You are on page 1of 8

SISTEM SENSORI PERSEPSI

OTALGIA

Ns. Sukarni, M.Kep

DISUSUN OLEH:
Avelintina Brigida Cleophatra
I1032141008

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2016

BAB I
PEMERIKSAAN LAB DAN RADIOLOGI

1.1.

Audiometri
Dalam mendeteksi kehilangan pendengaran, audiometri adalah satu-satunya instrumen
diagnostik yang paling penting. Uji audiometri ada dua macam: (1) audiometri nada murni,
di mana stimulus suara terdiri atas nada murni atau musik (semakin keras nada sebelum
pasien bisa mendengar berarti semakin besar kehilangan pendengarannya), dan (2)
audiometri wicara, di mana kata yang diucapkan digunakan untuk menentukan kemampuan
mendengar dan membedakan suara. Audiogram dapat membedakan antara kehilangan
pendengaran konduktif dan kehilangan pendengaran sensorineural.
Perawat yang melakukan uji dan pasien mengenakan earphone dan sinyal mengenai nada
yang didengarkan. Ketika nada dipakai secara langsung pada meatus kanalis auditorius
eksternus, kita mengukur konduksi udara. Bila stmulus diberikan pada tulang mastoid,
melintas mekanisme konduksi (osikulus), langsung menguji konduksi saraf. Agar hasilnya
akurat, evaluasi audiometri dilakukan di ruangan yang kedap suara. Respons yang
dihasilkan kemudian dicatata dalam bentuk grafik yang dinamakan audiogram.
Frekuensi menunjuk pada jumlah gelombang suara yang dihasilkan oleh sumber bunyi per
detik atau hertz (Hz). Telinga manusia normal mampu mendengar suara dengan kisaran
frekuensi dari 20 sampai 20.000Hz. Frekuensi dari 500 sampai 2000Hz yang paling penting
untuk memahami percakapan sehari-hari yang dikenal dengan kisaran wicara. Nada adalah
istilah untuk menggambarkan frekuensi; nada dengan frequensi 100Hz dianggap sebagai
nada rendah, dan nada 10.000Hz dianggap sebagai nada tinggi. Unit untuk mengukur
kerasnya bunyi (intensita suara) adalah desibel (dB) yaitu tekanan yang ditimbulna oleh
suara. Kehilangan pendengaran diukur dalam desibel yang merupakan fungsi logaritma
intensitas dan tidak bisa dengan mudah dikonversikan ke presentase. Amabng kritis
kekerasan adalah sekitar 30 dB. Beberapa contoh intensitas suara yang biasa termasuk
gesekan kertas dalam lingkungan yang sunyi, terjadi pada sekitar 15 dB; percakapan
rendah,40 dB; dan kapal terbang jet sejauh 100 kaki, tercatat sekitar 150 dB. Suara yang
lebih keras dari 80 dB di dengar telinga manusia sanagt keras. Terdengar tidak nyaman
dapat merusak telinga damalam (Smeltzer, 2002).

1.2.

Timpanografi
Timpanograpi atau audiometri impedans, mengukur refleks otot telinga tengah terhadap
stimulus suara, selain kelenturan membran timpani, dengan mengubah tekanan udara dalam

kanalis telinga yang tertutup. Kelenturan akan berkurang pada penyakit telinga tengah.
1.3. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang penting adalah pemeriksaan tulang temporal. Oleh karena,
tulang temporal mempunyai struktur anatomi yang overlapped dengan beberapa struktur
tulang tengkorak lainnya. Tulang temporal merupakan struktur yang unikkarena ukurannya
yang kecil yang dikelilingi oleh sistem sel pneumatisasi yang ekstensif. Oleh karena densitas
berlainan dari komponen tulangnya dan truang yang berisi udara dan cairan disekelilingnya
dan didalamnya, tulang temporal memperlihatkan gambaran radiografi yang akurat. Hal ini
dapat dibuat dengan pemeriksaan radiografi konvensional atau dengan teknik tomografi
yang khas. Pemeriksaan radiologi konvensional pada tulang temporal mempunyai nilai
penyaring serta dapat menentukan status pneumatisasi masoid dan pyramidtulang petrosa.
1.4. Otoskopi
Penampakan membran timpani yang normal, mengindikasikan fungsi tuba Eustachius yang
normal. Jika ditemukan retraksi membran timpani atau Mengetahui besar adanya cairan
ditelinga tengah mengindikasikan adanya disfungsi tuba tapi tidak membedakan antara
penyebab fungsional atau mekanik dari tuba. Mobilitas membran timpani yang normal pada
pneomotoskopi Siegel menunjukkan patensi tuba Eustachius yang baik.
Tes Politzer
Tes ini dikerjakan dengan memberikan pada satu lubang hidung selang karet yang

1.5.

dihubungkan dengan kantung udara sedangkan lubang hidung lainnya ditekan dengan jari.
Pasien diminta untuk menelan atau mengatakan secara berulang huruf K untuk menutup
pintu velofaringeal. Bila tes ini positif tekanan yang berlebihan di nasofaring dihantarkan ke
telinga tengah sehingga membuat tekanan positif dalam telinga tengah dan menggerakkan
membran timpani ke lateral (Fadhlia, 2012).
BAB II
PENGKAJIAN
2.1. Kasus
Klien datang ke rumah sakit bersama istrinya dengan keluhan nyeri pada telinga bagian
tengah. merasa nyeri terutama pada malam hari sehingga klien merasa tidak nyaman dan
tidak dapat tidur dengan nyenyak.Nyeri yang dirasakan klien hilang timbul dank lien

mengeluh sakit tenggrokan. TTV TD: 120/90 mmHg N : 80 x/menit, S: 37 C dan P: 25


x/menit. klien kadang tidak nyambung bila diajak berbicara dengan suara yang rendah
karena gangguan pendengaran.
2.2.Pengkajian
a. Data Klien
Nama, umur, jenis kelamin, suku, agama, status, dan alamat.
b. Riwayat penyakit sekarang
Klien datang dengan keluhan nyeri pada telinga bagian tengah, merasa nyeri nyeri hingga
malam hari hingga merasa tidak nyaman dan tidak dapat tidur dengan nyenyak.
c. Riwayat penyakit keluarga
Tidak adanya penyakit keluarga dalam kasus
d. Pengkajian fisik
1. Vital sign : TD : 120/90 mmHg
N
: 80 x/menit
S
: 37 C
P
: 25 x/menit
2. Pengkajian Head to toe
Telinga : Pendengaran terganggu,terdapat nyeri,dan fungsi pendengaran kurang
baik.
2.3. Pemeriksaan Radiologi
1. Pemeriksaan Rontgen
Pemeriksaan radiologi konvensional pada tulang temporal mempunyai nilai penyaring
serta dapat menentukan status pneumatisasi mastoid pyramid tulang petrosa. Dengan
pemeriksaan radiolgi konvensional ini dapat dinilai besar dan perluasan suatu lesi besar
yang berasal dari tulang temporal atau yang merupakan perluasan dari lesi-lesi struktur
sekitar tulang temporal ke arah tulang temporal. Hal ini bermanfaat untuk mempelajari
mastoid, telinga tengah, labirin, dan kanalis akustikus internus.
2. Computed Tomography
Pemeriksaan tomografi komputerisasi diperlukan untuk dapat melakukan penilaian
struktur kecil dari tulang temporal yang memerlukan ketajaman yang tinggi dan irisan
yang tipis, serta dapat menemukan ketajaman yang tinggi dan iritasi yang tipis, serta
dapat menentukan detil-detil ulang yang jelas seperti osikel, fenestra ovale dan kanalis
fasialis. Adapun proyeksi CT tulang temporal adalah dengan potongan sagital.
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan teknig imaging yang tidak menggunakan radiasi, dengan keunggulan
MRI dapat menilai jaringan lunak lebih jelas. Sudut pengambilan MRI sama dengan CT

Scan, aksial dan koronal. Peran MRI untuk menunjukkan patologi di telinga tengah
sangat terbatas. Kekurangan MRI adalah kurang memberikan informasi tentang keadaan
tulang.
4. Timpanografi
Mekanisme kerja timpanometri adalah dengan memberikan tekanan berubah-rubah
dengan rentang +200mmH2O sampai dengan -400mmH2O pada kanalis auditorius
ekternus, kemudian menilai perubahan compliance membrane timpani, tekanan telinga
tengah (Mean Ear Pressure) dan ear canal volume, digambarkan dalam bentuk grafik
MEP (Mean Ear Pressure) atau tekanan telinga tengah dinyatakan dalam mmH 2O
maupun dalam deka Pascal (daPa). Satu deka Pascal = 1,02 mmH 2O. Jerger
menyampaikan postulatnya bahwa nilai rentang normal untuk telinga tengah adalah -100
mmH2O sampai +100 mmH2O, diluar rentang tersebut dianggap kondisi yang patologis
(Fadhlia, 2012).
Gelfand (2009) dalam buku Clinical Audiology menyebutkan range normal untuk tekanan
telinga tengah masih kontroversi. Nilai yang abnormal untuk MEP (Mean Ear Pressure)
tidak disebut batas yang tegas pada banyak literatur. Nilai cut off point yang di sebut
sangat lebar yaitu di antaranya -25 daPa (Holmquist&Miller, 1972; Ghosh&Kumar,
2002),

-30

daPa

(Fieldman,

1975),

-50

daPa

(Porter,

1972),

-100

daPa

(Jerger,1970;Silverman&Arick 1992), -150 (Jones&Stephens 1988) dan -170 daPa.


Bagian ordinat menunjukkan suatu kelenturan (compliance) dalam mmH 2O atau
millimeterH20 dan nilai rentang normal berdasarkan Jerger-Liden adalah 0,3-1,6 cm3.
Kelenturan (compliance) membran timpani mencapai nilai maksimum saat tekanan udara
pada kedua sisi membran timpani sama, puncak dari grafik pada posisi 0 mmH 2O.
Artinya pada telinga yang sehat, transmisi bunyi mencapai tekanan di telinga tengah
negatif, puncak grafik akan berada di daerah negatif dari timpanogram.
Begitu juga jika tekanan telinga tengah positif, artinya puncak dari suatu grafik akan
mengindikasikan tekanan di telinga tengah (Fadhlia, 2012). Parameter lain pada
timpanogram adalah ear canal volume atau volume liang telinga. Volume liang telinga
pada orang dewasa lebih besar dibandingkan liang telinga anak, yaitu sekitar 0,63-1,46

cm3. Saat dekade 50-an, volume liang telinga akan mengecil menjadi sekitar 1,41 cm 3
dan menjadi 1,28 cm3 saat dekade 80-an akibat proses penuaan (Fadhlia, 2012).
Jerger-Liden mengklasifikasikan gambaran timpanogram sebagai tipe A,B, dan C. Tipe A
ditemukan pada keadaan telinga tengah normal, memiliki puncak kurva dengan ketelitian
normal, pada atau sekitar tekanan atsmosfer yaitu 0 daPa. Tipe ini memiliki variasi yaitu
tipe A d dan A s.
Tipe Ad (d = discontinuity), bentuk kurva menyerupai gambaran tipe A tetapi dengan
puncak yang lebih tinggi dari nilai normal, misalnya ditemukan pada keadan disartikulasi
tulang pendengaran, segala sesuatu yang menyebabkan rangkaian tulang pendengaran
menjadi sangat lentur akan menyebabkan masuknya energi bunyi secara berlebihan. Tipe
As (s= stiffness atau shallowness) memiliki kelenturan membran timpani dibawah nilai
normal misalnya ditemukan pada keadaan fiksasi tulang pendengaran sehingga terjadi
penurunan aliran energi bunyi yang melewati telinga tengah. Bentuk kurva menyerupai
gambaran tipe A, tetapi dengan puncak yang lebih rendah.
Tipe B memiliki gambaran kurva dengan puncak yang menghilang atau sedikit
melengkung bahkan sampai datar, misalnya pada otitis media efusi atau oklusi akibat
serumen.
Tipe C juga puncak kurva berada pada daerah tekanan negatif, ditemukan pada keadaan
disfungsi tuba auditiva, yaitu saat tuba tidak membuka, maka udara yang terperangkap di
telinga tengah akan diserap oleh mukosa telinga tengah. Hal ini akan mengakibatkan
turunnya tekanan udara di telinga tengah terhadap tekanan di liang telinga luar.
Perbedaan tekanan yang terjadi akan menyebabkan membran timpani retraksi dan
terdorong ke medial dan pengaruh terhadap gambaran timpanometri adalah puncak grafik
akan terdorong ke area negatif menjauhi nilai 0 (Fadhlia, 2012).

BAB III
KESIMPULAN

Otalgia adalah rasa nyeri pada telinga .Karena telinga dipersarafi oleh saraf yang kaya ( nervus
kranialis V, VII, IX, dan X selain cabang saraf servikalis kedua dan ketiga ), maka kulit di tempat
ini menjadi sangat sensitif. Otalgia adalah gejala yang dapat timbul dari iritasi lokal karena
banyak kondisi dan dapat disebabkan oleh nyeri pindahan dari laring dan faring. Banyak keluhan
nyeri telinga sebenarnya akibat nyeri di dekat sendi temporomandibularis. Maka dari itu
pemeriksaan radiologi diperlukan untuk melihat lebih jelas letak pada nyeri tersebut.
Pemeriksaan radiologi untuk telinga diantaranya adalah audiometri, timpanografi, otoskopi, tes
Politzer, CT-Scan, MRI, dan foto rontgen. Semua pemeriksaan radiologi tersebut di gunakan
utnuk menegakkan diagnosis terkait penyakit otalgia yang menyerang pada telinga pasien lakilaki sesuai dengan kasus yang ada. Penggunaan radiologi tersebut juga harus disesuaikan dengan
situasi dan kondisi yang ada di rumah sakit atau klinik di mana beberapa alat tersebut tidak di
sediakan di salah satu intitusi.

DAFTAR PUSTAKA
Fadhlia. 2012. Hubungan Rinitis Alergi Dan Disfungsi Tuba Eustachius Dengan Menggunakan
Timpanometri. Diakses pada tanggal 26 November 2016.
George, L. Adams; Boies, Lawrence R; Highler, Peter H. 1997. Buku Ajar Penyakit THT.
Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. 2010. Pengkajian Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinik. Jakarta: Selemba
Medika.

You might also like

  • Referat Ileus Obstruktif
    Referat Ileus Obstruktif
    Document41 pages
    Referat Ileus Obstruktif
    putusanggra
    80% (10)
  • Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
    Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
    Document53 pages
    Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
    Ulfa Kaka' Tersaiiank
    No ratings yet
  • Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
    Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
    Document53 pages
    Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
    Ulfa Kaka' Tersaiiank
    No ratings yet
  • 10
    10
    Document3 pages
    10
    Ulfa Kaka' Tersaiiank
    No ratings yet
  • Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
    Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
    Document53 pages
    Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
    Ulfa Kaka' Tersaiiank
    No ratings yet
  • 11
    11
    Document3 pages
    11
    Ulfa Kaka' Tersaiiank
    No ratings yet
  • Askep Abses
    Askep Abses
    Document9 pages
    Askep Abses
    Alfrisca Kende
    No ratings yet
  • 9
    9
    Document6 pages
    9
    Ulfa Kaka' Tersaiiank
    No ratings yet
  • 10
    10
    Document3 pages
    10
    Ulfa Kaka' Tersaiiank
    No ratings yet
  • Askep Abses
    Askep Abses
    Document9 pages
    Askep Abses
    Alfrisca Kende
    No ratings yet
  • 10
    10
    Document3 pages
    10
    Ulfa Kaka' Tersaiiank
    No ratings yet
  • Askep Abses
    Askep Abses
    Document9 pages
    Askep Abses
    Alfrisca Kende
    No ratings yet
  • Askep Abses
    Askep Abses
    Document9 pages
    Askep Abses
    Alfrisca Kende
    No ratings yet
  • Sap GGK
    Sap GGK
    Document8 pages
    Sap GGK
    Ulfa Kaka' Tersaiiank
    No ratings yet
  • 1
    1
    Document2 pages
    1
    Ulfa Kaka' Tersaiiank
    No ratings yet
  • Resume Harian
    Resume Harian
    Document5 pages
    Resume Harian
    Ulfa Kaka' Tersaiiank
    No ratings yet
  • Lampiran 5 Format Pengkajian Medikal Bedah Program Profesi Ners Universitas Tanjungpura
    Lampiran 5 Format Pengkajian Medikal Bedah Program Profesi Ners Universitas Tanjungpura
    Document17 pages
    Lampiran 5 Format Pengkajian Medikal Bedah Program Profesi Ners Universitas Tanjungpura
    Ulfa Kaka' Tersaiiank
    No ratings yet
  • Anastesi Pada Kraniotomi: Case Report
    Anastesi Pada Kraniotomi: Case Report
    Document41 pages
    Anastesi Pada Kraniotomi: Case Report
    Ulfa Kaka' Tersaiiank
    No ratings yet
  • Resume Harian
    Resume Harian
    Document5 pages
    Resume Harian
    Ulfa Kaka' Tersaiiank
    No ratings yet
  • MMMMM
    MMMMM
    Document19 pages
    MMMMM
    Mochammad Adam Eldi
    No ratings yet
  • SAP Fraktur
    SAP Fraktur
    Document15 pages
    SAP Fraktur
    Meisya Fitri
    No ratings yet
  • SAP Fraktur
    SAP Fraktur
    Document15 pages
    SAP Fraktur
    Meisya Fitri
    No ratings yet
  • 1
    1
    Document2 pages
    1
    Ulfa Kaka' Tersaiiank
    No ratings yet
  • Cranioplasty Revisi
    Cranioplasty Revisi
    Document16 pages
    Cranioplasty Revisi
    Zhulfadli
    No ratings yet
  • 7
    7
    Document23 pages
    7
    Ulfa Kaka' Tersaiiank
    No ratings yet
  • 1
    1
    Document2 pages
    1
    Ulfa Kaka' Tersaiiank
    No ratings yet
  • 1
    1
    Document2 pages
    1
    Ulfa Kaka' Tersaiiank
    No ratings yet
  • 1
    1
    Document2 pages
    1
    Ulfa Kaka' Tersaiiank
    No ratings yet
  • Cranioplasty Revisi
    Cranioplasty Revisi
    Document16 pages
    Cranioplasty Revisi
    Zhulfadli
    No ratings yet
  • Cranioplasty Revisi
    Cranioplasty Revisi
    Document16 pages
    Cranioplasty Revisi
    Zhulfadli
    No ratings yet