You are on page 1of 23

ACARA III

PENGUJIAN KARAKTERISTIK DAN APLIKASI


BIODEGRADABLE FILM
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Plastik biodegradable adalah plastik yang dapat digunakan layaknya
seperti plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas
mikroorganisme setelah habis terpakai dan dibuang ke lingkungan. Ada dua bahan
baku utama yang dapat dipakai dalam pembuatan plastik biodegradable, yakni
petrokimia dan produk tanaman seperti pati dan selulosa. Produk terakhir inilah
yang dewasa ini banyak dikembangkan, khususnya di lingkungan perguruan
tinggi. Edible film adalah lapisan tipis dan kontinu yang terbuat dari bahan-bahan
yang dapat dimakan, dibentuk melapisi komponen makanan (coating) atau
diletakkan di antara komponen makanan (film). Prinsip pembentukan edible film
adalah interaksi rantai polimer menghasilkan agregat polimer yang lebih besar dan
stabil.
Konsep edible film dan coating merupakan inovasi untuk membuat
kemasan baru dari bahan alami. Hal ini karena edible film dan coating tersedia
dengan berbagai sifat yang dapat membantu untuk meringankan banyak masalah
yang dihadapi dengan makanan. Edible film dapat diproduksi dari bahan dengan
film membentuk kemampuan. Komponen digunakan untuk pembuatan edible film
dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori: hidrokoloid, lipid dan komposit.
Film hidrokoloid memiliki baik sifat penghalang terhadap oksigen, karbon
dioksida, dan lipid tetapi tidak untuk uap air. kebanyakan hidrokoloid film juga
memiliki sifat mekanik yang luar biasa, yang cukup berguna untuk produk
makanan tidak tahan lama. Namun, potensi fungsi dan aplikasi dari film dan
coating menjamin peningkatan pertimbangan. Penelitian yang luas masih
diperlukan pada metode pembentukan film dan metode untuk meningkatkan Film
sifat dan potensi aplikasi.

Usaha untuk memperbaiki kualitas edible film sebagai kemasan primer


terus dilakukan seperti pemilihan bahan baku dan penambahan aditif tertentu.
Gliserol memberi peran memperbaiki elastisitas film dan kemudahan film
dikelim/di-seal. Dengan demikian film diharapkan mempunyai sifat fisis mekanis
dan permeabilitas yang memadai sebagai kemasan primer. Sifat fisik-mekanis dan
permeabilitas film kitosan ini selanjutnya dibandingkan dengan kemasan plastik
polipropilena (PP) untuk memberikan gambaran performa film.
2. Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum acara 3 praktikum Teknologi Pengemasan dan
Penyimpanan adalah:
1. Membuat Biodegradable film dari berbagai jenis polimer
2. Menentukan kelarutan Biodegradable film
3. Menentukan WVP Biodegradable film dengan polimer polar dan plastik non
polar
4. Mengukur susut berat buah yang dikemas dengan biodegradable film.
B. Tinjauan Pustaka
Tepung pati jagung atau tepung maizena merupakan solusi yang menarik
sebagai pembungkus pangan inovatif yang dapat menyatu pada bahan makanan
karena memiliki kelebihan serta murah, berlimpah (renewable), dapat diuraikan oleh
mikroorganisme (biodegradable), dan dapat dimakan (edible), sehingga dapat
dikatakan lebih ramah lingkungan bila dibandingkan dengan plastik pengemas
konvensional dari bahan polietilen dan gelatin yang non-degradable (Jaya, 2010).
Konsep edible film dan coating merupakan inovasi untuk membuat kemasan
baru dari bahan alami. Hal ini karena edible film dan coating tersedia dengan
berbagai sifat yang dapat membantu untuk meringankan banyak masalah yang
dihadapi dengan makanan. Edible film dapat diproduksi dari bahan dengan film
membentuk kemampuan. Komponen digunakan untuk pembuatan edible film dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kategori: hidrokoloid, lipid dan komposit. Film
hidrokoloid memiliki baik sifat penghalang terhadap oksigen, karbon dioksida, dan
lipid tetapi tidak untuk uap air. kebanyakan hidrokoloid film juga memiliki sifat
mekanik yang luar biasa, yang cukup berguna untuk produk makanan tidak tahan
lama. Namun, potensi fungsi dan aplikasi dari film dan coating menjamin

peningkatan pertimbangan. Penelitian yang luas masih diperlukan pada metode


pembentukan film dan metode untuk meningkatkan Film sifat dan potensi aplikasi
(Bourtoom, 2008).
Edible packaging dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu yang
berfungsi sebagai pelapis (edible coating) dan yang berbentuk lembaran (edible film).
Edible coating banyak digunakan untuk pelapis produk daging beku, makanan semi
basah (intermediate moisture foods), produk konfeksionari, ayam beku, produk hasil
laut, sosis, buah-buahan dan obata-obatan terutama untuk pelapis kapsul
(Krochta et al., 1994).
Secara umum edible film dapat didefinisikan sebagai lapis tipis yang melapisi
suatu bahan pangan dan layak dimakan, digunakan pada makanan dengan cara
pembungkusan atau diletakkan diantara komponen makanan yang dapat digunakan
untuk memperbaiki kualitas makanan, memperpanjang masa simpan, meningkatkan
efisiensi ekonomis, menghambat perpindahan uap air (Krochta, 1992).
Pelarutan film adalah teknik yang paling digunakan untuk membentuk
hidrokoloid edible film. Selama pengeringan film, penguapan pelarut menyebabkan
penurunan kelarutan polimer sampai rantai polimer menyesuaikan diri untuk
membentuk film. Pemilihan substrat penting untuk mendapatkan film, yang dapat
dengan mudah dikupas tanpa kerusakan setelah pelarut diuapkan. Umumnya, film
yang dikeringkan selama beberapa jam dalam oven berventilasi Struktur film
tergantung pada kondisi pengeringan (suhu dan kelembaban relatif), ketebalan
lapisan basah serta komposisi urutan larutan (Dhanapal, 2012).
Minyak atsiri juga dikenal dengan nama minyak terbang atau eteris (Essential
oil atau volatile). Melihat perkembangan permintaan di pasar internasional. Minyak
atsiri dapat dihasilkan dari berbagai bagian tanaman seperti akar, batang tanaman,
ranting, daun, bunga, atau buah. Minyak atsiri yang beredar di pasaran dunia ada
sekitar 70 jenis. Setelah melalui proses penyulingan dapat dihasilkan minyak yang
dikenal sebagai minyak akar wangi (Vetiver oil). Sekitar 90% minyak akar wangi
yang dihasilkan deksopor dan sisanya digunakan untuk industri didalam negri
( Asri, 1996 ).

Oleoresin merupakan senyawa yang tak kalah pentingnya dengan minyak


atsiri. Oleoresin merupakan campuran antara resin dan minyak atsiri berkadar 2535% yang berwarna coklat tua. Produk ini merupakan hasil ekstraksi dari bubuk jahe
dengan aroma yang khas. Dalam melakukan proses ekstraksi untuk menghasilkan
oleoresin ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yakni peranan pelarut, lama
ekstraksi, dan kehalusan partikel. Sebagai pelarut untuk mengekstraksi jahe
digunakan etanol, aseton, dikhlorida, isopropanol, petroleum, eter dan heksana
( Yunira, 2001 ).
Edible film dan coating diterapkan pada banyak produk untuk mengontrol
perpindahan kelembaban, gas pertukaran atau oksidasi proses. Keuntungan utama
menggunakan edible film dan coating adalah bahwa beberapa bahan aktif dapat
dimasukkan ke dalam matriks polimer dan dikonsumsi dengan makanan, sehingga
meningkatkan keselamatan atau atribut bahkan gizi dan sensorik. Edible film dan
coating didefinisikan sebagai matriks terus menerus, dibuat dari protein,
polisakarida, dan lipid. Komponen film dimakan dan coating dapat dibagi menjadi
dua kategori: larut dalam air polisakarida (hydrocolloids) dan lipid. Polisakarida
yang sesuai meliputi turunan selulosa, alginat, pektin, pati, kitosan dan polisakarida
lainnya. Banyak senyawa lipid seperti hewani dan nabati lemak telah digunakan
untuk membuat edible film dan coating. Lipid yang cocok termasuk lilin,
acylglycerols, dan asam lemak. Edible film lipid memiliki sifat penghalang
kelembaban yang sangat baik atau sebagai agen pelapis untuk menambahkan gloss
untuk produk permen. Lilin biasanya digunakan untuk buah-buahan dan sayuran
untuk menghambat pelapisan respirasi dan mengurangi hilangnya kelembaban
(Pashova, 2007).
Edible film yang dapat dimakan dapat diperoleh dari zat protein, polisakarida
dan lipid. Di antara mereka, yang paling menarik adalah dimakan berbasis protein
edible film. Mereka memiliki sifat penghalang yang lebih tinggi dari film yang
diproduksi dari lipid dan polisakarida. Namun, stabilitas miskin dari dible film
protein untuk uap air dan kekuatan mekanik rendah mereka mereka terbatas
menggunakan dalam kemasan makanan. Dengan demikian, modifikasi protein

berdasarkan edible film harus ditujukan terutama untuk meningkatkan kekuatan dan
penghalang sifat mekanik bahan kemasan terhadap kelembaban. Modifikasi kimia
membantu untuk mencapai peningkatan plastisitas (Park et al., 2008). Plastisizers
yang paling umum digunakan meliputi berbagai poliol (gliserin), oligosakarida dan
lipid (monogliserida, fosfolipid) yang menghancurkan ikatan hidrogen antara rantai
polimer,

membuat

struktur

lebih

cair,

sehingga

meningkatkan

elastisitas

(Shatalov, 2014).
C. Metodologi
1. Alat
a. Mangkuk WVP
b. Desikator
c. Higrometer
d. Termometer
e. Mikrometer
f. Gunting
g. Piring plastik
h. Plastik wrap
2. Bahan
a. Film plastik biodegradable
b. Silika gel
c. Plastik polimer non polar
d. Malam (Wax)
e. Buah anggur

3. Cara Kerja

a. Karakteristik biodegradable film


1. Penentuan Kelarutan Film
Film kering

Pemotongan 2x2 cm
Aquadest 50 ml

Pemasukan dalam gelas beker

Pengadukan selama 1 jam secara periodik

Penyaringan menggunakan kertas saring (kertas saring ditimbang dahu

Pengovenan selama 15-20 menit

2. Penentuan Permeabilitas Uap Air


Film

WVP

Pengukuran tebal

Pengukuran luas permukaan


Penambahan 10 g silika gel

Pemotongan sesuai WVP


Penutupan
Perapatan dengan lilin
Penimbangan
Penyimpanan

Pengamatan perubahan berat Jam ke 0, 1, 2, 3, 4, 5


3. Aplikasi Biodegradable Film
Anggur

Anggur

Anggur

Pembungkusan
Perlakuan
Pembungkusan
kontrol
dengan
plastik wrapdengan edible film

Pengamatan perubahan berat Jam ke 0, 1, 2, 3, 4, 5

D. Hasil dan Pembahasan


Tabel 3.1 Penentuan Kelarutan Film
Shift
Jenis
Berat
Biodegradable
Film
film
Awal
(gr)
A
B
AGB

Tepung
Komposit
Tepung Tapioka
Tepung Maizena
Tepung Tapioka
Tepung

Berat
Kertas
Saring
(gr)

Berat
Kertas
Saring
edibel (gr)

Berat
film
larut
(gr)
0,029

%
kelarutan

0,528

Berat
film tdk
terlarut
(gr)
0,045

0,074

0,483

0,079
0,108
0,067
0,093

0,486
0,495
0,492
0,506

0,456
0,552
0,524
0,545

-0,030
0,057
0,032
0,039

0,109
0,051
0,035
0l054

137,92%
47,3%
52,24%
58,06%

39,18%

Komposit
Tepung Maizena

0,074

0,496

0,538

0,042

0,032

Sumber : Laporan sementara

Kelarutan film adalah presentase kelarutan biodegradable film yang dilihat


dari berat kering setelah dicelupkan dalam air selama waktu tertentu (Gontard and
Guilbert, 1992). Plastik biodegradabel adalah plastik yang dapat digunakan layaknya
seperti

plastik

konvensional,

namun

akan

hancur

terurai

oleh

aktivitas

mikroorganisme menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida setelah habis
terpakai dan dibuang ke lingkungan. Karena sifatnya yang dapat kembali ke alam,
plastik biodegradabel merupakan bahan plastic yang ramah terhadap lingkungan
(Feris, 2008). Pati dapat menjadi bahan dasar dalam pembuatan plastik. Pati
merupakan biopolimer karbohidrat yang dapat terdegradasi secara mudah di alam
dan bersifat dapat diperbaharui. Pati sendiri memiliki batasan bervariasi terkait
dengan kelarutan dalam air. Pati mempunyai lapisan tipis yang mudah rusak,
sehingga untuk meningkatkan karakteristik pati dicampur dengan suatu polimer
sintetik (Mufidah dkk, 2008).
Dari tabel 3.1 dapat dijelaskan bahwa kelompok shift A menggunakan jenis
biodegradble film komposit dan tapioka. Pada jenis biodegradble film komposit
dengan berat awal 0,074 gr dilarutkan dalam air hingga 30 menit dan disaring
menggunakan kertas saring dengan berat 0,483 gr dan dilakukan pengovenan selama
15 menit dengan berat akhir kertas saring yaitu 0,528 gr dengan berat film tidak
terlarut yaitu 0,045, berat film larut 0,029 dan didapatkan 39,18% kelarutan film.
Pada jenis biodegradble film tapioka dengan berat awal 0,079 gr dilarutkan dalam air
hingga 30 menit dan disaring menggunakan kertas saring dengan berat 0,486 gr dan
dilakukan pengovenan selama 15 menit dengan berat akhir kertas saring yaitu 0,456
gr dengan berat film tidak terlarut yaitu -0,030, berat film larut 0,109 dan didapatkan
137,97%. Kelarutan film shift B menggunakan jenis biodegradable film maizena dan
tapioka, pada jenis biodegradable film maizena dengan berat awal 0,018gr, kertas
saring yang digunakan mempunyai berat 0,495gr dan setelah dioven beratnya
menjadi 0,552gr sehingga diketahui berat film tidal larut adalah 0,057gr, berat film

43,24%

larut 47,3 dengan kelarutan film yaitu 47,3%. Pada jenis biodegradable film tapioka
dengan berat awal 0,067gr, kertas saring yang digunakan mempunyai berat 0,492gr
dan setelah dioven beratnya menjadi 0,524gr sehingga diketahui berat film tidal larut
adalah 0,032gr, berat film larut 0,035 dengan kelarutan film yaitu 52,24%. Shift
AGB menggunakan tepung komposit dan tepung maizena, pada tepung komposit
berat awal film yaitu 0,093 gr. Menggunakan kertas saring 0,506 gr dan setelah
digunakan kertas saring mempunyai berat 0,545 gr sehingga berat film yang tidak
larut adalah 0,039 gr, berat film larut 0,054 serta diperoleh kelarutan film yaitu
58,065%. Pada Pada jenis biodegradable film maizena dengan berat awal 0,074gr,
kertas saring yang digunakan mempunyai berat 0,496gr dan setelah dioven beratnya
menjadi 0,538gr sehingga diketahui berat film tidal larut adalah 0,042gr, berat film
larut 0,032 dengan kelarutan film yaitu 43,24%. Berdasarkan data kelarutan edible
film yang baik yaitu shift A dengan jenis biodegradable film tepung tapioka dengan
hasil berat film tidak larut -0,030, berat film terlarut0,109 serta 137,97% kelarutan.
Karena menurut Handajani dkk (2010), jika film dilarutan menggunakan air dingin
maka film harus seminimal mungkin larut dalam air.
Pada dasarnya karakter uji kelarutan film plastik dalam air hampir sama
dengan uji biodegradabilitas dalam tanah. Konsep dasarnya adalah bahwa film
plastik yang dihasilkan dapat dengan mudah dihancurkan secara alamiah, efektif dan
efisien ekonomis dan tentunya ramah lingkungan. Pada uji kelarutan, faktor yang
paling menentukan adalah sifat hidrofilik film plastik dan didukung oleh pengadukan
yang secara mekanis dapat mempercepat kelarutan film plastik dalam air (Feris,
2008). Dalam penentuan kelarutan film adalah berat kering dari film yang terlarut
film dipotong 2cm x 2cm lalu ditimbang beratnya kemudian dilarutkan. Dalam
kelarutan film yang digunakan adalah biodegradable/edible film berasal dari tepung
maizena, tepung tapioka dan tepung komposit (tepung tapioka dan tepung maizena).
Kelarutan dipengaruhi oleh perbedaan kandungan amilosa dan amilopektin
tepung. Semakin tinggi kandungan amilopektin pada tepung yang digunakan, nilai
kelarutan Biodegradable film semakin kecil sehingga kemampuan film untuk
melindungi produk yang dikemas dari pengaruh air akan lebih tinggi, maka semakin

jelek kualitas film tersebut untuk dijadikan bahan pengemas makanan karena film
mudah sekali larut dalam air sehingga dapat memperbesar terjadinya kemungkinan
kerusakan pada produk terutama sifat-sifat bahan yang terpengaruh oleh kadar air.
Menurut Haryadi (1999), amilopektin umumnya merupakan penyusun utama
kebanyakan granula pati. Dengan kadar amilopektin yang tinggi maka kelarutan
tepung tapioka dalam air lebih rendah.
Pati terdiri dari dua polisakarida, amilosa dan amilopektin, yang bisa
dipisahkan menurut perbedaan kelarutan. Amilosa terutama berstruktur linier dan
amilopektin sangat bercabang. Pati asetat membentuk film-film yang transparan,
telah dipakai secara komersial sebgai pengganti kertas dan tekstil. Turunan-turunan
pati telah direaksikan dengan stirena di bawah kondisi radikal bebas untuk
memberikan pati yang terstirenasi. Ada banyak daya tarik dalam kopolimerkopolimer cangkok pati, karena potensinya sebagai bahan pengemas yang bisa
terbiodegradasi dan sebagai pupuk pertanian (Stevens, 2001).
Tabel 3.2 Penentuan Susut Bobot Buah Melon
Shift Jam
Perlakuan
Kontrol
Wrap
Tapioka
Ke
A
0
10,151
10,630
15,224
1
10,006
10,613
15,119
2
9,826
10,592
14,997
3
9,644
10,572
14,820
4
9,480
10,559
14,648
5
9,245
10,545
14,432
B
0
10,792
10,262
11,624
1
10,171
10,231
11,370
2
10,019
10,206
11,025
3
9,793
10,165
10,508
4
9,638
10,138
10,416
5
9,582
10,078
10,284
AG
0
9,804
10,163
1
9,533
10,103
B
2
9,225
10,060
3
9,112
10,043
4
9,016
10,028
5
8,849
10,003
Sumber : Laporan sementara

Maizena
11,155
10,974
10,828
10,559
10,334
10,112
10,933
10,748
10,527
10,440
10,308
10,220

Komposit
10,998
10,686
10,142
10,072
9,858
9,718

Pengaplikasian biodegradable film yang terbentuk dari tepung komposit


memiliki hasil yang berbeda-beda pada tiap sampel anggur yang digunakan untuk
mengetahui pengaruh kemasan terhadap susut berat. Pengamatan dilakukan selama
jam ke 0, 1, 2, 3, 4 dan 5. Penentuan susut berat pada buah menggunakan 1 film
yaitu tepung komposit (pencampuaran tepung tapioka dengan tepung maizena) dan
plastik warp.
Payung Layuk (2001) menyebutkan bahwa penghambatan susut berat buah,
banyak dipengaruhi oleh kemampuan penghambatan laju transmisi uap air (WVTR)
film. Sedangkan WVTR edible film dipengaruhi oleh sifat alami dari bahan pembuat
edible film itu sendiri. Hal yang serupa juga disampaikan oleh Tranggono dan Sutardi
(1990) bahwa derajat penurunan kecepatan kehilangan air tergantung pada
permeabilitas kemasan terhadap transfer uap air juga pada kerapatan isi kemasan.
Semua bahan yang biasa digunakan sebagai pengemas adalah yang bersifat
permeabel terhadap uap air sampai batas-batas tertentu.
Menurut Krochta dan Johnston (1997) menyatakan bahwa penggunaan
Biodegradable/edible film bertujuan untuk menghambat migrasi uap air, gas, aroma
dan lemak. Selain itu juga berfungsi sebagai pembawa komponen bahan makanan
seperti antimikrobia, antioksidan, flavor, pewarna, dan suplemen gizi.
Penggunaan edible film untuk pengemasan produk-produk pangan seperti
sosis, buah-buahan dan sayuran segar dapat memperlambat penurunan mutu, karena
edible film dapat berfungsi sebagai penahan difusi gas oksigen, karbondioksida dan
uap air serta komponen flavor, sehingga mampu menciptakan kondisi atmosfir
internal yang sesuai dengan kebutuhan produk yang dikemas. Keuntungan
penggunaan edible film untuk kemasan bahan pangan adalah untuk memperpanjang
umur simpan produk serta tidak mencemari lingkungan karena edibel film ini dapat
dimakan bersama produk yang dikemasnya.
Aplikasi dari edible film untuk kemasan bahan pangan saat ini sudah
semakin meningkat, seiring kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga
lingkungan hidup. Edible film dan biodegradable film banyak digunakan untuk
pengemasan produk buah-buahan segar yaitu untuk mengendalikan laju respirasi,

akan tetapi produk-produk pangan lainnya juga sudah banyak menggunakan edible
coating, seperti produk konfeksionari, daging dan ayam beku, sosis, produk hasil laut
dan pangan semi basah.
Berdasarkan hasil percobaan didapatkan bahwa tidak semua pada sampel
mengalami susut berat. Penyusutan berat tidak stabil, dikarenakan adanya cemaran
dari suhu lingkungan sekitar yang dapat mempengaruhi berat pada sampel anggur.
Biodegradable film memiliki potensi yang cukup besar untuk digunakan sebagai
bahan pengemas alternatif mengingat jenis plastik jenis bisa terurai oleh
mikroorganisme menjadi polimer rantai-rantai pendek sehingga ramah lingkungan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya kecepatan susut berat pada acara
aplikasi biodegradable film ini yaitu terutama karena jenis komposisi yang dipakai
dalam formula film. Sedangkan dengan penambahan tepung komposit (tapioka dan
maizena) ke dalam formula film, maka rata-rata meningkatkan sifat biodegradable
film, yaitu susut berat buah anggur menjadi lebih kecil. Sedangkan dengan pengemas
sintetik seperti plastik warp sangat resisten terhadap oksigen, air dan asam, serta
basa. Biodegradable film memiliki permeabilitas uap air yang lebih tinggi.
Menurut Eden dalam Davidson (1970), kemasan sintetik digunakan untuk
mengatasi kelemahan-kelamahan yang dimiliki oleh kemasan alami. Adanya
kemasan sintetik menyebabkan suatu bahan makanan dapa disimpan dalam jangka
waktu yang lebih lama, dengan kualitas yang tetap terjaga. Walaupun kemasan
sintetik memiliki kelebihan dibandingkan dengan kemasan alami, kemsan sintetik
juga memiliki beberapa kelemahan, khususnyaberkaitan dengan isu lingkungan.
Kelebihan pengemas sintesis yaitu perlindungan sempurna terhadap produk dari sinar
matahari, panas, debu atau kotoran, dan lain-lain sehingga sangat hiegienis dan
terjaga kualitasnya untuk jangka waktu lama, dapat dituliskan berbagai informasi
mengenai produk, produsen, kodeproduksi, dan tanggal kadarluarsa, dan
memudahkan pengangkutan dan penyimpanan. Sedangkan kekurangannya yaitu
bahan baku kebanyakan barasal dari sumber daya alam tidak terurai, untuk
memproduksinya memerlukan banyak energi, biaya mahal, baik selama proses

maupun setelah menjadi barang, digunakan sesaat, kemudian dibuang menjadi


sampah, dan tidak dapat atau sulit untuk diuraikan oleh mikroorganisme pengurai.
Namun, menurut Poeloengasih (2003) aplikasi edible film dengan cara
coating kurang efektif dalam mempertahankan susut berat maupun penurunan
kecerahan dibandingkan cara wrapping. Hal ini disebabkan pada cara coating lapisan
film yang terbentuk pada permukaan buah sangat tipis, sehingga tidak mampu
mencegah kontak antara buah dengan oksigen yang menyebabkan terjadinya
browning maupun dalam menahan transmisi air keluar buah. Sedangkan aplikasi
dengan cara warpping lebih efektif karena film yang terbentuk relative lebih tebal
dari cara coating.
Menurut Loekas (2006) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produk
pasca panen dalam penyimpanan khususnya terhadap perkembangan jamur penyebab
kerusakan dalam penyimpanan diantaranya adalah produksi mikotoksin selain
dipengaruhi faktor biologi (jenis dan strain jamur), faktor kimiawi (keadaan substrat
tempat tumbuh jamur) juga dipengaruhi faktor fisik antara lain keadaan lingkungan,
suhu, potensi air (kadar air), dan pengaruh pertumbuhan spora jamur. Menurut
Syarief dkk (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya kecepatan susut
berat pada acara aplikasi biodegradable film ini yaitu terutama karena jenis
komposisi yang dipakai dalam formula film. Sedangkan dengan penambahan tepung
komposit (tapioka dan maizena) ke dalam formula film, maka rata-rata meningkatkan
sifat biodegradable film, yaitu susut berat buah anggur menjadi lebih kecil.

Tabel 3.3 Data Penentuan Permeabilitas Uap Air


Jenis
Biodegrad
able Film
Maizena
(THP B)
Maizena

A
(cm)

Keteb
alan
(cm)

Jam ke1

Permiabilita
s Uap air
(cm)

34,091

0,2

169,057

185,597

185,741

185,802

185,857

7,022 x 10-4

4,6353

0,25

130,825

135,269

131,374

131,435

131,489

8,798 x 10-4

(Farmaka)
Komposit
(Farmaka)

4,6735

0,26

154,578

155,190

155,316

155,435

155,435

Sumber : Laporan sementara

Menurut Siswanti (2008), laju transmisi/permeabilitas uap air merupakan


jumlah uap air yang hilang per satuan waktu dibagi dengan luas area film. Oleh
karena itu salah satu fungsi edible film adalah untuk menahan migrasi uap air maka
permeabilitasnya terhadap uap air harus serendah mungkin. sedangkan menurut
Estiningtyas (2010), peremeabilitas terhadap gas dan uap air (Gas or water vapor
permeability = WVP) yang banyak digunakan dalam teknologi pengemasan
didefinisikan sebagai gram air per hari per 100 in2 permukaan kemasan, untuk
ketebalan dan temperatur tertentu, dan kelembaban relatif di satu sisi 0% dan pada
sisi lainnya 95%. Metode yang umum digunakan untuk mengukur permeabilitas uap
ialah dengan metode gravimetri. Dalam metode ini digunakan suatu desikan yang
bisa menyerap uap air dan menjaga supaya tekanan uap air tetap rendah disimpan
dalam suatu mangkuk alumunium yang kemudian ditutup dengan film plastik yang
akan diukur permeabilitasnya.
Permeabilitas

air

adalah

kemampuan

untuk

melewatkan

air. Sifat

permeabilitas plstik terhadap uap air dan udara menyebabkan plastik mampu
berperan memodifikasi ruang kemasselama penyimpanan. Bilapermeabilitas dari
kemasannya rendah maka akan meningkatkan kadar air dariproduk. Sehingga dapat
merubah tekstur, rasa, dan aroma. bukan hanya itu sajaumur simpan dari produk juga
akan berkurang karena bila kadar air meningkatmaka aktivitas air (aw) akan
meningkatkan. Aw merupakan tingkat ketersedianair bebas dalam bahan pangan
untuk

berlangsungnya

reaksi reaksi

kimia.Biokimia

dan

pertumbuhan

mikroorganisme yang mungkin dapat menurunkanmutu produk tersebut (Winarno


2010).
Permeabilitas suatu film kemasan adalah kemampuan melewatkan partikel
gas dan uap air pada suatu unit luasan bahan pada suatu kondisi tertentu. Nilai
permeabilitas sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sifat kimia polimer, struktur
dasar polimer, sifat komponen permeant. Polimer dengan polaritas tinggi

14,197 x 10-4

(polisakarida dan protein) umumnya menghasilkan nilai permeabilitas uap air yang
tinggi dan permeabilitas terhadap oksigen rendah (Yusuf, 2012). Hal ini disebabkan
polimer mempunyai ikatan hidrogen yang besar. Sebaliknya, polimer kimia yang
bersifat non polar (lipida) yang banyak mengandung gugus hidroksil mempunyai
nilai permeabilitas uap air rendah dan permeabilitas oksigen yang tinggi, sehingga
menjadi penahan air yang baik tetapi tidak efektif menahan gas.
Permeabilitas uap air (WVP)

menyatakan kemudahan kemasan untuk

ditembus oleh uap air, atau dapat dinyatakan sebagai laju transmisi uap air dan
dilambangkan sebagai B. Penentuan permeabilitas uap air pada kemasan dapat
ditentukan dengan meletakkan kemasan dengan luasan tertentu pada suatu alat yang
dapat mengakibatkan terjadinya perbedaan tekanan antara sisi dalam dan sisi luar.
Permeabilitas kemasan biasanya dinyatakan dalam gram H2O yang melewati
kemasan dengan luas permukaan tertentu per hari untuk tebal dan suhu serta
kelembaban relative (RH) tertentu. Satuannya dinyatakan dalam gr H2O mm/m2 hari
atm. Pada penentuan permeabilitas uap air digunakan 1 sampel pengemas. Sampel
pengemas yang digunakan yaitu Cling warp, kemasan plastik PP serta enam
biodegradable film dengan komposisi yang sama yaitu 2 film dari maizena jahe, dan
4 film yang terbuat dari maizena.
Pada penentuan permeabilitas uap air digunakan silika gel yang dimasukkan
ke dalam cawan. Cawan yang berisi silika gel dimasukan ke dalam wadah yang
berisi larutan garam. Silika gel dan cawan selanjutnya ditimbang setiap satu jam
sekali hingga didapat hasil lima kali penimbangan. Silica gel bersifat menyerap air
yang ada dalam mangkuk WVP akibatnya terdapat perbedaan tekanan antara di
dalam dan di luar mangkuk WVP. Perbedaan tekanan akan menyebabkan uap air atau
gas masuk ke dalam mangkuk WVP. Uap air yang masuk ke dalam mangkuk WVP
ini akan mempengaruhi berat mangkuk WVP. selisih berat mangkuk WVP yang
diukur tiap satu jam sekali dari jam ke 0 hingga jam ke-4, selisih berat dianggap
sebagai jumlah uap air yang masuk ke dalam mangkuk WVP melalui kemasan.
Keuntungan penggunaan silica gel sebagai desikan antara lain adalah mampu
menyerap sepertiga dari jumlah uap air yang ada, dapat diturunkan dan digunakan

kembali dengan cara pemberian panas, silica gel adalah material yang inert (tidak
bereaksi dengan bahan), lebih sering dan mudah digunakan dengan bungkus sachect
atau kantong. Silika gel merupakan suatu bentuk dari silika yang dihasilkan melalui
penggumpalan sol natrium silikat (NaSiO2). Sol mirip agar agar ini dapat
didehidrasi sehingga berubah menjadi padatan atau butiran mirip kaca yang bersifat
tidak elastis. Sifat ini menjadikan silika gel dimanfaatkan sebagai zat penyerap,
pengering dan penopang katalis. Garam garam kobalt dapat diabsorpsi oleh gel ini.
Silica gel mencegah terbentuknya kelembapan yang berlebihan sebelum terjadi.
Menurut Apriyanti dkk (2013), semakin rendah nilai permeabilitas uap air
atau semakin mendekati nol maka daya serap plastik terhadap uap air semakin kecil.
Jika plastik telah menyerap uap air dari luar maka plastik tersebut tidak mampu
untuk menyerap uap air lagi yang melebihi dari kapasitas penyerapannya maka nilai
permeabilitas uap air (WVP) akan semakin baik. Kecilnya permeabilitas yang ada
pada kemasan maka kemampuan kemasan untuk melindungi produk semakin baik
sehingga dapat menambah daya simpan produk. juga tinggi.
Salah satu sifat edible film yang sangat penting agar dapat berfungsi dengan
baik sebagai pelapis makanan adalah permeabilitas uap air (water vapor
permeability). Water vapor permeability (WVP) adalah kemampuan dari film untuk
menahan laju uap air yang menembusnya. Permeabilitas film dipengaruhi oleh beda
konsentrasi antara satu sisi dengan sisi yang lain. Semakin besar beda konsentrasi
maka transfer massa yang terjadi semakin cepat. Selain itu permeabilitas juga
dipengaruhi oleh tebal dari film. Penggunaan plasticizer harus diminimalkan karena
beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa plasticizer dapat meningkatkan
permeabilitas uap air dan menurunkan sifat kohesi film yang mempengaruhi sifat
mekanik film (Silva dkk., 2009). Jenis Plasticizer yang paling umum digunakan pada
pembuatan edible film adalah gliserol, sorbitol dan polietilen glikol. Karena sifatnya
yang hidrofilik maka plasticizer ini cenderung banyak menyerap uap air (Suppakul,
2006).
Menurut Syarief dkk (1989), mekanisme uji permeabilitas yang umum
digunakan untuk mengukur permeabilitas uap ialah dengan metode gravimetri.

Dalam metode ini digunakan suatu desikan yang bisa menyerap uap air dan menjaga
supaya tekanan uap air tetap rendah disimpan dalam suatu mangkuk alumunium
yang kemudian ditutup dengan film plastik yang akan diukur permeabilitasnya.
Prinsip pengujian uji peremeabilitas terhadap gas dan uap air (Gas or water
vapor

permeability

WVP)

yang

banyak

digunakan

dalam teknologi

pengemasan menghitung gram air per hari per 100 in 2 permukaan kemasan, untuk
ketebalan dan temperatur tertentu, dan kelembaban relatif di satu sisi 0% dan
pada sisi lainnya 95%.
Menurut Indriani (2009), silika gel merupakan material berpori, berbentuk
amorf yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya sebagai
adsorben. Ketidakteraturan struktur molekul dari silika gel menyebabkan silika gel
memiliki keragaman pori. Pembuatan silika gel dari abu sekam padi dengan
penambahan surfaktan sebagai molekul pengarah diharapkan akan berpengaruh
terhadap ukuran pori yang terbentuk pada material hasil. Menurut Ali et al (2009),
fungsilika gel sebagai penyangga katalis, sebagai agen flatting di pelapis dan sebagai
adsorben selektif dalam kromatografi kolom. Silika gel ini memiliki aplikasi di
modifikasi viskositas dan thixotropy dari cairan. Silika gel dapat juga digunakan
untuk pengolahan air limbah, kontrol kelembaban atmosfer, pemurnian gas dan untuk
penyulingan minyak bumi. Dalam praktikum ini silica gel berfungsi untuk
mengetahui permeabilitas uap air pada edible film yang dibuat. Menurut Nugroho
dkk (2012) penggunaan cawan WVTR pada uji Laju Transmisi Uap Air (WVTR)
pada kemasan edible film digunakan untuk menempatkan silica gel yang masih aktif,
karena kerapatanya yang baik sehingga dapat digunakan untuk pengujian ini.
Kemudian di seal kemasan edible film pada bagian atas mulut cawan. Cawan yang
umum digunakan yakni berukuran 7,5 cm (diameter dalam) dan 8 cm (diameter
luar) dengan kedalaman 2 cm, yang didalamnya berisi 10 gram silica gel.
Data nilai WVP dari masing-masing kelompok, untuk THP B dengan
menggunakan film yang terbuat dari maizena nilai WVPnya sebesar 7,002gr,dengan
berat awal 34,091gr, permeabilitas jam ke-1 hasil 169,1 , jam ke-2 185,6 , jam ke-3 1
185,7, dan jam ke-5 185,8. Sedangkan untuk kelompok THP A yang menggunakan

film yang terbuat dari maizena mempunyai nilai WVP sebesar 8,79gr, dengan berat
awal 4,63gr pada jam ke-1 130,8 , jam ke-2 135,3 , jam-ke 3 131,4 , jam-ke4 131,4
dan jam ke-5 131,5. Untuk kelompok Farmaka yang menggunakan film yang terbuat
dari tepung komposit mempunyai nilai WVP sebesar 14,19gr, dengan berat awal
4,67. Nilai permeabilitas pada kelompok Farmaka pada jam ke-1 154,6 , jam ke-2
155,2 , jam-ke 3 155,4 , jam-ke4 131,4 dan jam ke-5 155,4. Pada shif 3 hal ini sesuai
dengan teori penggunaan tapioka dan maizena sebagai bahan pembuat edible film
diduga mampu menurunkan laju transmisi uap air dari film yang dihasilkan. Hal ini
diindikasikan dari laju transmisi uap air edible film komposit tapioka dan maizena
lebih rendah daripada edible film komposit glukomanan-tapioka yang pernah diteliti
Manuhara, dkk. (2008).
Menurut Estiningtyas (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi konstanta
permeabilitas kemasan adalah jenis film permeabilitas dari polipropilen lebih kecil
dari pada polietilen artinya gas atau uap air lebih mudah menembus polipropilen
daripada polietilen, suhu, ada tidaknya plasticizer misal air, jenis polimer film, dan
sifat dan besar molekul gas serta solubilitas atau kelarutan gas.sedangkan menurut
Syarief, et al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi konstanta permeabilitas
kemasan adalah: suhu, ada tidaknya plasticizer, jenis polimer film, sifat dan
besar molekul gas, dan solubilitas atau kelarutan gas.
Menurut Gontardet et al (1993), dilakukan pengujian uap air edible film yaitu
untuk mengetahui kualitas edible film berdasarkan jenis tepung yang digunakan.
Laju transmisi uap air merupakan jumlah uap air yang hilang per satuan waktu
dibagi dengan luas area film. Oleh karena itu salah satu fungsi edible film adalah
untuk menahan migrasi uap air maka permeabilitasnya terhadap uap air harus
serendah mungkin.

E. Kesimpulan
Dari praktikum acara III Pengujian Karakteristik dan Aplikasi Biodegradable
Film dapat disimpulkan bahwa:
1. Biodegradable film banyak digunakan untuk pengemasan produk buahbuahan segar.
2. faktor yang paling menentukan pada uji kelarutan adalah sifat hidrofilik film
plastik dan didukung oleh pengadukan yang secara mekanis dapat
mempercepat kelarutan film plastik dalam air. Konsep dasar uji kelarutan
biodegradable film adalah bahwa film plastik yang dihasilkan dapat dengan
mudah dihancurkan secara alamiah, efektif dan efisien ekonomis dan
tentunya ramah lingkungan.
3. Semakin tinggi kandungan amilopektin pada tepung yang digunakan, nilai
kelarutan Biodegradable film semakin kecil

4. Aplikasi

edible

film

dengan

cara

coating

kurang

efektif

dalam

mempertahankan susut berat maupun penurunan kecerahan dibandingkan


cara wrapping.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya kecepatan susut berat pada
acara aplikasi biodegradable film ini yaitu terutama karena jenis komposisi
yang dipakai dalam formula film. Sedangkan dengan penambahan tepung
komposit (tapioka dan maizena) ke dalam formula film, maka rata-rata
meningkatkan sifat biodegradable film, yaitu susut berat buah anggur
menjadi lebih kecil.
6. Pada hasil praktikum penentuan kelarutan film biodegradable film yang
mempunyai kelarutan paling baik yaitu pada shift farmaka dengan film
tepung komposit dengan nilai % kelarutan 14,19%. Dan kelarutan yang
paling jelek pada hasil shift THP B dengan sampel film maizena dengan nilai
% kelarutan 7,022%.
7. Nilai WVP yang tinggi menunjukkan uap air yang masuk ke dalam bahan
besar.
8. Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya kecepatan susut berat pada
acara aplikasi biodegradable film ini yaitu terutama karena jenis komposisi
yang dipakai dalam formula film. Sedangkan dengan penambahan tepung
komposit (tapioka dan maizena) ke dalam formula film, maka rata-rata
meningkatkan sifat biodegradable film, yaitu susut berat buah anggur
menjadi lebih kecil.

DAFTAR PUSTAKA
Asri, Arum. 1996. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri Komoditas Wangi Penuh Potensi.
Agromedia Pustaka. Jakarta.
Bourtoom, T. 2008. Edible films and coatings: characteristics and properties
International Food Research Journal 15(3):(2008) Department of Material
Product
Technology, Prince of Songkla University, Hat Yai, Songkhla,
90112, Thailand.
Dhanapal, Aruna. 2012. Edible films from Polysaccharides Food Science and Quality
Management www.iiste.org ISSN 2224-6088 (Paper) ISSN 2225-0557
(Online) Vol 3, 2012 Department of Food Processing and Preservation
Technology, Avinashilingam
University
for
women,Faculty
of
Engineering,Coimbatore.
Jaya, Danang. 2010. Pembuatan Edible Film dari Tepung Jagung. Fakultas Teknologi
Industri Universitas Pembanguna Nasional Veteran. Yogyakarta
Krisna, Simas Damar Adi. 2011. Pengaruh Gelatinisasi Dan Modifikasi Hidrotermal
Terhadap Sifat Fisik Pada Pembuatan Edible Film Dari Pati Kacang Merah
(Vigna Angualaris Sp). Universitas Diponegoro. Semarang.
Krochta,J.M. 1992. Control of mass transfer in food with edible coatings and film. In:
Singh,R.P. and M.A.Wirakartakusumah (Eds) : Advances in Food
Engineering. CRC Press : Boca Raton, F.L. pp. 517-538.
Krochta,J.M., Baldwin,E.A. dan M.O.Nisperos-Carriedo. 1994. Edible coatings and
film to improve food quality. Echnomic Publ.Co., Inc., USA.
Pashova, Sabka. Zhivkova, Vanya. 2007. Edible Film and Coating Used For
Prolonging The Term Of Storage Of Foods. Vol.12, No.25-36.
Purnomo, dkk. 2010. Pembuatan Dan Karakterisasi Edible Film Dari Pati Umbi Kayu
Dan Ganyong Dengan Penambahan Sorbitol Dan Gliserol. Universitas
Negeri Malang. Malang
Shatalov, Iwan. Shatalavoa, Alexandrina. 2014. Developing of Edible Packaging
Meterial Based on Protein Film. Vol. 15.

Wahyu, Maulana Karnawidjaja. 2008. Pemanfaatan Pati Singkong Sebagai Bahan Baku
Edible Film. Universitas Padjajaran. Bandung.
Yunira, Salma. 2001. Khasiat dan Manfaat Jahe Merah. Agromedia Pustaka. Jakarta.

LAMPIRAN FOTO

You might also like