Professional Documents
Culture Documents
KIMIA PANGAN
ACARA 1
KARBOHIDRAT
Disusun Oleh :
Nama
: Santi Wilujeng
NIM
: H1916024
Kelas
:A
Kelompok: 4
ACARA I
KARBOHIDRAT
A. TUJUAN
Tujuan dari praktikum Acara I Karbohidrat adalah :
1. Mengetahui pengaruh asam dan alkalis terhadap disakarida.
2. Mengetahui pengaruh asam dan alkalis terhadap monosakarida.
3. Mengetahui pengaruh suhu terhadap proses gelatinisasi pati.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Alat dan Bahan
Neraca analitik yang digunakan dalam laboratorium pengantar
merupakan instrumen yang akurat yang mempunyai kemampuan
mendeteksi bobot pada kisaran 100 g sampai dengan kurang lebih 0,0001 g.
Ini merupakan ketidak tentuan dari hanya 1 bagian per sejuta. Sampai tahun
1950-an kebanyakan dari neraca ini adalah neraca dua piring, yang juga
dirujuk sebagai neraca lengan sama. Kemudian muncullah neraca piring
tunggal atau taksama (kadang-kadang juga disebut neraca beban konstan),
yang merupakan pengganti dari neraca dua piring. Sekarang neraca
elektronik (juga disebut dengan neraca elektromagnetik) secara langsung
menggantikan neraca mekanik atau neraca piring tunggal. Listrik
digunakan untuk membangkitkan tenaga magnetik yang menyetimbangkan
beban-beban yang ditempatkan di dalam piring neraca. Listrik yang
diperlukan untuk membangkitkan tenaga secara langsung berbanding lurus
dengan massa yang berada di piring (Day, 1998)
Waterbath adalah suatu alat yang dipergunakan untuk memanaskan
larutan yang ditempatkan dalam alat gelas, tabung reaksi maupun tube.
Maing-masing tipe waterbath memiliki kisaran suhu pemanasan tertentu.
Water bath atau double bouler (dalam bahasa inggris) adalah bagian dari
peralatan yang digunakan dalam sains, industri dan kuliner dengan
pemanasan sedang dan secara bertahap suhu tetap, atau untuk menjaga agar
material hangat selama periode waktu tertentu (Maftuchah, 2014).
Pembuatan gliserol dengan cara hidrolisis dapat dilakukan dengan
bantuan katalis atau tanpa katalis. Hidrolisis tanpa katalis dilakukan pada
suhu 373oC, sedangkan dengan katalis dapat dilakukan pada suhu 100 oC.
Katalis yang dapat digunakan bisa berupa katalis homogen (HCl dan
H2SO4) dan katalis heterogen berupa resin. Keunggulan katalis homogen
adalah konversi reaksi yang dihasilkan lebih besar dibandingkan katalis
heterogen. Reaksi hidrolisis minyak biji karet dengan katalis HCl
mendapatkan konversi reaksi sebesar 84%. Pemilihan HCl sebagai katalis
disebabkan karena sifatnya yang lebih reaktif dan harganya yang murah.
semakin pekat katalisator, maka reaksi hidrolisis dapat menghasilkan
gliserol yang maksimum. Namun bila katalis terlalu pekat maka gliserol
yang dihasilkan berkurang, karena ada sebagian dari katalisator yang
terarangkan, sehingga kurang reaktif. Penggunaan asam pekat yang juga
merupakan oksidator kuat memungkinkan untuk terbentuk arang (Aziz,
2013).
Kelapa sawit (PO), yang diperoleh dari tanaman tropis Elaeis
guineensis, merupakan volume terbesar kedua minyak nabati yang
diproduksi di dunia. Hal ini kaya asam lemak jenuh, antioksidan dan
vitamin dan secara luas digunakan sebagai minyak dalam diet. Sebuah studi
sebelumnya
oleh
Oluba
(2012)
menunjukkan
bahwa
PO
lebih
tidak larut dalam fase air, sehingga reaksi harus mengambil tempat pada
antar muka air dan fase lipid (Murty, 2002).
Proses oksidasi apabila terjadi kontak antara oksigen dengan
minyak dan akan menyebabkan ketengikan karena proses oksidasi ini
disebut oxidative rancidity. Enzim dapat menguraikan minyak dan akan
menyebabkan minyak tersebut menjadi tengik, ketengikan itu disebut
enzymatic rancidity. Lipase yang bekerja memecah lemak menjadi gliserol
dan asam lemak serta menyebabkan minyak berwarna gelap. Sedangkan
enzim peroksida membantu proses oksidasi minyak sehingga menghasilkan
keton. Warna minyak ditentukan oleh adanya pigmen yang masih tersisa
setelah proses pemucatan, karena asam-asam lemak dan trigliserida tidak
berwarna. Minyak yang berwarna oranye atau kuning disebabkan adanya
pigmen karoten yang larut dalam minyak. Bau dan flavor dalam minyak
terdapat secara alami, juga terjadi akibat adanya asam-asam lemak berantai
pendek akibat kerusakan minyak. Sedangkan bau khas minyak kelapa sawit
ditimbulkan oleh persenyawaan beta ionone. Titik cair minyak sawit
berbeda dalam nilai kisaran suhu, karena minyak kelapa sawit mengandung
beberapa macam asam lemak yang mempunyai titik cair yang berbedabeda. Mutu minyak kelapa sawit yang baik mempunyai kadar kurang dari
0,1% dan kadar kotoran lebih kecil dari 0,01 %, kandungan asam lemak
bebas serendah mungkin (kurang lebih 2% atau kurang) (Muchtadi dkk,
2010).
Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik
yang disebut proses ketengikan (rancidity), ketengikan terjadi karena asam
lemak pada suhu ruang dirombak akibat hidrolisis atau oksidasi menjadi
hidrokarbon, alkanal atau keton serta sedikit epoksi dan alkohol (alkanol).
Bau yang kurang sedap muncul akibat campuran dari berbagai produk ini.
Selain pada suhu kamar, proses ini dapat terjadi selama proses pengolahan
menggunakan suhu tinggi. Hasil oksidasi minyak atau lemak dalam bahan
pangan tidak hanya mengakibatkan rasa dan bau yang tidak enak, tetapi
juga dapat menurunkan nilai gizi karena rusaknya vitamin (karoten dan
tokoferol) dan asam lemak esensiall dalam lemak, (Siswanti, 2000).
Lemak hewan pada umumnya berupa zat padat pada suhu ruangan,
sedangkan lemak yang berasal dari tumbuhan berupa zat cair. Lemak
mempunyai titik lebur tinggi mengandung asam lemak jenuh, sedangkan
lemak cair disebut minyak mengandung asam lemak tidak jenuh. Pada
umumnya lemak apabila dibiarkan lama di udara akan menimbulkan rasa
dan bau yang tidak enak. Hal ini disebabkan oleh proses hidrolisis yang
menghasilkan asam lemak bebas. Di samping itu dapat pula terjadi proses
oksidasi terhadap asam lemak tidak jenuh yang hasilnya akan menambah
bau dan rasa yang tidak enak. Oksidasi asam lemak tidak jenuh akan
menghasilkan peroksida dan selanjutnya akan terbentuk aldehid. Inilah
yang menyebabkan terjadinya bau dan rasa tidak enak atau tengik.
Kelembaban udara, cahaya, suhu tinggi, dan adanya bakteri perusak adalah
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya ketengikan lemak (Poedjiadi,
2009).
Produk oksidasi lipid dimana-mana dalam makanan, meskipun
banyak variasi di jenisnya dan tingkatannya saat ini. Meskipun tingkat
senyawa ini umumnya rendah, masalah oksidasi lipid sekaligus merusak
kualitas beberapa produk makanan dan membatasi kehidupan yang lain.
Semua makanan yang mengandung lemak, bahkan pada tingkat yang
sangat rendah (<1%), rentan terhadap oksidasi, yang menyebabkan tengik.
Perubahan kerusakan pada makanan yang disebabkan oleh oksidasi lipid
tidak hanya meliputi kehilangan rasa atau tawar, tetapi juga hilangnya
warna, nilai gizi, dan akumulasi senyawa, yang dapat merugikan kesehatan
konsumen (Wasowics et al., 2004).
Ketengikan adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan
rusaknya lemak dan
biokonversi,
seperti
hidrolisis,
interesterifikasi,
esterifikasi,
k. Waterbath
l. Stopwatch
m. Kamera dokumentasi
n. Gelas beaker
o. Gelas objek
p. Gelas penutup
q. Kompor listrik
r. Pengaduk kaca
s. Penjepit kayu
t. Thermometer
u. pH universal
v. Sendok
2. Bahan
a. Larutan sukrosa 5%t
b. NaOH 0,1 N
c. HCl 0,1 N
d. Air Suling
e. NaHCO3 Kristal
f. Pereaksi Benedict
g. Larutan Glukosa 0,1 M
h. Tepung tapioka
i. Tepung maizena
j. Lautan iodine
3. Cara Kerja
a. Pengaruh asam dan alkali terhadap gula sederhana
1. Pengaruh asam dan alkali terhadap disakarida (Sukrosa)
2 ml pereaksi benedict
Ditambahkan pereaksi pada setiap tabung lalu dipanaskan dalam penangas air selama 5 menit (pemanasan II)
Tabung
: ditambah
HClTabung
0,1 N sebanyak
3 : ditambah
2mlaquades sebanyak 2 ml
Tabung 1 : ditambah NaOH
0,1 N2sebanyak
2ml
b. Gelatinisasi pati
Pati tapioka dan maizena
Masing-masing gelas beker yang sudah terdapat pati diberikan 100 ml aquadest
9 sampel pati maizena dan tapioka yang telah berisi aquadest dikondisikan pada suhu kamar, suhu 40C, 50C, 60C, 65C, 70C, 75C, 80C dan 85C
Kel
.
Sampel
Zaitun
Kuning
bening
Wijen
Warna
Bau
Tidak
berbau
Wuju
d
Bau
Cair
Kuning
muda
Tidak
berbau
Kuning
Bau wijen
kecoklat
an
Bau wijen
Cair
Kuning
kecoklata
n
Sawit
Kuning
bening
Tak
berbau
Cair
Kuning
keruh
Tak
berbau
Lemak
sapi
Kuning
keruh
Amis
Putih susu
Amis
Kenta
l
Wuju
d
Cair
Padat
Pada dasarnya, sifat fisik minyak dan lemak sangat ditetukan oleh suhu
yang dialaminya serta susunan asam lemak tersebut di dalam triasilgliserol. Dalam
praktikum kali ini sesuai hasil yang telah tertuang dalam Tabel 2.1 dapat diketahui
adanya perbedaan perubahan dari tiap sampel dilihat dari segi warna, bau dan
wujud, hal ini dikarenakan karakteristik masing-masing minyak tersebut berbeda.
Berdasarkan analisis perubahan yang terjadi pada minyak sawit (minyak sawit
dari berwarna kuning bening dan cair menjadi kuning keruh dan padat), minyak
ini mengandung 2 asam lemak, yakni jenuh karena memadat pada suhu rendah
dan tak jenuh karena berwujud cair di suhu ruang. Hal ini sesuai dengan teori
bahwa minyak sawit memiliki beberapa jenis lemak jenuh diantaranya asam
laurat (0.1%), asam miristat (1%), asam stearat (5%), dan asam palmitat (44%).
Minyak sawit juga memiliki asam lemak tak jenuh dalam bentuk asam
oleat (39%), asam linoleat (10%), dan asam alfa linoleat (0.3%). Winarno (2008)
juga menjelaskan minyak sawit mempunyai titik leleh 25-50 0C, mengandung
asam lemak dominan yaitu asam palmitat (lemak jenuh) 50.46% dan asam oleat
(lemak tak jenuh) sebesar 40.35%. Dalam Edwar (2011) minyak goreng sawit
Cair
Cair
mempunyai asam lemak tidak jenuh hanya sebesar 48%, dan sisanya adalah asam
lemak jenuh.
Hasil praktikum untuk sampel minyak zaitun, menunjukkan bahwa
minyak ini memiliki kenampakan yang stabil baik itu di suhu ruang ataupun suhu
rendah terutama untuk wujud yang selalu berbentuk cair. Maka dapat disimpulkan
minyak zaitun mengandung asam lemak tak jenuh sesuai ciri minyak nabati pada
umumnya dan hal tersebut telah sesuai dengan teori dari Witradharma dkk (2009)
menyatakan bahwa minyak zaitun memiliki komposisi asam lemak tak jenuh
tunggal, yaitu asam oleat (C18:1;9), asam lemak jenuh, yaitu asam palmitat
(C16:0) dan asam lemak tak jenuh ganda, yaitu asam linoleat (C18:2;9,12) serta
asam lemak yang lain. Asam oleat atau asam cis-9-oktadekanoat merupakan asam
lemak tak jenuh yang banyak terkandung dalam minyak nabati. Kandungan
terbesar asam oleat adalah pada minyak zaitun (5-80%).
Menurut Rasyid (2003) minyak wijen tetap cair ketika di berikan suhu
<10C karena pada minyak wijen mengandung ikatan rangkap atau mengandung
asam lemak tak jenuh. Berdasar teori tersebut percobaan untuk minyak wijen,
didapatkan hasil yang tidak sesuai teori dimana wijen setelah didinginkan menjadi
memadat padahal menurut Herlina (2002), minyak wijen mengandung asam
lemak tidak jenuh jenis linolenat yang masih berbentuk cair walaupun didinginkan
pada suhu < 100C. Menurut teori dari Handajani (2012) wijen (Sesamum indicum
L) merupakan salah satu komoditas sumber minyak nabati. Minyak wijen
mengandung banyak asam lemak tak jenuh, terutama asam oleat (C 18:1) dan asam
linoleat (C18:2, Omega-6).
Pada percobaan lemak sapi, awalnya berwarna kuning pekat, berbau amis
serta berwujud kental setelah diletakkan pada gelas beker yang berisi air bersuhu
<10oC warna menjadi putih susu, bau lebih amis serta berwujud padat. Wujud dari
lemak sapi dari kental menjadi padat ini dikarenakan lemak sapi mengandung
asam lemak jenuh dan tak jenuh. Menurut teori dari Witradharma dkk (2009)
menyatakan bahwa pada lemak sapi, kandungan asam lemak didominasi oleh
asam lemak tak jenuh tunggal yaitu asam oleat (C18:1;9), diikuti asam lemak
jenuh yaitu asam palmitat (C16:0) dan asam palmitoleat (C16:1). Titik cair lemak
sapi berarti diatas suhu ruang, hal ini dibuktikan dengan wujud yang kental pada
suhu ruang sebelum dimasukkan ke gelas berisi air dingin. Sehingga pada suhu
ruang (30C) lemak sapi berwujud kental dan ketika didinginkan dengan air
dingin menjadi padat. Perubahan warna dari kuning keruh ke putih susu perkat
terjadi karena perubahan wujud yang memadat sehingga partikel-partikel dalam
lemak sapi bersatu dalam padatan yang menyebabkan warna menjadi putih susu
atau mengeruh.
Asam lemak jenuh dan tak jenuh memiliki perbedaan yang signifikan
dilihat dari jenis ikatannya. Asam lemak tidak jenuh berbeda dalam jumlah dan
posisi ikatan ragkapnya, dan berbeda dengan asam lemak jenuh dalam bentuk
molekul keseluruhanya. Asam lemak tak jenuh biasanya cis. Karena itu molekul
akan bengkok pada ikatan rangkap, walaupun ada juga asam lemak tidak jenuh
dalam bentuk trans. Lemak jenuh adalah lemak di mana tidak ada ikatan rangkap
di antara atom karbon pada rantai asam lemaknya. Lemak jenuh biasanya
berbentuk padat pada suhu kamar. Dehidrogenasi mengkonversi lemak jenuh
menjadi lemak tak jenuh, sedangkan hidrogenasi sebaliknya (Winarno, 2008).
Suhu dingin berpengaruh terhadap minyak/lemak karena menyebabkan
kondisinya lebih padat. Pada kondisi demikian titik lebur akan semakin tinggi
terutama untuk minyak yang mengandung jenis asam lemak jenuh. Perubahan
minyak pada kondisi dingin disebabkan oleh karakteristiknya yakni memiliki titik
lebur yang relative tinggi terutama untuk jenis asam lemak jenuh sehingga apabila
didinginkan akan berwujud padat atau membeku. Titik lebur suatu lemak atau
minyak dipengaruhi oleh sifat asam lemak, yaitu daya tarik antar asam lemak
yang berdekatan dalam kristal. Gaya ini ditentukan oleh panjang rantai C, jumlah
ikatan rangkap, dan bentuk cis dan trans pada asam lemak tidak jenuh. Makin
panjang rantai C, titik cair akan semakin tinggi dan titik lebur menurun dengan
bertambahnya jumlah ikatan rangkap. Makin banyak ikatan rangkap, ikatan makin
lemah, berarti titik cair akan lebih rendah. Sehingga asam lemak jenuh
mempunyai titik lebur lebih tinggi daripada asam lemak tidak jenuh,
(Praseptiangga, 2013)
Berdasar dari tabel 2.1 maka dapat diurutkan tingkat kejenuhan sampel
dari sampel yang tidak jenuh hingga sampel terjenuh, urutannya adalah
minyak zaitun > minyak kelapa sawit > lemak sapi.
Penyimpangan antara hasil praktikum dan teori terjadi pada sampel minyak wijen
dimana ditemukan berubah menjadi padat pada suhu rendah padahal secara
teoritis minyak jenis ini akan tetap berbentuk cair meskipun dikenakan suhu
rendah sekalipun. Hal ini terjadi mungkin dikarenakan minyak wijen tercampur
dengan sampel lainnya, karena penggunaan pipet ukur yang bergantian dan tidak
dibersihkan dahulu sehingga terjadi kontaminasi dengan sampel jenis lain
Tabel 2.2 Hasil Uji Ketengikkan Minyak dengan metode Kreiss
Kel
Sampel
Minyak jelantah
+ air
Minyak baru +
air
3
Minyak jelantah
Minyak baru
Sebelum
Lapisan atas : kuning
keruh
Lapisan bawah: bening
Lapisan atas : kuning
bening
Lapisan bawah: bening
Lapisan atas : kuning
keruh
Lapisan bawah: bening
Lapisan atas : kuning
bening
Lapisan bawah: bening
Sesudah
Lapisan atas : putih keruh
Lapisan bawah: keruh
Lapisan atas : putih susu
Lapisan bawah: keruh
1 lapisan : putih susu
Lapisan atas : putih susu
Lapisan bawah: bening
kerusakan
dikenal
sebagai
reaksi
radikal
asam
lemak
tidak
jenuh
minyak. Oleh karena itu dapat disimpulkan ada ketidak sesuaian antara teori
dan hasil praktikum. Ketidaksesuaian ini mungkin terjadi karena penambahan
larutan yang tidak sesuai takaran, karena perubahan warna selain disebabkan
oleh faktor intrinsic dan ekstrinsik dari minyak juga berasal dari larutan baik
HCL dan Phloroglucinol yang ditambahkan, dimana larutan ini juga
memancing terbentuknya lapisan pink yang sengaja ditambahkan pada
praktikum kali ini.
Tabel 2.3 Hasil Pengamatan Uji Angka Asam
Ke
l
4
Sampel
Minyak
Jelantah
Berat Minyak
(gr)
5
Volume
NaOH (ml)
Angka Asam
0.4 ml
0.32
0.3 ml
0.24
Minyak Sawit
Sumber : Laporan Sementara
untuk
menunjukkan
kandungan
asam
lemak
bebas
yang
mempengaruhi kualitas minyak dan lemak. Dimana angka asam yang tinggi
pada minyak jelantah diakibatkan oleh proses hidrolisis pada saat proses
penggorengan. Angka asam dapat diturunkan dengan proses adsorpsi.
Pembentukan asam lemak bebas dalam minyak goreng bekas atau jelantah
diakibatkan oleh proses hidrolisis yang terjadi selama prosess penggorengan
yang biasanya dilakukan pada suhu 160-200 oC. uap air yang dihasilkan pada
menunjukkan asam lemak bebas yang besar yang berasal dari hidrolisa
minyak ataupun karena proses pengolahan yang kurang baik, serta meski
tinggi angka asam, akan tetapi makin rendah kualitasnya maka dapat
disimpulkan tidak ada penyimpangan karena diketahui angka asam dari
minyak sawit yang baru sudah terbukti lebih rendah dibandingkan dengan
minyak jelantah.
Bukti pendukung lain bahwa minyak jelantah memiliki angka asam
yang tinggi adalah karena biasanya minyak jenis ini telah dipakai berulang
kali dalam proses penggorengan atau pemanasan, dimana akan menyebabkan
perubahan pada kandungan minyak itu sendiri. Pemanasan yang berkali-kali
menyebabkan kerusakan karena teroksidasi oleh udara dan oleh suhu tinggi
sehingga terbentuklah asam-asam lemak yang berada dalam jumlah yang
banyak dan terbukti terukur oleh uji angka asam ini. Sedangkan minyak baru,
masih mengandung asam lemak esensial dan asam lemak tak jenuh. Sehingga
asam lemak di dalamnya tidak terlalu banyak terbentuk sebab belum
digunakan untuk penggorengan yang terdapat dalam satu gram lemak atau
minyak, dan terbukti pada pengukuran angka asam terukur lebih rendah
dibandingkan dengan minyak jelantah.
Tabel 2.4 Hasil pengamatan Uji Aktivitas Enzim Lipase
Ke
l
Sampel
Susu
Warna
Sebelum
Sesudah
Volume
NaOH (ml)
13.9
Aktivitas
Lipase
1.39 x 103
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Siti, Eny Yulianti, A. Ghanaim Fasya. 2010. Penurunan Angka Peroksida
dan Asam Lemak Bebas (FFA) pada Proses Blenching Minyak Goreng
Belas oleh Karbon Aktif Polong Buah Kelor (Moringa Oliefera. Lamk)
dengan Aktivasi NaCl. Jurnal Alchemy, Vol. 1, No. 2 (1)
Adamczak, Marek. 2004. The Application Of Lipases In Modifying The
Composition, Structure And Properties Of Lipids A Review. Journal Of
Food And Nutrition Sciences Pol. J. Food Nutr Vol. 13/54, No 1 (1-5)
Arravindan, R., P. Anbumathi dan T. Viruthagiri. 2007. Lipase Applications in
Food Industry. Indian Journal of Biothechnology. Vol. 6 (1)
Aziz, Isalmi., Siti Nurbayti dan Juwita Suwandari. 2013. Pembuatan Gliserol
dengan Reaksi Hidrolisis Minyak Goreng Bekas. Jakarta.
Bintari, SH dan K Nugraheni. 2012. Penurunan Kadar Gula Darah Akibat
Pemberian Extra Virgin Olive Oil (Studi pada Tikus Galur Sprague
Dawley yang Diinduksi Pakan Tinggi Lemak). Jurnal MIPA 35 (2):116-121
Day, R.A. 1998. Analisis Kimia Kuantitatif. Erlangga: Surabaya
Edwar, Zulkarnain, dkk. 2011. Pengaruh Pemanasan terhadap Kejenuhan Asam
Lemak Minyak Goreng. J Indon Med Assoc, Volume : 6, Nomor : 6.
Padang
Fanani, Zainal dan Dessnelli. 2009. Kinetika Reaksi Oksidasi Asam Miristat,
Stearat, dan Oleat dalam Medium Minyak Kelapa, Minyak Kelapa Sawit,
serta Tanpa Medium. Jurnal Penelitian SAINS. Vol. 12. No. 1 (C) 12107.
Fessenden, Ralo J. 1999. Kimia Organik. Erlangga. Jakarta
Gaman, P.M. dan K.B. Sherrington. 1992. Ilmu Pangan Pengantar Ilmu Pangan,
Nutrisi dan Mikrobiologi. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press
Herlina, Netti, ST dan M. Hendra S. Ginting, ST. 2002. Lemak dan Minyak.
Journal Digitized by USU Digital Library. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas
Teknik, Universitas Sumatera Utara
Hidayat, Chusnul; Lutfi Suhendra; Supriyadi. 2008. Optimasi Produksi Lipase
Kecambah Biji Kacang Tanah (Arachis hypogaea. L) sebagai Biokatalis
dengan Metode Response Surface Methodology. Jurnal Teknik Mesin dan
Industri FT UGM
Kresge, Nicole, Robert D. Simoni dan Robert L. Hill. 2010. JBC Historical
Perspectives: Lipid Biochemistry. Journal of Biology Chemistry. Vol. 280,
No. 14,
Maftuchah, dkk. 2014. Teknik Dasar Analisis Biologi Molekuler. Deepublish:
Yogyakarta
Mardina, Primata, dkk. 2012. Penurunan Angka Asam pada Minyak Jelantah.
Jurnal Kimia Vol. 6 No. 2 (196-200)
Martoharsono, Soeharsono. 1978. Biokimia Jilid I. Gajah Mada University Press:
Yogyakarta
Muchtadi, Tien R., Sugiyono dan Fitriyono Ayustaningwarno. 2010. Ilmu
Pengetahuan Bahan Pangan. Bandung. Alfabeta.
Murty, Ramachandra. 2002. Hydrolysis of Oils by Using Immobilized Lipase
Enzyme. Biotechnol. Bioprocess Eng. 2002, Vol. 7, No. 2
Njoku, P. C. Dan J. C. Onwu. 2010. The Study of The Characteristics and
Rancidity of Three Species of Elaeis Guineesis in South East of Nigeria.
Pakistan Journal of Nutrition, Vol. 9, No. 8 (1)
Oluba, Olarewaju M., George O. Eidangbe, Godwin C. Ojieh dan Blessing O.
Idonije. 2010. Palm and Egulsi melon Oils Lower Serum and Liver Lipid
Profile and Improve Antioxidant Activity in Rats Fed a High Fat Diet.
International Journal of Medicine and Medical Science, Vol. 3, No. 2 (1)
Poedjiadi, Anna. 2009. Dasar-dasar Biokimia. UI-Press: Jakarta
Siswanti, Nana Dyah, Juni S.U. dan Junaini. 2000. Pemanfaatan Antioksidan
Alami Flavonol Untuk Mencegah Proses Ketengikan Minyak Kelapa. Jurnal
Antioksidan. (1-2)
Sui, Moh. 2012. Hidrolisis Minyak Kelapa oleh Enzim Lipase dari Kentos
Kelapa. Agritech, Vol. 32, No. 2 (149-151)
Sudarmadji, Slamet, Sugiyono dan Fitriyono Ayustaningwarno. 2010. Analisa
Bahan Makanan Dan Pertanian. Liberty: Yogyakarta.
Wasowicz, Edwin; Anna Gramza; Marzanna Heoe1; Henryk H. Jelen; Jozef
Korczak; Maria Malecka, Sylwia Mildner-Szkudlarz; Magdalena
Rudzinska; Urszula Samotyja; Renata Zawirska-Wojtasiak. 2004. Oxidation
of Lipids in Food. Polish Journal of Food and Nutrition Science. Vol. 13.
No. 54
Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. M-Brio Press: Bogor
Yuliani, dkk. 2007. Isolasi Jamur Penghasil Lipase dari Tanah, Tempe, dan Ragi
Tempe. Jurnal Teknologi Pertanian, Vol.3 (1): 19-26. Yogyakarta
Witradharma, Tetes Wahyu. Nur Indrawaty Lipoeto Dan Aswiyanti Asri. 2009.
Pengaruh Konsumsi Berbagai Jenis Asam Lemak Terhadap Indikator
Kejadian Aterogenesis Pada Tikus Jantan Strain Wistar. Jurnal Industria Vol
1 No 3 (180 193).
LAMPIRAN
A. Gambar
B. Perhitungan
-
Vol NaOH
= 0.4 ml
BM NaOH
= 40
Berat minyak
= 5 gr
N NaOH
= 0,1
Angka Asam =
Angka Asam =
0,4 x 0,1 x 40
= 0,32
5
Vol NaOH
= 13,9 ml
N NaOH
= 0,01 N
g sampel
= 10
Waktu
= 10 menit
Aktivitas enzim
Aktivitas enzim
13,9 x 0,01
10 x 10
=1,39x10-3LU/g