You are on page 1of 5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Obstruktif Jaundice
2.2.1. Definisi dan Etiologi
Ikterus atau jaundice adalah diskolorisasi jaringan menjadi kekuningan
akibat deposit bilirubin. Deposit Bilirubin pada jaringan terjadi hanya bila
terdapat hiperbilirubinemia dan sebagai tanda penyakit hati atau, lebih jarang,
proses hemolitik darah. Derajat peningkatan serum bilirubin dapat diperkirakan
melalui pemeriksaan fisik diagnostik. Peningkatan ringan pada bilirubin serum
paling baik dapat terlihat di sklera, tempat yang sanagt tinggi afinitasnya terhadap
bilirubin karena banyak jaringan elastin di daerah tersebut. Sklera ikterus
menandakan adanya bilirubin serum sebesar minimal 51 mol/L (3.0 mg/dl).1
Warna kuning yang dihasilkan tersebut hendaknya dilihat dibawah cahaya terang
siang hari, dengan melihat sklera mata.2 Bila dicurigai adanya sklera ikterus maka
pemeriksaan didaerah lidah perlu dilakukan. Serum bilirubin yang terus
meningkat akan menghasilkan perubahan warna kulit menjadi kuning pada pasien
berkulit cerah sekalipun dan bahkan akan menjadi kehijauan bila proses terjadi
berlangsung lama. Warna hijau tersebut diproduksi akibat perubahan bilirubin
menjadi biliverdin.1
Diferensial diagnosis untuk perubahan warna kuning tersebut sangat
terbatas. Selain jaundice, karotenoderma, penggunaan obat quinacrine, dan
penggunaan berlebih fenol. Karotenodermaa adalah perubahan warna kulit akibat
akumulasi karotene dijaringan (konsumsi sayuran dan buahan yang tinggi
karotene seperti: wortel, sayuran, peaches dan jeruk. Tidak seperti jaundice,
pewarnaan kuning distribusinya rata seluruh tubuh, pada karotenoderma
konsentrat pigmen di telapang kaki dan tangan, kening, dan lipatan nasolabial.
Karotenoderma tidak mengenai sklera. Quinacrine menyebabkan perubahan
warna pada kulit 4-37%. Tidak seperti karotederma, quinacrine dapat
menyebabkan diskolorisasi sklera.

Bilirubin direk dan indirek didasarkan pada reaksi van den Bergh. Assay
ini masih banyak digunakan diberbagai sentra untuk menentukan jumlah serum
bilirubin. Pada assay ini, bilirubin dicampurkan dengan asam sulfanilik
diazotized, memecah rantai menjadi dua azopigmen dipirilmethene yang stabil
yang menyerap gelombang pada 540nm dalam analisis fotometrik.

Gambar 2.1. Lokasi potensial yang berpengaruh dalam menyebabkan


jaundice (Hepatoselular jaundice vs Cholestatic jaundice).3
2.2.2. Pendekatan klinis
Ketika pola perubahan enzim fungsi hati menunjukkan kelainan kolestatik,
langkah selanjutnya adalah menentukan letak sumbatan di duktus intra- atau

ekstrahepatik. Perbedaannya mungkin cukup sulit ditentukan. Riwayat,


pemeriksaan fisik diagnostik, dan tes laboratorium sering tidak membantu. Tes
yang tepat yang harus dilakukan adalah ultrasound yang dapat mendeteksi dilatasi
duktus intra- atau ekstrahepatik. Tidak adanya dilatasi pada duktus bilier
menandakan kolestatik intrahepatik, sementara itu adanya pelebaran duktus bilier
menandakan kolestatik ekstrahepatik. Negatif palsu dapat terjadi bila adanya
obstruksi parsial pada duktus koledokus atau pada pasien dengan cirrhosis atau
primary sclerosing cholangitis (PSC) dimana scarr mencegah dilatasi duktus
intrahepatik.2
Walaupun USG dapat mendeteksi kolestatik ekstrahepatik, namun USG sulit
untuk mendeteksi lokasi atau penyebab obstruksi. Duktus koledokus distal adalah
lokasi yang paling sulit untuk mendeteksi kelainan karena adanya halangan dari
udara usus. Tes selanjutnya hendaknya dilakukan CT, MRCP atau ERCP. CT-scan
dan MRCP sangat baik untuk mendeteksi kelainan di kaput pankreas dan untuk
mengidentifikasi koledokolitiasis distal, terutama bila duktus tidak dilatasi. ERCP
merupakan golden standard untuk koledokolitiasis. ERCP dilakukan dengan cara
memasukkan endoskop peroral masuk ke duodenum. Ampulla vater akan
tervisualisasi dan kateter akan dimasukkan melalui ampulla. Injeksi zat kontras
akan dilakukan untuk memvisualisasi duktus koledokus dan duktus pankreatikus.
Angka kesuksesan kanulasi duktus koledokus sebesar 80-95%, tergantung
pengalaman operator. ERCP juga dapat dijadikan modalitas intervensi terapeutik,
termasuk menyingkirkan koledokolitiasis.1
2.2.3. Komplikasi
Komplikasi jaundice bisa menyebabkan sepsis terutama akibat kolangitis,
sirosis bilier, pankreatitis, koagulopati, ginjal dan gagal hati. Komplikasi lain yang
terkait dengan penyakit yang mendasari timbulnya jaundice
Cholangitis terutama jenis supuratif (Charcot triad atau pentad Raynaud) biasanya
sekunder choledocholithiasis.3
2.2.4. Tatalaksana
2.2.4.1.
Non-Farmakologi

Pengobatan tergantung pada apa yang menyebabkan obstruksi, namun untuk


tatalaksana operasi yang bersifat intervensi operatif adalah dekompresi bilier
dengan pemindahan debris tumor atau bekuan darah tumor
dan jika mungkin reseksi kuratif tumor hati. itu
umum digunakan metode operasi adalah lobektomi (termasuk
tumor primer dan trombus tumor di saluran empedu),
hepatectomy ditambah thrombectomy, choledochotomy dengan T-tube
drainase saja, stenting bilier internal atau pengalihan empedu.3
2.1.4.2 Farmakologi
Bile acidbinding resins, cholestyramine (4 g) or colestipol (5 g) ,dilarutkan
dalam air atau jus 3 kali sehari mungkin berguna dalam pengobatan gejala pruritus
berhubungan dengan obstruksi bilier . Namun, kekurangan vitamin A , D , E , dan
K dapat terjadi jika adamya steatorrhea dan dapat diperburuk oleh penggunaan
cholestyramine atau colestipol.
Antihistamin dapat digunakan untuk pengobatan gejala pruritus , terutama
sebagai obat penenang pada malam hari . Efektivitas mereka sederhana . Opioid
endogen telah berperan dalam pengembangan pruritus kolestasis . .
Rifampisin telah disarankan sebagai tambahan medis untuk pengobatan
kolestasis . Dengan mengurangi bakteri usus , memperlambat konversi utama
untuk garam empedu sekunder dan dapat mengurangi kadar bilirubin serum ,
kadar ALP ,dan pruritus pada pasien tertentu.2

Daftar pustaka
1. S.Pratt, Daniel and M.Kaplan, Marshall. 2008. Jaundice. In: Fauci AS et.al.
(eds). Harrison's Gastroenterology and Hepatoogy. USA: The McGrawHill Companies. pp68-75
2. Krige JEJ, and Shaw, JM. 2005. An Approach to Obstructive Jaundice.
CME. August 2005 vol 23 No.8

3. Adrian, Reuben. 2012. Jaundice. In: Hawkey CJ et.al. (eds). Textbook of


clinical gastroenterology and hepatology 2nd ed. USA: WilleyBlackwell.pp84-88.
4.

Lindseth, Glenda N. 2006. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. Editor:
Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson dalam Buku Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Volume 1 edisi 6. Jakarta: EGC

5.
6.

Desen, Wan. 2008. Tumor Abdomen. Dalam Buku Ajar Onkologi Klinik edisi 2. Jakarta:

7.

Balai Penerbit FKUI.


Singgih B., Datau E.A., 2006, Hepatoma dan Sindrom Hepatorenal. Jacobson R.D., 2009.
Hepatocelluler Carcinoma. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/369226overview

8. .
9. Cohen EP et.al. 2011. Nephrotic Syndrome. In: Batuman V. Medscape
Reference. [Online]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/244631. [Accessed: June 10th,
2012].
10.

1.

You might also like