You are on page 1of 11

Amalan di Bulan Rajab

Segala puji bagi Allah Rabb Semesta Alam, shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para
pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah, kita bersyukur
kepada

By Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. 1 July 2009


102 26247 102

Segala puji bagi Allah Rabb Semesta Alam, shalawat dan salam kepada
Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para pengikut beliau
hingga akhir zaman. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Taala
karena pada saat ini kita telah memasuki salah satu bulan haram yaitu
bulan Rajab. Apa saja yang ada di balik bulan Rajab dan apa saja amalan
di dalamnya? Insya Allah dalam artikel yang singkat ini, kita akan
membahasnya. Semoga Allah memberi taufik dan kemudahan untuk
menyajikan pembahasan ini di tengah-tengah pembaca sekalian.

Rajab di Antara Bulan Haram

Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Syaban. Bulan
Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah Taala
berfirman,

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan,
dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus,
maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat
itu. (Qs. At Taubah: 36)
Ibnu Rajab mengatakan, Allah Taala menjelaskan bahwa sejak
penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan
berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang
lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ
muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah
menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan
munculnya hilal.

Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perpuataran dan


munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari
sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab. (Latho-if Al Maarif, 202)

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh,
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan


langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada
empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqodah,
Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang
terletak antara Jumadil (akhir) dan Syaban. (HR. Bukhari no. 3197 dan
Muslim no. 1679)

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqodah; (2)
Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.

Di Balik Bulan Haram

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu


Yala rahimahullah mengatakan, Dinamakan bulan haram karena dua
makna.

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan.


Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram
lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan
tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan
amalan ketaatan. (Lihat Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36)

Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan
ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa
pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, Pada bulan-bulan
haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya. (Latho-if Al Maarif,
214)

Ibnu Abbas mengatakan, Allah mengkhususkan empat bulan tersebut


sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat
pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang
dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak. (Latho-if Al Maarif,
207)

Bulan Haram Mana yang Lebih Utama?

Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan


haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa
yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh
sebagian ulama Syafiiyah. Namun An Nawawi (salah satu ulama besar
Syafiiyah) dan ulama Syafiiyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada
yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram,
sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini
dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa
yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Said bin
Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al
Maarif (hal. 203).

Hukum yang Berkaitan Dengan Bulan Rajab

Hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab amatlah banyak, ada


beberapa hukum yang sudah ada sejak masa Jahiliyah. Para ulama
berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku ketika datang
Islam ataukah tidak. Di antaranya adalah haramnya peperangan ketika
bulan haram (termasuk bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat
apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah dimansukh
(dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum
tersebut sudah dihapus. Ibnu Rajab mengatakan, Tidak diketahui dari
satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-
bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini
menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum
tersebut. (Lathoif Al Maarif, 210)

Begitu juga dengan menyembelih (berkurban). Di zaman Jahiliyah dahulu,


orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10
Rajab, dan dinamakan atiiroh atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada
bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum atiiroh
sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan ulama
berpendapat bahwa atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam. Hal
ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,

Tidak ada lagi faro dan atiiroh. (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no.
1976). Faro adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara
dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, Tidak ada lagi atiiroh dalam Islam.


Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah
biasanya berpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan atiiroh
pada bulan tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan
tersebut sebagai ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga
mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya
ketika itu. Ibnu Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab
sebagai ied.

Atiiroh sering dilakukan berulang setiap tahunnya sehingga menjadi ied


(sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha), padahal ied (perayaan) kaum
muslimin hanyalah Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Dan kita dilarang
membuat ied selain yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Ada sebuah
riwayat,

Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang berpuasa pada seluruh hari


di bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai ied. (HR. Abdur Rozaq,
hanya sampai pada Ibnu Abbas (mauquf). Dikeluarkan pula oleh Ibnu
Majah dan Ath Thobroniy dari Ibnu Abbas secara marfu, yaitu sampai
pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam)

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, Intinya, tidaklah dibolehkan bagi


kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ied selain apa yang
telah dikatakan oleh syariat Islam sebagai ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha
dan hari tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan
ied setiap pekannya adalah pada hari Jumat. Selain hari-hari tadi, jika
dijadikan sebagai ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat
sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bidah). (Latho-if
Al Maarif, 213)

Hukum lain yang berkaitan dengan bulan Rajab adalah shalat dan puasa.

Mengkhususkan Shalat Tertentu dan Shalat Roghoib di bulan


Rajab

Tidak ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak
ada anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut.

Shalat Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat
yang dilakukan di malam Jumat pertama bulan Rajab antara shalat
Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib
(hari kamis pertama bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa
sunnah. Jumlah rakaat shalat Roghoib adalah 12 rakaat. Di setiap rakaat
dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al
Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan
untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa
sallam sebanyak 70 kali.

Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits yang menjelaskan tata


cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak buih di lautan
akan diampuni dan bisa memberi syafaat untuk 700 kerabatnya. Namun
hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan keutamaannya
adalah hadits maudhu (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini
dalam Al Mawdhuaat (kitab hadits-hadits palsu).

Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan, Sungguh, orang yang telah


membuat bidah dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi
motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib dengan
sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu
panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk makan banyak.
Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu dilanjutkan
dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib,
bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan sujudnya. Sungguh
orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku melihat mereka di
bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat tarawih, kok
tidak bersemangat seperti melaksanakan shalat ini?! Namun shalat ini di
kalangan awam begitu urgent. Sampai-sampai orang yang biasa tidak
hadir shalat Jamaah pun ikut melaksanakannya. (Al Mawdhuaat li Ibnil
Jauziy, 2/125-126)

Shalat Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di Baitul Maqdis, setelah 480
Hijriyah dan tidak ada seorang pun yang pernah melakukan shalat ini
sebelumnya. (Al Bida Al Hawliyah, 242)

Ath Thurthusi mengatakan, Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan


bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini
juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu anhum, para
tabiin, dan salafush sholeh semoga rahmat Allah pada mereka-. (Al
Hawadits wal Bida, hal. 122. Dinukil dari Al Bida Al Hawliyah, 242)

Mengkhususkan Berpuasa di Bulan Rajab


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, Adapun mengkhususkan bulan
Rajab dan Syaban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beritikaf
pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu
alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah
dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam
hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa
Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Syaban.
Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu
bulan yang lebih banyak dari bulan Syaban, jika hal ini dibandingkan
dengan bulan Ramadhan.

Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu


semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dhoif) bahkan
maudhu (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini
sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya
adalah hadits yang maudhu (palsu) dan dusta.(Majmu Al Fatawa,
25/290-291)

Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang


berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama
dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah
dicontohkan oleh Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, Umar pernah
memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,

Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan


bulan Ramadhan. (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam Majmu Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya
shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh
Syaikh Al Albani dalam Irwaul Gholil)

Adapun perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk berpuasa di


bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqodah, Dzulhijjah, dan
Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan
tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan
Rajab saja. (Lihat Majmu Al Fatawa, 25/291)

Imam Ahmad mengatakan, Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada


bulan Rajab) satu atau dua hari. Imam Asy Syafii mengatakan, Aku
tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu
bulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan. Beliau berdalil
dengan hadits Aisyah yaitu Aisyah tidak pernah melihat
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada
bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa
sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Maarif, 215)

Ringkasnya, berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi


tiga point berikut:

1. Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti


bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya
sama seperti puasa Ramadhan.
2. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang
dikhususkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana
sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib).
3. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan
pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al
Hawadits wal Bida, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida Al Hawliyah,
235-236)

Perayaan Isro Miroj

Sebelum kita menilai apakah merayakan Isro Miroj ada tuntunan dalam
agama ini ataukah tidak, perlu kita tinjau terlebih dahulu, apakah Isro
Miroj betul terjadi pada bulan Rajab?

Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat kapan terjadinya


Isro Miroj. Ada ulama yang mengatakan pada bulan Rajab. Ada pula yang
mengatakan pada bulan Ramadhan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, Tidak ada dalil yang tegas
yang menyatakan terjadinya Isro Miroj pada bulan tertentu atau sepuluh
hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya
para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa
menegaskan waktu pastinya. (Zaadul Maad, 1/54)

Ibnu Rajab mengatakan, Telah diriwayatkan bahwa di bulan Rajab ada


kejadian-kejadian yang luar biasa. Namun sebenarnya riwayat tentang hal
tersebut tidak ada satu pun yang shahih. Ada riwayat yang menyebutkan
bahwa beliau dilahirkan pada awal malam bulan tersebut. Ada pula yang
menyatakan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab. Ada pula yang
mengatakan bahwa itu terjadi pada 25 Rajab. Namun itu semua tidaklah
shahih.

Abu Syamah mengatakan, Sebagian orang menceritakan bahwa Isro


Miroj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Tadil (pengkritik
perowi hadits) menyatakan bahwa klaim tersebut adalah suatu
kedustaan. (Al Bida Al Hawliyah, 274)

Setelah kita mengetahui bahwa penetapan Isro Miroj sendiri masih


diperselisihkan, lalu bagaimanakah hukum merayakannya?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, Tidak dikenal dari seorang


dari ulama kaum muslimin yang menjadikan malam Isro memiliki
keutamaan dari malam lainnya, lebih-lebih dari malam Lailatul Qadr.
Begitu pula para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik tidak pernah mengkhususkan malam Isro untuk perayaan-
perayaan tertentu dan mereka pun tidak menyebutkannya. Oleh karena
itu, tidak diketahui tanggal pasti dari malam Isro tersebut. (Zaadul
Maad, 1/54)

Begitu pula Syaikhul Islam mengatakan, Adapun melaksanakan perayaan


tertentu selain dari hari raya yang disyariatkan (yaitu idul fithri dan idul
adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabiul
Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada
sebagian malam Rojab (perayaan Isro Miroj), hari ke-8 Dzulhijjah, awal
Jumat dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan
orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan Idul Abror (ketupat lebaran)-;
ini semua adalah bidah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat
yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah
melaksanakannya. (Majmu Fatawa, 25/298)

Ibnul Haaj mengatakan, Di antara ajaran yang tidak ada tuntunan yang
diada-adakan di bulan Rajab adalah perayaan malam Isro Miroj pada
tanggal 27 Rajab. (Al Bida Al Hawliyah, 275)

Catatan penting:

Banyak tersebar di tengah-tengah kaum muslimin sebuah riwayat dari


Anas bin Malik. Beliau mengatakan, Ketika tiba bulan Rajab,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa mengucapkan,

Allahumma baarik lanaa fii Rojab wa Syaban wa ballignaa Romadhon [Ya


Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Syaban dan perjumpakanlah
kami dengan bulan Ramadhan].

Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Suniy


dalam Amalul Yaum wal Lailah. Namun perlu diketahui bahwa hadits ini
adalah hadits yang lemah (hadits dhoif) karena di dalamnya ada
perowi yang bernama Zaidah bin Abi Ar Ruqod. Zaidah adalah munkarul
hadits (banyak keliru dalam meriwayatkan hadits) sehingga hadits ini
termasuk hadits dhoif. Hadits ini dikatakan dhoif (lemah) oleh Ibnu Rajab
dalam Lathoif Maarif (218), Syaikh Al Albani dalam tahqiq Misykatul
Mashobih (1369), dan Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad
Imam Ahmad.

Demikian pembahasan kami mengenai amalan-amalan di bulan Rajab dan


beberapa amalan yang keliru yang dilakukan di bulan tersebut. Semoga
Allah senantiasa memberi taufik dan hidayah kepada kaum muslimin.
Semoga Allah menunjuki kita ke jalan kebenaran.
Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihaat. Allahumma sholli
ala Nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shohbihi wa sallim.

Selesai disusun di Wisma MTI, 5 Rajab 1430 H

***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/853-amalan-di-bulan-rajab.html

You might also like