You are on page 1of 60

Awal Kedatangan Jepang ke Indonesia

KEDATANGAN JEPANG KE INDONESIA


Awal mula ekspansi Jepang ke Indonesia didasari oleh kebutuhan Jepang akan
minyak bumi untuk keperluan perang. Menipisnya persediaan minyak bumi yang
dimiliki oleh Jepang untuk keperluan perang ditambah pula tekanan dari pihak
Amerika yang melarang ekspor minyak bumi ke Jepang. Langkah ini kemudian diikuti
oleh Inggris dan Belanda. Keadaan ini akhirnya mendorong Jepang mencari sumber
minyak buminya sendiri.
Pada tanggal 1 Maret 1942, sebelum matahari terbit, Jepang mulai mendarat di
tiga tempat di Pulau Jawa, yaitu di Banten, Indramayu, dan Rembang, masing-masing
dengan kekuatan lebih kurang satu divisi. Pada awalnya, misi utama pendaratan
Jepang adalah mencari bahan-bahan keperluan perang. Pendaratan ini nyatanya
disambut dengan antusias oleh rakyat Indonesia. Kedatangan Jepang memberi
harapan baru bagi rakyat Indonesia yang saat itu telah menaruh kebencian terhadap
pihak Belanda. Tidak adanya dukungan terhadap perang gerilya yang dilakukan oleh
Belanda dalam mempertahankan Pulau Jawa ikut memudahkan pendaratan tentara
Jepang. Melalui Indramayu, dengan cepat Jepang berhasil merebut pangkalan udara
Kalijati untuk dipersiapkan sebagai pangkaan pesawat. Hingga akhirnya tanggal 9
Maret tahun Showa 17, upacara serah terima kekuasaan dilakukan antara tentara
Jepang dan Belanda di Kalijati.
Sikap Jepang pada awal kedatangannya semakin menarik simpati rakyat
Indonesia. Dan kemenangan Jepang atas perang Pasifik digembor-gemborkan sebagai
kemenangan bersama, yaitu kemenangan bangsa Asia. Saat tentara Jepang hendak
mendarat di Indonesia, Pemerintah Jepang mengeluarkan slogan-slogan : India untuk
orang India, Birma untuk orang Birma, Siam untuk orang Siam, Indonesia untuk
orang Indonesia. Jepang juga memberikan janji kemerdekaan Indonesia shorai
dokuritsu, dan membiarkan bendera Indonesia dikibarkan. Bahkan sebelum Jepang
mendarat di Pulau Jawa, siaran Tokyo sering menyiarkan lagu kebangsaan Indonesia.
Tindakan lain yang dilakukan oleh Jepang adalah melakukan pelarangan terhadap
penggunaan bahasa Belanda. Sejak itulah bahasa Indonesia ikut berkembang dengan
pesat. Keadaan sebelum kedatangan Jepang juga dikisahkan sebagai berikut :
Kalau malam, di radio, disiarkan siaran-siaran radio Jepang yang berbahasa
Indonesia, menganjurkan supaya rakyat Indonesia berontak, sebelum Jepang
mendarat. Dalam propaganda itu mereka mengatakan Jepang datang bukan untuk
menjajah Indonesia melainkan memerdekakan bangsa Indonesia
Setelah kedatangannya ke Indonesia, tentara ke 16 sebagai perwakilan pemerintah
militer Jepang Jepang Pelindung Asia
di Indonesia membentuk suatu badan propaganda yang disebut dengan Sendenbu.
Badan ini
berfungsi untuk mendukung pergerakan Jepang di Indonesia. Melalui badan ini pula,
Gerakan 3A dipropagandakan, yaitu:
Jepang Cahaya AsiaJepang Pemimpin Asia

FAKTOR FAKTOR PENYEBAB KEDATANGAN


BANGSA JEPANG

Bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe sebagai

Perdana Menteri Jepang. Sebenarnya, sampai akhir tahun 1940, pimpinan


militer Jepang tidak menghendaki melawan beberapa negara sekaligus, namun
sejak pertengahan tahun 1941 mereka melihat, bahwa Amerika Serikat, Inggris
dan Belanda harus dihadapi sekaligus, apabila mereka ingin menguasai
sumber daya alam di Asia Tenggara. Apalagi setelah Amerika melancarkan
embargo minyak bumi, yang sangat mereka butuhkan, baik untuk industri di
Jepang, maupun untuk keperluan perang.
Terjadinya perang pasifik sangat berpengaruh besar terhadap gerakan
kemerdekaan negara-negara di Asia Timur, termasuk Indonesia. Tujuan Jepang
menyerang dan menduduki Hndia-Belanda adalah untuk menguasai sumbersumber alam, terutama minyak bumi, guna mendukung potensi perang Jepang
serta mendukung industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi
seluruh operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatera sebagai sumber minyak
utama.
Penjajahan Jepang di Indonesia
* 8 Maret 1942 Jepang mendarat di Kalimantan untuk menguasai sumber
minyak mentah
* Tanggal 9 Maret 1942, Belanda menyerah pada Jepang. Penyerahan di
Kalijati, Subang, Jabar.
*Pihak Belanda:Letjen Ter Porten
*Pihak Jepang Letjen Hitoshi Imamura
*Saat dikuasai Jepang Indonesia dibagi dua :
1) P. Jawa dan Sumatra di bawah komando angkatan darat, berpusat di
Jakarta
2) Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku di bawah Komando Angkatan Laut yang
berpusat di Ujung Pandang
*Propaganda Jepang:
1) Gerakan 3A:
Jepang pemimpin asia
Jepang pelindung asia
Jepang cahaya asia
2) Jepang adalah saudara tua Indonesia
3) Jepang membentuk Putera
4) Jepang bertujuan untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan

*Indonesia dimasukkan dalam kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur


Raya,
dibawah kepemimpinan Jepang.
Romusha
Romusha (buruh, pekerja) adalah panggilan bagi orang-orang Indonesia
yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di Indonesia
dari tahun 1942 hingga 1945. Kebanyakan romusha adalah petani, dan sejak
Oktober 1943 pihak Jepang mewajibkan para petani menjadi romusha. Mereka
dikirim untuk bekerja di berbagai tempat di Indonesia serta Asia Tenggara.
Jumlah orang-orang yang menjadi romusha tidak diketahui pasti perkiraan
yang ada bervariasi dari 4 hingga 10 juta.
Kamikaze
Bangsa Jepang, setelah kekalahan mereka di Pertempuran Pulau Midway pada Tahun
1942,mereka mempunyai momentum Untuk memulai Perang Pasifik (dikenal secara
resmi sebagai Perang luar biasa Asia Timur di Jepang). Selama Tahun 1943-1944,
angkatan perang Sekutu, didukung Oleh sektor industri yang maju dan sumber
penghasilan yang cukup Kaya Mulai mengintai gerak gerik pasukan jepang. Pesawat
pesawat tempur Jepang banyak yang kalah kelas dengan pesawat -pesawat tempur AS,
terutama F4U Corsair dan P-51 Mustang.Karena kekalahan di pertempuran dan
banyaknya pilot pilot yang mati, jepang pun jadi kekurangan pilot pilot trampil untuk
dijadikan pilot kamikaze.
Jepang mulai menggunakan taktik Kamikaze waktu itu karena merasa sudah tidak
mampu lagi menerobos barisan armada tempur Amerika Serikat, dimana Angkatan Laut
Jepang sendiri hampir habis dan Angkatan Daratnya kewalahan. Ide penggunaan
pasukan khusus ini dicetuskan oleh Vice Admiral Kimpei Teraoka yang merupakan kepala
staf komandan angkatan laut di Filipina yang mengeluh jika taktik biasa tidak mungkin
dilakukan, mereka (Pasukan Jepang) haruslah menjadi manusia super. Ide ini kemudian
direalisasikan oleh Vice Admiral Takejiro Onishi yang menggantikan Teraoka pada

Oktober 1944 yang kemudian dikenal sebagai Bapak Kamikaze

BANGSA JEPANG MENDUDUKI INDONESIA

Pendudukan Jepang di Indonesia dengan berlangsungnya perang Dunia kedua di kawasan


Asia Pasifik, (1941-1945) Jepang berambisi untuk menguasai negara-negara Asia dan
merebutnya dari negara-negara imperalis barat. Tujuannya selain untuk kepentingan
supremasi (keunggulan dan kekuasaan) Jepang juga menjadikan daerah-daerah di asia
sebagai tempat menanamkan modal, serta memasarkan hasil industrinya. Sejak awal abad 20
Jepang telah menjadi negara industri dan mulai melaksanakan imperialisme modern saat itu

Jepang berhasil menduduki korea dan cina. Negara raksasa cina didudukinya pada tahun
1937.
Ketika Jepang menduduki indocina, pada juli 1941 AS tidak menyetujui tindakan tersebut.
Tindakan protes AS dilakukan dengan menghentikan penjualan karet, baja lemepngan,
minyak bumi dan lain-lain yang sangat dibutuhkan jepang. Jepang memutuskan untuk
menyerang daerah-daerah koloni eropa di Asia Tenggara tujuannya untuk memperoleh
barang-barang kebutuhan perang.
Dengan itu Jepang yakin bahwa serangan tersebut menimbulkan perang dengan as. Jepang
mendahului serangan terhadap pearl habour, hawaii. Pada 7-12-1941. setelah menghancurkan
pearl harbour, Jepang meneruskan serangan ke filifina pada 10 Desember 1941 dan berhasil
menduduki luzon dan batoon, lalu pada tanggal 16 Desember berhasil menduduki burma.
Akhirnya pada 11 januari Jepang mendarat di Indonesia yaitu dirasakan kalimantan timur dan
berhasil menduduki pulau kalimantan. Dari kalimantan Jepang meneruskan serangannya ke
jawa sebagai pusat bertahan belanda, dan mulai menduduki daerah-daerah lainnya.

DAERAH YANG DI KUASAI JEPANG SELAMA


MENDUDUKI INDONESIA
Secara berurutan Jepang mulai menguasai Hindia Belanda yang diawali dengan penaklukan
Tarakan, Kalimantan Timur (11 Januari 1942), Balikpapan (24 Januari 1942), Pontianak (29
Januari 1942), Samarinda (3 Februari 1942), dan Banjarmasin (10 Februari 1942). Setelah
berhasil menguasai wilayah luar Jawa. Jepang kemudian memusatkan serangannya ke Pulau
Jawa. Pada tanggal 1 Maret 1942, Jepang berhasil mendarat di tiga tempat sekaligus, yaitu di
Teluk Banten, di Eretan Wetan, sebelah barat Cirebon (Jawa Barat), dan Kragan (Jawa
Tengah). Setelah menguasai wilayah tersebut, Belanda pada tanggal 5 Maret 1942
mengumumkan Batavia (Jakarta) sebagai kota terbuka. Artinya, Batavia tidak akan
dipertahankan oleh pihak Belanda. Serbuan tentara Jepang ke Indonesia yang demikian besar
membuat tentara Belanda tidak mampu bertahan. Akhirnya, pada tanggal 8 Maret 1942
Belanda menyerah tanpa syarat terhadap Jepang di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Sejak saat
itu, Indonesia dikuasai oleh Jepang.

PERUBAHAN YANG DI BUAT OLEH BANGSA


JEPANG
Secara tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan politik dan pergerakan kemerdekaan
Indonesia. Pada tahun 1942 Jepang berhasil mengalahkan Belanda, maka posisi Belanda
Indonesia diambil alih oleh Jepang. Artinya Indonesia mulai dijajah oleh Jepang. Masa
pendudukan Jepang berjalan sekitar 3,5 tahun. Berbagai kebijakan Jepang di Indonesia
diarahkan untuk memperkuat kekuatan militer. Selain itu untuk ikut mendukung
kemenangannya dalam menghadapi Sekutu. Perang Dunia II juga berpengaruh bagi Indonesia
dalam mencapai kemerdekaan. Setelah Jepang kalah menyerah kepada Sekutu tanggal 14
Agustus 1945, Indonesia dalam keadaan vacuum of power (kekosongan kekuasaan).
Jepang sudah menyerah berarti tidak mempunyai hak memerintah Indonesia, sementara
Sekutu, saat itu belum datang. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan bangsa Indonesia untuk
memproklamasikan kemerdekaan.

KEMUNDURAN BANGSA JEPANG KE


NEGARANYA
Menyerahnya Jepang pada bulan Agustus 1945 menandai akhir Perang Dunia II. Angkatan Laut
Kekaisaran Jepang secara efektif sudah tidak ada sejak Agustus 1945, sementara invasi Sekutu ke
Jepang hanya tinggal waktu. Walaupun keinginan untuk melawan hingga titik penghabisan dinyatakan
secara terbuka, pemimpin Jepang dari Dewan Penasihat Militer Jepang secara pribadi memohon Uni
Soviet untuk berperan sebagai mediator dalam perjanjian damai dengan syarat-syarat yang
menguntungkan Jepang. Sementara itu, Uni Soviet juga bersiap-siap untuk menyerang Jepang dalam
usaha memenuhi janji kepada Amerika Serikat dan Inggris di Konferensi Yalta.
Pada 6 Agustus dan 9 Agustus, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Pada 9 Agustus, Uni Soviet melancarkan penyerbuan mendadak ke koloni Jepang di Manchuria
(Manchukuo) yang melanggar Pakta Netralitas SovietJepang. Kaisar Hirohito campur tangan setelah
terjadi dua peristiwa mengejutkan tersebut, dan memerintahkan Dewan Penasihat Militer untuk
menerima syarat-syarat yang ditawarkan Sekutu dalam Deklarasi Potsdam. Setelah berlangsung
perundingan di balik layar selama beberapa hari, dan kudeta yang gagal, Kaisar Hirohito
menyampaikan pidato radio di hadapan rakyat pada 15 Agustus 1945. Dalam pidato radio yang
disebut Gyokuon-hs (Siaran Suara Kaisar), Hirohito membacakan Perintah Kekaisaran tentang
kapitulasi, sekaligus mengumumkan kepada rakyat bahwa Jepang telah menyerah.Pendudukan Jepang
oleh Komando Tertinggi Sekutu dimulai pada 28 Agustus. Upacara kapitulasi diadakan pada 2
September 1945 di atas kapal tempur Amerika Serikat Missouri. Dokumen Kapitulasi Jepang yang
ditandatangani hari itu oleh pejabat pemerintah Jepang secara resmi mengakhiri Perang Dunia II.
Penduduk sipil dan anggota militer di negara-negara Sekutu merayakan Hari Kemenangan atas Jepang
(V-J Day). Walaupun demikian, sebagian pos komando terpencil dan personel militer dari kesatuan di
pelosok-pelosok Asia menolak untuk menyerah selama berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun
setelah Jepang menyerah. Sejak kapitulasi Jepang, sejarawan terus berdebat tentang etika penggunaan
bom atom

KESIMPULAN
Pendudukan Jepang di Indonesia dengan berlangsungnya perang Dunia kedua di kawasan
Asia Pasifik, (1941-1945) Jepang berambisi untuk menguasai negara-negara Asia dan
merebutnya dari negara-negara imperalis barat. Tujuannya selain untuk kepentingan
supremasi (keunggulan dan kekuasaan) Jepang juga menjadikan daerah-daerah di asia
sebagai tempat menanamkan modal, serta memasarkan hasil industrinya. Sejak awal abad 20
Jepang telah menjadi negara industri dan mulai melaksanakan imperialisme modern saat itu
Jepang berhasil menduduki korea dan cina. Negara raksasa cina didudukinya pada tahun
1937.
Ketika Jepang menduduki indocina, pada juli 1941 AS tidak menyetujui tindakan tersebut.
Tindakan protes AS dilakukan dengan menghentikan penjualan karet, baja lemepngan,
minyak bumi dan lain-lain yang sangat dibutuhkan jepang. Jepang memutuskan untuk
menyerang daerah-daerah koloni eropa di Asia Tenggara tujuannya untuk memperoleh
barang-barang kebutuhan perang.
Dengan itu Jepang yakin bahwa serangan tersebut menimbulkan perang dengan as. Jepang
mendahului serangan terhadap pearl habour, hawaii. Pada 7-12-1941. setelah menghancurkan
pearl harbour, Jepang meneruskan serangan ke filifina pada 10 Desember 1941 dan berhasil
menduduki luzon dan batoon, lalu pada tanggal 16 Desember berhasil menduduki burma.
Akhirnya pada 11 januari Jepang mendarat di Indonesia yaitu dirasakan kalimantan timur dan

berhasil menduduki pulau kalimantan. Dari kalimantan Jepang meneruskan serangannya ke


jawa sebagai pusat bertahan belanda, dan mulai menduduki daerah-daerah lainnya.

Perjuangan Diplomasi Kemerdekaan Indonesia


Posted by hanif amin Minggu, 05 Mei 2013 5 komentar

Perjuangan Diplomasi Kemerdekaan


Halo kawan,apa kabar? Semoga baik ya, dan salam sejahtera buatmu. Kali
ini,saya akan posting tentang perjuangan diplomasi Indonesia untuk meraih
kemerdekaan. Hal yang pertama dan utama adalah kita harus mengetahui arti
dari diplomasi.
Diplomasi artinya perundingan/perjanjian yang dibuat untuk disepakati. Nah,
diplomasi ini merupakan salah satu bentuk perjuangan meraih kemerdekaan
Indonesia. Para pejuang diplomasi Indonesia berunding dengan Belanda untuk
membuat perjanjian yang akan dilaksanakan.
Berikut adalah berbagai perjuangan diplomasi kemerdekaan Indonesia:
A.Perjanjian Linggrajati
Perjanjian Linggrajati berlangsung di Linggrajati,Cirebon pada 10 November
1946. Dalam perundingan, Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir dan Belanda
diwakili Van Mook.
Isi perjanjian Linggrajati adalah:

1.Belanda hanya mengakui kekuasaan RI atas Jawa,Madura, dan Sumatera.


2.RI dan Belanda bersama-sama membentuk Negara Indonesia Serikat dengan
nama Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Indonesia merupakan salah satu
negara bagiannya.
3.Negara Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda
yang diketuai oleh ratu Belanda.
Hasil perundingan ini disebut sebagai Perjanjian Linggrajati yang ditandatangani
di Istana Rijswijk (merdeka) pada tanggal 25 Maret 1947. Sebenarnya, hasil
perundingan ini merugikan Indonesia. Bagaimana tidak,wilayah Indonesia
semakin dipersempit dan Belanda pun tidak menjalankan dengan baik perjanjian
ini. Karena Belanda selalu melakukan penyerangan besar-besaran ke wilayah
Indonesia yang disebut sebagai Agresi Militer Belanda I
B.Perjanjian Renville
Perjanjian Renville berlangsung di kapal angkatan laut Amerika Serikat USS
Renville. Untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata dan sengketa
Indonesia dengan Belanda. PBB (perserikatan bangsa-bangsa) membentuk
Komite Tiga Negara (KTN) yang anggotanya dipilih Indonesia dan Belanda.
Anggota KTN adalah Australia yang dipilih Indonesia, Belgia yang dipilih Belanda
dan Amerika Serikat yang dipilih Australia dan Belgia sebagai penengah. Dalam
perjanjian ini Indonesia diwakili Amir Syarifuddin dan Belanda diwakili
R.Abdulkadir Wijoyoatmojo dan sepertinya si R.Abdul Kadir M. ini orang Indonesia
yang memihak Belanda kawan.
Isi perjanjian Renville adalah:
1.Belanda hanya mengakui Wilayah RI atas Jateng,Jogjakarta, Jatim, sebagian
kecil Jabar dan Sumatera.
2.Tentara Republik Indonesia (TRI) ditarik mundur dari daerah kedudukan
Belanda.

Akibat dari perjanjian Renville sebenarnya semakin merugikan Indonesia karena


wilahnya semakin sempit. Setelah perjanjian ini tejadi peristiwa penting antara
lain pemberontakan PKI di Madiun dan pemindahan ibukota RI ke Jogjakarta
karena Jakarta diduduki Belanda.
Bahkan pada tanggal 18 Desember 1948 Belanda mengumumkan bahwa tidak
terikat lagi dengan perjanjian Renville lalu melakukan serangan besar-besaran ke
wilayah RI yang disebut sebagai Agresi Militer Belanda II
C.Perundingan Roem-Royen
Hebatnya perjuangan rakyat dan tekanan Internasional memaksa Belanda
menerima perintah PBB agar menghentikan agresinya dan kembali ke meja
perundingan. Untuk mengawasi jalannya perundingan, PBB membentuk UNCI
(United Nations Comission for Indonesia)
Perundingan ini berjalan berlarut-larut hingga akhirnya ditandatangani pada 7
Mei 1949. Delegasi Indonesia dipimpin Mr. Moh. Roem dan Belanda dipimpin dr.
Van Royen sebagai penengah adalah UNCI.
Isi perjanjian Roem-Royen adalah:
1.Pemerintahan RI dikembalikan ke Yogyakarta, penghentian perang dan
pembebasan tahanan politik.
2.Indonesia dan Belanda bekerja sama mengembalikan perdamaian.
3.Belanda menyetujui RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
4.Akan diselenggarakan KMB setelah pemerintahan RI kembali ke Jogjakarta.
D.Konferensi Meja Bundar (KMB)
KMB merupakan tindak lanjut dari Perundingan Roem-Royen . KMB bertempat di
Deen Hag,Belanda pada tanggal 23 Agustus-2 November 1949.

Delegasi Indonesia dipimpin Moh.Hatta, delegasi BFO (Bijeenkomst Voor Federal


Overleg) atau Badan Musyawarah negara-negara Federal dipimpin Sultan Hamid
II, delegasi Belanda dipimpin Mr. Van Maarseveen,sedangkan UNCI dipimpin oleh
Chritchley.
Hasil dari KMB adalah:
1.Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Belanda menyerahkan
kedaulatan pada RIS pada akhir Desember 1949.
2.RIS dan Belanda akan tergabung dalam Uni Indonesia-Belanda.
3.Masalah Irian Barat akan diselesaikan setahun setelah pengakuan kedaulatan.
D.Tokoh Pejuang Diplomasi Indonesia.
Berikut ini adalah beberapa pejuang diplomasi Indonesia:
1.Bung Karno
Bung Karno merupakan pejuang diplomasi sekaligus presiden Indonesia
pertama. Ia lahir di Surabaya pada tanggal 6 Juni 1901. ditangkap,dipenjara, dan
diasingkan merupakan hal biasa baginya. Bung Karno merupakan ahli
diplomasi.Menurutnya,diplomasi adalah cara terbaik melawan musuhnya.
Misalnya, pada waktu berdiplomasi dengan Letjen Christison. Hasilnya,sekutu
menyatakan kedatangannya tidak akan melebur kemerdekaan RI pada tanggal 1
Oktober 1945. Bung Karno wafat tanggal 21 Juni 1970 dan dimakamkan di Blitar,
Jatim.
2.Drs. Moh.Hatta
Lahir 12 Agustus 1902 di Bukit Tinggi,Sumatera Barat. Bersama Bung Karno ia
ditangkap,dipenjara, dan diasingkan. Keberhasilan Bung Hatta dalam diplomasi
antara lain:

a.Pemimpin Delegasi Indonesia di KMB, Den Haag Belanda.


b.penggerak ekonomi dengan membuat koperasi (Sebagai Bapak Koperasi
Indonesia)
c.Penggerak pelajar mahasiswa di Belanda.
d.Anggota perundingan di Kaliurang,yang dilakukan oleh KTN.
Beliau wafat pada tanggal 14 Maret 1980 dan dimakamkan di Pemakaman
Umum Tanah Kusir Jakarta.
3.Sri Sultan Hamuwengkubono IX
Lahir 13 April 1912 di Jogjakarta. Ia menyatakan Daerah Jogjakarta bersifat
kerajaan sebagai bagian NKRI dan Daerah Istimewa. Keberhasilannya dalam
diplomasi antara lain:
a.Bersama Letkol Suharto mengatur dan menyiapkan serangan umum 1 Maret
1949 dan berhasil menguasai kembali Jogjakarta.
b.Pada tanggal 27 Desember 1949 menandatangani naskah pengakuan
kedaulatan Indonesia dan Belanda di Jakarta.
Pemberontakan PKI 1948
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pemberontakan PKI 1948 atau yang juga disebut Peristiwa Madiun adalah pemberontakan
komunis yang terjadi pada tanggal 18 September 1948 di kota Madiun. Pemberontakan ini
dilakukan oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan partai-partai kiri lainnya yang
tergabung dalam organisasi sesat bernama "Front Demokrasi Rakyat" (FDR).

Daftar isi

1 Latar belakang

2 Pemberontakan

3 Akhir

4 Catatan

5 Referensi

Latar belakang
Pemberontakan ini diawali dengan jatuhnya kabinet RI yang pada waktu itu dipimpin oleh
Amir Sjarifuddin karena kabinetnya tidak mendapat dukungan lagi sejak disepakatinya
Perjanjian Renville. Lalu dibentuklah kabinet baru dengan Mohammad Hatta sebagai perdana
menteri, namun Amir beserta kelompok-kelompok sayap kiri lainnya tidak setuju dengan
pergantian kabinet tersebut.
Dalam sidang Politbiro PKI pada tanggal 13-14 Agustus 1948, Musso, seorang tokoh
komunis Indonesia yang lama tinggal di Unisovyet (sekarang Russia) ini memjelasan tentang
pekerjaan dan kesalahan partai dalam dasar organisasi dan politik dan menawarkan gagasan
yang disebutnya Jalan Baru untuk Republik Indonesia. Musso menghendaki satu partai
kelas buruh dengan memakai nama yang bersejarah, yakni PKI. Untuk itu harus dilakukan
fusi tiga partai yang beraliran Marxsisme-Leninisme: PKI ilegal, Partai Buruh Indonesia
(PBI), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). PKI hasil fusi ini akan memimpin revolusi
proletariat untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang disebut "Komite Front Nasional".
Selanjutnya, Musso menggelar rapat raksasa di Yogya. Di sini dia melontarkan pentingnya
kabinet presidensial diganti jadi kabinet front persatuan. Musso juga menyerukan kerjasama
internasional, terutama dengan Uni Soviet, untuk mematahkan blokade Belanda. Untuk
menyebarkan gagasannya, Musso beserta Amir dan kelompok-kelompok kiri lainnya
berencana untuk menguasai daerah-daerah yang dianggap strategis di Jawa Tengah dan Jawa
Timur, yaitu Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo.
Penguasaan itu dilakukan dengan agitasi, demonstrasi, dan aksi-aksi pengacauan lainnya.[1]
Rencana itu diawali dengan penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh yang dianggap musuh
di kota Surakarta, serta mengadudomba kesatuan-kesatuan TNI setempat, termasuk kesatuan
Siliwangi yang ada di sana.
Mengetahui hal itu, pemerintah langsung memerintahkan kesatuan-kesatuan TNI yang tidak
terlibat adudomba untuk memulihkan keamanan di Surakarta dan sekitarnya. Operasi ini
dipimpin oleh kolonel Gatot Subroto.

Pemberontakan
Sementara perhatian semua pihak pro-pemerintah terkonsentrasi pada pemulihan Surakarta,
pada 18 September 1948, PKI/FDR menuju ke arah timur dan menguasai Kota Madiun, Jawa
Timur, dan pada hari itu juga diproklamasikan berdirinya "Republik Soviet Indonesia". Hari
berikutnya, PKI/FDR mengumumkan pembentukan pemerintahan baru. Selain di Madiun,
PKI juga mengumumkan hal yang sama pula di Pati, Jawa Tengah.[2] Pemberontakan ini
menewaskan Gubernur Jawa Timur RM Suryo, dokter pro-kemerdekaan Moewardi, serta
beberapa petugas polisi dan tokoh agama.

Akhir
Untuk memulihkan keamanan secara menyeluruh di Madiun, pemerintah bertindak cepat.
Provinsi Jawa Timur dijadikan daerah istimewa, selanjutnya Kolonel Sungkono diangkat
sebagai gubernur militer. Operasi penumpasan dimulai pada tanggal 20 September 1948
dipimpin oleh Kolonel A. H. Nasution.[3]
Sementara sebagian besar pasukan TNI di Jawa Timur berkonsentrasi menghadapi Belanda,
namun dengan menggunakan 2 brigade dari cadangan Divisi 3 Siliwangi serta kesatuankesatuan lainnya yang mendukung Republik, semua kekuatan pembetontak akhirnya dapat
dimusnahkan.[4]
Salah satu operasi penumpasan ini adalah pengejaran Musso yang melarikan diri ke
Sumoroto, sebelah barat Ponorogo. Dalam peristiwa itu, Musso berhasil ditembak mati.
Sedangkan Amir Sjarifuddin dan tokoh-tokoh kiri lainnya berhasil ditangkap dan dijatuhi
hukuman mati. Amir sendiri tertangkap di daerah Grobogan, Jawa Tengah. Sedangkan sisasisa pemberontak yang tidak tertangkap melarikan diri ke arah Kediri, Jawa Timur.[5]
Pemberontakan DI/TII di Aceh
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai pada tanggal 20 September 1953. Dimulai dengan
pernyataan Proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia oleh Daud Beureueh, proklamasi
itu menyatakan diri bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) dibawah
kepemimpinan Imam Besar NII Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Daud Beureueh adalah seorang pemimpin sipil, agama, dan militer di Aceh pada masa perang
mempertahankan kemerdekaan Indonesia ketika agresi militer pertama Belanda pada

pertengahan tahun 1947. Sebagai "Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh" ia berkuasa
penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil
maupun militer. Peranannya sebagai seorang tokoh ulama membuat Daud Beureuh tidak sulit
memperoleh pengikut. Dalam persiapan melancarkan gerakan perlawanannya Daud Beureueh
telah berhasil mempengaruhi banyak pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah
Pidie. Pada masa-masa awal setelah proklamasi NII Aceh dan pengikut-pengikutnya berhasil
mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk beberapa kota.
Tidak lama setelah pemberontakan pecah, Pemerintah Republik Indonesia melalui Perdana
Menteri Ali Sastroamidjojo segera memberikan penjelasan secara runut tentang peristiwa
tersebut di depan Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 28 Oktober 1953.

Latar belakang
Alasan pertama yang menjadi latar dari gerakan DI/TII Aceh adalah kekecewaan para tokoh
pimpinan masyarakat di Aceh atas dileburnya provinsi Aceh kedalam provinsi Sumatera
Utara yang beribukota di Medan. Peleburan provinsi itu seakan mengabaikan jasa baik
masyarakat Aceh ketika perjuangan mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia
dimasa revolusi fisik kemerdekaan Indonesia (1945-1950).
Kekhawatiran kembalinya kekuasaan para ulee balang yang sejak lama telah menjadi
pemimpin formal pada lingkup adat dan politik di Aceh[1][2]. Keinginan dari masyarakat Aceh
untuk menetapkan hukum syariah dalam kehidupan mereka.[3]
Sejarawan berkebangsaan Belanda, Cornelis Van Dijk, menyebutkan, kekecewaan Daud
Beureueh terhadap Jakarta semakin berat dengan beredarnya rumor tentang sebuah dokumen
rahasia dari Jakarta. Dokumen itu disebut-sebut dikirim oleh Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo yang isinya berupa perintah pembunuhan terhadap 300 tokoh masyarakat
Aceh. Rumor ini disebut sebagai les hitam. Perintah tersebut dikhabarkan diambil oleh
Jakarta berdasarkan kecurigaan dan laporan bahwa Aceh sedang bersiap buat sebuah
pemberontakan guna memisahkan diri dari negara Indonesia.

Peristiwa G30SPKI

I.

Faktor-faktor terjadinya pemberontakan G30S/PKI

Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, adalah


sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di
awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer Indonesia beserta
beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang
kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia. D.N. Aidit
sebagai ketua PKI yang terpilih pada tahun 1951, dengan cepat mulai
membangun kembali PKI yang porak poranda pada tahun 1948.
Usaha itu berhasil baik, sehingga pemilihan umu tahun 1955 PKI berhasil
menempatkan dirinya menjadi salah satu diantara empat partai besar di
Indonesia. Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan
konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI.
Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para
jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem
"Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan
hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan
Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan
NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan
kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum
buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi
yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi
terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah. Dari tahun 1963,
kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokanbentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer.
Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan
"kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami
slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit
menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian"
kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayapkiri untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka.
kemudian, di tahun yang sama 1964, PKI sudah merasa partai terkuat yang
mulai melakukan persiapakan untuk melancarkan perebutan kekuasaan. Tahun
1964 di bawah pimpinan D.N. Aidit membentuk Biro Khusus Langsung yaitu,
Sjam Kamaruzaman, Pono (Soepono Marsudidjojo), dan Bono Walujo. Biro khusus
ini yang aktif melakukan pematangan situasi bagi perebutan kekuasaan dan
melakukan Inflitrasi ke dalam tubuh ABRI.

Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah
yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi
antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Bentrokan-bentrokan tersebut
dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap
tanah, tidak peduli tanah siapa pun (milik negara=milik bersama). Kemungkinan
besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai
komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Menjelang lahir 1965 Biro khusus PKI terus melancarkan aksinya dengan
melakukan pertemuan pertemuan rahasia yang kesimpulannya akan dilaporkan
kepada D.N.Aidit sebagai pimpinan tertinggi gerakan. Sjam Kamaruzaman
sebagai pimpinan pelaksana, Pono (Soepono Marsudidjojo) sebagai wakil
pimpinan gerakan, dan Bono sebagai pimpinan pelaksanan kegiatan yang di
instruksikan untuk mengadakan persiapan-persiapan menjelang pelaksanaan
kegiatan.
Berikut beberapa faktor terjadinya G 30 S/PKI :
1.

Angkatan kelima
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai
menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa
syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan
waktunya sampai meletusnya G 30 S PKI.
Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran
perdana mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri
sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini
lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI. Dari tahun
1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokanbentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin
PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama"
polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk
Ketentraman Umum Bantu Polisi".
Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI
membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata,
mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa
tentara" subjek karya-karya mereka. Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan
petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI.
Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik
tanah.

Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang


menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun
(milik negara = milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik
di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan
membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan
karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan
memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jenderaljenderal militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet. Jendral-jendral
tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan
dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya
(Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di
dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat
berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi
demokratis "rakyat".
Pengangkatan Jenazah di Lubang Buaya
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan
bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan
yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsurunsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis". Rezim Sukarno
mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di
industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka
adalah milik pemerintahan NASAKOM. Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas
persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan
untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri
dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi
massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang
berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi
pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis
negara.
Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul
PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite
Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan
mereka akan bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan
PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di

bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan
negara sedang diubah untuk mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat
negara.
2.

Isu sakitnya Bung Karno


Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu
sakit parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan
kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio,
Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan
merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut. Tahunya Aidit akan jenis
sakitnya Sukarno membuktikan bahwa hal tersebut sengaja dihembuskan PKI
untuk memicu ketidakpastian di masyarakat.

3.

Isu masalah tanah dan bagi hasil


Tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria)
dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya
merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948.
Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil
berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa
itu.
Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah
tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap
dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian
massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa
yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera
Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai aksi sepihak dan kemudian
digunakan sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya.
Kerusuhan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis
dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di
Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi hal
demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa
mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal ini
membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30

4.

September tersebut).
Faktor Malaysia
Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16
September 1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini. Konfrontasi
Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden
Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan

diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya
menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.

Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para


demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno,
membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul
RahmanPerdana Menteri Malaysia saat itudan memaksanya untuk
menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.

Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang

menginjak-injak lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam


dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang
Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina
Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat
untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal
pada saat itu.
Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang
dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu
tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak
lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan
Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI
untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.
Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka
tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan
menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya
para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di
Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di
Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia
merasa operasinya disabotase dari belakang. Hal ini juga dapat dilihat dari
kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya
sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno
merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan
amarahnya kepada Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya,
mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga diri yang sangat tinggi,
dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya
meng"ganyang Malaysia".

Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak


dengan suara-batin yang menjala-njala, manusia jang mengakui
bahwa ia mentjintai dirinja sendiri tidak mungkin mendjadi
satelit jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak mungkin
menghambakan diri pada dominasi kekuasaan manapun djuga.
Dia tidak mungkin menjadi boneka.
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang
Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga
memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI
untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang
menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin
menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan
Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-BeijingMoskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia
memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan
PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang
melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20
Januari 1965).
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang
baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah
percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia
masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena
itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa
suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi
teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh
nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai
mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang
kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada
Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi
yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan
orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para
jenderal ini.
5.

Faktor Amerika Serikat

Pada waktu itu Amerika Serikat sedang terlibat dalam perang Vietnam dan
berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme.
Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas
memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik dan walkie-talkie
serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan
yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena
mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam
hal ini tidak besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke
Washington pada tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya
untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak memberikan hasil
bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada Presiden Johnson
tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI
yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat
menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan
atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI atau
NU/PNI.
Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini,
menyebutkan bahwa Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit
Supersemar Amerika memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada militer
untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan tersebut tidak memiliki
banyak bukti-bukti fisik.
6.

Faktor Ekonomi
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah
mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka
tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan
semakin memperparah keadaan Indonesia.
Saat itu inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan
melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak,
gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang
berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk
menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang
Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut,
banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-

umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun
mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas
pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash
terhadap PKI dan pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa
Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.

II.

Peristiwa G30 S/PKI


1. Keadaan Politik sebelum terjadinya peristiwa G 30 S/PKI
Adanya ideologi Nasakom oleh pemerintah setelah Dekrit Presiden 5 Juli
1959, membuat paham komunis tumbuh subur. Pengaruh PKI dalam bidang
politik pun semakin luas, khususnya dalam kebijakan pemerintah, baik kebijakan
politik dalam negeri maupun luar negeri. Pengaruh politik PKI pada masa
Demokrasi Terpimpin antara lain sebagai berikut :\
a) Penempatan golongan komunis melalui konsep Nasakom (Nasionalisasi, Agama
dan Komunis)
b) Semua organisasi yang bersifat anti komunis dibubarkan dan dituduh sebagai
anti pemerintah
c) Dalam politik luar negeri, pemerintah membentuk Poros Jakarta PhnomPhenh
Hanoi Beijing Pyongyang. Poros ini dibentuk pada Agustus tahunn 1965
d) Indonesia melaksanakan politik mercusuar, yaitu politik yang hanya mengejar
kemegahan di tengah-tengah pergaulan antarbangsa
e) PKI berusaha menghancurkan lawan-lawan politiknya. Dengan kelicikannya, PKI
berhasil menghasut presiden Soekarno untuk mmbubarkan partai Murba,
f)

Masyumi, dan PSI


Membagi kekuataan politik dunia menjadi Nefo (New Emerging Force) dan
Oldefo (Old Established Forces). Negara-negara yang sedang berkembang yang
anti terhadap imperialisme dan kolonialisme termasuk ke dalam Nefo.
Sedangkan negara-negara imperialis, kolonialis, dan kapitalis termasuk ke dalam

g)

Oldefo
Sejak tanggal 17 September 1963, melakukan konfrontasi dengan Malaysia,
yang disebabkan oleh adanya anggapan bahwa Malaysia adalah negara proyek

neokolonialisme (Nekolim) Inggris yang dapat membahayakan revolusi Indonesia


h) Indonesia keluar dari PBB pada tanggal 7 Januari 1965, hal ini disebabkan
karena dipilihnya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB
2. Keadaan Ekonomi sebelum terjadinya G 30 S/PKI
Pada masa Demokrasi Terpimpin, Indonesia mengalami krisis konomi yang
amat parah. Untuk mengatasi krisis ini, pada tanggal 24 Agustus 1959,
pemerintah melakukan devaluasi uang. Dengan devaluasi itu, uang kertas yang
mempunyai nominal Rp 500,00 tinggal menjadi Rp 50,00 dan uang bernilai Rp

1000,00 dihapuskan. Selain melakukan devaluasi uang, pemerintah juga


melakukan pembekuan semua simpanan yang melebihi Rp 25.000,00. Tetapi,
tindakan pemerintah ini tidak dapat menghentikna kemerosotan ekonomi
Indonesia. Akibat kemerosotan ekonomi yang semakin hari semakin dalam, pada
tanggal 28 Maret 1963 pemerintah mengeluarkan landasan baru bagi perbaikan
ekonomi secara menyeluruh yang disebut dengan Deklarasi Ekonomi atau
Dekon. Konsepsi Dekon ini justru berakibat timbulnya stagnasi (kemandegan)
ekonomi Indonesia.
3. Keadaan Sosial sebelum terjadinya peristiwa G 30 S/PKI
Keadaan sosial sebelum terjadi peristiwa G 30 S/PKI ditandai dengan
munculnya aksi sepihak yang dilancarkan oleh PKI dan pendukungnya. Aksi
sepihak ini terjadi di Bali, Jawa dan Sumatera Utara. Dalam aksi sepihak ini para
petani dan buruh perkebunan yang dibantu oleh para kader PKI dan para
pendukungnya memanfaatkan kondisi ekonomi, sosial, dan politik pada masa
Demokrasi Terpimpin membuat pengaruh PKI menjadi semakin luas.
4. Keadaan Budaya sebelum terjadinya peristiwa G 30 S/PKI
Pada masa Demokrasi Terpimpin, kegiatan-kegiatan seni budaya diatur
oleh pemerintah. Kebudayaan-kebudayaan yang berbau Barat dianggap
kebudayaan Nekolim (Neo Kolonialisme) dan dilarang. Dalam usaha
mempropagandakan tujuannya, PKI membentuk LEKRA (Lembaga Kebudayaan
Rakyat) dengan tokohnya juga mengecam penertiban buku-buku, majalah, dan
film yang dianggap berbau Barat. Alasdannya buku-buku, majalah, dan film yang
berbau Barat tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Untuk
mengimbangi kegiatan PKI di bidang budaya, sekelompok budayawan dan
seniman pada tanggal 17 Agustus 1963 membentuk Manifesto Kebudayaan
(Manikebu) dan Badan Pendukung Surkanoisme (BPS). Tokoh-tokoh Manikebu,
antara lain H.B. Jassin,. Tetapi karena hasutan PKI, Manikebu ini akhirnya dilarang
oleh pemerintah. Manikebu dan PBS ini dituduh dibiayai oleh CIA (Badan
Intelegen Amerika Serikat).
5. Peristiwa G 30 S/PKI dan Cara penanggulangannya
a. Masa prolog (Persiapan) G 30 S/PKI
Beberapa persiapan telah dilakukan oleh PKI sebelum melakukan
pemberontakan. Masa persiapan tersebut terutama mulai dilaksanakan sejak
D.N. Aidit dipilih menjadi pemimpin PKI tahun 1951. Persiapan yang dilakukan
oleh PKI itu antara lain melakukan penyusupan ke partai-partai besar, organisasi
tani, dan badan-badan lain. Serta melakukan aksi fitnah terhadap TNI-AD dengan
melontarkan isi adanya Dewan Jenderal. Isu ini dilontarkan pada bulan Mei 1965

berdasarkan Dokumen Gilchrist yang diungkapkan PKI. Dewan Jenderal oleh PKI
ditafsirkan sebagai badan yang terdiri atas para perwira tinggi Angkatan Darat,
yang bertugas mempersiapkan perebutan kekuasaan. Untuk menandingi Dewan
Jenderal, PKI membentuk Dewan Revolusi yang diketahui oleh Letkol Untung
Sutopo.
b. Pelaksanaan Pemberontakan G 30 S/PKI
Dalam melaksanakan pemberontakannya, PKI melakukan tindakan-tindakan :
1) Pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 01.30, Letkol Inf. Untung
memberikan perintah pelaksanaan gerakan. Sasaran gerakan adalah para
perwira tinggi Angkatan Darat. Kesatuan-kesatuan bersenjata yang bertugas
a)

dibagi menjadi 3 pasukan, yaitu :


Pasukan Pasopati dipimpin oleh Lettu If. Dul Arief dengan tugas menculik tujuh

b)

perwira tinggi Angkatan Darat


Pasukan Bimasakti dipimpin oleh Kapten Suradi yang bertugas menguasai kota

c)

Jakarta
Pasukan Gatotkaca dipimpin oleh Mayor Udara Gatot Sukasno berfungsi sebagai

2)

pasukan cadangan yang berkedudukan di Lubang Buaya


Pada tanggal 1 Oktober 1965, sekitar pukul 03.00 dini hari, PKI menculik dan

a)
b)
c)
d)
e)
f)

membunuh perwira-perwira tinggi Angkatan Darat, mereka adalah :


Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat)
Mayor Jenderal S. Parman (Asisten I Men/Pangad)
Mayor Jenderal R. Suprapto (Deputi II Men/Pangad)
Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Men/Pangad)
Brigadir Jenderal Donald Kacus Panjaitan (Asisten IV Men/Pangad)
Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo (Inspktur Kehakiman/Oditu Jenderal TNI-

g)

AD)
Letnan Satu Piere Andreas Tendean (Ajudan Menjo Hankam/Kepala Staf

h)
3)

Angkatan Bersenjata)
Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun (Pengawal rumah wakil PMII Dr. J Leimena
Menguasai dua buah sarana komunikasi yaitu studio RRI Pusat di Jalan Merdeka

Barat dengan Kantor Telekomunikasi di Jalan Merdeka Selatan


4) Menyiarkan pengumuman lewat RRI pada tanggal 1 Oktober 1965 tentang :
a) Adanya Dewan Jenderal yang akan merebut kekuasaan
b) Dekrit tentang pembentukan Dewan Revolusi di pusat dan di daerah serta
c)

pendemisioneran Kabinet Dwikora


Dua buah keputusan Dewan Revolusi, yaitu :
Susunan Dewan Revolusi yang beranggotakan 45 orang dengan ketuanya

Letnan Kolonel Untung Sutopo


Penghapusan pangkat jenderal. Pangkat tertinggi dalam TNI adalah Letnan
Kolonel
Di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap
Kolonel Katamso (komandan korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel
Sugiyono (kepala staf korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1

Oktober 1965 oleh pemberontak PKI dari Batalion L di Desa Keuntungan. Kedua
perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan
Revolusi.
c.
1)

Penumpasan G 30 S/PKI
Tanggal 1 Oktober 1965
Operasi penumpasan G 30 S/PKI dimulai sejak tanggal 1 Oktober 1965 sore
hari. Gedung RRI pusat dan Kantor Pusat Telekomunikasi dapat direbut kembali
tanpa pertumpahan darah oleh satuan RPKAD di bawah pimpinan Kolonel Sarwo
Edhi Wibowo, pasukan Para Kujang/328 Siliwangi, dan dibantu pasukan kavaleri.
Setelah diketahui bahwa basis G 30 S/PKI berada di sekitar Halim Perdana

Kusuma, sasaran diarahkan ke sana.


2) Tanggal 2 Oktober 1965
Pada tanggal 2 Oktober 1965, Halim Perdana Kusuma diserang oleh satuan
RPKAD di bawah komando Kolonel Sarwo Edhi Wibowo atas perintah Mayjen
Soeharto. Pada pukul 12.00 siang, seluruh tempat itu berhasil dikuasai oleh TNIAD.
3) Tanggal 3 Oktober 1965
Pada hari Minggu tanggal 3 Oktober 1965, pasukan RPKAD yang dipimpin
oleh Mayor C.I Santoso berhasil menguasai daerah Lubang Buaya. Setelah usaha
pencarian perwira TNI-AD dipergiat dan atas petunjuk Kopral Satu Polisi Sukirman
yang menjadi tawanan G 30 S/PKI, tetapi berhasil melarikan diri didapat
keterangan bahwa para perwira TNI-AD tersebut dibawa ke Lubang Buaya.
Karena daerah tersebut diselidiki secara intensif, akhirnya pada tanggal 3
Oktober 1965 ditemukan tempat para perwira yang diculik dan dibunuh tersebut.
Mayat para perwira itu dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang bergaris
tengah

3/4

meter dengan kedalaman kira-kira 12 meter, yang kemudian dikenal

dengan nama Sumur Lubang Buaya.


4) Tanggal 4 Oktober 1965
Pada tanggal 4 Oktober, penggalian Sumur Lubang Buaya dilanjutkan
kembali (karena ditunda pada tanggal 13 Oktober pukul 17.00 WIB hingga
keesokan hari) yang diteruskan oleh pasukan Para Amfibi KKO-AL dengan
disaksikan pemimpin sementara TNI-AD Mayjen Soeharto. Jenazah para perwira
setelah dapat diangkat dari sumur tua tersebut terlihat adanya kerusakan fisik
yang sedemikian rupa. Hal inilah yang menjadi saksi bisu bagi bangsa Indonesia
betapa kejamnya siksaan yang mereka alami sebelum wafat.
5) Tanggal 5 Oktober 1965
Pada tanggal 5 Oktober, jenazah para perwira TNI-AD tersebut
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata yang sebelumnya
disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat.

6) Tanggal 6 Oktober 1965


Pada tanggal 6 Oktober, dengan surat keputusan pemerintah yang diambil
dalam Sidang Kabinet Dwikora, para perwira TNI-AD tersebut ditetapkan sebagai
Pahlawan Revolusi.
III.

Berbagai Pendapat Tentang Dalang G 30S/PKI


Bung Karno pernah berpesan Jas Merah, jangan sekali-sekali melupakan
sejarah. Pesan Bung Karno ini sangatlah penting karena melalui sejarah
seseorang dalam lingkup kecil maupun sebuah bangsa dalam lingkup yang lebih
luas dapat belajar dari kesalahan dan belajar untuk tidak mengulanginya di masa
sekarang dan mendatang. Tetapi bagaimana bila sebuah sejarah yang sangat
penting dan menetukan nasib bangsa macam Gerakan 30 September (G30S)
ternyata di kemudian hari diketahui bahwa ada upaya pembelokan dan
pemelintiran sejarah terhadapnya? Bagaimana bila empat dekade setelahnya
ditemukan fakta-fakta yang dapat menimbulkan berbagai versi sebuah peristwa
sejarah? Maka inilah enam versi dalang Gerakan 30 September tahun 1965 yang
menyebabkan gugurnya 7 perwira ABRI dan menimbulkan genosida yang
menewaskan ribuan orang sipil dengan dalih pembersihan komunis dari
Indonesia.
1. Partai Komunis Indonesia (PKI)
PKI sebagai dalang G30S merupakan versi yang paling populer, paling kuno,
dan paling melekat di ingatan dan hati sanubari seluruh rakyat Indonesia.
Bahkan singkatan resmi untuk gerakan ini adalah G30S/PKI yang diterjemahkan
sebagai Gerakan 30 September oleh PKI. Selama masa Orde Baru setiap malam
tanggal 30 September seluruh rakyat Indonesia diwajibkan menonton film kolosal
tentang G30S/PKI dengan tujuan mengenang para pahlawan revolusi. Setelah
rezim Soeharto tumbang belakangan banyak pendapat yang mengatakan bahwa
film tersebut hanyalah propaganda dalam bentuk seluloid, film kolosal sebagai
doktrinasi yang melanggengkan kekuasaan Soeharto. Banyak juga ahli sejarah
yang mempertanyakan doktrin bahwa PKI sebagai dalang gerakan berdarah ini.
Kalau memang PKI memberontak kenapa 3,5 juta anggotanya-yang menjadikan
PKI partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah Uni Soviet dan RRC-tidak
melawan ketika terjadi pembersihan oleh ABRI? Mengapa partai komunis dengan
jumlah anggota terbanyak diantara negara-negara non-komunis itu sangat
mudah diruntuhkan dalam waktu beberapa hari saja? Bahkan putusan
Mahkamah Militer Luar Biasa saja hanya menyebutkan individu-individu tertentu

yang dijatuhi hukuman mati atau seumur hidup dengan alasan terbukti
melakukan makar. Tidak menyebutkan PKI yang melakukan makar.
2. Sebagian Perwira Angkatan Darat dengan PKI sebagai Pemain Kedua
Penentangan terhadap versi pertama diungkapkan oleh Benedict Anderson
dan Ruth McVey pada tahun 1966. Mereka berdua mengatakan bahwa G30S
berawal dari persoalan intern TNI AD. Dalam teorinya yang kemudian diterbitkan
dan dikenal sebagai Cornell Paper (1971) beberapa perwira TNI AD dari Kodam
IV/Diponegoro kesal melihat para jenderal hidup berfoya-foya di Jakarta. Para
perwira dari Jawa Tengah itu kemudian mengajak Angkatan Udara Republik
Indonesia (AURI) dan PKI dalam menjalankan operasinya. Versi ini agak lemah
karena faktanya Brigjen Supardjo berasal dari Kodam Siliwangi demikian pula
dengan Mayor Udara Sujono, walaupun memang Untung dan Latief dari Kodam
IV/Diponegoro. Maka kemudian versi ini ditengahi oleh Harold Crouch dalam The
Army and Politics (1978) yang menolak Cornell Paper dengan mengatakan
bahwa inisiatif awal gerakan ini timbul dari tubuh TNI AD sedangkan PKI
bertindak sebagai Pemain Kedua dengam mengacu pada keterlibatan Sjam
Kamaruzaman dan Pono-dari Biro Chusus PKI. Tetapi versi ini pun tidak
menjelaskan lebih lanjut tentang mengapa gerakan dirancang dengan buruk dan
mengapa selang waktu pengumuman pertama dan kedua berselang 5 jam,
padahal kunci kudeta adalah pada kecepatan dan ketepatan waktu.
3. Soekarno
Pada tahun 1974 seorang penulis belanda bernama Antonie Dake
meneebitkan pengakuan ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko dalam The
Devious Dalang. Dalam pengakuannya Bambang Widjanarko mengatakan bahwa
pada tanggal 4 Agustus 1965 Presiden Soekarno memanggil Letkol.Untung dan
memerintahkannya mengambil tindakan terhadap jenderal-jenderal yang tidak
loyal. Sebenarnya pengakuan Bambang Widjanarko dapat dikonfrontasi dengan
keterangan Bung Karno tetapi beliau sudah terlanjur wafat. Belakangan diketahui
bahwa pengakuan Bambang Widjanarko hanyalah strategi untuk mencegah
bangkitnya pendukun Soekarno dalam pemilihan umum Juli 1971. Hal ini
diketahui setelah Bambang Widjanarko akhirnya mengakui sendiri bahwa saat itu
ia dipaksa bersaksi demikian. Juga kalau benar bahwa Presiden Soekarno yang
memerintahkan penculikan 7 perwira itu, mengapa malam 1 Oktober 1965
beliau tidak langsung menuju Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma.
4. Soeharto

Versi ini pertama kali diungkapkan oleh W.F.Wertheim dalam artikelnya yang
berjudul Soeharto and the Untung Coup-The Missing Link (1970). Dikatakan
bahwa pada malam 1 Oktober 1965 terjadi pertemuan antara Soeharto dengan
Latief dan Letkol Untung-pimpinan tim penculik ketujuh jenderal. Tetapi banyak
pula ahli sejarah dan politik yang berpendapat bahwa Soeharto bukan tipe orang
jenius yang bisa merancang kudeta secara sistematis. Soeharto hanyalah orang
yang sudah tahu sebelum kejadian nahas itu terjadi-melalui pertemuannya
dengan Untung dan Latief-sehingga ia menjadi orang yang paling siap.
Kesiapannya inilah yang menjadi senjata mematikan untuk menumpas PKI
sekaligus merebut kekuasaan dari Soekarno. (Oleh:Omar Dhani) (Hal.330 ; dalam
(Wirantaprawira, Cyntha. 2005 : Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965
Mencari Keadilan. Lembaga Persahabatan Jerman Indonesia.) )
5. Amerika Melalui Central Intelegence Agency (CIA)
Amerika gatal melihat perkembangan PKI di Indonesia. Sebagai Macan
Asia, berkuasanya komunis di Indonesia bisa menimbulkan efek domino
terhadap negara-negara lain di Asia Tenggara. Jika hal ini terjadi maka berarti
kiamat bagi Amerika. Hal ini sebenarnya telah disinyalir oleh Bung karno yang
dismpaikan dalam pidato Nawaksara (1967) yang menyebut adanya subversi
Nekolim. Versi ini pada intinya menyatakan bahwa Amerika membujuk TNI AD
untuk mengambil kekuasaan dari tangan Soekarno yang pro-komunis dengan
membentuk Dewan Jenderal. Isu mengenai Dewan Jenderal-yang sebenarnya
belum terbentuk karena TNI AD masih menunggu saat yang tepat-ini membuat
PKI khawatir sehingga timbulah tindakan untuk mencegah perebutan kekuasaan
oleh TNI AD dengan cara menculik 7 perwira tinggi AD. Tindakan penculikan
yang kemudian dihembuskan sebagai tindakan pemberontakan inilah yang
kemudian dijadikan dasar tentara-atau Soeharto-untuk membubarkan PKI dan
memburu kader-kadernya sampai habis.
6. Sjam Kamaruzaman sebagai Ketua Biro Chusus Central PKI
Versi yang keenam ini adalah versi yang paling mutakhir. Pertama kali
disampaikan oleh John Roosa dalam bukunya berjudul Dalih Pembunuhan Massal
: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (2008). Dalam bukunya Roosa
mengungkapkan bahwa dalam tubuh PKI sebenarnya tidak ada sistem komando
yang terpusat. Dalam tubuh PKI ada 2 kubu yaitu kubu militer (Letkol Untung,
Latief, dan Sujono) dan Biro Chusus (Sjam, Pono, dengan Aidit sebagai latar
belakang). Memang keberadaan Biro Chusus seperti hantu, tidak terlalu
terekspos dan tidak banyak yang tahu karena memang tujuan pembentukannya

adalah sebagai badan intelejen, organisasi bawah tanah PKI yang bertugas
menyusupi tentara. Badan ini dibentuk oleh Aidit-ketua umum PKI-dan berada
langsung di bawah komando Aidit. Sjam memegang peranan penting karena
bertindak sebagai penghubung antara pihak Untung dengan Aidit. Sayangnya
Sjam tidak benar-benar menjadi penghubung. Banyak laporan di lapangan yang
kemudian tidak disampaikan kepada Aidit tetapi justru ditindaklanjuti sendiri.
Saat upaya rencana penggagalan Dewan Jenderal disampaikan kepada Presiden
Soekarno, beliau menolak tindakan tersebut. Dari sini kubu PKI terpecah menjadi
2. Kubu militer yang dipimpin oleh Letkol Untung ingin mematuhi Bung Karno
tetapi kubu Biro Chusus yang dipegang Sjam ingin melanjutkan rencana.
Perpecahan yang disebabkan arogansi Sjam ini menyebabkan :
Lamanya selang waktu antara pengumuman pertama dengan pengumuman
selanjutnya. Juga menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama dan
kedua sangat drastis. Pagi hari diumumkan bahwa Presiden Soekarno dinyatakan
selamat dari rencana Dewan Jenderal. Tetapi siangnya langsung diumumkan
pembentukan Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet.
Gagalnya gerakan ini karena ada kerancuan yang nyata antara
menyelamtakan presiden dengan cara menculik Dewan Jenderal dengan
percobaan kudeta dengan cara membentuk Dewan Revolusi dan
membubarkan kabinet.

Dalam versi keenam ini terungkap bahwa sebenarnya G30S


lebih tepat dikatakan sebagai aksi-untuk menculik tujuh jenderal
dan dihadapkan pada Presiden, bukan gerakan. Sebab, peristiwa
ini merupakan aksi sekelompok orang di Jakarta dan Jawa Tengah
yang dapat ditumpas dalam waktu singkat. Namun aksi yang
berakibat fatal-dengan terbunuhnya enam jenderal-karena
perencanaan yang buruk dan arogansi Sjam ini dijadikan dasar
oleh Soeharto untuk menumpas PKI sampai ke akar-akarnya.
Semisal Sjam Kamaruzaman melaporkan kondisi sebenarnya
kepada Aidit bahwa kekuatan mereka belum sempurna, kemudian
hanya diputuskan untuk menculik ke tujuh jenderal, lalu
dihadapkan kepada Presiden unutk dimintai pertanggungjawaban
tentang Dewan Jenderal, maka mungkin sejarah akan berkata
lain. Mungkin massa akan turun ke jalan menuntut dipecatnya
ketujuh jenderal kemudian tokoh-tokoh PKI akan diberikan posisi
stratgeis di pemerintahan oleh Presiden Soekarno. Mungkin juga
Soeharto tidak akan berkuasa selama 35 tahun di negeri ini.
Hanya kemungkinan-kemungkinan yang dapat dimunculkan dari
fakta sejarah karena sejarah tidak bisa dikembalikan.
Orde Baru
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Artikel ini bagian dari seri

Sejarah Indonesia

Lihat pula:
Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah

Kerajaan Hindu-Buddha
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358669)
Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Medang (7521006)
Kerajaan Kahuripan (10061045)
Kerajaan Sunda (9321579)
Kediri (10451221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (12221292)
Majapahit (12931500)
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)

Kerajaan Islam
Penyebaran Islam (1200-1600)
Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)
Kesultanan Ternate (1257sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (14001511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (14751548)
Kesultanan Kalinyamat (15271599)
Kesultanan Aceh (14961903)
Kesultanan Banjar (15201860)
Kesultanan Banten (15271813)
Kesultanan Cirebon (1430 - 1666)
Kesultanan Mataram (15881681)

Kesultanan Palembang (1659-1823)


Kesultanan Siak (1723-1945)
Kesultanan Pelalawan (1725-1946)

Kerajaan Kristen
Kerajaan Larantuka (1600-1904)

Kolonialisme bangsa Eropa


Portugis (15121850)
VOC (1602-1800)
Belanda (18001942)

Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (19421945)
Revolusi nasional (19451950)

Indonesia Merdeka
Orde Lama (19501959)
Demokrasi Terpimpin (19591965)
Masa Transisi (19651966)

Orde Baru (19661998)


Era Reformasi (1998sekarang)

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde
Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Lahirnya
Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966.[1] Orde Baru
berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia
berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang
merajalela.

Daftar isi

1 Latar belakang

2 Supersemar dan kebangkitan Soeharto

2.1 Kelahiran Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar)

2.2 Pemberangusan Partai Komunis Indonesia

2.3 Pembentukan Kabinet Ampera

3 Kebijakan ekonomi
o

3.1 Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)

3.2 Swasembada beras

3.3 Pemerataan kesejahteraan penduduk

4 Penataan Kehidupan Politik


o

4.1 Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Organisasi masanya

4.2 Penyederhanaan Partai Politik

4.3 Pemilihan Umum

4.4 Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI

4.5 Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)

5 Penataan Politik Luar Negeri


o

5.1 Kembali menjadi anggota PBB

5.2 Normalisasi Hubungan dengan Negara lain

5.2.1 Pemulihan Hubungan dengan Singapura

5.2.2 Pemulihan Hubungan dengan Malaysia

5.2.3 Pembekuan Hubungan dengan RRT

6 Penataan Kehidupan Ekonomi


o

6.1 Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi

6.2 Kerjasama Luar Negeri

6.3 Pembangunan Nasional

7 Warga Tionghoa

8 Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru

9 Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru

10 Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru

11 Krisis finansial Asia

12 Pasca-Orde Baru

13 Lihat pula

14 Referensi

15 Daftar pustaka

Latar belakang
Meski telah merdeka, Indonesia pada tahun 1950 hingga 1960-an berada dalam kondisi yang
relatif tidak stabil.[2] Bahkan setelah Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia
pada tahun 1949, keadaan politik maupun ekonomi di Indonesia masih labil karena ketatnya
persaingan di antara kelompok-kelompok politik.[2] Keputusan Soekarno untuk mengganti
sistem parlemen dengan Demokrasi Terpimpin memperparah kondisi ini dengan
memperuncing persaingan antara angkatan bersenjata dengan Partai Komunis Indonesia,
yang kala itu berniat mempersenjatai diri.[2] Sebelum sempat terlaksana, peristiwa Gerakan 30
September terjadi dan mengakibatkan diberangusnya Partai Komunis Indonesia dari
Indonesia.[2] Sejak saat itu, kekuasaan Soekarno perlahan-lahan mulai melemah.[3]

Supersemar dan kebangkitan Soeharto


Kelahiran Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar)

Di kemudian hari, Supersemar diketahui memiliki beberapa versi. Gambar ini


merupakan Supersemar versi Presiden.

Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun
1966, yang kemudian menjadi dasar legalitasnya.[1] Orde Baru bertujuan meletakkan kembali
tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.[1]
Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret 1966. Saat
itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno
sedang berlangsung.[4] Di tengah acara, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana
terdapat pasukan yang tidak dikenal.[1] Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,
Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri
(Waperdam) II Dr. Johannes Leimena dan berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh
Waperdam I Dr Subandrio, dan Waperdam II Chaerul Saleh.[4] Leimena sendiri menyusul
presiden segera setelah sidang berakhir.[4]
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir
Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal
Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap
presiden.[4] Segera setelah mendapat izin, di hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke

Istana Bogor dengan tujuan melaporkan kondisi di ibukota Jakarta meyakinkan Presiden
Soekarno bahwa ABRI, khususnya AD, dalam kondisi siap siaga.[4] Namun, mereka juga
memohon agar Presiden Soekarno mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan ini.[4]
Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan
kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil
tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi
keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia.[4] Perumusan surat perintah ini sendiri
dibantu oleh tiga perwira tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir
Jenderal M. Yusuf, Brigadir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Subur,
Komandan Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa.[4] Surat perintah inilah yang kemudian
dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.[4]
Pemberangusan Partai Komunis Indonesia

Letnan Jenderal Soeharto

Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal Soeharto
mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan surat keputusan
yang berisi pembubaran dan larangan bagi Partai Komunis Indonesia serta ormas-ormas yang
bernaung dan berlindung atau senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah
Indonesia.[4] Keputusan ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI
ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966.[5] Keputusan pembubaran
Partai Komunis Indonesia beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan karena
merupakan salah satu realisasi dari Tritura.[5]

Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai
tersangkut dalam Gerakan 30 September dan diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam
Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966.[5] Ia kemudian memperbaharui Kabinet
Dwikora yang disempurnakan dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan
DPRGR, dari orang-orang yang dianggap terlibat Gerakan 30 September.[5] Keanggotaan
Partai Komunis Indonesia dalam MPRS dinyatakan gugur.[5] Peran dan kedudukan MPRS
juga dikembalikan sesuai dengan UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan sebaliknya.[6] Di
DPRGR sendiri, secara total ada 62 orang anggota yang diberhentikan.[5] Soeharto juga
memisahkan jabatan pimpian DPRGR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR
tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri.[5]
Pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli 1955, diadakanlah Sidang Umum IV MPRS dengan hasil
sebagai berikut:

Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan


Supersemar.[7]

Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan LembagaLembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah.[7]

Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Politik Luar


Negeri RI Bebas Aktif.[7]

Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet


Ampera.[7]

Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Tap.


MPRS yang Bertentangan dengan UUD 1945.[7]

Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI dan


Tata Urutan Perundang-undangan di Indonesia. [7]

Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis


Indonesia dan Pernyataan Partai Komunis Indonesia dan Ormas-Ormasnya
sebagai Organisasi Terlarang di Indonesia. [7]

Hasil dari Sidang Umum IV MPRS ini menjadi landasan awal tegaknya Orde Baru dan
dinilai berhasil memenuhi dua dari tiga tuntutan rakyat (tritura), yaitu pembubaran Partai
Komunis Indonesia dan pembersihan kabinet dari unsur-unsur Partai Komunis Indonesia.[7]
Selain dibubarkan dan dibersihkan, kader-kader Partai Komunis Indonesia juga dibantai
khususnya di wilayah pedesaan-pedesaan di pulau Jawa.[8] Pembantaian ini tidak hanya

dilakukan oleh angkatan bersenjata, namun juga oleh rakyat biasa yang dipersenjatai.[8] Selain
kader, ribuan pegawai negeri, ilmuwan, dan seniman yang dianggap terlibat juga ditangkap
dan dikelompokkan berdasarkan tingkat keterlibatannya dengan Partai Komunis Indonesia.[8]
Sebagian diasingkan ke Pulau Buru, sebuah pulau kecil di wilayah Maluku.[9] Pada tanggal 30
September setiap tahunnya, pemerintah menayangkan film yang menggambarkan Partai
Komunis Indonesia sebagai organisasi yang keji.[2]
Pembentukan Kabinet Ampera

Dalam rangka memenuhi tuntutan ketiga Tritura, Soeharto dengan dukungan Ketetapan
MPRS No. XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet baru yang diberi nama Kabinet Ampera.[10]
Tugas utama Kabinet Ampera adalah menciptakan stabilitas ekonomi dan stabilitas politik,
atau dikenal dengan nama Dwidarma Kabinet Ampera.[10] Program kerja yang dicanangkan
Kabinet Ampera disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:[10]
1. memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan
pangan;
2. melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum
dalam Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
3. melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan
nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
4. melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme dalam
segala bentuk dan manifestasinya.

Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun pelaksanaannya dilakukan oleh
Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto.[10] Akibatnya, muncul dualisme
kepemimpinan yang menjadi kondisi kurang menguntungkan bagi stabilitas politik saat itu.[10]
Soekarno kala itu masih memiliki pengaruh politik, namun kekuatannya perlahan-lahan
dilemahkan.[3] Kalangan militer, khususnya yang mendapatkan pendidikan di negara Barat,
keberatan dengan kebijakan pemerintah Soekarno yang dekat dengan Partai Komunis
Indonesia.[3] Mengalirnya bantuan dana dari Uni Soviet dan Tiongkok pun semakin
menambah kekhawatiran bahwa Indonesia bergerak menjadi negara komunis.[3]
Akhirnya pada 22 Februari 1967, untuk mengatasi situasi konflik yang semakin memuncak
kala itu, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto.[10] Penyerahan
ini tertuang dalam Pengumuman Presiden Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI

Tanggal 20 Februari 1967.[10] Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS No.
XV/MPRS/1966 yang menyatakan apabila presiden berhalangan, pemegang Surat Perintah
11 Maret 1966 berfungsi sebagai pemegang jabatan presiden.[10] Pada 4 Maret 1967, Jenderal
Soeharto memberikan keterangan pemerintah di hadapan sidang DPRHR mengenai
terjadinya penyerahan kekuasaan.[10] Namun, pemerintah tetap berpendirian bahwa sidang
MPRS perlu dilaksanakan agar penyerahan kekuasaan tetap konstitusional.[10] Karena itu,
diadakanlah Sidang Istimewa MPRS pada tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta, yang akhirnya
secara resmi mengangkat Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia hingga terpilihnya
presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.[10]

Kebijakan ekonomi
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)

Di awal kekuasaannya, Pemerintah Orde Baru mewarisi kemerosotan ekonomi yang


ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya.[11] Kemerosotan ekonomi ini ditandai oleh
rendahnya pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang hanya mencapai 70 dollar AS,
tingginya inflasi yang mencapai 65%, serta hancurnya sarana-sarana ekonomi akibat konflik
yang terjadi di akhir pemerintahan Soekarno.[11]
Untuk mengatasi kemerosotan ini, pemerintah Orde Baru membuat program jangka pendek
berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi
dan usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan
kebutuhan sandang.[12] Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila
inflasi dapat dikendalikan dan stabilitas tercapai, kegiatan ekonomi akan pulih dan produksi
akan meningkat.[12]
Mulai tahun 1 April 1969, pemerintah menciptakan landasan untuk pembangunan yang
disebut sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).[12] Repelita pertama yang
mulai dilaksanakan tahun 1969 tersebut fokus pada rehabilitasi prasarana penting dan
pengembangan iklim usaha dan investasi.[12] Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas
untuk memenuhi kebutuhan pangan sebelum membangun sektor-sektor lain.[12] Pembangunan
antara lain dilaksanakan dengan membangun prasana pertanian seperti irigasi, perhubungan,
teknologi pertanian, kebutuhan pembiayaan, dan kredit perbankan.[12] Petani juga dibantu
melalui penyediaan sarana penunjang utama seperti pupuk hingga pemasaran hasil produksi.
[12]

Repelita I membawa pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun,
pendapatan perkapita meningkat dari 80 dolar AS menjadi 170 dolar AS, dan inflasi dapat
ditekan menjadi 47,8% pada akhir Repelita I pada tahun 1974.[12] Repelita II (1974-1979) dan
Repelita III (1979-1984) fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional,
dan pemerataan pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan industri yang
mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.[12] Pada tahun 1984, Indonesia berhasil
mencapai status swasembada beras dari yang tadinya merupakan salah satu negara pengimpor
beras terbesar di dunia pada tahun 1970-an.[12] Fokus Repelita IV (1984-1989) dan Repelita V
(1989-1994), selain berusaha mempertahankan kemajuan di sektor pertanian, juga mulai
bergerak menitikberatkan pada sektor industri khususnya industri yang menghasilkan barang
ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan industri
yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri.[13]
Swasembada beras

Sejak awal berkuasa, pemerintah Orde Baru menitikberatkan fokusnya pada pengembangan
sektor pertanian karena menganggap ketahanan pangan adalah prasyarat utama kestabilan
ekonomi dan politik.[14] Sektor ini berkembang pesat setelah pemerintah membangun berbagai
prasarana pertanian seperti irigasi dan perhubungan, teknologi pertanian, hingga penyuluhan
bisnis.[14] Pemerintah juga memberikan kepastian pemasaran hasil produksi melalui lembaga
yang diberi nama Bulog (Badan Urusan Logistik).[14]
Mulai tahun 1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil pertanian meningkat tajam.[14] Pada tahun
1962, misalnya, produksi padi hanya mencapai 17.156 ribu ton.[14] Jumlah ini berhasil
ditingkatkan tiga kali lipat menjadi 47.293 ribu ton pada tahun 1992, yang berarti produksi
beras per jiwa meningkat dari 95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa.[14] Prestasi ini merupakan
sebuah prestasi besar mengingat Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor beras
terbesar di dunia pada tahun 1970-an.[14]
Pemerataan kesejahteraan penduduk

Pemerintah juga berusaha mengiringi pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan


kesejahteraan penduduk melalui program-program penyediaan kebutuhan pangan,
peningkatan gizi, pemerataan pelayanan kesehatan, keluarga berencana, pendidikan dasar,
penyediaan air bersih, dan pembangunan perumahan sederhana.[14] Strategi ini dilaksanakan
secara konsekuen di setiap pelita.[15] Berkat usaha ini, penduduk Indonesia berkurang dari
angka 60% pada tahun 1970-an ke angka 15% pada tahun 1990-an.[15] Pendapatan perkapita

masyarakat juga naik dari yang hanya 70 dolar per tahun pada tahun 1969, meningkat
menjadi 600 dolar per tahun pada tahun 1993.[14]
Pemerataan ekonomi juga diiringi dengan adanya peningkatan usia harapan hidup, dari yang
tadinya 50 tahun pada tahun 1970-an menjadi 61 tahun di 1992.[14] Dalam kurun waktu yang
sama, angka kematian bayi juga menurun dari 142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup
menjadi 63 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup.[14] Jumlah penduduk juga berhasil
dikendalikan melalui program Keluarga Berencana (KB).[14] Selama dasawarsa 1970-an, laju
pertumbuhan penduduk mencapai 2,3% per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka tersebut
dapat diturunkan menjadi 2,0% per tahun.[14]

Penataan Kehidupan Politik


Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Organisasi masanya

Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto


sebagai pengemban Supersemar telah mengeluarkan kebijakan:[butuh rujukan]

Membubarkan Partai Komunis Indonesia pada tanggal 12 Maret 1966 yang


diperkuat dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966

Menyatakan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi terlarang di


Indonesia

Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang


dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965.

Penyederhanaan Partai Politik

Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru
pemerintahan pemerintah melakukan penyederhanaan dan penggabungan (fusi) partai- partai
politik menjadi tiga kekuatan sosial politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak
didasarkan pada kesamaan ideologi, tetapi lebih atas persamaan program. Tiga kekuatan
sosial politik itu adalah:[butuh rujukan]

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU,


Parmusi, PSII, dan PERTI

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI,


Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo

Golongan Karya

Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam


upayamenciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada
masa pemerintahan sebelumnya telah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi
dimasa Orde Lama, karena adanya perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman persepsi
serta pemahaman Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia.
Pemilihan Umum

Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu
tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan
selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memperoleh mayoritas suara dan
memenangkan Pemilu.[butuh rujukan] Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa
pemerintahan Orde Baru, Golkar memperoleh 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR
dan PPP memperoleh 5,43 % dengan perolehan 27 kursi.[butuh rujukan] Sedangkan PDI mengalami
kemorosotan perolehan suara dengan hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal disebabkan
adanya konflik intern di tubuh partai berkepala banteng tersebut. PDI akhirnya pecah menjadi
PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang menjadi PDIP.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru telah
menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan baik.[butuh rujukan]
Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia).
Namun dalam kenyataannya, Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontestan
Pemilu saja yaitu Golkar. Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971
sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah yang perimbangan suara di MPR
dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi
Presiden Republik Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden
dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang,
dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa
catatan.[butuh rujukan]
Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI

Pada masa Orde Baru, ABRI menjadi institusi paling penting di Indonesia. Selain menjadi
angkatan bersenjata, ABRI juga memegang fungsi politik, menjadikannya organisasi politik
terbesar di negara. Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi
ABRI. Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI
adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan

adalah sama. di MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa
melalui Pemilu.[butuh rujukan] Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI
didasarkan pada fungsinya sebagai stabilitator dan dinamisator. Peran dinamisator sebenarnya
telah diperankan ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman
telah melakukannya dengan meneruskan perjuangan, walaupun pemimpin pemerintahan telah
ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika menyelamatkan
bangsa dari perpecahan setelah Gerakan 30 September, yang melahirkankan Orde Baru.
Sistem ini memancing kontroversi di tubuh ABRI sendiri.[16] Banyak perwira, khususnya
mereka yang berusia muda, menganggap bahwa sistem ini mengurangi profesionalitas ABRI.
[16]

Masuknya pendidikan sosial dan politik dalam akademi militer mengakibatkan waktu

mempelajari strategi militer berkurang.[16]


Secara kekuatan, ABRI juga menjadi lemah dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.[16]
Saat itu, hanya ada 533.000 prajurit ABRI, termasuk Polisi yang kala itu masih menjadi
bagian dari ABRI.[16] Angka ini, yang hanya mencakup 0,15 persen dari total populasi, sangat
kecil dibanding Singapura (2,06%), Thailand (0,46%), dan Malaysia (0,68%).[16] Pendanaan
yang didapatkan ABRI pun tak kalah kecil, hanya sekitar 1,96% dari total PDB, sementara
angkatan bersenjata Singapura mendapatkan 5,48% dan Thailand 3,26%.[16] Selain itu,
peralatan dan perlengkapan yang dimiliki juga sedikit; ABRI hanya memiliki 100 tank besar
dan 160 tank ringan.[16]
Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)

Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman
untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan nama Ekaprasatya
Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).[butuh rujukan] Untuk
mendukung pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekuen, maka sejak tahun 1978 pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara
menyeluruh pada semua lapisan masyarakat. Penataran P4 ini bertujuan membentuk
pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila, sehingga dengan adanya pemahaman
yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan persatuan dan
kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut opini rakyat
akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.[butuh rujukan] Sehingga
sejak tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan
berorganisasi. Semua bentuk organisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain Pancasila.

Menolak Pancasila sebagai sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap


kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu bentuk
indoktrinasi ideologi, dan Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya,
dan sistem sosial masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde Baru,
dan oleh karenanya maka semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai
dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi
Pancasila, dan sebagainya. Pancasila dianggap memiliki kesakralan (kesaktian) yang tidak
boleh diperdebatkan.[butuh rujukan]

Penataan Politik Luar Negeri


Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif kembali dipulihkan.
MPR mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia.
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus didasarkan pada kepentingan nasional, seperti
pembangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.[butuh rujukan]
Kembali menjadi anggota PBB

Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan BangsaBangsa (PBB). Keputusan untuk kembali menjadi anggota PBB dikarenakan pemerintah
sadar bahwa banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota pada tahun
1955-1964.[butuh rujukan] Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB disambut baik oleh
negara-negara Asia lainnya bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya
Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Dan
Indonesia juga memulihkan hubungan dengan sejumlah negara seperti India, Thailand,
Australia, dan negara-negara lainnya yang sempat renggang akibat politik konfrontasi Orde
Lama.
Normalisasi Hubungan dengan Negara lain
Pemulihan Hubungan dengan Singapura

Dengan perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman, hubungan Indonesia
dengan Singapura berhasil dipulihkan kembali.[butuh rujukan] Pada tanggal 2 Juni 1966 pemerintah
Indonesia menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura kepada Perdana Menteri
Lee Kuan Yew.[butuh rujukan] Lalu pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban kesediaan
untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Pemulihan Hubungan dengan Malaysia

Penandatanganan persetujuan normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia

Normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan diadakannya perundingan


di Bangkok pada 29 Mei - 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian Bangkok. Isi perjanjian
tersebut adalah:[butuh rujukan]

Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang


telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi
Malaysia.

Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan


diplomatik.

Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.

Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan pemulihan hubungan


Indonesia-Malaysia ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik (Indonesia) dan Tun Abdul
Razak (Malaysia).
Pembekuan Hubungan dengan RRT

Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintah Republik Indonesia membekukan hubungan


diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Keputusan tersebut dilakukan karena
RRT telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan cara memberikan bantuan
kepada Gerakan 30 September baik untuk persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah terjadinya
pemberontakan tersebut.[butuh rujukan] Selain itu pemerintah Indonesia merasa kecewa dengan
tindakan teror yang dilakukan orang-orang Cina terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota
Keduataan Besar Republik Indonesia di Peking. Pemerintah RRT juga telah memberikan
perlindungan kepada tokoh-tokoh Gerakan 30 September di luar negeri, serta secara terangterangan menyokong bangkitnya kembali Partai Komunis Indonesia. Melalui media
massanya RRT telah melakukan kampanye menyerang Orde Baru. Pada 30 Oktober 1967,
Pemerintah Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Besar di Peking.[butuh rujukan]

Penataan Kehidupan Ekonomi


Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi

Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan pemerintah Orde Lama,
pemerintah Orde Baru melakukan langkah-langkah:

Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan.


Kebijakan ini didasari oleh Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966. [butuh rujukan]

MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program


penyelamatan serta program stabilisasi dan rehabilitasi.

Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama


stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti
mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Rehabilitasi ekonomi
adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini
adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi
ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Langkah-langkah yang diambil Kabinet Ampera yang mengacu pada Ketetapan MPRS
tersebut adalah:

Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang


menyebabkan kemacetan. Adapun yang menyebabkan terjadinya
kemacetan ekonomi tersebut adalah:

1. Rendahnya penerimaan negara.


2. Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara.
3. Terlalu banyak dan tidak efisiennya ekspansi kredit bank.
4. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri.
5. Penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada
kebutuhan prasarana.

Debirokrasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian

Berorientasi pada kepentingan produsen kecil

Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut, maka pemerintah Orde Baru


menempuh cara:[butuh rujukan]

Mengadakan operasi pajak

Melaksanakan sistem pemungutan pajak baru, baik bagi pendapatan


perorangan maupun kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan
menghitung pajak orang.

Menghemat pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan rutin),


serta menghapuskan subsidi bagi perusahaan Negara.

Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.

Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membendung laju inflasi. Pemerintah Orde Baru
berhasil membendung laju inflasi pada akhir tahun 1967-1968, tetapi harga bahan kebutuhan
pokok naik melonjak. Sesudah dibentuk Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968,
pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat terhadap gerak
harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu ekonomi
nasional relatif stabil, sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing sejak tahun
1969 dapat dikendalikan pemerintah.[butuh rujukan]
Program rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi.
Selama sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia mengalami
kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana sosial dan ekonomi. Lembaga perkreditan desa,
gerakan koperasi, dan perbankan disalahgunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan
dan kelompok kepentingan tertentu. Dampaknya, lembaga negara tidak dapat melaksanakan
fungsinya sebagai penyusun perbaikan tata kehidupan rakyat.[butuh rujukan]
Kerjasama Luar Negeri

Pertemuan Tokyo

Selain mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde Lama juga
mewariskan utang luar negeri yang sangat besar, yakni mencapai 2,2 - 2,7 miliar, sehingga
pemerintah Orde Baru meminta negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran
kembali utang Indonesia. Pada tanggal 19-20 September 1966 pemerintah Indonesia
mengadakan perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo.[butuh rujukan] Pemerintah
Indonesia akan melakukan usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan
digunakan untuk membayar utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahanbahan baku. Hal ini mendapat tanggapan baik dari negara-negara kreditor. Perundinganpun
dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai kesepakatan sebagai berikut:[butuh rujukan]

1. Pembayaran hutang pokok dilaksanakan selama 30 tahun, dari tahun 1970


sampai dengan 1999.
2. Pembayaran dilaksanakan secara angsuran, dengan angsuran tahunan
yang sama besarnya.
3. Selama waktu pengangsuran tidak dikenakan bunga.
4. Pembayaran hutang dilaksanakan atas dasar prinsip nondiskriminatif, baik
terhadap negara kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.

Pertemuan Amsterdam

Pada tanggal 23-24 Februari 1967 diadakan perundingan di Amsterdam, Belanda yang
bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan
pemberian bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI
(Intergovernmental Group for Indonesia). Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut
untuk memenuhi kebutuhannya guna pelaksanaan program-program stabilisasi dan
rehabilitasi ekonomi serta persiapan-persiapan pembangunan.[butuh rujukan] Di samping
mengusahakan bantuan luar negeri tersebut, pemerintah juga telah berusaha mengadakan
penangguhan serta memperingan syarat-syarat pembayaran kembali (rescheduling) hutanghutang peninggalan Orde Lama.[butuh rujukan] Melalui pertemuan tersebut pemerintah Indonesia
berhasil mengusahakan bantuan luar negeri.
Pembangunan Nasional

Trilogi Pembangunan

Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya
yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional.
Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui
Pembangunan Jangka pendek dan Pembangunan Jangka Panjang.[butuh rujukan] Pambangunan
Jangka Pendek dirancang melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki
misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan
nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi
seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional
dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD
1945 yaitu:[butuh rujukan]

1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia


2. Meningkatkan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial

Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru berpedoman


pada Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut
adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang
stabil. Isi Trilogi Pembangunan adalah :[butuh rujukan]
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Dan Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah:[butuh rujukan]
1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan,
sandang dan perumahan.
2. Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan
kesehatan
3. Pemerataan pembagian pendapatan.
4. Pemerataan kesempatan kerja
5. Pemerataan kesempatan berusaha
6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya
bagi generasi muda dan kaum wanita.
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air
8. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

Pelaksanaan Pembangunan Nasional

Seperti telah disebutkan di muka bahwa Pembangunan nasional direalisasikan melalui


Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan Jangka

Pendek dirancang melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Selama masa Orde
Baru, pemerintah telah melaksanakan enam Pelita yaitu:[butuh rujukan]

Pelita I

Pelita I dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi landasan awal
pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan
sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya adalah
pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan
kesejahteraan rohani. Titik beratnya adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan
tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang
pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.[butuh rujukan]

Pelita II

Pelita II mulai berjalan sejak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran utama
Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana prasarana,
mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II dipandang
cukup berhasil. Pada awal pemerintahan Orde Baru inflasi mencapai 60% dan pada akhir
Pelita I inflasi berhasil ditekan menjadi 47%. Dan pada tahun keempat Pelita II inflasi turun
menjadi 9,5%.[butuh rujukan]

Pelita III

Pelita III dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984.[butuh rujukan]
Pelaksanaan Pelita III masih berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat
pembangunan adalah pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.

Pelita IV

Pelita IV dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat Pelita IV ini
adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri yang

dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di tengah berlangsung pembangunan pada
Pelita IV ini yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi.[butuh rujukan] Untuk mempertahankan
kelangsungan pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan
fiskal. Dan pembangunan nasional dapat berlangsung terus.

Pelita V

Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan
ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi ekonomi Indonesia
berada pada posisi yang baik, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8% per tahun.[butuh rujukan]
Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan.
Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.

Pelita VI

Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada Pelita VI
ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian, serta
peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi
dipandang sebagai penggerak pembangunan.[butuh rujukan] Namun pada periode ini terjadi krisis
moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis
moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian telah
menyebabkan proses pembangunan terhambat, dan juga menyebabkan runtuhnya
pemerintahan Orde Baru.

Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan
dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga
pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian
barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin
dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama
dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan
berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa
Mandarin.[butuh rujukan] Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung

Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak
menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia
yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh
militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia
bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu
kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai
kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan
pengaruh komunisme di Tanah Air.[butuh rujukan] Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan
dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang
diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[butuh rujukan].
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk
menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.[butuh rujukan]

Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru


Pada masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap
hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan
bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi
dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke
Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya.[butuh rujukan] Namun dampak negatif yang
tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk
setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan
pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang
sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk
konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[17] Sementara itu gejolak di Papua
yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan
sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.

Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru

Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya
AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565 [butuh rujukan]

Sukses transmigrasi

Sukses KB

Sukses memerangi buta huruf

Sukses swasembada pangan

Pengangguran minimum

Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)

Sukses Gerakan Wajib Belajar

Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh

Sukses keamanan dalam negeri

Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia

Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam


negeri[butuh rujukan]

Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru


[butuh rujukan]

1. Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme


2. Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan
pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena
kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
3. Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan
pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
4. Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang
memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun
pertamanya
5. Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak
merata bagi si kaya dan si miskin)
6. Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat
Tionghoa)

7. Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan


8. Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah
yang dibredel
9. Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan
program "Penembakan Misterius"
10.Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden
selanjutnya)
11.Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal
Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa
birokrasi yang efektif negara pasti hancur. [butuh rujukan]
12.Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik
sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
13.Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan
negara dipegang oleh swasta
14.Dan lain sebagainya

Krisis finansial Asia


Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih
jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga
minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh.[butuh rujukan] Rupiah jatuh, inflasi
meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya
dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan
massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR
melantiknya untuk masa bakti ketujuh.[butuh rujukan] Soeharto kemudian memilih sang Wakil
Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.

Pasca-Orde Baru
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda
akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".[butuh rujukan] Masih adanya
tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini
sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh
karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru
ke Era Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan

Yugoslavia.[butuh rujukan] Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan pondasi
baru yang terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman.
LAHIRNYA ERA REFORMASI

A. Berakhirnya Pemerintahan Orde Baru


Di balik kesuksesan pembangunan di depan, Orde Baru menyimpan beberapa
kelemahan. Selama masa pemerintahan Soeharto, praktik korupsi, kolusi,
nepotisme (KKN) tumbuh subur. Praktik korupsi menggurita hingga kasus
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada tahun 1998. Rasa ketidakadilan
mencuat ketika kroni-kroni Soeharto yang diduga bermasalah menduduki jabatan
menteri Kabinet Pembangunan VII. Kasus-kasus korupsi tidak pernah mendapat
penyelesaian hukum secara adil.
Pembangunan Indonesia berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sehingga
menyebabkan ketidakadilan dan kesenjangan sosial. Bahkan, antara pusat dan
daerah terjadi kesenjangan pembangunan karena sebagian besar kekayaan
daerah disedot ke pusat. Akhirnya, muncul rasa tidak puas di berbagai daerah,
seperti di Aceh dan Papua. Di luar Jawa terjadi kecemburuan sosial antara
penduduk lokal dengan pendatang (transmigran) yang memperoleh tunjangan
pemerintah. Penghasilan yang tidak merata semakin memperparah kesenjangan
sosial.
Pemerintah mengedepankan pendekatan keamanan dalam bidang sosial dan
politik. Pemerintah melarang kritik dan demonstrasi. Oposisi diharamkan rezim
Orde Baru. Kebebasan pers dibatasi dan diwarnai pemberedelan Koran maupun
majalah. Untuk menjaga keamanan atau mengatasi kelompok separatis,
pemerintah memakai kekerasan bersenjata. Misalnya, program Penembakan
Misterius (Petrus) atau Daerah Operasi Militer (DOM). Kelemahan tersebut
mencapai puncak pada tahun1997-1998.
Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997. Krisis moneter dan
keuangan yang semula terjadi di Thailand pada bulan Juli 1997 merembet ke
Indonesia. Hal ini diperburuk dengan kemarau terburuk dalam lima puluh tahun
terakhir. Dari beberapa negara Asia, Indonesia mengalami krisis paling parah.
Solusi yang disarankan IMF justru memperparah krisis. IMF memerintahkan
penutupan enam belas bank swasta nasional pada 1 November 1997. Hal ini
memicu kebangkrutan bank dan negara.
Krisis ekonomi mengakibatkan rakyat menderita. Pengangguran melimpah dan
harga kebutuhan pokok melambung. Pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di

berbagai daerah. Daya beli masyarakat menurun. Bahkan, hingga bulan Maret
1998 rupiah menembus angka Rp 16.000,00 per dolar AS. Masyarakat
menukarkan rupiah dengan dolar. Pemerintah mengeluarkan Gerakan Cinta
Rupiah, tetapi tidak mampu memperbaiki keadaan. Krisis moneter tersebut
telah berkembang menjadi krisis multidimensi. Krisis ini ditandai adanya
keterpurukan di segala bidang kehidupan bangsa. Kepercayaan masyarakat
kepada pemerintah semakin menurun. Pemerintah kurang peka dalam
menyelesaikan krisis dan kesulitan hidup rakyat. Kabinet Pembangunan VII yang
disusun Soeharto ternyata sebagian besar diisi oleh kroni dan tidak berdasarkan
keahliannya.

B. Faktor Penyebab Munculnya Reformasi


Banyak faktor yang mendorong timbulnya Reformasi pada masa pemerintahan
orba, terutama ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan hukum.
Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Suharto selama 32 tahun,
ternyata tidak konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan cita-cita Orde
Baru. Pada awal kelahirannya tahun 1966, Orde Baru bertekad untuk menata
kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Namun dalam pelaksanaannya, pemerintahan Orde Baru banyak
melakukan penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan
yang tertuang dalam UUD 1945 yang sangat merugikan rakyat kecil. Bahkan,
Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk mempertahankan
kekuasaan. Penyimpangan-penyimpangan itu melahirkan krisis multidimensional
yang menjadi penyebab umum lahirnya gerakan reformasi, yaitu:
a. Krisis Politik
Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari berbagai
kebijakan politik pemerintahan Orde Baru. Berbagai kebijakan politik yang
dikeluarkan pemerintahan Orde Baru selalu dengan alasan dalam kerangka
pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang sebenarnya terjadi adalah dalam
rangka mempertahankan kekuasaan Presiden Suharto dan kroni-kroninya.
Artinya, demokrasi yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi
yang semestinya, melainkan demokrasi rekayasa. Dengan demikian, yang terjadi
bukan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk rakyat, melainkan demokrasi
yang berarti dari, oleh, dan untuk penguasa. Pada masa Orde Baru, kehidupan
politik sangat represif, yaitu adanya tekanan yang kuat dari pemerintah terhadap

pihak oposisi atau orang-orang yang berpikir kritis. Ciri-ciri kehidupan politik
yang represif, di antaranya:
1. Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah dituduh
sebagai tindakan
subversif (menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia).
2. Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi semu atau
demokrasi rekayasa.
3. Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela dan
masyarakat tidak memiliki
kebebasan untuk mengontrolnya.
4. Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap warga negara
(sipil) untuk ikut
berpartisipasi dalam pemerintahan.
5. Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun Suharto
dipilih menjadi presiden
melalui Sidang Umum MPR, tetapi pemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan
tidak demokratis.
b. Krisis Hukum
Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan Orde Baru tidak terbatas
pada bidang politik. Dalam bidang hukumpun, pemerintah melakukan intervensi.
Artinya, kekuasaan peradilan harus dilaksanakan untuk melayani kepentingan
para penguasa dan bukan untuk melayani masyarakat dengan penuh keadilan.
Bahkan, hukum sering dijadikan alat pembenaran para penguasa. Kenyataan itu
bertentangan dengan ketentuan pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan
bahwakehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari
kekuasaan pemerintah(eksekutif).
c. Krisis Ekonomi
Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak Juli 1996
mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ternyata, ekonomi
Indonesia tidak mampu menghadapi krisis global yang melanda dunia. Krisis
ekonomi Indonesia diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997, nilai tukar rupiah turun dari
Rp 2,575.00 menjadi Rp 2,603.00 per dollar Amerika Serikat. Pada bulan
Desember 1997, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat turun menjadi

Rp 5,000.00 per dollar. Bahkan, pada bulan Maret 1998, nilai tukar rupiah terus
melemah dan mencapai titik terendah, yaitu Rp 16,000.00 per dollar Krisis
ekonomi yang melanda Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi,
seperti Hutang luar negeri Indonesia yang sangat besar menjadi penyebab
terjadinya krisis ekonomi. Meskipun, hutang itu bukan sepenuhnya hutang
negara, tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap upaya-upaya untuk
mengatasi krisis ekonomi.
d. Krisis Sosial
Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis
sosial. Pelaksanaan politik yang represif dan tidak demokratis menyebabkan
terjadinya konflik politik maupun konflik antar etnis dan agama. Semua itu
berakhir pada meletusnya berbagai kerusuhan di beberapa daerah. Ketimpangan
perekonomian Indonesia memberikan sumbangan terbesar terhadap krisis sosial.
Pengangguran, persediaan sembako yang terbatas, tingginya harga-harga
sembako, rendahnya daya beli masyarakat merupakan faktor-faktor yang rentan
terhadap krisis sosial.
e. Krisis Kepercayaan
Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi
kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Suharto.
Ketidakmampuan pemerintah dalam membangun kehidupan politik yang
demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem peradilan, dan
pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak telah
melahirkan krisis kepercayaan.

C. Munculnya Gerakan Reformasi


Reformasi adalah suatu perubahan tatanan perikehidupan lama dengan
tatanan perikehidupan yang baru dan secara hukum menuju ke arah perbaikan.
Gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia pada ttahun 1998 merupakan suatu
gerakan untuk mengadakan pembaharuan dan perubahan terutama perbaikan
dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan hukum.
Masalah yang sangat mendesak adalah upaya untuk mengatasi kesulitan
masyarakat banyak tentang masalah kebutuhan pokok (sembako) dengan harga
yang terjangkau oleh rakyat. Pada waktu itu, harga sembako rakyat sempat
melejit tinggi, bahkan warga masyarakat harus antri untuk membelinya.

Sementara itu, melihat situasi politik dan kondisi ekonomi Indonesia yang
semakin tidak terkendali, rakyat Indonesia menjadi semakin krisis dan
menyatakan bahwa pemerintahan orde baru tidak terkendali menciptakan
kehidupan masyarakat yang makmur, adil, dan sejahtera berdasarkan pancasila
dan UUD 1945.
Oleh karena itu, muncul gerakan reformasi yang bertujuan untuk
memperbaharui tatanan kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Beberapa agenda reformasi yang disuarakan para mahasiswa antara lain sebagai
berikut.
1. Adili Soeharto dan kroni-kroninya.
2. Amandemen UUD 1945.
3. Penghapusan Dwi fungsi ABRI.
4. Otonomi daerah yang seluas-luasnya.
5. Supremasi hukum.
6. Pemerintahan yang bersih dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).

D. Kronologi Reformasi
Pada awal bulan Maret 1998 melalui sidang umum MPR, soeharto kembali
menjadi Presiden Republik Indonesia, serta melaksanakan pelantikan kabinet
pembangunan VII. Namun kondisi bangsa dan negara pada saat itu semakin
tidak kunjung membaik. Perekonomian mengalami kemerosotan dan masalah
sosial semakin menumpuk. Kondisi dan situasi seperti ini mengundang
keprihatinan rakyat.
Memasuki bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai
bergerak menggelar demokrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut turunnya
harga sembako, penghapusan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan turunnya
Soeharto dari kursi kepresidenananya. Semakin bertambah banyak aksi para
mahasiswa tersebut menyebabkan para aparat keamanan tampak kewalahan
dan akhirnya mereka harus bertindak tegas. Bentrokan antara mahasiswa yang
menuntut reformasi dengan aparat keamanan tidak dapat dihindarkan.
Pada tanggal 12 Mei 1998 dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas
Trisakti, terjadi bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan
tertembaknya empat mahasiswa hingga tewas, serta puluhan mahasiswa lainnya
mengalami luka luka. Kematian empat mahasiswa tersebut mengobarkan
semangat para mahasiswa untuk menggelar demonstrasi secara besar
besaran.

Pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998, di Jakarta dan sekitarnya terjadi kerusuhan
massal dan penjarahan yang mengakibatkan lumpuhnya kegiatan masyarakat.
Dalam kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998 tersebut, sejumlah pertokoan menjadi
sasaran amuk massa, bahkan sampai kepada tingkat pembakaran toko-toko
yang menelan korban jiwa. Dalam peristiwa tersebut puluhan toko hancur
dibakar massa dan isinya dijarah massa serta ratusan orang mati terbakar.
Pada tanggal 17 Mei 1998 di hotel wisata, Jakarta, Nurcholish Madjid dalam
jumpa pers menggulirkan ide untuk mempercepat pemilu (paling lambat tahun
2000). Menteri Sekertaris Negara pada saat itu Saadillah Mursjid tertarik dengan
ide itu.
Pada tanggal 18 Mei 1998 pukul 15.00 WIB Saadillah mengundang Nurcholish
Madjid ke kantor Sekertaris negara untuk menjelaskan gagasannya. Pukul 15.30
WIB Harmoko sebagai ketua MPR/DPR mengumumkan hasil rapat pimpinan DPR
yang meminta agar Presiden Soeharto secara arif dan bijaksana sebaiknya
mengundurkan diri. Namun, pada pukul 20.00 pernyataan ini dianulir oleh
Jenderal Wiranto. Ia menyatakan bahwa sikap dan pendapat Harmoko adalah
sebagai pendapat individual meskipun disampaikan secara kolektif. Pada pukul
20.30 Nurcholish Madjid bertemu dengan Presiden Soeharto, ia mengatakan
bahwa rakyat menghendaki Presiden Soeharto untuk turun dari kursi
kepresidenannya. Presiden Soeharto menanggapi dengan menyatakan bersedia
untuk mundur dan meminnta bertemu dengan tokoh dari berbagai kalangan.
Pada tanggal 19 Mei 1998 puluhan ribu mahasiswa dari berbagai perguruan
tinggi di Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki Gedung DPR/MPR. Pada
tanggal itu pula di Yogyakatra terjadi peristiwa bersejarah. Kurang lebih sejuta
umat manusia berkumpul di alun-alun utara kraton Yogyakarta menghadiri
pisowanan ageng untuk mendengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku
Buwono X dan Sri Paku Alam VII. Inti dari isi maklumat itu adalah menganjurkan
kepada seluruh masyarakat untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada tanggal 20 mei 1998, Presiden Soeharto mengundang tokoh tokoh
bangsa Indonesia untuk dimintai pertimbangannya dalam rangka membentuk
Dewan Reformasi yang akan diketuain oleh Presiden Soeharto, namun
mengalami kegagalan. Pada tanggal itu pula gedung DPR/MPR semakin penuh
sesak oleh para mahasiswa dengan tuntutan tetap yaitu reformasi dan turunnya
Soeharto dari kursi kepresidenan.
Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 WIB bertempat di Istana Negara
Presiden Soeharto meletakkan jabatannya sebagai Presiden di hadapan ketua
dan beberapa anggota dari mahkamah agung. Pada tanggal itu pula, dan
berdasarkan pasal 8 UUD 1945, Presiden menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie
untuk menggantikannya menjadi presiden, serta pelantikannya dilakukan

didepan Ketua Mahkamah Agung dan para anggotanya. Maka sejak saat itu,
presiden RI dijabat oleh B.J. Habibie sebagai presiden yang ke 3
Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden RI B.J Habibie membentuk kabinet baru
yang dinamakan kabinet reformasi pembangunan. Pada tanggal ini pula Letjen
Prabowo Subianto dicopot dari jabatan Panglima Kostrad. Di Gedung DPR/MPR,
bentrokan hampir terjadi antara pendukung Habibie yang memakai simbolsimbol dan atribut keagamaan dengan mahasiswa yang masih bertahan di
Gedung DPR/MPR. Mahasiswa menganggap bahwa Habibie masih tetap bagian
dari Rezim Orde Baru. Tentara mengevakuasi mahasiswa dari Gedung DPR/MPR
ke Universitas Atma Jaya.
Pada tanggal 10 November 1998, diprakarsai oleh para mahasiswa yang
tergabung dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ), ITB
Bandung, Universitas Siliwangi, dan empat tokoh reformasi yaitu Abdurrahman
Wahid, Amien Rais, Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Megawati Soekarnoputri
mengadakan dialog nasional di rumah kediaman Abdurrahman Wahid, Ciganjur,
Jakarta Selatan. Dialog itu menghasilkan 8 butir kesepakatan, yaitu sebagai
berikut:
1. Mengupayakan terciptanya persatuan dan kesatuan nasional.
2. Menegakkan kembali kedaulatan rakyat.
3. Melaksanakan desentralisasi pemerintahan sesuai dengan otonomi daerah.
4. Melaksanakan pemilu yang luber dan jurdil guna mengakhiri masa
pemerintahan transisi.
5. Penghapusan Dwifungsi ABRI secara bertahap
6. Mengusut pelaku KKN dengan diawali pengusutan KKN yang dilakukan oleh
Soeharto dan kroninya.
7. Mendesak seluruh anggota Pam Swakarsa untuk membubarkan diri.

You might also like