Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Alopesia areata merupakan penyakit autoimun yang tidak dapat diduga dan terjadi
secara akut. Alopesia areata biasanya memberikan gambaran yang khas, ditandai oleh adanya
kerontokan rambut pada daerah yang tidak meradang, dengan lesi yang berbatas tegas,
berbentuk bulat atau oval yang timbulnya tidak hanya terbatas pada kulit kepala dan sering
bersifat asimtomatis.8
EPIDEMIOLOGI
Alopesia hampir selalu menyerang orang orang dengan rambut berwarna gelap.
Data mengenai rasio jenis kelamin untuk alopesia areata sedikit lebih berada dalam literatur.
Dalam sebuah penelitian terdapat 736 pasien, dengan wanita dan laki laki adalah 1 : 1,
dalam studi lain pada sejumlah kecil pasien, peristiwa pada perempuan lebih sedikit. Alopesia
areata dapat terjadi pada usia sejak lahir sampai akhir dekade kehidupan. Puncak insidensnya
muncul dari usia 15 29 tahun. Sebanyak 44% dari orang dengan alopesia areata telah mulai
pada usia kurang dari 30% dari pasien dengan alopesia areata.8,9
KLASIFIKASI
Berdasarkan tingkat luasnya penyakit, alopesia areata dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Alopesia areata lokal: Lesi alopesia lokal yang melibatkan <50% permukaan kulit kepala.
Penyakit ini biasanya self-limited, rambut akan tumbuh kembali setelah beberapa bulan,
2.
polyendocrine syndrome type I, celiac disease, atopic dermatitis, Down Syndrome, dan
candida endocrinopathy syndrome juga dapat mengakibatkan terjadinya alopesia areata.2,11
Berbagai faktor atau keadaan patologik yang dianggap berasosiasi dengan penyakit ini
adalah : 7
a. Genetik
Alopecia areata dapat diturunkan secara dominan autosomal dengan penetrasi yang
bervariasi. Frekuensi alopecia areata yang diturunkan secara genetik adalah 10 50 %.
Insidens pada alopecia areata dengan onset dini adalah 37 % pada umur 30 tahun dan 7,1
% pada onset lebih dari 30 tahun. Alopecia areata pada kembar identik dilaporkan terjadi
lebih dari 55 %. Beberapa gen terkait misalnya kompleks gen HLA (Human Leucocyte
Antigen) yang berlokasi di lengan pendek kromosom-6 membentuk MHC (Major
Histocompatibility Complex). Tiap gen pada kompleks gen HLA memiliki banyak varian
(alel) yang berbeda satu dengan yang lain. Kompleks HLA pada penderita alopecia areata
diteliti karena banyaknya hubungan penyakit-penyakit autoimun dengan peningkatan
frekuensi antigen HLA. Penelitian terbaru menunjukkan adanya hubungan alopecia areata
dengan beberapa antigen HLA kelas I (HLA-A9, -B7, -B8, -B13, -B27). Beberapa
penelitian juga membuktikan bahwa terdapat hubungan alopecia areata dengan HLA kelas
ll (HLA-DR4, -DR5 subtipe DR4 dan DR11, -DQ3 subtipe DQ7 dan DQ8). Alopecia
areata HLA-DRS berhubungan dengan bentuk alopecia areata onset dini dan alopecia
areata dengan hilangnya rambut yang luas. Pada alopecia areata terjadi peningkatan alel
HLA-DQB1*0301 (DQ7), HLA-DQB*03 (DQ3), dan HLA-DRB1*110 4 (DR11). HLADBR1*03 (DQ3) tampaknya merupakan marker HLA untuk semua bentuk alopecia
areata. Alel HLA-DRB1*0401 (DR4) dan HLA-DRB1*0301 (DQ7) adalah marker untuk
alopecia areata totalis/universalis yang lebih berat. Pada Sindroma Down, insiden
alopecia areata sebanyak 60 dibandingkan dengan 1 pada populasi normal. Keterlibatan
gen pada kromosom 21 diduga menentukan kerentanan terhadap alopecia areata.8,9
b. Stigmata atopi (faktor alergi)
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara alopecia areata dengan atopi,
terutama alopecia areata berat. Frekuensi penderita alopecia areata yang mempunyai
stigmata atopi adalah sebesar 10 52 %. Kelainan yang sering dijumpai berupa asma
bronkhial, rhinitis, dan atau dermatitis atopik.10,11
c. Gangguan neurofisiologik dan emosional.
Pada alopecia areata dapat terjadi vasokonstriksi yang disebabkan oleh gangguan saraf
autonom, atau setelah tindakan ortodontik. Beberapa penelitian menyatakan bahwa stres
mungkin merupakan faktor presipikasi pada beberapa kasus alopecia areata. Pernah
dilaporkan bahwa sebelum onset alopecia areata terjadi, terdapat stres, psikotrauma,
kelainan psikiatri, faktor psikologis, maupun faktor situasi dalam rumah tangga.
Sebaliknya, laporan lain menyatakan bahwa stres tidak memegang peranan penting dalam
patogenesis alopecia areata.7
d. Gangguan organ ektodermal
Kerusakan kuku distropik dianggap berasosiasi dengan alopecia areata, demikian pula
timbulnya katarak tipe subkapsular posterior. 7
e. Kelainan endokrin
Beberapa penyakit endokrin antara lain gangguan fungsi kelenjar dan diabetes melitus
banyak dihubungan dengan alopecia areata. Tiroid, kelenjar yang paling sering dijumpai
kelainannya pada penderita alopecia areata, memberikan gambaran penyakit goiter.
Gangguan endokrin lainnya dapat berupa vitiligo dan kelainan gonad.7
f. Faktor infeksi
Beberapa penelitian menyatakan adanya hubungan infeksi Cytomegalovirus (CMV) pada
alopecia areata. Infeksi HIV juga berpotensi sebagai faktor pencetus terjadinya alopecia
areata. Namun, penelitian lain menyatakan bahwa hubungan keterlibatan virus/bakteri
belum dapat disimpulkan.7
g. Faktor nuerologi
Perubahan lokal sistem saraf perifer pada level papila dermis mungkin memegang
peranan pada evolusi alopecia areata karena sistem saraf perifer dapat menyalurkan
neuropeptida yang memodulasi proses inflamasi dan proliferasi. Teori ini didukung oleh
Hlordinsk dkk bahwa terdapat penurunan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP) dan
Substansi P (SP) pada pasien alopecia areata. Neuro CGRP bekerja sebagai anti-inflamasi
poten. Neuropeptida SP mampu menginduksi pertumbuhan rambut pada tikus. Pemberian
Capsaicin (yang dapat menyebabkan inflamasi neurogenik dan pelepasan SP) pada
seluruh kulit kepala pada dua pasien alopecia areata dapat meningkatkan adanya SP pada
saraf perifolikular pasien alopecia areata dan menginduksi pertumbuhan rambut velus.7
h. Faktor hormonal / kehamilan
Ketidakseimbangan hormonal pada kehamilan kadang-kadang dapat mencetuskan
terjadinya alopecia areata (Sabaroud 1896, Sabaroud 1913). Kasus alopecia areata banyak
dilaporkan terjadi selama masa kehamilan. Alopecia areata pada keadaan ini pada
umumnya besifat sementara. Masa pubertas dan menopause juga berpotensi untuk
berulangnya alopecia areata.7
i. Bahan kimia
Bahan-bahan kimia yang berpotensi untuk terjadinya alopecia areata adalah acrylamide
(Roselino, 1996), formaldehyde, dan beberapa pestisida.7
j. Perubahan musim
Beberapa orang mengalami alopecia areata selama terjadi perubahan musim yaitu selama
musim dingin, bersifat sementara, dan akan tumbuh kembali dalam musim panas.7
k. Trauma fisik7
regulatory T cells yang diyakini mampu menekan proses autoimun ini juga akan
mengakibatkan sel T autoreaktif semakin bertambah banyak. Berbagai antigen diri yang
berasal dari rambut, seperti keratin 16, trichohyalin, atau antigen lain di sekitarnya seperti
keratinocytes, dermal papilla, dermal sheath cells, dan melanocytes, atau antigen asing dapat
memicu aktivasi sel T autoreaktif, proses ini dinamakan molecular mimicry (Gambar 2).3,7
Setelah melewati seleksi negatif di dalam timus, aktivasi terhadap antigen diri dan antigen
asing di dalam skin-draining lymph nodes, dan melewati toleransi di perifer, sel T autoreaktif
akan menginduksi terjadinya mekanisme autoimun. Ada beberapa komponen yang dianggap
terlibat dalam mekanisme tersebut, seperti CD8+ yang bersifat sitotoksik, sel NK, aktivitas sel
NK-T, antibody dependent cell-mediated cytotoxicity (ADCC), apoptosis folikel rambut
melalui interaksi Fas-Fas ligand, atau inhibisi siklus pertumbuhan rambut yang diinduksi
oleh sitokin.3
Selain itu, perlu diketahui bahwa pada folikel rambut yang normal hanya sedikit ditemukan
adanya MHC class I sedangkan sitokin imunosupresif, seperti TGF-, IGF-1, -MSH, dan sel
NK sering dijumpai dan berfungsi sebagai pertahanan melawan antigen. Sebaliknya pada
kondisi-kondisi tertentu, seperti infeksi, mikrotrauma folikuler, atau antigen mikroba dapat
merangsang pelepasan sitokin proinflamasi seperti IFN- yang mampu menginduksi ekspresi
molekul MHC class I dan II secara tidak wajar ke dalam follicular bulb cells sedangkan
jumlah sitokin imunosupresif menurun atau fungsinya terganggu.3,7,8,12
Selanjutnya kondisi di atas akan mengakibatkan infiltrasi sel T CD8+ dan CD4+ ke dalam
folikel rambut yang terjadi selama fase akut (Gambar 3 dan 4). Infiltrasi ini disebabkan oleh
adanya peningkatan ekspresi molekul-molekul adhesi seperti intercellular adhesion
molecules 2 (ICAM-2) dan ELAM-1 di area perivaskuler dan peribulbar pada kulit. Molekulmolekul adhesi ini kemudian berikatan dengan sel T kemudian membawanya menuju ke sel
endotel pembuluh darah dan akhirnya ke dermis. Sel T CD8+ menginfiltrasi area dermis pada
folikel rambut (intrafolikuler) dan sel T CD4+ pada area sekitar folikel rambut (perifolikuler)
pada fase anagen. Dengan bantuan sel T CD 4+ molekul-molekul MHC ini kemudian dikenali
sebagai antigen oleh sel T CD8+ yang autoreaktif.3,7,8,9
Pada akhirnya folikel rambut akan mengalami miniaturisasi kemudian diikuti dengan
terhentinya siklus pertumbuhan rambut secara prematur pada fase anagen awal. Folikel
rambut dalam kondisi ini disebut folikel rambut nanogen. Proses keratinisasi juga menjadi
tidak lengkap, sehingga pertumbuhan rambut digantikan menjadi anagen distrofik yang
berarti bahwa meskipun fase anagen tetap ada, kemampuan folikel rambut untuk
memproduksi rambut dengan ukuran dan integritas yang sesuai mengalami gangguan. Pada
fase kronis, telogen akan berlangsung lebih lama dan tidak terjadi tanda-tanda akan
memasuki fase anagen.3,7
Selain mekanisme di atas stres juga dianggap dapat mengakibatkan alopesia areata dengan
melibatkan nerve growth factor (NGF), substance P, dan mast cell. Saat stres NGF akan
menstimulasi sintesis substansi P di dalam dorsal root ganglia dan menginduksi fase catagen
lebih awal. Selanjutnya neuropeptida ini akan ditranspor melalui serabut saraf sensorik
peptidergik menuju ke kulit yang kemudian mengakibatkan timbulnya peradangan
neurogenik perifolikuler yang dapat mengganggu pertumbuhan rambut.12
Gambar 4. Mekanisme Presentasi Antigen dalam Folikel Rambut pada Penderita Alopesia
Areata.8
MANIFESTASI KLINIS
Perjalanan penyakit alopesia areata tidak dapat diprediksikan. Alopesia areata lebih
sering asimtomatis, tetapi dapat terjadi sensasi terbakar atau gatal di area kebotakan pada
sekitar 14% pasien. Pada pasien alopesia areata, 80% hanya memiliki satu lesi, 12,5%
memiliki 2 lesi, dan 7,7% memiliki lebih dari 2 lesi. Alopesia areata paling banyak mengenai
kulit kepala (66,8-95%), akan tetapi dapat juga mengenai area berambut lainnya, seperti pada
wajah/jambang (28%, laki-laki), alis (3,8%), dan ekstremitas (1,3%). Penyakit ini dapat
mengenai lebih dari 2 area pada waktu bersamaan (Gambar 5).(2,10)
Lesi alopesia areata stadium awal paling sering ditandai oleh bercak kebotakan yang
bulat atau lonjong dan berbatas tegas. Permukaan lesi tampak halus, licin, serta tanpa tanda
sikatriks, atrofi, maupun skuamasi. Pada tepi lesi terkadang terdapat exclamation-mark hairs
yang mudah dicabut. Exclamation-mark hairs jika dilihat menggunakan kaca pembesar akan
nampak bagian pangkal rambut yang lebih kecil dari ujung rambut, yang terlihat seperti tanda
seru (exclamation mark).(11)
Pada awalnya gambaran klinis alopesia areata berupa bercak atipikal kemudian
menjadi bercak berbentuk bulat atau lonjong yang terbentuk karena rontoknya rambut,
dengan onset yang cepat.(11) Kulit kepala tampak berwarna merah muda mengkilat, licin dan
halus, tanpa tanda sikatriks, atrofi, maupun skuamasi. Kadang dapat disertai dengan eritema
ringan dan edema. Gejala lain yang terlihat adalah perubahan kuku, misalnya pitting (burik),
onikilosis (pelonggaran), splitting (terbelah), garis Beau (cekungan-cekungan transversal),
koilonikia (cekung), atau leukonikia (bercak putih di bawah kuku). Perubahan kuku ini dapat
menjadi indikator yang bagus untuk mendeteksi adanya penyakit imun. Kuku juga
mengandung protein keratin yang juga terdapat pada folikel rambut.
Pada beberapa penderita, terjadi perubahan pigmentasi pada rambut di daerah yang
akan berkembang menjadi lesi, atau terjadi pertumbuhan rambut baru pada lesi atau pada
rambut terminal sekitar lesi. Hal ini disebabkan oleh kerusakan keratinosit pada korteks yang
menimbulkan perubahan pada rambut fase anagen III/IV dengan akibat kerusakan mekanisme
pigmentasi pada bulbus rambut.12 Gambaran klinis spesifik lainnya adalah bentuk ophiasis
yang biasanya terjadi pada anak, berupa kerontokan rambut di bagian occipital yang dapat
meluas ke anterior dan bilateral 1-2 inci di atas telinga dan prognosisnya buruk. Gejala
subyektif biasanya pasien mengeluh gatal, rasa terbakar atau parastesi seiring timbulnya lesi.
a. Gambaran klinis alopesia areata yang berbentuk khas, bulat berbatas tegas, pada kulit
kepala atau rambut pada wajah, biasanya tidak memberikan kesulitan untuk menegakkan
diagnosisnya
b. Kulit kepala pada lesi berwarna kemerahan atau normal, tanpa jaringan parut (pori folikel
masih terlihat)
c. Exclamation mark hairs (rambut dengan bagian pangkal rambut yang lebih kecil dari
ujung rambut serta mudah dicabut) dapat ditemukan di sekitar tepi lesi saat fase aktif
penyakit12
d. Dapat pula terjadi perubahan pada kuku, misalnya pitting (burik), onikilosis
(pelonggaran), splitting (terbelah), garis Beau (cekungan-cekungan transversal), koilonikia
(cekung), atau leukonikia (bercak putih di bawah kuku)11
e. Bisa terdapat skuama, akan tetapi harus dipikirkan juga kemungkinan diagnosis lain,
misalnya infeksi jamur pada Tinea kapitis.
f. Inspeksi juga area lesinya untuk mengetahui adanya trauma fisik seperti luka, terbakar,
jaringan parut. Jika terdapat tanda tersebut, kebotakan dicurigai tidak disebabkan oleh
alopesia areata.
g. Perhatikan lokasi lesi dan penyebarannya.
Selain itu, pemeriksaan pull test dapat dilakukan pada tepi lesi untuk mengetahui adanya
kerontokan rambut yang aktif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara menarik sekitar 60
rambut dengan lembut tapi mantap. Tes ini positif jika terdapat kerontokan 2-10 rambut atau
lebih.(10) Perkiraan jumlah kerontokan rambut juga harus diperhitungkan.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak begitu diperlukan pada mayoritas kasus alopesia areata.13 Jika
gejala dan tanda klinis mengarah pada suatu penyakit autoimun (misalnya kerontokan pada
hipotiroidisme),
maka
pemeriksaan
lanjutan
dapat
digunakan
untuk
menentukan
Penampakan lainnya adalah terlihat inkontinensia pigmen di bulbus rambut dan folikel.
Perubahan juga terjadi pada rasio anagen-telogen. Pada keadaan normal, rasionya sekitar
90% anagen dan 10% telogen. Pada alopesia areata, ditemukan 73% rambut pada fase
anagen dan 27% pada fase telogen. Pada kasus yang sudah berlangsung lama persentase
rambut telogen dapat mencapai 100%. Perubahan degeneratif pada matriks rambut dapat
ditemukan tetapi jarang. Dapat ditemukan eosinofil pada jalur fibrosa dan dekat bulbus
rambut. Terdapat rambut distrofi dan exclamation mark hairs.14
Pada stadium akut ditemukan distrofi rambut anagen yang disertai dengan exclamation mark
hair pada bagian proksimal. Sedangkan pada stadium kronis akan ditemukan peningkatan
jumlah rambut telogen, perubahan lain meliputi berkurangnya diameter serabut rambut,
miniaturisasi, serta pigmentasi rambut yang tidak teratur. Sikatriks pada lesi alopesia areata
yang kronis dapat pula terjadi oleh karena berbagai manipulasi sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan biopsy kulit.11,12 Alopesia areata episode berat dapat menyebabkan perhentian
siklus anagen disertai formasi exclamation mark hair. Rambut yang terserang bisa diganti
oleh rambut normal atau rambut kecil. Alopesia areata episode sedang menyebabkan inhibisi
fase anagen, menimbulkan rambut distrofi, yang dapat digantikan oleh rambut normal, kecil,
atau nanogen.14
TATALAKSANA
Pada alopesia areata ringan, pemberian terapi tidak menjadi suatu kewajiban, karena
remisi spontan dan rekurensi adalah hal yang umum terjadi. Terapi sendiri umumnya
ditujukan untuk menstimulasi pertumbuhan rambut, namun hingga saat ini belum ditemukan
bukti yang menunjukkan bahwa hal ini dapat mempengaruhi perjalanan alamiah penyakit ini.
Sementara untuk alopesia areata berat, pengobatan umumnya sulit dilakukan, sehingga saat
ini jenis dan sistem pengobatan baru yang memberi hasil yang lebih baik masih terus dicari
dan dikembangkan. Metode pengobatan yang dilakukan saat ini masih berupa pemberian
terapi topikal, terapi sistemik, fototerapi PUVA dan psoralen, pemberian vitamin dan mineral,
interferon, dapsone, serta cryoterapi11,15.
keseimbangan
hormonal
dalam
folikel,
sehingga
mengakibatkan
d. Kortokisteroid topikal
Merupakan imunosupresor yang nonspesifik yaitu kortikosteroid kelas II (Clobatasol
propionate) dalam bentuk larutan dengan cara pemakaian 1 ml 2 kali sehari dioles pada
seluruh kepala. Terapi dikurangi secara bertahap bila alopesia membaik. Pada triple
therapy digunakan kortikosteroid potensi tinggi dalam bentuk krim, yang dipakai 30
menit sesudah pengolesan dengan larutan minoxidil, disertai dengan penyuntikan
kortikosteroid 1 kali sebulan. Dalam suatu penelitian digunakan flucinolone acetonide
cream 0,2% dua kali sehari dan didapatkan hasil bahwa 61% sampel menunjukkan
adanya respon. Pemberian kortikosteroid topikal potensi tinggi (betametasone
dipropionactere cream 0,05%) 2 kali sehari selama 3 bulan berturut-turut diketahui
memberi hasil yang baik.
e. Antralin
Antralin merupakan bahan iritan yang dapat merangsang pertumbuhan rambut kembali
dengan sifat-sifat iritannya. Pada short contact anthralin therapy digunakan krim
antralin 1-3%, dioleskan pada daerah kebotakan hanya untuk beberapa jam sampai
terjadi iritasi kulit kemudian dicuci dengan air dan sabun, pemakaian ini dilakukan
selama 6 bulan.
f. Minoxidil (2,4-diamino-6 piperidinopyrimidine-3-oxide)
Mekanisme kerja minoxidil untuk merangsang pertumbuhan rambut belum diketahui
secara pasti, meskipun ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan adanya kemungkinan
efek folikuler yang langsung (efek mitogenik) dan vasodilator periferal yang poten.
Minoxidil mempunyai efek mitosis secara langsung pada sel epidermis dan
memperpanjang kemampuan hidup keratinosit. Selain itu, mekanisme kerjanya juga
diduga berhubungan dengan penghambatan masuknya kalsium ke dalam sel. Masuknya
kalsium ke dalam sel dapat meningkatkan jumlah epidermis growth factor (EGF) yang
dapat menghambat pertumbuhan rambut. Minoxidil 5% harus dioleskan 2 kali sehari
selama 2-3 bulan sebelum terjadi peningkatan jumlah rambut. Pertumbuhan rambut
paling cepat dapat terlihat dalam 2 bulan sampai 1 tahun sejak dimulainya pengobatan.
2. Terapi sistemik
a. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid sistemik pada pengobatan alopesia areata masih
kontroversial. Hal ini dikarenakan angka pertumbuhan rambut yang bervariasi (27%89%) dan perbedaan dosis pemberian yang digunakan dalam beberapa penelitian. Dosis
kortikosteroid yang paling sering diberikan adalah prednison 80-120 mg/hari selama 842 bulan, dimana kekambuhan dapat terjadi dan waktunya bervariasi antara 6-15 bulan
setelah prednison diberikan.
b. Isoprinosin