You are on page 1of 7

Anggun dan Anggun

Oleh: Amelinda Ruby Felicia

Inilah rutinitasku setelah namaku mendapatkan buntut S. Pd., baru satu bulan yang
lalu sahnya dan sekarang...
"Dicoba dulu saja, belajar dulu, beradaptasi, kalau rezeki mudah-mudahan menetap.", kata
salah satu ibu yang berada di ruangan tata usaha tiga hari lalu, padahal bilang saja magang
dulu.
"Comuterline K1260, tujuan Jakarta Kota akan segera diberangkatkan." Ucap petugas yang
suaranya muncul pada setiap speaker di stasiun. Aku sebenarnya tidak peduli, karena
keinginanku detik ini adalah menggeliat ditempat tidur yang paling nyaman, di kamarku, tapi
realitanya adalah sekarang.
"Keberangkatan selanjutnya pukul 05:45 Comuterline K1280, tujuan Tanah Abang duri akan
segera diberangkatkan." Bersahutan lagi arah lain.
"Kereta selanjutnya tujuan Jakarta Kota berangkat pukul 06:00." Ucapnya lagi, dan lagi-lagi
membuat semua orang berlarian tanpa melihat kanan dan kiri. Mereka yang lebih memilih
berdesak-desakan, tidak duduk sama sekali, asalkan tidak terlambat. Mungkin saat itu hanya
aku yang berjalan begitu santai, walaupun waktu yang aku tempuh satu jam dan jika aku
berangkat pukul enam berarti aku akan terlambat. Aku lebih memilih itu, setidaknya aku bisa
duduk dan sebentar tertidur di kereta.
Sambil menunggu kereta selanjutnya aku duduk di kursi yang ada pada setiap peron
sambil memakan bekal yang ibu bawakan.
"Persiapan! Jalur 2 masuk Kereta Comuterline tujuan akhir Jakarta Kota, untuk para
penumpang diharapkan berdiri di belakang garis kuning peron." Suara yang begitu
mengganggu makanku yang tinggal beberapa suap lagi. Aku masukan kotak bekalku dan
bersiap-siap menunggu di tepi peron agar mendapatkan tempat duduk.
Dari arah utara datanglah ular besi, sedikit manusia yang keluar sehingga mudah aku sikut
orang-orang yang hendak pula mencari tempat duduk. Dapat! Segera kupasang earphone,

kemudian menyalakan musik sekencang mungkin. Pura-pura tidur adalah hal yang paling pas
saat kita mendapatkan tempat duduk dikereta, kalau ada yang butuh ya biar yang lain saja
peka untuk mengalah.
Selalu pas, saat aku bangun dari tidurku tinggal 2 stasiun lagi.
Aku berdiri dan menuju pintu kanan untuk bersiap-siap keluar dan saat aku lihat jam tangan
yang kukenakan, 07:10. Aku keluar dengan terburu-buru menuju terminal angkutan umum
yang ada diseberang stasiun.
"Maaf, mau bertemu dengan siapa?"
Tanya laki-laki yang bisa disebut satpam itu dengan santai, padahal dengan jelas raut wajahku
panik dan nafasku terengah-engah."Saya guru magang pak."
"Hah? Guru magang telat? Ckckck" Ia berucap dengan nada slengeannya sambil membuka
pagar. "Yak tahu diri mbak, udah mau jam delapan loh."
"Namanya juga telat pak! Biasa aja dong."
*tok* *tok* *tok* "Permisi..."
"Iya? Silahkan masuk..." "Loh? Saya kira Bu Anggun tidak jadi masuk." Terheran-heran
perempuan yang diperkirakan umurnya setengah abad dengan melihat kedatanganku yang
bermandikan keringat.
"Maaf bu, tadi ada sedikit kendala saat diperjalanan." Alasanku.
"Oh iya iya, silakan duduk..." Timbalnya sambil berdiri dan mempersilakanku duduk di
depannya.
"Karena ibu telat, ibu mungkin bisa mulai mengajar setelah istirahat, pukul setengah sepeluh
tepatnya." Jelasnya.
"Oh iya bu, baik. Dikelas berapa ya bu?"
"Kelas 4A bu." Timpalku dengan senyuman palsu.
Aku, benar-benar masuk kedalam masa kelam.
"KALAU BUKAN AHLI POLITIK! YA GURU PPKN!"
"Aku gak suka dua-duanya yah!"
"KALAU GA MAU DUA-DUANYA GAK USAH JADI ANAK AYAH!"
"Aku gak mau jadi abang yang selalu ayah atur-atur!"
"DIAM KAMU ANGGUN!"

"Ayah cuma bisa ngatur kami! Memang ayah tahu gimana kami di rumah?! Ayah aja
selalu sibuk sama urusan-urusan orang lain! Mama, memang pernah ayah urusin?!"
Air mata yang selalu aku sesali hingga hari ini, bukan ahli politik, tapi seorang guru ppkn
yang tidak juga aku inginkan. Akhirnya aku kalah dengan ayah, kami bertiga selalu kalah.
Ayah yang menjadi hakim selalu saja sibuk dengan urusan, bahkan hingga kini, yang ayah
ingin tahu hanya ijazah dan sebagai apa kami. Pulang saja jarang. Sesuatu yang tanpa hati
memang tidak akan pernah disyukuri dan ini berdampak pada kehidupanku. Segala yang aku
lakukan adalah apa yang ayah inginkan, sehingga jika tanpa ayah aku bebaskan diriku
mendapatkan apa yang aku mau tanpa melihat siapapun seperti ayah yang tak pernah melihat
aku.
Anak-anak kecil berlarian didepanku sesekali berteriak sehingga aku pun tersadar dari
lamunan menyakitkan itu.
Dalam hati aku hanya berucap, "Ya Allah, kenapa harus bocah-bocah ini! Apa di dunia ini
gak ada yang bisa berkompromi denganku?! Mana bisa aku menangani mereka?! Melihatnya
saja ingin aku musnahkan satu persatu!" Hanya dalam hati, bibir? Simpulkan sesuatu yang
seolah tabu, aku tidak mungkin mengtidakacuhkan anak-anak yang memberikan senyum
terbaiknya untukku.
"Ibu?"
"Eh iya bu?"
"Ayo, sudah selesai istirahatnya, mari saya antar ke kelas 4A."
"Iya bu, baik." Beranjak lah aku dari tempat duduk itu.
Tidak jauh dari situ ada sebuah kelas yang entah mengapa dekorasi ruangan dalamnya
berbeda dari kelas-kelas yang sepanjang jalan aku susuri tadi, lebih ramai, penuh sebuah
mahakarya anak bocah dan tepat kami berhenti disitu.
"Ini bu, kelas 4A." Ucap kepala kesiswaan itu.
"Kok... kelasnya... lebih ramai ya bu?" Tanya ku heran.
"Ini... kelas-kelas anak yang... hiperaktif dan sedikit maaf, aneh bu..." ucapnya sambil
berbisik.
Bagai petir yang menyambar jiwa raga, bagai jatuh tertimpa tangga pula, bagai aku yang
begitu sial.

"Anak-anak ayo duduk..." Ucapku dengan penuh suka cita.


"Anak-anak, ayo lihat ibu ada di depan ini." Sambil menepuk-nepuk meja.
"Semuanya, ayo, duduk dulu ya..." Tapi percuma, mereka benar-benar hiperaktif, berlarian
kesana kemari, hingga aku lemas dan akhirnya duduk di bangku guru dan menunduk sambil
berpikir apa yang harus aku lakukan.
"Bu guru..." Dari sebelah kanan terdengar suara anak perempuan yang begitu lembut.
Aku angkat wajahku dan sungguh ia begitu cantik. Namun, tak ada yang aku ucapkan, hanya
mencoba tunjukan wajah lelahku.
"Namaku, Anggun..." Bahkan kesamaan nama kami pun tak menarik untukku.
"Silakan duduk ya nak." Ucapku.
"Apa ibu bakalan pergi dengan cepat juga?"
"Maksudnya?"
"Semua guru disini gak ada yang lama ajarin kita semua." Aku mulai tertarik mendengarnya
Ddan berpikir dia tidak hiperaktif tapi aneh.
"Kenapa begitu?"
"Karena katanya kita susah diatur, gak bisa diam, dan aneh." Jelasnya dengan wajah yang
bersedih.
"Kalau ibu gak bertahan lama juga?"
"Aku gak akan anggap ibu orang tua peganti aku." Suara anak-anak di kelas yang berlarian
dan saling berteriak seakan senyap saat anak bernama Anggun itu hendak bercerita sesuatu
padaku. "Aku cuma punya ayah, kata ayah ibu meninggal waktu lahirin aku, ayah aku gak
pernah nanya apapun, datang dua minggu sekali, aku tinggal sama bibi. Waktu aku nangis
dan minta ayah sama aku, kata ayah aku harus rajin sekolah, dengerin yang ayah mau dan aku
bakalan dapat orang tua pengganti yang perhatian, apalagi kalau aku pintar nanti, tapi pas aku
anggap ibu-ibu guru orang tua, mereka hilang, karena gak kuat sama sikap aku dan temanteman aku."
Aku menahan bulir air yang sudah ada diujung mata.
"Ibu memang pergi kapan?"
"Sekarang kamu ajak teman-teman kamu duduk ya." Sambil menyeka air mata yang
akhirnyatak turun.
"Semuaaaa!!! Ayo duduk duluuuu!!!" Teriakan yang menggelegar menghipnotis seluruh
siswa yang gaduh.

"Siap Anggun!" Mereka benar-benar langsung duduk, aku sangat terkejut melihatnya,
ucapannya seakan menyihir anak-anak lainnya.
"Anak-anak, ibu guru baru disini, ibu akan mengajarkan kalian hampir semua pelajaran,
kecuali Matematika dan IPA. Nama ibu, Anggun."
"IHHH SAMAAA KAYA KAMUUU GUN...." Gaduh lagi.
"Dengarkan ibu dulu ya anak-anak." Dengan senyuman palsu.
Seminggu sudah terlewati dan entah mengapa ada rasa nyaman yang tercipta disana,
meskipun mereka sangat berisik tapi berkat anak perempuan itu, aku bisa mengajar mungkin
mulai dengan hati.
"Mama, dede jalan ya." Ku cium tangan ibundaku tersayang.
"Iya, hati-hati. Semangat terus ya sayang."
"Ayah kapan pulang? Ada pemikran sekali saja untuk bercerita pada ayah bagaimana aku
menjadi guru, tapi mama hanya menggelengkan kepalanya.
Kini bukan hanya tentang ayah yang jarang pulang yang menjadi benalu dalam otakku, tapi
juga anak perempuan itu. Cerita tentang ayahnya yang sama dengan apa yang aku alami,
bagaimana bisa aku meninggalkannya walaupun aku lelah dengan teman-temannya.
Toh, Anggun juga yang membantuku.
Masih berada di dalam kereta, seperti biasa, pura-pura tertidur padahal memikirkan
hal-hal yang kurang penting.
"Mba, bisa berdiri? Ini ada ibu hamil." Suara seorang petugas kereta api yang
membangunkanku. Sangat tidak pengertian, padahal kenapa tidak laki-laki saja yang disuruh
berdiri. Aku hanya membuka mata dan kembali menutupnya.
"Mba maaf, bangku prioritas ya." Tegur lagi petugas itu.
"Gak usah gak apa-apa, dekat kok." Ucapnya.
"Mas! Kan disana masih banyak yang lebih kuat dari saya! Laki-laki! Saya juga lemes kalau
berdiri! Tolong ya, pilih kasih banget!" Gejolakku. Petugas itu hampir ingin melawan, tapi
akhirnya ada laki-laki yang berdiri dan ibu hamil itu pun berkata, "Udah mas, itu udah ada
yang berdiri kok."

Bukan salahku, kecuali dalam gerbong itu semuanya manula. Jadi, selesai tinggal
memenjamkan mata lagi.
Aku memang selalu telat, tapi tidak terlewat batas, setengah jam saja karena memang
angkotnya yang selalu ngetem.
"Ibu!!!" Dari depan pintu kelas anak itu berlari menuju aku yang masih santai berjalan
dikoridor.
"Anggun... ayo masuk..."
"Ibu, hari ini ibu ikut aku yuk!"
"Kemana?"
"Ketemu ayah dan ibu baru."
"Ibu baru?" Tanyaku bingung.
"Iya, kata ayah, ayah punya ibu baru buat aku."
"Terus kenapa Anggun ajak ibu?"
"Kan ibu udah buat aku ngerasain punya ibu kemarin-kemarin."
"Memang boleh sama ayah kamu?"
"Boleh." Wajah mungil dan matanya yang bulat seolah menghipnotisku untuk mengiyakan
permintaannya.
Hari itu, setelah pulang sekolah aku diajaknya memasuki sebuah mobil sedan yang
menjemputnya.
"Ayo bu masuk." Duduk lah aku dikursi belakang.
"Gurunya non anggun?"
"Iya..." Jawabku dengan senyum kemunafikan.
"Ayah sudah menunggu loh." Sahut supir yang dari raut wajahnya seumuran denganku.
"Sama ibu baru? Mama?" Tanya Anggun polos.
"Iya..." Jawabnya.
Berhentilah kami disebuah restoran yang cukup megah. Keluarlah supir itu sambil
membuka pintu depan yang diduduki Anggun.
Keluarlah kami, dipegang tanganku olehnya, wajah cerianya begitu bersinar sehingga
membuat aku pun terbawa suasana kebahagian.
Sebelum sampai kedalam ruangan, seorang perempuan yang tidak asing untukku
menahan laju Anggun.

"Kamu Anggun?"
"Iya..."
Benar! Perempuan ini adalah ibu hamil yang tadi membuat aku dan petugas ribut.
"Ibu..." Ucapku terbata.
"Mba yang..."
"Benar! Yang tadi pagi, saya gurunya Anggun." Ku berikan tangan kananku untuk menunggu
balasan jabatannya.
"Lain kali sopanan dikit ya mba!" Tanpa mengacuhkan tanganku.
"Lah kok ibu yang nyolot! Saya udah baik-baik loh!"
"Baik-baik apa?! Mba lupa tadi pagi sikap mba gimana?!"
"Ya apa yang salah?! Lagian bukan kita yang ribut kan?!"
"Guru tapi kok sikapnya begini!"
"Heh!!! Semena-mena, hamil muda juga kan! Saya yakin umur kita juga gak beda jauh!"
"Gak usah so tau!" Mulai terbawa emosi, perempuan itu mulai menunjuk wajahku.
"Saya tau!" Aku pun menanggapinya, tak peduli Anggun yang disebelahku mencoba
mendinginkan aku, tak peduli juga mereka yang didalam menonton cek-cokku dengan
perempuan yang satu ini.
Dan detik seketika berhenti saat ada yang hendak menghampiri kami.
"Ayah." Bersama Anggun, kami menyerukan panggilan yang sama pada satu orang yang
sama dengan nada yang berbeda. Seketika kakiku lemas, laki-laki itu pun menghentikan
langkahnya. Tanganku seketika dingin dan melepaskan genggaman Anggun begitu saja.
"Ayah!!!" Suara yang begitu menyenangkan seketika menjadi tanda tanya besar, mataku
masih terpaku pada tatapan yang tidak asing itu, benar dia ayahku, benar pula anak kecil itu
menuju dia, ayahku dan lagi-lagi benar, perempuan muda yang sedang hamil itu adalah calon
ibu Anggun.
Laki-laki itu meneruskan langkahnya menuju anak kecil yang sedang berlari kepadanya, pun
perempuan hamil itu yang kemudian bersedekap dan meninggalkan aku, merangkul tangan
laki-laki itu yang sekarang sudah menggendong Anggun kecil, yang seketika membuatku
benci. Mereka bertiga kini ada didepanku dengan ketiga tatapan yang berbeda.
"A... yah... Ayahku" Suaraku mengecil sambil gemetar.

You might also like