Professional Documents
Culture Documents
OTALGIA
DISUSUN OLEH:
Avelintina Brigida Cleophatra
I1032141008
BAB I
PEMERIKSAAN LAB DAN RADIOLOGI
1.1.
Audiometri
Dalam mendeteksi kehilangan pendengaran, audiometri adalah satu-satunya instrumen
diagnostik yang paling penting. Uji audiometri ada dua macam: (1) audiometri nada murni,
di mana stimulus suara terdiri atas nada murni atau musik (semakin keras nada sebelum
pasien bisa mendengar berarti semakin besar kehilangan pendengarannya), dan (2)
audiometri wicara, di mana kata yang diucapkan digunakan untuk menentukan kemampuan
mendengar dan membedakan suara. Audiogram dapat membedakan antara kehilangan
pendengaran konduktif dan kehilangan pendengaran sensorineural.
Perawat yang melakukan uji dan pasien mengenakan earphone dan sinyal mengenai nada
yang didengarkan. Ketika nada dipakai secara langsung pada meatus kanalis auditorius
eksternus, kita mengukur konduksi udara. Bila stmulus diberikan pada tulang mastoid,
melintas mekanisme konduksi (osikulus), langsung menguji konduksi saraf. Agar hasilnya
akurat, evaluasi audiometri dilakukan di ruangan yang kedap suara. Respons yang
dihasilkan kemudian dicatata dalam bentuk grafik yang dinamakan audiogram.
Frekuensi menunjuk pada jumlah gelombang suara yang dihasilkan oleh sumber bunyi per
detik atau hertz (Hz). Telinga manusia normal mampu mendengar suara dengan kisaran
frekuensi dari 20 sampai 20.000Hz. Frekuensi dari 500 sampai 2000Hz yang paling penting
untuk memahami percakapan sehari-hari yang dikenal dengan kisaran wicara. Nada adalah
istilah untuk menggambarkan frekuensi; nada dengan frequensi 100Hz dianggap sebagai
nada rendah, dan nada 10.000Hz dianggap sebagai nada tinggi. Unit untuk mengukur
kerasnya bunyi (intensita suara) adalah desibel (dB) yaitu tekanan yang ditimbulna oleh
suara. Kehilangan pendengaran diukur dalam desibel yang merupakan fungsi logaritma
intensitas dan tidak bisa dengan mudah dikonversikan ke presentase. Amabng kritis
kekerasan adalah sekitar 30 dB. Beberapa contoh intensitas suara yang biasa termasuk
gesekan kertas dalam lingkungan yang sunyi, terjadi pada sekitar 15 dB; percakapan
rendah,40 dB; dan kapal terbang jet sejauh 100 kaki, tercatat sekitar 150 dB. Suara yang
lebih keras dari 80 dB di dengar telinga manusia sanagt keras. Terdengar tidak nyaman
dapat merusak telinga damalam (Smeltzer, 2002).
1.2.
Timpanografi
Timpanograpi atau audiometri impedans, mengukur refleks otot telinga tengah terhadap
stimulus suara, selain kelenturan membran timpani, dengan mengubah tekanan udara dalam
kanalis telinga yang tertutup. Kelenturan akan berkurang pada penyakit telinga tengah.
1.3. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang penting adalah pemeriksaan tulang temporal. Oleh karena,
tulang temporal mempunyai struktur anatomi yang overlapped dengan beberapa struktur
tulang tengkorak lainnya. Tulang temporal merupakan struktur yang unikkarena ukurannya
yang kecil yang dikelilingi oleh sistem sel pneumatisasi yang ekstensif. Oleh karena densitas
berlainan dari komponen tulangnya dan truang yang berisi udara dan cairan disekelilingnya
dan didalamnya, tulang temporal memperlihatkan gambaran radiografi yang akurat. Hal ini
dapat dibuat dengan pemeriksaan radiografi konvensional atau dengan teknik tomografi
yang khas. Pemeriksaan radiologi konvensional pada tulang temporal mempunyai nilai
penyaring serta dapat menentukan status pneumatisasi masoid dan pyramidtulang petrosa.
1.4. Otoskopi
Penampakan membran timpani yang normal, mengindikasikan fungsi tuba Eustachius yang
normal. Jika ditemukan retraksi membran timpani atau Mengetahui besar adanya cairan
ditelinga tengah mengindikasikan adanya disfungsi tuba tapi tidak membedakan antara
penyebab fungsional atau mekanik dari tuba. Mobilitas membran timpani yang normal pada
pneomotoskopi Siegel menunjukkan patensi tuba Eustachius yang baik.
Tes Politzer
Tes ini dikerjakan dengan memberikan pada satu lubang hidung selang karet yang
1.5.
dihubungkan dengan kantung udara sedangkan lubang hidung lainnya ditekan dengan jari.
Pasien diminta untuk menelan atau mengatakan secara berulang huruf K untuk menutup
pintu velofaringeal. Bila tes ini positif tekanan yang berlebihan di nasofaring dihantarkan ke
telinga tengah sehingga membuat tekanan positif dalam telinga tengah dan menggerakkan
membran timpani ke lateral (Fadhlia, 2012).
BAB II
PENGKAJIAN
2.1. Kasus
Klien datang ke rumah sakit bersama istrinya dengan keluhan nyeri pada telinga bagian
tengah. merasa nyeri terutama pada malam hari sehingga klien merasa tidak nyaman dan
tidak dapat tidur dengan nyenyak.Nyeri yang dirasakan klien hilang timbul dank lien
Scan, aksial dan koronal. Peran MRI untuk menunjukkan patologi di telinga tengah
sangat terbatas. Kekurangan MRI adalah kurang memberikan informasi tentang keadaan
tulang.
4. Timpanografi
Mekanisme kerja timpanometri adalah dengan memberikan tekanan berubah-rubah
dengan rentang +200mmH2O sampai dengan -400mmH2O pada kanalis auditorius
ekternus, kemudian menilai perubahan compliance membrane timpani, tekanan telinga
tengah (Mean Ear Pressure) dan ear canal volume, digambarkan dalam bentuk grafik
MEP (Mean Ear Pressure) atau tekanan telinga tengah dinyatakan dalam mmH 2O
maupun dalam deka Pascal (daPa). Satu deka Pascal = 1,02 mmH 2O. Jerger
menyampaikan postulatnya bahwa nilai rentang normal untuk telinga tengah adalah -100
mmH2O sampai +100 mmH2O, diluar rentang tersebut dianggap kondisi yang patologis
(Fadhlia, 2012).
Gelfand (2009) dalam buku Clinical Audiology menyebutkan range normal untuk tekanan
telinga tengah masih kontroversi. Nilai yang abnormal untuk MEP (Mean Ear Pressure)
tidak disebut batas yang tegas pada banyak literatur. Nilai cut off point yang di sebut
sangat lebar yaitu di antaranya -25 daPa (Holmquist&Miller, 1972; Ghosh&Kumar,
2002),
-30
daPa
(Fieldman,
1975),
-50
daPa
(Porter,
1972),
-100
daPa
cm3. Saat dekade 50-an, volume liang telinga akan mengecil menjadi sekitar 1,41 cm 3
dan menjadi 1,28 cm3 saat dekade 80-an akibat proses penuaan (Fadhlia, 2012).
Jerger-Liden mengklasifikasikan gambaran timpanogram sebagai tipe A,B, dan C. Tipe A
ditemukan pada keadaan telinga tengah normal, memiliki puncak kurva dengan ketelitian
normal, pada atau sekitar tekanan atsmosfer yaitu 0 daPa. Tipe ini memiliki variasi yaitu
tipe A d dan A s.
Tipe Ad (d = discontinuity), bentuk kurva menyerupai gambaran tipe A tetapi dengan
puncak yang lebih tinggi dari nilai normal, misalnya ditemukan pada keadan disartikulasi
tulang pendengaran, segala sesuatu yang menyebabkan rangkaian tulang pendengaran
menjadi sangat lentur akan menyebabkan masuknya energi bunyi secara berlebihan. Tipe
As (s= stiffness atau shallowness) memiliki kelenturan membran timpani dibawah nilai
normal misalnya ditemukan pada keadaan fiksasi tulang pendengaran sehingga terjadi
penurunan aliran energi bunyi yang melewati telinga tengah. Bentuk kurva menyerupai
gambaran tipe A, tetapi dengan puncak yang lebih rendah.
Tipe B memiliki gambaran kurva dengan puncak yang menghilang atau sedikit
melengkung bahkan sampai datar, misalnya pada otitis media efusi atau oklusi akibat
serumen.
Tipe C juga puncak kurva berada pada daerah tekanan negatif, ditemukan pada keadaan
disfungsi tuba auditiva, yaitu saat tuba tidak membuka, maka udara yang terperangkap di
telinga tengah akan diserap oleh mukosa telinga tengah. Hal ini akan mengakibatkan
turunnya tekanan udara di telinga tengah terhadap tekanan di liang telinga luar.
Perbedaan tekanan yang terjadi akan menyebabkan membran timpani retraksi dan
terdorong ke medial dan pengaruh terhadap gambaran timpanometri adalah puncak grafik
akan terdorong ke area negatif menjauhi nilai 0 (Fadhlia, 2012).
BAB III
KESIMPULAN
Otalgia adalah rasa nyeri pada telinga .Karena telinga dipersarafi oleh saraf yang kaya ( nervus
kranialis V, VII, IX, dan X selain cabang saraf servikalis kedua dan ketiga ), maka kulit di tempat
ini menjadi sangat sensitif. Otalgia adalah gejala yang dapat timbul dari iritasi lokal karena
banyak kondisi dan dapat disebabkan oleh nyeri pindahan dari laring dan faring. Banyak keluhan
nyeri telinga sebenarnya akibat nyeri di dekat sendi temporomandibularis. Maka dari itu
pemeriksaan radiologi diperlukan untuk melihat lebih jelas letak pada nyeri tersebut.
Pemeriksaan radiologi untuk telinga diantaranya adalah audiometri, timpanografi, otoskopi, tes
Politzer, CT-Scan, MRI, dan foto rontgen. Semua pemeriksaan radiologi tersebut di gunakan
utnuk menegakkan diagnosis terkait penyakit otalgia yang menyerang pada telinga pasien lakilaki sesuai dengan kasus yang ada. Penggunaan radiologi tersebut juga harus disesuaikan dengan
situasi dan kondisi yang ada di rumah sakit atau klinik di mana beberapa alat tersebut tidak di
sediakan di salah satu intitusi.
DAFTAR PUSTAKA
Fadhlia. 2012. Hubungan Rinitis Alergi Dan Disfungsi Tuba Eustachius Dengan Menggunakan
Timpanometri. Diakses pada tanggal 26 November 2016.
George, L. Adams; Boies, Lawrence R; Highler, Peter H. 1997. Buku Ajar Penyakit THT.
Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. 2010. Pengkajian Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinik. Jakarta: Selemba
Medika.