Professional Documents
Culture Documents
Jepang berhasil menduduki korea dan cina. Negara raksasa cina didudukinya pada tahun
1937.
Ketika Jepang menduduki indocina, pada juli 1941 AS tidak menyetujui tindakan tersebut.
Tindakan protes AS dilakukan dengan menghentikan penjualan karet, baja lemepngan,
minyak bumi dan lain-lain yang sangat dibutuhkan jepang. Jepang memutuskan untuk
menyerang daerah-daerah koloni eropa di Asia Tenggara tujuannya untuk memperoleh
barang-barang kebutuhan perang.
Dengan itu Jepang yakin bahwa serangan tersebut menimbulkan perang dengan as. Jepang
mendahului serangan terhadap pearl habour, hawaii. Pada 7-12-1941. setelah menghancurkan
pearl harbour, Jepang meneruskan serangan ke filifina pada 10 Desember 1941 dan berhasil
menduduki luzon dan batoon, lalu pada tanggal 16 Desember berhasil menduduki burma.
Akhirnya pada 11 januari Jepang mendarat di Indonesia yaitu dirasakan kalimantan timur dan
berhasil menduduki pulau kalimantan. Dari kalimantan Jepang meneruskan serangannya ke
jawa sebagai pusat bertahan belanda, dan mulai menduduki daerah-daerah lainnya.
KESIMPULAN
Pendudukan Jepang di Indonesia dengan berlangsungnya perang Dunia kedua di kawasan
Asia Pasifik, (1941-1945) Jepang berambisi untuk menguasai negara-negara Asia dan
merebutnya dari negara-negara imperalis barat. Tujuannya selain untuk kepentingan
supremasi (keunggulan dan kekuasaan) Jepang juga menjadikan daerah-daerah di asia
sebagai tempat menanamkan modal, serta memasarkan hasil industrinya. Sejak awal abad 20
Jepang telah menjadi negara industri dan mulai melaksanakan imperialisme modern saat itu
Jepang berhasil menduduki korea dan cina. Negara raksasa cina didudukinya pada tahun
1937.
Ketika Jepang menduduki indocina, pada juli 1941 AS tidak menyetujui tindakan tersebut.
Tindakan protes AS dilakukan dengan menghentikan penjualan karet, baja lemepngan,
minyak bumi dan lain-lain yang sangat dibutuhkan jepang. Jepang memutuskan untuk
menyerang daerah-daerah koloni eropa di Asia Tenggara tujuannya untuk memperoleh
barang-barang kebutuhan perang.
Dengan itu Jepang yakin bahwa serangan tersebut menimbulkan perang dengan as. Jepang
mendahului serangan terhadap pearl habour, hawaii. Pada 7-12-1941. setelah menghancurkan
pearl harbour, Jepang meneruskan serangan ke filifina pada 10 Desember 1941 dan berhasil
menduduki luzon dan batoon, lalu pada tanggal 16 Desember berhasil menduduki burma.
Akhirnya pada 11 januari Jepang mendarat di Indonesia yaitu dirasakan kalimantan timur dan
Pemberontakan PKI 1948 atau yang juga disebut Peristiwa Madiun adalah pemberontakan
komunis yang terjadi pada tanggal 18 September 1948 di kota Madiun. Pemberontakan ini
dilakukan oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan partai-partai kiri lainnya yang
tergabung dalam organisasi sesat bernama "Front Demokrasi Rakyat" (FDR).
Daftar isi
1 Latar belakang
2 Pemberontakan
3 Akhir
4 Catatan
5 Referensi
Latar belakang
Pemberontakan ini diawali dengan jatuhnya kabinet RI yang pada waktu itu dipimpin oleh
Amir Sjarifuddin karena kabinetnya tidak mendapat dukungan lagi sejak disepakatinya
Perjanjian Renville. Lalu dibentuklah kabinet baru dengan Mohammad Hatta sebagai perdana
menteri, namun Amir beserta kelompok-kelompok sayap kiri lainnya tidak setuju dengan
pergantian kabinet tersebut.
Dalam sidang Politbiro PKI pada tanggal 13-14 Agustus 1948, Musso, seorang tokoh
komunis Indonesia yang lama tinggal di Unisovyet (sekarang Russia) ini memjelasan tentang
pekerjaan dan kesalahan partai dalam dasar organisasi dan politik dan menawarkan gagasan
yang disebutnya Jalan Baru untuk Republik Indonesia. Musso menghendaki satu partai
kelas buruh dengan memakai nama yang bersejarah, yakni PKI. Untuk itu harus dilakukan
fusi tiga partai yang beraliran Marxsisme-Leninisme: PKI ilegal, Partai Buruh Indonesia
(PBI), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). PKI hasil fusi ini akan memimpin revolusi
proletariat untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang disebut "Komite Front Nasional".
Selanjutnya, Musso menggelar rapat raksasa di Yogya. Di sini dia melontarkan pentingnya
kabinet presidensial diganti jadi kabinet front persatuan. Musso juga menyerukan kerjasama
internasional, terutama dengan Uni Soviet, untuk mematahkan blokade Belanda. Untuk
menyebarkan gagasannya, Musso beserta Amir dan kelompok-kelompok kiri lainnya
berencana untuk menguasai daerah-daerah yang dianggap strategis di Jawa Tengah dan Jawa
Timur, yaitu Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo.
Penguasaan itu dilakukan dengan agitasi, demonstrasi, dan aksi-aksi pengacauan lainnya.[1]
Rencana itu diawali dengan penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh yang dianggap musuh
di kota Surakarta, serta mengadudomba kesatuan-kesatuan TNI setempat, termasuk kesatuan
Siliwangi yang ada di sana.
Mengetahui hal itu, pemerintah langsung memerintahkan kesatuan-kesatuan TNI yang tidak
terlibat adudomba untuk memulihkan keamanan di Surakarta dan sekitarnya. Operasi ini
dipimpin oleh kolonel Gatot Subroto.
Pemberontakan
Sementara perhatian semua pihak pro-pemerintah terkonsentrasi pada pemulihan Surakarta,
pada 18 September 1948, PKI/FDR menuju ke arah timur dan menguasai Kota Madiun, Jawa
Timur, dan pada hari itu juga diproklamasikan berdirinya "Republik Soviet Indonesia". Hari
berikutnya, PKI/FDR mengumumkan pembentukan pemerintahan baru. Selain di Madiun,
PKI juga mengumumkan hal yang sama pula di Pati, Jawa Tengah.[2] Pemberontakan ini
menewaskan Gubernur Jawa Timur RM Suryo, dokter pro-kemerdekaan Moewardi, serta
beberapa petugas polisi dan tokoh agama.
Akhir
Untuk memulihkan keamanan secara menyeluruh di Madiun, pemerintah bertindak cepat.
Provinsi Jawa Timur dijadikan daerah istimewa, selanjutnya Kolonel Sungkono diangkat
sebagai gubernur militer. Operasi penumpasan dimulai pada tanggal 20 September 1948
dipimpin oleh Kolonel A. H. Nasution.[3]
Sementara sebagian besar pasukan TNI di Jawa Timur berkonsentrasi menghadapi Belanda,
namun dengan menggunakan 2 brigade dari cadangan Divisi 3 Siliwangi serta kesatuankesatuan lainnya yang mendukung Republik, semua kekuatan pembetontak akhirnya dapat
dimusnahkan.[4]
Salah satu operasi penumpasan ini adalah pengejaran Musso yang melarikan diri ke
Sumoroto, sebelah barat Ponorogo. Dalam peristiwa itu, Musso berhasil ditembak mati.
Sedangkan Amir Sjarifuddin dan tokoh-tokoh kiri lainnya berhasil ditangkap dan dijatuhi
hukuman mati. Amir sendiri tertangkap di daerah Grobogan, Jawa Tengah. Sedangkan sisasisa pemberontak yang tidak tertangkap melarikan diri ke arah Kediri, Jawa Timur.[5]
Pemberontakan DI/TII di Aceh
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai pada tanggal 20 September 1953. Dimulai dengan
pernyataan Proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia oleh Daud Beureueh, proklamasi
itu menyatakan diri bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) dibawah
kepemimpinan Imam Besar NII Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Daud Beureueh adalah seorang pemimpin sipil, agama, dan militer di Aceh pada masa perang
mempertahankan kemerdekaan Indonesia ketika agresi militer pertama Belanda pada
pertengahan tahun 1947. Sebagai "Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh" ia berkuasa
penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil
maupun militer. Peranannya sebagai seorang tokoh ulama membuat Daud Beureuh tidak sulit
memperoleh pengikut. Dalam persiapan melancarkan gerakan perlawanannya Daud Beureueh
telah berhasil mempengaruhi banyak pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah
Pidie. Pada masa-masa awal setelah proklamasi NII Aceh dan pengikut-pengikutnya berhasil
mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk beberapa kota.
Tidak lama setelah pemberontakan pecah, Pemerintah Republik Indonesia melalui Perdana
Menteri Ali Sastroamidjojo segera memberikan penjelasan secara runut tentang peristiwa
tersebut di depan Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 28 Oktober 1953.
Latar belakang
Alasan pertama yang menjadi latar dari gerakan DI/TII Aceh adalah kekecewaan para tokoh
pimpinan masyarakat di Aceh atas dileburnya provinsi Aceh kedalam provinsi Sumatera
Utara yang beribukota di Medan. Peleburan provinsi itu seakan mengabaikan jasa baik
masyarakat Aceh ketika perjuangan mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia
dimasa revolusi fisik kemerdekaan Indonesia (1945-1950).
Kekhawatiran kembalinya kekuasaan para ulee balang yang sejak lama telah menjadi
pemimpin formal pada lingkup adat dan politik di Aceh[1][2]. Keinginan dari masyarakat Aceh
untuk menetapkan hukum syariah dalam kehidupan mereka.[3]
Sejarawan berkebangsaan Belanda, Cornelis Van Dijk, menyebutkan, kekecewaan Daud
Beureueh terhadap Jakarta semakin berat dengan beredarnya rumor tentang sebuah dokumen
rahasia dari Jakarta. Dokumen itu disebut-sebut dikirim oleh Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo yang isinya berupa perintah pembunuhan terhadap 300 tokoh masyarakat
Aceh. Rumor ini disebut sebagai les hitam. Perintah tersebut dikhabarkan diambil oleh
Jakarta berdasarkan kecurigaan dan laporan bahwa Aceh sedang bersiap buat sebuah
pemberontakan guna memisahkan diri dari negara Indonesia.
Peristiwa G30SPKI
I.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah
yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi
antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Bentrokan-bentrokan tersebut
dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap
tanah, tidak peduli tanah siapa pun (milik negara=milik bersama). Kemungkinan
besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai
komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Menjelang lahir 1965 Biro khusus PKI terus melancarkan aksinya dengan
melakukan pertemuan pertemuan rahasia yang kesimpulannya akan dilaporkan
kepada D.N.Aidit sebagai pimpinan tertinggi gerakan. Sjam Kamaruzaman
sebagai pimpinan pelaksana, Pono (Soepono Marsudidjojo) sebagai wakil
pimpinan gerakan, dan Bono sebagai pimpinan pelaksanan kegiatan yang di
instruksikan untuk mengadakan persiapan-persiapan menjelang pelaksanaan
kegiatan.
Berikut beberapa faktor terjadinya G 30 S/PKI :
1.
Angkatan kelima
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai
menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa
syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan
waktunya sampai meletusnya G 30 S PKI.
Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran
perdana mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri
sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini
lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI. Dari tahun
1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokanbentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin
PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama"
polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk
Ketentraman Umum Bantu Polisi".
Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI
membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata,
mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa
tentara" subjek karya-karya mereka. Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan
petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI.
Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik
tanah.
bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan
negara sedang diubah untuk mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat
negara.
2.
3.
4.
September tersebut).
Faktor Malaysia
Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16
September 1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini. Konfrontasi
Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden
Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan
diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya
menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang
Pada waktu itu Amerika Serikat sedang terlibat dalam perang Vietnam dan
berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme.
Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas
memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik dan walkie-talkie
serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan
yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena
mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam
hal ini tidak besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke
Washington pada tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya
untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak memberikan hasil
bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada Presiden Johnson
tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI
yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat
menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan
atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI atau
NU/PNI.
Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini,
menyebutkan bahwa Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit
Supersemar Amerika memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada militer
untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan tersebut tidak memiliki
banyak bukti-bukti fisik.
6.
Faktor Ekonomi
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah
mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka
tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan
semakin memperparah keadaan Indonesia.
Saat itu inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan
melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak,
gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang
berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk
menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang
Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut,
banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-
umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun
mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas
pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash
terhadap PKI dan pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa
Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.
II.
g)
Oldefo
Sejak tanggal 17 September 1963, melakukan konfrontasi dengan Malaysia,
yang disebabkan oleh adanya anggapan bahwa Malaysia adalah negara proyek
berdasarkan Dokumen Gilchrist yang diungkapkan PKI. Dewan Jenderal oleh PKI
ditafsirkan sebagai badan yang terdiri atas para perwira tinggi Angkatan Darat,
yang bertugas mempersiapkan perebutan kekuasaan. Untuk menandingi Dewan
Jenderal, PKI membentuk Dewan Revolusi yang diketahui oleh Letkol Untung
Sutopo.
b. Pelaksanaan Pemberontakan G 30 S/PKI
Dalam melaksanakan pemberontakannya, PKI melakukan tindakan-tindakan :
1) Pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 01.30, Letkol Inf. Untung
memberikan perintah pelaksanaan gerakan. Sasaran gerakan adalah para
perwira tinggi Angkatan Darat. Kesatuan-kesatuan bersenjata yang bertugas
a)
b)
c)
Jakarta
Pasukan Gatotkaca dipimpin oleh Mayor Udara Gatot Sukasno berfungsi sebagai
2)
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
AD)
Letnan Satu Piere Andreas Tendean (Ajudan Menjo Hankam/Kepala Staf
h)
3)
Angkatan Bersenjata)
Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun (Pengawal rumah wakil PMII Dr. J Leimena
Menguasai dua buah sarana komunikasi yaitu studio RRI Pusat di Jalan Merdeka
Oktober 1965 oleh pemberontak PKI dari Batalion L di Desa Keuntungan. Kedua
perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan
Revolusi.
c.
1)
Penumpasan G 30 S/PKI
Tanggal 1 Oktober 1965
Operasi penumpasan G 30 S/PKI dimulai sejak tanggal 1 Oktober 1965 sore
hari. Gedung RRI pusat dan Kantor Pusat Telekomunikasi dapat direbut kembali
tanpa pertumpahan darah oleh satuan RPKAD di bawah pimpinan Kolonel Sarwo
Edhi Wibowo, pasukan Para Kujang/328 Siliwangi, dan dibantu pasukan kavaleri.
Setelah diketahui bahwa basis G 30 S/PKI berada di sekitar Halim Perdana
3/4
yang dijatuhi hukuman mati atau seumur hidup dengan alasan terbukti
melakukan makar. Tidak menyebutkan PKI yang melakukan makar.
2. Sebagian Perwira Angkatan Darat dengan PKI sebagai Pemain Kedua
Penentangan terhadap versi pertama diungkapkan oleh Benedict Anderson
dan Ruth McVey pada tahun 1966. Mereka berdua mengatakan bahwa G30S
berawal dari persoalan intern TNI AD. Dalam teorinya yang kemudian diterbitkan
dan dikenal sebagai Cornell Paper (1971) beberapa perwira TNI AD dari Kodam
IV/Diponegoro kesal melihat para jenderal hidup berfoya-foya di Jakarta. Para
perwira dari Jawa Tengah itu kemudian mengajak Angkatan Udara Republik
Indonesia (AURI) dan PKI dalam menjalankan operasinya. Versi ini agak lemah
karena faktanya Brigjen Supardjo berasal dari Kodam Siliwangi demikian pula
dengan Mayor Udara Sujono, walaupun memang Untung dan Latief dari Kodam
IV/Diponegoro. Maka kemudian versi ini ditengahi oleh Harold Crouch dalam The
Army and Politics (1978) yang menolak Cornell Paper dengan mengatakan
bahwa inisiatif awal gerakan ini timbul dari tubuh TNI AD sedangkan PKI
bertindak sebagai Pemain Kedua dengam mengacu pada keterlibatan Sjam
Kamaruzaman dan Pono-dari Biro Chusus PKI. Tetapi versi ini pun tidak
menjelaskan lebih lanjut tentang mengapa gerakan dirancang dengan buruk dan
mengapa selang waktu pengumuman pertama dan kedua berselang 5 jam,
padahal kunci kudeta adalah pada kecepatan dan ketepatan waktu.
3. Soekarno
Pada tahun 1974 seorang penulis belanda bernama Antonie Dake
meneebitkan pengakuan ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko dalam The
Devious Dalang. Dalam pengakuannya Bambang Widjanarko mengatakan bahwa
pada tanggal 4 Agustus 1965 Presiden Soekarno memanggil Letkol.Untung dan
memerintahkannya mengambil tindakan terhadap jenderal-jenderal yang tidak
loyal. Sebenarnya pengakuan Bambang Widjanarko dapat dikonfrontasi dengan
keterangan Bung Karno tetapi beliau sudah terlanjur wafat. Belakangan diketahui
bahwa pengakuan Bambang Widjanarko hanyalah strategi untuk mencegah
bangkitnya pendukun Soekarno dalam pemilihan umum Juli 1971. Hal ini
diketahui setelah Bambang Widjanarko akhirnya mengakui sendiri bahwa saat itu
ia dipaksa bersaksi demikian. Juga kalau benar bahwa Presiden Soekarno yang
memerintahkan penculikan 7 perwira itu, mengapa malam 1 Oktober 1965
beliau tidak langsung menuju Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma.
4. Soeharto
Versi ini pertama kali diungkapkan oleh W.F.Wertheim dalam artikelnya yang
berjudul Soeharto and the Untung Coup-The Missing Link (1970). Dikatakan
bahwa pada malam 1 Oktober 1965 terjadi pertemuan antara Soeharto dengan
Latief dan Letkol Untung-pimpinan tim penculik ketujuh jenderal. Tetapi banyak
pula ahli sejarah dan politik yang berpendapat bahwa Soeharto bukan tipe orang
jenius yang bisa merancang kudeta secara sistematis. Soeharto hanyalah orang
yang sudah tahu sebelum kejadian nahas itu terjadi-melalui pertemuannya
dengan Untung dan Latief-sehingga ia menjadi orang yang paling siap.
Kesiapannya inilah yang menjadi senjata mematikan untuk menumpas PKI
sekaligus merebut kekuasaan dari Soekarno. (Oleh:Omar Dhani) (Hal.330 ; dalam
(Wirantaprawira, Cyntha. 2005 : Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965
Mencari Keadilan. Lembaga Persahabatan Jerman Indonesia.) )
5. Amerika Melalui Central Intelegence Agency (CIA)
Amerika gatal melihat perkembangan PKI di Indonesia. Sebagai Macan
Asia, berkuasanya komunis di Indonesia bisa menimbulkan efek domino
terhadap negara-negara lain di Asia Tenggara. Jika hal ini terjadi maka berarti
kiamat bagi Amerika. Hal ini sebenarnya telah disinyalir oleh Bung karno yang
dismpaikan dalam pidato Nawaksara (1967) yang menyebut adanya subversi
Nekolim. Versi ini pada intinya menyatakan bahwa Amerika membujuk TNI AD
untuk mengambil kekuasaan dari tangan Soekarno yang pro-komunis dengan
membentuk Dewan Jenderal. Isu mengenai Dewan Jenderal-yang sebenarnya
belum terbentuk karena TNI AD masih menunggu saat yang tepat-ini membuat
PKI khawatir sehingga timbulah tindakan untuk mencegah perebutan kekuasaan
oleh TNI AD dengan cara menculik 7 perwira tinggi AD. Tindakan penculikan
yang kemudian dihembuskan sebagai tindakan pemberontakan inilah yang
kemudian dijadikan dasar tentara-atau Soeharto-untuk membubarkan PKI dan
memburu kader-kadernya sampai habis.
6. Sjam Kamaruzaman sebagai Ketua Biro Chusus Central PKI
Versi yang keenam ini adalah versi yang paling mutakhir. Pertama kali
disampaikan oleh John Roosa dalam bukunya berjudul Dalih Pembunuhan Massal
: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (2008). Dalam bukunya Roosa
mengungkapkan bahwa dalam tubuh PKI sebenarnya tidak ada sistem komando
yang terpusat. Dalam tubuh PKI ada 2 kubu yaitu kubu militer (Letkol Untung,
Latief, dan Sujono) dan Biro Chusus (Sjam, Pono, dengan Aidit sebagai latar
belakang). Memang keberadaan Biro Chusus seperti hantu, tidak terlalu
terekspos dan tidak banyak yang tahu karena memang tujuan pembentukannya
adalah sebagai badan intelejen, organisasi bawah tanah PKI yang bertugas
menyusupi tentara. Badan ini dibentuk oleh Aidit-ketua umum PKI-dan berada
langsung di bawah komando Aidit. Sjam memegang peranan penting karena
bertindak sebagai penghubung antara pihak Untung dengan Aidit. Sayangnya
Sjam tidak benar-benar menjadi penghubung. Banyak laporan di lapangan yang
kemudian tidak disampaikan kepada Aidit tetapi justru ditindaklanjuti sendiri.
Saat upaya rencana penggagalan Dewan Jenderal disampaikan kepada Presiden
Soekarno, beliau menolak tindakan tersebut. Dari sini kubu PKI terpecah menjadi
2. Kubu militer yang dipimpin oleh Letkol Untung ingin mematuhi Bung Karno
tetapi kubu Biro Chusus yang dipegang Sjam ingin melanjutkan rencana.
Perpecahan yang disebabkan arogansi Sjam ini menyebabkan :
Lamanya selang waktu antara pengumuman pertama dengan pengumuman
selanjutnya. Juga menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama dan
kedua sangat drastis. Pagi hari diumumkan bahwa Presiden Soekarno dinyatakan
selamat dari rencana Dewan Jenderal. Tetapi siangnya langsung diumumkan
pembentukan Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet.
Gagalnya gerakan ini karena ada kerancuan yang nyata antara
menyelamtakan presiden dengan cara menculik Dewan Jenderal dengan
percobaan kudeta dengan cara membentuk Dewan Revolusi dan
membubarkan kabinet.
Sejarah Indonesia
Lihat pula:
Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358669)
Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Medang (7521006)
Kerajaan Kahuripan (10061045)
Kerajaan Sunda (9321579)
Kediri (10451221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (12221292)
Majapahit (12931500)
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
Kerajaan Islam
Penyebaran Islam (1200-1600)
Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)
Kesultanan Ternate (1257sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (14001511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (14751548)
Kesultanan Kalinyamat (15271599)
Kesultanan Aceh (14961903)
Kesultanan Banjar (15201860)
Kesultanan Banten (15271813)
Kesultanan Cirebon (1430 - 1666)
Kesultanan Mataram (15881681)
Kerajaan Kristen
Kerajaan Larantuka (1600-1904)
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (19421945)
Revolusi nasional (19451950)
Indonesia Merdeka
Orde Lama (19501959)
Demokrasi Terpimpin (19591965)
Masa Transisi (19651966)
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde
Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Lahirnya
Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966.[1] Orde Baru
berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia
berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang
merajalela.
Daftar isi
1 Latar belakang
3 Kebijakan ekonomi
o
7 Warga Tionghoa
12 Pasca-Orde Baru
13 Lihat pula
14 Referensi
15 Daftar pustaka
Latar belakang
Meski telah merdeka, Indonesia pada tahun 1950 hingga 1960-an berada dalam kondisi yang
relatif tidak stabil.[2] Bahkan setelah Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia
pada tahun 1949, keadaan politik maupun ekonomi di Indonesia masih labil karena ketatnya
persaingan di antara kelompok-kelompok politik.[2] Keputusan Soekarno untuk mengganti
sistem parlemen dengan Demokrasi Terpimpin memperparah kondisi ini dengan
memperuncing persaingan antara angkatan bersenjata dengan Partai Komunis Indonesia,
yang kala itu berniat mempersenjatai diri.[2] Sebelum sempat terlaksana, peristiwa Gerakan 30
September terjadi dan mengakibatkan diberangusnya Partai Komunis Indonesia dari
Indonesia.[2] Sejak saat itu, kekuasaan Soekarno perlahan-lahan mulai melemah.[3]
Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun
1966, yang kemudian menjadi dasar legalitasnya.[1] Orde Baru bertujuan meletakkan kembali
tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.[1]
Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret 1966. Saat
itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno
sedang berlangsung.[4] Di tengah acara, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana
terdapat pasukan yang tidak dikenal.[1] Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,
Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri
(Waperdam) II Dr. Johannes Leimena dan berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh
Waperdam I Dr Subandrio, dan Waperdam II Chaerul Saleh.[4] Leimena sendiri menyusul
presiden segera setelah sidang berakhir.[4]
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir
Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal
Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap
presiden.[4] Segera setelah mendapat izin, di hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke
Istana Bogor dengan tujuan melaporkan kondisi di ibukota Jakarta meyakinkan Presiden
Soekarno bahwa ABRI, khususnya AD, dalam kondisi siap siaga.[4] Namun, mereka juga
memohon agar Presiden Soekarno mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan ini.[4]
Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan
kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil
tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi
keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia.[4] Perumusan surat perintah ini sendiri
dibantu oleh tiga perwira tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir
Jenderal M. Yusuf, Brigadir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Subur,
Komandan Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa.[4] Surat perintah inilah yang kemudian
dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.[4]
Pemberangusan Partai Komunis Indonesia
Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal Soeharto
mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan surat keputusan
yang berisi pembubaran dan larangan bagi Partai Komunis Indonesia serta ormas-ormas yang
bernaung dan berlindung atau senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah
Indonesia.[4] Keputusan ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI
ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966.[5] Keputusan pembubaran
Partai Komunis Indonesia beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan karena
merupakan salah satu realisasi dari Tritura.[5]
Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai
tersangkut dalam Gerakan 30 September dan diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam
Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966.[5] Ia kemudian memperbaharui Kabinet
Dwikora yang disempurnakan dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan
DPRGR, dari orang-orang yang dianggap terlibat Gerakan 30 September.[5] Keanggotaan
Partai Komunis Indonesia dalam MPRS dinyatakan gugur.[5] Peran dan kedudukan MPRS
juga dikembalikan sesuai dengan UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan sebaliknya.[6] Di
DPRGR sendiri, secara total ada 62 orang anggota yang diberhentikan.[5] Soeharto juga
memisahkan jabatan pimpian DPRGR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR
tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri.[5]
Pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli 1955, diadakanlah Sidang Umum IV MPRS dengan hasil
sebagai berikut:
Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan LembagaLembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah.[7]
Hasil dari Sidang Umum IV MPRS ini menjadi landasan awal tegaknya Orde Baru dan
dinilai berhasil memenuhi dua dari tiga tuntutan rakyat (tritura), yaitu pembubaran Partai
Komunis Indonesia dan pembersihan kabinet dari unsur-unsur Partai Komunis Indonesia.[7]
Selain dibubarkan dan dibersihkan, kader-kader Partai Komunis Indonesia juga dibantai
khususnya di wilayah pedesaan-pedesaan di pulau Jawa.[8] Pembantaian ini tidak hanya
dilakukan oleh angkatan bersenjata, namun juga oleh rakyat biasa yang dipersenjatai.[8] Selain
kader, ribuan pegawai negeri, ilmuwan, dan seniman yang dianggap terlibat juga ditangkap
dan dikelompokkan berdasarkan tingkat keterlibatannya dengan Partai Komunis Indonesia.[8]
Sebagian diasingkan ke Pulau Buru, sebuah pulau kecil di wilayah Maluku.[9] Pada tanggal 30
September setiap tahunnya, pemerintah menayangkan film yang menggambarkan Partai
Komunis Indonesia sebagai organisasi yang keji.[2]
Pembentukan Kabinet Ampera
Dalam rangka memenuhi tuntutan ketiga Tritura, Soeharto dengan dukungan Ketetapan
MPRS No. XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet baru yang diberi nama Kabinet Ampera.[10]
Tugas utama Kabinet Ampera adalah menciptakan stabilitas ekonomi dan stabilitas politik,
atau dikenal dengan nama Dwidarma Kabinet Ampera.[10] Program kerja yang dicanangkan
Kabinet Ampera disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:[10]
1. memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan
pangan;
2. melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum
dalam Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
3. melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan
nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
4. melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme dalam
segala bentuk dan manifestasinya.
Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun pelaksanaannya dilakukan oleh
Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto.[10] Akibatnya, muncul dualisme
kepemimpinan yang menjadi kondisi kurang menguntungkan bagi stabilitas politik saat itu.[10]
Soekarno kala itu masih memiliki pengaruh politik, namun kekuatannya perlahan-lahan
dilemahkan.[3] Kalangan militer, khususnya yang mendapatkan pendidikan di negara Barat,
keberatan dengan kebijakan pemerintah Soekarno yang dekat dengan Partai Komunis
Indonesia.[3] Mengalirnya bantuan dana dari Uni Soviet dan Tiongkok pun semakin
menambah kekhawatiran bahwa Indonesia bergerak menjadi negara komunis.[3]
Akhirnya pada 22 Februari 1967, untuk mengatasi situasi konflik yang semakin memuncak
kala itu, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto.[10] Penyerahan
ini tertuang dalam Pengumuman Presiden Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI
Tanggal 20 Februari 1967.[10] Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS No.
XV/MPRS/1966 yang menyatakan apabila presiden berhalangan, pemegang Surat Perintah
11 Maret 1966 berfungsi sebagai pemegang jabatan presiden.[10] Pada 4 Maret 1967, Jenderal
Soeharto memberikan keterangan pemerintah di hadapan sidang DPRHR mengenai
terjadinya penyerahan kekuasaan.[10] Namun, pemerintah tetap berpendirian bahwa sidang
MPRS perlu dilaksanakan agar penyerahan kekuasaan tetap konstitusional.[10] Karena itu,
diadakanlah Sidang Istimewa MPRS pada tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta, yang akhirnya
secara resmi mengangkat Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia hingga terpilihnya
presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.[10]
Kebijakan ekonomi
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
Repelita I membawa pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun,
pendapatan perkapita meningkat dari 80 dolar AS menjadi 170 dolar AS, dan inflasi dapat
ditekan menjadi 47,8% pada akhir Repelita I pada tahun 1974.[12] Repelita II (1974-1979) dan
Repelita III (1979-1984) fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional,
dan pemerataan pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan industri yang
mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.[12] Pada tahun 1984, Indonesia berhasil
mencapai status swasembada beras dari yang tadinya merupakan salah satu negara pengimpor
beras terbesar di dunia pada tahun 1970-an.[12] Fokus Repelita IV (1984-1989) dan Repelita V
(1989-1994), selain berusaha mempertahankan kemajuan di sektor pertanian, juga mulai
bergerak menitikberatkan pada sektor industri khususnya industri yang menghasilkan barang
ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan industri
yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri.[13]
Swasembada beras
Sejak awal berkuasa, pemerintah Orde Baru menitikberatkan fokusnya pada pengembangan
sektor pertanian karena menganggap ketahanan pangan adalah prasyarat utama kestabilan
ekonomi dan politik.[14] Sektor ini berkembang pesat setelah pemerintah membangun berbagai
prasarana pertanian seperti irigasi dan perhubungan, teknologi pertanian, hingga penyuluhan
bisnis.[14] Pemerintah juga memberikan kepastian pemasaran hasil produksi melalui lembaga
yang diberi nama Bulog (Badan Urusan Logistik).[14]
Mulai tahun 1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil pertanian meningkat tajam.[14] Pada tahun
1962, misalnya, produksi padi hanya mencapai 17.156 ribu ton.[14] Jumlah ini berhasil
ditingkatkan tiga kali lipat menjadi 47.293 ribu ton pada tahun 1992, yang berarti produksi
beras per jiwa meningkat dari 95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa.[14] Prestasi ini merupakan
sebuah prestasi besar mengingat Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor beras
terbesar di dunia pada tahun 1970-an.[14]
Pemerataan kesejahteraan penduduk
masyarakat juga naik dari yang hanya 70 dolar per tahun pada tahun 1969, meningkat
menjadi 600 dolar per tahun pada tahun 1993.[14]
Pemerataan ekonomi juga diiringi dengan adanya peningkatan usia harapan hidup, dari yang
tadinya 50 tahun pada tahun 1970-an menjadi 61 tahun di 1992.[14] Dalam kurun waktu yang
sama, angka kematian bayi juga menurun dari 142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup
menjadi 63 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup.[14] Jumlah penduduk juga berhasil
dikendalikan melalui program Keluarga Berencana (KB).[14] Selama dasawarsa 1970-an, laju
pertumbuhan penduduk mencapai 2,3% per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka tersebut
dapat diturunkan menjadi 2,0% per tahun.[14]
Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru
pemerintahan pemerintah melakukan penyederhanaan dan penggabungan (fusi) partai- partai
politik menjadi tiga kekuatan sosial politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak
didasarkan pada kesamaan ideologi, tetapi lebih atas persamaan program. Tiga kekuatan
sosial politik itu adalah:[butuh rujukan]
Golongan Karya
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu
tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan
selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memperoleh mayoritas suara dan
memenangkan Pemilu.[butuh rujukan] Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa
pemerintahan Orde Baru, Golkar memperoleh 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR
dan PPP memperoleh 5,43 % dengan perolehan 27 kursi.[butuh rujukan] Sedangkan PDI mengalami
kemorosotan perolehan suara dengan hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal disebabkan
adanya konflik intern di tubuh partai berkepala banteng tersebut. PDI akhirnya pecah menjadi
PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang menjadi PDIP.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru telah
menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan baik.[butuh rujukan]
Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia).
Namun dalam kenyataannya, Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontestan
Pemilu saja yaitu Golkar. Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971
sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah yang perimbangan suara di MPR
dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi
Presiden Republik Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden
dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang,
dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa
catatan.[butuh rujukan]
Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI
Pada masa Orde Baru, ABRI menjadi institusi paling penting di Indonesia. Selain menjadi
angkatan bersenjata, ABRI juga memegang fungsi politik, menjadikannya organisasi politik
terbesar di negara. Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi
ABRI. Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI
adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan
adalah sama. di MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa
melalui Pemilu.[butuh rujukan] Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI
didasarkan pada fungsinya sebagai stabilitator dan dinamisator. Peran dinamisator sebenarnya
telah diperankan ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman
telah melakukannya dengan meneruskan perjuangan, walaupun pemimpin pemerintahan telah
ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika menyelamatkan
bangsa dari perpecahan setelah Gerakan 30 September, yang melahirkankan Orde Baru.
Sistem ini memancing kontroversi di tubuh ABRI sendiri.[16] Banyak perwira, khususnya
mereka yang berusia muda, menganggap bahwa sistem ini mengurangi profesionalitas ABRI.
[16]
Masuknya pendidikan sosial dan politik dalam akademi militer mengakibatkan waktu
Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman
untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan nama Ekaprasatya
Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).[butuh rujukan] Untuk
mendukung pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekuen, maka sejak tahun 1978 pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara
menyeluruh pada semua lapisan masyarakat. Penataran P4 ini bertujuan membentuk
pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila, sehingga dengan adanya pemahaman
yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan persatuan dan
kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut opini rakyat
akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.[butuh rujukan] Sehingga
sejak tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan
berorganisasi. Semua bentuk organisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain Pancasila.
Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan BangsaBangsa (PBB). Keputusan untuk kembali menjadi anggota PBB dikarenakan pemerintah
sadar bahwa banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota pada tahun
1955-1964.[butuh rujukan] Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB disambut baik oleh
negara-negara Asia lainnya bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya
Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Dan
Indonesia juga memulihkan hubungan dengan sejumlah negara seperti India, Thailand,
Australia, dan negara-negara lainnya yang sempat renggang akibat politik konfrontasi Orde
Lama.
Normalisasi Hubungan dengan Negara lain
Pemulihan Hubungan dengan Singapura
Dengan perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman, hubungan Indonesia
dengan Singapura berhasil dipulihkan kembali.[butuh rujukan] Pada tanggal 2 Juni 1966 pemerintah
Indonesia menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura kepada Perdana Menteri
Lee Kuan Yew.[butuh rujukan] Lalu pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban kesediaan
untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Pemulihan Hubungan dengan Malaysia
Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan pemerintah Orde Lama,
pemerintah Orde Baru melakukan langkah-langkah:
Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membendung laju inflasi. Pemerintah Orde Baru
berhasil membendung laju inflasi pada akhir tahun 1967-1968, tetapi harga bahan kebutuhan
pokok naik melonjak. Sesudah dibentuk Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968,
pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat terhadap gerak
harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu ekonomi
nasional relatif stabil, sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing sejak tahun
1969 dapat dikendalikan pemerintah.[butuh rujukan]
Program rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi.
Selama sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia mengalami
kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana sosial dan ekonomi. Lembaga perkreditan desa,
gerakan koperasi, dan perbankan disalahgunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan
dan kelompok kepentingan tertentu. Dampaknya, lembaga negara tidak dapat melaksanakan
fungsinya sebagai penyusun perbaikan tata kehidupan rakyat.[butuh rujukan]
Kerjasama Luar Negeri
Pertemuan Tokyo
Selain mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde Lama juga
mewariskan utang luar negeri yang sangat besar, yakni mencapai 2,2 - 2,7 miliar, sehingga
pemerintah Orde Baru meminta negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran
kembali utang Indonesia. Pada tanggal 19-20 September 1966 pemerintah Indonesia
mengadakan perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo.[butuh rujukan] Pemerintah
Indonesia akan melakukan usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan
digunakan untuk membayar utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahanbahan baku. Hal ini mendapat tanggapan baik dari negara-negara kreditor. Perundinganpun
dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai kesepakatan sebagai berikut:[butuh rujukan]
Pertemuan Amsterdam
Pada tanggal 23-24 Februari 1967 diadakan perundingan di Amsterdam, Belanda yang
bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan
pemberian bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI
(Intergovernmental Group for Indonesia). Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut
untuk memenuhi kebutuhannya guna pelaksanaan program-program stabilisasi dan
rehabilitasi ekonomi serta persiapan-persiapan pembangunan.[butuh rujukan] Di samping
mengusahakan bantuan luar negeri tersebut, pemerintah juga telah berusaha mengadakan
penangguhan serta memperingan syarat-syarat pembayaran kembali (rescheduling) hutanghutang peninggalan Orde Lama.[butuh rujukan] Melalui pertemuan tersebut pemerintah Indonesia
berhasil mengusahakan bantuan luar negeri.
Pembangunan Nasional
Trilogi Pembangunan
Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya
yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional.
Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui
Pembangunan Jangka pendek dan Pembangunan Jangka Panjang.[butuh rujukan] Pambangunan
Jangka Pendek dirancang melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki
misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan
nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi
seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional
dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD
1945 yaitu:[butuh rujukan]
Dan Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah:[butuh rujukan]
1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan,
sandang dan perumahan.
2. Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan
kesehatan
3. Pemerataan pembagian pendapatan.
4. Pemerataan kesempatan kerja
5. Pemerataan kesempatan berusaha
6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya
bagi generasi muda dan kaum wanita.
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air
8. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
Pendek dirancang melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Selama masa Orde
Baru, pemerintah telah melaksanakan enam Pelita yaitu:[butuh rujukan]
Pelita I
Pelita I dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi landasan awal
pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan
sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya adalah
pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan
kesejahteraan rohani. Titik beratnya adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan
tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang
pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.[butuh rujukan]
Pelita II
Pelita II mulai berjalan sejak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran utama
Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana prasarana,
mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II dipandang
cukup berhasil. Pada awal pemerintahan Orde Baru inflasi mencapai 60% dan pada akhir
Pelita I inflasi berhasil ditekan menjadi 47%. Dan pada tahun keempat Pelita II inflasi turun
menjadi 9,5%.[butuh rujukan]
Pelita III
Pelita III dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984.[butuh rujukan]
Pelaksanaan Pelita III masih berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat
pembangunan adalah pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.
Pelita IV
Pelita IV dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat Pelita IV ini
adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri yang
dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di tengah berlangsung pembangunan pada
Pelita IV ini yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi.[butuh rujukan] Untuk mempertahankan
kelangsungan pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan
fiskal. Dan pembangunan nasional dapat berlangsung terus.
Pelita V
Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan
ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi ekonomi Indonesia
berada pada posisi yang baik, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8% per tahun.[butuh rujukan]
Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan.
Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
Pelita VI
Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada Pelita VI
ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian, serta
peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi
dipandang sebagai penggerak pembangunan.[butuh rujukan] Namun pada periode ini terjadi krisis
moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis
moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian telah
menyebabkan proses pembangunan terhambat, dan juga menyebabkan runtuhnya
pemerintahan Orde Baru.
Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan
dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga
pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian
barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin
dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama
dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan
berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa
Mandarin.[butuh rujukan] Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak
menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia
yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh
militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia
bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu
kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai
kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan
pengaruh komunisme di Tanah Air.[butuh rujukan] Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan
dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang
diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[butuh rujukan].
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk
menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.[butuh rujukan]
Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya
AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565 [butuh rujukan]
Sukses transmigrasi
Sukses KB
Pengangguran minimum
Pasca-Orde Baru
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda
akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".[butuh rujukan] Masih adanya
tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini
sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh
karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru
ke Era Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan
Yugoslavia.[butuh rujukan] Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan pondasi
baru yang terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman.
LAHIRNYA ERA REFORMASI
berbagai daerah. Daya beli masyarakat menurun. Bahkan, hingga bulan Maret
1998 rupiah menembus angka Rp 16.000,00 per dolar AS. Masyarakat
menukarkan rupiah dengan dolar. Pemerintah mengeluarkan Gerakan Cinta
Rupiah, tetapi tidak mampu memperbaiki keadaan. Krisis moneter tersebut
telah berkembang menjadi krisis multidimensi. Krisis ini ditandai adanya
keterpurukan di segala bidang kehidupan bangsa. Kepercayaan masyarakat
kepada pemerintah semakin menurun. Pemerintah kurang peka dalam
menyelesaikan krisis dan kesulitan hidup rakyat. Kabinet Pembangunan VII yang
disusun Soeharto ternyata sebagian besar diisi oleh kroni dan tidak berdasarkan
keahliannya.
pihak oposisi atau orang-orang yang berpikir kritis. Ciri-ciri kehidupan politik
yang represif, di antaranya:
1. Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah dituduh
sebagai tindakan
subversif (menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia).
2. Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi semu atau
demokrasi rekayasa.
3. Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela dan
masyarakat tidak memiliki
kebebasan untuk mengontrolnya.
4. Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap warga negara
(sipil) untuk ikut
berpartisipasi dalam pemerintahan.
5. Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun Suharto
dipilih menjadi presiden
melalui Sidang Umum MPR, tetapi pemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan
tidak demokratis.
b. Krisis Hukum
Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan Orde Baru tidak terbatas
pada bidang politik. Dalam bidang hukumpun, pemerintah melakukan intervensi.
Artinya, kekuasaan peradilan harus dilaksanakan untuk melayani kepentingan
para penguasa dan bukan untuk melayani masyarakat dengan penuh keadilan.
Bahkan, hukum sering dijadikan alat pembenaran para penguasa. Kenyataan itu
bertentangan dengan ketentuan pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan
bahwakehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari
kekuasaan pemerintah(eksekutif).
c. Krisis Ekonomi
Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak Juli 1996
mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ternyata, ekonomi
Indonesia tidak mampu menghadapi krisis global yang melanda dunia. Krisis
ekonomi Indonesia diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997, nilai tukar rupiah turun dari
Rp 2,575.00 menjadi Rp 2,603.00 per dollar Amerika Serikat. Pada bulan
Desember 1997, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat turun menjadi
Rp 5,000.00 per dollar. Bahkan, pada bulan Maret 1998, nilai tukar rupiah terus
melemah dan mencapai titik terendah, yaitu Rp 16,000.00 per dollar Krisis
ekonomi yang melanda Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi,
seperti Hutang luar negeri Indonesia yang sangat besar menjadi penyebab
terjadinya krisis ekonomi. Meskipun, hutang itu bukan sepenuhnya hutang
negara, tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap upaya-upaya untuk
mengatasi krisis ekonomi.
d. Krisis Sosial
Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis
sosial. Pelaksanaan politik yang represif dan tidak demokratis menyebabkan
terjadinya konflik politik maupun konflik antar etnis dan agama. Semua itu
berakhir pada meletusnya berbagai kerusuhan di beberapa daerah. Ketimpangan
perekonomian Indonesia memberikan sumbangan terbesar terhadap krisis sosial.
Pengangguran, persediaan sembako yang terbatas, tingginya harga-harga
sembako, rendahnya daya beli masyarakat merupakan faktor-faktor yang rentan
terhadap krisis sosial.
e. Krisis Kepercayaan
Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi
kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Suharto.
Ketidakmampuan pemerintah dalam membangun kehidupan politik yang
demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem peradilan, dan
pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak telah
melahirkan krisis kepercayaan.
Sementara itu, melihat situasi politik dan kondisi ekonomi Indonesia yang
semakin tidak terkendali, rakyat Indonesia menjadi semakin krisis dan
menyatakan bahwa pemerintahan orde baru tidak terkendali menciptakan
kehidupan masyarakat yang makmur, adil, dan sejahtera berdasarkan pancasila
dan UUD 1945.
Oleh karena itu, muncul gerakan reformasi yang bertujuan untuk
memperbaharui tatanan kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Beberapa agenda reformasi yang disuarakan para mahasiswa antara lain sebagai
berikut.
1. Adili Soeharto dan kroni-kroninya.
2. Amandemen UUD 1945.
3. Penghapusan Dwi fungsi ABRI.
4. Otonomi daerah yang seluas-luasnya.
5. Supremasi hukum.
6. Pemerintahan yang bersih dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
D. Kronologi Reformasi
Pada awal bulan Maret 1998 melalui sidang umum MPR, soeharto kembali
menjadi Presiden Republik Indonesia, serta melaksanakan pelantikan kabinet
pembangunan VII. Namun kondisi bangsa dan negara pada saat itu semakin
tidak kunjung membaik. Perekonomian mengalami kemerosotan dan masalah
sosial semakin menumpuk. Kondisi dan situasi seperti ini mengundang
keprihatinan rakyat.
Memasuki bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai
bergerak menggelar demokrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut turunnya
harga sembako, penghapusan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan turunnya
Soeharto dari kursi kepresidenananya. Semakin bertambah banyak aksi para
mahasiswa tersebut menyebabkan para aparat keamanan tampak kewalahan
dan akhirnya mereka harus bertindak tegas. Bentrokan antara mahasiswa yang
menuntut reformasi dengan aparat keamanan tidak dapat dihindarkan.
Pada tanggal 12 Mei 1998 dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas
Trisakti, terjadi bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan
tertembaknya empat mahasiswa hingga tewas, serta puluhan mahasiswa lainnya
mengalami luka luka. Kematian empat mahasiswa tersebut mengobarkan
semangat para mahasiswa untuk menggelar demonstrasi secara besar
besaran.
Pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998, di Jakarta dan sekitarnya terjadi kerusuhan
massal dan penjarahan yang mengakibatkan lumpuhnya kegiatan masyarakat.
Dalam kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998 tersebut, sejumlah pertokoan menjadi
sasaran amuk massa, bahkan sampai kepada tingkat pembakaran toko-toko
yang menelan korban jiwa. Dalam peristiwa tersebut puluhan toko hancur
dibakar massa dan isinya dijarah massa serta ratusan orang mati terbakar.
Pada tanggal 17 Mei 1998 di hotel wisata, Jakarta, Nurcholish Madjid dalam
jumpa pers menggulirkan ide untuk mempercepat pemilu (paling lambat tahun
2000). Menteri Sekertaris Negara pada saat itu Saadillah Mursjid tertarik dengan
ide itu.
Pada tanggal 18 Mei 1998 pukul 15.00 WIB Saadillah mengundang Nurcholish
Madjid ke kantor Sekertaris negara untuk menjelaskan gagasannya. Pukul 15.30
WIB Harmoko sebagai ketua MPR/DPR mengumumkan hasil rapat pimpinan DPR
yang meminta agar Presiden Soeharto secara arif dan bijaksana sebaiknya
mengundurkan diri. Namun, pada pukul 20.00 pernyataan ini dianulir oleh
Jenderal Wiranto. Ia menyatakan bahwa sikap dan pendapat Harmoko adalah
sebagai pendapat individual meskipun disampaikan secara kolektif. Pada pukul
20.30 Nurcholish Madjid bertemu dengan Presiden Soeharto, ia mengatakan
bahwa rakyat menghendaki Presiden Soeharto untuk turun dari kursi
kepresidenannya. Presiden Soeharto menanggapi dengan menyatakan bersedia
untuk mundur dan meminnta bertemu dengan tokoh dari berbagai kalangan.
Pada tanggal 19 Mei 1998 puluhan ribu mahasiswa dari berbagai perguruan
tinggi di Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki Gedung DPR/MPR. Pada
tanggal itu pula di Yogyakatra terjadi peristiwa bersejarah. Kurang lebih sejuta
umat manusia berkumpul di alun-alun utara kraton Yogyakarta menghadiri
pisowanan ageng untuk mendengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku
Buwono X dan Sri Paku Alam VII. Inti dari isi maklumat itu adalah menganjurkan
kepada seluruh masyarakat untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada tanggal 20 mei 1998, Presiden Soeharto mengundang tokoh tokoh
bangsa Indonesia untuk dimintai pertimbangannya dalam rangka membentuk
Dewan Reformasi yang akan diketuain oleh Presiden Soeharto, namun
mengalami kegagalan. Pada tanggal itu pula gedung DPR/MPR semakin penuh
sesak oleh para mahasiswa dengan tuntutan tetap yaitu reformasi dan turunnya
Soeharto dari kursi kepresidenan.
Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 WIB bertempat di Istana Negara
Presiden Soeharto meletakkan jabatannya sebagai Presiden di hadapan ketua
dan beberapa anggota dari mahkamah agung. Pada tanggal itu pula, dan
berdasarkan pasal 8 UUD 1945, Presiden menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie
untuk menggantikannya menjadi presiden, serta pelantikannya dilakukan
didepan Ketua Mahkamah Agung dan para anggotanya. Maka sejak saat itu,
presiden RI dijabat oleh B.J. Habibie sebagai presiden yang ke 3
Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden RI B.J Habibie membentuk kabinet baru
yang dinamakan kabinet reformasi pembangunan. Pada tanggal ini pula Letjen
Prabowo Subianto dicopot dari jabatan Panglima Kostrad. Di Gedung DPR/MPR,
bentrokan hampir terjadi antara pendukung Habibie yang memakai simbolsimbol dan atribut keagamaan dengan mahasiswa yang masih bertahan di
Gedung DPR/MPR. Mahasiswa menganggap bahwa Habibie masih tetap bagian
dari Rezim Orde Baru. Tentara mengevakuasi mahasiswa dari Gedung DPR/MPR
ke Universitas Atma Jaya.
Pada tanggal 10 November 1998, diprakarsai oleh para mahasiswa yang
tergabung dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ), ITB
Bandung, Universitas Siliwangi, dan empat tokoh reformasi yaitu Abdurrahman
Wahid, Amien Rais, Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Megawati Soekarnoputri
mengadakan dialog nasional di rumah kediaman Abdurrahman Wahid, Ciganjur,
Jakarta Selatan. Dialog itu menghasilkan 8 butir kesepakatan, yaitu sebagai
berikut:
1. Mengupayakan terciptanya persatuan dan kesatuan nasional.
2. Menegakkan kembali kedaulatan rakyat.
3. Melaksanakan desentralisasi pemerintahan sesuai dengan otonomi daerah.
4. Melaksanakan pemilu yang luber dan jurdil guna mengakhiri masa
pemerintahan transisi.
5. Penghapusan Dwifungsi ABRI secara bertahap
6. Mengusut pelaku KKN dengan diawali pengusutan KKN yang dilakukan oleh
Soeharto dan kroninya.
7. Mendesak seluruh anggota Pam Swakarsa untuk membubarkan diri.