Professional Documents
Culture Documents
Stambuk
: N 101 12 161
Kelompok
LO (Learning Objective)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Jawab
1. Proses penyambungan tulang menurut Apley dibagi dalam 5 fase yaitu :
1. Fase hematoma terjadi selama 1- 3 hari. Pembuluh darah robek dan terbentuk
hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur,
yang tidak mendapat pesediaan darah akan mati sepanjang satu atau dua
milimeter (Helmi, 2011).
2. Fase proliferasi terjadi selama 3 hari sampai 2 minggu. Dalam 8 jam setelah
fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi dibawah periosteum dan
didalam saluran medula yang tertembus ujung fragmen dikelilingi jaringan sel
yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahanlahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang dalam daerah fraktur
(Helmi, 2011).
3. Fase pembentukan kalus terjadi selama 2-6 minggu. Pada sel yang
berkembangbiak memiliki potensi untuk menjadi kondrogenik dan osteogenik
jika diberikan tindakan yang tepat selain itu akan membentuk tulang kartilago
dan osteoklas. Massa tulang akan menjadi tebal dengan adanya tulang dan
kartilago juga osteoklas yang disebut dengan kalus. Kalus terletak pada
permukaan periosteum dan endosteom. Terjadi selama 4 minggu, tulang mati
akan dibersihkan (Helmi, 2011).
4. Fase konsolidasi terjadi dalam waktu 3 minggu 6 bulan. Tulang fibrosa atau
anyaman tulang menjadi padat jika aktivitas osteoklas dan osteoblastik masih
berlanjut maka anyaman tulang berubah menjadi tulang lamelar. Pada saat ini
osteoblast tidak memungkinkan untuk menerobos melalui reruntuhan garis
fraktur karena sistem ini cukup kaku. Celah-celah diantara fragmen dengan
tulang baru akan diisi oleh osteoblas. Perlu beberapa bulan sebelum tulang
cukup untuk menumpu berat badan normal (Helmi, 2011).
Fraktur
Fraktur adalah diskontinuitas dari jaringan tulang (patah tulang) yang biasanya
disebabkan oleh adanya kekerasan yang timbul secara mendadak. (Aswin, dkk,;
1986). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan
atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang
menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan pada
lengan bawah yang menyebabakan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berupa
tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada lengan yang menyebabkan tulang
klavikula atau radius distal patah.
cedera lain yang mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun terlewatkan dan
tidak terobati. Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil
riwayat AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past Medical History, Last
Ate dan Event (kejadian atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting
untuk ditanyakan untuk mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh
pasien, terutama jika kita masih curiga ada cedera yang belum diketahui saat primary
survey, Selain riwayat AMPLE, penting juga untuk mencari informasi mengenai
penanganan sebelum pasien sampai di rumah sakit (Parahita, 2009).
Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk dievaluasi
adalah (1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi, (2) fungsi
neuromuskular (3) status sirkulasi, (4) integritas ligamentum dan tulang. Cara
pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada Look, kita menilai
warna dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan, dan memar. Penilaian inspeksi
dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan eksternal aktif, begitu
pula dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang pucat dan tanpa pulsasi
menandakan adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas yang bengkak pada daerah
yang berotot menunjukkan adanya crush injury dengan ancaman sindroma
kompartemen. Pada pemerikasaan Feel, kita menggunakan palpasi untuk memeriksa
daerah nyeri tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi. Pada periksaan Move kita
memeriksa Range of Motion dan gerakan abnormal (Parahita, 2009).
Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi bagian distal dari
fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada ujung jari kemudian membandingkan
sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi mempersulit pemeriksaan
pulsasi, dapat digunakan alat Doppler yang dapat mendeteksi aliran darah di
ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik yang normal, perbedaan besarnya
denyut nadi, dingin, pucat, parestesi dan adanya gangguan motorik menunjukkan
trauma arteri. Selain itu hematoma yang membesar atau pendarahan yang memancar
dari luka terbuka menunjukkan adanya trauma arterial. Pemeriksaan neurologi juga
penting untuk dilakukan mengingat cedera muskuloskeletal juga dapat menyebabkan
cedera serabut syaraf dan iskemia sel syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan
kerja sama pasien. Setiap syaraf perifer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya
perlu diperiksa secara sistematik (Parahita, 2009).
Tujuan penanganan fraktur selanjutnya adalah mencegah sumber sumber
yang berpotensi berkontaminasi pada luka fraktur. Adapun beberapa cara yang dapat
dilakukan adalah mengirigasi luka dengan saline dan menyelimuti luka fraktur dengan
ghas steril lembab atau juga bisa diberikan betadine pada ghas. Berikan vaksinasi
tetanus dan juga antibiotik sebagai profilaksis infeksi (Parahita, 2009).
Sumber : Parahita, PS, 2009, Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Pada Cedera
Ekstremitas, Jurnal FK UNAND.