You are on page 1of 25

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis penjatkan ke hadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya
maka saya sebagai penulis, dapat menyelesaikan penyusunan makalah Konservasi
Lingkungan yang berjudul Pelaksanaan dan Strategi Konservasi Linkungan Pada
Ekosistem Hutan Gambut. Di dalam makalah ini tertuang jabaran mengenai
fungsi, peraturan, permasalahan dan metoda dalam konervasi hutan gambut di
Indonesia.
Penulisan makalah ini merupakan bentuk ujian tengah semester mata kuliah
pilihan khusus yaitu Konervasi Lingkungan untuk mahasiswa semester VI Jurusan
Teknik Lingkugan Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan
Universitas Trisakti tahun 2016.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangankekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
keterbatasan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari
semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan maklah
ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan
makalah ini terutama kepada dosen pengampu mata kuliah Konservasi
Lingkungan. Penyusunan makalah ini tidak dapat berjalan dengan baik tanpa
adanya bantuan dan bimbingan dari semua pihak.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat berguna dan berfungsi
dengan baik serta menambah wawasan para pembacanya.

Jakarta, 16 April 2016

Penulis,

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
1.1 Latar Belakang...............................................................................................3
1.2 Tujuan Penulisan............................................................................................4
1.3 Ruang Lingkup...............................................................................................4
BAB II DASAR TEORI..........................................................................................5
2.1 Lahan Gambut................................................................................................5
2.2 Hutan Rawa Gambut......................................................................................5
2.3 Tanah Gambut................................................................................................6
2.4 Gambut dan Karbon.......................................................................................7
2.5 Komponen Abiotik Ekosistem Hutan Rawa Gambut.....................................8
2.6 Komponen Biotik Ekosistem Hutan Rawa Gambut.......................................9
BAB III PEMBAHASAN......................................................................................11
3.1 Fungsi Ekosistem Hutan Gambut.................................................................11
3.2 Peraturan Terkait Ekosistem Hutan Gambut................................................15
3.3 Permasalahan pada Ekosistem Hutan Gambut.............................................18
3.4 Metoda Konservasi Ekosistem Hutan Gambut............................................19
BAB IV PENUTUP...............................................................................................22
4.1 Kesimpulan...................................................................................................22
4.2 Saran.............................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................24

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati dunia
Salah satu habitat yang memililki keunikan dan keanekaragaman hayati yang
tinggi adalah hutan gambut. Dalam skala regional, Indonesia memiliki area
gambut terluas yaitu berkisar antara 20-27 juta ha yang kaya akan
keanekaragaman hayati endemik dengan pusat keanekaragaman hayati tertinggi
berada di Kalimantan. Dewasa ini lahan gambut di Indonesia mempunyai tingkat
kerentanan dan ancaman yang tinggi akibat perubahan lahan dari hutan ke
penggunaan lain, kebakaran, perkebunan dan permukiman. Meningkatnya
ancaman terhadap kelestarian lahan gambut seperti kebakaran dan konversi
menjadi area perkebunan, menjadikan ancaman juga terhadap kelestarian
keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya.
Hutan gambut dapat didefinisikan sebagai hutan yang terdapat pada daerah
bergambut yakni daerah yang digenangi air tawar dalam keadaan asam pada pH
3,5-4 dan di dalamnya terdapat penumpukan bahan-bahan tanaman yang telah
mati. Ekosistem hutan gambut merupakan suatu tipe ekosistem hutan yang cukup
unik karena tumbuh di atas tumpukan bahan organik yang melimpah. Daerah
gambut pada umumnya mengalami genangan air tawar secara periodik dan
lahannya memiliki topografi bergelombang kecil sehingga menciptakan bagianbagian cekungan tergenang air tawar. Tanah gambut merupakan tanah yang
tersusun dari bahan organik, baik dengan ketebalan bahan organik lebih dari 45
cm ataupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral pada ketebalan
penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik lebih dari 50 cm.
Berkurang atau hilangnya kawasan hutan gambut akan menurunkan
kualitas lingkungan, bahkan menyebabkan banjir pada musim hujan serta
kekeringan dan kebakaran pada musim kemarau. Upaya pendalaman saluran
untuk mengatasi banjir dan pembuatan saluran baru untuk mempercepat
pengeluaran air justru menimbulkan dampak yang lebih buruk, yaitu lahan
3

pertanian di sekitarnya menjadi kering dan asam, tidak produktif, dan akhirnya
menjadi lahan tidur, bongkor, dan mudah terbakar. Hutan gambut mempunyai
nilai konservasi yang sangat tinggi dan fungsi-fungsi lainnya seperti fungsi
hidrologi, cadangan karbon, dan biodiversitas yang penting untuk kenyamanan
lingkungan dan kehidupan satwa. Jika ekosistemnya terganggu maka intensitas
dan frekuensi bencana alam akan makin sering terjadi, sehingga diperlukan upaya
pemeliharaan dan pemanfaatan lingkungan hutan gambut dalam bentuk
konservasi agar komponen penting lingkungan dapat dipertahankan untuk masa
yang akan datang.
1.2 Tujuan Penulisan
1.
2.
3.
4.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :


Mengetahui fungsi-fungsi dari ekosistem hutan gambut
Menganalisis peraturan yang berkaitan dengan ekosistem hutan gambut
Mempelajari permasalahan yang berkaitan dengan ekosistem hutan gambut
Menganalisis metoda yang digunakan dalam konservasi ekosistem hutan
gambut.

1.3 Ruang Lingkup


1

Ruang lingkup materi dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
Membuat suatu uraian mengenai ekosistem hutan gambut melingkupi

pelaksanaan dan strategi konservasi lingkungannya.


Uraian ini meliputi fungsi, peraturan, permasalahan dan metoda yang

3
4

digunakan dalam konservasi ekosistem hutan gambut.


Latar belakang perlindungan dan pengelolaan hutan gambut.
Dasar-dasar teori yang secara langsung mendukung pembuatan makalah dan
analisis diuraikan secara lengkap dalam bentuk narasi.

BAB II
DASAR TEORI
2.1 Lahan Gambut
Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dibentuk oleh
adanya penimbunan/akumulasi bahan organik di lantai hutan yang berasal dari
reruntuhan vegetasi di atasnya dalam kurun waktu lama. Akumulasi ini terjadi
karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan
organik di lantai hutan yang basah/tergenang tersebut (Najiyati et al, 2005).
Di Asia Tenggara, lahan gambut terdapat di daerah pantai rendah
Kalimantan, Sumatera dan Papua Barat di Indonesia, Penisular Malaysia, Serawak
dan Sabah di Malaysia, Brunei, dan sebelah Tenggara Thailand. Sebagain kecil
juga terdapat di Delta Mekong Vietnam dan kepulauan sebelah Utara Philipina.
Sebagian besar berada pada daerah rendah dan tempat yang masih terpengaruh
dengan kondisinya, berada di daratan sampai jarak 100 km sepanjang aliran
sungai dan daerah tergenang. Lahan gambut menutupi lebih dari 26 juta hektar
(69% dari seluruh lahan gambut tropis) pada ketinggian sekitar 50 m dpl. (Rieley,
2007).
Sebagai catatan, hingga kini luas lahan gambut di Indonesia belum
dibakukan, karena itu data luasan yang dapat digunakan masih dalam kisaran
13,5-26,5 juta ha (rata-rata 20 juta ha). Indonesia merupakan negara yang
memiliki lahan gambut tropis terluas di dunia atau setengah dari luas lahan
gambut tropis dunia berada di Indonesia (Najiyati et al, 2005).
2.2 Hutan Rawa Gambut
Hutan rawa gambut terbentuk di daerah pesisir sebagai lahan basah pesisir,
maupun di darat sebagai lahan basah daratan. Tipe lahan basah ini berkembang
terutama di dataran rendah dekat daerah pesisir, di belakang hutan bakau, di
sekitar sungai atau danau (Wetland International-Indonesian Programme, 1997
dalam Wahyunto et al, 2005).

Ekosistem hutan rawa gambut ditandai dengan adanya kubah gambut di


bagian tengah dan mendatar/rata di bagian pinggir serta digenangi air berwarna
coklat kehitaman seperti teh atau kopi sehingga sering disebut ekosistem air
hitam. Kubah gambut (peat dome) diawali oleh pembentukan gambut topogen di
lapisan bawah lalu diikuti oleh pembentukan gambut ombrogen di atasnya. Dalam
pembentukan gambut ombrogen, vegetasi bergantian tumbuh mulai dari pionir,
sekunder, klimaks, mati dan tertimbun di situ, sehingga lama-kelamaan timbunan
bahan organik gambut semakin tebal. Situasi ini mengarahkan keadaan
lingkungan ekosistem gambut semakin ekstrim asam, miskin hara dan anaerob.
Pada kubah gambut, pasokan hara semata-mata hanya datang dari air
hujan, tidak ada lagi pasokan hara dari air tanah maupun sungai. Kondisi tersebut
menyebabkan semakin sedikitnya jenis tumbuhan yang mampu beradaptasi dan
tumbuh di atasnya (Wibisono et al, 2005).
Hutan rawa gambut memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan yang relatif
lebih rendah dibandingkan dengan tipe vegetasi hutan dataran rendah lainnya di
daerah tropika. Keanekaragaman jenis tumbuhan hutan rawa gambut setara
dengan

keanekaragaman

jenis

tumbuhan

hutan

kerangas

dan

hutan

subpegunungan daerah tropika tetapi masih lebih tinggi daripada keanekaragaman


jenis hutan pegunungan dan bakau (Simbolon dan Mirmanto, 2000).
Tercatat 376 jenis tumbuhan dari hutan rawa gambut di Serawak dan
Brunai, serta 310 jenis tumbuhan dari berbagai hutan rawa gambut di Kalimantan
Tengah. Hutan rawa gambut alami di berbagai daerah di Kalimantan mempunyai
kerapatan 1300-3200 individu/ha, dengan jumlah jenis antara 65-141 jenis dan
total basal area batang pohon dengan diameter lebih dari 5 cm sebesar 23-47 m
2 /ha. (Simbolon dan Mirmanto, 2000).
2.3 Tanah Gambut
Tanah gambut selalu terbentuk di tempat yang kondisinya jenuh air atau
tergenang, misalnya cekungan-cekungan di daerah perlembahan, rawa bekas
danau, atau di daerah depresi/basin di dataran pantai diantara dua sungai besar.
Pada cekungan-cekungan tersebut terdapat bahan organik dalam jumlah banyak

yang dihasilkan oleh tumbuhan alami yang telah beradaptasi dengan lingkungan
jenuh air (Wahyunto et al, 2005).
Pembentukan gambut di beberapa daerah pantai Indonesia diperkirakan
dimulai sejak zaman glasial akhir, sekitar 3.000 - 5.000 tahun yang lalu. Untuk
gambut pedalaman bahkan lebih lama lagi, yaitu sekitar 10.000 tahun yang lalu
(Brady, 1997). Seperti gambut tropis lainnya, gambut di Indonesia dibentuk oleh
akumulasi residu vegetasi tropis yang kaya akan kandungan Lignin dan Nitrogen.
Karena lambatnya proses dekomposisi, di ekosistem rawa gambut masih dapat
dijumpai batang, cabang dan akar besar (Murdiyarso et al, 2004).
2.4 Gambut dan Karbon
Perubahan iklim merupakan fenomena global yang ditandai dengan
berubahnya suhu dan distribusi curah hujan. Kontributor terbesar bagi terjadinya
perubahan tersebut adalah gas-gas di atmosfer yang sering di sebut gas rumah
kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO2), methana (CH4) dan nitorus oksida
(NO2) yang konsentrasinya terus mengalami peningkatan (Mudiarso dan
Suryadinata, 2004 dalam Najiyati et al, 2005).
Gas-gas tersebut memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang
panjang yang bersifat panas sehingga suhu bumi akan semakain panas jika jumlah
gas-gas tersebut meningkat di atmosfer (Najiyati et al, 2005). Gangguan terhadap
ekosistem lahan basah akan mempengaruhi cadangan dan siklus karbon di alam.
Gangguan tersebut dapat berupa konversi lahan setelah hutan gambut mengalami
deforestasi, kebakaran dan drainase yang meluas (Murdiyarso et al, 2004).
Tingginya peningkatan konsentrasi CO2 disebabkan oleh aktivitas manusia
terutama perubahan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi,
pembangkit tenaga listrik dan aktivitas industri. Secara akumulatif, penggunaan
bahan bakar fosil dan perubahan penggunaan lahan dari hutan ke sistem lainnya
memberikan sumbangan sekitar setengah dari emisi CO2 ke atmosfir yang
disebabkan oleh manusia, tetapi dampak yang terjadi saat ini mempunyai rasio
3:1. Pada aktivitas pembakaran bahan bakar fosil berarti karbon yang telah diikat
oleh tanaman beberapa waktu yang lalu dikembalikan ke atmosfir.

Dalam kegiatan konversi hutan dan perubahan penggunaan lahan berarti


karbon yang telah disimpan dalam bentuk biomassa atau dalam tanah gambut
dilepaskan ke atmosfir melalui pembakaran (tebas dan bakar) atau dekomposisi
bahan organik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Cadangan karbon dari
suatu bentang lahan juga dapat dipindahkan melalui penebangan kayu, hanya saja
kecepatannya dalam melepaskan karbon ke atmosfir tergantung pada penggunaan
kayu tersebut. Diperkirakan bahwa antara tahun 1990 - 1999, perubahan
penggunaan lahan memberikan sumbangan sekitar 1.7 Gt tahun -1 dari total emisi
CO2 (Watson et al., 2000 dalam Lusiana et al, 2005).
2.5 Komponen Abiotik Ekosistem Hutan Rawa Gambut
Lingkungan abiotik membentuk ciri fisik dan kimia temepat hidup
makhluk hidup, contoh komponen abiotik antara lain adalah suhu, cahaya, air,
kelembaban, udara, garam-garam mineral dan tanah. Komponen ini tidak berdiri
sendiri, tetapi saling berinteraksi sehingga mempengaruhi sifat yang satu dengan
sifat yang lain (Aryulina, 2007). Untuk komponen abiotik terdiri atas:
1. Lapisan Humus, adalah lapiasan teratas dari tanah, merupakan lapisan tanah
yang memiliki tingkat kesuburan yang tinggi.
2. Serasah adalah tumpukan dedaunan kering, rerantingan, dan berbagai sisa
vegetasi lainnya di atas lantai hutan atau kebun. Serasah yang telah membusuk
(mengalami dekomposisi) berubah menjadi humus (bunga tanah), dan
akhirnya menjadi tanah
3. Suhu, dikatakan sebagai derajat panas atau dingin yang dapat diukur
berdasarkan skala tertentu dengan manggunakan berbagai thermometer
(Kartasapoetra, 1987).
4. Kelambaban, adalah banyaknya kadar uap air yang ada di udara
5. Air, merupakan bahan yang sangat vital bagi kehidupan tanaman. Kekurangan
air mengakibatkan terganggunya perkembangan morfologi dan proses
fisiologis tanaman (Jumin, 1987).
6. Cahaya, terdiri atas partikel-partikel kecil yang disebut foton dan foton ini
mempunyai sifat-sifat materi dan gelombang. Foton juga memiliki energi yang
dinyatakan dengan kuantum. (Dwidjoseputro, 1986).

7. Iklim, adalah kondisi cuaca dalam jangka waktu lama dalam suatu area. Iklim
makro meliputi iklim global, regional, dan local. Sedangkan iklm mikro
meliputi iklim dalam suatu daerah yang dihuni komunitas tertentu.
2.6 Komponen Biotik Ekosistem Hutan Rawa Gambut
Sebagian besar anggota famili tumbuhan yang terdapat di hutan hujan
dataran rendah juga terdapat di hutan rawa gambut, kecuali Combretacea
Lythraceae, Protaceae dan Styracaceae. Dibandingkan dengan tipe hutan lainnya,
hutan rawa gambut termasuk miskin akan jenis, meskipun relatif miskin akan
jenis, tetapi hutan rawa gambut memiliki kerapatan pohon yang tinggi (Anderson,
1976; 1983).
Salah satu bentuk adaptasi tumbuhan yang mudah dilihat di hutan rawa
gambut adalah terdapatnya akar nafas (pneumatophore) pada berbagai jenis
tumbuhan. Akar nafas merupakan bentuk adaptasi tumbuhan yang umum dijumpai
di habitat yang sering digenangi air, misalnya hutan mangrove, hutan rawa dan
hutan rawa gambut (Whitmore 1990).
Beberapa jenis tanaman khas rawa gambut adalah: 1) Tumih
(Combretocarpus ratundus) 2) Mahang (Macaranga spp.) 3) Pulai (Alstonia
pneumatophora) 4) Milas (Parastemon urophyllum) 5) Balam-suntai (Palaquium
spp.) 6) Terentang (Camnosperma coreaceum) 7) Geronggang (Cratoxylon
arborencens) 8) Simpur (Dillenia excelsa) 9) Jelutung (Dyera lowii) 10) Gelam
(Melaleuca cajuputi) 11) Ramin (Gonystylus bancanus) 12) Meranti batu (Shorea
uliginosa) ( Istomo, 2004).
Pada hutan rawa gambut umumnya ada tiga lapisan tajuk, yaitu lapisan
tajuk teratas yang dibentuk oleh jenis-jenis ramin (Gonystylus bancanus), mentibu
(Dactylocladus stenostachys), jelutung (Dyera lowii), pisang-pisang (Mezzetia
parviflora), nyatoh (Palaqium spp), durian hutan (Durio sp), kempas (Koompassia
malaccensis) dan jenis-jenis yang umumnya kurang dikenal. Lapisan tajuk tengah
yang pada umunya dibentuk oleh jenis jambu-jambuan (Eugenia sp), pelawan
(Tristania sp), medang (Litsea spp), kemuning (Xantophyllum spp), mendarahan
(Myristica spp) dan kayu malam (Diospyroy spp). Sedangkan lapisan tajuk

terbawah terdiri dari jenis suku Annonaceae, anak-anakan pohon dan semak dari
jenis Crunis spp, Pandanus spp, Zalaca spp dan tumbuhan bawah lainnya.
Tumbuhan merambat diantaranya Uncaria spp. Sedangkan hewan yang terdapat
pada ekosistem hutan rawa gambut antara lain: 1. Burung Gereja 2. Ikan Gabus 3.
Ikan puyu 4. Capung 5. Kupu kupu 6. Zooplankton 7. Fitoplankton 8. Jangkrik
9. Ikan toman 10. Semut 11. Harimau 12. Gajah 13. Laba laba (Witaatmojo,
1975).

BAB III
PEMBAHASAN

10

3.1 Fungsi Ekosistem Hutan Gambut


Secara ekologis ekosistem hutan rawa gambut merupakan tempat
pemijahan ikan yang ideal selain menjadi habitat berbagai jenis satwa liar
termasuk jenis-jenis endemik. Dengan kata lain, hutan rawa gambut merupakan
sumber daya biologis yang penting yang dapat dimanfaatkan dan dikonservasi
untuk memperoleh manfaat yang lestari. Lahan gambut memiliki peranan
hidrologis

yang

penting

karena

secara

alami

berfungsi

sebagai

cadangan (reservoir) air dengan kapasitas yang sangat besar. Jika tidak mengalami
gangguan, lahan gambut dapat menyimpan air sebanyak 0,8 - 0,9 m 3/dtk. Dengan
demikian lahan gambut dapat mengatur debit air pada musim hujan dan musim
kemarau.
Nilai penting inilah yang menjadikan lahan rawa gambut harus dilindungi
dan dipertahankan kelestariannya. Untuk dapat memanfaatkan sumberdaya alam
termasuk lahan rawa gambut secara bijaksana perlu perencanaan yang teliti,
penerapan teknologi yang sesuai dan pengelolaan yang tepat. Fungsi dan manfaat
ekosistem gambut mengacu pada kegunaan, baik langsung maupun tidak langsung
bagi masyarakat. Beberapa fungsi dan manfaat dapat diringkas pada Tabel 3.1
berikut.
Tabel 3.1 Fungsi dan Manfaat Hutan Rawa Gambut

Fungsi Hutan Rawa Gambut


Pengaturan banjir dan arus larian

Manfaat dan Penggunaan


Mitigasi banjir dan kekeringan di wilayah
hilir. Gambut memiliki porositas yang tinggi
sehingga mempunyai daya serap air yang
sangat besar. Menurut jenisnya, gambut
saprik, hemik, dan fibrik dapat menampung
air berturut-turut sebesar 451% (empat ratus
lima puluh satu per seratus), 450-850%
(empat ratus lima puluh hingga delapan ratus
lima puluh per seratus), dan lebih dari 850%
(delapan ratus lima puluh per seratus) dari
bobot keringnya atau hingga 90% (sembilan

11

puluh per seratus) dari volumenya.


Karena

sifatnya

itu,

gambut

memiliki

kemampuan sebagai penambat (reservoir) air


tawar yang cukup besar sehingga dapat
menahan banjir saat musim hujan dan
sebaliknya melepaskan air tersebut pada
musim kemarau.
Kegiatan pertanian di wilayah pasang surut
akan

memperoleh

manfaat

besar

dari

keberadaan rawa gambut di wilayah hulu,


Pencegahan instrusi air laut

sebagai sumber air tawar untuk irigasi dan


memasok air tawar secara terus menerus
guna menghindari atau mitigasi intrusi air
asin.
Di beberapa wilayah pedesaan pesisir, rawa

Pasokan air

Penyimpanan karbon

gambut bisa jadi merupakan sumber air yang


dapat digunakan untuk keperluan minum dan
irigasi untuk beberapa bulan selama setahun.
Nilai keanekaragaman hayati yang dapat
ditangkap diperkirakan sebesar US $ 3 (tiga)
per hektar per tahun, tidak termasuk nilai
intrinsik jenis, potensi ekowisata serta bahanbahan farmasi yang dapat dipasarkan secara
internasional (Tacconi 2003). Hutan rawa
gambut

di

asia

tenggara

semakin

menunjukkan peran pentingnya sebagai bank


gen, terutama karena semakin menyusutnya
peran hutan dataran rendah akibat kegiatan
pembalakan
berbagai

dan

jenis

konversi
satwa,

lahan.

lahan

Bagi

gambut

menyediakan habitat yang sangat penting,


khususnya pada wilayah yang bersambung
12

dengan air tawar dan hutan bakau.

Habitat hidup liar

Meskipun tidak sebanyak di ekosistem hutan


tropis, ekosistem lahan gambut menyediakan
habitat penting yang unik bagi berbagai jenis
satwa dan tumbuhan, beberapa diantaranya
hanya terbatas pada ekosistem gambut. Di
Taman Nasional Berbak Jambi tercatat
sekitar 250 (dua ratus lima puluh) jenis
burung termasuk 22 (dua puluh dua) jenis
burung bermigrasi.
Sungai berair hitam juga memiliki tingkat
endemisme ikan yang sangat tinggi. Di
samping itu, lahan gambut juga merupakan
habitat ikan air tawar yang merupakan
komoditas dengan nilai ekonomi tinggi dan
penting untuk dikembangkan, baik sebagai
ikan

konsumsi

ornamental.

maupun

Beberapa

sebagai

jenis

ikan

ikan
yang

memiliki nilai ekonomi tinggi, termasuk


gabus

(chana

striata),

toman

(channa

micropeltes), jelawat, dan tapah (wallago


leeri).
Sementara itu, beberapa jenis satwa telah
termasuk

dalam

kategori

langka

13

dan

terancam punah serta memiliki nilai ekologis


yang luar biasa dan tidak tergantikan,
sehingga sangat sulit untuk dikuantifikasi
secara finansial. Beberapa jenis tersebut
diantaranya

adalah

harimau

sumatera

(panthera tigris), beruang madu (helarctos


malayanus),

gajah

sumatera

(elephas

maximus), dan orang utan (pongo pymaeus).


Seluruh jenis tersebut dilindungi berdasarkan
peraturan perlindungan di Indonesia serta
masuk dalam appendix I CITES dan IUCN
Red List dalam katagori endanger species.
Tidak kurang dari 300 (tiga ratus) jenis
tumbuhan telah tercatat di hutan rawa
gambut Sumatera. Di Taman Nasional
Berbak

Jambi,

misalnya

kawasan

ini

merupakan pelabuhan bagi keanekaragaman


Habitat tumbuhan

genetis dan ekologis dataran rendah pesisir di


Sumatera. Sejauh ini telah tercatat tidak
kurang dari 260 (dua ratus enam puluh) jenis
tumbuhan (termasuk 150 jenis pohon dan 23
jenis palem), sejauh ini merupakan jumlah
jenis terbanyak yang pernah diketahui
Hutan rawa gambut menempati kawasan
yang khusus pada bentang alam dataran
rendah, membentuk mosaik ekologi yang

Bentang alam

tersusun dari tipe vegetasi khas pada hutan


bakau,

diantara

hamparan

pantai

tua,

pinggiran sungai serta pertemuan dengan


hutan rawa air tawar

14

Hutan rawa gambut memiliki nilai alam liar yang


Alam liar

luar biasa, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk


perkotaan. Hal ini merupakan modal yang sangat
berharga untuk pengembangan pariwisata alam.

Rawa gambut menyediakan sumber alam yang


luar biasa, termasuk berbagai jenis tumbuhan
kayu yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti
ramin (gonystylus bancanus), jelutung (dyera
costulata) dan meranti (shorea spp).
Sumber hasil alam

Beberapa studi sosial-ekonomi menunjukkan


bahwa

ketergantungan

masyarakat

sekitar

terhadap hutan rawa gambut dapat mencapai


hingga 80% (delapan puluh per seratus) dan ini
lebih tinggi dari ketergantungan mereka terhadap
usaha pertanian.

3.2 Peraturan Terkait Ekosistem Hutan Gambut


3.2.1 Undang-undang
1. Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
2.
3.
4.
5.

Hayati dan Ekosistemnya.


Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-undang No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan
Undang-undang No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Undang-undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Walaupun tidak semua undang-undang di atas terkait secara langsung,

namun memiliki implikasi secara tidak langsung. Pada tataran undang-undang,


maka UU No. 5 tahun 1990 akan terkait dengan gambut yang berada pada
wilayah konservasi (taman nasional, cagar alam, dan lain-lain). Demikian juga

15

UU No. 41 tahun 1999 yang akan terkait dengan gambut yang berada di dalam
kawasan hutan. Sedangkan untuk sektor perkebunan, maka UU No. 18 tahun
2004 akan menjadi acuan bagi komoditi perkebunan yang ada di lahan gambut
(misal : kelapa sawit). Pada aspek keruangan, UU No. 27 tahun 2007 akan
berimplikasi pada kesatuan hidrologis gambut dan kesesuaiannya dengan tata
ruang. Dari keseluruhannya pada UU No. 32 tahun 2009 paling memiliki
kaitan erat dan menjadi aturan yang memayungi ekosistem gambut.
3.2.2 Peraturan Pemerintah
1. PP No.68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Pelestarian Alam
PP No.44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan
PP No.45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan
PP No.26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
PP No.27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan
PP No.37 tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
PP No.73 tahun 2013 tentang Rawa
PP No.71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem
Gambut
Pada tataran Peraturan Pemerintah, terdapat sedikitnya 8 peraturan

pemerintah yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan gambut.


Diawali dengan peraturan pemerintah tentang kawasan suaka alam dan
kawasan pelestarian alam yang merupakan landasan bagi perlindungan
ekosistem. Perencanaan kehutanan dan perlindungan hutan yang akan terkait
dengan gambut yang berfungsi lindung dan berada pada kawasan hutan juga
diatur melalui peraturan pemerintah. Selain itu, peraturan pemerintah tentang
izin lingkungan juga akan terkait dengan pemanfaatan ekosistem gambut yang
berada pada fungsi budidaya. Dalam hal ekosistem gambut berada pada rawa,
maka peraturan pemerintah tentang Rawa juga menjadi relevan dalam
beberapa pengaturannya. Terakhir, tahun 2014 Pemerintah menerbitkan
Peraturan mengenai perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut yang
memang secara khusus memberikan pengaturan terkait gambut
3.2.3 Keputusan Presiden/ Instruksi Presiden/ Peraturan Menteri
16

1. Keppres No.32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung


2. Keppres No.82 tahun 1995 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk
Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah
3. Keppres No. 80 tahun 1999 tentang Pedoman Umum Perencanaan dan
Pengelolaan Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan
Tengah
4. Inpres No.2 tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi
Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah
5. PerMen Pertanian No.41 tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan
Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit
6. Inpres No.10 tahun 2011 dan no.6 tahun 2013 tentang Penundaan
Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer
dan Lahan Gambut
7. PerMen Kehutanan No.41 tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Kehutanan No.32 tahun 2010 tentang Tukar Menukar Kawasan
8. PerMen Negara Lingkungan Hidup No.10 tahun 2010 tentang Mekanisme
Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang
berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan
Pada tataran yang paling rendah, terdapat Keputusan Presiden, Instruksi
Presiden dan juga Peraturan Menteri yang mengatur beberapa hal terkait
gambut. Walaupun tingkatannya dalam hierarki peraturan perundangan di
Indonesia berada di bawah Undang-undang dan Peraturan Pemerintah, namun
dalam konteks gambut, pengaturan awal yang terkait secara langsung adalah
Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 dan memberikan pengaturan yang
cukup mendasar terhadap ekosistem gambut, yaitu ketentuan mengenai
kedalaman gambut yang perlu dilindungi.
3.3 Permasalahan pada Ekosistem Hutan Gambut
3.3.1 Kerusakan Lahan Gambut
Perlu dipahami bahwa keberadaan, fungsi dan dampak akibat kerusakan
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tidak mengenal batas-batas
wilayah administrasi (misalnya batas kabupaten, batas propinsi atau bahkan
batas negara). Pengelolaan sumber daya alam hayati yang kurang baik
(misalnya eksploitasi yang berlebihan, dan sebagainya) di daerah hulu/daerah
17

tinggi (upstream, upperland) dampaknya tidak hanya dirasakan di derah yang


bersangkutan, melainkan akan dirasakan oleh daerah-daerah dibawahnya
(downstream, lowland).
Sebagian besar lahan gambut di Indonesia kini mengalami kerusakan
yang cukup mengkhawatirkan sebagai akibat dari adanya kegiatan-kegiatan
yang kurang/tidak berwawasan lingkungan. Kegiatan yang merusak antara
lain pembakaran lahan gambut dalam rangka persiapan lahan pertanian,
perkebunan, pemukiman dan lain-lain; penebangan hutan gambut yang tidak
terkendali (baik legal maupun ilegal) untuk diambil kayunya, pembangunan
saluran-saluran irigasi/parit/kanal untuk tujuan pertanian maupun transportasi.
Kegiatan-kegiatan diatas tidak hanya menyebabkan rusaknya fisik
lahan/hutan gambut (seperti amblasan/subsiden, terbakar dan berkurangnya
luasan gambut), tapi juga menyebabkan hilangnya fungsi gambut sebagai
penyimpan (sink) dan penyerap (sequester) karbon, sebagai daerah resapan air
yang mampu mencegah banjir pada wilayah disekitarnya pada musim hujan
dan mencegah intrusi air asin pada musim kemarau.
Disamping itu, kerusakan hutan dan lahan gambut juga menyebabkan
hilangnya keanekaragaman hayati dan sumber daya alam didalamnya.
Keberadaan parit dan sluran di lahan gambut (baik untuk mengangkut kayu,
produk pertanian maupun lalu lintas air) tanpa adanya sistem pengatur air
yang memadai telah menyebabkan keluarnya air dari dalam tanah gambut ke
sungai di sekitarnya tanpa kendali, sehingga lahan gambut tersebut di musim
kemarau menjadi kering dan mudah terbakar. Sebagai akibat kerusakan lahan
gambut dalam satu dasawarsa terakhir di Pulau Sumatera, telah menyebabkan
penyusutan kandungan karbon sebesar 3,5 milyar ton karbon.

3.3.2 Masalah Pengelolaan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

18

1. Kurang memperhatikan prinsip-prinsip ekologi dan karakteristik ekosistem


gambut, sehingga mengakibatkan timbulnya berbagai masalah.
2. Pengelolaan ekosistem gambut tidak berbasis kesatuan hidrologis gambut.
3. Pengelolaan

ekosistem

gambut

kurang

memperhatikan

sifat

dan

karakteristik gambut.
4. Kebijakan RTRW belum mempertimbangkan sifat dan karakteristik
gambut.
5. Kurangnya data dan informasi tentang ekosistem gambut.

3.4 Metoda Konservasi Ekosistem Hutan Gambut


a. Identifikasi dan Inventarisasi Potensi Kawasan Lahan gambut
Kegiatan identifikasi dan inventarisasi potensi ekosistem lahan gambut
merupakan langkah yang harus dilakukan sebelum upaya pemanfaatan dan
konservasi dapat dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh. Upaya ini
masih perlu dilakukan mengingat luasnya wilayah negara kita.
b. Interpretasi Fungsi Kawasan Lahan Gambut dan Sosialisasi ke
Masyarakat Luas
Informasi-informasi mengenai apa itu kawasan/ekosistem lahan gambut,
potensi, fungsi dan manfaatnya sangat penting bagi masyarakat yang sebagian
besar tidak mengetahuinya.
c.

Identifikasi Manfaat Berkelanjutan


Pemanfaatan terhadap potensi ekosistem lahan gambut hanya mungkin

dilakukan sepanjang hal tersebut dilakukan berdasarkan pengetahuan dan


pemahaman mengenai keberadaan populasi dan habitat dari kehidupan
penghuni kawasan lahan gambut yang mengandung potensi penting namun
juga memiliki sifat keterbatasan.
d. Akses Bagi Pemanfaatan Berkelanjutan Bagi Masyarakat Sekitar
19

Setelah upaya identifikasi manfaat berkelanjutan tersebut dilakukan, upaya


selanjutnya adalah mengembangkan kegiatan pemanfaatan yang berkelanjutan
dan menyediakan akses bagi masyarakat, terutama masyarakat sekitar
kawasan lahan gambut, agar mereka benar-benar dapat merasakan manfaat
dari keberadaan kawasan lahan gambut tersebut sehingga pada gilirannya
mereka dapat menjadi pelestari kawasan lahan gambut.
e. Perlindungan Terhadap Kawasan Lahan gambut
Mengingat ekosistem lahan gambut tidak mengenal batas administrasi
pemerintahan maka upaya konservasi haruslah dilakukan melalui pendekatan:

Melindungi hutan yang tumbuh diatas kawasan lahan gambut.

Menetapkan suatu kawasan tertentu untuk dikelola sebagai perwakilan


konservasi ekosistem lahan gambut.

Melakukan tindakan pemanfaatan dengan menerapkan kaidah-kaidah


konservasi secara terencana dan konsisten, misalnya untuk kegiatan
ekowisata.

Didalam

pengembangan

ekowisata

dan

berprinsip

ekowisata, kelestarian obyek dan kelestarian sumber daya sudah


terpatri, demikian pula manfaat bagi masyarakat sekitar.
f.

Pemanfaatan Bijaksana Ekosistem Lahan Gambut Secara


Berkolaborasi
Sasarannya adalah terwujudnya akses bagi para pihak untuk ikut berbagi

peran, tanggung jawab dan mendapatkan manfaat secara adil terhadap


ekosistem lahan gambut. Pengelolaan Bersama merujuk pada proses dan alat
pemecahan masalah, penanganan peluang atau pengelolaan kepentingan
bersama dalam pengelolaan SDAH&E, selaras dengan rekomendasi dari
Kongres kehutanan Dunia :
1. Seluruh masyarakat yang bergantung pada sumberdaya hutan, mempunyai
tanggungjawab pada: keanekaragaman hayati, keteraturan iklikm, udara
bersih, konservasi air dan tanah, ketahanan pangan, hasil kayu dan non
kayu, jasa energi, obat-obatan, serta nilai-nilai budaya.
2. Kebutuhan planet dan manusia dapat diselaraskan, dan hutan mempunyai
potensi untuk memberikan potensi bagi penyelamatan lingkungan,
20

pengentasan kemiskinan, keadilan sosial, peningkatan kesejahteraan


manusia, modal bagi generasi sekarang dan akan datang.
3. Penyelarasan kebutuhan planet bumi dan manusia tidak dapat dilakukan
hanya oleh satu pihak, melainkan perlu kerjasama semua pihak.

BAB IV
PENUTUP

21

4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Secara umum lahan gambut memiliki peranan hidrologis yang penting
karena secara alami berfungsi sebagai cadangan (reservoir) air dengan
kapasitas yang sangat besar.
2. Terdapat tiga tataran peraturan yang terkait dengan ekosistem hutan
gambut yakni Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Keppres/Inpres/
KeMen.
3. Peraturan terbaru yang dijadikan pedoman dalam pengelolaan ekosistem
hutan gambut adalah PP No.71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Ekosistem Gambut.
4. Kerusakan lahan gambut yang paling dominan adalah kegiatan
pembakaran lahan gambut.
5. Metoda konservasi ekosistem hutan gambut terdiri atas inventarisasi,
interpretasi, identifikasi, akses, perlindungan dan pemanfaatan lahan
gambut.
4.2 Saran
Saran penulis terhadap materi uraian adalah sebagai berikut :
1. Diupayakan

kegiatan

konservasi

ekosistem

lahan

gambut

dapat

terselenggara dengan baik dan holistik menggunakan prinsip integralistik


pembangunan berkelanjutan
2. Diharapkan peraturan terbaru yang dikeluarkan pemerintah dalam bentuk
PP No.71 tahun 2014 dapat dilaksanakan dengan sebaik mungkin sesuai
denga nisi dari pasal-pasal yang tercantum di dalamnya.
3. Dikarenakan oleh kegiatan pembakaran lahan gambut diidetifikasi sebagai
penyebab kerusakan yang paling dominan, maka sebaiknya dilakukan tata
ulang kelola lahan gambut dengan bekerja sama dengan masyarakat sekitar
sehingga pengelolaan dan pemantauan dapat dioptimalkan.

22

DAFTAR PUSTAKA
Adhi, W. 1986. Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut dan lebak. Jurnal Litbank
Pertanian 5: 1-9.

23

Bahri,

Maswar.

2011.

Ekosistem

Lahan

Gambut.

Diakses

dari

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24260/4/Chapter%20II.pdf
pada hari Minggu tanggal 17 April 2016 pukul 08.14 WIB.
Booth RK, Lamentowicz M, Charman DJ. 2010. Preparation and Analysis of
Testate Amoebae in Peatland Palaeoenvironmental Studies. Mires and
Peat 7:17.
Deputi III KLH. 2013. Relevansi Moratorium Hutan Alam Primer dan Lahan
Gambut terhadap Upaya Pengurangan Emisi GRK di Lahan Gambut.
Diakses dari http://indones ia.wetlan ds.org/Po rtals/28/P DF/3.% 20P
APARAN%20DEPUTI%20III%20MORATORIUM%20GBT- REV %20
Huda.pdf pada hari Minggu tanggal 17 April 2016 pukul 12.10 WIB
Driessen, P.M. 1977. Formation, Properties, Reclamation and Agricultural
Potential of Indonesian Mmbrogeneos Lowland Peats. Soil Reseaceha
Intitute.
Golley, F.B. (Ed.). 1977. Ecological Succession. Benchmark Papers In Ecology V.
5. Dowden. Hutchinson and Rose, Inc., Stroudsburg. Pennsylvania
Rusandi, rio.
Indonesia Peatland Network. 2010. Lahan Gambut dan Keanekaragaman Hayati.
Diakses

dari

http://www.cifor.org/ipn-toolbox/wp-content/uploads/p

df/C1.pdf pada hari Sabtu tanggal 16 April 2016 pukul 19.20 WIB.
Indrarto, Giorgio Budi. 2014. Aspek Legalitas dari Perlindungan dan
Pengelolaan Gambut di Indonesia. Diakses dari http://www.cifor.org/ipntoolbox/wp-content/uploads/pdf/A3.pdf pada hari Minggu tanggal 17 April
2016 pukul 10.41 WIB.
Maryati,

dkk.

2014.

Ekosistem

Hutan

Rawa

Gambut.

Diakses

dari

http://ekotum116bekosistemhutanrawagambut.blogspot.co.id/2014/05/mak
alah-ekosistem-hutan-rawa-gambut_23.html pada hari Sabtu tanggal 16
April 2016 pukul 13.32 WIB.
Sukadri, Doddy. 2014. Kerusakan Lahan Gambut dan Upaya Konservasi. Diakses
dari

https://aguraforestry.com/2013/12/02/kerusakan-lahan-gambut-dan-

24

upaya-konservasinya/ pada hari Minggu tanggal 17 April 2016 pukul


12.12 WIB
Wetland International. 2011. Lahan Gambut dalam National REDD+ Strategy
Indonesia.

25

You might also like