiloto dilaksanakan pada hari
Senin, 27 Oktober 2014 pukul 08.00-10.00 WIB di Rumah Kaca Fakultas
Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Alat dan Bahan
a. Alat
1) Polybag
2) Termometer
3) Timbangan
4) Penggaris
5) Oven
6) Label
b. Bahan
1) Benih Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)
2) Tanah
3) Pupuk Kandang
3. Cara Kerja
a. Merendam sambiloto selama 5 menit, 10 menit, dan 15 menit
b. Mencampurkan media samai yang tersedia secara merata kemudian
masukkan ke dalam polybag
c. Membasahi media dengan air secukupnya

d. Menanam benih sambiloto yang telah diperlukan pada air panas sesuai
perlakuan
e. Memelihara bibit dengan menjaga kelmbapan media

D. Hasil dan Pembahasan


1. Hasil Pengamatan
Tabel 1.1 Pengamatan Tamanam Sambiloto
Pengamatan
Saat
berkecambah
Jumlah daun

Tinggi Tanaman

Berat Tanaman

Perlakua
n
A
B
C
A
B
C
A
B
C
A
B
C

Ratarata

Minggu ke
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

7
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

Sumber : Data Rekapan


2. Pembahasan
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) merupakan salah satu
tanaman obat herbal yang banyak dibutuhkan dalam industri obat
tradisional di Indonesia. Andrographis paniculata mengandung diterpene,
laktone, dan flavanoid. Flavanoid terutama ditemukan diakar tanaman,
tetapi juga ditemukan pada bagian daun. Bagian batang dan daun
mengandung alkana, ketone dan aldehid. Meskipun di awal diduga bahwa
senyawa yang sambiloto mengandung dua senyawa yang menimbulkan

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

rasa pahit yakni andrographolide dan senyawa yang disebut dengan


kalmeghin. Empat senyawa lakton yang ditemukan dalam daun sambiloto
(Akbar 2011) adalah: (1) deoxyandrographolid; (2) andrographolide; (3)
neoandrographolide dan ( 4) 14-deoxy-11, 12-didehydroandrographolide
Cukup banyak klaim yang menunjukkan manfaat sambiloto dalam
pengobatan tradisional, seperti untuk meningkatkan ketahanan tubuh
terhadap infeksi kuman, anti diare, gangguan lever, dan anti bakteri.
Badan POM memasukkan tanaman ini sebagai tanaman unggulan untuk
dikembangkan dalam industri obat fitofarmaka. Dalam industri obat
tradisional Indonesia, sambiloto dimanfaatkan untuk berbagai produk,
seperti jamu anti inflamasi, obat penurun tekanan darah, dan sebagainya.
Hasil survei serapan tanaman obat untuk industri obat tradisional di Jawa
dan Bali memperlihatkan bahwa sambiloto digunakan baik oleh Industri
Obat Tra-disional (IOT) maupun Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT).
Jumlah serapan sambiloto segar per tahun untuk kedua jenis industri obat
tersebut adalah 471.567 kg dan 385.840 kg, masing-masing untuk IOT
dan IKOT (Kemala et al. 2004).
Prospek sambiloto sangat bagus sebagai tanaman obat. Saat ini
sambiloto telah ditetapkan sebagai tanaman obat yang dikembangkan
sebagai obat fitofarmaka. Salah satu syarat obat fitofarmaka adalah bahan
yang digunakan dapat dipertanggungjawabkan secara medis. Untuk itu
perlu dukungan ketersediaan teknologi yang cukup, agar dapat dihasilkan
simplisia dan ekstrak terstandar. Teknologi tersebut harus mencakup dari
penyediaan bibit sampai dengan pasca panen. Penerapan teknik budidaya
yang baku diharapkan dapat menyediakan bahan baku dalam jumlah yang
memadai, mutu sesuai standar, dan kontinyuitas pasokan bahan baku
dapat dijamin.
Secara alami, sambiloto mampu tumbuh mulai dari dataran pantai
sampai dataran tinggi dengan kondisi jenis tanah dan iklim beragam.
Yusron et al. (2004) mengemukakan bahwa sambiloto ditemukan pada
tanah pasir pantai sampai pada ketinggian 900 m dpl pada tanah Andosol
yang subur dan tipe iklim B. Secara umum, sambiloto tumbuh di alam

pada kondisi yang relatif ternaungi di bawah tegakan hutan. Namun


demikian untuk mendapatkan hasil yang optimum dengan mutu yang
memenuhi standar MMI, sambiloto membutuhkan kondisi agroekologi
yang sesuai dan optimal. Yusron dan Januwati (2004) mengemukakan
bahwa faktor agroekologi sangat menentukan pertumbuhan, hasil, dan
mutu simplisia sambiloto. Hasil penelitian Yusron dan Januwati (2004) di
Jawa Barat menunjukkan bahwa faktor agroekologi yang mempengaruhi
hasil dan mutu simplisia sambiloto adalah ketinggian tempat dan
ketersediaan

air

(curah

hujan).

Ketinggian

tempat

sangat

erat

hubungannya dengan suhu udara, dimana suhu udara akan mempengaruhi


proses fisiologis tanaman. Pada suhu dingin proses fisiologis tanaman
akan terganggu, menyebabkan pertumbuhan terhambat dan hasil tanaman
sambiloto rendah. Sedangkan ketersediaan air merupakan faktor ekologis
yang sangat menentukan pertumbuhan dan kandungan bahan aktif
tanaman sambiloto. Pertanaman sambiloto yang kekurangan air
cenderung berbunga dan membentuk buah lebih awal, sehingga
menurunkan produksi terna dan kandungan bahan aktif. Januwati dan
Nurmaslahah (2008) melaporkan bahwa kebutuhan air sambiloto untuk
menghasilkan produk terna tertinggi dan mutu memenuhi standar MMI
adalah 5 mm/hari. Apabila ketersediaan air dalam budidaya sambiloto
hanya mengandalkan pada curah hujan, kebutuhan air tersebut dapat
terpenuhi pada wilayah dengan tipe iklim C, B dan A.
Berdasarkan data rekapan dapat diketahui bahwa hasil pengamatan
pada tanaman sambiloto dengan perlakuan perendaman dalam air panas
selama 5 menit, 10 menit, dan 15 menit rata-rata semua kelompok adalah
0 atau tidak ada yang tumbuh mulai dari awal pengamatan hingga minggu
ke tujuh akhir pengamatan. Pengamatan yang dilakukan pada tanaman
sambiloto yaitu saat berkecambah, jumlah daun, tinggi tanaman, dan berat
tanaman semuanya menunjukkan tidak adanya pertumbuhan dan
perkembanagan dengan kata lain tanaman sambiloto yang di budidayakan
semua kelompok mati. Tidak tumbuhnya tanaman sambiloto mungkin

kurangnya pemeliharaan, khusunya dalam pemberian air oleh praktikan


atau mungkin dikarenakan komposisi media yang digunkan tidak cocok
dan tidak cocoknya tempat budidaya sambiloto sehingga memungkinkan
tanaman tersebut tidak dapat tumbuh dengan baik.
Secara umum pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh dua faktor
yaitu faktor ekternal dan faktor initernal. Faktor eksternal yang
mempengaruhi antara lain cahaya, udara, air, dan tanah. Sedangkan faktor
internal berasal dari tanaman itu sendiri (faktor genetik). Kedua faktor ini
sangat berpengaruh pada proses pertumbuhan tanaman dan saling
behubungan satu sama lain, apabila salah satu faktor tidak tersedia bagi
tanaman atau kesediaanya tidak dalam keadaan seimbang maka akan
tergaggu dan bahkan bisa menyebabkan tanaman menjadi mati
(Sinar et al. 2007).

E. Kesimpulan dan Saran


1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari praktikum budidaya tanaman sambiloto
adalah :
a. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) merupakan salah satu
tanaman obat herbal yang banyak dibutuhkan dalam industri obat
tradisional di Indonesia.
b. Sambiloto( Andrographis paniculata) mengandung diterpene, laktone,
dan flavanoid.
c. Manfaat sambiloto untuk meningkatkan ketahanan tubuh terhadap
infeksi kuman, anti diare, gangguan lever, dan anti bakteri.
d. Prospek sambiloto sangat bagus sebagai tanaman obat. Saat ini
sambiloto telah ditetapkan sebagai tanaman obat yang dikembangkan
sebagai obat fitofarmaka.
e. Secara alami, sambiloto mampu tumbuh mulai dari dataran pantai
sampai dataran tinggi dengan kondisi jenis tanah dan iklim beragam.
f. Berdasarkan data rekapan diketahui bahwa hasil pengamatan pada
tanaman sambiloto dengan perlakuan perendaman dalam air panas
selama 5 menit, 10 menit, dan 15 menit rata-rata semua kelompok
adalah 0 atau tidak ada yang tumbuh.
g. Tidak tumbuhnya tanaman sambiloto mungkin dikarenakan kurangnya
pemeliharaan, khusunya dalam pemberian air oleh praktikan atau
mungkin dikarenakan komposisi media yang digunkan tidak cocok
dan tidak cocoknya tempat budidaya sambiloto.
h. Menurut teori hidup atau matinya tanaman dapat ditentukan oleh dua
faktor yaitu faktor ekternal maupun faktor internal. Faktor eksternal
yang mempengaruhi antara lain cahaya, udara, air, dan tanah.

Sedangkan faktor internal berasal dari tanaman itu sendiri (faktor


genetik).

2. Saran
Adapun sara yang dapat diberikan untuk praktikum budidaya tanaman
sambiloto adalah penambahan perlakuan pada saat praktikum seperti
komposisi media yang digunkan dan pemberian pengaruh pemberian
naungan atau tidak terhadap pertumbuhan sambiloto.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, S 2011. Andrographis paniculata: A Review of Pharmacological Activities


and Clinical Effect, Alternative Medicine Review 16 (1) :66-77.
Januwati M dan Nurmaslahah 2008. Pengaruh tingkat pemberian air pada tiga
aksesi sambiloto (Andro-graphis paniculata Nees) terhadap mutu dan
produksi simplisia. Jurnal Littri 14 (2) : 54-60.
Kemala S, Sudiarto, E Pribadi, JT Yuhono, M Yusron, L Mauludi, M Rahardjo, B
Waskito, dan H Nurhayati 2004. Studi serapan, pasokan dan pemanfaatan
tanaman obat di Indonesia. Laporan Teknis Penelitian. Balai Penelitian
Tanam-an Rempah dan Obat. 187-247.
Sinar S, Djunaedy A, Trienandari A 2007. Respon Tanaman Sambiloto
(Andrographis paniculata, NESS) Akibat Naungan dan Selang Penyiraman
Air. Embryo 4 (2) :146-156.
Yusron, M dan M Januwati 2004. Pengaruh kondisi agroekologi ter-hadap
produksi dan mutu simplisia sambiloto (Andrographis panicu-lata).
Prosiding Seminar Nasional XXVI Tumbuhan Obat Indonesia, Padang, 7-8
September 2004 : 211-216.
Yusron, M 2005. Dukungan Teknologi Budidaya Untuk Pengembangan
Sambiloto. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik.

You might also like