You are on page 1of 12

ACARA VI

PROSESSING BUAH

Abstraksi

Praktikum Teknologi Benih Acara 6 yang berjudul Prosessing Buah dilaksanakan pada Kamis, 7
April 2016 di Laboratorium Teknologi Benih, Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui cara memproses
buah cabai dan tomat hingga menjadi benih dan mengetahui perbedaan kualitas benih dari berbagai
kondisi kematangan buah cabai. Pengujian daya tumbuh dan indeks vigor benih cabai dan tomat
dilakukan dengan metode di atas kertas (top paper). Ekstraksi benih cabai dilakukan dengan
pengambilan secara langsung benih dari dalam buah cabai sedangkan benih tomat dengan metode
fermentasi dan kimiawi. Hasil yang didapatkan adalah cara memproses benih cabai diawali dengan
ekstraksi secara langsung kemudian dikeringanginkan dan ditanam, sedangkan cara memproses benih
tomat diawali dengan ekstraksi menggunakan metode fermentasi dan kimiawi kemudian
dikeringanginkan dan ditanam. Benih cabai yang berasal dari buah yang tingkat kematangannya tinggi
memiliki daya tumbuh, indeks vigor, bobot 100 benih, dan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan
benih yang berasal dari buah yang tingkat kematangannya sedang maupun rendah. Benih tomat yang
berasal dari perlakuan kimiawi dan fermentasi sama-sama memiliki keefektifan yang tinggi mulai dari
indeks vigor, bobot 100 benih, dan rendemen. Untuk daya tumbuh, benih perlakuan kimiawi mempunyai
daya tumbuh lebih tinggi dibanding perlakuan fermentasi.

Keyword : benih cabai, benih tomat, tingkat kemasakan, metode kimiawi, metode fermentasi, ekstraksi
benih

I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam dunia teknologi benih, sering kita dapati untuk mendapatkan benih, kita
harus melakukan pengambilan biji dari dalam buah. Biji yang kita ambil tersebut akan
digunakan sebagai bahan tanam kembali. Diperlukan keterampilan khusus supaya
seorang petani dapat mengambil biji dari dalam buah. Beberapa buah memiliki
kandungan air yang cukup banyak, dan beberapa justru sebaliknya. Apabila dilakukan
kesalahan saat melakukan ekstrasi, maka akan menyebabkan kemunduran kualitas
benih. Misalnya, kita harus menentukan tingkat kemasakan benih di saat yang tepat.
Apabila terjadi kesalahan, maka benih yang akan kita tanam menjadi berkualitas
rendah.
B. TUJUAN
1. Mengetahui cara memproses buah cabai dan tomat hingga menjadi benih
2. Mengetahui perbedaan kualitas benih dari berbagai kondisi kematangan buah
cabai.
3. Mengetahui perbedaan kualitas benih dari berbagai metode ekstasi buah tomat.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman,
benih adalah tanaman atau bagiannya yang digunakan untuk memperbanyak dan/atau
mengembang biakkan tanaman (Hasanah, 2002). Dalam dunia pertanian benih dianggap
sangat penting karena fungsi budidayanya. Benih digunakan untuk memperbanyak tanaman
budidaya manusia. Kualitas benih akan mempengaruhi produktivitas tanaman, sehingga perlu
dilakukan beberapa upaya untuk mendapatkan benih yang berkualitas, salah satunya adalah
dengan melakukan ekstraksi benih atau pemisahan benih dari buahnya.
Saat kita melakukan ekstraksi, diperlukan keterampilan khusus untuk mengidentifikasi
tingkat kematangan buah. Menurut Nurkhasanah dkk. (2013), beberapa faktor yang
mempengaruhi hasil yaitu buah dari suatu tanaman beberapa di antaranya adalah faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal misalnya dari genetik tanaman itu sendiri
sedangkan faktor eksternal dapat berupa keadaan iklim di sekitar tanaman tersebut. Untuk
dapat melakukan pemanenan, kita juga harus mengetahui kapan harus dilakukan pemanenan
dan bagaimana cara melakukan pemanenan. Saat yang paling tepat untuk melakukan
pemanenan adalah pada saat masak fisiologis. Ciri-ciri tanaman sudah memasuki masak
fisiologis adalah terjadinya perubahan fisiologis di tubuh tanaman. Contohnya adalah
perubahan warna klorofil daun menjadi kuning, kemudian kecokelatan, terbentuknya jaringan
pemisah antara batang dengan buah, dan perubahan warna buah, misalnya tomat dari hijau
menjadi merah (Santoso dkk., 2011).
Menurut Scmidt (tth), buah dapat digolongkan berdasarkan kadar airnya atau
berdasarkan cara pemisahan bijinya yaitu:
1. Dry fruit, yaitu buah yang saat masak fisiologis buah dan bijinya terhitung
kering sehingga ekstraksi benihnya hanya perlu dilakukan dengan cara
pengambilan secara langsung atau dengan perontokan. Contoh buah ini adalah
kacang-kacangan, sayuran seperti selada atau kubis, bawang, padi dan lain-lain.
2. Dry fleshy fruit (buah yang agak basah) yaitu buah yang saat masak fisiologis,
buahnya sudah mengalami kematangan dan bijinya juga di dalam buah yang
kadar airnya rendah. Ekstraksi benih jenis ini dapat dilakukan dengan cara
membelah buah dan langsung mengambil benihnya. Contoh buah ini adalah
cabai dan terong.
3. Wet fleshy fruit (buah basah) yaitu buah yang saat masak fisiologis buah dan
bijinya sudah matang tetapi biji berada di dalam buah dengan kadar air yang
tinggi serta diselubungi oleh pulp. Ekstraksi benih jenis ini dilakukan dengan
memisahkan benih dari pulp, kemudian dilakukan pengeringan.
III. METODOLOGI
Praktikum dasar-dasar teknologi benih acara VI yang berjudul Prosesing Buah
dilakukan pada tanggal 7 April 2016. Praktikum ini dilaksanakan di laboratorium Teknologi
Benih, Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. Alat yang digunakan adalah cawan petri, saringan, oven, pinset, germinator, dan
timbangan digital. Bahan yang digunakan meliputi buah cabai rawit (Capsicum frutescens),
buah tomat (Solanum lycopersicum) pada berbagai tingkat kematangan, kapas, kertas saring,
air, dan pasir.
Cara kerja yang dilakukan untuk ekstraksi benih cabai adalah sebagai berikut: Buah
cabai diambil sebanyak 30 gram yakni dengan tiga tingkat kemasakan yang berbeda yaitu
kuning, oranye, dan merah. Kemudian buah tersebut dibelah dan dipisahkan bijinya. Calon
benih dicuci dan dikeringanginkan selama 2 hari. Biji kering yang diperoleh ditimbang dan
dihitung rendemen berat biji terhadap bobot buah. Selanjutnya, bobot 100 biji ditimbang, dan
diambil 50 biji untuk dikecambahkan sebanyak 4 ulangan untuk masing-masing tingkat
kemasakan buah selama 14 hari dengan metode top paper untuk mengetahui daya tumbuh
dan indeks vigor benihnya. Untuk ekstraksi benih tomat, cara yang dilakukan adalah sebagai
berikut: Buah tomat yang sudah masak diambil sebanyak 2 buah dan ditimbang bobotnya.
Kemudian buah dibelah secara melintang dan biji dikeluarkan beserta pulpnya. Air pulp yang
bercampur dengan biji diperlakukan dengan 2 cara yaitu: a. Fermentasi: Pulp tersebut
difermentasikan selama 48 jam, diaduk beberapa waktu agar tidak tumbuh jamur di
permukaannya. Setelah 48 jam biji telah turun ke dasar wadah, biji dikeluarkan dengan cara
disaring, dicuci, dan dikeringkan. b. Kimiawi : HCl 35% ditambahkan sebanyak 1/20 dari
volume pulp. Pulp diaduk terus menerus selama 60 menit, kemudian disaring dan benih
dicuci lalu dikeringkan selama 2 hari. Benih kering hasil ekstraksi yang diperoleh ditimbang,
dan dihitung persentase bobot biji terhadap bobot basah buahnya (rendemen). 100 biji
dihitung dan ditimbang untuk mengetahui bobot 100 benih. 50 benih dikecambahkan untuk
mengetahui nilai daya tumbuh dan indeks vigornya.
Cara untuk menghitung rendemen benih adalah:
Bobot Total Biji dalam Buah
Rendemen= 100
Bobot Buah
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstraksi adalah kegiatan yang dilakukan untuk memisahkan biji dari buahnya,
sehingga biji yang didapatkan dapat digunakan sebagai benih atau bahan tanam selanjutnya.
Dalam melakukan ekstraksi benih kita perlu memperhatikan beberapa hal misalnya kapan
saat melakukan pemanenan buah dan bagaimana cara melakukan ekstraksi. Saat melakukan
pemanenan buah sangat berpengaruh terhadap kualitas benih yang akan kita dapatkan karena
tingkat kemasakan buah juga menentukan tingkat kemasakan biji yang ada di dalamnya.
Pemanenan buah sangat penting dilakukan pada saat masak fisiologis atau pada saat buah
tersebut benar-benar matang dengan tujuan untuk mendapatkan nutrisi dari dalam buah dan
kualitas benihnya (Schmidt, tth). Untuk mengetahui bagaimana pengaruh tingkat kemasakan
buah terhadap kualitas benih yang didapatkan, maka dilakukan pengujian daya tumbuh dan
indeks vigor terhadap benih cabai rawit yang didapatkan dari buah yang berbeda tingkat
kemasakannya. Caranya dengan mengecambahkan benih yang didapatkan dari ekstraksi buah
cabai rawit berwarna kuning, oranye, dan merah yang sudah dikeringkan selama 2 hari.
Pengujian ini menggunakan metode top paper selama 14 hari. Hasil yang didapatkan adalah
histogram daya tumbuh dan grafik vigor harian benih. Daya tumbuh yang didapatkan
disajikan dalam histogram sebagai berikut:

Gambar 1. Histogram daya tumbuh cabai


Histogram di atas menunjukkan daya tumbuh benih cabai rawit dari tingkat kemasakan
buah yang berbeda-beda. Dapat dilihat bahwa benih yang berasal dari buah yang tingkat
kemasakannya masih rendah memiliki daya tumbuh yang rendah yakni 11% saja. Sementara,
benih yang berasal dari tingkat kemasakan yang sedang memiliki persentase daya tumbuh
sebesar 43% dan benih yang berasal dari tingkat kemasakan pada saat masak fisiologis
memiliki daya tumbuh 65,5%. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh tingkat kemasakan
buah terhadap kualitas benih, terutama dalam hal daya tumbuh dan vigornya. Kualitas benih
terutama mutu fisiologis dapat dilihat dari daya tumbuh dan vigornya. Untuk dapat melihat
kembali bagaimana pengaruh tingkat kemasakan buah terhadap kualitas benih, kemudian
dilakukan uji vigor dari benih tersebut. Hasil yang didapatkan disajikan dalam grafik sebagai
berikut:

Gambar 2. Grafik indeks vigor benih cabe


Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa vigor dari semua benih berfluktuasi pada setiap
harinya. Benih dari buah cabai yang sudah masak memiliki vigor yang paling tinggi
kemudian dilanjutkan benih dari buah cabai yang tingkat kemasakannya sedang dan terakhir
benih dari buah cabai yang tingkat kemasakannya rendah. Benih yang sudah masak akan
tumbuh serempak pada hari ketujuh ditunjukkan dengan benih memiliki nilai vigor yang
paling tinggi pada hari tersebut. Berbeda halnya dengan benih dari buah cabai yang berwarna
oranye (sedang) akan tumbuh serempak pada hari kesembilan dan benih dari buah cabai yang
berwarna hijau (belum masak) banyak tumbuh pada hari keempat. Hal ini menunjukkan
bahwa kecepatan tumbuh dan keserempakan tumbuh paling besar dimiliki oleh benih dari
buah yang berwarna merah (sudah masak) kemudian benih dari buah yang berwarna oranye,
dan terakhir benih dari buah yang berwarna kuning.
Menurut teori yang ada, benih yang dipanen ketika masak fisiologis akan menunjukkan
pertumbuhan dan produksi yang optimal sedangkan benih yang dipanen sebelum maupun
sesudah masak fisiologis pertumbuhan dan produksinya tidak akan optimal. Hal ini dapat
disebabkan karena benih tersebut belum sempurna (pada panen sebelum masak fisiologis)
atau telah memasuki masa penuaan (pada panen sesudah masak fisiologis). Hal ini diduga
dipengaruhi oleh cadangan makanan yang terkandung dalam benih, aktivitas kimia yang
terjadi, serta potensial air dalam struktur benih. Benih yang belum mencapai masak fisiologi
cadangan makanan yang dibutuhkan dalam proses perkecambahan belum mencukupi. Selama
proses perkecambahan, benih memerlukan energi untuk respirasi (Darmawan dkk., 2014).
Sementara itu, perbedaan vigor benih ini juga dipengaruhi oleh kemampuan benih sendiri.
Benih memiliki vigor jika benih mampu menumbuhkan tanaman normal, meski kondisi alam
tidak optimum atau sub optimum. Benih yang vigor akan menghasilkan produk di atas
normal kalau ditumbuhkan pada kondisi optimum. Vigor benih yang mencapai tingkatan
maksimum saat benih masak fisiologis harus dipertahankan selama proses pemanenan dan
proses pengolahan. Benih yang memiliki vigor yang tinggi pada saat masak fisiologis akan
memiliki daya simpan yang panjang sedangkan benih yang tidak dipanen saat masak
fisiologis cenderung memiliki vigor yang rendah dan daya simpan yang pendek (Asworth,
2002).
Cara ekstraksi biji cabai dari buahnya adalah pertama dengan membelah buah cabai
kemudian mengeluarkan semua biji dari buah. Biji tersebut kemudian dicuci dan dikeringkan.
Metode pengeringan ini memiliki kelemahan yaitu apabila dilakukan dibawah sinar matahari
secara langsung maka kita harus membolak-balikkan benih supaya kadar air benih turun
hingga 15%. Apabila tidak dilakukan pembalikan, maka kadar air benih akan turun hingga
kurang dari 15%. Hal ini akan menyebabkan benih menjadi berkualitas buruk atau dengan
kata lain daya tumbuhnya menjadi rendah. Cara pengeringan ini juga memiliki kelemahan
karena intensitas cahaya matahari berubah-ubah setiap saat. Cara pengeringan yang lain dapat
dengan menggunakan angin. Cara yang dilakukan ini memiliki kelebihan dapat dilakukan
dimana saja, tetapi memiliki kelemahan proses pengeringannya lebih lama dibandingkan
dengan menggunakan cahaya matahari (Pitojo, 2003).
Benih yang didapatkan kemudian ditimbang 100 benih, dihitung rendemennya, dan
dikecambahkan di petridish. Parameter yang diamati adalah bobot 100 benih, rendemen, daya
tumbuh, dan indeks vigor. Hasil yang didapatkan kemudian diuji anova dengan tingkat
kepercayaan 95%. Hasil yang didapatkan adalah umur benih cabai hanya mempengaruhi
bobot 100 benih tanaman cabai. Sedangkan pada iv, db, dan rendemen, tidak ditemukan beda
nyata antar perlakuannya. Menurut Darmawan dkk. (2014), semakin matang suatu buah,maka
bobot 100 benihnya juga akan semakin tinggi karena buah yang sudah masak fisiologis telah
siap untuk dipanen bijinya yang sudah mengandung cukup endospermium untuk cadangan
makanan saat embrio tumbuh. Semakin tinggi tingkat kemasakkannya, maka ukuran dari
benih akan semakin besar. Salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan bobot adalah
kandungan endosperm pada benih. Kandungan endosperm merupakan faktor internal biji
yang berpengaruh terhadap keberhasilan perkecambahan biji, karena hal ini berhubungan
dengan kemampuan biji melakukan imbibisi dan ketersediaan sumber energi kimiawi
potensial bagi biji. Terutama pada awal fase perkecambahan dimana biji membutuhkan air
untuk perkecambahan, hal ini dicukupi dengan menyerap air secara imbibisi dari lingkungan
sekitar biji, setelah biji menyerap air maka kulit biji akan melunak dan terjadilah hidrasi
protoplasma, kemudian enzim-enzim mulai aktif, terutama enzim yang berfungsi mengubah
lemak menjadi energi melalui proses respirasi. Perbedaan hasil yang didapatkan dengan teori
ini disebabkan karena benih yang berasal dari buah yang berwarna oranye kemungkinan
hampir mencapai masak fisiologis sedangkan benih yang berasal dari buah yang berwarna
merah belum mencapai masak fisiologis juga (Darmawan dkk., 2014).
Selanjutnya, dilakukan pula ekstraksi pada buah tomat. Hanya saja, cara ekstraksi benih
tomat berbeda dengan buah cabai. Buah tomat termasuk jenis wet fleshy fruit yaitu buah
berdaging dan kadar airnya tinggi, ditunjukkan dengan adanya pulp yang menyelubungi biji,
sedangkan buah cabai termasuk dry fleshy fruit yaitu buah berdaging dengan kadar air yang
relatif rendah. Ekstraksi benih tomat dilakukan dengan metode yang berbeda yaitu metode
fermentasi atau metode kimiawi.
Metode fermentasi dilakukan dengan cara membelah buah tomat secara melintang,
kemudian pulp diperas dari tomat. Pulp ini kemudian dimasukkan ke dalam wadah berupa
gelas, dan dilakukan pengocokan setiap 3 jam sekali. Tujuan pengocokan adalah supaya di
bagian permukaan atas cairan pulp tidak tumbuh mikroorganisme yang dapat mempengaruhi
kualitas bibit yang dihasilkan, misalnya jamur atau bakteri. Pengocokan akan menyebabkan
terjadinya sirkulasi udara di dalam wadah fermentasi dan membantu untuk menenggelamkan
mikroorganisme yang ada di permukaan atas sehingga akan mati. Cara yang dilakukan di
lapangan sedikit berbeda dengan yang dilakukan di laboratorium. Di lapangan dilakukan
pengeringan menggunakan cahaya matahari secara langsung dan diangin-anginkan,
sedangkan di laboratorium dengan cara dikeringanginkan saja (Pitojo, 2005).
Cara yang kedua adalah dengan metode kimiawi. Metode ini dilakukan dengan cara
menambahkan pulp dengan 1/20 volume pulp dengan HCl 35%. Tujuan pemberian HCl
adalah untuk memisahkan dan mempercepat pemisahan biji dari pulpnya. Selain itu, juga
dapat digunakan untuk membunuh mikroorganisme yang tidak diinginkan. Selain itu,
penggunaan HCl pada ekstraksi benih jeruk dilaporkan memberikan hasil terbaik, karena
asam yang digunakan selain membersihkan lendir yang menempel pada benih juga
meningkatkan permeabilitas kulit benih (Sadjad, 1980). Permeabilitas kulit benih yang tinggi
dapat menyebabkan tingginya viabilitas benih. Namun, dalam penggunaan HCl ini perlu
diperhatikan takarannya supaya tidak menyebabkan benih tomat memiliki viabilitas yang
rendah. Hal ini disebabkan karena HCl dalam kadar yang cukup tinggi dapat menyebabkan
kerusakan pada benih yang pada akhirnya menyebabkan menurunnya kualitas benih.
Kelebihan dari metode fermentasi adalah mudah dan murah untuk dilakukan karena
tidak perlu menggunakan bahan-bahan kimia seperti yang dilakukan pada metode kimia.
Kelemahannya adalah waktu yang dibutuhkan cukup lama karena metode fermentasi harus
dilakukan selama 2 hari. Sementara itu, metode kimiawi memiliki kelebihan yaitu lebih cepat
karena HCl yang ada dapat mempercepat pemisahan biji dari pulpnya. Namun, kelemahan
metode kimiawi adalah diperlukan adanya larutan HCl yang tidak semua petani dapat
membelinya dengan mudah di pasaran. Menurut teori yang ada, metode kimiawi memberikan
hasil yang lebih baik sebab pulp benar-benar dipisahkan dari benihnya (Pitojo, 2005).
Setelah kedua metode tersebut selesai dilakukan, dilakukan pengeringan lalu benih
dihitung bobot 100 benihnya, rendemen, dan 50 benih dikecambahkan untuk dilihat daya
tumbuh dan indeks vigornya. Hasil daya tumbuh benih tomat pada kedua metode tersebut
kemudian disajikan dalam histogram sebagai berikut:

Gambar 3. Histogram daya tumbuh tomat


Dari histogram daya tumbuh benih tomat tersebut dapat dilihat bahwa kedua jenis
metode tersebut menghasilkan daya tumbuh benih tomat untuk perlakuan HCl adalah 100%
dan tomat perlakuan fermentasi adalah 95%. Hal ini menunjukkan bahwa kedua metode HCl
terbukti efektif tersebut sama-sama efektif. Untuk meyakinkan apakah benar metode yang
digunakan akan mempengaruhi daya tumbuh benih tomat kemudian dilakukan uji anova dan
dilanjutkan dengan tingkat kepercayaan 95%. Hasil yang didapatkan adalah ada beda nyata
pada daya berkecambah benih yang diproses menggunakan metode HCL dengan yang
diproses menggunakan metode fermentasi. Menurut teori yang ada, benih tomat dengan
metode kimia memiliki daya tumbuh yang lebih tinggi karena perlakuan HCl akan
meningkatkan permeabilitas kulit benih (Sadjad, 1980).
Selanjutnya dilakukan uji kualitas benih yang lain yaitu uji vigor. Vigor benih tomat
dari kedua metode dihitung dan disajikan dalam grafik sebagai berikut:

Gambar 4. Grafik indeks vigor benih tomat


Dari grafik vigor harian benih tomat tersebut dapat dilihat bahwa vigor benih tomat
mengalami kenaikan mulai dari hari pertama hingga mencapai puncak pada hari ketiga untuk
benih tomat perlakuan HCl dan hari kelima untuk benih tomat perlakuan fermentasi. Hal ini
menunjukkan bahwa perbedaan keserempakan tumbuh dan kecepatan tumbuh benih tomat
juga dapat disebabkan oleh metode yang digunakan.
Untuk meyakinkan kembali bahwa metode mempengaruhi indeks vigor dari benih
tomat dilakukan uji anova dengan tingkat kepercayaan 95%. Hasil yang didapatkan adalah
kedua metode ini tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap benih tomat yang
dihasilkan pada praktikum ini. Akan tetapi, terdapat satu beda nyata antara daya berkecambah
yang diproses menggunakan HCL dengan daya berkecambah benih tomat yang diproses
dengan metode fermentasi dimana hasil dari penggunaan HCL lebih tinggi. Dapat dikatakan
bahwa kedua metode ini sama-sama efektif untuk ekstrasi benih tomat.
Untuk mendapatkan benih yang berkualitas kita perlu melakukan pemanenan yang
baik. Pemanenan itu harus tepat waktunya dan tepat caranya. Tepat caranya yaitu cara
pemanenan yang dilakukan pada setiap buah akan berbeda-beda. Pemanenan yang benar
dimaksudkan untuk menjaga kualitas benih supaya tidak rusak. Tepat waktu yang dimaksud
adalah saat masak fisiologis. Ciri-ciri masak fisiologis menurut Schmidt (tth) adalah:
1. Buah dapat bersuara mendengung saat diketuk, misalnya pada labu,
semangka, atau melon.
2. Terjadi perubahan warna dan bentuk buah, misalnya pada tomat dan
cabai yang saat buah muda berwarna hijau menjadi merah saat masak.
3. Polong mulai merekah, misalnya pada legum
4. Terbentuk jaringan pemisah antara buah dengan cabang
5. Hari sejak penanaman, tergantung pada jenis tanaman
6. Terjadi perubahan warna klorofil daun, yang semula hijau kemudian
menguning dan menjadi cokelat.
Benih harus dipanen saat sudah mencapai masak fisiologis. Benih yang dipanen saat
buahnya sudah terlalu matang atau sudah melebihi masak fisiologis tidak direkomendasikan
untuk dijadikan bahan tanam sebab kemungkinan besar sudah diserang oleh hama atau
penyakit. Selain itu, benih yang terlalu matang justru memiliki vigor yang rendah dan
viabilitas yang rendah sebab umur benihnya sudah terlalu tua. Di sisi lain, benih yang masih
muda juga tidak direkomendasikan untuk dijadikan bahan tanam sebab benih yang masih
muda memiliki vigor yang rendah dan viabilitas yang rendah disebabkan kandungan
endospermium di dalam benih yang masih sedikit (Anonim, tth).
V. KESIMPULAN
1. Cara memproses benih cabai diawali dengan ekstraksi secara langsung kemudian
dikeringanginkan dan ditanam dan cara memproses benih tomat diawali dengan
ekstraksi menggunakan metode fermentasi dan kimiawi kemudian dikeringanginkan
dan ditanam.
2. Benih cabai yang berasal dari buah yang tingkat kematangannya tinggi memiliki daya
tumbuh, indeks vigor, bobot 100 benih, dan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan
benih yang berasal dari buah yang tingkat kematangannya sedang maupun rendah.
3. Benih tomat yang berasal dari perlakuan kimiawi dan fermentasi sama-sama memiliki
keefektifan yang tinggi mulai dari indeks vigor, bobot 100 benih, dan rendemen. Untuk
daya tumbuh, benih perlakuan kimiawi mempunyai daya tumbuh lebih tinggi dibanding
perlakuan fermentasi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. tth. Seed Harvesting and Seed Extraction.
<http://collections.infocollections.org/ukedu/uk/d/Jii06be/4.6.html.> Diakses tanggal
4 Mei 2016.
Darmawan, A. C., Respatijarti, dan L. Soetopo. 2014. Pengaruh tingkat kemasakan benih
terhadap pertumbuhan dan produksi cabai rawit (Capsicum frutescent L.) varietas
comexio. Jurnal Poduksi Tanaman 2: 339346.
Hasanah, M. 2002. Peran mutu fisiologik benih dan pengembangan industri benih tanaman
industri. Jurnal Litbang Pertanian 21: 85.
Nurkhasanah, N., K. P. Wicaksono, dan E. Widaryanto. 2013. Studi pemberian air dan tingkat
naungan terhadap pertumbuhan bibit tanaman cabe jamu (Piper retrofractum Vahl.).
Jurnal Produksi Tanaman 1: 325331.
Pitojo, S. 2003. Seri Penangkaran: Benih Cabai. Kanisius, Yogyakarta.
Pitojo, S. 2005. Seri Penangkaran: Benih Tomat. Kanisius, Yogyakarta.
Sadjad, S. 1980. Dasar-dasar Teknologi Benih. Departemen Agronomi Faperta IPB, Bogor.
Santoso, B., Murtiningrum, dan Z. L. Sarungallo. 2011. Morfologi buah selama tahap
perkembangan buah merah. Jurnal Agrotek 2: 2329.
Schmidt, J. C. tth. Harvesting Fruit.
<https://web.extension.illinois.edu/cook/downloads/9217.pdf>. Diakses 4 Mei 2016.

You might also like