Professional Documents
Culture Documents
A. TUJUAN PRAKTIKUM
Tujuan dari praktikum Acara I Pembuatan produk dan uji kualitas
produk daging adalah:
1. Mahasiswa dapat melakukan pengawetan dan pengolahan daging dengan
baik dan benar serta sesuai petunjuk sehingga dapat memperpanjang umur
simpan dan mempertahankan kualitas daging.
2. Mahasiswa dapat menerapkan teknologi pengolahan dan uji kualitas produk
daging secara sederhana.
3. Mahasiswa terampil melakukan tahapan cara pengawetan daging sehingga
upaya untuk memperpanjang umur simpan.
4. Mahasiswa dapat mendeteksi kerusakan awal pada daging segar dan produk
daging.
5. Mahasiswa dapat melakukan penilaian organoleptik produk daging dengan
baik dan benar.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua
produk hasil pengolahan jaringan tersebut yang dapat dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Daging pada
umumnya memiliki sifat yang mudah rusak sehingga perlu dilakukan
pengolahan untuk mempertahankan nilai gizi. Usaha yang perlu dilakukan
untuk mempertahankan mutu atau nilai gizinya adalah pengolahan dan
menciptakan variasi produk produk baru. Salah satunya produk olahan dari
daging adalah nugget. Nugget adalah suatu bentuk produk daging giling yang
dibumbui, kemudian diselimuti oleh perekat tepung, pelumuran tepung roti
(breading), dan digoreng setengah matang lalu dibekukan untuk
mempertahankan mutunya selama penyimpanan. Nugget seperti hasil olahan
daging pada umumnya memiliki kelemahan pada kandungan serat yang rendah
(Permadi dkk, 2010).
Bakso adalah produk makanan berbentuk bulat atau lainnya yang
diperoleh dari campuran daging ternak dan pati atau serelia dengan atau tanpa
tambahan makanan lain, serta bahan tambahan makanan yang diijinkan. Bakso
merupakan makanan yang mudah rusak (perishable food). Kandungan gizi
bakso terdiri dari kadar protein minimal 9% b/b, kadar lemak maksimal 2%
b/b, kadar air maksimal 70% b/b dan kadar abu maksimal 3% b/b. Bakso sapi
mengandung gizi seperti protein dan lemak serta mengandung kadar air tinggi
yang cocok untuk pertumbuhan mikroba. Oleh karena itu, bakso sapi
mempunyai masa simpan yang relatif pendek (Arief, 2012).
Untuk membuat bakso, diperlukan daging yang benar-benar masih
segar dan berserat halus. Adapun beberapa jenis daging yang telah umum
diperdagangkan adalah daging sapi, daging kerbau, daging babi, daging
kambing, daging kelinci, dan daging unggas (ayam, itik, burung). Namun, yang
paling sesuai digunakan sebagai bahan baku pembuatan bakso adalah daging
sapi dan daging babi, karena disamping berserat halus, lembut dan lunak, juga
cenderung tidak berbau (bila dibandingkan dengan daging kambing)
(Suprapti, 2003)
Nuggets adalah suatu produk olahan daging yang dibuat dari daging
giling yang dicetak dalam bentuk potongan sesuai dengan selera, yang
ditambah dengan bahan pengisi dan pengikat serta bumbu, kemudian dikukus
lalu dilapisi putih telur dan tepung roti, setelah itu dibekukuan selama 24 jam
dan digoreng. Produk nuggets dapat dibuat dari daging sapi, ayam dan ikan dan
lain-lain, tetapi yang populer dimasyarakat adalah chiken nuggets yang dibuat
dari daging ayam (Anonim, 2002). Bahan pengisi dalam pembuatan nuggest
biasanya digunakan pati, karena mempunyai sifat sebagai bahan pengisi
maupun sebagai pengikat (Widyastuti, dkk. 2010).
Uji kebusukan dilakukan dengan menggunakan uji Eber. Sampel
dipotong sebesar kacang tanah dan digantung pada kawat yang sudah melekat
pada sumbat karet. Tuangkan reagen eber kedalam tabung reaksi (kira-kira
tidak akan membasahi daging di kawat jika sampel tersebut dimasukkan ke
dalam tabung). Masukkan sampel secara perlahan dan sesegera mungkin
kedalam tabung reaksi. Amati segera reaksi yang terjadi disekitar daging.
Reaksi positif: jika terbentuk reaksi awan putih disekitar daging. Reaksi
negatif jika tidak terbentuk awan putih (Wanniatie, 2012).
Kualitas fisik daging merupakan parameter kualitas daging yang
terdiri dari nilai pH, susut masak, daya ikat air, dan keempukan daging yang
diuji secara obyektif. Nilai pH daging. Nilai pH merupakan salah satu faktor
penting dalam menentukan kualitas daging. Mikroorganisme yang
menyebabkan daging busuk dapat diperoleh melalui infeksi hewan hidup
(infeksi endogen) atau dengan kontaminasi daging pasca mati (infeksi
eksogen). Infeksi eksogen inilah yang dapat menurunkan kualitas daging
tersebut. Kontaminasi daging dari luar terjadi terus menerus sejak pengeluaran
darah sampai dikonsumsi. Ditempat pemotongan hewan, dapat menjadi sumber
infeksi yang potensial untuk hewan potong. Hal ini termasuk tanah yang
melekat, isi saluran pencernaan, kontaminasi dari udara, air yang digunakan
untuk mencuci karkas daging atau untuk membersihkan lantai dan alat yang
digunakan dan sebagainya (Prayitno dkk., 2010).
Faktor penyebab pembusukan lainnya yaitu temperatur yang dapat
mengatur pertumbuhan bakteri sebab semakin tinggi temperatur semakin besar
pula tingkat pertumbuhannya. Bakteri akan tumbuh optimal pada suhu tubuh
37 C. Penyimpanan daging pada suhu hangat dapat mempercepat peningkatan
jumlah organisme, penyimpanan suhu chill dapat meningkatkan jumlah
organisme khususnya psychotrops, sedangkan penyimpanan suhu beku tidak
menimbulkan peningkatan jumlah organism selama proses penyimpanan.
Peningkatan jumlah organisme pada proses pembusukan diikuti dengan
kerusakan fisik daging, oksidasi, perubahan warna, perubahan pH, dan
perubahan bau yang menjadikan makanan tidak layak untuk dikonsumsi
(Goldberg, 2006).
Metode penyimpanan refrigerasi adalah penyimpanan pada suhu di
atas titik beku daging, daya tahan bahan pangan yang disimpan pada
temperatur refrigerasi hanya sementara, yaitu berkisar dari antara beberapa hari
sampai beberapa minggu bergantung pada bagian daging dan penanganan
daging sebelumnya. Prinsip utama dari penanganan daging dengan cara
penyimpanan refregerasi yang harus diperhatikan adalah bahwa temperatur
penyimpanan daging harus tercapai secepat mungkin setelah pemotongan
ternak ataupun pengolahan. Suhu refrigerasi tidak dapat mematikan semua
mikoorganisme yang ada di dalam daging, tetapi hanya menghambat kecepatan
pertumbuhan miroorganisme dan reaksi-reaksi kimia dan biokimia di dalam
daging, sehingga penyimpanan cara ini disebut sebagai usaha penyimpanan,
bukan sebagai usaha pengawetan. Salah satu keuntungan dari daging yang
disimpan dengan cara refrigerasi adalah sifat organoleptik (rasa, tekstur,
kenampakkan, flavor, aroma) dan nilai gizinya hampir tidak dapat dibedakan
dengan karakteristik yang dimiliki daging segar. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penyimpanan daging di dalam refrigerator, yaitu panas spesifik
daging, berat dan ukuran daging, jumlah lemak yang ada pada permukaan
daging, jumlah daging di dalam ruang pendingin, temperatur alat pendingin.
Kandungan zat-zat makanan di dalam daging mudah sekali rusak oleh
lingkungan sekitar, oleh karena itu diperlukan penanganan yang baik (Darwis,
2005).
Menurut Wismer-Pedersen (1971) bahwa pengamatan berat daging
selama penyimpanan bertujuan untuk mengetahui apakah ada perubahan berat
selama penyimpanan. Kenaikan berat dapat terjadi karena peran
mikroorganisme yang ada di daging terutama mikroorganisme pembusuk. Daya
ikat air oleh protein disebut WHC (Water Holding Capacity) yaitu kemampuan
daging untuk menahan air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan,
misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan.
Hal ini tidak sesuai dengan teori. Bahwa daging yang disimpan pada
suhu dingin terjadi proses penguapan dari dalam daging dan keluarnya weep
dari dalam daging sehingga akan menurunkan kadar air dalam daging.
Penurunan kadar air mempengaruhi berat daging. Semakin rendah suhu
penyimpanan daging maka semakin banyak kadar air yang hilang sehingga
daging menjadi keriput. Penyimpanan pada suhu ruang menyebabkan daging
cepat rusak akibat dari bertambahnya kadar air pada daging. Bertambahnya
kadar air pada daging disebabkan karena daging mampu menahan air yang
ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan, misalnya pemotongan daging,
pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Hal tersebut dapat menyebabkan
mikroba dapat tumbuh dan berkembang biak terutama mikroba pembusuk
(Forrest, 1975).
Menurut (Hadiwiyoto, 2005) uji eber untuk mengetahui pembusukan
pada daging dilakukan dengan meletakkan daging diatas 5 ml reagen eber
(HCL pekat+ alkohol 96% dengan rasio 1:3) dalam tabung reaksi. Tabung
reaksi ditutup rapat. Jika terdapat kabut bewarna putih menandakan daging
telah membusuk. Pembusukan daging merupakan fenomena ekologi yang
meliputi perubahan substrat pada daging yang disimpan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pembusukan daging meliputi faktor intrinsik dan ekstrinsik.
Faktor instrisik terdiri dari peran spesifik ephemeral spoilage organisme (ESO),
mikroba atau hasil dari proses enzimatis, dan proses kimiawi, sedangkan faktor
ekstrinsiknya meliputi perubahan temperatur, rantai dingin daging (meat chill
chain), dan transportasi.
Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan ini adalah daging yang
kesegaran untuk daging yang diuji berbeda, ketelitian praktikan saat
pengamatan, kesalahan saat melakukan uji. Faktor penyebab pembusukan
lainnya yaitu temperatur yang dapat mengatur pertumbuhan bakteri sebab
semakin tinggi temperatur semakin besar pula tingkat pertumbuhannya (Ramli,
2001). Daging pada penyimpanan suhu 270C mengalami peningkatan jumlah
bakteri dimana bakteri yang dapat berkembang pada suhu ini yaitu bakteri jenis
psycrophiles seperti Pseudomonas dan Streptococcus dimana daging berubah
warna menjadi merah, kehijauan, berbau menyingkir dan hasil uji eber positif.
Warna hijau ini terjadi akibat proses oksidasi yang membentuk metmyoglobin
membentuk. Daging telah mengalami awal pembusukan dengan warna daging
menjadi merah kecoklatan dan berbau menyingkir. Bau menyingkir yang
timbul adalah karena tumbuhnya bakteri yang juga menjadi penyebab dari
pembusukan. Daging yang tumbuh pada 20C yaitu bakteri psycrophilic,
diantaranya yaitu Pseudomonas, Achromobacter, Flavobacterium, dan Proteus
(Dwi, 2013).
Standar pH daging hewan sehat dan cukup istirahat yang baru
disembelih adalah 7-7,2 dan akan terus menurun selama 24 jam sampai
beberapa hari. Jika terjadi pembusukan maka pH nya akan kembali ke 7. Jarak
penurunan pH tersebut tidak sama untuk semua urat daging dari seekor hewan
dan antara hewan juga berbeda. Nilai pH daging post mortem akan ditentukan
oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis
anaerob dan akan terbatas bila hewan terdepresi karena lelah. Setelah hewan
disembelih, penyedian oksigen otot terhenti. Dengan demikian persediaan
oksigen tidak lagi di otot dan sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan lagi
dari otot. Jadi daging hewan yang sudah disembelih akan mengalami
penurunan pH (Purnomo dan Adiono, 1985).
Hasil perhitungan pH daging segar adalah 7,2 yang berarti daging
tersebut berasal dari hewan yang sehat. Setelah 24 jam di dalam refrigerator pH
daging mengalami penurunan karena adanya aktivitas mikroba yang
menyebabkan proses glikolisis menghasilkan asam laktat. Begitu pula yang
terjadi pada daging beku. Namun, pada daging busuk pH meningkat karena
penurunan aktivitas mikroba penghasil asam karena persediaan glikogen yang
semakin terbatas dan diikuti aktivitas mikroba penghasil senyawa basa. Nilai
pH daging tidak akan pernah mencapai nilai di bawah 5,3. Hal ini disebabkan
karena pada nilai pH di bawah 5,3 enzim-enzim yang terlibat dalam glikolisis
anaerob tidak aktif berkerja (Hatta, 2012).
C. METODOLOGI
1. Alat
a. Bakso
1) Baskom
2) Blender
3) Kompor
4) Panci
5) Pisau
6) Talenan
b. Chicken Nugget
1) Baskom
2) Kompor
3) Piring
4) Pisau
5) Sarung tangan plastik
6) Sendok
7) Solet
8) Spatula
9) Timbangan
10) Wajan
c. Uji Eber
1) Pipet ukur 10 ml
2) Pisau
3) Tabung reaksi 25 ml
d. Uji pH
1) Gelas ukur
2) Kertas indikator lakmus
3) Pipet ukur 10 ml
4) Pisau
e. Uji Organoleptik
1) Tusuk gigi
2) Piring kertas
3) Nampan
2. Bahan
a. Bakso
1) Air
2) Bawang putih
3) Daging sapi
4) Garam
5) Lada
6) MSG
7) Tepung kanji
8) Tepung terigu
b. Chicken Nugget
1) Air
2) Bawang putih
3) Daging ayam
4) Garam
5) Lada
6) Minyak goreng
7) MSG
8) Polifosfat
9) Telur
10) Tepung panir
11) Tepung terigu
c. Uji Eber
1) Daging beku
2) Daging refrigerasi
3) Daging segar
4) Larutan Eber
d. Uji pH
1) Aquades
2) Daging beku
3) Daging refrigerasi
4) Daging segar Daging sapi 250
e. Uji Organoleptik gram
1) Bakso
2) Chicken Nugget
Penggilingan
Tepung kanji,
tepung terigu,
lada, bawang Penambahan
3. Cara Kerja putih, garam,
MSG
a. Pembuatan Bakso Pembentukan bulatan
Pendinginan
Bakso
Daging ayam 200 gr
Digiling
Ditiriskan
Chicken nugget
c. Uji Eber Daging (segar,
refrigerasi, beku)
sebanyak 5 gr
Daging (segar,
refrigerasi, beku)
sebanyak 5 gr
Aquades 25 Ditambahkan
mL
E. KESIMPULAN
Dari hasil praktikum acara I 1 Pembuatan daging dan uji kualitas
produk daging dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Metode penyimpanan refrigerasi adalah penyimpanan pada suhu di atas titik
beku daging, daya tahan bahan pangan yang disimpan pada temperatur
refrigerasi. Prinsip utama dari penanganan daging dengan cara penyimpanan
refregerasi yang harus diperhatikan adalah bahwa temperatur penyimpanan
daging harus tercapai secepat mungkin setelah pemotongan ternak ataupun
pengolahan. Pengamatan berat daging selama penyimpanan bertujuan untuk
mengetahui apakah ada perubahan berat selama penyimpanan.
2. Uji eber untuk mengetahui pembusukan pada daging dilakukan dengan
meletakkan daging diatas 5 ml reagen eber (HCL pekat+ alkohol 96%
dengan rasio 1:3) dalam tabung reaksi. Urutan sampel dari yang peling
rusak ke yang sampel surknya sedikit adalah daging refrigerator, daging
beku dan daging segar. Hal tersebut menyimpang dari teori yang seharusnya
paling rusak yaitu daging segar, daging refrigerator, dan daging beku.
Sedangkan pada uji pH prinsip kerjanya adalah sampel dicincang, ditambah
aquades dan diuji dengan menggunakan kertas indikator pH. Sampel yang
memiliki pH tertinggi ke terndah yaitu daging dingin pH 11, daging beku
pH 10, dan daging segar pH 9. Hasil tersebut juga menyimpang teori karena
seharusnya sekakin lama daging maka pHnya semakin menurun.
3. Sedangkan penyimpanan suhu beku tidak menimbulkan peningkatan jumlah
organisme selama proses penyimpanan.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembusukan daging meliputi faktor
intrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrisik terdiri dari peran spesifik ephemeral
spoilage organisme (ESO), mikroba atau hasil dari proses enzimatis, dan
proses kimiawi, sedangkan faktor ekstrinsiknya meliputi perubahan
temperatur, rantai dingin daging (meat chill chain), dan transportasi.
5. Faktor-faktor yang mempegaruhi kualitas furikake yaitu bahan baku yang
digunakan dan proses pemasakan.
DAFTAR PUSTAKA
Antika, Dona Dwi., Rudy Sukamto S., dan A. T. Soelih Estoepangestie. 2013. .
Jurnal Veterinaria medikaVol 6, No. 1 (16-22).
Arief, H S., Y B Pramono dan V P Bintoro. 2012. Pengaruh Edible Coating
Dengan Konsentrasi Berbeda Terhadap Kadar Protein, Daya Ikat Air
dan Aktifitas Air Bakso Sapi Selama Masa Penyimpanan. Animal
Agriculture Journal, Vol. 1, No. 2.
Dengen, Pratiwi. 2015. Perbandingan Uji Pembusukan Dengan Menggunakan
Metode Uji Postma, Uji Eber, Uji H2S dan Pengujian Mikroorganisme
pada Daging Babi Di Pasar Tradisional Sentra Makassar. Skripsi.
Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran, Universitas
Hasanuddin. Makasar.
Ervina, Sakti. 2012. Pembuatan Abon Ikan Lele. Utama Jaya. Surabaya.
Evanuarini, Herly. 2010. Kualitas Chicken Nuggets Dengan Penambahan Putih
Telur. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Vol. 5, No. 2. Hal 17-22.
Goldberg, Lewis R., John A Johnson., Herbert W Eber., Robert Hogan., Michael
C., Ashton., C Robert Cloninger dan Harrison G Gough. 2006. The
International Personality Item pool and The Future of Public-Domain
Personality Measures. Journal of Research in Personality (40).
Prayitno, Agus Hadi., Edi Suryanto dan Zuprizal. 2010. Kualitas Fisik dan
Sensoris Daging Ayam Broiler yang Diberi Pakan dengan Penambahan
Ampas Virgin Coconut Oil (VCO). Vo. 34 (1) : 55-63.
Koswara, Sutrisno. 2009. Teknologi Modifikasi Pati. Ebook pangan.
Pernadi, S.N., S. Mulyani dan A. Hintono. 2012. Kadar Serat, Sifat Organoleptik,
dan Rendemen Nugget Ayam yang Disubsitusi dengan Jamur Tiram
Putih. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. Vol. 1 No. 4
Suminem. 2009. Bumbu Khas Indonesia. Pelangi Utama. Surabaya.
Suprapti, M. Lies., 2003. Membuat Bakso Daging dan Ikan. Kanisius. Yoyakarta.
Suprapti., M.L. 2005. Tepung Tapioka : Pembuatan dan Pemanfaatannya.
Kanisius. Yogyakarta.
Suprapto. 2010. Pengolahan Bakso Daging. Jurnal Teknologi Pangan dan
Agroindustri. Vol. 1, No. 6.
Susanto, Edy. 2014. Standar Penanganan Pasca Panen Daging Segar. Jurnal
Ternak Vol. 05, No. 01 (15-20).
Wannniatie, Veronica., Dian Septinova., Tintin Kurtini dan Nining Purwaningsih
2012. Pengaruh Pemberian Tepung Temulawak dan Kunyit Terhadap
Cooking Loss, Drip loss dan Uji Kebusukan Daging Puyuh Jantan. The
lecture of Dapertements of Animal Husbondry Faculty of Agriculture
Lampung University.
Widyastuti, Eny Sri, Aris Sri Widati, Rery Dwi Hanjariyanto, dan Made Yogik
Avianto. 2010. Kualitas Nuggets Ayam Dengan Penambahan Keju
Gouda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Vol. 5, No. 1. Hal 1-10.