You are on page 1of 30

LAPORAN PRAKTIKUM

KIMIA PANGAN
ACARA 1
KARBOHIDRAT

Disusun Oleh :
Nama

: Santi Wilujeng

NIM

: H1916024

Kelas

:A

Kelompok: 4

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2016

ACARA I
KARBOHIDRAT

A. TUJUAN
Tujuan dari praktikum Acara I Karbohidrat adalah :
1. Mengetahui pengaruh asam dan alkalis terhadap disakarida.
2. Mengetahui pengaruh asam dan alkalis terhadap monosakarida.
3. Mengetahui pengaruh suhu terhadap proses gelatinisasi pati.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Alat dan Bahan
Neraca analitik yang digunakan dalam laboratorium pengantar
merupakan instrumen yang akurat yang mempunyai kemampuan
mendeteksi bobot pada kisaran 100 g sampai dengan kurang lebih 0,0001 g.
Ini merupakan ketidak tentuan dari hanya 1 bagian per sejuta. Sampai tahun
1950-an kebanyakan dari neraca ini adalah neraca dua piring, yang juga
dirujuk sebagai neraca lengan sama. Kemudian muncullah neraca piring
tunggal atau taksama (kadang-kadang juga disebut neraca beban konstan),
yang merupakan pengganti dari neraca dua piring. Sekarang neraca
elektronik (juga disebut dengan neraca elektromagnetik) secara langsung
menggantikan neraca mekanik atau neraca piring tunggal. Listrik
digunakan untuk membangkitkan tenaga magnetik yang menyetimbangkan
beban-beban yang ditempatkan di dalam piring neraca. Listrik yang
diperlukan untuk membangkitkan tenaga secara langsung berbanding lurus
dengan massa yang berada di piring (Day, 1998)
Waterbath adalah suatu alat yang dipergunakan untuk memanaskan
larutan yang ditempatkan dalam alat gelas, tabung reaksi maupun tube.
Maing-masing tipe waterbath memiliki kisaran suhu pemanasan tertentu.
Water bath atau double bouler (dalam bahasa inggris) adalah bagian dari
peralatan yang digunakan dalam sains, industri dan kuliner dengan

pemanasan sedang dan secara bertahap suhu tetap, atau untuk menjaga agar
material hangat selama periode waktu tertentu (Maftuchah, 2014).
Pembuatan gliserol dengan cara hidrolisis dapat dilakukan dengan
bantuan katalis atau tanpa katalis. Hidrolisis tanpa katalis dilakukan pada
suhu 373oC, sedangkan dengan katalis dapat dilakukan pada suhu 100 oC.
Katalis yang dapat digunakan bisa berupa katalis homogen (HCl dan
H2SO4) dan katalis heterogen berupa resin. Keunggulan katalis homogen
adalah konversi reaksi yang dihasilkan lebih besar dibandingkan katalis
heterogen. Reaksi hidrolisis minyak biji karet dengan katalis HCl
mendapatkan konversi reaksi sebesar 84%. Pemilihan HCl sebagai katalis
disebabkan karena sifatnya yang lebih reaktif dan harganya yang murah.
semakin pekat katalisator, maka reaksi hidrolisis dapat menghasilkan
gliserol yang maksimum. Namun bila katalis terlalu pekat maka gliserol
yang dihasilkan berkurang, karena ada sebagian dari katalisator yang
terarangkan, sehingga kurang reaktif. Penggunaan asam pekat yang juga
merupakan oksidator kuat memungkinkan untuk terbentuk arang (Aziz,
2013).
Kelapa sawit (PO), yang diperoleh dari tanaman tropis Elaeis
guineensis, merupakan volume terbesar kedua minyak nabati yang
diproduksi di dunia. Hal ini kaya asam lemak jenuh, antioksidan dan
vitamin dan secara luas digunakan sebagai minyak dalam diet. Sebuah studi
sebelumnya

oleh

Oluba

(2012)

menunjukkan

bahwa

PO

lebih

hipokolesterolemik dari minyak kedelai ketika keduanya makan sebagai


suplemen (5% v w /) untuk diet tinggi lemak pada tikus. Selain itu, minyak
sawit mentah dianggap sebagai sumber karoten dan tocotrienol, (Oluba,
2010). Minyak kelapa sawit, seperti bibit minyak lainnya, adalah ester
asam lemak dari gliserol biasa disebut trigliserida. Memiliki proporsi tinggi
asam palmitat jenuh (C16) yang disebabkan tingginya nilai dalam
pembuatan sabun. Minyak kelapa sawit ini juga mengandung kuantitas
tinggi lemak tak jenuh, terutama yang berasal dari asam oleat. Dalam
keadaan alami, minyak ini mengandung karotenoid (0,05-0,2%) yang

memberikan warna merah Konstituen minor lainnya dari minyak sawit


adalah sterol (0,03%), fosfatida (0,1%) dan tokoferol (0,05%). Tokoferol
(vitamin E aktif) yang penting dan alami, (Njoku, 2010).
Minyak zaitun merupakan jenis minyak yang sangat berbeda dari
minyak lainnya, karena cara memperoleh dan komposisinya. Minyak zaitun
merupakan salah satu pangan fungsional yang mempunyai kandungan
mono unsaturated fatty acid (MUFA), yang sebagian besar terdapat dalam
bentuk asam oleat serta mengandung banyak antioksidan (seperti tyrosol,
hydroxytyrosol) serta oleuropein yang beraktivitas sebagai antidiabetik dan
antioksidan (LamuelaRaventos 2004; Fito et al. 2007; Vossen 2007 dalam
bintari, 2012)
2. Tinjauan Teori
Lipid didefinisikan sebagai biomolekul yang tidak larut dalam air
tetapi larut dalam pelarut organik. Mereka secara struktural cukup beragam,
meliputi pigmen, vitamin, lemak asam, kolesterol, fosfolipid, sphingolipids,
dan banyak lainnya. Karena adanya koleksi ini jatuh ke dalam dua kategori
umum: biosintesis lipid dan lipid sinyal. Rekening penuh penelitian dan
atribusi dapat ditemukan di setiap klassic (Kresge, 2010). Lemak dan
minyak adalah trigliserida, atau triasilgliserol, kedua istilah ini berarti
triester dari gliserol. Perbedaan antara suatu lemak dan suatu minyak
bersifat sebarang, pada temperatur kamar lemak bersifat padat dan minyak
bersifat cair. Sebagian gliserida pada hewan adalah berupa lemak,
sedangkan gliserida pada tumbuhan cenderung berupa minyak, karena itu
biasa terdengar ungkapan lemak hewani (lemak babi, lemak sapi) dan
minyak nabati (minyak jagung, minyak bunga matahari) (Fessenden, 1999).
Ada tiga rute utama saat ini digunakan untuk hidrolisis lemak dan
minyak dalam produksi asam lemak; tekanan tinggi membelah uap,
hidrolisis basa dan enzimatik hidrolisis. Para enzim lipase yang secara
khusus mengkatalisis hidrolisis minyak menjadi asam lemak bebas dan
gliserol pada hubungan antara dua cairan. Trigliserida ini disebut "lipid",

tidak larut dalam fase air, sehingga reaksi harus mengambil tempat pada
antar muka air dan fase lipid (Murty, 2002).
Proses oksidasi apabila terjadi kontak antara oksigen dengan
minyak dan akan menyebabkan ketengikan karena proses oksidasi ini
disebut oxidative rancidity. Enzim dapat menguraikan minyak dan akan
menyebabkan minyak tersebut menjadi tengik, ketengikan itu disebut
enzymatic rancidity. Lipase yang bekerja memecah lemak menjadi gliserol
dan asam lemak serta menyebabkan minyak berwarna gelap. Sedangkan
enzim peroksida membantu proses oksidasi minyak sehingga menghasilkan
keton. Warna minyak ditentukan oleh adanya pigmen yang masih tersisa
setelah proses pemucatan, karena asam-asam lemak dan trigliserida tidak
berwarna. Minyak yang berwarna oranye atau kuning disebabkan adanya
pigmen karoten yang larut dalam minyak. Bau dan flavor dalam minyak
terdapat secara alami, juga terjadi akibat adanya asam-asam lemak berantai
pendek akibat kerusakan minyak. Sedangkan bau khas minyak kelapa sawit
ditimbulkan oleh persenyawaan beta ionone. Titik cair minyak sawit
berbeda dalam nilai kisaran suhu, karena minyak kelapa sawit mengandung
beberapa macam asam lemak yang mempunyai titik cair yang berbedabeda. Mutu minyak kelapa sawit yang baik mempunyai kadar kurang dari
0,1% dan kadar kotoran lebih kecil dari 0,01 %, kandungan asam lemak
bebas serendah mungkin (kurang lebih 2% atau kurang) (Muchtadi dkk,
2010).
Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik
yang disebut proses ketengikan (rancidity), ketengikan terjadi karena asam
lemak pada suhu ruang dirombak akibat hidrolisis atau oksidasi menjadi
hidrokarbon, alkanal atau keton serta sedikit epoksi dan alkohol (alkanol).
Bau yang kurang sedap muncul akibat campuran dari berbagai produk ini.
Selain pada suhu kamar, proses ini dapat terjadi selama proses pengolahan
menggunakan suhu tinggi. Hasil oksidasi minyak atau lemak dalam bahan
pangan tidak hanya mengakibatkan rasa dan bau yang tidak enak, tetapi

juga dapat menurunkan nilai gizi karena rusaknya vitamin (karoten dan
tokoferol) dan asam lemak esensiall dalam lemak, (Siswanti, 2000).
Lemak hewan pada umumnya berupa zat padat pada suhu ruangan,
sedangkan lemak yang berasal dari tumbuhan berupa zat cair. Lemak
mempunyai titik lebur tinggi mengandung asam lemak jenuh, sedangkan
lemak cair disebut minyak mengandung asam lemak tidak jenuh. Pada
umumnya lemak apabila dibiarkan lama di udara akan menimbulkan rasa
dan bau yang tidak enak. Hal ini disebabkan oleh proses hidrolisis yang
menghasilkan asam lemak bebas. Di samping itu dapat pula terjadi proses
oksidasi terhadap asam lemak tidak jenuh yang hasilnya akan menambah
bau dan rasa yang tidak enak. Oksidasi asam lemak tidak jenuh akan
menghasilkan peroksida dan selanjutnya akan terbentuk aldehid. Inilah
yang menyebabkan terjadinya bau dan rasa tidak enak atau tengik.
Kelembaban udara, cahaya, suhu tinggi, dan adanya bakteri perusak adalah
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya ketengikan lemak (Poedjiadi,
2009).
Produk oksidasi lipid dimana-mana dalam makanan, meskipun
banyak variasi di jenisnya dan tingkatannya saat ini. Meskipun tingkat
senyawa ini umumnya rendah, masalah oksidasi lipid sekaligus merusak
kualitas beberapa produk makanan dan membatasi kehidupan yang lain.
Semua makanan yang mengandung lemak, bahkan pada tingkat yang
sangat rendah (<1%), rentan terhadap oksidasi, yang menyebabkan tengik.
Perubahan kerusakan pada makanan yang disebabkan oleh oksidasi lipid
tidak hanya meliputi kehilangan rasa atau tawar, tetapi juga hilangnya
warna, nilai gizi, dan akumulasi senyawa, yang dapat merugikan kesehatan
konsumen (Wasowics et al., 2004).
Ketengikan adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan
rusaknya lemak dan

minyak. Pada dasarnya ada dua tipe reaksi yang

berperan pada proses ketengikan yaitu oksidasi dan hidrolisis. Oksidasi


terjadi sebagai hasil reaksi antara trigliserida tidak jenuh dan oksigen dari
udara, sedangkan hidrolisis terjadi apabila enzim lipase menghidrolisis

lemak, memecahnya menjadi gliserol dan asam lemak. Lipase dapat


terkandung secara alami pada lemak dan minyak, tetapi enzim itu dapat
diinaktivasi dengan pemanasan. Asam lemak bebas yang dihasilkan oleh
reaksi ini dapat memberikan rasa dan bau yang tidak sedap, (Gaman, 1992).
Proses terjadinya ketengikan (rancidity) akan dipercepat apabila
terdapat logam tertentu seperti tembaga, seng, timah dan timbal dan apabila
mendapat panas atau cahaya penerangan. Asam lemak juga dapat
mengalami perubahan karena dimasak pada temperatur tinggi. Proses
pemasakan pada temperatur tinggi ini menyebabkan minyak mengalami
pirolisis, yaitu suatu reaksi dekomposisi karena panas. Pirolisis
menyebabkan terbentuknya akrolein, yaitu senyawa yang bersifat racun,
dan dapat menyebabkan iritasi dengan bau khas lemak terbakar. Sehingga
ketengikkan dapat dijadikan indikator kerusakkan pada minyak (Edwar,
2011).
Penentuan tingkat kemurnian minyak sangat erat kaitannya dengan
daya tahannya selama penyimpanan, tolak ukur kualitas minyak biasanya
dilihat dari angka asam lemak bebas (free fatty acid atau FFA), angka
peroksida, tingkat ketengikan dan kadar air. Angka asam menunjukkan
banyaknya asam lemak bebas yang terdapat dalam suatu lemak atau
minyak. Angka asam dinyatakan sebagai jumlah miligram NaOH yang
dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam satu
gram lemak atau minyak (Herlina, 2002).
Angka asam =

ml NaOH x N NaOH x BM NaOH


w sampel ( gr )

Lipase mikrobia mempunyai potensi yang besar untuk digunakan


secara komersial karena stabilitas, selektivitas dan spesifisitas yang tinggi
terhadap substrat, disamping itu produksinya memerlukan waktu yang
singkat dan aktivitasnya dapat ditingkatkan melalui penggunaan kondisi
pertumbuhan yang tepat, serta tidak memerlukan lahan produksi yang luas.
Diantara mikrobia penghasil lipase, jamur mendapatperhatian yang sangat
besar karena merupakan penghasil lipase ekstraseluler potensial. Lipase

ekstraseluler jamur biasanya diproduksi melalui proses fermentasi dalam


media cair yang memungkinkan perolehan (recovery) yang cukup besar
dan mudah dilakukan, (Yuliani, 2007).
Lipase adalah biokatalis yang paling lentur dan membawa berbagai
reaksi

biokonversi,

seperti

hidrolisis,

interesterifikasi,

esterifikasi,

alkoholisis, acidolysis dan aminolysis. Lipase dapat bertindak pada


berbagai substrat termasuk minyak alami, trigliserida sintetis dan ester
asam lemak. Mereka tahan terhadap pelarut dan dieksploitasi dalam arti
luas pektrum aplikasi bioteknologi. Lipase katalis transesterifikasi,
hidrolisis dan esterifikasi adalah kelas penting dari reaksi untuk aplikasi
teknologi pangan di lemak dan industri minyak, industri susu, obat-obatan
dan industri roti, (Arravindan, 2007). Lipase digunakan untuk modifikasi
lemak dan minyak terutama karena sifat enzim yang begitu spesifik.
Kinerja enzim lipase ditentukan oleh parameter dari media reaksi, yaitu
pelarut ini polaritas atau log P (koefisien hidrofobik-hidrofilik), aktivitas air
(aw), pembawa imobilisasi. Sifat-sifat lipase dapat dipengaruhi oleh teknik
reaksi rekayasa media, berdasarkan kimianya modifikasi atau dengan
menutup enzim dengan surfaktan atau lipid (Adamczak, 2004).
C. METODOLOGI
1. Alat
a. Gelas beker 500 ml
b. Gelas ukur
c. Lampu spirtus
d. Tabung reaksi
e. Rak tabung reaksi
f. Pipet ukur
g. Pipet tetes
h. Erlenmeyer 100 ml
i. Mikroskop
j. Alat sentrifugasi

k. Waterbath
l. Stopwatch
m. Kamera dokumentasi
n. Gelas beaker
o. Gelas objek
p. Gelas penutup
q. Kompor listrik
r. Pengaduk kaca
s. Penjepit kayu
t. Thermometer
u. pH universal
v. Sendok
2. Bahan
a. Larutan sukrosa 5%t
b. NaOH 0,1 N
c. HCl 0,1 N
d. Air Suling
e. NaHCO3 Kristal
f. Pereaksi Benedict
g. Larutan Glukosa 0,1 M
h. Tepung tapioka
i. Tepung maizena
j. Lautan iodine
3. Cara Kerja
a. Pengaruh asam dan alkali terhadap gula sederhana
1. Pengaruh asam dan alkali terhadap disakarida (Sukrosa)

Disiapkan 3 tabung reaksi


2 ml sukrosa 5%

Dimasukan dalam 3 tabung reaksi

Tabung 1 : ditambah NaOH 0,1 NTabung


Sebanyak
2 : ditambah
5 ml
HCl 0,1
Tabung
N sebanyak
3 : ditambah
5 ml dengan aquades sebanyak 5 ml

Ketiga tabung dipanaskan dengan lampu spiritus sampai


mendidih selama 3 menit (pemanasan I)
Diamati perubahan warnanya
NaOHCO3 (kristal)

Ditambahkan pada tabung 1

Sebanyak 2 ml dari masing-masing larutan dipindah dalam 3 tabung reaksi

2 ml pereaksi benedict
Ditambahkan pereaksi pada setiap tabung lalu dipanaskan dalam penangas air selama 5 menit (pemanasan II)

Diamati perubahan warna atau adanya endapan

Dipanaskan pada penangas air mendidih selama 5 menit

2. Pengaruh asam dan Alkali terhadap glukosa


5 ml glukosa 0,1 M

Dimasukkan pada 3 tabung reaksi

Tabung
: ditambah
HClTabung
0,1 N sebanyak
3 : ditambah
2mlaquades sebanyak 2 ml
Tabung 1 : ditambah NaOH
0,1 N2sebanyak
2ml

Dipanaskan sampai mendidh selama 3 menit

Diamati perubahan warna yang terjadi

b. Gelatinisasi pati
Pati tapioka dan maizena

Diambil masing-masing sebanyak 30 gram dan dimasukkan kedalam 9 gelas beaker

Masing-masing gelas beker yang sudah terdapat pati diberikan 100 ml aquadest

9 sampel pati maizena dan tapioka yang telah berisi aquadest dikondisikan pada suhu kamar, suhu 40C, 50C, 60C, 65C, 70C, 75C, 80C dan 85C

masing-masing diambil 1 tetes (gores)

Larutan iodine encer

Diratakan dan ditutup dengan gelas penutup

Diamati dibawah mikroskop perbesaran 40 x 10

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 2.1 Kenampakan Beberapa Jenis Minyak dalam Suhu Dingin
Suhu Ambien (Ruang)

Kel
.

Sampel

Zaitun

Kuning
bening

Wijen

Warna

Bau
Tidak
berbau

Wuju
d

Suhu Dingin (< 10 C)


Warna

Bau

Cair

Kuning
muda

Tidak
berbau

Kuning
Bau wijen
kecoklat
an

Bau wijen

Cair

Kuning
kecoklata
n

Sawit

Kuning
bening

Tak
berbau

Cair

Kuning
keruh

Tak
berbau

Lemak
sapi

Kuning
keruh

Amis

Putih susu

Amis

Kenta
l

Wuju
d
Cair

Padat

Sumber : Laporan Sementara

Pada dasarnya, sifat fisik minyak dan lemak sangat ditetukan oleh suhu
yang dialaminya serta susunan asam lemak tersebut di dalam triasilgliserol. Dalam
praktikum kali ini sesuai hasil yang telah tertuang dalam Tabel 2.1 dapat diketahui
adanya perbedaan perubahan dari tiap sampel dilihat dari segi warna, bau dan
wujud, hal ini dikarenakan karakteristik masing-masing minyak tersebut berbeda.
Berdasarkan analisis perubahan yang terjadi pada minyak sawit (minyak sawit
dari berwarna kuning bening dan cair menjadi kuning keruh dan padat), minyak
ini mengandung 2 asam lemak, yakni jenuh karena memadat pada suhu rendah
dan tak jenuh karena berwujud cair di suhu ruang. Hal ini sesuai dengan teori
bahwa minyak sawit memiliki beberapa jenis lemak jenuh diantaranya asam
laurat (0.1%), asam miristat (1%), asam stearat (5%), dan asam palmitat (44%).
Minyak sawit juga memiliki asam lemak tak jenuh dalam bentuk asam
oleat (39%), asam linoleat (10%), dan asam alfa linoleat (0.3%). Winarno (2008)
juga menjelaskan minyak sawit mempunyai titik leleh 25-50 0C, mengandung
asam lemak dominan yaitu asam palmitat (lemak jenuh) 50.46% dan asam oleat
(lemak tak jenuh) sebesar 40.35%. Dalam Edwar (2011) minyak goreng sawit

Cair
Cair

mempunyai asam lemak tidak jenuh hanya sebesar 48%, dan sisanya adalah asam
lemak jenuh.
Hasil praktikum untuk sampel minyak zaitun, menunjukkan bahwa
minyak ini memiliki kenampakan yang stabil baik itu di suhu ruang ataupun suhu
rendah terutama untuk wujud yang selalu berbentuk cair. Maka dapat disimpulkan
minyak zaitun mengandung asam lemak tak jenuh sesuai ciri minyak nabati pada
umumnya dan hal tersebut telah sesuai dengan teori dari Witradharma dkk (2009)
menyatakan bahwa minyak zaitun memiliki komposisi asam lemak tak jenuh
tunggal, yaitu asam oleat (C18:1;9), asam lemak jenuh, yaitu asam palmitat
(C16:0) dan asam lemak tak jenuh ganda, yaitu asam linoleat (C18:2;9,12) serta
asam lemak yang lain. Asam oleat atau asam cis-9-oktadekanoat merupakan asam
lemak tak jenuh yang banyak terkandung dalam minyak nabati. Kandungan
terbesar asam oleat adalah pada minyak zaitun (5-80%).
Menurut Rasyid (2003) minyak wijen tetap cair ketika di berikan suhu
<10C karena pada minyak wijen mengandung ikatan rangkap atau mengandung
asam lemak tak jenuh. Berdasar teori tersebut percobaan untuk minyak wijen,
didapatkan hasil yang tidak sesuai teori dimana wijen setelah didinginkan menjadi
memadat padahal menurut Herlina (2002), minyak wijen mengandung asam
lemak tidak jenuh jenis linolenat yang masih berbentuk cair walaupun didinginkan
pada suhu < 100C. Menurut teori dari Handajani (2012) wijen (Sesamum indicum
L) merupakan salah satu komoditas sumber minyak nabati. Minyak wijen
mengandung banyak asam lemak tak jenuh, terutama asam oleat (C 18:1) dan asam
linoleat (C18:2, Omega-6).
Pada percobaan lemak sapi, awalnya berwarna kuning pekat, berbau amis
serta berwujud kental setelah diletakkan pada gelas beker yang berisi air bersuhu
<10oC warna menjadi putih susu, bau lebih amis serta berwujud padat. Wujud dari
lemak sapi dari kental menjadi padat ini dikarenakan lemak sapi mengandung
asam lemak jenuh dan tak jenuh. Menurut teori dari Witradharma dkk (2009)
menyatakan bahwa pada lemak sapi, kandungan asam lemak didominasi oleh
asam lemak tak jenuh tunggal yaitu asam oleat (C18:1;9), diikuti asam lemak
jenuh yaitu asam palmitat (C16:0) dan asam palmitoleat (C16:1). Titik cair lemak

sapi berarti diatas suhu ruang, hal ini dibuktikan dengan wujud yang kental pada
suhu ruang sebelum dimasukkan ke gelas berisi air dingin. Sehingga pada suhu
ruang (30C) lemak sapi berwujud kental dan ketika didinginkan dengan air
dingin menjadi padat. Perubahan warna dari kuning keruh ke putih susu perkat
terjadi karena perubahan wujud yang memadat sehingga partikel-partikel dalam
lemak sapi bersatu dalam padatan yang menyebabkan warna menjadi putih susu
atau mengeruh.
Asam lemak jenuh dan tak jenuh memiliki perbedaan yang signifikan
dilihat dari jenis ikatannya. Asam lemak tidak jenuh berbeda dalam jumlah dan
posisi ikatan ragkapnya, dan berbeda dengan asam lemak jenuh dalam bentuk
molekul keseluruhanya. Asam lemak tak jenuh biasanya cis. Karena itu molekul
akan bengkok pada ikatan rangkap, walaupun ada juga asam lemak tidak jenuh
dalam bentuk trans. Lemak jenuh adalah lemak di mana tidak ada ikatan rangkap
di antara atom karbon pada rantai asam lemaknya. Lemak jenuh biasanya
berbentuk padat pada suhu kamar. Dehidrogenasi mengkonversi lemak jenuh
menjadi lemak tak jenuh, sedangkan hidrogenasi sebaliknya (Winarno, 2008).
Suhu dingin berpengaruh terhadap minyak/lemak karena menyebabkan
kondisinya lebih padat. Pada kondisi demikian titik lebur akan semakin tinggi
terutama untuk minyak yang mengandung jenis asam lemak jenuh. Perubahan
minyak pada kondisi dingin disebabkan oleh karakteristiknya yakni memiliki titik
lebur yang relative tinggi terutama untuk jenis asam lemak jenuh sehingga apabila
didinginkan akan berwujud padat atau membeku. Titik lebur suatu lemak atau
minyak dipengaruhi oleh sifat asam lemak, yaitu daya tarik antar asam lemak
yang berdekatan dalam kristal. Gaya ini ditentukan oleh panjang rantai C, jumlah
ikatan rangkap, dan bentuk cis dan trans pada asam lemak tidak jenuh. Makin
panjang rantai C, titik cair akan semakin tinggi dan titik lebur menurun dengan
bertambahnya jumlah ikatan rangkap. Makin banyak ikatan rangkap, ikatan makin
lemah, berarti titik cair akan lebih rendah. Sehingga asam lemak jenuh
mempunyai titik lebur lebih tinggi daripada asam lemak tidak jenuh,
(Praseptiangga, 2013)

Berdasar dari tabel 2.1 maka dapat diurutkan tingkat kejenuhan sampel
dari sampel yang tidak jenuh hingga sampel terjenuh, urutannya adalah
minyak zaitun > minyak kelapa sawit > lemak sapi.
Penyimpangan antara hasil praktikum dan teori terjadi pada sampel minyak wijen
dimana ditemukan berubah menjadi padat pada suhu rendah padahal secara
teoritis minyak jenis ini akan tetap berbentuk cair meskipun dikenakan suhu
rendah sekalipun. Hal ini terjadi mungkin dikarenakan minyak wijen tercampur
dengan sampel lainnya, karena penggunaan pipet ukur yang bergantian dan tidak
dibersihkan dahulu sehingga terjadi kontaminasi dengan sampel jenis lain
Tabel 2.2 Hasil Uji Ketengikkan Minyak dengan metode Kreiss
Kel

Sampel
Minyak jelantah
+ air
Minyak baru +
air

3
Minyak jelantah
Minyak baru

Sebelum
Lapisan atas : kuning
keruh
Lapisan bawah: bening
Lapisan atas : kuning
bening
Lapisan bawah: bening
Lapisan atas : kuning
keruh
Lapisan bawah: bening
Lapisan atas : kuning
bening
Lapisan bawah: bening

Sesudah
Lapisan atas : putih keruh
Lapisan bawah: keruh
Lapisan atas : putih susu
Lapisan bawah: keruh
1 lapisan : putih susu
Lapisan atas : putih susu
Lapisan bawah: bening

Sumber : Laporan Sementara

Menurut Sumardji (2010) peristiwa tengik menimbulkan bau yang


khas dimana faktor terjadinya dikarena adanya senyawa campuran asam
keton dan asam hidroksiketon yang berasal dari dekomposisi asam lemak
yang terdapat dalam cairan itu. Selain itu menurut teori dari Muchtadi (2010)
menambahkan faktor lain diantaranya karena terjadi kontak antara oksigen
dengan minyak ini akan menyebabkan ketengikan karena proses oksidasi ini
disebut oxidative rancidity. Enzim dapat menguraikan minyak dan akan
menyebabkan minyak tersebut menjadi tengik, ketengikan itu disebut
enzymatic rancidity. Proses terjadinya ketengikan (rancidity) akan dipercepat
apabila terdapat logam tertentu seperti tembaga, seng, timah dan timbal dan
apabila mendapat panas atau cahaya penerangan.

Asam lemak juga dapat mengalami perubahan karena dimasak pada


temperatur tinggi. Proses pemasakan pada temperatur tinggi ini menyebabkan
minyak mengalami pirolisis, yaitu suatu reaksi dekomposisi karena panas.
Pirolisis menyebabkan terbentuknya akrolein, yaitu senyawa yang bersifat
racun, dan dapat menyebabkan iritasi dengan bau khas lemak terbakar.
Sehingga ketengikkan dapat dijadikan indikator kerusakkan pada minyak,
sedangkan

berdasarkan teori dari

Edwar (2011) proses

kerusakan

minyak/lemak di dalam bahan pangan dapat terjadi selama proses


pengolahan, misalnya proses pemanggangan, penggorengan dengan cara deep
frying dan selama penyimpanan. Jika dilihat dari kualitasnya, minyak atau
lemak yang telah tengik dapat diartikan sudah teradi kerusakan padanya
karena minyak atau lemak tersebut mempunyai bau dan rasa yang tidak enak,
sehingga dapat menurunkan mutu dan nilai gizi bahan pangan tersebut
(Fanani, 2009).
Uji ketengikan minyak pada praktikum kali ini dapat dideteksi
dengan menerapkan metode Kreiss Test, dimana uji kreiss berprinsip pada
reaksi kondensasi antara ephydrin-aldehida dengan phloroglucinol, sehingga
menghasilkan warna merah jambu (pink). Untuk prosedur menjalankan uji
ini hal pertama yang dilakukan adalah menyiapkan sampel yakni minyak
kelapa sawit yang baru, jelantah, serta minyak baru dan minyak jelantah yang
ditambah sedikit air. Selanjutnya masing-masing sampel sebanyak 1ml
ditambah dengan 1 mL HCl dan digojog supaya homogen. Fungsi dari HCl
1:1 adalah untuk menghidrasi epyhidrin-aldehid menjadi furfural. Setelah
digojog hingga homogen, kemudian ditambah phloroglucinol dan didiamkan
selama 10 menit untuk memberi kesempatan reaksi terjadi dengan sesuai dan
homogen. Menurut Anwar (2012) fungsi penambahan 1,5 ml phloroglucinol
adalah agar bereaksi dengan furfural membentuk kompleks berwarna merah
jambu yang akan menjadi dasar terhadap analisis ketengikan secara kualitatif.
Prosedur yang terakhir yakni campuran dari sampel, HCl dan Phloroglucinol
disentrifuse selama 2 menit pada rotasi 1500 rpm kemudian diamati ada
tidaknya lapisan warna pink yang menandai adanya ketengikan pada minyak.

Ketengikan dapat terjadi pada cairan yang mengandung asam lemak.


Secara teoritis, bau yang khas ini disebabkan karena adanya senyawa
campuran asam keton dan asam hidroksiketon yang berasal dari dekomposisi
asam lemak yang terdapat dalam cairan itu. Sampai sekarang reaksi menjadi
tengik

dikenal

sebagai

reaksi

radikal

asam

lemak

tidak

jenuh

(Sudarmadji,dkk, 2010). Dari teori tersebut dapat disimpulkan bahwa


ketengikan akan sangat rentan datang pada minyak yang memiliki asam
lemak tidak jenuh dan jika dilihat dari prinsip uji Kreiss dimana dikatakan
bahwa semakin tinggi intensitas warna pink yang terbentuk maka minyak
semakin tengik. Oleh karena jika dibandingkan dengan hasil yang telah
divisualisasikan pada tabel 2.2, maka dapat disimpulkan tidak terdeteksi
ketengikan pada seluruh sampel, karena keseluruhan sampel sebelum dan
sesudah dilakukan uji tidak terbentuk lapisan berwarna pink akan tetapi hanya
terlihat hampir keseluruhan sampel kecuali minyak jelantah (sesudah
disentrifuse) membentuk dua lapisan.
Berdasarkan analisis sederhana saya, hasil dari percobaan tersebut ada
beberapa yang tidak sesuai atau menyimpang terutama pada minyak jelantah.
Untuk hasil uji pada minyak baru bisa diterima karena minyak baru memiliki
potensi tengik atau rusak yang lebih rendah karena minyak masih baru dan
kemungkinan terkontaminasi oleh udara masih kecil sehingga terjadinya
oksidasi kecil pula kemungkinannya. Sedangkan untuk minyak jelantah
masih diragukan hasil dari percobaan ini karena minyak jelantah lebih besar
berpotensi dalam ketengikannya, hal ini disebabkan minyak telah digunakan
sehingga mengalami perlakuan pemanasan dengan suhu yang tinggi dan
berulang. Sesuai toeori, pemanasan suhu tinggi ini mengakibatkan terjadinya
pirolisis pada minyak sehinga menjadi rusak (ketengikan) (Edwar, 2011).
Selain itu, disebutkan pula untuk minyak jelantah yang ditambah sedikit air
memiliki potensi ketengikan yang cukup tinggi karena adanya air
mengakibatkan minyak terkontaminasi dengan oksigen. Hal ini menyebabkan
terjadinya proses oksidasi pada minyak yang membentuk senyawa dengan
rantai C lebih pendek yang bersifat volatil dan menyebabkan bau tengik pada

minyak. Oleh karena itu dapat disimpulkan ada ketidak sesuaian antara teori
dan hasil praktikum. Ketidaksesuaian ini mungkin terjadi karena penambahan
larutan yang tidak sesuai takaran, karena perubahan warna selain disebabkan
oleh faktor intrinsic dan ekstrinsik dari minyak juga berasal dari larutan baik
HCL dan Phloroglucinol yang ditambahkan, dimana larutan ini juga
memancing terbentuknya lapisan pink yang sengaja ditambahkan pada
praktikum kali ini.
Tabel 2.3 Hasil Pengamatan Uji Angka Asam
Ke
l
4

Sampel
Minyak
Jelantah

Berat Minyak
(gr)
5

Volume
NaOH (ml)

Angka Asam

0.4 ml

0.32

0.3 ml

0.24

Minyak Sawit
Sumber : Laporan Sementara

Salah satu parameter yang digunakan sebagai tolak ukur kualitas


minyak adalah angka asam lemak bebas (free fatty acid atau FFA). Angka
asam menunjukkan banyaknya asam lemak bebas yang terdapat dalam suatu
lemak atau minyak, angka asam dinyatakan sebagai jumlah miligram NaOH
yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terrdapat dalam
satu gram lemak atau minyak (Herlina, 2002). Menurut Aisyah (2010),
semakin banyak volume NaOH yang digunakan untuk titrasi, berarti semakin
banyak pula asam lemak bebas yang terdapat dalam lemak atau minyak
tersebut. Oleh karena itu dalam pengujian angka asam pada praktikum ini
NaOH sebagai basa yang digunakan dan harus diamati volumenya saat titrasi.
Prinsip pengujian angka asam menurut teori dari Mardina (2012)
adalah

untuk

menunjukkan

kandungan

asam

lemak

bebas

yang

mempengaruhi kualitas minyak dan lemak. Dimana angka asam yang tinggi
pada minyak jelantah diakibatkan oleh proses hidrolisis pada saat proses
penggorengan. Angka asam dapat diturunkan dengan proses adsorpsi.
Pembentukan asam lemak bebas dalam minyak goreng bekas atau jelantah
diakibatkan oleh proses hidrolisis yang terjadi selama prosess penggorengan
yang biasanya dilakukan pada suhu 160-200 oC. uap air yang dihasilkan pada

saat proses penggorengan, menyebabkan terjadinya hidrolisis terhadap


trigliserida, menghasilkan asam lemak bebas, digliserida, monogliserida, dan
gliserol yang diindikasikan dari angka asam.
Jika dilihat dari proses praktikum kali ini maka dapat saya simpulkan,
prinsip dari uji ini adalah menentukan jumlah ml NaOH yang diperlukan
untuk menetralkan lemak dalam 5 g minyak dengan melakukan titrasi antara
sampel yaitu minyak goreng (minyak baru dan minyak bekas), indikator pp,
dan titrasi NaOH. Terbentuknya warna merah jambu setelah dititrasi dengan
sejumlah NaOH menunjukkan NaOH telah bereaksi sempurna dengan asam
lemak bebas karena pada kenaikan pH 8-9 indikator pp yang tidak berwarna
akan berubah menjadi merah (Aisyah, 2010).
Selain NaOH pada bahan lain yang berperan disini adalah indicator
PP. Indikator PP yang ditambahkan berperan sebagai indikator pembuktian
bahwa bahan bersifat asam atau basa, pada praktikum kali ini saat dititrasi
dengan NaOH, larutan alkohol, dan minyak yang telah ditetesi indikator pp
berubah menjadi warna merah muda. Hal ini membuktikan bahwa larutan
tersebut bersifat basa.
Uji angka asam pada minyak ini penting dilakukan karena, terdapat
kaitan antara banyaknya angka asam dan penurunan kualitas minyak yang
disebabkan oleh ketengikan. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya
dimana angka asam merupakan banyaknya jumlah asam lemak bebas (FFA),
sedangkan keberadaan FFA sebagai tanda adanya indikasi jumlah ketengikan
hidrolitik. Oleh karena itu angka asam yang semakin tinggi menunjukkan
pula keberadaan FFA yang memancing adanya proses ketengikan.
Pada praktikum kali ini angka asam yang dihasilkan pada minyak
jelantah adalah 0.32 dengan volume NaOH sebanyak 0.4 ml untuk minyak
sawit diperoleh angka asam 0.24 dengan volume NaOH sebanyak 0.3 ml.
Berdasarkan dari hasil tersebut dan dibandingkan dengan teori Martoharsono
(1978) yang menyatakan angka asam dinyatakan sebagai jumlah miligram
basa yang diperlukan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat
dalam satu gram minyak atau lemak dan angka asam yang besar

menunjukkan asam lemak bebas yang besar yang berasal dari hidrolisa
minyak ataupun karena proses pengolahan yang kurang baik, serta meski
tinggi angka asam, akan tetapi makin rendah kualitasnya maka dapat
disimpulkan tidak ada penyimpangan karena diketahui angka asam dari
minyak sawit yang baru sudah terbukti lebih rendah dibandingkan dengan
minyak jelantah.
Bukti pendukung lain bahwa minyak jelantah memiliki angka asam
yang tinggi adalah karena biasanya minyak jenis ini telah dipakai berulang
kali dalam proses penggorengan atau pemanasan, dimana akan menyebabkan
perubahan pada kandungan minyak itu sendiri. Pemanasan yang berkali-kali
menyebabkan kerusakan karena teroksidasi oleh udara dan oleh suhu tinggi
sehingga terbentuklah asam-asam lemak yang berada dalam jumlah yang
banyak dan terbukti terukur oleh uji angka asam ini. Sedangkan minyak baru,
masih mengandung asam lemak esensial dan asam lemak tak jenuh. Sehingga
asam lemak di dalamnya tidak terlalu banyak terbentuk sebab belum
digunakan untuk penggorengan yang terdapat dalam satu gram lemak atau
minyak, dan terbukti pada pengukuran angka asam terukur lebih rendah
dibandingkan dengan minyak jelantah.
Tabel 2.4 Hasil pengamatan Uji Aktivitas Enzim Lipase
Ke
l

Sampel

Susu

Warna
Sebelum
Sesudah

Volume
NaOH (ml)
13.9

Aktivitas
Lipase
1.39 x 103

Sumber : Laporan Sementara

Menurut Hidayat (2008) Lipase (triasilgliserol hidrolase, EC


3.1.1.3) merupakan enzim yang dapat mengkatalis berbagai macam reaksi
yang meliputi hidrolisis, inter-esterifikasi, alkoholisis, asidolisis, esterifikasi
dan aminolisis. Lipase adalah kelas turunan dari enzim esterase enzim yang
mengkatalisis pemecahan lemak menjadi asam lemak dan gliserol.
Lipase
Lemak + Air

Gliserol + Asam Lemak

Lipase telah digunakan dalam berbagai kerperluan industri antara lain


sistesis lipid terstruktur, industri farmasi dan kosmetik, surfaktan, food flavor
produksi pulp dan kertas tekstil dan bahan bakar biodiesel, (Hidayat, 2008).
Pada umumya, sumber lipase adalah dari mikiroba dan jamur. Lipase telah
digunakan dalam berbagai keperluan industri antara lain sintesis lipid
terstruktur, industry farmasi dan kosmetik, surfaktan, food flavor, produksi
pulp dan kertas, tekstil, dan bahan bakar biodiesel. Lipase terdapat juga pada
biji dan buah tanaman seperti palma, selada, bekatul, beras, barley, gandum,
oat, kapas, jagung, mentimun dan kacang-kacangan.
Menurut teori dari Sui (2013) cara kerja enzim lipase adalah dengan
menghidrolisis minyak (trigliserida), digliserida dan mono gliserida
menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol dimana enzim lipase ini akan
lebih mudah menghidrolisis asam lemak tidak jenuh dibandingkan asam
lemak jenuh. Asam lemak rantai pendek lebih dahulu terhidrolisis daripada
asam lemak rantai panjang. Tetapi karena asam kaprilat jumlahnya jauh lebih
banyak dari asam kaproat, maka enzim lipase lebih banyak bertemu dengan
asam kaprilat.
Pada percobaan kali ini sampel yang digunakan adalah larutan susu +
NaOH 0,01 N dan larutan blanko NaCl 0,1 M + NaOH 0,01 M yang
diinkubasi pada waterbath dengan suhu 30C. Hasil percobaan menunjukkan
aktivitas lipase yaitu sebesar 1.39 10-3 LU/gram sampel. Penambahan NaCl
digunakan sebagai larutan blanko atau kontrol. Penambahan alcohol untuk
menginaktivasi enzim lipase sebelum dititrasi. Sedangkan penambahan
indikator PP digunakan sebagai indiaktor jika terjadi perubahan warna,
indikator pp yang tidak berwarna akan berubah menjadi merah, (Aisyah,
2010). Selain itu juga digunakan Indikator phenolphthalein yang merupakan
indikator asam basa, indikator ini berfungsi untuk mengetahui kadar asam
atau basa pada suatu latutan, indikator ini akan berwarna benng pada suasana
asam dan akan berubah menjadi merah jambu pada suasana basa (Sui, 2012).
Lipase tidak dapat bekerja pada kondisi pH yang makin rendah. Dengan
bertambahnya pH sejalan dengan waktu maka aktifitas enzim untuk

menghisrolisis triasilgliserida makin meningkat. Percobaan ini telah sesuai


dengan teori yaitu enzim yang merupakan protein akan meningkat
aktivitasnya seiring dengan peningkatan suhu dan pH, namun akan menurun
setelah mancapai titik optimum karena protein enzim terdenaturasi.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum Acara II Lipida dan Lipase dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Perlakuan pemberian suhu dingin memberikan pengaruh perubahan
menjadi padat pada hampir seluruh sampel (minyak wijen, sawit dan
lemak sapi) kecuali minyak zaitun yang tetap berbentuk cair. Perbedaan
perubahan terhadap adanya suhu dingin ini juga turut dipengaruhi atas
tingkatan kejenuhan asam lemak yang dimiliki tiap sampel. Minyak zaitun
termasuk asam lemak tidak jenuh sehingga tetap berbentuk cair. Lemak
sapi dari kental menjadi padat karena memiliki asam lemak jenuh. Minyak
sawit tergolong agak jenuh karena pada suhu dingin memadat. Minyak
wijen tergolong asam lemak tak jenuh karena minyak nabati, akan tetapi
didapati memadat hal ini mungkin dikarenakan adanya kesalahan saat
percobaan.
2. Hasil uji ketengikan menggunakan metode kreiss test pada praktikum kali
ini untuk semua sampel diketahui tidak terbentuk lapisan warna pink
yangmana menjadi indicator ketengikan. Akan tetapi untuk hasil uji minyak
jelantah masih diragukan hasilnya, karena seharusnya dengan cirri minyak
lama/bekas yang sudah dilakukan pemanasan berulang-ulang sehingga
pastilah minyak tersebut sudah mengalami kerusakan tapi tidak didapati
lapisan pink. Dugaan sementara penyimpangan ini terjadi mungkin
dikarenakan kesalahan procedural dalam praktikum atau hal-hal lainnya.
3. Angka asam menunjukkan banyaknya asam lemak bebas yang terdapat
dalam suatu lemak atau minyak serta menunjukkan tingkat ketengikan
minyak. Oleh karena itu semakin tinggi angka asam menandakan semakin
menurunnya mutu minyak karena terjadinya peningkatan ketengikan.

Berdasarkan perhitungan dengan rumus angka asam minyak jelantah (0.32)


lebih tinggi dibandingkan dengan minyak sawit (0.24).
4. Hasil uji aktivitas enzim lipase dari kacang tanah terhadap susu
menunjukkan hasil sebesar 1,39 x 10-3

DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Siti, Eny Yulianti, A. Ghanaim Fasya. 2010. Penurunan Angka Peroksida
dan Asam Lemak Bebas (FFA) pada Proses Blenching Minyak Goreng
Belas oleh Karbon Aktif Polong Buah Kelor (Moringa Oliefera. Lamk)
dengan Aktivasi NaCl. Jurnal Alchemy, Vol. 1, No. 2 (1)
Adamczak, Marek. 2004. The Application Of Lipases In Modifying The
Composition, Structure And Properties Of Lipids A Review. Journal Of
Food And Nutrition Sciences Pol. J. Food Nutr Vol. 13/54, No 1 (1-5)
Arravindan, R., P. Anbumathi dan T. Viruthagiri. 2007. Lipase Applications in
Food Industry. Indian Journal of Biothechnology. Vol. 6 (1)
Aziz, Isalmi., Siti Nurbayti dan Juwita Suwandari. 2013. Pembuatan Gliserol
dengan Reaksi Hidrolisis Minyak Goreng Bekas. Jakarta.
Bintari, SH dan K Nugraheni. 2012. Penurunan Kadar Gula Darah Akibat
Pemberian Extra Virgin Olive Oil (Studi pada Tikus Galur Sprague
Dawley yang Diinduksi Pakan Tinggi Lemak). Jurnal MIPA 35 (2):116-121
Day, R.A. 1998. Analisis Kimia Kuantitatif. Erlangga: Surabaya
Edwar, Zulkarnain, dkk. 2011. Pengaruh Pemanasan terhadap Kejenuhan Asam
Lemak Minyak Goreng. J Indon Med Assoc, Volume : 6, Nomor : 6.
Padang
Fanani, Zainal dan Dessnelli. 2009. Kinetika Reaksi Oksidasi Asam Miristat,
Stearat, dan Oleat dalam Medium Minyak Kelapa, Minyak Kelapa Sawit,
serta Tanpa Medium. Jurnal Penelitian SAINS. Vol. 12. No. 1 (C) 12107.
Fessenden, Ralo J. 1999. Kimia Organik. Erlangga. Jakarta
Gaman, P.M. dan K.B. Sherrington. 1992. Ilmu Pangan Pengantar Ilmu Pangan,
Nutrisi dan Mikrobiologi. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press
Herlina, Netti, ST dan M. Hendra S. Ginting, ST. 2002. Lemak dan Minyak.
Journal Digitized by USU Digital Library. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas
Teknik, Universitas Sumatera Utara
Hidayat, Chusnul; Lutfi Suhendra; Supriyadi. 2008. Optimasi Produksi Lipase
Kecambah Biji Kacang Tanah (Arachis hypogaea. L) sebagai Biokatalis
dengan Metode Response Surface Methodology. Jurnal Teknik Mesin dan
Industri FT UGM
Kresge, Nicole, Robert D. Simoni dan Robert L. Hill. 2010. JBC Historical
Perspectives: Lipid Biochemistry. Journal of Biology Chemistry. Vol. 280,
No. 14,
Maftuchah, dkk. 2014. Teknik Dasar Analisis Biologi Molekuler. Deepublish:
Yogyakarta

Mardina, Primata, dkk. 2012. Penurunan Angka Asam pada Minyak Jelantah.
Jurnal Kimia Vol. 6 No. 2 (196-200)
Martoharsono, Soeharsono. 1978. Biokimia Jilid I. Gajah Mada University Press:
Yogyakarta
Muchtadi, Tien R., Sugiyono dan Fitriyono Ayustaningwarno. 2010. Ilmu
Pengetahuan Bahan Pangan. Bandung. Alfabeta.
Murty, Ramachandra. 2002. Hydrolysis of Oils by Using Immobilized Lipase
Enzyme. Biotechnol. Bioprocess Eng. 2002, Vol. 7, No. 2
Njoku, P. C. Dan J. C. Onwu. 2010. The Study of The Characteristics and
Rancidity of Three Species of Elaeis Guineesis in South East of Nigeria.
Pakistan Journal of Nutrition, Vol. 9, No. 8 (1)
Oluba, Olarewaju M., George O. Eidangbe, Godwin C. Ojieh dan Blessing O.
Idonije. 2010. Palm and Egulsi melon Oils Lower Serum and Liver Lipid
Profile and Improve Antioxidant Activity in Rats Fed a High Fat Diet.
International Journal of Medicine and Medical Science, Vol. 3, No. 2 (1)
Poedjiadi, Anna. 2009. Dasar-dasar Biokimia. UI-Press: Jakarta
Siswanti, Nana Dyah, Juni S.U. dan Junaini. 2000. Pemanfaatan Antioksidan
Alami Flavonol Untuk Mencegah Proses Ketengikan Minyak Kelapa. Jurnal
Antioksidan. (1-2)
Sui, Moh. 2012. Hidrolisis Minyak Kelapa oleh Enzim Lipase dari Kentos
Kelapa. Agritech, Vol. 32, No. 2 (149-151)
Sudarmadji, Slamet, Sugiyono dan Fitriyono Ayustaningwarno. 2010. Analisa
Bahan Makanan Dan Pertanian. Liberty: Yogyakarta.
Wasowicz, Edwin; Anna Gramza; Marzanna Heoe1; Henryk H. Jelen; Jozef
Korczak; Maria Malecka, Sylwia Mildner-Szkudlarz; Magdalena
Rudzinska; Urszula Samotyja; Renata Zawirska-Wojtasiak. 2004. Oxidation
of Lipids in Food. Polish Journal of Food and Nutrition Science. Vol. 13.
No. 54
Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. M-Brio Press: Bogor
Yuliani, dkk. 2007. Isolasi Jamur Penghasil Lipase dari Tanah, Tempe, dan Ragi
Tempe. Jurnal Teknologi Pertanian, Vol.3 (1): 19-26. Yogyakarta
Witradharma, Tetes Wahyu. Nur Indrawaty Lipoeto Dan Aswiyanti Asri. 2009.
Pengaruh Konsumsi Berbagai Jenis Asam Lemak Terhadap Indikator
Kejadian Aterogenesis Pada Tikus Jantan Strain Wistar. Jurnal Industria Vol
1 No 3 (180 193).

LAMPIRAN
A. Gambar

B. Perhitungan
-

Uji Angka Asam :

Vol NaOH

= 0.4 ml

BM NaOH

= 40

Berat minyak

= 5 gr

N NaOH

= 0,1

Angka Asam =

ml NaOH x N NaOH x BM NaOH


berat minyak ( gr )

Angka Asam =

0,4 x 0,1 x 40
= 0,32
5

Uji Aktivitas Enzim Lipase :

Vol NaOH

= 13,9 ml

N NaOH

= 0,01 N

g sampel

= 10

Waktu

= 10 menit

Aktivitas enzim

Aktivitas enzim

ml NaOH x M NaOH x 103


mg sampel yang ditambahkan x waktu

13,9 x 0,01
10 x 10

=1,39x10-3LU/g

You might also like