You are on page 1of 128

Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol.

20 Nomor 3, September 2012

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

AMANNA GAPPA

Diterbitkan oleh:
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
2012

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

Amanna Gappa adalah


nama kitab hukum terkenal
yang disusun Matoa (pemimpin)
Wajo bernama Amanna Gappa
tahun 1679 berisikan hukum
laut, pelayaran dan hukum
perdata sebagai pedoman
di kawasan nusantara.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

JURNAL ILMU HUKUM

AMANNA GAPPA

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

JURNAL ILMU HUKUM


Amanna Gappa
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
ISSN: 0853-1609
Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Nomor 4212/H4.7/KP.23/2011 tentang Pengelola Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Penanggung Jawab : Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si., DFM


Ketua Pengarah : Prof. Dr. M. Guntur Hamzah, S.H., M.H
Wakil Ketua Pengarah : Prof. Dr. Musakkir, S.H., M.H
Penyunting Pelaksana : Dr. Zulkifli Aspan, S.H., M.H
Sekretaris Penyunting : Amir Ilyas, S.H., M.H
Dewan Penyunting : Prof. Dr. Muhammad Ashri, S.H., M.H
: Prof. Dr. Faisal Abdullah, S.H., M.H
: Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H
: Dr. Anshori Ilyas, S.H., M.H

Penyunting Penyelia (Ahli) : Prof. Dr. Abdul Razak, S.H., M.H


: Prof. Dr. Alma Manuputty, S.H., M.H
: Prof. Dr. Irwansyah, S.H., M.H
: Dr. Sudirman Saad, S.H., M.H

Bidang Pengembangan dan Informasi : Romi Librayanto, S.H., M.H


: Winner Sitorus, S.H., M.H., LLM
: Aulia Rifai, S.H., M.H
: Muhammad Aswan, S.H., M.Kn
: Tri Fenny Widayanti, S.H., M.H

Tata Usaha dan Distribusi : Haeranah, S.H., M.H


: Muhammad Nursalam, S.H
: Kaisaruddin Kamaruddin, S.H
: Ismail Alrif, S.H

Tata Letak/Layout : M. Zulfan Hakim, S.H., M.H


: Muhammad Ilham Arisaputra, S.H., M.Kn
: Ahsan Yunus, S.H

Alamat Redaksi : Kantor Fakultas Hukum Tamalanrea


Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10, Tamalanrea,
Makassar, 90245. Telp/Fax: 0411-587219; 081342611688
Website : jurnalamannagappa.com
E-mail : admin@jurnalamannagappa.com

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang


Dilarang keras mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
Izin tertulis dari penerbit

All rights reserved


Confidential information Not to be without written permission from publisher

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 v

PERSYARATAN NASKAH DAFTAR ISI


Jurnal ILMU HUKUM Amanna Gappa
Terbit Triwulan
Jurnal ILMU HUKUM Amanna Gappa
1. Naskah bersifat ilmiah dan sistematis Vol. 20 Nomor 3 September 2012
struktur naskah: Pendahuluan,
Pembahasan dan Analisis, serta KEBIJAKAN KRIMINALISASI
Penutup, berupa kajian terhadap TERHADAP PORNOGRAFI ANAK
masalah-masalah yang berkembang DALAM PERATURAN PERUNDANG-
(konseptual), relevan dengan bidang-
UNDANGAN
bidang ilmu hukum, gagasan-gagasan
orisinil, hasil penelitian/survei, resensi Hijrah Adhyanti.............................................. 259-272
buku atau bentuk tulisan lainnya
TANGGUNG GUGAT PEMERINTAH
yang dipandang dapat memberikan
kontribusi bagi pengembangan ilmu TERHADAP KECELAKAAN PESAWAT
hukum. UDARA DI INDONESIA
2. Naskah diketik dengan spasi ganda Sudiarto........................................................... 273-287
(1,15 spasi), font Times New Roman
(12) pada ukuran kertas A4 dengan HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT
panjang naskah antara 19-20 halaman. DALAM PENGELOAAN SUMBERDAYA
Selain print-out, naskah juga disertai
ALAM
file dalam CD-RW, program MS
Word. Farida Patittingi.............................................. 289-300
3. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia PENYELESAIAN PELANGGARAN
baku atau dalam bahasa Inggris yang
memenuhi kaedah-kaedah penulisan
HAM BERAT MASA LALU MELALUI
yang baik dan benar. MEKANISME KOMISI KEBENARAN
4. Setiap kutipan harus dinyatakan DAN REKONSILIASI
sumbernya secara tegas dengan A. Muhammad Fajar Akbar.......................... 301-321
menggunakan teknik pengutipan
Footnote. EKSISTENSI YAYASAN DAN
5. Naskah harus dilengkapi dengan TANGGUNG JAWAB PENGURUS
Abstrak dalam bahasa Indonesia dan BADAN HUKUM YAYASAN
bahasa Inggris. Abstrak maksimal 60
kata, disertai kata kunci. Rajab Lestaluhu............................................. 323-331
6. Naskah dilengkapi dengan Daftar PERSPEKTIF HUKUM REFLEKSIF
Pustaka, terdiri dari: Nama Pengarang,
TERHADAP KONSEP RESTORATIVE
Tahun Terbit, Judul, Tempat/Kota
Terbit, dan Nama Penerbit. JUSTICE DALAM PEMBAHARUAN
7. Melampirkan Curriculum Vitae HUKUM PIDANA
(termasuk alamat e-mail) penulis. Sukardi............................................................ 333-341
8. Penyunting dapat melakukan
penyuntingan pada setiap naskah KONSEP KEARIFAN LOKAL
sebelum dimuat tanpa mengubah MASYARAKAT ADAT SEBAGAI SARANA
substansi naskah. PENGUATAN AKSES TERHADAP
9. Karya yang dikarenakan suatu hal HUKUM DAN KEADILAN
dan/atau tidak memenuhi persyaratan
untuk dimuat, maka naskah tersebut
Mushawwir Arsyad......................................... 343-351
dapat diambil kembali melalui PENDEKATAN HUKUM ISLAM
pengelola.
TERHADAP BUDAYA LIPAS SEBAGAI
Setiap naskah dapat diantar langsung atau
dikirim via e-mail ke: PENGHALANG MEWARIS
Alamat Redaksi: DI KABUPATEN MAJENE
Dapur Jurnal. Lt. 1 Fakultas Hukum Ika Novitasari.................................................. 353-367
Universitas Hasanuddin. Jln. Perintis
Kemerdekaan KM. 10, Tamalanrea, RISALAH RAPAT UMUM PEMEGANG
Makassar, 90245. Telp/Fax: 0411- SAHAM PERSEROAN TERBATAS
587219; 081342611688.
DALAM PERSPEKTIF CYBER NOTARY
E-mail: admin@jurnalamannagappa.com
Website: jurnalamannagappa.com Rakhmat Mushawwir Rasyidi....................... 369-376

AMANNA GAPPA
vi Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

DARI REDAKSI

Salam Hormat,

Puja dan puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah swt, atas segala limpahan
rahmat dan nikmat-Nya, sehingga Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA kembali hadir di
hadapan para pembaca.

Pada edisi kali ini, redaksi memuat 9 (sembilan) artikel dengan pendekatan atas
permasalahan sesuai bidang masing-masing penulis. Salah satunya, tulisan oleh Prof. Dr.
Farida Patittingi, S.H., M.Hum., Guru Besar Fak. Hukum Universitas Hasanuddin, yang
berjudul, Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengeloaan Sumberdaya Alam. Selain
itu, redaksi juga memuat salah satu tulisan di bidang Hukum Penerbangan, yang berjudul
Tanggung Gugat Pemerintah Terhadap Kecelakaan Pesawat Udara di Indonesia, yang
ditulis oleh Dr. Sudiarto, S.H., M.Hum, dari Fakultas Hukum Universitas Mataram.

Akhir kata, kehadiran jurnal ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Olehnya
itu, segala masukan, kritik dan saran konstruktif dari segenap pembaca sangat diharapkan
untuk mengisi kekurangan yang dijumpai dalam edisi kali ini.

Selamat Membaca.

Tim Penyunting

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

KEBIJAKAN KRIMINALISASI
TERHADAP PORNOGRAFI ANAK DALAM
PERUNDANG-UNDANGAN
Oleh:
Hijrah Adhyanti
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
E-mail: hijrah.adhyanti@yahoo.com

Abstract: Criminalization policy of the child pornography in the current legislation is regulated
in Indonesian Penal Code, Child Protection Law, and Pornography Act. Considering that
Indonesia has ratified the Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the
Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography, Indonesia obliged to harmonize
its legislation with this protocol. Indonesia must reform its legislation in the future. Based on
comparison of the several legislation among other countries, the reformation are specifically
establish the cild pornography act or reformulate the articles of the current legislation by
detailly defining the terms related to child pornography and specified the offences of child
pornography.
Keywords: Criminalization Policy, Child Pornography, Legislation

Abstrak: Kebijakan kriminalisasi mengenai pornografi anak diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang
Pornografi. Mengingat bahwa Indonesia telah meratifikasi Protokol Opsional Konvensi
Hak-hak Anak Dalam Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak, Indonesia
memiliki kewajiban mengharmonisasikan peraturan perundang-undangannya dengan
protokol tersebut. Indonesia harus melakukan pembaharuan peraturan peundang-
undangannya di masa mendatang. Berdasarkan kajian perbandingan dengan beberapa
peraturan perundang-undangan negara lain, pembaharuan dilakukan dengan membentuk
peraturan perundang-undangan khusus mengenai pornografi anak atau menyempurnakan
formulasi perumusan tindak pidana pornografi anak yang ada dalam peraturan perundang-
undangan saat ini dengan merinci istilah-istilah yang berkaitan dengan tindak pidana
pornografi anak dan jenis-jenis tindak pidana pornografi anak.
Kata kunci: Kebijakan Kriminalisasi, Pornografi Anak, Undang-Undang

PENDAHULUAN
Adalah suatu kenyataan bahwa manusia selain mahluk biologis, juga merupakan mahluk
sosial. Manusia selalu terdorong untuk melakukan hubungan-hubungan sosial dengan
sesamanya. Dari hubungan-hubungan (interaksi sosial) tersebut, terbentuk suatu sistem
sosial di mana interaksi tumbuh dan berkembang di atas dasar standar penilaian umum yang
disepakati bersama di atara mereka. Standar penilaian umum tersebut adalah yang dikenal
sebagai norma-norma sosial.1
Norma adalah sarana yang dipakai oleh masyarakatnya untuk menertibkan, menuntun
1
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, (Bandung: Alumni, 2004),
hal. 3

AMANNA GAPPA
260 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

dan mengarahkan tingkah laku anggota masyarakat dalam hubungannya satu sama lain. Untuk
bisa menjalankan fungsinya yang demikian itu, barangtentu harus mempunyai kekuatan
yang bersifat memaksa. Paksaan ini tertuju kepada para anggota masyarakat dengan tujuan
untuk mematuhinya.2 Norma atau kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang mengatur kehidupan
manusia dalam masyarakat bermacam-macam ragamnya dan di antaranya merupakan
salah satu kaidah adalah norma kesopanan. Norma-norma kesopanan berpijak pada tujuan
menjaga keseimbangan batin dalam hal rasa kesopanan bagi setiap manusia dalam pergaulan
kehidupan masyarakat.3
Nilai-nilai kesopanan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat yang mencerminkan
sifat dan karakter suatu lingkungan masyarakat bahkan suatu bangsa. Oleh karena itu, untuk
menjamin terjaganya nilainilai kesopanan, maka negara kemudian mengadopsi nilai-nilai
tersebut dalam norma-norma hukum. Nilai-nilai moral dan kesusilaan yang dipatuhi dan
dipertahankan dapat membuat rasa damai dan tenteram batin setiap individu dan masyarakat.
Penyerangan terhadap nilai-nilai kesusilaan oleh suatu perbuatan berarti menyerang rasa
kedamaian dan ketenteraman kehidupan masyarakat keseluruhannya. Oleh karena itu, negara
ikut campur dengan memasukkan nilai-nilai moral kesusilaan ke dalam norma hukum agar
keberlakuannya dapat dipaksakan.
Sebagaimana diketahui, norma hukum adalah alat atau sarana untuk mengatur
dan menjaga ketertiban guna mencapai suatu masyarakat yang berkeadilan dalam
menyelenggarakan kesejahteraan sosial yang berupa peraturan-peraturan yang bersifat
memaksa dan memberikan sanksi bagi siapa yang melanggarnya, baik itu untuk mengatur
masyarakat ataupun aparat pemerintah sebagai penguasa.4
Hukum di Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai sarana keamanan dan ketertiban
masyarakat serta stabilitas nasional, tetapi juga sebagai sarana pembangunan masyarakat.
Hukum merupakan sarana transformasi masyarakat menuju struktur, organisasi dan nilai-
nilai kehidupan berbangsa dan bernegara.5 Hukum setidaknya mempunyai 3 (tiga) peranan
utama dalam masyarakat, yakni pertama sebagai sarana pengendalian sosial; kedua sebagai
sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial; ketiga sebagai sarana untuk menciptakan
keadaan tertentu.6
Utrecht7 menyatakan bahwa hukum bertugas untuk menjamin adanya kepastian hukum
2
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 66
3
Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 1
4
T. Saiful Bahri, Hessel Nogi S. Tangkilan dan Mira Subandini, Hukum dan Kebijakan Publik (Yogya-
karta YPAPI, 2004), hal.15
5
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Alumni, Cet.
1, 1994), hal. 174
6
Teguh Prasetya dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana: Kajian kebijakan Kriminalisasi
dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hal. 7
7
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur dan direvisi oleh Moh. Saleh Djindang, (Jakarta:
Sinar Harapan, 1983), hal. 21

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 261

(rechtzekerheid) dalam pergaulan manusia. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain, yaitu
harus menjamin keadilan serta hukum tetap berguna. Dalam kedua tugas tersebut tersimpul
pula tugas ketiga, yaitu hukum bertugas polisionil (politionele taak van het recht). Hukum
menjaga agar dalam masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri. Sedangkan Mochtar
Kusumaatmadja8 merumuskan bahwa tujuan pokok dan pertama dalam hukum adalah
ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu
masyarakat manusia yang teratur.
Di samping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang
berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya. Untuk mencapai
ketertiban dalam masyarakat ini, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia
dalam masyarakat. Hukum adalah sebuah entitas yang sangat kompleks, meliputi kenyataan
kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak aspek, dimensi dan fase.9 Hukum
sebagai genus, memiliki beberapa species, salah satunya adalah hukum pidana.
Hukum pidana menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan ancaman pidana
bagi yang melanggar larangan tersebut. Berkaitan dengan nilai-nilai moral, kesusilaan
atau kesopanan, maka salah satu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana karena telah
menyerang nilai-nilai tersebut adalah tindak pidana pornografi. Tindak pidana pornografi
merupakan tindak pidana yang mengandung segala perbuatan yang berhubungan dengan
pornografi yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
(UU Pornografi) dan diancam dengan pidana tertentu terhadap barangsiapa yang melanggar
larangan tersebut.10
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tindak pidana
pornografi juga mengalami perkembangan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Tindak Pidana pornografi tidak hanya melibatkan orang dewasa, melainkan juga anak-anak.
Contohnya sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Kutai Kertanegara, beredar 3 (tiga)
rekaman video yang memuat pornografi yang dilakukan sebagian besar oleh siswa Sekolah
Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Umum yang secara hukum dikategorikan sebagai
anak-anak.11
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyadari bahwa pornografi yang
melibatkan anak terutama melalui media internet dan sarana teknologi lainnya semakin
meningkat. Oleh karena itu, melalui Resolusi Nomor A/RES/54/263 tanggal 25 Mei 2000,
ditetapkan Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of
8
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung: Alumni, 2002), hal.
3
9
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2004), hal. 1
10
Adami Chazawi, Tindak Pidana Pornografi, (Surabaya: PNM, 2009), hal. 3
11
Dikutip pada laman website: http ://www.fajar.co.id/read-20121020154006-heboh-tiga-video-porno-
pelajar.

AMANNA GAPPA
262 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

Children, Child Prostitution and Child Pornography. Ketentuan ini kemudian diratifikasi
oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang
Pengesahan Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of
Children, Child Prostitution and Child Pornography.

PEMBAHASAN DAN ANALISIS


Adami Chazawi12, sependapat dengan Wirjono Projodikoro untuk menggunakan istilah
tindak pidana kesopanan untuk perbuatan-perbuatan yang melanggar norma pergaulan
masyarakat dan memasukkan unsur kesusilaan sebagai bagian dari kesopanan. Menurutnya,
kata kesusilaan, telah dipahami setiap orang sebagai suatu pengertian adab sopan santun
dalam hal yang berhubungan dengan seksual atau dengan nafsu birahi.13 Dengan demikian,
kesopanan dibagi dalam 2 bidang, yaitu kesopanan di bidang kesusilaan (zedelijkeheid) dan
kesopanan di luar bidang kesusilaan (zeden).14

Kebijakan Kriminalisasi Pornografi Anak dalam Perundang-undangan Saat ini


Tindak pidana pornografi anak merupakan salah satu tindak pidana kesopanan di
bidang kesusilaan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana ini
tidak diatur secara khusus. KUHP hanya mengatur mengenai tindak pidana menawarkan atau
memperlihatkan pornografi terhadap anak/orang yang belum dewasa, tetapi tidak mengatur
ketentuan mengenai anak/orang yang belum dewasa yang dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan
maupun sebagai objek pornografi. Tindak pidana menawarkan, memberikan maupun
memperlihatkan pornografi terhadap anak diatur dalam Pasal 283 KUHP yang rumusannya
adalah sebagai berikut :
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling
banyak sembilan ribu rupiah, barangsiapa menawarkan, memberikan untuk terus atau
sementara waktu, menyerahkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan
maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum
dewasa, dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum tujuh
belas tahun, jika tulisan, gambaran atau benda atau alat itu telah diketahuinya.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa membacakan isi tulisan yang melanggar
kesusilaan di muka orang yang belum dewasa sebagaimana dimaksud dalam ayat yang
lalu, jika isi tadi telah diketahuinya.
(3) Diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana kurungan paling
lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah, barangsiapa
12
Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, hal. 1 dan 3. Bandingkan dengan pendapat
Roeslan Saleh yang menyatakan bahwa pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada pengertian kesusi-
laan dalam bidang seksual, tetapi juga hal-hal lain yang termasuk kepatutan bertingkah laku dalam masyarakat
(Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Hukum Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002,
hal. 266). Dengan demikian, pengertian kesusilaan sama dengan pengertian kesopanan menurut Adami Chazawi
dan Wirjono Projodikoro.
13
Ibid, hal. 2
14
Ibid, hal. 4

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 263

menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan


atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaaan, maupun
alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat pertama, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga
bahwa tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan atau alat itu adalah alat
untuk mencegah atau mengugurkan kehamilan.
Selain ketentuan tersebut di atas, KUHP juga mengatur mengenai tindak pidana
menawarkan, memberikan maupun memperlihatkan pornografi yang dapat membangkitkan
nafsu berahi para remaja. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 533 KUHP yang menentukan
sebagai berikut :
Diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak
tiga ribu rupiah :
1. Barangsiapa di tempat untuk lalu lintas umum dengan terang-terangan
mempertunjukkan atau menempelkan tulisan dengan judul, kulit atau isis yang dibuat
terbaca, maupun gambar atau benda yang mempu membangkitkan nafsu berahi para
remaja.
2. Barangsiapa di tempat untuk lalu lintas jum dengan terang-terangan memperdengarkan
isi tulisan yang mampu membangkitkan nafsu berahi para remaja.
3. Barangsiapa secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan suatu tulisan,
gambar atau barang yang dapat merangsang nafsu berahi para remaja maupun secara
terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa
didapat, tulisan atau gambar yang dapat membangkitkan nafsu berahi para remaja.
4. Barangsiapa menawarkan, memberikan untuk terus atau sementara waktu,
menyerahkan atau memperlihatkan gambar atau benda yang demikian, pada seseorang
belum dewasa dan di bawah umur tujuh belas tahun ;
5. Barangsiapa memperdengarkan isi tulisan yang demikian di muka seorang yang
belum dewasa dan di bawah umur tujuh belas tahun.
Secara historis, rumusan Pasal 283 KUHP ini adalah sama dengan rumusan Pasal 240a
WvS. Mengingat bahwa kedua pasal telah berusia lebih dari setengah abad, maka perumusan
tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan kemajuan masyarakat saat ini.
Mengenai perlindungan terhadap anak, Pemerintah Republik Indonesia juga telah
menetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU
Perlindungan Anak). Dalam undang-undang ini tidak secara khusus diatur mengenai
perlindungan terhadap anak terhadap tindak pidana pornografi anak. Dalam Pasal 88 undang-
undang ini hanya diatur mengenai tindak pidana eksploitasi anak secara ekonomi atau seksual.
Secara lengkap Pasal 88 UU Perlindungan Anak menentukan sebagai berikut :
Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus
juta rupiah).

AMANNA GAPPA
264 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

UU Pornografi yang ditetapkan pada tanggal 26 November 2008 memang lebih rinci
dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan dibatasi. Pasal 4 sampai dengan
Pasal 12 UU Pornografi menentukan perbuatan-perbuatan yang dibatasi dan dilarang tersebut
sebagai berikut :
1. Memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan,
menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan
atau menyediakan pornografi (Pasal 4 ayat [1]);
2. Menyediakan jasa pornografi (pasal 4 ayat [2]);
3. Meminjamkan atau mengunduh pornografi (Pasal 5);
4. Memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk
pornografi (Pasal 6);
5. Mendanai atau memfasilitasi perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi (Pasal 7);
6. Dengan sengaja atau persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung
muatan pornografi (Pasal 8);
7. Menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi
(Pasal 9);
8. Mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang
menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual atau yang bermuatan pornografi
lainnya (Pasal 10);
9. Melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek tindak pidana pornografi (Pasal
11); dan
10. Mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau
memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi (Pasal 12).
Berdasarkan uraian di atas, maka ketentuan UU Pornografi yang memuat aturan
mengenai larangan pornografi anak adalah Pasal 11 dan Pasal 12. Pasal 11 UU Pornografi
menentukan bahwa, Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai
objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 , Pasal 8, Pasal 9 atau Pasal
10. Sementara Pasal 12 UU Pornografi mengatur bahwa, Setiap orang dilarang mengajak,
membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalah gunakan kekuasaan atau memaksa anak
dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.
Ketentuan pidana atas pelanggaran larangan tersebut diatur dalam Pasal 37 dan Pasal
38 UU Pornografi. Pasal 37 UU Pornografi menentukan bahwa :
Setiap otang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana
dimaksuda dalam pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35 dan Pasal 36
ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 265

Selanjutnya, Pasal 38 UU Pornografi menentukan bahwa :


Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan,
menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau
jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda
paling sedikit Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah).
Pasal 37 UU Pornografi bukan rumusan tindak pidana pornografi yang berdiri sendiri,
melainkan ketentuan mengenai alasan pemberatan pidana pada semua tindak pidana
pornografi. Unsur anak merupakan alasan pemberatan tindak pidana pornografi apabila anak
dilibatkan dalam kegiatan tindak pidana pornografi dan/atau sebagai objek kegiatan tindak
pidana pornografi. Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan Pasal 38 UU Pornografi yang
merupakan tindak pidana tersendiri.15

Kebijakan Kriminalisasi Pornografi Anak dalam Perundang-undangan Di Masa


Mendatang.
Mengingat bahwa Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on
the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (CRC on Sale of Children,
Child Prostitution and Child Pornography) telah diratifikasi oleh pemerintah Republik
Indonesia, maka telah menjadi kewajiban Pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan
harmonisasi ketentuan konvensi ini dengan peraturan perundang-undangannya di masa
mendatang. Terlebih, kebijakan kriminalisasi juga tidak dapat dilepaskan dari rambu-rambu
kebijakan nasional dan kebijakan global/internasional serta pendekatan yang berorientasi
pada kebijakan (policy oriented approach) dan pendekatan nilai (value oriented approach)16.
Article 2 CRC on Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography
mendefinisikan pornografi anak sebagai suatu penampilan anak,dengan sarana apapun, yang
melibatkan secara nyata atau seolah-olah nyata suatu aktivitas seksual atausuatu penampilan
organ-organ seksual anak terutama untuk tujuan seksual (child pornography means any
representation, by whatever means, of a child enggaged in real or simulated explicit sexual
activities or any representation of the sexual parts of a child for primarly sexual purposes).
Selanjutnya Article 3 CRC on Sale of Children, Child Prostitution and Child
Pornography mengatur sebagai berikut:
(1) Each party shall ensure that, as a minimum, the following acts and activities are
fully covered under its criminal or penal law, wether such offences are committed
domestically or transnationally or an individual or organized basis :

15
Adami Chazawi, Tindak Pidana Pornografi, hal. 225
16
Barda Nawawi Arief, Kriminalisasi Kebebasan Pribadi dan Pornografi/Pornoaksi Dalam Perspektif Ke-
bijakan Hukum Pidana, makalah Seminar Kriminalisasi Kebebasan Pribadi dan Pornografi/Pornoaksi, Graha
Santika-Semarang, 20 Desember 2005, hal.2

AMANNA GAPPA
266 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

(a) In the context of sale of childrens as defined in article 2 :


(i) Offering, delivering or accepting, by whatever means, a child for the
purpose of :
a. Sexual exploitation of the child ;
b. Transfer of organs of the child for profit ;
c. Engagement of the child in forced labour ;
(ii) Improperly indusing consent, as an intermediary, for the adoption
of a child in violation of applicable international legal instruments of
adoption.
(b) Offering, obtaining procuring or providing a child for child prostitution
(c) Producing, distributing, disseminating, importing, exporting, offering.
Sellling or possesing for the above purposes child pornography as defined
in article 2.
(2) Subject to the provisions of the national law of a state party, the same shall apply
to an attemp to commit any of the said acts and nto complicity or participation
on any of the said acts.
(3) Each state party shall make such offenses punishable by appropriate penalties
that take into account their grave nature.
(4) Subject to the provisions of its national law, each party shall take masures, where
appropriate to establish the liability of legal persons for offences established
in paragraph 1 of the present article. Subject to the legal principles of the state
party, such liability of legal persons may be criminal, civil or administrative.
(5) State parties shal take all appropriate legal and administrative measure to
ensure that all persons involved in the adoption of the child act in conformity
with applicable international legal instruments.
Selain mewajibkan pemerintah negara yang meratifikasi protokol ini untuk
mengkriminalisasi dan menghukum perbuatan-perbuatan terkait dengan pornografi anak,
protokol ini juga mewajibkan pemerintah untuk menyediakan aturan serta sarana pendukung
lainnya bagi anak yang terlibat dalam pornografi anak. Protokol ini juga menekankan pada
kerjasama internasional dan edukasi publik.17
Untuk mengetahui kebijakan kriminalisasi pornografi anak di negara-negara lain,
maka berikut ini diuraikan beberapa ketentuan mengenai tindak pidana pornografi anak di
beberapa peraturan perundang-undangan negara lain sebagai perbandingan.
a. KUHP Belanda.
Kejahatan terhadap kesusilaan diatur dalam 240 dan 240a Sr. Article 240 ini pada
mulanya pararel dengan Pasal 282 KUHP Indonesia, tetapi kemudian dirumuskan ulang
pada tahun 1986. Pada intinya ketentuan ini melarang seseorang untuk mempublikasikan
atau menawarkan gambar atau benda yang melanggar kesusilaan di jalan umum atau
mengirimkan gambar atau benda tersebut kepada seseorang yang tidak memintanya.
17
Dikutip pada laman website: (http://www.unicef.org/crc/index_30204.html)

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 267

Pengadilan yang akan menentukan apakah suatu gambar atau benda tersebut melanggar
kesusilaan, tidak perlu pembuktian dengan survei secara sosiologis. Pengecualian gambar
atau benda yang melanggar kesusilaan tersebut adalah jika gambar atau benda tersebut
memuat nilai-nilai artistik atau ilmu pengetahuan. Sementara ketentuan Article 240a Sr
pada dasarnya pararel dengan Pasal 283 KUHP, tetapi telah dirumuskan ulang pada tahun
1986 dan 2001. Rumusan ketentuan ini sama dengan Article 240 Sr, namun penekanan
pasal ini adalah pada objek/pihak yang disupplai atau pihak yang ditawarkan gambar
atau benda yang melanggar kesusilaan, yaitu ditujukan pada orang yang belum dewasa
(di bawah enam belas tahun).
KUHP Belanda juga mengkriminalisasikan pornografi anak (child pornography).
Delik ini diatur dalam Article 240b Sr. Ketentuan ini dirumuskan pada tahun 1986 dan
telah dirumuskan ulang sesuai dengan Undang-undang Kejahatan Komputer (1993). Pada
tahun 1996, sanksi maksimum diperberat. Pada tahun 2002, batasan umur sebagaimana
tersebut pada paragraph pertama dinaikkan menjadi delapan belas tahun, dan dengan
adanya fabrikasi pornografi secara digital, ditambahkan kalimat or is seemingly involved
(atau seolah-olah dilibatkan).
Rumusan ketentuan di atas pada awalnya ditetapkan untuk melindungi anak-anak/
remaja dari eksploitasi untuk produksi barang-barang pornografi. Sejak tahun 2002,
pengaturan ini juga melarang produksi atau penyebaran gambar-gambar seksual terhadap
anak-anak/remaja. Kalimat memiliki (possesses) secara tidak langsung menyatakan
bahwa karakter pornografi pada suatu benda adalah telah diketahui atau patut diduga.
Dengan demikian, seseorang yang men-download gambar-gambar erotis dalam komputer
pribadinya secara hukum disyaratkan untuk mengecek gambar-gambar tersebut tidak
memuat pornografi anak.18 Ketentuan selengkapnya adalah sebagai berikut :
Article 240b
1. A term of imprisonment of not more than four years or a fine of the fifth category shall be
imposed upon a person who either disseminates, publicly displays, manufactures, imports,
conveys in transit, exports or possesses an image-or data carrier containing an image-of
a sexual act in which a person who clearly has not reached the age of eighteen is involved
or is seemingly involved.
2. A term of imprisonment of not more than six years or a fine of the fifth category shall be
imposed upon a person who commits any of the crimes in paragraph 1 by profession or by
custom.

b. KUHP Queensland, Australia.


KUHP Queensland diamandemen pada tanggal 18 Maret 2005 guna menambahkan
ketentuan mengenai tindak pidana pornografi anak. Ketentuan mengenai pornografi anak
18
Nico Keijzer, Press Offences Under the Law of the Netherlands, makalah pada Refreshing Course
On the Same Root and Different Development, Surabaya, 11 April 2006, hal. 5-15

AMANNA GAPPA
268 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

diatur dalam Pasal 228 A, Pasal 228 B, Pasal 228 C dan Pasal 228 D19. Selengkapnya
dapat dilihat sebagai berikut :
228 A : (1) A person who involves a child in the making of child exploitation material
commits a crime. Maximum penalty10 years imprisonment.
(2) In this sectioninvolves a child in the making of child exploitation material
includes
(a) in any way concerns a child in the making of child exploitation material;
and
(b) attempts to involve a child in the making of child exploitation material.
228 B : (1) A person who makes child exploitation material commits a crime. Maximum
penalty10 years imprisonment.
(2) In this section make child exploitation material includes
(a) produce child exploitation material; and
(b) attempt to make child exploitation material.
228 C : (1) A person who distributes child exploitation material commits a crime.
Maximum penalty10 years imprisonment.
(2) In this section distribute child exploitation material includes
(a) communicate, exhibit, send, supply or transmit child exploitation material
to someone, whether to a particular person or not; and
(b) make child exploitation material available for access by someone, whether
by a particular person or not; and
(c) enter into an agreement or arrangement to do something in paragraph
(a) or (b); and
(d) attempt to distribute child exploitation material.
228 D : A person who knowingly possesses child exploitation material commits a crime.
Maximum penalty5 years imprisonment.

Berdasarkan uraian di atas, maka tindak pidana yang diatur dalam ketentuan ini
adalah melibatkan anak dalam muatan eksploitasi anak, membuat muatan yang berisi
eksploitasi anak, mendistribusikan muatan yang berisi eksploitasi anak dan diketahui
memiliki muatan yang berisi eksploitasi anak.

c. Child Trafficking And Pornography Act, 1998 , Irlandia.

Undang-undang ini merupakan undang-undang yang khusus mengkriminalisasikan


tindak pidana pornografi anak20. Mengenai ketentuan tindak pidananya, diatur dalam
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 undang-undang ini. Selengkapnya adalah sebagai
berikut :

19
Dikutip pada laman website: http://www.legislation.qld.gov.au/LEGISLTN/ACTS/2005/05AC009.pdf
20
Dikutip pada laman website: http://www.irishstatutebook.ie/pdf/1998/en.act.1998.0022.pdf

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 269

(3) : (1) Any person who organises or knowingly facilitates


(a) the entry into, transit through or exit from the State of a child for the purpose of
his or her sexual exploitation, or
(b) the provision of accommodation for a child for such a purpose while in the State,
shall be guilty of an offence and shall be liable on conviction on indictment to
imprisonment for life.
(2) Any person who
(a) takes, detains, or restricts the personal liberty of, a child for the purpose of his
or her sexual exploitation,
(b) uses a child for such a purpose, or
(c) organises or knowingly facilitates such taking, detaining, restricting or use,
shall be guilty of an offence and shall be liable on conviction on indictment to
imprisonment for a term not exceeding 14 years.
(3) In this section sexual exploitation means
(a) inducing or coercing the child to engage in prostitution or the production of
child pornography,
(b) using the child for prostitution or the production of child pornography,
(c) inducing or coercing the child to participate in any sexual activity which is an
offence under any enactment, or
(d) the commission of any such offence against the child.
(4) : (1) Without prejudice to section 3, any person who, having the custody, charge or care
of a child, allows the child to be used for the production of child pornography shall
be guilty of an offence and shall be liable on conviction on indictment to a fine not
exceeding 25,000 or to imprisonment for a term not exceeding 14 years or Both.
(2) For the purposes of this section
(a) any person who is the parent or guardian of a child or who is liable to maintain
a child shall be presumed to have the custody of the child and, as between
parents, one parent shall not be deemed to have ceased to have the custody of
the child by reason only that he or she has deserted, or does not reside with, the
other parent and child,
(b) any person to whose charge a child is committed by any person who has the
custody of the child shall be presumed to have charge of the child, and
(c) any person exercising authority over or having actual control of a child shall
be presumed to have care of the child.
(5) : (1) Subject to sections 6(2) and 6(3), any person who
(a) knowingly produces, distributes, prints or publishes any child pornography,
(b) knowingly imports, exports, sells or shows any child pornography,
(c) knowingly publishes or distributes any advertisement likely to be understood as
conveying that the advertiser or any other person produces, distributes, prints,
publishes, imports, exports, sells or shows any child pornography,
(d) encourages or knowingly causes or facilitates any activity mentioned in
paragraph (a), (b) or (c), or
(e) knowingly possesses any child pornography for the purpose of distributing,
publishing, exporting, selling or showing it, shall be guilty of an offence and
shall be liable
(i) on summary conviction to a fine not exceeding 1,500 or to imprisonment
for a term not exceeding 12 months or both, or
(ii) on conviction on indictment to a fine or to imprisonment for a term not
exceeding 14 years or both.
(2) In this section distributes, in relation to child pornography, includes parting
with possession of it to, or exposing or offering it for acquisition by, another person,
and the reference to distributing in that context shall be construed accordingly.

AMANNA GAPPA
270 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

(6) : (1) Without prejudice to section 5(1)(e) and subject to subsections (2) and (3), any
person who knowingly possesses any child pornography shall be guilty of an
offence and shall be liable [1998.] Child Trafficking and Pornography [No.
22.] Act, 1998 :
(a) on summary conviction to a fine not exceeding 1,500 or to imprisonment
for a term not exceeding 12 months or both, or
(b) on conviction on indictment to a fine not exceeding 5,000 or to imprisonment
for a term not exceeding 5 years or both.
(2) Section 5(1) and subsection (1) shall not apply to a person who possesses child
pornography
(a) in the exercise of functions under the Censorship of Films Acts, 1923 to
1992, the Censorship of Publications Acts, 1929 to 1967, or the Video
Recordings Acts, 1989 and 1992, or
(b) for the purpose of the prevention, investigation or prosecution of offences
under this Act.
(3) Without prejudice to subsection (2), it shall be a defence in a prosecution for an
offence under section 5(1) or subsection (1) for the accused to prove that he or
she possessed the child pornography concerned for the purposes of bona fide
research.
Berdasarkan uraian di atas, maka tindak pidana pornografi anak yang diatur dalam
undang-undang ini adalah :
1. Mengorganisasi atau memfasilitasi eksplotasi seksual terhadap anak (Pasal 3 ayat [1]);
2. Membatasi kebebsan anak dan menggunakan anak untuk dieksploitasi secara seksual
(Pasal 3 ayat [2]);
3. Memperbolehkan anak yang berada dalam kekuasaannya untuk dilibatkan dalam
pornografi anak (Pasal 4) ;
4. Melakukan ativitas pornografi yang meliputi memproduksi, mendistribusi, mencetak,
menerbitkan, mengimpor, mengekspor, menjual, menunjukkan, mengiklankan, memiliki
untuk tujuan komersial suatu pornografi anak (Pasal 5) ;
5. Memiliki benda yang memuat pornografi anak (Pasal 6 ).
Bertolak dari perbandingan beberapa ketentuan di atas, maka tampak bahwa kebijakan
kriminalisasi tindak pidana pornografi dalam UU Pornografi Indonesia yang berlaku saat ini
bukan merupakan masalah, karena tindak pidana yang dikriminalisasikan pada dasarnya juga
dikriminalisasikan di negara lain. Hal yang membedakan adalah pengaturan tindak pidana
dan formulasi rumusan pasal. Negara Belanda dan Negara Bagian Queensland Australia
mengandemen KUHPnya untuk mengkriminalisasikan pornografi anak, sedangkan Irlandia
membuat khusus peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana pornografi anak.
Negara Bagian Queensland Australia dan Irlandia merinci mengenai istilah-istilah yang
berkaitan dengan tindak pidana pornografi anak dan jenis-jenis tindak pidana pornografi anak.
Dengan demikian, Indonesia akan melakukan pembaharuan terhadap peraturan perundang-
undangan di masa mendatang mengenai tindak pidana pornografi anak, maka berdasarkan
kebijakan ketentuan internasional dan perbandingan peraturan perundang-undangan beberapa
negara mengenai pornografi anak, Indonesia perlu membentuk undang-undang khusus yang

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 271

mengatur tindak pidana pornografi anak atau menyempurnakan formulasi perumusan tindak
pidana pornografi anak yang ada dalam peraturan perundang-undangan saat ini dengan
merinci istilah-istilah yang berkaitan dengan tindak pidana pornografi anak dan jenis-jenis
tindak pidana pornografi anak.

PENUTUP
Simpulan
1. Kriminalisasi tindak pidana pornografi anak dalam perundang-undangan di Indonesia
yang saat ini berlaku diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang
Perlindungan anak dan Undang-undang Pornografi.
2. Jika Indonesia akan melakukan pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan di
masa mendatang mengenai tindak pidana pornografi anak, maka berdasarkan kebijakan
ketentuan internasional dan perbandingan peraturan perundang-undangan beberapa
negara mengenai pornografi anak, Indonesia perlu membentuk undang-undang khusus
yang mengatur tindak pidana pornografi anak atau menyempurnakan formulasi perumusan
tindak pidana pornografi anak yang ada dalam peraturan perundang-undangan saat ini
dengan merinci istilah-istilah yang berkaitan dengan tindak pidana pornografi anak dan
jenis-jenis tindak pidana pornografi anak.

Saran
1. Kebijakan kriminalisasi terhadap pornografi anak perlu disertai juga perlindungan
terhadap korban tindak pidana pornografi dengan memberikan perlindungan terhadap hak
dan kepentingan anak yang menjadi korban tindak pidana tersebut.
2. Untuk menegakkan peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana pornografi
anak, perlu dilakukan kerjasama internasional mengingat tindak pidana ini seringkali
merupakan tindak pidana transnasional.
3. Untuk mencegah terjadinya tindak pidana pornografi anak, maka perlu dilakukan edukasi
publik dengan meningkatkan kesadaran, memberikan informasi dan edukasi agar anak-
anak terlindungi dari pelanggaran berat atas hak-haknya.

DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi. 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
_____________. 2009. Tindak Pidana Pornografi. Surabaya: PNM.
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari. 2004. Dasar-dasar Politik Hukum. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Mochtar Kusumaatmadja. 2002. Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan. Bandung:
Alumni.

AMANNA GAPPA
272 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

Otje Salman dan Anthon F. Susanto. 2004. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Bandung:
Alumni, 2004.
Saiful Bahri, T, Hessel Nogi S. Tangkilan dan Mira Subandini. 2004. Hukum dan Kebijakan
Publik. Yogyakarta: YPAPI.
Satjipto Rahardjo. 1982. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.
Sunaryati Hartono, C.F.G. 1994. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional.
Bandung: Alumni.
Teguh Prasetya dan Abdul Halim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Utrecht, E. 1983. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur dan direvisi oleh Moh. Saleh
Djindang. Jakarta: Sinar Harapan, 1983.

Sumber lainnya:
Barda Nawawi Arief. 2005. Kriminalisasi Kebebasan Pribadi dan Pornografi/Pornoaksi
Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana. Makalah Seminar Kriminalisasi
Kebebasan Pribadi dan Pornografi/Pornoaksi, Graha Santika-Semarang, 20 Desember
2005.
Keijzer, Nico. Press Offences Under the Law of the Netherlands. Makalah pada Refreshing
Course On the Same Root and Different Development, Surabaya, 11 April 2006
http ://www.fajar.co.id/read-20121020154006-heboh-tiga-video-porno-pelajar
http://www.legislation.qld.gov.au/LEGISLTN/ACTS/2005/05AC009.pdf
http://www.irishstatutebook.ie/pdf/1998/en.act.1998.0022.pdf
http://www.unicef.org/crc/index_30204.html

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

TANGGUNG GUGAT PEMERINTAH


TERHADAP KECELAKAAN PESAWAT UDARA
DI INDONESIA
Oleh:
Sudiarto
Fakultas Hukum Universitas Mataram
E-mail: sudiartomataram@ymail.com

Abstract: During this every aircraft crash our attention is always focused on carrier liability
for the accident, without ever considering, whether the aircraft crash is related to the
governments own accountability as air transport regulator. According to Law No. 1 Year
2009 About Flight, the government was authorized to conduct training flights in Indonesia.
Seeing the authority so great that, in case of an aircraft accident in Indonesia, the transport
service user can hold accountable the government, because the government is responsible
in accordance with administrative law and criminal law and accountable under civil law.
Keywords: Plane, Accident, Government, Accountability

Abstrak: Selama ini, setiap kecelakaan pesawat selalu berfokus pada pertanggungjawaban
perusahaan tanpa pernah mempertimbangkan, apakah kecelakaan tersebut berkaitan dengan
akuntabilitas pemerintah sebagai regulator transportasi udara. Menurut Undang-Undang
No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, pemerintah diberi wewenang untuk mengatur dan
memimpin pelatihan penerbangan yang ada di Indonesia. Melihat kewenangan pemerintah
yang begitu besar, sehingga dalam kasus kecelakaan pesawat udara di Indonesia, pengguna
jasa transportasi dapat meminta pertanggungjawaban pemerintah, karena pemerintah
bertanggung jawab sesuai dengan hukum administratif dan hukum pidana dan akuntabel
berdasarkan hukum perdata.
Kata Kunci: Pesawat Udara, Kecelakaan, Pemerintah, Akuntabilitas

PENDAHULUAN

Industri penerbangan adalah industri global, dan keselamatan merupakan prioritas utama di
dunia penerbangan. Kiblat industri yang sarat teknologi tinggi ini adalah ke Barat (Amerika
Serikat dan Eropa Barat), tempat pesawat terbang dilahirkan dan dibesarkan selama lebih
dari seratus tahun ini. Penerbangan Federal Amerika Serikat (FAA) yang memandu industri
penerbangan Amerika Serikat, menjadi acuan bagi otoritas penerbangan sipil pada semua
negara di dunia. Tugas dan tanggung jawab yang diberikan Kongres Amerika Seriikat kepada
FAA pada saat diresmikannya tahun 1958 ini menjelaskan mengenai apa itu keselamatan
penerbangan dan apa tugas dan tanggung jawab regulator atau otoritas penerbangan suatu
negara.
Kongres Amerika Serikat menugaskan FAA untuk memastikan derajat keselamatan
yang paling tinggi dalam penerbangan (to assure the highest degree of safety in flight). FAA

AMANNA GAPPA
274 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

bertanggung jawab memberikan nasihat, bimbingan, dan pengawasan (advice, guidance,


oversight) dalam bidang keselamatan kepada industri penerbangan AS. Ada tiga unsur yang
memberikan kontribusi pada keselamatan penerbangan. Pertama, pesawat terbangnya sendiri,
bagaimana pesawat itu didesain, dibuat, dan dirawat. Kedua, sistem penerbangan negara,
airport, jalur lalu lintas udara, dan air traffic controls. Ketiga, airlines flight operations yang
berkaitan dengan pengendalian dan pengoperasian pesawat.
Dengan demikian tanggung jawab regulator penerbangan suatu negara adalah
memastikan keselamatan penerbangan pada tingkat yang tertinggi pada ketiga unsur tersebut.
Itulah sebabnya ketika terjadi kecelakaan beruntun awal 2007 lalu, FAA menjatuhkan
penilaiannya kepada regulator atau otoritas penerbangan Indonesia, bukan kepada maskapai
penerbangannya. Hanya ada dua kategori dalam standar keselamatan penerbangan global,
yaitu kategori 1, a pass (lulus), dan kategori 2, a failure (tidak lulus). Bila regulator atau
otoritas penerbangan suatu negara tidak kompeten, maka seluruh maskapai penerbangan di
negara itu pun praktis tidak terjamin keamanannya. Itulah sebabnya setelah mendapat laporan
dari FAA, Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan travel warning bagi warganya untuk
menghindari menggunakan maskapai penerbangan Indonesia dalam bepergian. Sebaliknya,
jika regulator negara itu lulus atau masuk kategori 1, tapi ditemukan adanya pelanggaran
berat pada salah satu atau beberapa airlines di negara tersebut, maka yang terkena sanksi
hanya maskapai yang melanggar tersebut, seperti terjadi dengan PIA (Pakistan Airlines).
Kasus seperti PIA ini mudah dan cepat dapat diselesaikan karena ini murni kesalahan dari
maskapai tersebut yang tidak ditemukan di maskapai lainnya.
Pada semua rentetan kecelakaan yang terjadi di Indonesia yang melibatkan pesawat
Boeing 737-300/400 tersebut, FAA tidak menemukan adanya kesalahan dari pabrik pesawat
Boeing. Dengan pengalaman 297 juta jam terbang dari 4.700 pesawat Boeing 737 yang telah
menerbangkan 12 miliar penumpang hingga saat ini, sangatlah kecil kemungkinan masih
adanya kesalahan pada desain ataupun proses pembuatan pesawatnya. Akan tetapi dengan
mempelajari dokumen pesawat-pesawat boeing yang beroperasi di Indonesia pascakecelakaan
tersebut, FAA menemukan banyaknya pelanggaran prosedur keselamatan penerbangan yang
berulang oleh maskapai penerbangan Indonesia. Ironisnya lolos dari pengawasan otoritas
penerbangan Indonesia.
FAA menilai regulator Indonesia tidak memiliki kompetensi yang memadai dalam
menerapkan safety oversight sehingga tidak berani mencabut izin operasi maskapai yang
melakukan pelanggaran mendasar. Regulator Indonesia juga dinilai terlalu mudah memberikan
izin usaha dan operasi penerbangan kepada unsafe airlines yang mengakibatkan tingginya
tingkat kecelakaan pesawat terbang di Indonesia.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 275

Selain itu, FAA dan ICAO mengingatkan bahwa pertumbuhan penumpang pesawat di
Indonesia sebesar 20% terlalu tinggi dan tidak wajar. Cina yang pertumbuhan ekonominya dua
kali lebih tinggi dari Indonesia, pertumbuhan penumpangnya hanya 16%. Ini pun dipandang
oleh Pemerintah Cina masih terlalu tinggi sehingga Cina berusaha menurunkannya hingga
14%. Salah satunya yakni dengan tidak memberikan izin operasi airlines baru hingga tahun
2010.
Untuk menekan tingkat kecelakaan penerbangannya yang saat ini termasuk yang
paling tinggi di dunia, Indonesia disarankan menekan pertumbuhan penumpang pesawatnya.
Indonesia diharapkan berani mencabut izin operasi maskapai-maskapai yang tidak aman,
unsafe airlines. Tentu yang penting juga adalah menghentikan pemberian izin usaha dan
operasi airlines baru. Indonesia selama ini hanya terpaku pada larangan terbang yang
dikeluarkan Uni Eropa (UE) sehingga mengabaikan temuan dan penilaian FAA. Padahal,
dasar pertimbangan UE menjatuhkan sanksi adalah laporan temuan dan laporan FAA yang
menilai Indonesia tidak memenuhi standard keselamatan penerbangan ICAO.
Selama Indonesia masih di kategori 2 dalam penilaian FAA, UE tidak akan mencabut
larangan terbangnya. Untuk dapat naik ke kategori 1, tidak ada jalan lain, Indonesia harus
mau mendengarkan dan mengikuti saran FAA dan ICAO.

PEMBAHASAN DAN ANALISIS


Teori Tanggung Gugat Pemerintah
Tidak banyak yang menggunakan kata tanggung gugat untuk mengartikan liability,
istilah lain yang sering dipergunakan dalah Responsibility dan acuntability. Ketiga istilah
tersebut dalam penggunaannya dikaitkan dengan aspek kelahirannya, yaitu: a) Liability,
lahirnya dari asas negara hukum; b) Responsibility, lahirnya dari asas demokrasi; dan c)
Acuntability, lahirnya berkaitan dengan good governance.1
Istilah liability lebih bermakna kepada aspek yuridis dikaitkan dengan pengadilan,
sedangkan Responsibility lebih bermakna kepada aspek Politik, sedangkan acuntability
lebih bermakna kepada sisi moral.2 Tanggung gugat Negara dan Pemerintah adalah berkaitan
dengan pemberian perlindungan (rechtbescherming) kepada warga negara sebagai akibat dari
penggunaan wewenang oleh organ Negara dan Pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Pemikiran yang berkaitan dengan tanggung gugat Negara dan Pemerintahan bermula
atau berdasar atas pandangan dari R. Kranenburg, menurutnya ada 7 (tujuh) landasan
pemikiran tentang apakah negara atau Pemerintah bisa digugat pada lembaga peradilan,

1 P. M. Hadjon, Materi Kuliah S2 Konsentrasi Hukum Pemerintah. Universitas Airlangga. 2009.


2 Ibid.

AMANNA GAPPA
276 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

ketujuh landasan pemikiran tersebut, sebagai berikut:3


1. Konsep negara sebagai lembaga kekuasaan dikaitkan dengan konsep hukum sebagai
keputusan kehendak yang diwujudkan oleh kekuasaan, menyatakan bahwa tidak ada
tanggung gugat negara.
2. Konsep yang membedakann negara sebagai penguasa dan negara sebagai fiscus, Sebagai
penguasa, negara tidak dapat digugat dan sebaliknya sebagai fiscus dapat saja negara
digugat. Berdasarkan konsep ini, Openheiim mengetengahkan kriteria untuk menguji
suatu hubungan hukum tersebut didasarkan atas kesejajaran para pihak.
3. Konsep yang mengetengahkan kriteria sifat hak, yakni apakah suatu hak dilindungi
oleh hukum Publik ataukah hukum perdata.
4. Konsep yang mengetengahkan kriteria kepentingan hukum yang dilanggar.
5. Konsep yang mendasarkan pada perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad)
sebagai dasar untuk menggugat negara. Konsep ini tidaklah mempermasalahkan apakah
yang dilanggar itu suatu peraturan hukum publik ataukah peraturan hukum perdata .
6. Konsep yang memisahkan antara fungsi dan pelaksanaan fungsi. Fungsi tidak dapat
digugat tapi pelaksanaannya yang melahirkan kerugian dapat digugat.
7. Konsep yang mengetengahkan suatu asumsi dasar bahwa negara dan alat-alatnya
berkewajiban dalam tindak tanduknya apapun aspeknya (hukum Publik atau hukum
perdata) memperhatikan tingkah laku manusia yang normal. Para pencari keadilan dapat
menuntut dari negara dan alatnya agar mereka berkelakuan normal dan melahirkan
kerugian-kerugian, dapat digugat. Dengan demikian, negara dapat digugat karena
berfungsi yang tidak teratur.
Dari ketujuh landasan berpikir yang dikemukakan oleh R Kranenburg di atas yang
berkenaan dengan, apakah negara dapat digugat, menurut penulis landasar berpikir pada
angka 5, 6, dan 7 dalam perkembangannya dewasa ini masih angat relevan untuk dijadikan
dasar pijakan, sedangkan dasar pemikiran pada angka 1 dan 3 sudah tidak relevan lagi, untuk
dasar pijakan pada angka 2 khusus pada pemikiran negara sebagai fiscus dapat digugat masih
relevan dijadikan dasar pijakan.
Menurut Toshiro Fuke,4 dari aspek historis pase perkembangan tanggung gugat terhadap
negara ada 6 (enam) fase. Fase perkembangan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Since the liberation theory;
2. State liability;
3. Non-authoritative activities;
4. The walfare State;
3 P. M. Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hlm. 108.
4 Yong Zhang, Comparaive Studies On Governmental Liability In East And Southeast Asia, Kluwer Law
International, London, 1999, hlm. 1-3.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 277

5. The case of compulsary acquisition of property (land in particular);


6. Of loss/injury such as that caused by natural distarter.
Dalam pengertian yang luas, tanggung gugat negara (state liability) adalah, bahwa
negara akan memberikan konpensasi (penggantian) bagi setiap kehilangan atau kerugian
yang timbul dan terjadi, yang disebabkan secara langsung atau tidak langsung, materiil
maupun mental terhadap warga masyarakat, sebagai akibat penggunaan wewenang publik.5
Berdasarkan teori perwakilan dan pertanggungan jawab, dasar tanggung jawab negara
terhadap perbuatan yang dilakukan oleh Pejabat Tata Usaha Negara adalah, perbuatan negara
pada hakekatnya adalah pebuatan manusia manusia juga. Pemerintah ialah suatu badan
hukum dan orang-orang yang bertindak untuk pemerintah merupakan wakilnya. Pemerintah
itu harus diwakili oleh orang-orang tadi. Dengan kata lain perbuatan dari orang itu harus
dianggap sebagai perbuatan dari pemerintah.6
Teori perwakilan dan pertanggungan jawab ini sama seperti yang terkandung dalam
Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (asas respondeat superior), terhadap
teori ini tentu ada batas-batasnya, pembatasan tersebut adalah tindakan yang dilakukan oleh
seorang Pejabat Tata Usaha Negara haruslah dalam lingkungan tugas kewajibannya sendiri.
Mengenai keterwakilan negara oleh Pejabat Tata Usaha Negara harus juga dilihat
dalam aspek Hukum Perdata, aspek Hukum Adminitrasi dan aspek dalam Hukum Pidana.
Dalam hal terjadi suatu perbuatan melanggar hukum, dapatkah pemerintah dipersalahkan
atau haruskah orang yang melakukan perbuatan itu mempertanggungjawabkan sendiri, inilah
yang menjadi fokus dalam penulisan ini, yaitu kapan dapat dikatagorikan sebagai perbuatan
yang harus dipertanggung jawabkan dalam jabatan dan kapan harus dipertanggung jawabkan
secara pribadi

Pendekatan Hukum Administrasi


Dalam Hukum Administrasi, hubungan yang terjadi adalah antara penguasa sebagai
subyek yang memerintah, dan warga masyarakat sebagai subyek yang diperintah Penguasa,
dalam hal ini Pemerintah bertugas sebagai bestuurszog, yaitu menyelenggarakan kesejahteraan
umum. Dalam melaksanakan bestuurszog pihak Pemerintah sebagai penguasa tentu harus
ada dan diberi wewenang. Wewenang penguasa diperoleh melalui Hukum Administrasi.
H.W.R Wade,7 mengemukakan:
The primary purpose of administrative law, therefore, is tokeep the power of government
whitin their legal bounds, so as to Project the citizent againts their abuse.

5 Loc.cit.
6 Sudargo Gautama. Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1955, hlm. 84.
7 Wade H.W.R dan C.F. Forsyth, Administrative Law, Oxford University Press, ed, New York. 1994,
hlm. 5.

AMANNA GAPPA
278 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

Dengan demikian, sebagai langkah awal perlu diketengahkan terlebih dahulu pendekatan
terhadap Hukum Administrasi. Ada tiga pendekatan dalam Hukum Administrasi yang sering
dipergunakan, yaitu:8
1. Pendekatan Kekuasaan
Pendekatan kekuasaan berkaitan dengan masalah wewenang, Munurut Henc van
Maarseveen sebagaimana dikuti P.M. Hadjon, wewenang berkaitan dengan kekuasaan dalam
konsep hukum Publik, wewenang merupakan suatu konsep inti dalam hukum tata negara dan
hukum administrasi.9
Berdasarkan pandangan tersebut di atas, langkah awal dalam menganalisis suatu
wewenang adalah dengan menelusuri konsep wewenang dan sumber wewenang dalam hukum
administrasi. Setiap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam melakukan tindakan, baik
berupa tindakan hukum maupun tindakan faktual diharuskan berlandaskan atas wewenang
yang sah menurut hukum sesuai asas legalitas.10 Berdasrkan asas tersebut setiap Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara harus terlebih dahulu ditetapkan apa yang menjadi wewenangnya.
Secara gramatikal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, wewenang adalah hak dan
kekuasaan untuk bertindak.
Prajudi Admosudirjo mengemukakan, secara umum wewenang merupakan kekuasaan
untuk melakukan semua tindakan hukum Publik.11 Lebih lanjut, Safri Nugraha dkk memberikan
penjabaran pengertian wewenang pemerintah, sebagai berikut:12
1. Hak untuk menjalankan suatu urusan pemerintahan (dalam arti sempit)
2. Hak untuk dapat secara nyata mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh instansi
pemerintah (dalam arti luas).
Setiap wewenang mempunyai kompenen, ruang lingkup dan pembatasan hal ini
diperlukan agar dalam pelaksanaan atau pengggunaannya tidak menimbulkan ekses berupa
penyalahgunaan wewenang dan sewenan-wenang, penggunaan wewenang harus tetap dapat
dipertanggung jawabkan menurut hukum. Dengan menggunakan prinsip minimal, suatu
wewenang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) komponen, yaitu:13
a. Komponen pengaruh.
b. Komponen dasar hukum.
c. Konformitas hukum.

8 P.M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Gema Peratun, MA RI, Lingkungan Peratun, Jakarta, 200,
hlm. 103
9 Loc.cit.
10 Legalitas: wet matigheid van bestuur=le principes de la legalite del administration.
11 Prajudi Admosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hlm. 76.
12 Nugraha, Safri, et.al, Hukum Administrasi Negara, Center For Law And Good Governance Studies
(CLGS), FH.UI, hlm. 30.
13 Hadjon, 2000. Op.cit., hlm. 103

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 279

Berkaitan dengan ruang lingkup penggunaan wewenang memiliki 3 (tiga) elemen,


sebagai berikut:14
a. Elemen mengatur.
b. Elemen mengontrol.
c. Pemberian sanksi/penegakan hukum.
Sedangkan ruang lingkup pembatasan penggunaan wewenang dibatasi oleh aspek-
aspek sebagai berikut:
a. Aspek waktu/masa tertentu (temporis).
b. Aspek tempat (loci).
c. Aspek materi.
d. Aspek qurum.
Negara merupakan organisasi dari suatu jabatan-jabatan; dimana jabatan-jabatan
tersebut yang melaksanakan urusan pemerintahan, sebelum melaksanakan urusan
pemerintahan terlebih dahulu dilekatkan suatu wewenang yang sah. Untuk memperoleh
wewenang pemerintahan tersebut, dapat dilakukan melalui tiga cara, yakni atribusi, delegasi
dan mandat.
Pengertian wewenang atribusi, delegasi, dan mandat dalam penulisan ini menggunakan
pengertian yang ada dalam Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (RUU
AP). Yang dimaksud dengan atribusi menurut Pasal 1 angka 8 adalah kewenangan yang
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan bagi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara,
kewenangan delegasi menurut Pasal 1 angka 9, RUU AP adalah pelimpahan kewenangan
untuk mengambil Keputusan Pemerintahan oleh suatu Badan kepada pihak lain untuk
melaksanakan kewenangan atas tanggung jawab sendiri, sedangkan Mandat menurut
ketentuan RUU AP Pasal 1 angka 10 adalah penugasan oleh Badan atau Pejabat Pemerintah
yang berwenang kepada badan atau pejabat pemerintah lain untuk melaksanakan tugas
pemerintahan atas nama pemberi mandat.

2. Pendekatan Hak Asasi Manusia


Berkenaan dengan Hak Asasi Manusia setelah era reformasi dilakukan amandemen
terhadap konstitusi kita, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, khusus tentang Hak Asasi Manusia
mendapat porsi pengaturan yang lebih luas. Hak asasi manusia yang tercantum dalam BAB X
A Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J dijadikan dasar pertimbangan di dalam pembentukan
undang-undang yang ada kaitannya dengan hak asasi manusia. Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, di dalam konsideran menimbang huruf b
dikatakan, bahwa hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan

14 Tatiek Sri Djatmiati, Op.cit. hlm. 75

AMANNA GAPPA
280 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

informasi Publik merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi yang menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggara negara yang baik.
Dalam Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan di implementasikan
pendekatan Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 3 ayat (1) ditentukan, bahwa:
Badan atau Pejabat Pemerintah dalam menjalankan hak, wewenang, kewajiban
dan tangggung jawabnya wajib melaksanakan asas legalitas, asas pengakuan dan
perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dan asas umum pemerintahan yang baik.
Dengan demikian, badan atau pejabat Tata Usaha Negara dalam melaksanakan tugas
pemerintahan harus memperhatikan ketiga hal tersebut, sebab parameter untuk menguji
keabsahan tindakan pemerintahan oleh lembaga peradilan akan menggunakan parameter
pendekatan Hak Asasi Manusia.
Perlindungan hukum terhadap masyarakat dapat dilakukan melalui 3 (tiga) jalur,
sebagai berikut:15
1. Perlindungan melalui demokrasi (Bescherming via democratie).
2. Perlindungan melalui hubungan hierarki pemerintahan (Bescherming via besturlijk-
hierarchise verhoudingen)
3. Perlindungan hukum melalui pengaturan yuridis (Bescherming juridische
voorzieningen).
Ketiga jalur perlindungan hukum kepada masyarakat tersebut dalam praktiknya diatur
dalam undang-undang.

3. Pendekatan Perilaku
Pendekatan perilaku (behavior approach), fokus pendekatan perilaku adalah pada
aparat pemerintah dalam menjalankan fungsinya sebagai bestuurzorg. Dalam rangka
reformasi birokrasi, pemerintah era reformasi menyiapkan 4 (empat) paket Rancangan
Undang-Undang yang akan menjadi pedoman Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
dalam melaksanakan tugas pemerintahan, yaitu RUU Administrasi Pemerintahan, RUU
Keterbukaan dan Informasi Publik, RUU Pelayanan Publik, dan RUU Etika Pemerintahan.
Dari ke 4 (empat) RUU tersebut yang disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2008 dan Undang-Undang Pelayanan Publik Nomor 25 Tahun 2009, sedangkan RUU
Administrasi Pemerintahan dan RUU Etika Pemerintahan belum dibahas di DPR RI.

Dari aspek filosofis, ada beberapa aliran dalam ilmu filsafat yang memberikan dasar-
dasar etika, yaitu
1. Aliran Naturalisme, menurut aliran ini sistem-sistem etika dalam kesusilaan
mempunyai dasar yang alami, dimana kebenaran-kebenaran hanya dapat diperoleh

15 Tatiek Sri Djatmiati, Op.cit., hlm. 3.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 281

melalui pengkajian atas fakta dan bukan atas teori-teori yang Sangat metafisis. Manusia
pada kodratnya adalah baik sehingga ia harus dihargai dan menjadi unsur.
2. Aliran Individualism, esensi dari aliran ini adalah di dalam hubungan social yang
paling pokok adalah indivudi. Segala interaksi dalam masyarakat harus dilakukan demi
keuntungan individu.
3. Aliran hedonismo, titik tolak pikiran dari aliran ini adalah menurut kodratnya manusia
selalu mengusahakan kenikmatan, yaitu bila kebutuhan kodrati terpenuhi, orang akan
memperoleh kenikmatan sepuas-puasnya.
4. Aliran Eudaemonisme, aliran ini mengajarkan kebahagian adalah merupakan kebaikan
tertinggi.
5. Aliran Utilitarianisme, menurut aliran ini suatu perbuatan dikatakan baik jira membawa
manfaat atau kegunaan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat banyak.

Kewenangan Pemerintah Dalam Pengaturan Penerbangan


Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, dalam Pasal
10 ayat (1) dikatakan bahwa, Penerbangan dikuasai oleh negara dan pembinaannya
dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan pada Pasal 10 ayat (2), disebutkan, Pembinaan
penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek pengaturan, pengendalian
dan pengawasan.
Membicarakan tentang aspek pengaturan, Sadjijono,16 menyatakan bahwa membentuk
peraturan perundang-undangan tersebut merupakan salah satu fungsi pemerintahan dalam
bidang regelgeving, bukan fungsi legislatif.
a. Wewenang
Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dan bagian awal dari hukum
administrasi, karena pemerintahan (administrasi) baru dapat menjalankan fungsinya atas
dasar wewenang yang diperolehnya, artinya keabsahan tindak pemerintahan atas dasar
wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (legaliteit beginselen).
Istilah wewenang sebenarnya tidak dapat disejajarkan dan disamakan dengan istilah
bevoegdheid dalam kepustakaan hukum Belanda, karena kedua istilah tersebut memiliki
perbedaan yang mendasar, terutama berkaitan dengan karakter hukumnya. Berdasarkan
karakternya bevoegdheid digunakan dalam konsep hukum public dan konsep hukum privat,
sedangkan wewenang hanya berlaku dalam konsep hukum publik saja.17
Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa digunakan dalam lapangan
hukum publik. Namun sesungguhnya terdapat perbedaan diantara keduanya. Kewenangan
adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang
16 Sadjiono. Bab Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang Pressindo, Yogyakarta. 2008, hlm. 53.
17 Loc.cit.

AMANNA GAPPA
282 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

diberikan oleh undang-undang atau legislatif dari kekuasaan eksekutif atau administratif.
Karenanya, merupakan kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap
suatu bidang pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan
wewenang hanya mengenai suatu bagian tertentu saja dari kewenangan. Wewenang
(authority) adalah hak untuk memberi perintah, dan kekuasaan untuk minta dipatuhi.
Berdasarkan sumbernya, wewenang dibedakan menjadi dua jenis, yaitu wewenang
personal dan wewenang official. Wewenang personal, yakni bersumber pada intelegensi,
pengalaman, nilai atau norma,dan kesanggupan untuk memimpin. Sedangkan wewenang
official, merupakanwewenang resmi yang diterima dari wewenang yang berada di atasnya.
Sedangkan berdasarkan sifatnya, dapat dilakukan pembagian wewenang, sebagai berikut:
a) Wewenang yang bersifat terikat, yakni wewenang yang harus sesuai dengan aturan
dasar yang menentukan waktu dan keadaan wewenang tersebut dapat dilaksanakan,
termasuk rumusan dasar isi dan keputusan yang harus diambil.
b) Wewenang bersifat fakultatif, yakni wewenang yang dimiliki oleh badan atau pejabat
administrasi, namun demikian tidak ada kewajiban atau keharusam untuk menggunakan
wewenang tersebut dan sedikit banyak masih ada pilihan lain walaupun pilihan tersebut
hanya dapat dilakukan dalam hal dan keadaan tertentu berdasarkan aturan dasarnya.
c) Wewenang bersifat bebas, yakni wewenang badan atau pejabat pemerintahan
(administrasi) dapat menggunakan wewenangnya secara bebas untuk menentukan
sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkan, karena peraturan dasarnya
member kebebasan kepada penerima wewenang tersebut.
Secara teoritis, terdapat tiga cara untuk memperoleh wewenang pemerintahan, yakni
atribusi, delegasi dan mandat.18 Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa dalam kepustakaan
hukum administrasi ada dua cara utama untuk memperoleh wewenang pemerintahan, yakni
atribusi dan delegasi. Sedangkan mandat merupakan kadang-kadang saja, oleh karena itu
ditempatkan secara tersendiri, kecuali dikaitkan dengan gugatan tata usaha negara, mandat
disatukan karena penerima mandat tidak dapat digugat secara terpisah.
Wewenang atribusi (atributie bevoegheid), adalah wewenang pemerintah yang
diperoleh dari peraturan perundang-undangan, artinya wewenang pemerintah tersebut telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, wewenang ini yang kemudian yang
disebut sebagai asas legalitas (legalietbeginsel) di mana wewenang ini dapat didelegasikan
atau dimandatkan.
Wewenang delegasi (delegatie bevoegdheid) adalah wewenang yang diperoleh atas
dasar pelimpahan wewenang dari badan/organ pemerintahan yang lain. Sifat wewenang
delegasi adalah pelimpahan yang bersumber dari wewenang atribusi. Akibat hukum ketika
18 Ibid. hlm. 64.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 283

wewenang dijalankan menjadi tanggungjawab penerima delegasi (delegataris), wewenang


tersebut tidak dapat digunakan lagi oleh pemberi wewenang, kecuali pemberi wewenang
(delegans) menilai terjadi penyimpangan atau pertentangan dalam menjalankan wewenang
tersebut, sehingga wewenang dicabut kembali oleh pemberi delegasi dengan berpegang pada
asas contrarius actus.
Wewenang mandat (mandat bevoegdheid), adalah pelimpahan wewenang yang pada
umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan, kecuali dilarang tegas oleh
peraturan perundang-undangan. Ditinjau dari segi tanggungjawab dan tanggunggugatnya,
maka wewenang mandate tanggungjawab dan tanggunggugat tetap berada pada pemberi
mandat, sedangkan penerima mandat tidak dibebani tanggung jawab dan tanggung gugat atas
wewenang yang dijalankan.
Philipus M Hadjon, dalam tinjauan tentang Algemene Wet Bestuursrecht, mengartikan
istilah mandat dan delegasi. Mandat adalah kewenangan yang diberikan suatu organ
pemerintahan kepada organ lain untuk atas namanya membuat besluit. Sedangkan delegasi,
adalah pelimpahan kewenangan dari suatu organ pemerintahan kepada organ lain untuk dapat
membuat besluit atas tanggung jawab organ tersebut (yang menerima delegasi).

Pengaturan Kewenangan Pemerintah Dalam Penerbangan


Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, pada Pasal 10, 11
dan 12 dikatakan bahwa:
Pasal 10
(1) Penerbangan dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Pembinaan Penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek
pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.
(3) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penetapan kebijakan umum
dan teknis yang terdiri atas penentuan norma, standar, pedoman, kriteria, perencanaan,
dan prosedur termasuk persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan serta
perizinan.
(4) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pemberian arahan,
bimbingan, pelatihan, perizinan, sertifikasi, serta bantuan teknis di bidang pembangunan
dan pengoperasian
(5) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kegiatan pengawasan
pembangunan dan pengoperasian agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan
termasuk melakukan tindakan korektif dan penegakan hukum.
(6) Pembinaan Penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
memperhatikan seluruh aspek kehidupan masyarakat dan diarahkan untuk:
a) memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang secara massal melalui
angkutan udara dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman, dan
berdaya guna, dengan biaya yang wajar;

AMANNA GAPPA
284 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

b) meningkatkan penyelenggaraan kegiatan angkutan udara, kebandarudaraan,


keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan sebagai bagian dari
keseluruhan moda transportasi secara terpadu dengan memanfaatkan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi;
c) mengembangkan kemampuan armada angkutan udara nasional yang tangguh serta
didukung industri pesawat udara yang andal sehingga mampu memenuhi kebutuhan
angkutan, baik di dalam negeri maupun dari dan ke luar negeri;
d) mengembangkan usaha jasa angkutan udara nasional yang andal dan berdaya saing
serta didukung kemudahan memperoleh pendanaan, keringanan perpajakan, dan
industri pesawat udara yang tangguh sehingga mampu mandiri dan bersaing;
e) meningkatkan kemampuan dan peranan kebandarudaraan serta keselamatan dan
keamanan penerbangan dengan menjamin tersedianya jalur penerbangan dan
navigasi penerbangan yang memadai dalam rangka menunjang angkutan udara;
f) mewujudkan sumber daya manusia yang berjiwa kedirgantaraan, profesional, dan
mampu memenuhi kebutuhan penyelenggaraan penerbangan; dan
g) memenuhi perlindungan lingkungan dengan upaya pencegahan dan penanggulangan
pencemaran yang diakibatkan dari kegiatan angkutan udara dan kebandarudaraan,
dan pencegahan perubahan iklim, serta keselamatan dan keamanan penerbangan.
(7) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan secara terkoordinasi dan
didukung oleh instansi terkait yang bertanggung jawab di bidang industri pesawat udara,
lingkungan hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta keuangan dan perbankan.
(8) Pemerintah daerah melakukan pembinaan penerbangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 11
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
(2) Pembinaan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperkuat kelembagaan yang bertanggung jawab di bidang penerbangan berupa:
a) penataan struktur kelembagaan;
b) peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia;
c) peningkatan pengelolaan anggaran yang efektif, efisien, dan fleksibel berdasarkan
skala prioritas;
d) peningkatan kesejahteraan sumber daya manusia;
e) pengenaan sanksi kepada pejabat dan/atau pegawai atas pelanggaran dalam
pelaksanaan ketentuan Undang-Undang ini; dan
f) peningkatan keselamatan, keamanan, dan pelayanan penerbangan.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat didelegasikan kepada unit di
bawah Menteri.
(4) Ketentuan mengenai pendelegasian kepada unit di bawah Menteri sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 12
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan dengan berkoordinasi

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 285

dan bersinergi dengan lembaga yang mempunyai fungsi perumusan kebijakan dan
pemberian pertimbangan di bidang penerbangan dan antariksa.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, lembaga, fungsi perumusan kebijakan,
dan fungsi pemberian pertimbangan di bidang penerbangan dan antariksa diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Memperhatikan kewenangan pemerintah yang diberikan oleh undang-undang
sedemikian luasnya, maka pemerintah sangat bertanggungjawab atas terlaksananya
penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman dan nyaman di Indonesia. Dengan demikian,
maka apabila terjadi kecelakaan pesawat udara di Indonesia, maka pengguna jasa angkutan-
pun dapat meminta pertanggung jawaban dan pertanggunggugatan pemerintah, baik dari
sudut pidana, perdata maupun publik.

Pengawasan
Dalam menyelenggarakan pemerintahan, administrasi negara mempunyai beberapa
keleluasaan demi terselenggaranya kesejahteraan masyarakat tanpa meninggalkan asas
legalitas. Hal ini berarti bahwa sikap tindak administrasi negara tersebut haruslah dapat
dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun secara hukum.
Lord Acton, mengatakan bahwa setiap kekuasaan sekecil apapun cenderung untuk
disalahgunakan. Oleh sebab itu, dengan adanya keleluasaan bertindak dari administrasi negara
yang memasuki semua sector kehidupan masyarakat, kadang-kadang dapat menimbulkan
kerugian bagi masyarakat itu sendiri. Maka, wajarlah bila diadakab pengawasan terhadap
jalannya pemerintahan, yang merupakan jaminan agar jangan sampai keadaan negara
menjurus kea rah dictator tanda batas, yang berarti bertenangan dengan asas negara hukum.19
Cara-cara pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat dirinci sebagai
berikut:
1. Ditinjau dari segi kedudukan badan/organ yang melaksanakan pengawasan:
a. Pengawasan intern; yakni pengawasan yang dilakukan oleh satu badan yang secara
organisatoris/structural masih tdalam lingkungan pemerintahan sendiri. Biasanya
pengawasan semacam ini dilakukan oleh atasan terhadap bawahannya secara
hirarkis.

b. Pengawasan ekstern; adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga secata


organisatoris berada di luar pemerintah.
2. Ditinjau dari waktu dilaksanakannya pengawasan :
a. Pengawasan Preventif; yakni pengawasan yang dilakukan sebelum dikeluarkannya
suatu keputusan/ketetapan pemerintah. Pengawasan semacam ini dinamakan juga
pengawasan apriori.
19 Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta. 2004, hlm. 70.

AMANNA GAPPA
286 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

b. Pengawasan Refresif; yakni pengawasan yang dilakukan sesudah dikeluarkannya


keputusan/ketetapan pemerintah, sehingga bersifat korektif dan memulihkan suatu
tindakan yang keliru, disebut juga pengawasan aposteriori.
3. Pengawasan dari segi hukum terhadap perbuatan pemerintah, merupakan pengawasan
dari segi rechtmatigheid, jadi bukan hanya dari wetmatigheid- nya saja. Pengawasan
dari segi hukum merupakan penilaian tentang sah/tidaknya suatu perbuatan pemerintah
yang menimbulkan akibat hukum.

PENUTUP
Dari uraian pada pembahasan dan analisis di atas, maka dapat ditarik beberapa simpulan
bahwa pemerintah diberikan kewenangan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan untuk melakukan pembinaan penerbangan. Melihat kewenangan sedemikian
besarnya itu, apabila terjadi kecelakaan pesawat udara di Indonesia, maka pengguna jasa
angkutan dapat meminta pertanggung jawaban pemerintah; karena pemerintah bertanggung
jawab sesuai dengan hukum administrasi dan menurut hukum pidana serta bertanggunggugat
menurut hukum perdata.

DAFTAR PUSTAKA

Admosudirjo, Prajudi, 1988, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.


Campbell, Henry, 1968, Blacks Law Dictionary, Revised Fourt Edition, St Paul Minm West
Publishing, Co.
Djatmiati, Tatiek Sri, 2004, Prinsip Izin Usaha Indonesia Industri Indonesia (Disertasi)
Program Pasca Sarjana Unair.
Hadjon, M, Philipus, et.al, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Introduction to
the Indonesian Administrative Law, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
________________, et.al, 2010, Hukum Administrasi dan Good Governance, Universitas
Trisakti, Jakarta.
Kranenburg, R, terjemahan Kasman Singodimejo, Perkembangan Pertadilan Tentang
Tanggung jawab Negara, kutipan PM. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi
Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya.
Koentjoro, Diana Halim, 2004, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Nugraha, Safri, et.al, Hukum Administrasi Negara, Center For Law And Good
Governance Studies (CLGS), FH.UI.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2007, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, edisi ketiga, Jakarta.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 287

Ridwan, Juniarso dan Achmad Sodik Sudrajat, 2009, Hukum Administrasi Negara dan
Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa, Bandung.
Sadjiono, H, 2008, Bab Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang Pressindo, Yogyakarta.
Yong Zhang, 1999, Comparaive Studies On Governmental Liability In East And Southeast
Asia, Kluwer Law International, London.
Wade H.W.R,and C.F. Forsyth, 1994, Administrative Law, Oxford University Press, 7 ed,
New York.

Sumber lainnya:
Djatmiati, Tatiek Sri. O.O.D Dan Tanggung Jawab Jabatan Serta Tangggung Jawab Pribadi,
Makalah Disampaikan Pada Bimbingan Teknis Hakim Yunior Peratun Sewilayah
Hukum Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya di Surabaya, 17-20 November
2008.
Hadjon, M, Philipus, 2009, Materi Kuliah S2 Konsentrasi Hukum Pemerintah. Surabaya:
Universitas Airlangga.
________________, 2000, Tentang Wewenang, Makalah, Gema Peratun, MA RI, Lingkungan
Peratun, Jakarta.

AMANNA GAPPA
288 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT


DALAM PENGELOAAN SUMBERDAYA ALAM
Oleh:
Farida Patittingi
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
E-mail: patittingi@yahoo.co.id

Abstract: The rights of indigenous peoples for natural resources (particularly land and
forest), exclusively gain recognition and protection under the constitution of Indonesia.
Recognition of indigenous peoples and their traditional rights are of course to be followed
by granting exclusive rights to communities to control and manage the resources in their
environment, such as land or forest is the main source of livelihood of indigenous peoples.
Therefore, need a legal policy of the government that regulates and provides criteria for the
recognition of the firm and not vague on its existence and its rights over natural resources to
manage the acquisition, allocation, use and maintenance of these natural resources.
Keywords: Indigenous Peoples, Natural Resources

Abstrak: Hak-hak masyarakat hukum adat atas sumberdaya alam (khususnya tanah dan
hutan), secara eksklusif memperoleh pengakuan dan perlindungan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 18B ayat (2). Pengakuan terhadap
masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya tersebut tentunya harus diikuti dengan
pemberian hak eksklusif kepada masyarakat untuk menguasai dan mengelola sumberdaya
yang ada di lingkungannya, seperti tanah atau hutan yang memang menjadi sumber utama
penghidupan masyarakat adat (lebensraum). Oleh karena itu, dibutukan legal policy dari
Pemerintah yang mengatur dan memberikan kriteria pengakuan yang tegas dan tidak samar-
samar terhadap eksistensinya beserta hak-haknya atas sumberdaya alam untuk mengatur
penguasaan, peruntukan, penggunaan dan pemeliharaan sumberdaya alam tersebut.
Kata Kunci: Masyarakat Adat, Sumberdaya Alam

PENDAHULUAN

Masyarakat adat dengan segala hak-hak tradisionalnya, khususnya terhadap sumberdaya alam,
sesungguhnya telah memperoleh pengakuan, baik secara nasional maupun internasional.
Dalam konteks internasional, berbagai konvensi telah mengukuhkan kedudukannya tersebut.1
Dalam konteks nasional, pengakuan tersebut secara tegas dinyatakan dalam konstitusi,
sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang menegaskan:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang.
1 Antara lain, Konvensi ILO No. 169 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara
Merdeka (Concerning Indigenous and Tribunal People in Independent State), menetapkan bahwa pemerintah
wajib menghormati kebudayaan dan niulai-nilai spiritual masyarakat asli yang dijunjung tinggi dalam hubun-
gan mereka dengan lahan yang mereka tempati atau gunakan.

AMANNA GAPPA
290 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

Ketetapan MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam, Pasal 5 huruf j juga menegaskan bahwa pembaruan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip mengakui,
menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa
atas sumber daya agraria dan sumber daya alam.
Namun demikian, jika dicermati lebih dalam ternyata pengakuan kedudukan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya oleh Negara masih dalam tataran yuridis-normatif
yang kelihatannya sulit untuk diwujudkan karena adanya beberapa syarat yang mengikutinya,
yaitu: (a) sepanjang masih hidup; (b) sesuai dengan perkembangan masyarakat; (c)
prinsip NKRI; dan (d) diatur dalam undang-undang. Segenap persyaratan tersebut masih
membutuhkan penjabaran dan penegasan lebih lanjut, agar dapat diperoleh kepastian hukum
dan perlindungan hukum terhadap eksistensi masyarakat hukum adat tersebut.
Pengakuan terhadap masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya tersebut tentunya
harus diikuti dengan pemberian hak eksklusif kepada masyarakat untuk menguasai dan
mengelola sumberdaya yang ada di lingkungannya, seperti tanah atau hutan yang memang
menjadi sumber utama penghidupan masyarakat adat (lebensraum).
Salah satu wilayah yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan oleh masyarakat adat
adalah hutan, karena hutan adalah salah satu kekayaan masyarakat adat selain tanah sebagai
tempat bertumbuhnya hutan tersebut. Dalam pandangan masyarakat adat, bahwa hubungan
manusia dengan alam di sekitarnya adalah hubungan religio-magis yaitu hubungan yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain.
Sebagaimana ditegaskan dalam TOR Workshop ini bahwa pada umumnya komunitas
masyarakat adat memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling
memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni di antara keduanya. Untuk menjaga
keharmonisan hubungan antara manusia dengan hutannya maka pada umumnya telah
mengembangkan konsep kepemilikan (property rights) secara komunal dan bersifat eksklusif
atas suatu kawasan hutan adat.2
Untuk mendukung pengelolaan hutan adat sebagai hak bersama maka komunitas-
komunitas adat memiliki sistem tata kelolah dalam pengelolaan hutan, hukum adat dan
struktur kelembagaan (pemerintahan) adat yang memberikan kemampuan untuk memecahkan
masalah-masalah yang mereka hadapi. Hukum adat merupakan pranata sosial yang paling
penting bagi masyarakat untuk mengamankan sumberdaya di dalam kawasan hutan adat dari
penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh pihak-pihak dari luar.

2 Contoh yang dapat dikemukakan dalam hal ini adalah pengembangan sistem kepemilikan atas tanah dan
hutan yang ada di wilayah masyarakat hukum adat Ammatowa di Kabupaten Bulukumba, dimana pengua-
saan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan hutan di kawasan tersebut diatur dan dipimpin oleh Ammatowa.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 291

PEMBAHASAN DAN ANALISIS


Konsepsi Masyarakat Adat dalam Perspektif Hukum
Penggunaan istilah masyarakat adat yang sering disamakan dengan istilah masyarakat
hukum adat. Kajian akademis oleh beberapa pakar telah memberikan dasar teoritis dari
latar belakang penggunaan kedua istilah tersebut. Istilah masyarakat adat diambil dari
terjemahan kata indigenous peoples, sedangkan istilah masyarakat hukum adat merupakan
terjemahan dari istilah Belanda, yaitu rechtsgemenschap. Istilah rechtsgemenschap
tersebut sebagai istilah yang dihubungkan dengan istilah adatrecht yang dipopulerkan
Cornellis Van Vollenhoven dalam bukunya Het Adatrecht van Netherland Indie.3
Pendapat tersebut memberikan pemaknaan yang lebih luas terhadap istilah masyarakat
adat bila dibandingkan dengan istilah masyarakat hukum adat. Istilah masyarakat adat
diyakini memiliki dimensi makna yang luas dari sekadar aspek hukum, sebab dalam
masyarakat adat sangat erat terkait dengan dimensi kultural, religi, dan sebagainya. Dalam
Kongres Masyarakat Adat Nusantara I yang diselenggarakan pada bulan Maret 1999,
disepakati bahwa masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul
leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai,
ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri.
Sementara Konvensi ILO No. 169 Tahun 1999 mengenai Bangsa Pribumi dan
Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka (Concerning Indigenous and Tribunal People
in Independent State) mengartikan indigenous peoples sebagai suku-suku bangsa yang
berdiam di Negara merdeka yang kondisi sosial, budaya dan ekonominya berbeda dengan
kelompok masyarakat yang lain. Atau suku-ku bangsa yang telah mendiami sebuah Negara
sejak masa kolonial yang memiliki kelembagaan ekonomi, budaya dan politik sendiri.
F.D. Hollemann dalam bukunya De Commune Treck in het Indonesische Rechtsleven4
mengkonstruksikan 4 (empat) sifat umum dari masyarakat adat yaitu magis religious,
komunal, konkrit dan kontan. Keempat sifat tersebut dapat dideskrepsikan sebagai berikut.
(1) Sifat magis religious diartikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkan pada keyakinan
masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral. Sebelum masyarakat bersentuhan
dengan sistem hukum agama, religiusitas ini diwujudkan dalam cara berfikir yang pralogika,
animism dan kepercayaan pada alam gaib. Masyarakat harus menjaga keharmonisan antara
alam nyata dan alam batin (dunia gaib). Setelah masyarakat mengenal sistem hukum agama,
religiusitas diwujudkan dalam bentuk kepercayaan kepada Tuhan YME. Masyarakat percaya

3 Dalam Husen Alting, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak MAsyarakat Hukum
Adat atas Tanah (Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Mendatang), Penerbit LaksBang PRESSindo, Yogyakarta,
2010, hal. 80.
4 Dalam Otje Salman S, Rekonstruksi Hukum Adat Kontemporer, Penerbit PT.Alumni, Bandung, 2002,
hlm. 29-30.

AMANNA GAPPA
292 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

bahwa setiap perbuatan apapun bentuknya akan selalu mendapat imbalan dan hukuman Tuhan
sesuai derajat perbuatannya. (2) Sifat komunal (commuun), yaitu masyarakat memiliki asumsi
bahwa setiap individu anggota masyarakat merupakan bagian integral (tidak terpisahkan)
dari masyarakat secara keseluruhan. Diyakini bahwa kepentingan individu harus sewajarnya
disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat karena tidak ada individu yang
terlepas dari masyarakat. (3) Sifat konkrit diartikan sebagai corak yang serba jelas atau nyata
menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat tidak dilakukan
secara diam-diam atau samar. (4) Sifat kontan (kontante bandeling) mengandung arti sebagai
kesertamertaan terutama dalam pemenuhan prestasi. Artinya setiap pemenuhan prestasi selalu
dengan kontra prestasi yang diberikan sertamerta/seketika.
Sementara itu, walaupun para ahli menganggap istilah masyarakat hukum adat hanya
akan mempersempit entitas masyarakat adat sebatas pada entitas hukum, tetapi secara
yuridis-normatif istilah masyarakat hukum adat-lah yang lebih tepat jika dikaitkan dengan
eksistensi dari masyarakat adat itu sendiri beserta hak-haknya, karena eksistensi dan hak-
hak tersebut justru ada dalam masyarakat hukum adat yang diatur oleh hukum adat itu
sendiri. Demikian halnya jika ditelusuri berbagai peraturan perundang-undangan termasuk
dalam UUD 1945, justru istilah masyarakat hukum adat-lah yang digunakan. Pengertian
dari masyarakat hukum adat oleh beberapa pakar, antara lain diberikan oleh Kusumadi
Pujosewojo5, bahwa masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan
di wilayah tertentu, berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih
tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas yang sangat besar di antara anggota,
memandang bukan anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya
sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya.
Kusumadi membedakan masyarakat hukum adat dengan masyarakat hukum yang diartikan
sebagai suatu masyarakat yang menetapkan, terikat dan tunduk pada tata hukumnya sendiri.
Ter Haar6 memberikan pengertian masyarakat hukum adat sebagai kelompok manusia
yang teratur, bersifat tetap dengan mempunyai kekuasaan sendiri dan kekayaan sendiri, baik
berwujud (benda) maupun tidak berwujud (immaterial), dimana para anggota kelompok
masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut
kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota tersebut mempunyai pikiran untuk
membubarkannya, atau melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya. Di situlah
terdapat hukum adat sebagai endapan dari kekayaan social yang didukung dan dipelihara
oleh dan keputusan pemegang kekuasaan atau penghulu rakyat dan rapat yang dijatuhkan atas
5 Dalam Maria S.W.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta, 2001, hlm. 56
6 Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat (Terjemahan K.Ng.Soebakti Poespono). Cetakan ke-13,
Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hlm. 28

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 293

sesuatu tindakan hukum atau suatu perselisihan (beslissingen).


Sedangkan menurut Wignjodipuro dalam Farida Patittingi7, masyarakat hukum adat
(persekutuan hukum adat) adalah kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratur dan
kekal serta memiliki pengurus sendiri dan kekayaan sendiri, baik kekayaan materiil maupun
kekayaan immaterial. Masyarakat-masyarakat hukum adat di Indonesia dapat terbentuk
karena adanya pertalian darah/keturunan (genealogis), adanya kesamaan daerah tempat
tinggal (terotorial), serta percampuran keduanya (genealogis-territorial).
Berdasarkan pendapat beberapa pakar tersebut di atas, dapat disimpulkan beberapa ciri-
ciri dari suatu masyarakat hukum adat (adatrechtsgemenschap), yaitu: (1) adanya kesatuan
manusia yang teratur; (2) menetap di suatu daerah tertentu; (3) mempunyai penguasa-
penguasa; (4) mempunyai kekayaan, baik kekayaan materiil (berwujud) maupun yang
immaterial (tidak berwujud); (5) memiliki sistem nilai dan kepercayaan; serta (6) memiliki
tatanan hukum sendiri.
Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
Secara konsepsional, sebagaimana telah diuraikan di atas, suatu masyarakat dapat
dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat apabila masih memiliki ciri-ciri sebagaimana
telah dikemukakan oleh para pakar hukum Adat tersebut di atas. Namun demikian, dalam
konteks kebijakan hukum (legal policy), segenap ciri-ciri tersebut harus dikukuhkan dalam
suatu peraturan hukum, agar dapat menjadi acuan yang bersifat umum untuk menentukan
keberadaan dari suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat tersebut membawa konsekuensi
terhadap hak-haknya atas sumberdaya alam yang ada di wilayahnya serta pernyataan
kewenangan masyarakat hukum adat untuk mengatur dan mengelola sendiri sumberdaya
yang ada di wilayahnya tersebut.
Dalam kepustakaan hukum adat, hak masyarakat hukum adat tersebut dirumuskan
sebagai hak ulayat yang bersifat komunalistik religious. Sifat komunalistik menunjuk kepada
adanya hak bersama para anggota masyarakat hukum adat atas suatu sumberdaya (khususnya
tanah dan tanaman-tanaman yang ada di atasnya, dalam hal ini termasuk hutan). Hak Ulayat
adalah hak bersama masyarakat hukum adat yang diyakini sebagai karunia sesuatu Kekuatan
Ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat
hukum adat, sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok
tersebut sepanjang masa.
Sumberdaya milik bersama tersebut bukan hanya diperuntukkan bagi pemenuhan
kebutuhan suatu generasi, tetapi diperuntukkan sebagai unsur pendukung utama dalam
7 Farida Patittingi, Dimensi Hukum Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, Penerbit Rangkang Education, Yog-
yakarta, 2013, hlm. 103-104

AMANNA GAPPA
294 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

kehidupan dan penghidupan generasi terdahulu, sekarang dan yang akan datang. Dalam
konteks kepentingan inilah maka masyarakat hukum adat dibebani kewajiban untuk mengelola
dengan baik dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bersama.
Peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya perlu diatur oleh kelompok
yang bersangkutan, supaya selain dilakukan secara tertib dan teratur untuk menghindarkan
sengketa, juga bisa terjadi kelestarian kemampuannya bagai generasi yang akan datang. Inilah
yang merupakan konsep pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan dari masyarakat Hukum
Adat. Menjaga alam lingkungannya adalah menjaga kehidupannya itu sendiri, sebaliknya
menghancurkan alam lingkungannya berarti menghancurkan kehidupannya itu sendiri.
Dengan demikian, dalam konsep hak ulayat, masyarakat hukum adat terdapat 2 (dua)
konsep hukum, yaitu unsur kepunyaan bersama atas tanah bersama beserta tanaman yang ada
di atasnya yang termasuk dalam bidang hukum perdata, dan sekaligus mengandung tugas
kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan
penggunaannya yang termasuk dalam bidang hukum publik.
Tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan
tanah bersama, baik yang diperuntukkan bagi kepentingan bersama maupun bagi kepentingan
para warganya, tidak selalu bisa dilakukan bersama oleh masyarakat hukum adat itu sendiri.
Oleh karena itu, maka sebagian tugas tersebut pelaksanaannya diserahkan kepada Kepala
Adat sendiri bersama Tetua Adat.
Dalam konsep hukum adat, pelimpahan tugas kewenangan yang termasuk bidang
hukum publik itu tidak meliputi atau tidak pula mempengaruhi hubungan hukum dengan
tanah bersama yang beraspek hukum perdata. Hak kepunyaan atas tanah bersama tetap ada
pada masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yang berarti tetap ada pada warga bersama
dan tidak beralih kepada Kepala Adat. Hak bersama tersebut bukan hak milik dalam arti
yuridis, melainkan hak kepunyaan bersama.
Menurut Boedi Harsono,8 hak ulayat adalah hak dari suatu masyarakat hukum adat atas
lingkungan tanah wilayahnya, yang memberi wewenang-wewenang tertentu kepada penguasa
adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah wilayah wilayah maasyarakat hukum
adat tersebut. Sementara itu Maria S.W. Sumardjono, menyatakan bahwa hak ulayat adalah
istilah teknis yuridis yang menunjukkan adanya hak yang melekat sebagai kompetensi khas
pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah
dan seisinya dengan daya laku kedalam dan keluar. Menurut Maria S.W.Sumardjono, hak
ulayat tersebut sesungguhnya tidak hanya meliputi tanah beserta semua tanaman-tanaman
atau binatang-binatang yang ada di atasnya, tetapi juga terhadap air beserta sumberdaya yang
ada di dalamnya.
8 Ibid, hlm. 122

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 295

Secara konseptual, hak masyarakat hukum adat atas sumberdaya alam (khususnya
tanah dan hutan) tidak hanya mengandung unsur kepunyaan, tetapi juga tugas kewajiban
mengelola. Oleh karena itu, dalam konteks kekinian, perlu dukungan kebijakan hukum (legal
policy) dari Pemerintah agar perlindungan hukum terhadap keberadaan masyarakat hukum
adat beserta beserta hak-hak tradisionalnya memperoleh kepastian hukum.
Hal ini penting, sebab berbagai analisis pakar maupun masyarakat secara luas melihat
bahwa pengakuan yang diberikan oleh Negara terhadap keberadaan atau eksistensi masyarakat
hukum adat dalam tataran peraturan perundang-undangan masih dianggap sebatas pengakuan
secara yuridis-normatif, yang sulit dituntut pemenuhannya oleh masyarakat hukum adat
itu sendiri atau pihak-pihak yang terkait. Anggapan demikian karena adanya beberapa
persyaratan yang ketat yang menyertai pengakuan tersebut. Seperti pengakuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dalam UUD 1945 atau pengakuan hak ulayat
masyarakat hukum adat dalam UUPA masih membutuhkan kejelasan atas persyaratan yang
mengikutinya.
Misalnya Pasal 3 UUPA menentukan bahwa: Dengan mengingat ketentuan-ketentuan
dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-
masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan
lain yang lebih tinggi. Syarat yang mengikutinya ada 2 (dua) yaitu (a) eksistensinya,
artinya sepanjang dalam kenyataannya masih ada; dan (b) pelaksanaannya, yaitu sesuai
dengan kepentingan nasonal dan Negara dan tidak bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan lain yang lebih tinggi.
Segenap persyaratan tersebut masih membutuhkan kejelasan dan kesepakatan hukum
agar dapat menjadi pedoman bersama antara Pemerintah yang mewakili kepentingan negara
dengan masyarakat hukum adat yang membutuhkan perlindungan dalam penegakan hak-hak
mereka.
Selain hak-hak masyarakat hukum adat terhadap sumberdaya tanah yang merupakan
lebensraum mereka, hutan juga merupakan salah satu entitas yang memberikan kedudukan
yang penting bagi masyarakat hukum adat, karena dalam hutan itulah mereka dapat
memperoleh sumber penghidupan. Demikian pentingnya hutan bagi mereka, sehingga salah
satu hak yang bersifat eksklusif yang diberikan kepada masyarakat hukum adat atas hutan
yaitu hak memungut hasil hutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UUPA.
Dalam konteks penguasaan dan pengelolaan hutan berdasarkan UU No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan (UUK), masyarakat hukum adat tetap memperoleh pengakuan dan

AMANNA GAPPA
296 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

penghormatan, namun lagi-lagi dengan pemenuhan beberapa persyaratan. Misalnya dalam


Pasal 4 ayat (2) UUK menegaskan bahwa:
Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,
sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional.
Bentuk dan substansi pengakuan UUK terhadap hak masyarakat hukum adat atas
hutan kelihatannya meneruskan konsep pengakuan hak ulayat oleh UUPA, yaitu sepanjang
kenyataannya masih ada, diakui keberadaannya dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional. Pengakuan bersyarat tersebut juga masih dibingkai dengan konsep penguasaan
Negara atas hutan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) UUK, bahwasemua hutan
di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam pelaksanaan
hak menguasai Negara atas hutan itulah kemudian oleh UUK diinstruksikan untuk tetap
memperhatikan hak masyarakat hukum adat.
Terkait dengan hak-hak masyarakat hukum adat atas sumberdaya alam, khususnya
tanah dan hutan, konsep UUPA berbeda dengan konsep UUK. UUPA membedakan tanah
dalam 3 (tiga) kategori, yaitu tanah Negara, tanah hak dan tanah hak ulayat, sementara UUK
hanya membagi hutan dalam 2 (dua) kategori yaitu hutan Negara dan hutan hak. Dalam hutan
Negara-lah kemudian dimasukkan hutan adat, sehingga secara yuridis formal, keberadaan
hutan adat harus dalam bingkai hutan Negara, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1)
dan ayat (2). Pasal 5 ayat (1) UUK menentukan bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri
dari: a. hutan Negara, dan b. hutan hak. Kemudian Pasal 5 ayat (2) menentukan bahwa hutan
Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat. Penetapan
hutan adat dilakukan oleh pemerintah dengan syarat sepanjang menurut kenyataannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya (Pasal 5
ayat 3).
Dengan demikian, keberadaan hutan adat yang dapat menjadi wilayah pengelolaan
secara eksklusif dari masyarakat hukum adat sangat ditentukan oleh pengakuan dari
Pemerintah. Oleh karena itu, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam penetapan
status hutan oleh Pemerintah, maka perlu dirumuskan kebijakan hukum (legal policy) tetang
kriteria tersebut dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang tegas agar dapat menjadi
acuan bersama dalam menetapkan status hutan tersebut.
Segenap kebijakan hukum bersayap tersebut sesungguhnya semakin melemahkan
kedudukan masyarakat hukum adat atas pengelolaan sumberdaya (hutan), sehingga
membutuhkan advokasi yang sistematis dan berkesinambungan dari seluruh elemen
masyarakat untuk bersama-sama merumuskan suatu kebijakan hukum yang memberikan

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 297

kepastian hukum dan perlindungan hukum.


Dalam UUK tetap diatur prosedur pelaksanaan hak-hak masyarakat hukum adat
(yang dalam kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya) yang terkait dengan hutan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 67 ayat (1) UUK, yaitu:
a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari
masyarakat adat yang bersangkutan;
b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Penjelasan Pasal 67 ayat (1) menentukan bahwa masyarakat hukum adat diakui
keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: (a) masyarakatnya
masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemenschap); (b) ada kelembagaan dalam bentuk
perangkat penguasa adatnya; (c) ada wilayah hukum adat yang jelas; (d) ada pranata dan
perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; dan (e) masih mengadakan
pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-
hari.
Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Selanjutnya ayat (3) menentukan bahwa
ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-
haknya yang terkait dengan hutan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam penjelasan ayat (1) tersebut ditentukan bahwa Peraturan Daerah disusun dengan
mempertimbangkan hasil penelitianpara pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat
dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan serta instansi atau pihak
lain yang terkait. Penjelasan ayat (3) bahwa Peraturan Pemerintah dimaksud memuat aturan
antara lain: (a) tatacara penilaian; (b) pihak-pihak yang diikutsertakan; (c) materi penelitian;
(d) kriteria penilaian keberadaan masyarakat hukum adat.
Dengan demikian, maka bentuk pengakuan keberadaan dan hapusnya masyarakat
hukum adat dalam UUK harus ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang sebelumnya sudah
harus diatur mekanisme pengakuannya dalam Peraturan Pemerintah. Akan tetapi, sampai
saat ini, Peraturan Pemerintah dimaksud belum diterbitkan. Kekosongan hukum tersebut
kemudian diantisipasi oleh Menteri Kehutanan dengan membuat Surat Edaran Nomor S.75/
Menhut-II/2004 Perihal Masalah Hukum Adat dan Tuntutan Kompensasi/Ganti Rugi oleh
Masyarakat Hukum Adat. Surat Edaran yang dtujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota
di seluruh Indonesia, dimuat ketentuan-ketentuan sebagai sebagai penjabaran lebih lanjut
ketentuan Pasal 67 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), yang pada intinya menentukan:

AMANNA GAPPA
298 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

Dalam rangka mengakomodasi tuntutan oleh masyarakat hukum adat, maka diminta
kepada seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota se Indonesia untuk dapat mengambil langkah-
langkah sebagai berikut:
a. Apabila di wilayah Saudara terdapat tuntutan oleh masyarakat hukum adat di dalam
kawasan hutan yang selama ini telah dibebani dengan Hak Pengusahaan Hutan/Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), maka terhadap permohonan atau
tuntutan tersebut perlu sebelumnya dilakukan penelitian oleh pakar hukum adat,
tokoh masyarakat yang ada di daerah yang bersangkutan, instansi atau pihak lain yang
terkait serta memperhatikan aspirasi masyarakat setempat untuk menentukan apakah
permohonan yang bersangkutan masih merupakan masyarakat hukum adat atau bukan.
Penelitian tersebut harus mengacu kepada kriteria keberadaan masyarakat hukum adat
sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 67 ayat (1) UUK
b. Untuk menetapkan hutan Negara sebagai hutan adat yang pengelolaannya diserahkan
kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemenschap) setempat, Bupati/Walikota
melakukan pengusulan hutan Negara tersebut untuk ditetapkan sebagai hutan adat
dengan memuat letak, luas hutan serta peta hutan adat yang diusulkan kepada Menteri
Kehutanan dengan rekomendasi Gubernur, dengan ketentuan sepanjang menurut
kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada (de facto) dan
diakui keberadaannya (de jure).
c. Apabila berdasarkan hasil penelitian permohonan tersebut memenuhi syarat, maka agar
masyarakat hukum adat tersebut dapat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.
d. Peraturan Daerah tentang keberadaan masyarakat hukum adat selanjutnya disampaikan
kepada Menteri Kehutanan untuk diajukan permohonan penetapannya sebagai hutan
adat. Atas permohonan tersebut, menteri Kehutanan dapat menerima atau menolak
penetapan hutan adat.
e. Apabila berdasarkan permohonan tersebut Menteri Kehutanan dapat menerima, maka
akan ditetapkan hutan adat untuk masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan ketentuan
Menteri Kehutanan tentang penetapan hutan adat tersebut yang akan dikirimkan kepada
Saudara, maka kami minta bantuan Saudara untuk dapat memfasilitasi pertemuan antara
masyarakat hukum adat (yang telah ditetapkan) dengan pemegang HPH/IUPHHK.
f. Berkaitan dengan tuntutan ganti rugi atau kompensasi oleh masyarakat hukum adat
terhadap para pemegang HPH/IUPHHK yang melakukan kegiatan/operasi di wilayah
masyarakat hukum adat tersebut, maka ganti rygi/kompensasi tidak harus berbentuk
uang, tetapi dapat berupa bentuk mata pencaharian baru atau keterlibatan dalam
usaha pemanfaatan hutan di sekitarnya atau pembangunan fasilitas umum/social

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 299

yang bermanfaat bagi masyarakat hukum adat setempat dan dalam batas kewajaran/
tidak berlebihan, serta tidak bertendensi pemerasan dan bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat hukum adat setempat.
g. Dengan adanya tuntutan ganti rugi atau kompensasi oleh masyarakat hukum adat
terhadap para pemegang HPH/IUPHHK, Gubernur/Bupati/Walikota dapat memfasilitasi
pertemuan antara pihak yang bersangkutan untuk penyelesaian dengan cara musyawarah
dan mufakat. Namun apabila mengalami jalan buntu, maka penyelesaiannya disarankan
dilakukan melalui proses pengadilan dengan mengajukan gugatan secara perdata
melalui Pengadilan Umum
Selain itu, masyarakat hukum adat juga memperoleh peluang untuk pengelolaan hutan
dengan tujuan khusus sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 UUK. Penetapan kawasan hutan
dengan tujuan khusus tersebut diperlukan untuk kepentingan umum, seperti: (a) penelitian
dan pengembangan; (b) pendidikan dan latihan; serta (c) religi dan budaya.
Segenap bentuk pengakuan secara yuridis-normatif terhadap esksistensi masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, khususnya hak-haknya yang terkait dengan
pengelolaan hutan, pada level implementasi masih memiliki berbagai kendala, seperti:
a. Pengakuan bersyarat yang masih membutuhkan ketegasan. UUD 1945 dan Tap MPR
serta UU telah mengakui, namun tersumbat pada level peraturan pelaksanaan yang akan
menegaskan berrbagai syarat pengakuan. Walaupun syarat sepanjang kenyataannya
masih ada sudah diberikan kriterianya dalam Penjelasan Pasal 67 ayat (1), namun
bagaimana mengukur syarat tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi? Ini masih memerlukan diskusi yang
panjang untuk memperoleh kesepakatan antara masyarakat hukum adat dengan pihak-
pihak terkait, khususnya Pemerintah.
b. Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya didelegasikan
kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk tertulis berupa Peraturan Daerah. Ini juga
masih membutuhkan penelitian dan komitmen Pemerintah Daerah untuk memberikan
pengakuan.
c. Khusus pengakuan hak masyarakat hukum adat atas hutan, juga masih membutuhkan
prosedur yang cukup panjang dan berliku yang harus didasarkan pada Peraturan
Pemerintah, sementara Peraturan Pemerintah tersebut belum diterbitkan.
d. Karena belum terbit Peraturan Pemerintah, maka untuk sementara dasar prosedur
pengakuan masyarakat hukum adat atas hutan beserta hak-haknya dan penetapan suatu
hutan Negara menjadi hutan adat hanya didasarkan pada Surat Edaran, sementara
Surat Edaran tersebut bukanlah peraturan hukum yang mengikat, sehingga dapat saja

AMANNA GAPPA
300 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

diabaikan oleh Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) tanpa adanya sanksi
bagi Pemerintah Daerah tersebut.
e. Problematika wilayah kelola masyarakat hukum adat atas sumberdaya hutan dalam
tataran kebijakan hukum (legal policy) masih membutuhkan kejelasan agar dapat
memberikan kepastian hukum, dan dibutuhkan komitmen pemerintah untuk menjalankan
kebijakan hukum (legal policy) tersebut agar dapat memberikan perlindungan hukum
kepada masyarakat hukum adat.

PENUTUP

Pelaksanaan hak-hak masyarakat hukum adat atas sumberdaya alam (khususnya tanah dan
hutan) akan sangat ditentukan oleh adanya legal policy dari Pemerintah yang mengatur dan
memberikan kriteria pengakuan yang tegas dan tidak samar-samar terhadap eksistensinya
beserta hak-haknya atas sumberdaya tertentu, yaitu mengatur peruntukan, penguasaan,
penggunaan dan pemeliharaan sumberdaya.
Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisonlanya dalam
berbagai peraturan perundang-undangan saat ini masih sulit untuk dituntut pemenuhannya
oleh masyarakat hukum adat, sebab masih membutuhkan berbagai persyaratan yang sangat
ketat dan cenderung melemahkan kedudukan masyarakat hukum adat itu sendiri.
Semoga kedepan, Negara secara konsisten dapat memberikan pengakuan atas
keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tersebut, dengan memberikan kejelasan
atas semua syarat yang ketat tersebut, agar amanat konstitusi untuk memberikan kesejahteraan
dan perlindungan kepada seluruh rakyat Indonesia dapat terwujud, insya Allah.

DAFTAR PUSTAKA

Farida Patittingi, 2012, Dimensi Hukum Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, Penerbit Rangkang
Education, Yogyakarta.
Husain Alting, 2010, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat
Hukum Adat atas Tanah (Masa Lalu, Kini, dan Masa Datang), Penerbit LaksBang
PRESSindo, Yogyakarta.
Otje Salman S, 2002, Rekonstruksi Hukum Adat Kontemporer, Penerbut PT.Alumni, Bandung.
Ter Haar, 2001, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat (Terjemahan K.NG.Soebakti
Poespono). Cetakan ke-13, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 069

PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM BERAT


MASA LALU MELALUI MEKANISME KOMISI
KEBENARAN DAN REKONSILIASI

Oleh:
A. Muhammad Fajar Akbar
Lembaga Bantuan Hukum Makassar
E-mail: fajarmerah.lbhmks@gmail.com

Abstract: Reform era marked by changes in the Constitution, one of which produce a design
that embodies many constitutional provisions on human rights (Human Rights). This implies
the existence of a strong desire to build a democratic state of law in Indonesia. One of the
serious challenges of the ideals of the democratic rule of law is to address the serious human
rights violations in the past. Settlement efforts through the Ad Hoc Human Rights Court
deemed unsatisfactory and just political theater. While other remedies through the Truth and
Reconciliation Commission (TRC), the legal basis has been canceled by the Constitutional
Court in 2006. The Government has not been able to finalize a new draft TRC bill despite
having entered in the National Legislation Program in 2011. TRC should be a priority at this
time because the governments settlement of past human rights violations is the mandate of
the Constitution and the ideals of reform and for the sake of a democratic legal state.
Keywords: Constitution, Human Rights Violations, Truth and Reconciliation Commission

Abstrak: Era reformasi ditandai dengan perubahan konstitusi yang salah satunya
menghasilkan desain konstitusi yang mewadahi banyak ketentuan mengenai hak-hak asasi
manusia (HAM). Hal ini menyiratkan adanya keinginan kuat membangun Negara hukum
yang demokratis di Indonesia. Salah satu tantangan serius dari cita-cita Negara hukum
demokratis itu adalah penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Upaya
penyelesaian melalui pengadilan HAM Ad Hoc dianggap tidak memuaskan dan hanya sekedar
sandiwara politik. Sementara mekanisme penyelesaian lainnya melalui Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (KKR), dasar hukumnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi tahun
2006. Pemerintah belum mampu merampungkan draft RUU KKR yang baru meski telah
masuk dalam Prolegnas tahun 2011. Pembentukan KKR saat ini harus menjadi prioritas
pemerintah karena penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu adalah amanat
konstitusi dan cita-cita reformasi dan demi tegaknya Negara hukum yang demokratis.
Kata kunci: Konstitusi, Pelanggaran HAM Berat, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

PENDAHULUAN

Era reformasi telah memasuki tahun ke 15, tapi upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa
lalu masih belum menemukan jalan terang. Komitmen dan konsistensi rezim reformasi
sekarang ini patut dipertanyakan. Ironis memang karena PBB sendiri secara membabi buta
memberikan nilai memuaskan atas kinerja pemerintahan SBY dalam penegakan HAM.
Padahal rezim ini tak punya konsep dan pola penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa
lalu yang jelas hingga periode keduanya yang tinggal setahun lagi.

AMANNA GAPPA
302 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

Sejak era reformasi dimulai dan kemudian dilakukan perubahan Konstitusi yang salah
satunya menghasilkan desain konstitusi yang mewadahi banyak ketentuan mengenai hak-hak
asasi manusia. Bisa dikatakan bahwa semangat mewujudkan Negara yang lebih demokratis
dengan mengedepankan penghormatan pada hak-hak asasi manusia sangat dominan dalam
beberapa tahun awal orde reformasi. Selain pencantuman HAM yang lebih komprehensif
dalam konstitusi, juga dilahirkan beberapa undang-undang mengenai HAM, seperti UU
HAM di tahun 1999, UU Pengadilan HAM di tahun 2000, UU tentang Ratifikasi Konvensi
Internasional Hak Sipil Politik serta Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya di tahun 2005, serta
masih banyak lagi peraturan perundang-undangan terkait HAM lainnya. Namun, semangat
ini ternyata tidak cukup teradopsi dalam hal penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM
berat di masa lalu.
Upaya menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu di masa transisi dari pemerintahan
otoritarian ke pemerintahan demokratis harus menghadapi beberapa tantangan serius,
antara lain sistem peradilan yang korup dan tidak efisien serta keengganan para pemimpin
baru untuk menghadapi elemen dari penguasa lama.1 Namun, tentu saja hal tersebut tidak
menggugurkan kewajiban negara untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Kewajiban Negara tersebut harus dijalankan tidak hanya untuk mengembalikan hak korban
dan keluarganya dan menuntut akuntabilitas para pelaku, tapi juga untuk menjamin bahwa
pelanggaran serupa tidak terulang di masa datang.
Upaya pemerintahan baru meminta pertanggungjawaban kejahatan kemanusian oleh
rezim masa lalu itu melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc, sebagaimana telah
dilakukan dalam kasus Timor Timur dan Tanjung Priok, ternyata tidak sesuai harapan,
bahkan mengecewakan. Peradilan itu dinilai sekadar sandiwara politik belaka, jauh dari spirit
keadilan, jauh dari semangat untuk menciptakan masa depan Indonesia yang ditegakkan atas
nilai-nilai keadilan, khususnya bagi korban dan keluarganya.
Komnas HAM sendiri, terkait dengan pelanggaran HAM masa lalu, setidaknya telah
melakukan penyelidikan terhadap kasus Talangsari 1989, Kasus Trisaksi, Semanggi, dan Mei
1998, dan Kasus Penghilangan Paska 1997-1998 yang sampai sekarang belum ditindaklanjuti
oleh Kejaksaan Agung dan Pemerintah. Kejaksaan Agung berdalih belum ada rekomendasi
DPR dan masih ada berbagai hal yang harus dilengkapi oleh Komnas HAM.
Apologi klasik Kejaksaan Agung dinilai banyak kalangan aktivis pro demokrasi tidak
konsisten. Kasus Penghilangan Paksa tahun 1997-1998, juga tidak dilaksanakan hingga
saat ini. Padahal, pada 28 Oktober 2009, DPR merekomendasikan kepada Presiden untuk
membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus ini.

1
Hilmar Farid & Rikardo Simarmata, Demi Kebenaran, Pemetaan Upaya-Upaya Pencarian Keadilan
dalam Masa Transisi di Indonesia, 2004, ELSAM Hal 3

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 303

Selain menggunakan mekanisme peradilan, kebijakan lain yang disiapkan untuk


menyelesaikan sejumlah kasus pelanggaran HAM masa lalu adalah dengan pembentukan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), seperti dimandatkan oleh Tap MPR No. XVII/
MPR/2000 dan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Walaupun KKR
sebelumnya telah diatur dalam UU No 27 Tahun 2004, tapi tahun 2006, UU tersebut dibatalkan
oleh Mahkamah Konstitusi (MK), meskipun hakim MK sendiri merekomendasikan dalam
putusannya untuk membuat UU baru tentang KKR yang sesuai amanah konstitusi.
Pascapembatalan UU KKR oleh MK, memang muncul inisiatif kembali untuk
membentuk UU KKR melalui Kementerian Hukum dan HAM. Pada November 2010,
Kementerian Hukum dan HAM akhirnya menyelesaikan Naskah Akademis dan RUU KKR,
yang kemudian diserahkan kepada Presiden. RUU KKR sempat menjadi RUU prioritas
dalam Program Legislasi Nasional tahun 2011. Namun, Presiden tidak juga menyerahkan
RUU KKR ke DPR untuk dibahas pada tahun 2011, dan hingga kini tidak ada kejelasan
mengenai nasib RUU tersebut.
Menguatnya kembali desakan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu
melalui mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi disebabkan oleh kekecewaan pada
mekanisme legal Peradilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc. KKR diharapkan menjadi lembaga
ektra yudisial yang efektif mengungkap kebenaran, dalam hal ini pola umum pelanggaran
HAM masa lalu serta mendorong rekonsiliasi demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Mekanisme KKR sendiri pernah digunakan di sejumlah negara di Eropa, Afrika, Asia dan
Amerika Latin. Sejak kemunculannya pertama kali di Argentina dan Uganda pada dekade
1980-an, KKR telah menjadi fenomena internasional. Lebih dari 20 negara telah memilih
jalan mendirikan KKR sebagai cara mempertanggungjawabkan kejahatan hak asasi manusia
yang terjadi di masa lalu. Beberapa di antaranya mencatat sukses yang hebat, meski tentu saja
ada yang setengah berhasil, dan ada juga dilanda kegagalan.
Upaya menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan juga melaksanakan rekonsiliasi dalam persepektif
kepentingan bersama bangsa Indonesia menjadi topik yang senantiasa penting untuk dibahas.
Hal ini terkait dengan kehendak kontitusi khususnya ketentuan pasal 1 ayat (3) UUD NRI
Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara hukum.
Oleh karena itu, penulis memandang perlu untuk mengangkat kembali peluang
penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme KKR dalam
hubungannya dengan Negara hukum dan pelaksanaan amanah konstitusi. Hal ini menjadi
urgent menurut penulis, karena akhir-akhir ini berkembang pesimisme secara meluas di
tingkat masyarakat akan masa depan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Hal ini

AMANNA GAPPA
304 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

tentu dipengaruhi oleh kurangnya komitmen pemerintahan reformasi untuk itu, bahkan
mulai terkesan mengalami syndrome amnesia. Tulisan ini sekaligus menjadi peringatan
bagi pemerintahan reformasi bahwa masih ada amanat konstitusi yang hingga kini belum
dilaksanakan, yaitu penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

PEMBAHASAN DAN ANALISIS


Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu sebagai Amanah Konstitusi
Kesadaran pentingnya mengusut, mengungkap kebenaran dan meminta
pertanggungjawaban rezim masa lalu yang melakukan kejahatan kemanusian, secara
teoritis, diyakini banyak aktivis pro demokrasi merupakan jalan menuju demokrasi. Tidak
mungkin sebuah bangsa dapat hidup bersatu padu dalam damai di atas sejarah penuh luka dan
kekerasan. Proses transisi menuju demokrasi harus berjalan di atas proses sejarah yang jujur,
adil dan bertanggung jawab. Pemerintahan yang baru harus menemukan jalan keluar untuk
meneruskan detak nadi kehidupan, menciptakan ulang ruang nasional yang damai dan layak
dihuni, membangun semangat dan upaya rekonsiliasi dengan para musuh masa lampau, dan
mengurung kekejaman masa lampau dalam sangkar masa lampaunya sendiri.2
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun
1945 menyebutkan, bahwa Negara Indonesia negara hukum. Negara hukum dimaksud
adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk menegakan kebenaran dan keadilan
dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan.3
Negara Hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan
kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup
untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila
kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan
hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi
pergaulan hidup antar warga negaranya.4
Menurut Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya,
melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum
dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik tidaknya suatu peraturan
undang-undang dan membuat undang-undang adalah sebagian dari kecakapan menjalankan
pemerintahan negara.5
2
Ifdal Kasim, dkk (ed.), Setelah Otoritarianisme Berlalu: Esai-Esai Keadilan di Masa Transisi, ELSAM,
Jakarta, 2001, hlm. vi
3
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengnan Urutan Bab, Pasal dan ayat),Sekertaris Jendral MPR
RI, Jakarta, 2010, hlm, 46
4
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta 1988, hlm.
153
5
Ibid, Hal 154

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 305

Lebih lanjut Friedrich Julius Stahl mengemukakan empat unsur Negara hukum dalam
arti klasik, yaitu:
1. Hak-hak asasi manusia;
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negara-negara
Eropa Kontinental biasanya disebut trias politica);
3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur);
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.6
Menurut Van Apeldoorn, tujuan hukum ialah mengatur tata tertib masyarakat secara
damai dan adil. Perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi
kepentingan-kepentingan manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta dan
sebagainya terhadap yang merugikannya. Bangunan ketertiban dalam masyarakat tidak
akan terwujud di atas ketidakadilan yang dialami oleh sebagaian anggotanya. Impian
itu merupakan impian kosong dan angan-angan belaka. Ibaratnya, bangsa ini bermimpi
membangun monumen yang indah dan kokoh, tapi sayangnya, monumen tersebut dibangun
di atas rawa, bukannya di atas tanah yang kokoh.
Gagasan negara hukum yang demokratis tempat di mana hak asasi manusia diakui,
dihormati dan dilindungi telah dikemukakan oleh para perintis kemerdekaan Republik
Indonesia. Dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan kawan-kawan hampir satu abad yang lalu
telah mengemukakan gagasan Indonesia (Hindia Belanda) berParlemen, berPemerintahan
sendiri, di mana hak politik rakyatnya diakui dan dihormati. Walaupun pada waktu itu
Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, Soewardi Soeryoningrat masih berbicara dalam konteks
hubungan Indonesia (Hindia Belanda) dengan Netherland, namun nampak jelas para
perintis kemerdekaan ini mencita-citakan suatu Indonesia yang merdeka, berParlemen
dan berPemerintahan sendiri yang pada saatnya lepas dari penjajahan Belanda. Menurut
pendapat saya saat itu cita-cita Negara Hukum yang demokratis tempat di mana HAM
dimajukan dan dilindungi hidup bersemi dan terus berkembang dalam pikiran dan hati para
perintis kemerdekaan bangsa Indonesia.7 Namun, cita-cita itu saat ini justru menghadapi
tantangan yang besar berupa ketidakkonsistenan dan bahkan kemunafikan penguasa untuk
menegakkan negara hukum yang demokratis yang menjamin perlindungan, pemajuan, dan
penegakan HAM. Negara yang berdiri di atas konstruksi kokoh yang bernama kedaulatan
rakyat sebagaimana cita-cita pendiri bangsa ini sepertinya masih menghadapi jalan terjal dan
berliku dalam pewujudannya.
Dalam konteks implementasi penegakan hukum dan HAM yang sempat mendapat
amunisi besar diawal era reformasi pasca tumbangnya rezim orde baru. Akan tetapi, amunisi
6
Miriam Budiharjo, Dasar-dasar Ilmu Politik Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 57-58
7
Abdul Hakim G Nusantara Negara Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Makalah disampaikan pada
training HAM bagi pengajar hukum & HAM, Makassar, 3-6 Agustus 2010, PUSHAM UII & Norwegian Centre
of Human Rights

AMANNA GAPPA
306 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

besar ini sepertinya tidak berada dalam genggaman orang yang tepat, sehingga gagal digunakan
dengan tepat. Indonesia fase transisional sama sekali belum dapat mengukuhkan suatu batas
yang jelas dan tegas antara rezim lama dengan rezim baru. Transisi berlangsung dengan pola
transplasi, cangkokan, bukan dengan pola penggantian. Akibatnya, pemerintahan yang ada
setelah lengsernya Soeharto masih berada dalam kerangkeng sistem masa lalu, dimana secara
de facto praktek kenegaraan tidak bisa lepas sepenuhnya dari pengaruh politik kekuatan rezim
lama.8
Sebagian tokoh-tokoh Orde Baru yang dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran
HAM masa lampau masih mampu mempengaruhi kebijakan pemerintahan orde reformasi,
dan bahkan sebagiannya memegang peranan yang sangat strategis dan kuat dalam
pemerintahan masa sekarang. Tokoh-tokoh tersebut masih berupaya memenuhi kebutuhan dan
kepentingan mereka sendiri. Apalagi mesin politik Orde Baru bernama Golongan Karya tidak
tersentuh sama sekali. Konstelasi dan sistem pemerintahan sekarang yang semakin liberal
secara ekonomi politik, memang sangat menguntungkan bagi individu-individu ini. Pola
pembangunan demokrasi yang liberal, yang dipenuhi politik transaksional dan sistem koalisi
kepartaian yang bekerja dengan sistem kartel partai politik. Para pemuka masing-masing
partai tidak mau kedudukannya terancam dengan menggangu status quo dan mengadili si
pelaku rezim terdahulu tersebut. Kebudayaan impunity yang sangat kuat selama rezim Orde
Baru masih hidup hingga kini.
Kondisi demikian membawa pengaruh yang kuat dalam memproses pelanggaran HAM
berat masa lampau. Maka, tidak perlu heran bila yang ditawarkan oleh para elite politik
sekarang sebagai mekanisme untuk menyelesaikan masalah-masalah masa lampau tersebut
ialah islah. Islah adalah suatu proses rekonsiliasi menurut Islam di mana si korban dan pelaku
saling memaafkan setelah si pelaku mengakui kesalahannya dan diadili.
Kenyataannya yang dilakukan sekarang mengenai beberapa kasus-kasus pelanggaran
HAM bukan proses tersebut. Proses islah sudah dimanipulasi oleh para elite untuk memenuhi
kepentingannya. Yang ditawarkan ialah proses dimana korban-korban diberikan kompensasi
tanpa menungkapkan kebenaran mengenai apa yang terjadi pada masa lampau korban,dan
pada gilirannya generasi masa depan, dipaksa untuk melupakan begitu saja sejarah kelam
masa lalu itu dari memori mereka. Khususnya setelah krisis ekonomi tahun 1998, para
pelaksana proses tersebut memanfaatkan keadaan ekonomi untuk memastikan bahwa masa
lampau dilupakan. Islah semacam ini memberikan pilihan yang sangat menarik dan godaan
yang menggiurkan bagi para korban yang keadaan ekonominya lemah. Sepertinya, dengan
melihat fenomena yang ada, yang sedikitnya telah digambarkan di muka, pemerintahan
8
Priyadi Arief, Menatap Masa Depan Penanganan Pelanggaran HAM di Indonesia : Persepsi Keluarga
Korban, Disampaikan dalam acara diskusi di Kampus Univ.Atma Jaya Nopember 2001,dalam rangka Peringatan
Tiga Tahun Peristiwa Semanggi1-13Nopember 1998

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 307

transisi sekarang tidak memiliki political will untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa
lampau.
Rezim transisi selalu dihadapkan pada dua posisi waktu yang bertolak belakang dalam
gagasan dasarnya : masa depan yang lebih baik dan masa lalu yang penuh keburukan.
Sementara terdapat kebutuhan untuk konsolidasi kelembagaan yang diperlukan bagi hadirnya
sebuah pengelolaan kekuasaan yang demokratis, terdapat desakan untuk menemukan cara
tentang bagaimana warisan rezim otoritarian itu hendak diselesaikan. Salah satu warisan
terburuk yang dihasilkan oleh rezim sebelumnya yang melekat pada system adalah kejahatan
pada HAM. Sementara konsolidasi kelembagaan masih tengah diupayakan (yang seringkali
memang sungguh tidak mudah itu), terdapat tuntutan yang menggunung untuk membawa
pelaku kejahatan HAM ke depan pengadilan.9
Dalam UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM hanya dikenal 2 bentuk
pelanggaran HAM berat yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kebanyakan pelanggaran berat HAM di masa lalu yang dilakukan oleh rezim pemerintahan
terdahulu adalah dua jenis kejahatan itu, seperti pembunuhan massal di tahun 1965-1966,
invasi Indonesia ke Timor-Timur pada tahun 1975, represi terhadap kaum muslim di tahun
1980-an, pelanggaran HAM di Aceh dan Papua, penculikan dan pembunuhan (pembunuhan
misterius) tahun awal 1980-an, kasus Tanjung Priok yang tak terungkap di pengadilan, kasus
Warsidi di Lampung tahun 1989, kasus penculikan aktivis demokratis/HAM tahun 1990-an,
serta pelanggaran HAM di Timor Timur pasca jajak pendapat pada tahun 1990-an akhir.10
Terlepas dari perdebatan mengenai asas non rektroaktif, UU Pengadilan HAM telah
menetapkan dua cara dalam penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM yaitu melalui
mekanisme pengadilan dan melalui mekanisme komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Komisi
kebenaran dan pengadilan adalah dua mekanisme penting dalam sebuah transisi demokratis.
Masing-masing melayani tujuan-tujuan unik yang tidak bisa dicapai oleh hanya salah satunya;
mereka tidak saling menggantikan melainkan mereka saling melengkapi, dan pemenuhan
sejauh mungkin jangkauan tujuan yang ada hanya dapat dicapai bila terdapat sekaligus
pengadilan pidana dan komisi kebenaran walaupun beberapa negara mengambil keputusan
untuk tidak memilih kedua-duanya. Pengadilan pidana dapat melakukan hal-hal yang tidak
dapat dilakukan Komisi Kebenaran, demikian pula sebaliknya.11
Signifikansi pembentukan KKR bukan sekadar alternatif Pengadilan Hak Asasi
Manusia Ad Hoc, tetapi juga sebagai kawan seiring dan mitra sebanding. KKR merupakan
9
Hajriyanto Y Thohari, Ikhtiar Penyelesaian Pelanggaran HAM masa lalu; Membangun Indonesia yang
lebih bermartabat, makalah, disampaikan dalam diskusi Penanganan Pelanggaran HAM, dilaksanakan oleh
Elsam, 12 April 2011 Hal 2
10
Agus Raharjo, Implikasi Pembatalan UU KKR Terhadap Prospek Penanganan Pelanggaran Berat HAM,
Mimbar Hukum Volume 19 Nomor 1, Februari 2007, Hal 4-5
11
Agus Raharjo, Ibid, Hal 8

AMANNA GAPPA
308 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

upaya kunci yang kental menggunakan perspektif hak asasi manusia dan paradigma humanis
yang mengedepankan kepentingan para korban di satu sisi dan menyelamatkan kehidupan
masyarakat umum di sisi lain. KKR merupakan wahana untuk menerapkan konsep keadilan
restoratif dan reparatif di satu sisi dan konstruktif di sisi lain. KKR mengimplikasikan
konsep keadilan yang keluar dari pakem klasik khas Aristotelian seperti keadilan komutatif/
kontraktual, distributif, korektif, dan punitif. Selain itu juga tidak mengadopsi pakem
Rawlsian-Habermasian yang menumbuhkan keadilan di atas kesetaraan (justice as fairness)
yang hanya dapat diterapkan dalam situasi normal dan bukannya dalam masa transisional.
KKR dalam prakteknya di beberapa Negara seperti Afrika Selatan yang relative dianggap
berhasil, memperkenalkan konsep keadilan progresif yang mengedepankan penghukuman
kejahatan (keadilan kriminal), pembongkaran sejarah (keadilan historis), pengutamaan dan
penghormatan terhadap korban (keadilan reparatoris), pembenahan serta pembersihan sistem
penyelenggaraan negara (keadilan administratif), dan perombakan konstitusi (keadilan
konstitusional) yang ditegakkan di atas prinsip rule of law, kedaulatan rakyat atau legitimasi
demokratis yang mengedepankan hukum, dan bukan sekadar ruled by law, kedaulatan hukum
yang belum tentu demokratis.
Ide dasar konsep KKR didasarkan pada sebuah kepercayaan bahwa rekonsiliasi antara
pelaku dan korban pelanggaran hak asasi manusia membutuhkan pengungkapan kebenaran
di belakang semua kejadian secara menyeluruh. Tujuannya adalah menemukan pola umum
pelanggaran HAM yang dipraktekkan oleh rezim masa lalu. Mekanisme penyelesaian
kasus pelanggaran berat HAM masa lalu ini lebih dari sekadar menangani pelanggaran hak
asasi manusia yang bersifat kasuistik, melainkan merupakan dasar moral sebuah reformasi
pemerintahan dan masyarakat yang menghormati martabat manusia melalui cara-cara yang
demokratis, tanpa kekerasan dan sesuai dengan prinsip supremasi hukum. Ini semua bertujuan
agar kesalahan yang sama tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
Sudah lama terdapat anggapan yang keliru bahwa pembentukan komisi ini hanya
memperbanyak daftar komisi di negeri ini yang katanya menjadi trend era reformasi. Bahkan
sinisme sempat berkembang bahwa KKR hanya memperpanjang rantai impunitas atau
sebaliknya hanya akan menyeret dan memadati penjara dengan semua orang bersalah di masa
lalu. Pihak-pihak yang keliru dengan sinismenya ini tampaknya tidak mampu melihat hal yang
mendasar dan lebih luas atas nama kepentingan tegaknya Negara hukum yang menghormati
HAM melalui mekanisme pengungkapan kebenaran dan perwujudan rekonsiliasi secara
nasional.
Dalam diskurus hak asasi manusia, secara umum penyelesaian pelanggaran berat HAM
masa lalu, dikenal 4 pola lazim yang bisa dipilih yaitu :
1. Pengadilan dan penghukuman;

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 309

2. Pengadilan dan pengampunan;


3. Tidak ada pengadilan tapi dikutuk selamanya;
4. Tidak ada pengadilan dan dilupakan begitu saja.
Pola pertama telah ditempuh melalui Pengadilan HAM ad-hoc untuk kasus pelanggaran
HAM yang berat di Timor Timur, di tahun 2002. Sementara di tahun 2004, untuk kasus
pelanggaran HAM yang berat di Tanjung Priok tahun 1984. Pola kedua juga telah coba
diupayakan melalui pembentukan KKR, namun kemudian layu sebelum berkembang dengan
adanya putusan Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006 yang menyatakan UU No 24 Tahun 2004
tentang KKR bertentangan dengan konstitusi dan dinyatakan tidak mengikat secara hukum.
Sementara pola ketiga dan keempat belum pernah secara resmi dinyatakan oleh pemegang
kekuasaan di orde reformasi sebagai cara yang ditempuh untuk menyelesaikan pelanggaran
HAM berat di masa lalu. Hal ini tentu saja terkait dengan konsekuensi sosial politik yang bisa
merusak citra pemerintahan di hadapan rakyat pada umumnya dan korban serta keluarga
korban pada khususnya. Keluarga korban maupun pegiat gerakan pro demokrasi tentu saja
tak pernah menghendaki cara-cara penyelesaian seperti itu yang ditempuh, karena hal itu
sama saja dengan mengkhianati amanah reformasi dan kewajiban konstitusi.
UU KKR sebagai payung hukum salah satu mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran
HAM berat di masa lalu memang oleh beberapa kalangan dianggap paling kompromis dalam
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Beberapa NGO/LSM kemudian mengajukan
Judicial Review UU KKR dan kemudian UU tersebut dinyatakan mengandung beberapa
klausa yang bertentangan dengan konstitusi sehingga dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Namun, perlu kiranya untuk melihat lagi pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam
putusan 006/PUU-IV/2006 yang menyebutkan :
...tidak adanya kepastian hukum, baik dalam rumusan normanya maupun
kemungkinan pelaksanaan normanya di lapangan untuk mencapai tujuan rekonsiliasi
yang diharapkan. Dengan memperhatikan pertimbangan yang telah diuraikan di atas,
Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR, sebagaimana termaktub dalam
Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang a quo, tidak mungkin dapat diwujudkan karena
tidak adanya jaminan kepastian hukum (rechtsonzekerheid).
...banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan
rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang serasi dengan UUD
1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan
rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara
umum.12

Dalam pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi merekomendasikan


pembentukan kembali kebijakan hukum dalam bentuk undang-undang yang selaras dengan

Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No 006/PUU-IV/2006


12

AMANNA GAPPA
310 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

kehendak konstitusi demi penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu yang dapat
dimaknai sebagai undang-undang KKR yang baru. Walaupun demikian Mahkamah Konstitusi
juga merekomendasikan bentuk kebijakan lain, yaitu kebijakan politik dalam rangka
rehabilitasi dan amnesty umum. Kedua rekomendasi ini dimaksudkan demi terwujudnya
rekonsiliasi secara nasional. Dengan demikian bila dihubungkan dengan cara penyelesaian
pelanggaran HAM masa lalu seperti yang diuraikan sebelumnya, kedua rekomendasi
Mahkamah Konstitusi tersebut dapat ditempuh.
Namun, bila mengacu pada pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, aspek
kepastian hukum menjadi hal yang fundamental dan oleh karena itu seharusnya pembentukan
UU KKR yang baru yang lebih selaras dengan kehendak konstitusi menjadi jalan pertama dan
utama yang harus dilaksanakan oleh penguasa. Tentu saja kebijakan hukum lebih menjamin
adanya kepastian hukum dibanding kebijakan politik.

Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu adalah Amanah Reformasi


Lahirnya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, menjadi
bukti pertama akan adanya itikad kuat bangsa ini setelah tumbangnya pemerintah otoritarian
orde baru untuk mengarungi masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilandasi
penghormatan atas HAM. Bangsa ini semakin menyadari tentang pentingnya penghormatan
terhadap hak asasi manusia, suatu hal yang sebenarnya telah menjadi bahan diskusi para
pendiri bangsa sebelum Indonesia merdeka diproklamirkan. Dalam kerangka penghormatan
inilah, setiap terjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia, haruslah diikuti dengan proses
pertanggungjawaban yang akuntabel, termasuk terhadap kasus yang terjadi di masa lalu.
Dalam rangka menjalankan mandat ketetapan MPR inilah kemudian lahir UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang salah satu bagiannya secara khsusus mengatur
kelembagaan dan mandat Komnas HAM. Pemerintahan Habibie pada waktu itu, karena
berbagai desakan internasional terkait dengan kasus Timor Timur, juga mengeluarkan Perppu
No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, pada 8 Oktober 1999. Namun, Perppu ini
akhirnya ditolak DPR untuk menjadi undang-undang. DPR menyatakan Perpu 1 Tahun 1999
tidak secara komprehensif menyebutkan jenis kejahatan dan bentuk tindakan yang dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang berat, tidak cukup rincinya pengaturan
mengenai proses peradilan, dan tidak dapat diberlakukan secara retroaktif. Perdebatan
mengenai asas legalitas dan non retroaktif dalam penyusunana peraturan perundang-undangan
yang akan dijadikan landasan hukum dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM
berat di masa lalu memang sangat kental di awal-awal era reformasi.
Sebagai pengganti Perppu No. 1 Tahun 1999, akibat kebutuhan yang mendesak,
kemudian secara tergesa-gesa pemerintah menyiapkan regulasi pengadilan HAM yang baru,

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 311

yang selanjutnya disahkan oleh DPR pada 23 November 2000, menjadi UU No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-undang ini tidak hanya memungkinkan proses
akuntabilitas hukum bagi kasus yang terjadi setelah lahirnya undang-undang ini, tetapi juga
memungkinkan digelarnya peradilan bagi kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.
Selain menjadi pijakan bagi proses akuntabilitas hukum melalui jalur pengadilan, undang-
undang ini di dalam Pasal 47 juga memungkinkan penggunaan ruang lain dalam penyelesaian
masa lalu, yakni melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pasal 47 UU
Pengadilan HAM menyebutkan :
(1) Pelanggaran hak sasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya
Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan
oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
(2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dibentuk dengan undang-undang.13
Ketentuan di dalam Pasal 47 UU Pengadilan HAM ini selaras dengan mandat reformasi
yang dituangkan di dalam TAP MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan
Kesatuan Nasional. Di dalam Bab V Tap MPR No. V/MPR/2000 perihal Kaidah Pelaksanakan,
dalam butir 3 secara lengkap disebutkan :
Membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga ekstra-
yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya ditetapkan dengan undang-undang.
Komisi ini bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan
penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lampau, sesuai
dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, dan melaksanakan
rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Langkah-langkah
setelah pengungkapan kebenaran, dapat dilakukan pengakuan kesalahan, permintan
maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau
alternatif lain yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa,
dengan sepenuhnya memerhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.
Guna meneruskan mandat dari TAP MPR No. V/MPR/2000, pada tahun 2003,
pemerintah dan DPR memulai pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR) di DPR. Pembahasan RUU ini dilakukan DPR dengan membentuk Panitia Khusus
(Pansus) yang terdiri dari 50 orang dari lintas fraksi. Pembahasan RUU KKR memakan waktu
lebih dari satu setengah tahun sebelum akhirnya di sahkan menjadi undang-undang pada 7
September 2004. Tragisnya, belum lagi sempat terbentuk kelembagaan Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi, Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 7 Desember 2006, dalam perkara No.
006/PUU-IV/2006, membatalkan UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi.14
13
Lihat UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
14
Indriaswati Dyah Saptaningrum, dkk., Menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai Hak Konstitusional:

AMANNA GAPPA
312 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

Ada fakta lain yang juga menarik, bahwa pembentukan KKR dalam UU secara nasional
sebenarnya juga dimaksudkan untuk menjadi acuan pelaksanaan pengungkapan kebenaran
dan pewujudan rekonsiliasi di daerah-daerah yang dilanda konflik disintegrasi. Beberapa saat
sebelum dibatalkannya UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR, pemerintah mengundangkan
UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang juga mengamanatkan pembentukan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh. Di dalam Pasal 229 ayat (1) UU Pemerintahan
Aceh disebutkan, Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan Undang-Undang
ini dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh. Mandat pembentukan KKR di
Aceh ini, juga merupakan kelanjutan dari Kesepakatan Damai Helsinki, antara Pemerintah
Indonesia dengan GAM. Di dalam bagian Hak Asasi Manusia, yang menjadi salah satu klausula
kesepakatan damai, disebutkan bahwa KKR di Aceh akan dibentuk oleh KKR Indonesia,
dengan tugas untuk memformulasikan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi.15
Setelah pembatalan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, hampir tidak ada kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah, terkait dengan upaya penyelesaian pelanggaran HAM
yang terjadi di masa lalu. Justru yang terjadi adalah sejumlah penundaan oleh Kejaksaan
Agung untuk menidaklanjuti hasil penyeledikan yang dilakukan oleh Komnas HAM,
dengan melakukan proses penyidikan dan penuntutan. Terhitung sejak masa pemerintahan
Yudhoyono, tidak satu pun pengadilan HAM ad hoc dibentuk untuk mengadili kasus-kasus
pelanggaran HAM masa lalu.
Mandat putusan MK untuk membuat kebijakan hukum baru atau mencari inisiatif baru
penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, khususnya yang melalui jalur rekonsiliasi, pun
tidak dilakukan dalam hingga hamper 7 tahun pasca-pembatalan. RUU Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi yang kabarnya sudah disiapkan oleh pemerintah, pun tidak kunjung dilakukan
pembahasan, dengan alasan yang sebenarnya lebih bersifat politis dari pada prinsipil. Lebih
mengherankannya lagi, merujuk pada UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional, disebutkan tentang pentingnya melaksanakan rekonsiliasi nasional
untuk menyelesaikan dan menuntaskan persoalan-persoalan yang masih mengganjal pada
masa yang lalu, seperti pelanggaran HAM berat dan tindakan-tindakan kejahatan politik
yang dilakukan atas nama negara, sebagai salah satu bagain dari konsolidasi demokrasi.
Akan tetapi menjelang satu dekade masa pemerintahan SBY, belum menampakan ada tanda-
tanda untuk mengimplementasikan rencana ini.
Rekomendasi DPR terkait kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998 yang
dikeluarkan pada 2009, sampai dengan saat ini pun belum ditindaklanjuti dengan langkah
berarti, kecuali rencana ratifikasi konvensi anti-penghilangan paksa, yang dituangkan di
Pandangan Kritis atas Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Judicial Review UU KKR dan Implikasinya
bagi Penyelesaian Pelanggaran HAM di Masa Lalu, Seri Briefing Paper ELSAM, No. 01 January 2007.
15
LihatMemorandum of Understandingantara Pemerintah RI dengan GAM

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 313

dalam RAN HAM dan Prolegnas. Khusus untuk kasus penghilangan paksa, naif ketika
dalam pidatonya, Presiden mengatakan, Proses hukum itu sebetulnya sudah ada dan sudah
dilakukan, bahkan mereka, nama-nama yang diduga terlibat dalam penculikan atau kasus
orang hilang juga sudah dijatuhi hukuman, ada yang dipecat, ada yang diberikan hukuman
apa pun. Berarti proses pengadilan itu sudah terjadi.16
Ketentuan universal tentang HAM yang berlaku secara internasional menghendaki
adanya pemulihan yang efektif (effective remedy) selain sebagai bentuk penyelesaian atas
terjadinya pelanggaran HAM, sekaligus sebagai mekanisme jaminan preventif berulangnya
pelanggaran HAM di masa depan (prinsip guarantee of non-repetition). Mekanisme
effective remedy ditegaskan dalam Kovenan Internasional tentang hak sipil dan politik yang
telah diratifikasi dengan UU No 12 Tahun 2005. Pelanggaran HAM harus bisa ditangani
oleh mekanisme peradilan (hukum), dalam hal ini setiap pelanggaran HAM harus bisa
dilakukan investigasi, proses penuntutan/prosekusi, pengadilan, dan penghukuman bagi
pelaku, sementara korban harus diberikan ganti rugi/reparasi, baik rehabilitasi, restitusi, atau
kompensasi. Kegagalan memenuhi standar tersebut merupakan sebuah Impunitas.
Ketentuan di atas kemudian lebih dikenal sebagai prinsip hak-hak korban, karena
serangkaian prinsip ini secara sempurna dimiliki oleh para korban (pelanggaran HAM). Hak-
hak korban di sini mencakup hak atas kebenaran (rights to know), hak atas keadilan (rights
to justice), dan hak atas pemulihan (rights to reparation).17
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik menggariskan ketentuan bagaimana
kewajiban dan tugas negara bila menghadapi suatu pelanggaran HAM (human rights
violence) dijelaskan pada Pasal 2 (paragraf 3) yang menyatakan bahwa setiap negara pihak
pada Kovenan ini berjanji:
a) Menjamin bahwa setiap orang yang hak-hak atau kebebasannya diakui dalam Kovenan
ini dilanggar, akan memperoleh upaya pemulihan yang efektif, walaupun pelanggaran
tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi;
b) Menjamin, bahwa setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut harus
ditentukan hak-haknya itu oleh lembaga peradilan, administratif, atau legislatif yang
berwenang, atau oleh lembaga berwenang lainnyayang diatur oleh sistem hukum
Negara tersebut, dan untuk mengembangkan segala kemungkinan upaya penyelesaian
peradilan;
c) Menjamin, bahwa lembaga yang berwenang tersebut akan melaksanakan penyelesaian
demikian apabila dikabulkan.
16
Lihat Transkrip Dialog Presiden Republik Indonesia dengan Wartawan Istana Kepresidenan pada
Acara Silaturahmi dengan Wartawan Istana Kepresidenan, di Istana Negara, 13 Februari 2012 Pertama kali
dipublikasikan dalam Buletin Asasi Elsam edisi Januari-Februari 2012.
17
Lihat Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation, Resolusi Majelis
Umum PBB 60/147 tertanggal 16 Desember 2005

AMANNA GAPPA
314 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

Ketidakmungkinan de jure atau de facto untuk membawa pelaku pelanggaran hak


asasi manusia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya baik dalam proses peradilan
kriminal, sipil, administratif atau disipliner hanya akan memperpanjang barisan penindasan,
memperparah luka di tubuh republic ini yang tengah berjuang memulihkan kepercayaan
dirinya untuk menjadi Negara hukum yang demokratis. Ketidakmampuan dan ketidakmauan
menjadikan para pelanggar HAM sebagai objek pemeriksaan yang dapat memungkinkan
terciptanya penuntutan, penahanan, pengadilan dan, apabila dianggap bersalah, penghukuman
dengan hukuman yang sesuai, dan selanjutnya untuk melakukan reparasi kepada korban-
korban mereka akan memburamkan masa depan Negara hukum itu sendiri. Bila demikian,
Negara hukum yang dikehendaki oleh UUD NRI Tahun 1945 hanya tetap akan menjadi teks
yang kehilangan konteksnya. Hanya menjadi idealita yang tak ditemui dalam realita.

Konstitusionalitas Mekanisme Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi


Pada mulanya adalah rakyat, bukan pemerintah, dan bukan pula Negara. Demikian tesis
Thomas Paine tentang Konstitusi. Konstitusi Indonesia adalah dasar hukum rakyat untuk
berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa lain untuk tak dijajah lagi dalam
bentuk apa pun. Konstitusi tidak hanya sebagai dokumen tertulis yang dimiliki, tetapi memberi
arah ke mana bangsa harus bergerak, membentuk jati diri, dan membentuk masyarakat sipil
yang beradab.18
Secara tegas oleh UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat 3 menyatakan, Indonesia adalah
negara hukum. Sejauh ini diketahui ada tiga prinsip dasar yang berlaku dalam tiap negara
hukum, yakni supremacy of law (supremasi hukum), equality before law (persamaan atau
kesederajatan di hadapan hukum), due process of law (penegakan hukum yang tidak boleh
dilakukan dengan melanggar hukum dengan melanggar hak-hak asasi manusia). Dari ketiga
prinsip inilah kemudian diturunkan ciri-ciri yang secara umum digunakan sebagai indikator
bahwa suatu negara menganut paham negara hukum, yakni adanya legalitas dalam arti hukum
bahwa tindakan negara maupun warga negara harus didasarkan atas dan melalui hukum.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, pembatalan UU KKR oleh Mahkamah
Konstitusi didasarkan pada pertimbangan hukum bahwa pasal yang dibatalkan merupakan
pasal yang menjadi jantung dari tujuan UU KKR, sehingga dengan pembatalan pasal ini,
maka KKR tidak lagi bisa memenuhi tujuannya, karenanya UU KKR perlu dibatalkan secara
keseluruhan.
Lebih jauh ditegaskan MK dengan dinyatakannya UU KKR tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat secara keseluruhan, tidak berarti Mahkamah menutup upaya penyelesaian
pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat
18
Lihat tulisan Yonky Karman, Krisis Konstitusionalitas di nasional,kompas.com, 26 Maret 2011

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 315

ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan
hukum (undang-undang) atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam
rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum. Oleh karena itu, pengingkaran terhadap amanat
konstitusional putusan MK, dapat pula dimaknai sebagai pengingkaran terhadap konstitusi.
Apalagi bagi sebuah negara yang tengah mengalami proses transisi seperti Indonesia, hal itu
dapat dianggap sebagai pengkhianatan konstitusi. Pesan keadilan dalam kontitusi yang harus
ditegakkan oleh sebuah Negara hukum seharusnya disampaikan dari generasi ke generasi
dan bukannya pesan itu hanya dijadikan teks-teks tanpa kontekstualisasi. Jika mekanisme
penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui pengadilan HAM ad hoc
dianggap tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban, maka sudah saatnya pemerintahan
dalam hal ini Presiden dan DPR segera membahas RUU KKR yang baru.
KKR memang tidak menggantikan pengadilan dan sesungguhnya tidak pernah
dimaksudkan untuk menggantikannya. Lembaga ini dihadirkan karena kesadaran akan
adanya masalah yang serius yang melakat pada sistem peradilan umum dalam menyelesaikan
kejahatan terhadap HAM, apalagi bila peristiwanya terjadi pada masa lalu dan terjadi dalam
skala yang amat luas ,dan sistemik. Dengan kata lain, kehadiran KKR sebenarnya merupakan
pengakuan diam-diam bahwa sistem peradilan umum tak dapat diharapkan terlalu banyak
untuk menyelesaikan berbagai kejahatan terhadap, HAM yang pengoperasiannya berada
dalam wilayah pengaruh politik. Kenyataan ini memang tampak menyakitkan.19
Berdasarkan penelitiannya, Priscilla B. Hayner akhirnya merumuskan bahwa KKR
yang bermutu memiliki empat kriteria fundamental. Pertama, memfokuskan diri pada masa
lalu; Kedua, tidak memfokuskan diri pada kejadian khusus, tetapi berusaha menggambarkan
seluruh potret pelanggaran HAM atau pelanggaran hukum humaniter intemasional selama
kurun waktu tertentu; Ketiga, bekerja dalam kurun waktu tertentu (bersifat sementara)
dan selesai dengan terbitnya laporan fakta-fakta hasil temuan komisi; Keempat, memiliki
kekuasaan yang memadai, dukungan dana, akses kepada informasi, jaminan keamanan untuk
menggali masalah-masalah yang peka, dan pengaruh yang luas saat menerbitkan laporan.20
Komisi kebenaran sangat berguna pada sebuah masa transisi, karena dapat mencegah
proses pengadilan berkepanjangan yang sangat merugikan baik dari sisi ekonomi maupun
psikologi. Komisi kebenaran bukanlah sebuah institusi hukum dan juga tidak memiliki
kekuatan hukum sehubungan dengan pemberian hukuman kepada pelaku kejahatan HAM,
tetapi pada saat yang sama memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi bagi
pemerintah untuk mengambil langkah- langkah hukum.
19
Daniel Sparingga, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Penyelesaian Atas Warisan Rezim Otoritarian
dan Penyelamatan Masa Depan Di Indonesia, Makalah, Disampaikan Dalam Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2003, Hal 5-6
20
Priyambudi Sulistiyanto, Politik Rekonsiliasi di Indonesia: Menuntut, Mcmaafkan dan Melupakan?
Artikel dalam Dignitas, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. I, No. 1. Tahun 2003, Elsam, Jakarta, hlm. 63-64.

AMANNA GAPPA
316 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

Komisi Kebenaran dapat melakukan beberapa hal penting yang secara umum tidak
dapat dicapai melalui proses persi dangan di pengadilan pidana. Pertama, dapat menangani
kasus dalam jumlah relatif besar dibandingkan dengan pengadilan pidana. Kedua, dapat
menyediakan bantuan praktis bagi korban dengan secara spesifik mengidentifikasikan dan
membuktikan individu individu atau keluarga-keluarga mana saja yang merupakan korban
kejahatan masa lampau sehingga secara hukum berhak untuk mendapatkan semacam bentuk
reparasi di masa yang akan datang; Ketiga, dapat membantu terlaksananya semacam resolusi
dengan mengakui penderitaan yang dialami korban, membuat pemetaan atas pengaruh dari
kejahatan di masa lalu dan merekomendasikan reparasi. Keempat, dapat merekomendasikan
pembaruan-pembaruan tertentu di dalam institusi-institusi publik, seperti di dalam kepolisian
dan pengadilan dengan tujuan mencegah terulangnya kembali pelanggaran HAM; Kelima,
dapat memilih antara persoalan-persoalan pertanggungjawaban dan mengungkap siapa
pelaku-pelakunya.21
Dalam konteks Indonesia kekinian, pembentukan UU KKR yang baru benar-benar
menjadi kewajiban yang semakin mendesak. UU KKR yang mengatur mekanisme dan
kelembagaan KKR harus dijalankan pemerintahan saat ini karena mekanisme komisi kebenaran
juga diamanatkan dalam UU yang lain, khususnya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM
masa lalu di Papua dan Aceh. Bisa dipastikan, pembentukan komisi kebenaran di daerah-
daerah tersebut, akan sulit terwujud dikarenakan tidak ada payung hukum yang kuat untuk
dijadikan acuan bila UU KKR yang baru tidak disahkan.
Pada tahun 2001, melalui UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua,
negara telah berjanji kepada rakyat Papua akan mempertanggungjawabkan berbagai bentuk
pelanggaran HAM melalui dua instrumen, yaitu Pengadilan HAM dan KKR. UU tersebut
menyatakan KKR dimaksudkan untuk melakukan klarifikasi sejarah dan merumuskan serta
menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi dalam rangka menjaga persatuan bangsa.
Demikian pula UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang juga
mengamanatkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh. Di dalam
Pasal 229 ayat (1) UU Pemerintahan Aceh disebutkan, Untuk mencari kebenaran dan
rekonsiliasi, dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di
Aceh. Namun, pembentukan KKR melalui Qanun tidak akan bisa dilaksanakan bila UU
KKR baru belum disahkan.
Bila UU KKR baru tidak segera dibahas dan ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR, maka
tentu hal ini akan menciderai rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran
HAM masa lalu. Tindakan itu juga akan dianggap pengkhianatan penguasa terhadap prinsip
keadilan yang sangat mendasari konstitusi UUD NRI tahun 1945.
21
Agus Raharjo, Op Cit, Hal 10

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 317

Dalam Pembukaan UUD 1945, ide dan pesan keadilan ini jelas tergambar dalam banyak
rumusan. Dalam Alinea I dinyatakan adanya prinsip perikemanusiaan dan perikeadilan
yang dijadikan alasan mengapa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Tentu saja
termasuk penjajahan oleh bangsa sendiri. Pada Alinea II digambarkan bahwa bangsa kita
telah berhasil mencapai pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil, dan makmur. Dalam batang tubuh Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, diatur
pula bahwa Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Keadilan menjadi roh dalam Konstitusi.
Sesudah perubahan kedua UUD 1945 pada tahun 2000, semua instrumen HAM
Internasional sudah diadopsikan menjadi muatan UUD 1945, maka setiap warganegara
Indonesia dapat dikatakan memiliki hak konstitusional yang wajib dipenuhi oleh negara
dalam hal ini pemerintah dalam setiap kegiatan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan
Negara.
Pasal 28I UUD NRI Tahun 1945 menggariskan bahwa perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama
pemerintah. Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.22
Bangsa ini terutama para pemangku kekuasaan harus memahami tujuan mulia yang
berada dibalik motivasi dibentuknya UU KKR yaitu truth telling (pengungkapan kebenaran)
dan healing (penyembuhan) atas pelanggaran HAM yang pernah terjadi di masa lampau.
Dengan adanya UU ini yang kemudian diikuti dengan pembentukan kelembagaan komisinya,
kasus-kasus pelanggaran HAM diharapkan dapat terkuak dan penderitaan korban dapat
terobati.
Menghadapi kenyataan seperti ini, para korban pelanggaran HAM masa lalu harus
berani menggugat meskipun persoalannya tidak hanya menggugat, karena persoalan terbesar
adalah menyelesaikan seluruh luka-luka lama yang prosesnya tidak akan selesai hanya dengan
proses yudisial. Harus dipahami benar bahwa hanya dengan kondisi tanpa luka lagi, bangsa
ini bisa terus bergerak maju mencapai cita-cita pendiriannya.
Patut diingat selalu bahwa putusan MK yang membatalkan UU KKR sudah merupakan
bukti nyata bahwa pemerintah bersama-sama dengan DPR tidak memiliki kejelasan sikap
dalam penanganan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Ketidakjelasan tersebut
tergambar jelas pada UU KKR yang terbukti berdasarkan putusan MK bertentangan dengan
konstitusi dan prinsip-prinsip penegakkan HAM. Putusan MK harus ditafsirkan sebagai
22
Lihat Pasal 28I ayat (4 dan 5) UUD NRI Tahun 1945

AMANNA GAPPA
318 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

keharusan bagi pemerintah dan DPR untuk segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran
HAM berat masa lalu. Namun, apabila cara penyelesaian yang ditempuh adalah penyelesaian
politik berupa pemberian rehabilitasi atau amnesty umum semata, maka harus ditolak, karena
tidak memberikan kepastian hukum.
Walaupun dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi terlihat adanya opsi untuk
amnesty secara umum, akan tetapi hal itu harus melalui pengungkapan kebenaran terlebih
dahulu. Sejalan dengan itu, Jose Zalaquett, mantan pengacara HAM Amnesti Internasional
mengajukan tiga syarat pemberian amnesti pada pelaku kejahatan berat HAM yaitu :
a) Kebenaran harus terlebih dahulu ditegakkan.
b) Amnesti tidak diberikan untuk kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against
humanity) dan genosida (genocide).
c) Amnesti harus sesuai dengan keinginan rakyat.
Berdasar kerangka itu, amnesti yang bersifat self-amnesty yang berarti amnesti yang
diberikan kepada aparat negara, misalnya militer atau polisi, tidak dibenarkan. Self-amnesty
harus ditolak, karena memungkinkan negara mengadili sendiri kasusnya. Bila ini terjadi
berarti melanggar prinsip no one can be judge in his own suit.Negara akan kehilangan
objektifitasnya bila mengadili aparatusnya sendiri, meski dijalankan oleh pemerintahan yang
baru.
Kewajiban negara dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu adalah
memberikan hak-hak korban yang mencakup hak atas kebenaran (the right to know the truth),
hak atas keadilan (the right to justice), maupun hak atas pemulihan (the rights to reparations).
Dalam konteks teori keadilan, maka mekanisme KKR bias menyiapkan prasyarat untuk
mewujudkan keadilan restorative, keadilan reparative, dan keadilan konstruktif sekaligus.
Konsep Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi lahir dari sebuah gagasan bahwa masyarakat
sebagai pemegang kedaulatan berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada pelanggaran
berat HAM masa lalu. Konteks hak seperti ini berbeda dibandingkan dengan penyelidikan
untuk tujuan-tujuan prosekusi lainnya sebagaimana dalam mekanisme pengadilan HAM.
Secara substansial mekanisme komisi kebenaran dan rekonsiliasi diarahkan untuk melakukan
pembongkaran serta upaya untuk menghidupkan lagi memori-memori kolektif masyarakat
serta melakukan konstruksi kebenaran bersama yang sangat berguna bagi rekonstruksi ke
depan. Sehingga pada akhirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini bukan merupakan
sebuah ajang balas dendam bagi korban tetapi lebih kepada memaafkan tetapi tidak
melupakan. Di satu sisi, ini merupakan bagian dari kewajiban pemerintahan transisi untuk
mengingat, kewajiban menghukum dan kewajiban untuk memberikan reparasi.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 319

PENUTUP
Tanpa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, maka rezim orde reformasi
sampai kapanpun akan tetap dianggap mengkhianati amanah reformasi dan tidak akan pernah
mampu mewujudkan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penyelesaian
kasus pelanggaran HAM masa lalu wajib dilakukan demi tegaknya Negara hukum sesuai
konstitusi UUD NRI 1945. Negara tidak akan dapat melangkah maju dengan mengemban
luka-luka masa lalu.
Salah satu jalan untuk menyegerakan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu adalah
dengan segera membentuk UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, karena RUU KKR
sebelumnya telah masuk dalam program legislasi nasonal tahun 2011, namun kini tidak jelas
perkembangannya. Memang inisiatif dan terlebih lagi political will penguasa dalam hal ini
pemerintah dan DPR sangat dibutuhkan dalam merealisasikan UU KKR yang baru. Apalagi
putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2006 yang membatalkan UU KKR harus dimaknai
sebagai penegasan adanya kewajiban bagi rezim orde reformasi untuk segera menyelesaikan
kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Kegagalan pengadilan HAM ad hoc untuk memberikan keadilan bagi korban
pelanggaran HAM dalam beberapa kasus yang coba diselesaikan mengindikasikan perlunya
jalan lain yang baru untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Mekanisme
KKR menjadi pilihan konstitusional untuk itu. Hal ini tidak hanya terkait putusan MK yang
merekomendasikan pembentukan kebijakan hukum dalam bentuk UU KKR semata, tapi
juga terkait dengan penyelesaian dan rekonsiliasi nasional untuk konflik di Aceh dan Papua,
dimana UU Pemerintahan Aceh dan UU Otonomi Khusus Papua juga merekomendasikan
pembentukan KKR untuk mengungkap kebenaran dan mewujudkan rekonsiliasi demi
menjaga keutuhan bangsa.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak hanya dimaksudkan
untuk memenuhi amanah konstitusi, memenuhi rasa keadilan bagi korban dan keluarga
korban, tetapi tentu saja untuk mencegah langgengnya praktek impunitas dan berulangnya
pelanggaran HAM di masa datang.
Mencermati konstitusionalitas dan urgensi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat
masa lalu melalui mekanisme komisi kebenaran dan rekonsiliasi, maka hendaknya para pegiat
HAM juga meminta dukungan internasional. Dukungan internasional terutama dari Negara-
negara yang telah lebih dahulu menggunakan mekanisme KKR dan berhasil, akan menjadi
amunisi yang ampuh untuk mendesak pemerintah dan DPR untuk segera menyelesaikan
kewajiban konstitusionalnya untuk menetapkan UU KKR yang baru.

AMANNA GAPPA
320 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

DAFTAR PUSTAKA
Hilmar Farid & Rikardo Simarmata. 2004. Demi Kebenaran, Pemetaan Upaya-Upaya
Pencarian Keadilan dalam Masa Transisi di Indonesia. Jakarta: ELSAM.
Ifdal Kasim, dkk. 2001. Setelah Otoritarianisme Berlalu: Esai-Esai Keadilan di Masa
Transisi. Jakarta: ELSAM.
Miriam Budiharjo. 1998. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. 1988.Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Sinar
Bakti.

Sumber lainnya:
Abdul Hakim G Nusantara, Negara Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Makalah disampaikan
pada training HAM bagi pengajar hukum & HAM, Makassar, 3-6 Agustus 2010,
PUSHAM UII & Norwegian Centre of Human Rights.
Agus Raharjo, Implikasi Pembatalan UU KKR Terhadap Prospek Penanganan Pelanggaran
Berat HAM, Mimbar Hukum Volume 19 Nomor 1 Februari 2007.
Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation, Resolusi Majelis
Umum PBB 60/147 tertanggal 16 Desember 2005
Daniel Sparingga, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Penyelesaian Atas Warisan Rezim
Otoritarian dan Penyelamatan Masa Depan Di Indonesia, Makalah, Disampaikan
Dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan Badan
Pembinaan Hukum Nasional, 2003
Elsam, Transkrip Dialog Presiden Republik Indonesia dengan Wartawan Istana Kepresidenan
pada Acara Silaturahmi dengan Wartawan Istana Kepresidenan, di Istana Negara, 13
Februari 2012 Pertama kali dipublikasikan dalam Buletin Asasi Elsam edisi Januari-
Februari 2012
Hajriyanto Y Thohari, Ikhtiar Penyelesaian Pelanggaran HAM masa lalu; Membangun
Indonesia yang lebih bermartabat, Makalah, disampaikan dalam diskusi Penanganan
Pelanggaran HAM, dilaksanakan oleh Elsam, 12 April 2011 Hal. 2
Indriaswati Dyah Saptaningrum, dkk., Menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai Hak
Konstitusional: Pandangan Kritis atas Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
Judicial Review UU KKR dan Implikasinya bagi Penyelesaian Pelanggaran HAM di
Masa Lalu, Seri Briefing Paper ELSAM, No. 01 January 2007.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengnan Urutan Bab, Pasal
dan ayat),Sekertaris Jendral MPR RI, Jakarta, 2010

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 321

Priyadi Arief, Menatap Masa Depan Penanganan Pelanggaran HAM di Indonesia : Persepsi
Keluarga Korban, Makalah, Disampaikan dalam acara diskusi di Kampus Univ.Atma
Jaya Nopember 2001, dalam rangka Peringatan Tiga Tahun Peristiwa Semanggi1-
13November 1998
Priyambudi Sulistiyanto, Politik Rekonsiliasi di Indonesia: Menuntut, Mcmaafkan dan
Melupakan?, Artikel dalam Dignitas, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. I, No. 1. Tahun
2003, Elsam, Jakarta.

AMANNA GAPPA
322 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

EKSISTENSI YAYASAN DAN TANGGUNG JAWAB


PENGURUS BADAN HUKUM YAYASAN

Oleh:
Rajab Lestaluhu
Universitas Muhammadiyah Sorong

Abstract: Foundation of Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 as legitimacy and the


juridical basis of the foundation. The law is intended to be a reference beacon to the community
about the foundation. Board occupies a central position in the control of the foundation, and
this has a major responsibility, either into or out. Board is fully responsible. Top management
foundation, both for the benefit and purpose of the foundation and to represent the foundation
both inside and outside the court, in accordance with the principle of persona Stand in judicio,
this means that the board represents the foundation in a lawsuit or sued. Administrators
personally liable if the party concerned is not doing its job in accordance with the statutes.
Keywords: Foundation, Management Responsibility, Corporation

Abstrak: Disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, menjadi


legitimasi dan sebagai landasan yuridis dari yayasan. Undang-undang ini dimaksudkan
untuk menjadi rambu acuan kepada masyarakat mengenai yayasan. Pengurus menempati
kedudukan sentral dalam mengendalikan yayasan dan hal ini memberikan tanggung jawab
yang besar, baik kedalam maupun keluar. Pengurus bertanggung jawab sepenuhnya. Atas
kepengurusan yayasan, baik untuk kepentingan maupun tujuan yayasan serta mewakili
yayasan baik didalam maupun diluar pengadilan, sesuai dengan asas persona Stand in
judicio, ini berarti bahwa pengurus mewakili yayasan dalam melakukan gugatan atau
digugat. Pengurus bertanggung jawab secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam
melakukan tugasnya tidak sesuai dengan anggaran dasar.
Kata Kunci: Yayasan, Tanggung Jawab Pengurus, Badan Hukum

PENDAHULUAN

Pendirian yayasan di Indonesia bertujuan sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial,


keagamaan dan kemanusiaan. Namun pada tataran praktis, kecendrungan masyarakat
mendirikan yayasan dengan maksud untuk berlindung dibalik status badan hukum yayasan,
yang tidak hanya digunakan sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan dan
kemanusiaan, melainkan juga ada kalanya bertujuan untuk memperkaya diri para pendiri,
pengurus dan pengawas.
Sejalan dengan kecendurungan tersebut, timbul pula berbagai masalah, baik masalah
yang berkaitan dengan kegiatan yayasan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang
tercantum dalam anggaran dasar, sengketa antara pengurus dan pendiri atau pihak lain,
maupun adanya dugaan bahwa yayasan digunakan untuk menampung kekayaan yang berasal
dari para pendiri atau pihak lain yang diperoleh dengan cara melawan hukum. Akhirnya,

AMANNA GAPPA
324 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

disahkanlah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (UU No. 16 Tahun
2001) sebagai rambu yang mengatur jalannya pengelolaan yayasan.
UU No. 16 Tahun 2001 ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang benar
kepada masyarakat mengenai yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta
mengembalikan fungsi yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu
dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Namun banyaknya sengketa yang melibatkan
yayasan maupun internal lembaga organ dalam yayasan telah menimbulkan ketidakpastian
dan ketidaktertiban hukum telah menjadi latar belakang kembali diundang-undangkannya
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan.
Kesederhanaan lembaga Yayasan serta alasan administrasi yang sederhana lebih banyak
alasan yang dikemukakan oleh para pendiri untuk menggunakan yayasan sebagai bentuk
organisasi dalam menjalankan kegiatan-kegiatannya. Harus diakui bahwa banyak yayasan
yang telah menyumbangkan kegiatan dan kekayaan para pendiri maupun para pengurus
untuk pembangunan manusia Indonesia tercinta. Hal ini dapat diperhatikan seperti untuk
kegiatan di bidang pendidikan yang dilakukan oleh organisasi keagamaan (Kristen, Islam,
Katolik, Budha dan Hindu serta aliran kepercayaan lainnya). Demikian pun kegiatan di sektor
kesehatan, seperti rumah sakit serta panti-panti jompo maupun kegiatan-kegiatan lainnya.
Selain itu, ketika banyak yayasan yang disalahgunakan untuk kegiatan non kemanusiaan,
sosial dan keagamaan, maka penyederhanaan persoalan yayasan menjadi persoalan tersendiri.
Ternodanya lembaga yayasan akibat kegiatan beberapa yayasan yang dianggap telah menyalah
gunakan yayasan telah menjerumuskan para pembuat undang-undang untuk menformulasikan
rumusan ketentuan undang-undang menjadi begitu rumit dan bahkan dapat dipastikan tidak
akan berjalan sesuai dengan rumusan undang-undang tersebut dalam praktiknya.
Harus diakui bahwa banyak yayasan yang telah menyalahgunakan lembaga yayasan
untuk kegiatan yang sifatnya sangat berorientasi pada keuntungan semata (profit oriented),
namun dapat dikatakan jumlah yayasan yang melakukan kegiatan yang baik dan sesungguhnya
lebih banyak yang kegiatannya menyimpang dari tujuan yayasan. Lagipula sangat tidak
bijaksana, kalau pembuat undang-undang merumuskan ketentuan tentang yayasan yang
semula lembaga yang sifatnya non profit dan sukarela serta merupakan gerakan masyarakat
yang begitu mulia menjadi begitu birokratis hanya karena perilaku buruk beberapa pihak
yang menyalah gunakan lembaga yayasan.
Sungguh sangat membebankan kegiatan-kegiatan pendidikan, sosial, rumah yatim
piatu atau rumah jompo serta kegiatan kemanusiaan lainnya apabila kegiatan mereka harus
menyesuaikan kepentingan birokratis yang begitu rumit dan memakan biaya yang tidak sedikit
hanya untuk memenuhi undang-undang yayasan yang pembuatannya kurang bijaksana.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 325

Setelah diundangkannya undang-undang yayasan, maka secara tegas dalam undang-


undang yayasan disebutkan bahwa yayasan adalah badan hukum dan memperoleh status
badan hukum setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari menteri.1 Bagi yayasan
yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang yayasan, tetap diakui pula sebagai badan
hukum tetapi harus memenuhi persyaratan tertentu seperti telah terdaftar dan diumumkan
atau terdaftar mempunyai izin operasi dari instansi terkait.
Selain ketentuan di atas, juga wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan undang-
undang yayasan dan yayasan tersebut wajib didaftarkan di Departemen Hukum dan HAM
paling lambat satu tahun setelah pelaksanaan penyesuaian. Di satu sisi, masih banyak yayasan
yang belum terdaftar di Pengadilan Negeri atau tidak diumumkan di dalam lembaran negara,
sementara di sisi lain, dalam pasal serta penjelasan undang-undang yayasan tersebut tidak
dicantumkan sanksi bagi yayasan yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut, sehingga
belum diketahui eksistensi yayasan yang didirikan sebelum berlakunya undang-undang
yayasan.

PEMBAHASAN DAN ANALISIS


Ruang Lingkup Yayasan
Berdasarkan Pasal 1 butir 1 UU No. 16 Tahun 2001, yang dimaksud dengan yayasan
adalah Badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan untuk mencapai tujuan
tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak memunyai anggota.
Dengan ketentuan ini, maka status badan hukum yayasan, yang semula diperoleh dari sistim
terbuka penentuan suatu badan hukum, beralih berdasarkan sistim tertutup. Artinya, sekarang
yayasan menjadi badan hukum Karena undang-undang atau berdasarkan undang-undang,
bukan berdasarkan sistim terbuka, yang berlandaskan pada kebiasaan, doktrin, dan ditunjang
oleh yurisprudensi.
Suatu badan hukum dapat merupakan atau terdiri dari kekayaan yang dipisahkan untuk
mencapai tujuan tertentu adalah berdasarkan teori kekayaan bertujuan yang pada mulanya
diajukan oleh A. Brinz. Menurut teori ini, hanya manusia yang dapat dijadikan subyek hukum.
Akan tetapi, merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah adanya hak-hak atas
suatu kekayaan, sedangkan tidak ada satu manusia pun yang menjadi pendukung hak-hak
itu. Apa yang dinamakan hak-hak dari suatu badan hukum, sebenarnya adalah hak-hak yang
tidak ada yang memilikinya dan sebagai gantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat
oleh suatu tujuan atau kekayaan yang dimiliki oleh tujuan tertentu. Pada yayasan tujuan itu
adalah bersifat idealistis, sosial, dan kemanusiaan. Teori ini secara selintas mendukung pula
pandangan bahwa yayasan adalah milik masyarakat.

1
Lihat, Pasal 11 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

AMANNA GAPPA
326 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

Secara struktural, berbeda dengan lazimnya suatu yayasan sebelum lahirnya UU No.
16 Tahun 2001, di mana organ yayasan terdiri dari pendiri, penggurus, dan kadang-kadang
ada pengawas internal. Sedangkan menurut UU No. 16 Tahun 2001, terdiri dari Pembina,
dan pengawas. Hal ini berdasarkan pada ketentuan Pasal 2 Undang-undang yayasan No.16
tahun 2001 yaitu yayasan mempunyai organ yang terdiri dari atas Pembina, Pengurus, dan
Pengawas.
1. Pembina
Diciptakannya organ Pembina sebagai pengganti pendiri, menurut Chatamarrasjid,2
disebabkan dalam kenyataannya, pendiri yayasan pada suatu saat dapat tidak ada sama sekali,
yang diakibatkan karena pendiri meninggal dunia ataupun mengundurkan diri. Keadaan
di mana tidak ada seorang pun pendiri atau pendiri hanya tinggal satu orang, memberikan
kesempatan kepada pendiri yang masih ada untuk memanipulasi yayasan untuk kepentingan
diri sendiri. Hal yang sama juga dapat dilakukan pengurus dalam hal ketiadaan pendiri.
Adanya organ Pembina ini merupakan suatu hal yang baik untuk menghindarkan hal-hal yang
mengakibatkan yayasan beralih dari tujuannya.
Maka dari itu, dalam sebab apapun yayasan tidak lagi mempunyai Pembina, maka paling
lambat tiga puluh hari setelah keadaan itu terjadi, harus di adakan rapat anggota pengurus
dan anggota pengawas untuk mengangkat Pembina, untuk mengisi kekosongan yang terjadi.
Jadi, setiap kali ada kekosongan anggota Pembina dilakukan rapat Pembina, dan/atau rapat
pengurus serta pengawas untuk mengangkat anggota Pembina anggota Pembina diangkat
dari orang perseorangan yang adalah pendiri yayasan dan/atau yang berdasarkan anggota
Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan.
Pembina mempunyai semua kewenangan yang tidak diserahkan, baik kepada pengurus
maupun pengawas oleh undang-undang ataupun anggaran dasar. Dapat disimpulkan bahwa
Pembina adalah organ tertinggi dalam yayasan karena bisa memberhentikan dan mengangkat
pengurus dan pengawas.

2. Pengurus
Peranan pengurus amatlah dominan pada suatu organisasi. Pada yayasan hal ini lebih
mencolok lagi dalam keadaan tiadanya pendiri ataupun pada situasi dimana pendiri merangkap
sebagai pengurus. Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan.
Pengurus tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau pengawas. Larangan perangkapan
jabatan dimaksud untuk menghindari kemungkinan tumpang tindik kewenangan tugas dan
tanggung jawab antara Pembina, pengurus, dan pengawas yang dapat merugikan kepentingan
yayasan atau pihak lain.

2
Chatamarrasjid, Badan Hukum Yayasan. Edisi Revisi. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 9.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 327

Pengurus yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina untuk
jangka waktu selama lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.
Pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian pengurus harus dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang terdapat didalam anggaran dasar yayasan. Pengurus dapat diganti setiap
saat sebelum masa jabatannya berakhir jika dinilai oleh Pembina melakukan tindakan yang
merugikan yayasan. Pergantian pengurus harus diberitahukan kepada menteri kehakiman dan
Hak Asasi Manusia, paling lambat tiga puluh hari setelah dilakukannya penggantian pengurus.
Jika pengurus melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama yayasan, anggaran
dasar dapat membatasi kewenangan tersebut dengan menentukan bahwa untuk perbuatan
hukum tertentu diperlukan persetujuan terlebih dahulu dari Pembina dan atau pengawas,
misalnya untuk menjaminkan kekayaan yayasan guna membangun sekolah atau rumah sakit.
Selanjutnya, pengurus juga dilarang mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi
dengan yayasan, organ yayasan, dan karyawan yayasan, kecuali bila perjanjian tersebut
bermanfaat bagi tercapainya tujuan yayasan.

3. Pengawas
UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan mengatur adanya suatu badan pengawas atau
pengawas dalam suatu yayasan, Yang bersifat internal yayasan itu sendiri. Undang-undang
ini tidak mengatur adanya suatu pengawas atau badan pengawas eksternal, seperti Charity
commission di Inggris umpamanya. Jadi, disini pengawas itu merupakan organ dari masing-
masing yayasan. Pengawas mengawasi serta memberi nasihat kepada pengurus. Pengawas
tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau pengurus. Pengawas diangkat dan sewaktu-
waktu dapat diberhentikan berdasarkan keputusan rapat Pembina sesuai dengan ketentuan
dalam anggaran dasar.
Pengawas dapat memberhentikan pengurus untuk sementara dengan mengemukakan
alasan-alasan pemberhentian dan melaporkan dalam jangka waktu yang ditetapkan kepada
Pembina dan Pembina yang akan menentukan apakah pengurus diberhentikan untuk
seterusnya atapun justru pemberhentian dibatalkan. Pengawas diangkat oleh Pembina untuk
jangka waktu lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Pembina
wajib memberitahukan secara tertulis perihal penggantian ini kepada mentri kehakiman
dan hak asasi manusia, dan kepada instansi terkait. Penggantian ini harus sesuai dengan
ketentuan dalam anggaran dasar atau pengadilan dapat membatalkannya atas permintaan
yang berkepentingan, dan kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum.
Pengawas didalam melakukan tugasnya haruslah berdasarkan kecakapan dan kehati-
hatian yang seharusnya dimiliki oleh seorang pengawas. Oleh karena itu, bila kepailitan
terjadi karena kesalahan atau kelalaian, setiap anggota pengawas secara tanggung renteng atas

AMANNA GAPPA
328 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

kerugian tersebut, kecuali anggota yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena
kesalahan atau kelalaian anggota tersebut. Anggota pengawas yang dinyatakan bersalah
berdasarkan keputusan pengadilan dalam jangka waktu paling lama lima tahun sejak putusan
tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak dapat diangkat menjadi pengawas yayasan
manapun.

Kedudukan Yayasan Sebagai Badan Hukum


Menurut Paul Scholten dan Pitlo,3 kedudukan badan hukum itu diperoleh bersama-
sama dengan berdirinya yayasan. Hanya saja ada kewajiban bagi pengurus untuk
mendaftarkan dan mengumumkan. Apabila tidak didaftarkan dan diumumkan, maka
selain yayasan, para penguruspun bertanggung jawab secara tanggung-menanggung untuk
perbuatan yang dilakukan atas nama yayasan. Pendaftaran dan pengumuman dimaksudkan
sebagai pengawasan yang bersifat represif oleh pemerintah. Selain itu, juga penting sebagai
penerangan (informasi) untuk pihak-pihak ketiga yang berkepentingan.
Sejatinya, pendaftaran dan pengumuman akta pendiriannya serta pengesahan
dari menteri hukum dan HAM sebagai tindakan prefentif tidak diwajbkan, namun dalam
praktiknya, pada umumnya yayasan selalu didirikan dengan akta notaries sebagai syarat
untuk terbentuknya suatu yayasan.
Ada beberapa syarat agar perkumpulan atau badan / badan usaha disebut sebagai badan
hukum. Hal ini berkaitan dengan sumber hukum, khususnya dalam kaitan dengan sumber
hukum formal. Menurut Chidir Ali,4 syarat badan hukum yang dikaji dari sumber hukum
formal memberikan beberapa kemungkinan, bahwa badan hukum tersebut telah memenuhi:
a) Syarat berdasarkan ketentuan perundang-undangan; b) Syarat berdasar pada hukum
kebiasaan dan yuriprudensi; dan c) Syarat berdasar pada pandangan doktrin.
Selanjutnya, yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian yayasan
memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau oleh kepala
kantor wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atas nama menteri kehakiman
dan hak asasi manusia, sebaigamana tercantum dalam Pasal 11 UU No. 16 Tahun 2001, yang
mengatur bahwa:

(1) Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian yayasan sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 9 ayat (2) memperoleh pengesahan dari menteri.
(2) Kewenangan menteri dalam memberikan pengesahan akta pendirian yayasan sebagai
badan hukum dilaksanakan oleh kepala kantor wilayah departemen kehakiman dan hak
asasi manusia atas nama menteri, yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan
yayasan.
3
Chidir Ali. Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1991), hlm. 89.
4
Ibid, hlm. 79-98

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 329

(3) Dalam memberikan pengesahan, kepala kantor wilayah departemen kehakiman dan
hak asasi manusia sebagamana dimaksud dalam ayat (2) dapat meminta pertimbangan
dari instansi terkait.

Tanggung JawabPengurus Badan Hukum Yayasan


Pengurus menempati kedudukan sentral dalam mengendalikan yayasan dan hal ini
memberikan tanggung jawab yang besar, baik ke dalam maupu ke luar. Pengurus bertanggung
jawab sepenuhnya atas kepengurusan yayaan, baik untuk kepentingan maupun tujuan yayasan
serta mewakili yayasan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Ini berarti bahwa pengurus
mewakili yayasan dalam melakukan gugatan atau digugat. Pengurus bertanggung jawab
secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam melakukan tugasnya tidak sesuai dengan
anggaran dasar. Dalam menjalankan tugasnya seorang pengurus harus berlandaskan :

1. Fiduciary Duty
Pengurus dalam melakuan tugasnya berdasarkan kepercayaan yang diberikan
oleh Pembina/Pendiri, jadi harus berbuat bonafide, untuk kepentingan yayasan secara
keseluruhan dan bukanlah untuk kepentngan pribadi organ yayasan, serta harus sesuai
dengan tujuan dan maksud yayasan. Bilamana pengurus berbuat untuk keuntungan
bagi diri mereka sendiri atau pihak ketiga, atau merugikan yayasan, perbuatan tersebut
memperlihatkan tidak adanya itikad baik dari para pengurus tersebut. Ada dua prinsip
standar yang harus dipenuhi oleh pengurus dalam membuat keputusan: 1) Ia harus
dilakukan dengan itikad baik untuk kepentingan yayasan; dan 2) Dibuat untuk tujuan
yang benar sesuai dengan tujuan yayasan
Pengurus berkwajiban untuk mempertanggungjawabkan setiap keuntungan pribadi
yang diperoleh karena jabatannya kepada yayasan. Lebih jauh pengurus tidak boleh
berada dalam posisi dimana kewajibanya terhadap perseroan bertentangan dengan
kepentingan pribadinya konflik kepentingan ini terutama timbul bila pengurus secara
pribadi melakukan transaksi dengan yayasan atau pengurus memperkerjakan dirinya
sendiri untuk memperoleh kontra prestasi dari yayasan.

2. Duty of Skill and Care


Tugas dan kewajiban pengurus dalam hubungan ini berumber dari kontrak,
kepatutan/ kewajaran, peraturan perundang-undagan serta anggaran dasar. Hal kealpaan
atau kelalaian pengurus dapat dihubungkan dengan Pasal 1366 KUH Perdata yang
mengatakan bahwa setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian.
Perlu dikemukakan bahwa sejauh pengurus jujur, ia tidak bertanggung jawab atas
kerugian yang timbul, kecuali kesalahan yang timbul Karena kelalaian yang amat-sangat.

AMANNA GAPPA
330 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

Tugas seorang pengurus adalah melakukan kegiatannya dengan kehati-hatian yang


beralasan dapat diharapkan dari dirinya sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya.

3. Statutory Duty
Kekuasaan dan wewenang pengurus yayasan didasarkan dan dibatasi oleh anggaran
dasar yayasan yang bersangkutan kewenangan bertindak pengurus yayasan, seperti
halnya kemenangan bertindak pengurus suatu badan hukum dirumuskan dalam anggaran
dasarnya. Anggaran dasar merupakan hukum positif yang mengikat semua organ yayasan.
Kekuatan mengikat anggaran dasar tidak dapat dikesampingkan.
Pengurus tidak berwenang mengikat yayasan sebagai penjamin utang, mengalihkan
kekayaan yayasan kecuali dengan persetujuan Pembina, dan membebani kekayaan
yayasan untuk kepentingan pihak lain. Jika pengurus melakukan pebuatan hukum
untuk dan atas nama yayasan, anggaran dasar dapat membatasi kewenangan tersebut
dengan menentukan bahwa untuk perbuatan hukum tertentu diperlukan persetujuan
terlebih dahulu dari Pembina dan atau pengawas misalnya untuk menjaminkan kekayaan
yayasan guna membangun sekolah atau rumah sakit pengurus yang Karena kesalahan
atau kelalaiannya menyebabkan yayasan pailitdan kekayaan yayasan tidak cukup untuk
menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, bertanggung jawab sebagai tanggung
renteng atas kerugian tersebut.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan dan analisis di atas, penulis menarik kesipulan
sebagai berikut:
1. Sebelum maupun sesudah berlakunya Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan telah diakui bahwa yayasan adalah badan hukum. Sebelum berlakunya
undang-undang yayasan, masih terdapat keragaman tentang saat yayasan menjadi
badan hukum, tetapi setelah berlakunya undang-undang yayasan telah jelas bahwa
yayasan memperoleh status sebagai badan hukum pada saat mendapatkan pengesahan
dari menteri hukum dan HAM.
2. Pengurus dalam melakukan tugasnya dan kemudian mempertanggung jawabkannya
berdasarkan pada: a). Fiduciary Duty; b). Duty of Skill and Care; dan c). Statutory Duty

Saran
1. Yayasan yang belum mengajukan permohonan pengesahan yayasan sebagai badan
hukum harus segera mendaftarkan yayasannya agar tercapai kepastian hukum.
2. Pengurus yayasan tidak boleh memanfaatkan kedudukan sebagai pengurus untuk

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 331

memperoleh keuntungan pribadi. Pengurus harus bekerja sesuai dengan anggaran


dasar yang ditetapkan oleh yayasan.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar Borahima. Eksistensi Yuridis Yayasan Yang Didirikan Sebelum Berlakunya Undang-
Undang Yayasan, Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa, Vol. 13, 2005. Fak. Hukum
Universitas Hasanuddin.
Chidir Ali. 1991. Badan Hukum, Alumni, Bandung.
Chatamarrasjid, 2000. Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing The Corporate Veli) Kapita
Selekta Hukum Perusahaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
____________, 2000. Tujuan Sosian Yayasan Dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung.
____________, 2006. Badan Hukum Yayasan Edisi Revisi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Munir Fuady. 2002. Pengantar Hukum Bisnis (Menata Hukum Bisnis Di Era Global), PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung.

AMANNA GAPPA
332 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

PERSPEKTIF HUKUM REFLEKSIF TERHADAP


KONSEP RESTORATIVE JUSTICE DALAM
PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

Oleh:
Sukardi
Kepolisian Republik Indonesia Daerah Sulawesi Selatan
E-mail: cardilia_mks73@yahoo.com

Abstract: Political reform in the criminal law indicate a trend of changes in sentencing
paradigm and perspective from the concept of restitutive justice to restorative justice concept.
This process can be viewed as a rematerialization of formal law in the criminal justice system.
Restitutive justice approach is very formalistic, in the constructive development of perfective
considered social system, because it does not accommodate the values of the local wisdom
that becomes at once subject and object. While the concept of restorative justice is essentially
focused on the substance of the law for the purpose of substantive justice especially for
the victim, offender and community in a comprehensive manner. Although the concept of
restorative justice is seen as an attempt to return to traditional pattern, but can be viewed
as the modern legal concept in the criminal legal system that offers a mechanism to resolve
a criminal case that is likely to create legal solutions in addressing social problems based on
the values of
the order social life.
Keywords: Reflexive Law, Restorative Justice

Abstrak: Pembaharuan dalam politik hukum pidana menunjukkan adanya kecenderungan


perubahan paradigma pemidanaan dan persfektif konsep keadilan dari konsep restitutive
justice ke konsep restorative justice. Proses ini dapat dipandang sebagai bentuk rematerialisasi
hukum dalam sistem hukum pidana. Pendekatan restitutive justice yang sangat formalistik,
dalam perkembangannya dianggap tidak konstruktif dari perfektif social system, karena
tidak mengakomodir nilai-nilai local wisdom masyarakat yang menjadi obyek dan sekaligus
subyeknya. Sedangkan konsep restorative justice pada hakekatnya difokuskan pada substansi
tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan substantive khusunya bagi korban, pelanggar dan
masyarakat secara komprehensif. Meskipun konsep restorative justice dipandang sebagai
upaya untuk return to traditional pattern, tetapi dapat dipandang sebagai konsep hukum
modern dalam sistem hokum pidana yang menawarkan mekanisme penyelesaian perkara
pidana yang berpeluang menciptakan solusi hukum dalam mengatasi masalah-masalah
sosial yang didasarkan pada nilai-nilai tatanan kehidupan sosial.
Kata Kunci: Hukum Refleksif, Keadilan Restoratif

AMANNA GAPPA
334 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

PENDAHULUAN

Pembaharuan Hukum Pidana1 dalam pandangan Politik hukum, dipahami suatu adagium
bahwa law is always behind to social changes dengan siklus perubahan hukum dari ius
constitutum yang harus dilakukan perubahan mengikuti perkembangan masyarakat untuk
mewujudkan ius constituendum, kemudian ius constituendum itu menjadi ius constitutum
lagi dan begitu seterusnya.2
Ditinjau dari persfektif sosiologi hukum, maka perkembangan hukum saat ini
menunjukkan adanya kecenderungan dilakukaknnya rematerialisasi hukum3 menuju suatu
tatanan hukum modern.4 rematerialisasi hukum adalah kecenderungan di bidang hukum dari
rasionalitas formal ke rasionalitas substantif, atau pemisahan dari formalitas hukum sebagai
konsekuensi logis paham negara kesejahteraan (welfare state) maupun negara pengatur
(regulatory state).5 Hukum dibentuk bukan hanya untuk kepentingan hukum itu sendiri,
namun untuk kepentingan manusia dan kehidupan masyarakat.
Perkembangan hukum pidana saat ini menunjukkan adanya kecenderungan mengalami
pergeseran paradigma Pemidanaan yang disebabkan oleh sedikitnya 3 (tiga) faktor utama,6
yaitu: Perkembangan Hak Asasi Manusia; Perubahan pandangan masyarakat atas kejahatan
dan perubahan pandangan masyarakat terhadap penjahat itu sendiri.7 Masyarakat cenderung
anti-formal dan mulai fokus pada substansi perkara dalam konsep penyelesaian yang
1
Menurut Barda Nawawi Arief bahwa dalam Upaya pembaruan Hukum Pidana pada hakekatnya termasuk
ke dalam bidang kajian penal policy yang terkait erat dengan law enforcement policy, criminal policy dan social
policy. Barda Nawawi arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana dalam persfektif Kajian Perbandingan, PT.
Citra Adtya Bhakti, Bandung, hal : 3.
2
Sasaran kajian politik hukum adalah: (1) Ius constitutum. (2) perubahan kehidupan masyarakat. (3) Ius
constituendum. (4) proses perubahan ius constitutum menjadi ius constituendum. (5) produk hasil perubahan ius
contitutum menjadi ius constituendum. Politik hukum sebagai terjemahan Rechts Politiek, Menurut Bellefroid
adalah bagian dari ilmu hukum yang meneliti perubahan hukum yang berlaku yang harus dilakukan untuk
memenuhi tuntutan baru kehidupan masyarakat. Sedangkan menurut Lemeire bahwa politik hukum termasuk
kajian hukum yang terkait dengan ilmu pengetahuan hukum positif. Lihat Mulyadi Nurdin, LC, 14 April
2012, Hukum, Perkembangan Politik Hukum di Indonesia, Website Internet : http://mulyadinurdin. wordpress.
com/2012/04/14/perkembangan-politik-hukum-di-indonesia/, diakses tanggal 22 Juni 2012.
3
Menurut Gunther Teubner bahwa The rematerialization of formal law is the corollary development within
the legal sphere. law develops a substantive rationality characterized by particularism, result-orientation, an
instrumentalist sosial policy approach, and the increasing legalization of formerly autonomus sosial processes..
Lihat Gunther Tuebner, 1983, Substantive and Reflexive Elements in Modern Law, Law & Society Review, Vol.
17, No. 2. 1983, hal : 239-286
4
Lihat Icca Irsyad Dahri, 22 Juni 2008, Hukum dan Masyarakat, Website Internet : http://cha4400.
wordpress.com/2008/06/22/hukum-dan-masyarakat/, diakses tanggal 24 Juli 2012. tekanan yang lebih besar
dalam konsep hukum saat ini ditempatkan pada hukum rasional formal yang memberikan perhatian dan fungsi
pada orientasi pemerintah yang mengarah pada pembangunan hukum yang berorientasi pada penguatan sub-sub
sistem yang ada pada masyarakat, sehingga hukum dapat digunakan sebagai instrument untuk orientasi tujuan
dan intervensi arah dengan maksud tertentu.
5
M. Guntur Hamzah, 21 Juni 2012, Problematika hukum modern menururt MAX WEBER, materi kuliah
Hukum Masyarakat Dan Pembangunan Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin
Makassar, tanggal 21 Juni 2012.
6
Eva Achjani Zulfa, 2006, Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia, Jurnal Hukum dan
Pembangunan Tahun Ke -36 No. 3 Juli September 2006, hal : 393.
7
Ibid, hal : 394-395.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 335

dipandang adil bagi semua pihak yang terlibat. Dengan demikian, telah terjadi perubahan
pola pikir dalam memandang permasalahan-permasalahan hukum sosial termasuk aspek
pidana, dari rasionalitas formal ke rasionalitas substantif.
Pergeseran paradigma pemidanaan dan konsep keadilan dalam penegakan hukum
pidana di berbagai Negara saat ini ditandai dengan menguatnya dukungan terhadap penerapan
konsep restorative justice,8 untuk menggantikan konsep restitutif justice (criminal justice).
Ahmad Ali menyebut restorative justice ini sebagai konsep modern hukum pidana.9 Meskipun
Braithwaite bahwa para pendukung konsep ini, menyatakan bahwa penerapan konsep
restorative justice berarti kembali ke Pola penyelesaian perkara pidana secara primitive/
tradisional.10
Memahami perkembangan paradigma konsep keadilan hukum dalam pembaruan hukum
pidana, khususnya konsep restorative Justice, menarik untuk dikaji dari sudut pandang
sosiologis terutama jika dikaitkan dengan teori hukum reflektif menurut Gunther Teubner.

PEMBAHASAN DAN ANALISIS


Konsep Restorative Justice dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Muladi dan Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa: 11
Dalam perkembangannya, perhatian yang dipusatkan pada SPP ini tampak cukup
serius. SPP tidak sekedar dilihat sebagai sistem penanggulangan kejahatan, tetapi justru
dilihat sebagai social problem12 yang sama dengan kejahatan itu sendiri. Dikatakan
8
Konsep Restorative Justice diperkenalkan oleh Braithwaite pada tahun 1980an, sebagai pendekatan
dalam sistem penghukuman, karena terinspirasi oleh masyarakat Maori dalam menangani penyimpangan di
lingkungan mereka, yang menekankan penyelesaian masalah dengan melibatkan masyarakat dan petinggi
masyarakat setempat untuk menyelsaikan masalah secara kekeluargaan. Lihat Manshur Zikri, 1 Juni 2011,
Restorative Justice Sebagai Mekanisme Penyelesaian Perkara Yang Mengedepankan Kepentingan Perempuan
Sebagai Korban Kekerasan Seksual, Website Internet : http://manshurzikri.wordpress.com/2011/06/01/
restorative-justice-sebagai-meka nisme-penyelesaian-perkara-yang-menge-depankan-kepentingan-perempuan-
sebagai-korban-kekerasan-seksual/, diakses tanggal 25 September 2011
9
Ahmad Ali, 21 Desember 2011, Restorative (RJ) adalah konsep Modern Hukum Pidana, Harian Fajar,
Makassar, Hal 4 kolom 1. Dalam tulisannya tersebut Ahmad Ali mengutip definisi restorative justice dari buku
Dictionary of conflict resolution, compiled and edited by Douglash, Yrn, 1999 ; p. 381, yaitu : Restorative
justice is criminal justice concept that views crime as violation of people, not as a violation of the state, and
creates an obligation to the victim and to the community to make things right. It focuses on the crimes harm
rather than on the broken rule and emphasizes redress for the victim and the community for the effects of the
wrong doing over punishment imposed by the state. Restorative justice models may provide for appropriate
dialogue, direct or indirect, between the victim and offender in the form of victim-offender mediation.
10
Menurut Braithwaite bahwa: according to its proponent, restorative justice is not a new invention.
Rather, it is a return to traditional pattern of dealing with conflict and crime that had been present in different
cultures throughout human history. Braithwaite, J. 2002, Restorative Justice and Responsive Regulation, oxford
University Press, p. 1.
11
Lihat Muladi dan Barda Nawawi Arif., 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Edisi Kedua, Cet.
Kedua, Alumni : Bandung, hal : 195-196.
12
Sosial problem (masalah sosial) adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau
masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan
yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Masalah sosial dapat dikategorikan
menjadi 4 (empat) jenis faktor, yakni antara lain : 1. Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dll. 2.
Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, dll. 3. Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan,
dsb. 4. Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb. Lihat Soerjono Soekanto, 24 April 2008, Definisi/

AMANNA GAPPA
336 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

demikian karena disamping kenyataan menunjukkan bahwa kejahatan tetap terus


meningkat, yang dapat dilihat sebagai indikator tidak efektifnya SPP, juga karena SPP itu
sendiri dalam hal-hal tertentu dapat dilihat sebagai faktor kriminogen dan viktimogen.

Asumsi terhadap kegagalan Sistem Peradilan Pidana (SPP) dalam perkembangan


hukum pidana saat ini, menjadi faktor pendorong kecenderungan pergeseran paradigma dari
konsep restitutif justice (criminal justice) ke konsep Restorative Justice.13 Masyarakat tidak
merasakan keadilan dalam proses formal penegakan hukum, karenanya masyarakat dalam
permasalahan hukumnya lebih fokus pada substansi tujuan hukum itu sendiri.
Berbeda dengan konsep restitutive justice (criminal justice) sebagaimana diungkapkan
oleh Howard Zehr,14 yaitu: Criminal is a violation of the law and the state; violation create
guilt; justice requires the state to determine blame (guilt) and impose pain (punishment);
central focus: offenders getting what they deserve. Keadilan dalam konsep restitutive justice
ini dimaknai sebagai ganjaran berupa pidana yang setimpal dengan perbuatan pelaku kejahatan.
Dengan demikian, fokusnya adalah pada pelaku kejahatan bukan pada korban, sedangkan
konsep restorative justice adalah Restorative Justice is a process whereby parties with a
stake in a specific offence collectively resolve how to deal with the aftermath of the offence
and its implications for the future.15 fokusnya pada korban yaitu bagaimana memulihkan
kondisi korban dengan tetap membebankan tanggungjawab moral kepada pelaku baik untuk
memulihkan korban maupun untuk mendapatkan sanksi.
Pergeseran paradigma dari konsep restitutive Justice ke restorative Justice dalam
pembaharuan hukum pidana, dapat dipandang sebagai bentuk rematerialisasi hukum dalam
sistem hukum pidana. Arah perubahan hukum saat ini adalah mengembangkan rasionalitas
substansinya yang bercirikan: kekhususan, orientasi pada hasil pendekatan sosial sebagai alat
dan meningkatkan legalisasi proses sosial yang dahulunya otonom.16 Bentuk-bentuk hukum
Pengertian Masalah Sosial dan Jenis/Macam Masalah Sosial Dalam Masyarakat, website internet : http://
organisasi.org , komunitas dan perpustakaan online Indonesia, diakses pada tanggal 1 April 2011.
13
Faktor perubahan pandangan masyarakat atas kejahatan, sebelumnya pidana yang dikenal sebagai
pidana mati dan pidana siksaan badan dengan menitik beratkan pada paham pembalasan (retribusi), kemudian
bergeser menjadi pidana penjara yang dianggap sebagai bentuk pemidanaan yang lebih modern karena
memberikan kesempatan kepada orang untuk memperbaiki diri, dengan menitik beratkan pada paham perbaikan
(resosialisasi). Perkembangan kemudian adalah pidana penjara dipandang dapat menghasilkan stigma dan
nestapa serta akibat lain yang negative terhadap seseorang pelaku tindak pidana, disamping membebani
keuangan Negara, sehingga kemudian muncul pidana denda, meskipun kemudian jenis pidana denda ini juga
diragukan karena sangat relative tergantung tingkat prekonomian seseorang. Lihat Eva Achjani Zulfa, 2006,
Opcit, hal : 396-397.
14
Ahmad Ali, 2009, Menguak teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence) termasuk
Interpretasi Undang-Undang (Legalprudence), Volume I Pemahaman awal, Edisi Pertama, Cetakan ke-3,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta: 249.
15
Marshall, Tony F. 1999. Retorative Justice an Overview. London : Home Office, Information &
Publications Group, hal : 5
16
Alvi Syahrin, 11 Nopember 2010, Refleksi Hukum, Website Internet: http://alviprofdr.blogspot.
com/2010/11/refleksi-hukum.html, diakses tanggal 24 Juli 2012. Guntur Hamzah, menjelaskan Karakter
rasionalitas substantive yaitu : Hukum digunakan sebagai instrument untuk melakukan intervensi dari Negara
yang berorientasi pada tujuan dan sasaran; Lebih mengedepankan pada tunjuan yang lebih spesifik; dan Lebih

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 337

yang menekankan pada kekuasaannya mulai dilkritisi dan diubah menjadi aturan hukum yang
lebih mengakar kepada keinginan masyarakat luas, yaitu bentuk hukum dan dikenal sebagai
rasionalitas formal, diarahkan kepada rasionalitas substansif.
Pendekatan restitutive justice yang sangat formalistik, dalam perkembangannya
dianggap tidak konstruktif dari perfektif social system karena tidak mengakomodir nilai-
nilai local wisdom masyarakat yang menjadi obyek dan sekaligus subyeknya. Sedangkan
Konsep restorative justice pada hakekatnya difokuskan pada substansi tujuan hukum untuk
mewujudkan keadilan substantive khusunya bagi Korban, pelanggar dan masyarakat secara
komprehensif. Konsep ini sejalan dengan prinsip hukum responsif yang berorientasi pada
hasil dan pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif,
tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi.17

Perspektif Hukum Refleksif terhadap Konsep Restorative Justice.


Eksistensi hukum dalam pandangan sosiologi pada hakekatnya dipandang sebagai
gejala sosial yang berwujud prilaku manusia dalam pergaulan hidup sehari-hari. Menurut
Alvi Syahrin,18 bahwa Hukum dapat dibedakan sebagai medium dan sebagai institusi.
Dengan demikian, hukum dan masyarakat tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Brian
Z. Tamanaha19 mengatakan bahwa hukum dan masyarakat memiliki bingkai yang disebut
The Law Society Framework yang memiliki karakteristik hubungan tertentu dengan dua
komponen dasar yaitu : Komponen pertama terdiri dari dua tema pokok yaitu ide yang
menyatakan bahwa hukum adalah cermin masyarakat dan ide bahwa fungsi hukum adalah
untuk mempertahankan social order. Komponen kedua terdiri dari tiga elemen, yaitu:
custom/consent; morality/reason; dan positive law. Custom/consent and morality/reason
dalam pemikiran Donald Black dipahami sebagai culture.20
Dalam perkembangan hukum dan masyarakat yang semakin pesat, penekanan hukum
pada kekuasaan dan rasional formal mulai dikritisi dan diarahkan kepada rasionalitas
terinci dibandingkan hokum-hukum formal. M. Guntur Hamzah, 21 Juni 2012, Opcit.
17
Fabula Iga Maulana dkk, Juni 2011, Sosiologi Hukum, Teori Sistem Hukum Nonet Selznick, Website:
http://spencer1-soskum.blogspot.com/2011/06/teori-sistem-hukum-nonet-selznick.html, diakses tanggal 21
Juni 2012.
18
Alvi Syahrin, 11 Nopember 2010, Opcit. Sebagai medium, hukum merupakan suatu proses penentu
sosio teknologis yang mandiri (inde-penden) yang menggantikan struktur-struktur komunikatif yang terdapat
dalam dunia kehidupan sub-sub sistem sosial yang sesuai dengan kriterianya sendiri. Selanjutnya, hukum
sebagai institusi berfungsi sebagai konstitusi eksternal untuk bidang-bidang reproduksi sosialisasi, integritas
sosial dan kultural. Namun demikian, hukum yang berfungsi sebagai institusi lebih bersifat memudahkan dan
bukan menghambat terjadinya proses-proses self regulatory dari komunikasi dan pembelajaran
19
Lihat Brian Z. Tamanaha, 2006, A General Jurisprudence of Law and Society, Oxford University Press,
New York, hlm : 1-2.
20
Black mengatakan bahwa culture is the symbolic aspect of social life, including expression of what
is true, good, beautiful. It includes ideas about the nature of reality (theoretical and practical), supernatural,
metaphysical or empirical), conceptions of what ougt to be (right or wrong, proper and technology, religion,
magic or folklore). Values, ideology, morality and law have a symbolic aspect of this kind. Lihat, Donald
Black, 1976, The Behaviour of Law, Academic Press, New York, hlm : 61.

AMANNA GAPPA
338 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

substansif yang berorientasi pada penguatan sub-sub sistem yang ada pada masyarakat,
sehingga diperlukan rematerialisasi hukum. Pendekatan neo-evolusioner dengan hukum
refleksif oleh Teubner diarahkan kepada satu perspektif proses perubahan hukum dan sosial.21
Gunther Tuebner,22 berusaha mengkombinasikan model teori Nonet dan Selznick23
yang bersandar pada variabel-variabel internal sistem hukum yang tidak seluruhnya melihat
aturan kekuatan eksternal social, dengan teori Habermas-Luhman,24 yang lebih mengarahkan
masyarakat sebagai organisasi yang teratur dan menekankan pada interrelasi eksternal antara
hukum dan struktur sosial, sehingga pada akhirnya membentuk sebuah model hukum sosial.
Di dalam Konsep hokum refleksif, hukum dapat mengatasi konflik-konflik yang ada
dengan menetapkan batasan-batasan terhadap dimensi pelaksanaan hukum dengan bentuk-
bentuk kontrol sosial yang secara tidak langsung dan lebih abstrak.25 Dengan demikian,
suatu orientasi refleksif berusaha untuk mengidentifikasi struktur-struktur peluang yang
mengizinkan pengaturan hukum mengatasi masalah-masalah sosial tanpa merusak nilai-nilai
tatanan kehidupan sosial.26
Diferensiasi fungsional dalam sistem sosial mengakibatkan hilangnya struktur-struktur
legitimasi yang universal yang merupakan suatu moralitas diskursus yang dapat ditetapkan
secara umum atau suatu prosedur refleksi bersama, misalnya dalam konsep penegakan hukum
pidana maka sistem pemidanaan tidak dapat digeneralisasi sebagai upaya untuk memenuhi
aspek keadilan sosial terutama korban.27 Dalam konteks ini Teubner mengatakan bahwa: legal
development is not identified exclusively with the unfolding of norms, principles and basic
Alvi Syahrin, 11 Nopember 2010, Opcit. Menurut Tubner bahwa teori Nonet dan Selznick dalam
21

menggunakan hukum represif tidak banyak memasukkan campurtangan masyarakat sehingga hukum hanya
berkembang tanpa masyarakat. Melalui rematerialisasi hukum, perlu dilakukan perubahan dalam hukum dan
masyarakat yang bersifat evolusioner dimana hukum dapat bekerjasama dengan gambaran-gambaran sosial,
ekonomi dan organisasi politik dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, hubungan antara struktur-struktur
hukum dan sosial akan membantu untuk memahami transformasi dalam masyarakat.
22
Gunther Teubner, 1983, Opcit, hal : 242.
23
Lihat Icca Irsyad Dahri, 22 Juni 2008, opcit. Nonet dan Selznick menganalisis sebuah model mengenai
proses perubahan hukum yang membebankan aturan yang berpusat pada dinamika internal sistem hukum.
Hal ini berarti bahwa rematerialisasi hukum ini hanya memperbaiki kondisi hukum itu saja, terlepas dari
apakah hukum itu mempunyai dampak yang langsung atau tidak kepada berbagai masalah lain seperti ekonomi,
masyarakat, dan budaya. Lihat Philippe Nonet dan Philip Selznick, 1978. Hukum Responsif Pilihan di Masa
Transisi, Terjemahan Rafael Edy Bosco, HuMa, Jakarta, 2003. Dan Nonet dan Selznick menjelaskan bahwa pada
masa transisi dari otonom menjadi responsif, tahap yang paling kritis adalah generalisasi tujuan-tujuan hokum
yang merupakan sumber utama fleksibilitas di dalam organisasi modern. Philippe Nonet dan Phillip Selznick
mengembangkan model hukum dengan tiga tahapan evolusioner yakni: represif, otonom, dan responsif. Lihat
Nonet dan Selznick, 1978, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, Harper & Row, terjemahan,
Raisul Muttaqien 2010, Hukum responsive, Nusa Media, Bandung, hal : 90
24
Ibid. Niklas Luhmann mengatakan bahwa ada tiga proses peningkatan lingkungan yang dihadapi
masyarakat modern yaitu diferensiasi, segmentasi, stratifikasi masyarakat yang merupakan gabungan antara
segmentasi dan stratifikasi, serta fungsionalitas masyarakat. Sementara itu, Habermas mengidentifikasi
tahapan-tahapan evolusioner dalam masyarakat dan menganalisis hubungan antara tahapan-tahapan ini melalui
perkembangan moral hukum dengan mengemukakan tahapan-tahapan perkembangan hukum dan masyarakat,
yakni: Prekonvensional, Konvensional, Pascakonvensional.
25
Alvi Syahrin, Op.cit..
26
Ibid.
27
Ibid.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 339

concept of law. Rather, it is determined by the dynamic interplay of social forces, institutional
constraints, organizational structures and last but not lest conceptual potentials.28
Sejalan dengan konsep yang dibangun dalam restorative justice system yang
merekonstruksi konsep tindak pidana sebagai pelanggaran terhadap individu (korban) bukan
terhadap Negara, sehingga nilai keadilan yang diharapkan adalah keadilan proses dan hasil
penyelesaian perkara bagi korban. diferensiasi fungsional dalam sistem sosial melahirkan
diferensiasi persfektif nilai keadilan substantive, sehingga tidak dapat dipaksakan dengan
konsep keadilan universal sebagai hasil keputusan melalui prosedur refleksi bersama. Konsep
keadilan ini masih bersifat abstrak dan belum menjangkau kepentingan pencari keadilan
secara konkrit.
Meskipun Konsep restorative justice dipandang sebagai upaya untuk return to traditional
pattern dalam konsep penyelesaian perkara pidana, akan tetapi konsep restorative justice
dipandang sebagai konsep hokum modern dalam sistem hokum pidana yang menawarkan
suatu mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan mengidentifikasi struktur-struktur
sosial yang berpeluang menciptakan solusi hukum dalam mengatasi masalah-masalah sosial
yang didasarkan pada nilai-nilai tatanan kehidupan sosial.

PENUTUP
Berdasarkan uraian pembahasan dan analisis di atas, penulis mengidentifikasi
kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa dalam perkembangan hukum pidana sebagai bagian dari perkembangan
hukum dan masyarakat yang semakin pesat, maka Konsep hukum yang bersandar
pada rasionalitas formal mulai dikritisi dan diarahkan kepada rasionalitas substansif
yang berorientasi pada penguatan sub-sub sistem yang ada pada masyarakat, sehingga
diperlukan rematerialisasi hukum.
2. Bahwa Konsep hukum refleksif, hukum dapat mengatasi konflik-konflik yang ada
dengan menetapkan batasan-batasan terhadap dimensi pelaksanaan hukum dengan
bentuk-bentuk kontrol sosial yang secara tidak langsung dan lebih abstrak, yang
berorientasi pada identifikasi struktur-struktur peluang yang mengizinkan pengaturan
hukum untuk mengatasi masalah-masalah sosial tanpa merusak nilai-nilai tatanan
kehidupan sosial.
3. Persfektif hokum refleksif terhadap konsep restorative justice adalah memandang
konsep restorative justice sebagai konsep hukum pidana modern yang merekonstruksi
konsep tindak pidana sebagai pelanggaran individual (korban) bukan terhadap negara,
sehingga nilai keadilan yang diharapkan adalah keadilan proses dan hasil penyelesaian
28
Gunther Tuebner, 1983, Op.cit, hal. 247.

AMANNA GAPPA
340 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

perkara bagi korban. diferensiasi fungsional dalam sistem sosial melahirkan diferensiasi
persfektif nilai keadilan substantive, sehingga konsep keadilan universal tidak dapat
dipaksakan karena masih bersifat abstrak dan belum menjangkau kepentingan pencari
keadilan secara konkrit.
4. Meskipun Konsep restorative Justice dipandang sebagai upaya untuk return to
traditional pattern, tetapi dapat dipandang sebagai konsep hokum modern dalam
sistem hokum pidana yang menawarkan mekanisme penyelesaian perkara pidana yang
berpeluang menciptakan solusi hukum dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang
didasarkan pada nilai-nilai tatanan kehidupan sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali, 2009, Menguak teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence)
termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legalprudence), Volume I Pemahaman awal,
Edisi Pertama, Cetakan ke-3, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Barda Nawawi arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana dalam persfektif Kajian
Perbandingan, PT. Citra Adtya Bhakti, Bandung.
Braithwaite, J. 2002, Restorative Justice and Responsive Regulation, oxford University Press.
Brian Z. Tamanaha, 2006, A General Jurisprudence of Law and Society, Oxford University
Press, New York.
Donald Black, 1976, The Behaviour of Law, Academic Press, New York.
Eva Achjani Zulfa, 2006, Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia, Jurnal Hukum
dan Pembangunan Tahun Ke -36 No. 3 Juli September 2006.
Gunther Tuebner, 1983, Substantive and Reflexive Elements in Modern Law, Law & Society
Review, Vol. 17, No. 2. 1983, hal : 239-286
Margarita Zernova, 2007, Restorative Justice, Ideals and Realities, Ashgate Publishing
Limited.
Marshall, Tony F. 1999. Retorative Justice an Overview. London : Home Office, Information
& Publications Group.
Muladi dan Barda Nawawi Arif., 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Edisi Kedua, Cet.
Kedua, Alumni : Bandung.
Nonet dan Selznick, 1978, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, Harper
& Row, terjemahan, Raisul Muttaqien 2010, Hukum responsive, Nusa Media, Bandung.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 341

Sumber lainnya:
Achmad Ali, 21 Desember 2011, Restorative (RJ) adalah konsep Modern Hukum Pidana,
Harian Fajar, Makassar, Hal 4 kolom 1.
Alvi Syahrin, 11 Nopember 2010, Refleksi Hukum, Website: http://alviprofdr.blogspot.
com/2010/11/refleksi-hukum.html, diakses tanggal 24 Juli 2012.
Fabula Iga Maulana dkk, Juni 2011, Sosiologi Hukum, Teori Sistem Hukum Nonet Selznick,
Website:http://spencer1-soskum.blogspot.com/2011/06/teori-sistem-hukum-nonet-
selznick.html, diakses tanggal 21 Juni 2012.
Guntur Hamzah, M., 21 Juni 2012, Problematika hukum modern menururt MAX WEBER,
materi kuliah Hukum Masyarakat Dan Pembangunan Program Doktor Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar, tanggal 21 Juni 2012.
Icca Irsyad Dahri, 22 Juni 2008, Hukum dan Masyarakat, Website Internet : http://cha4400.
wordpress.com/2008/06/22/hukum-dan-masyarakat/, diakses tanggal 24 Juli 2012.
Manshur Zikri, 1 Juni 2011, Restorative Justice Sebagai Mekanisme Penyelesaian Perkara
Yang Mengedepankan Kepentingan Perempuan Sebagai Korban Kekerasan Seksual,
Website: http://manshurzikri.wordpress.com/2011/06/01/ restorative-justice-sebagai-
mekanisme-penyelesaian-perkara-yang-menge-depankan-kepentingan-perempuan-
sebagai-korban-kekerasan-seksual/, diakses tanggal 25 September 2011.
Mulyadi Nurdin, LC, 14 April 2012, Hukum, Perkembangan Politik Hukum di Indonesia,
Website: http://mulyadinurdin.wordpress.com/2012/04/14/perkembangan-politik-hu
kum-di-indonesia/, diakses tanggal 22 Juni 2012.
Soerjono Soekanto, 24 April 2008, Definisi/Pengertian Masalah Sosial dan Jenis/Macam
Masalah Sosial Dalam Masyarakat, website internet : http://organisasi.org , komunitas
dan perpustakaan online Indonesia, diakses pada tanggal 1 April 2011.

AMANNA GAPPA
342 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 061

KONSEP KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT


SEBAGAI SARANA PENGUATAN AKSES TERHADAP
HUKUM DAN KEADILAN
Oleh:
Mushawwir Arsyad
Magister Ilmu Hukum PPs Universitas Hasanuddin
E-mail: shawirarsyad@rocketmail.com

Abstract: Values of local wisdom in Indonesia is very diverse may be one way to resolve
conflict. Local wisdom can be more quickly and easily accepted, because it was rooted in the
community. Therefore, attempt to resolve conflicts with local knowledge should be instituted
to keep the peace and unity of the nation. Conflict resolution are performed solely by formal
mechanisms did not touch the institutions is the most widely used by those seeking justice.
Recognition of this may reinforce the formal inter-agency interaction and conflict resolution
mechanisms at the local level.
Keywords: Local Wisdom, Conflict, Indigenous Peoples, Informal Mechanisms

Abstrak: Nilai-nilai kearifan lokal di Indonesia yang sangat beragam dapat menjadi salah
satu jalan menyelesaikan konflik. Kearifan lokal dapat lebih cepat dan mudah diterima
karena telah mengakar dalam masyarakat. Oleh karena itu, upaya menyelesaikan konflik
dengan kearifan lokal haruslah dilembagakan untuk menjaga perdamaian dan persatuan
bangsa. Penyelesaian konflik yang dilakukan semata-mata dengan mekanisme formal tidak
menyentuh lembaga-lembaga yang justru paling banyak dipakai para pencari keadilan.
Pengakuan akan hal ini dapat memperkuat interaksi antarlembaga formal dan mekanisme
penyelesaian konflik di tingkat lokal.
Kata Kunci: Kearifan Lokal, Konflik, Masyarakat Adat, Mekanisme Informal

PENDAHULUAN

Indonesia adalah bangsa yang memiliki ragam adat istiadat dan budaya. Hal ini terlihat jelas
dari penduduknya yang lebih kurang 656 suku bangsa dan mendiami lebih dari 30.000 pulau.
Keberagaman tersebut tentunya tidak hanya mendatangkan berbagai keuntungan, namun
juga menyimpan potensi konflik di dalamnya.
Keberagaman berpotensi untuk menjadi pemicu konflik ketika hal tersebut tidak
dikelola dengan baik. Franz Magnis-Suseno,1 mengatakan bahwa bangsa yang plural seperti
Indonesia hanya bisa hidup secara damai, jika mereka membuang kapabilitas psikologis
munculnya sikap tidak toleran. Dominasi atas kemajemukan, apalagi jika diperoleh dengan
cara kekerasan, pemaksaan, penyeragaman, dan ketidakadilan, terbukti telah menjadi sumber
konflik yang mengancam keutuhan bangsa Indonesia.
1 Franz Magnis-Suseno, Faktor-Faktor yang Mendasari Terjadinya Konflik Antara Kelompok Etnis dan
Agama di Indonesia (Pencegahan dan Pemecahan), Jakarta: Gramedia, 1998, hlm. 2.

AMANNA GAPPA
344 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

Konflik pada dasarnya bukanlah hal yang dapat dihindari manusia. Bahkan sejatinya,
dapat dipastikan bahwa usia konflik seumur dengan manusia.2 Hal yang menjadi masalah
utamanya adalah bagaimana mengelola konflik tersebut, sehingga malapetaka kemanusiaan
dan disintegrasi bangsa dapat terhindarkan. Sejarah perjalanan bangsa ini telah mencatat,
bagaimana kegagalan masyarakat untuk menyikapi perbedaan berujung kepada konflik.
Sebagai contoh nyata, ribuan orang yang menjadi korban dalam konflik Maluku dan ribuan
lainnya yang terluka atau menjadi pengungsi. Selain itu, besarnya konflik antara etnis Dayak
dan Madura di Kalimantan Barat yang telah memberikan dampak negatif bagi masyarakat
akan disharmonisasi sosial, ekonomi, dan politik yang dimiliki masing-masing etnis.
Banyaknya konflik terjadi di Indonesia, tentu mesti ada serangkaian tindakan yang
dilakukan, sebab konflik yang berkepanjangan hanya akan mengganggu stabilitas nasional
yang pada akhirnya akan berdampak negatif bagi kesejahteraan rakyat. World Bank
menunjukkan sebuah data penelitian pada tahun 2005 bahwa konflik sosial yang meluas
terjadi pada 7 dari 33 propinsi di Indonesia melahirkan lebih dari 1 juta pengungsi dan
menyebabkan angka pertumbuhan menjadi minus 4% pada wilayah yang terkena dampak
konflik.3
Setiap masyarakat yang hidup bersama dalam tuntunan sebuah tata nilai akan
melengkapi pranata mereka dengan sejumlah aturan lokal yang membudaya dalam
mengantisipasi berbagai persoalan menyangkut ketidaksepahaman.4 Setiap budaya memiliki
kearifan lokal tersendiri dalam menyikapi permasalahan hidup yang dihadapi, termasuk
di dalamnya kearifan dalam menyelesaikan konflik. Kearifan-kearifan seperti inilah yang
sering disebut sebagai kearifan lokal (local wisdom). Nilai-nilai kearifan lokal di Indonesia
yang sangat beragam dapat menjadi salah satu solusi atas berbagai permasalahan yang ada
diantaranya adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik.
Peranan hukum adat dalam penyelesaian konflik di masyarakat merupakan suatu hal
yang penting untuk dikaji. Di negara yang mana pluralisme hukum masih merupakan suatu
kenyataan seperti Indonesia, maka tidak bisa mengabaikan adanya hukum tidak tertulis yang
hidup bersama dengan hukum tertulis dari negara.5 Di beberapa masyarakat adat, hukum
tidak tertulis ini bahkan dilaksanakan secara nyata dan ditaati oleh masyarakat. Konflik di
sini tidak hanya merujuk pada sengketa keperdataan saja, melainkan juga tindakan pidana
kadang diselesaikan melalui hukum tidak tertulis atau hukum adat. Bahkan, dalam kasus
pidana tertentu, penyelesaian melalui hukum negara akan memakan waktu lama, sementara
rasa keadilan masyarakat belum tentu terpenuhi.
2 Diana Francis. 2005. Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial. Yogyakarta: Quills.
3 World Bank, Project Appraisal Document Support for Poor and Disadvantaged Areas Project, 2005.
4 Koenjtaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1993, hlm. 31.
5 Topo Santoso, dkk, Peranan Hukum Adat dalam Penyelesaian Konflik Pada Masyarakat Adat Maluku,
Depok: Universitas Indonesia, 2011, hlm. 32.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 345

PEMBAHASAN DAN ANALISIS


Penyelesaian Konflik Berbasis Kearifan Lokal
1. Mekanisme Penyelesaian Konflik
Penyelesaian konflik berbasis kearifan lokal merupakan salah satu aksi dan program
yang konkret untuk mewujudkan akses terhadap keadilan bagi semua orang terutama bagi
masyarakat adat. Terkait dengan hal ini, terdapat dua strategi penerapan yang digunakan.
Pertama, adanya pengakuan terhadap mekanisme penyelesaian konflik melalui hukum adat
yang ada dalam masyarakat. Kedua, penggunaan hukum adat di dalam proses penemuan
hukum para hakim di pengadilan.
a). Pengakuan Terhadap Penyelesaian Konflik Melalui Hukum Adat
Pengakuan terhadap penyelesaian konflik melalui hukum adat berarti bahwa segala
konflik yang telah diselesaikan melalui mekanisme adat diakui oleh negara. Dengan
demikian, ketika terjadi konflik di kalangan masyarakat diselesaikan melalui mekanisme
adat atau informal seperti musyawarah kekeluargaan, sehingga dalam konflik tersebut
kepolisian akan pula mengakui putusan tersebut dan tidak lagi membawa perkara tersebut
ke dalam ranah pidana walaupun perkara tersebut termasuk delik biasa (bukan delik
aduan). Pengakuan tersebut tentunya harus dilembagakan (diakui secara resmi), agar
menjamin kepastian hukum dari pihak-pihak yang berperkara.
b). Penggunaan Hukum Adat dalam Proses Penemuan Hukum oleh Hakim
Selain pengakuan terhadap penyelesaian konflik melalui hukum adat, cara lain
adalah ketika perkara sudah terlanjur dilimpahkan ke pengadilan, maka hakim dalam
menyelesaikan perkara tersebut dapat menggunakan hukum adat sebagai dasar untuk
memutus perkara. Penggunaan hukum adat ini dilakukan dalam proses penemuan hukum,
manakala hakim menganggap bahwa hukum tertulis tidak mampu mengakomodir rasa
keadilan para pihak atau tidak tersedianya hukum tertulis untuk memutus perkara yang
bersangkutan.
Penggunaan hukum adat dalam proses penemuan hukum oleh hakim ini bukannya
tanpa dasar hukum. Setelah Indonesia merdeka, tepatnya mulai tahun 1951 berlaku
Undang-Undang No. 1/Drt/1951. Mengacu pada undang-undang ini, tepatnya Pasal 5 ayat
(3) menegaskan terdapat pengakuan kembali akan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Di mana hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut kemudian dapat menjadi sumber
hukum pidana tertulis selama ada padanannya dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) atau
yang sekarang lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Penerimaan hukum adat sebenarnya telah termaktub dalam Rancangan KUHP
melalui rumusan yang terdapat dalam Pasal 1 yang menyatakan bahwa asas legalitas tidak

AMANNA GAPPA
346 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

boleh ditafsirkan sebagai asas yang mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam
masyarakat yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana
bilamana perbuatan itu tidak ada persamaan atau memenuhi dalam peraturan perundang-
undangan.
Menurut Mardjono Reksodiputro, pembenaran dari menjalankan hukum adat yang
hidup menjadi sumber hukum pidana Indonesia dapat pula dicari dalam tugas seorang
hakim yang berkewajiban mencari dan menemukan keadilan. Dalam hal ini, hakim harus
menjamin bahwa seseorang yang bersalah melakukan perbuatan yang tercela di mata
masyarakat dan patut dipidana mendapatkan hukuman pidananya. Mengenai ukuran untuk
perbuatan apa yang tercela dan patut dipidana dapat ditentukan oleh pembentuk undang-
undang atau dapat juga didasarkan pada hukum adat yang hidup dalam masyarakat
bersangkutan. Hal ini sesuai dengan kewajiban hakim yang terdapat dalam Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman yang mensyaratkan hakim untuk tidak menolak memeriksa dan
mengadili suatu perkara yang diajukan oleh korban serta kewajibannya untuk menggali
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.6

2. Keunggulan Mekanisme Penyelesaian Konflik dengan Kearifan Lokal


Tidak mudah untuk menentukan pilihan tindakan penyelesaian konflik yang tepat sebagai
suatu sistem sosial di suatu kawasan tertentu. Solusi konflik sosial pun tidak dapat generik
dalam arti sebuah rumusan yang berlaku bagi suatu sistem sosial komunitas akan berlaku
juga bagi sistem komunitas yang lain. Secara umum, strategi resolusi konflik sepantasnya
harus dimulai dengan pengetahuan yang mencukupi tentang peta atau profil konflik sosial
yang terjadi di suatu kawasan. Dengan berbekal pada peta tersebut, segala kemungkinan
dan peluang resolusi konflik diperhitungkan dengan cermat, sehingga setiap manfaat dan
kerugiannya dapat dikalkulasikan dengan baik.
Oleh karena itu, sepatutnyalah penyelesaian konflik diletakkan kembali dalam bingkai
lokalitas dan didekati secara lokalitas pula. Pendekatan tersebut sepantasnya dilakukan secara
bertahap-tahap dan yang terpenting adalah selalu melibatkan semua pihak terkait dalam konflik
untuk berpartisipasi aktif dalam mencari solusi konflik. Hanya dengan pendekatan ini, maka
pemahaman akan akr-konflik serta penyelesaian konflik menjadi lengkap dan komprehensif.
Kearifan lokal yang ada pada setiap masyarakat melalui hukum adatnya dapat menjadi salah
satu alternatif yang ampuh untuk menyelesaikan konflik.
Namun, penyelesaian konflik dengan kearifan lokal nampaknya sudah mulai
ditinggalkan. Padahal, metode ini terbukti sangat efektif dalam menyelesaikan konflik. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Governance and Desentralization Survey (GDS) menunjukkan
6 Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum, 1997, hlm. 108.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 347

bahwa sebagian besar masyarakat menyelesaikan sengketa melalui mediasi dan arbitrase
sistem informal yang ada ditingkat desa baik melalui kepala desa, tokoh agama, lembaga
adat (termasuk diantaranya melalui kearifan lokal). Terlebih lagi, baik konstitusi7 Indonesia
dan perangkat hukum lain mengakui bahwa hukum adat memiliki peranan penting dalam
penyelesaian sengketa di Indonesia.
Berfokus hanya pada sektor formal justru tidak menyentuh lembaga-lembaga yang
justru paling banyak dipakai para pencari keadilan. Sebagian besar sengketa diselesaikan di
tingkat lokal di luar lembaga hukum formal. Kepala desa, tokoh agama, dan tokoh masyarakat
merupakan pelaku utama penyelesaian sengketa bagi sebagian besar masyarakat. Pengakuan
akan hal ini dapat memperkuat interaksi antara lembaga formal dan menkanisme penyelesaian
sengketa di tingkat lokal.8
Arkanuddin, pakar antropologi mengatakan bahwa kearifan lokal dapat lebih cepat
dan mudah diterima karena telah mengakar dalam masyarakat dan biasanya tidak hanya
berorientasi profan semata, tetapi juga berorientasi sakral yang pada dasarnya mengajarkan
perdamaian dengan sesamanya, selaras dengan lingkungan, dan patuh kepada Tuhan.9 Oleh
karena itu, upaya menyelesaikan konflik melalui kearifan lokal haruslah dilembagakan. Salah
satu langkahnya adalah dengan meningkatkan efektivitas dan kepercayaan terhadap sistem
hukum yang pada gilirannya dapat mengurangi konflik dan memperbaiki jaminan keamanan
masyarakat.

Penguatan Akses Terhadap Hukum dan Keadilan Melalui Penyelesaian Konflik Berbasi
Kearifan Lokal
1. Penguatan Akses Terhadap Hukum dan Keadilan
Arus penguatan akses terhadap hukum dan keadilan disebabkan oleh adanya
ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum formal yang teramat tinggi, berbanding
terbalik dengan kepercayaan mereka terhadap mekanisme hukum informal (salah satunya
melalui huku adat). Akses hukum dan keadilan menjembatani reformasi lembaga hukum
dengan akses masyarakat atas lembaga tersebut dengan peningkatan kesadaran dan
kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum.
Walaupun mekanisme hukum informal memiliki kelemahan, terutama tindakan
diskriminatif yang seringkali diterima dan ketidakmampuan sistem hukum informal dalam
memenuhi tuntutan pemenuhan Hak Asasi Manusia seperti yang digariskan oleh konstitusi.
Dunia peradilan masih menghadapi sekian banyak tantangan dalam menyelesaikan dan
mencegah munculnya masalah-masalah serius yang berpengaruh terhadap pemerintah dan
7 Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8 Antara, Selesaikan Konflik dengan Kearifan Lokal, http://www.borneotribune.com/pdf/headline/sele
saikan_konflik_dengan_Kearifan_lokal.pdf
9 Ibid.

AMANNA GAPPA
348 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

pembangunan ekonomi.
Inisiatif dalam reformasi dunia peradilan seringkali masih terpaku dalam pandangan
tradisional yakni reformasi institusi hukum formal, padahal keadilan bukanlah ladang
ekslusif negara. Hampir 90% penyelesaian masalah hukum di Indonesia diselesaikan pada
lembaga-lemabaga di tingkat desa yang menjadi rujukan utama masyarakat, meskipun
lembaga-lembaga tersebut telah diabaikan oleh pemerintah yang sangat sentralistik selama
lebih dari 30 tahun. Namun, dalam menangani persoalan keadilan dari kelompok masyarakat
marginal, khususnya kelompok agama dan etnis minoritas sulit mengharapkan keadilan dari
lembaga-lembaga di tingkat desa ini. Dengan kata lain, berbagai mekanisme bukan negara
masih membutuhkan dukungan dan perhatian.10
Mengakomodir mekanisme penyelesaian sengketa secara informal, yaitu melalui
kearifan lokal yang ada pada setiap masyarakat hukum adat, maka tersebut akan membuka
peluang bagi akses terhadap hukum dan keadilan yang lebih besar bagi masyarakat, khususnya
masyarakat hukum adat. Hal ini tidak hanya tercermin dari adanya pengakuan terhadap
eksistensi penyelesaian sengketa menggunakan hukum adat, tetapi juga memasukkan hukum
adat sebagia bagian dari unsur yang tidak terpisahkan di dalam hukum nasional dan penemuan
hukum para hakim di pengadilan.

2. Strategi Penerapan
Penerapan gagasan ini tentu memiliki hambatan, namun tetap ada strategi penerapan
yang dapat dilakukan, sebagai berikut:

a). Jurisdiksi yang terbatas


Meskipun jurisdiksi dari pemberlakuan mekanisme penyelesaian konflik secara
informal terbatas pada daerah-daerah yang masih memiliki masyarakat hukum adat, tidak
berarti bahwa mekanisme penyelesaian konflik secara informal gagal. Dalam suasana
yang pluralistik, tidak akan dapat ditemukan mekanisme penyelesaian konflik yang
sempurna yang dapat menangani segala jenis konflik yang terjadi dalam masyarakat,
karena mekanisme penyelesaian konflik pada akhirnya harus dikembalikan lagi kepada
keadaan di masyarakat itu sendiri.
Mekanisme penyelesaian secara informal mengacu pada kearifan lokal akan efektif
diterapkan pada masyarakat hukum adat, karena mekanisme ini adalah mekanisme yang
paling cocok, sebab sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Jadi,
meskipun mekanisme ini hanya dapat diterapkan di daerah-daerah tertentu saja, namun
hal ini akan dapat menekan jumlah potensi konflik yang dapat terjadi karena adanya
ketidakpusasan terhadap mekanisme penyelesaian konflik secara formal.

10 World Bank, Akses Terhadap Keadilan di Indonesia, http://web.worldbank.org/wbsite/html.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 349

b). Jurisdiksi yang tidak jelas


Keberadaan masyarakat hukum adat tidak dibatasi oleh wilayah administartif, seperti
kecamatan atau pun wilayah otonomi seperti kabupaten/kota. Ketiadaan batas yang jelas
ini menyebabkan kesulitan dalam pelaksanaan mekanisme penyelesaian konflik informal,
karena pada akhirnya wilayahlah yang menentukan masyarakat hukum adat mana yang
berwenang untuk dapat menyelesaikan konflik yang terjadi.
Pada ruang lingkup masyarakat hukum adat, faktor utama yang digunakan dalam
mengidentifikasi anggota masyarakat adalah keturunan. Ketika hal ini disandingkan
dengan mekanisme penyelesaian konflik secara informal dengan mengacu pada kearifan
lokal dalam suatu masyarakat hukum adat, maka yang menjadi yurisdiksi bagi mekanisme
ini tidak didasarkan pada batas secara administratif, melainkan berdasarkan pada garis
keturunan dari pihak-pihak yang berkonflik.

c). Benturan Sistem Hukum


Perlu dipahami bahwa adalah hal yang lumrah bagi seorang pendatang untuk
dapat menyesuaikan diri dengan aturan yang ada di daerah barunya. Dengan kata lain
bahwa seorang migran baik secara tegas atau secara diam-diam pada akhirnya harus
menundukkan diri pada aturan di domisilinya yang baru, sehingga paradigmanya terhadap
hal yang ada juga harus mengikuti paradigma dari tempat barunya. Ketika pada akhirnya
terjadi konflik antara pendatang dengan masyarakat hukum adat setempat adalah wajar
untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dengan mekanisme penyelesaian konflik yang
ada dalam masyarakat hukum adat tersebut.
Dalam skenario lain, ketika terjadi konflik antarmasyarakat hukum adat, maka
setidaknya ada dua jalan yang dapat ditempuh, yaitu dengan menyerahkan proses
penyelesaian konflik kepada mekanisme formal atau kepala adat dari masing-masing
masyarakat hukum adat bertemu dan membahas mengenai mekanisme penyelesaian
konflik mana yang harus digunakan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.

d). Sosialisasi Kearifan Lokal


Ketika konflik yang terjadi tidak dapat diselesaikan secara internal menggunakan
mekanisme penyelesaian konflik secara informal, maka konflik yang ada akan diselesaikan
menggunakan jalur formal. Dalam hal ini, hakim akan menemui permasalahan karena
belum tentu hakim yang bersangkutan akan memahami hukum adat yang hidup dalam
masyarakat, sehingga ketika membuat putusan, maka hakim tidak mutlak dapat memutus
perkara dengan bercermin pada hukum adat yang ada.
Hal ini sesungguhnya adalah kendala jangka pendek, sebab hal ini dapat segera
diselesaikan dengan cara membekali hakim dengan pemahaman secara komprehensif

AMANNA GAPPA
350 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

mengenai hukum adat yang ada di daerah yang ditanganinya. Lagipula dalam memeriksa
perkara, hakim dapat menghadirkan keterangan ahli yang mengetahui akan hukumnya.

PENUTUP
Kesimpulan
Penyelesaian konflik berbasis kearifan lokal merupakan salah satu aksi dan program yang
konkret untuk mewujudkan akses terhadap keadilan atau keadilan bagi semua orang terutama
masyarakat hukum adat. Terkait dengan hal tersebut, terdapat dua strategi utama yang dapat
diterapkan. Pertama, adanya pengakuan terhadap mekanisme penyelesaian konflik melalui
hukum adat yang ada di dalam masyarakat. Kedua, penggunaan hukum adat di dalam proses
penemuan hukum oleh hakim di pengadilan.
Terdapat keterkaitan yang positif antara penyelesaian sengketa dengan mekanisme
informal melalui hukum adat dengan penguatan akses masyarakat terhadap hukum dan
keadilan. Dengan mengakomodir mekanisme penyelesaian sengketa secara informal, yaitu
melalui kearifan lokal yang ada pada setiap masyarakat hukum adat, maka hal tersebut akan
membuka peluang bagi akses terhadap hukum dan keadilan yang lebih besar bagi masyarakat,
khususnya masyarakat hukum adat. Hal tersebut tidak saja tercermin dari adanya pengakuan
terhadap eksistensi penyelesaian sengketa menggunakan hukum adat, tetapi juga memasukkan
hukum adat sebagai bagian dari unsur yang tidak terpisahkan di dalam hukum nasional dan
penemuan hukum oleh hakim di pengadilan.

Saran
Membangun perdamaian yang mapan dan berkelanjutan pascakonflik merupakan kewajiban
pemerintah dan seluruh masyarakat. Menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai amanat
konstitusi yang menyatakan bahwa salah satu tujuan kemerdekaan adalah untuk melindungi
dan mensejahterakan seluruh tumpah darah Indonesia. Menjadi tanggung jawab masyarakat
karena semua aktor (baik state actor maupun non-state actor) harus mampu bekerja sama dan
bahu membahu untuk mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa.
Nilai-nilai kearifan lokal di Indonesia yang sangat beragam dapat menjadi salah satu
solusi atas berbagai permasalahan yang ada, di antaranya adalah untuk menyelesaikan
konflik. Kearifan lokal dapat lebih cepat dan mudah diterima, karena telah mengakar dalam
masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk menyelesaikan konflik dengan menggunakan
kearifan lokal yang ada dalam masyarakat. Sebuah kepercayaan bahwa setiap konflik ada
solusinya, salah satunya adalah dengan mekanisme informal melalui kearifan lokal yang ada
di setiap masyarakat.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 351

DAFTAR PUSTAKA
Diana Francis. 2005. Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial. Yogyakarta: Quills.
Franz Magnis-Suseno. 1988. Faktor-Faktor yang Mendasari Terjadinya Konflik Antara
Kelompok Etnis dan Agama di Indonesia (Pencegahan dan Pemecahan). Jakarta:
Gramedia.
Koenjtaraningrat. 1993. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Mardjono Reksodiputro. 1997. Pembaharuan Hukum Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum.
Topo Santoso. dkk. 2011. Peranan Hukum Adat dalam Penyelesaian Konflik Pada
Masyarakat Adat Maluku. Depok: Universitas Indonesia.
World Bank. 2005. Project Appraisal Document Support for Poor and Disadvantaged Areas
Project.

Sumber lainnya:
Antara. Selesaikan Konflik dengan Kearifan Lokal. http://www.borneotribune.com/pdf/
headline/selesaikan_konflik_dengan_Kearifan_lokal.pdf. Diakses pada Rabu, 3 Oktober
2012.
World Bank. Akses Terhadap Keadilan di Indonesia. http://web.worldbank.org /wbsite/html.
Diakses pada Sabtu, 6 Oktober 2012.

AMANNA GAPPA
352 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

PENDEKATAN HUKUM ISLAM TERHADAP


BUDAYA LIPAS SEBAGAI PENGHALANG MEWARIS
DI KABUPATEN MAJENE
Oleh:
Ika Novitasari
Magister Ilmu Hukum PPs Universitas Hasanuddin
E-mail: ika_novieta@yahoo.com


Abstract: This research is to find out how the reasons that affect birth of lipas and its
consequences in the community in Majene district relating to inheritance, the existence and
implementation of allegedly contrary to Islamic law. The results showed that there are several
reasons that affect birth of lipas in Majene district, namely if marriage is not the heir to
parental approval, citing differences in the degree of nobility and social status and if the heir
to perform acts that assessed the family. As for the consequences caused by the lipas that
is, causing the breakup of family heir loses his right to get heritage. This is contrary to the
things that can serve as a barrier heir, namely murder, religious differences, and slavery.
Keywords: Lipas Cultural, Inheritance

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana alasan yang mempengaruhi
kelahiran lipas dan konsekuensinya dalam masyarakat di Kab. Majene yang berkaitan
dengan warisan, keberadaan dan pelaksanaan diduga bertentangan dengan hukum Islam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa alasan yang mempengaruhi kelahiran
lipas di Kab. Majene, yaitu jika pernikahan bukanlah pewaris persetujuan orangtua,
mengutip perbedaan dalam tingkat bangsawan dan status sosial dan jika ahli waris untuk
melakukan tindakan yang dinilai keluarga. Adapun konsekuensi yang disebabkan oleh
lipas, menyebabkan pecahnya pewaris keluarga kehilangan haknya untuk mendapatkan
warisan. Hal ini bertentangan dengan hal-hal yang dapat berfungsi sebagai pewaris
penghalang, yaitu pembunuhan, perbedaan agama, dan perbudakan.
Kata kunci: Budaya Lipas, Waris

PENDAHULUAN

Sejak masuknya Islam ke Indonesia pada abad I Hijriyah, atau bertepatan dengan abad ke VII
Masehi,1 sejalan dengan itu masyarakat dalam praktik sehari-hari mulai melaksanakan ajaran
dari agama Islam. Kerelaan sikap penundukan diri rakyat nusantara yang telah menyatakan
dirinya masuk Islam terhadap hukum Islam, menunjukan lahirnya realitas baru, yang tidak
lain diterimanya norma-norma sosial Islam secara damai.2
Dapat diperkirakan bahwa pada saat itu masyarakat pemeluk Agama Islam telah
mengenal hukum Islam walaupun dalam tahap permulaan. Seorang pakar hukum

1 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan
Zakat Menurut Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm. 96.
2 Suffran Sabrie, Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses Pemben-
tukan Undang-Undangnya, Departemen Agama, Jakarta, 2000, hlm. 20.

AMANNA GAPPA
354 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

berkebangsaan Belanda, Van Den Berg,3 menyatakan bahwa hukum Islamlah yang menjadi
hukum positif di Indonesia. Pendapat ini terkenal dengan teori receptio in complexu.
Meskipun demikian, Christian Snouck Hurgronje mencoba berpendapat dengan teorinya
sendiri melalui teori receptie yang menyatakan bahwa hukum Islam dipandang sebagai hukum
apabila telah diterima (direciplir) oleh hukum Adat. Selanjutnya, oleh Van Vollen Hoven,4
mempertegas pendapat tersebut melalui pandangannya yang menyatakan bahwa masyarakat
pribumi Indonesia telah lama di bawah suatu sistem hukum yang lengkap dan teratur, yaitu
hukum Adat, namun demikian pencetus teori receptie ini mengakui bahwa hukum Adat telah
dipengaruhi oleh unsur Islam, termasuk dalam aspek kewarisan5.
Berdasarkan kenyataan di atas, masyarakat muslim Indonesia, termasuk yang bermukim
dalam wilayah Kabupaten Majene, dalam berbagai aktivitas hukum senantiasa berpedoman
kepada hukum Islam, yang telah diakui dan tersebar di daerah Mandar pada abad IX.6 Salah
satu diantaranya adalah dalam bidang penyelesaian masalah kewarisan, baik melalui lembaga
peradilan maupun di luar peradilan.
Pada hakikatnya setiap ahli waris berhak untuk mewarisi harta warisan yang
ditinggalkan oleh pewaris, setiap ahli waris berhak mendapatkan perlindungan dari undang-
undang terutama menyangkut bagian mutlaknya sendiri7. Sedang yang dimaksud dengan ahli
waris, hukum Islam telah menentukan yaitu, anak laki-laki/anak perempuan, orang tua laki-
laki dan orang tua perempuan, suami isteri saling mewarisi dan saudara jika pewaris tidak
mempunyai anak.8
Ketentuan mengenai pihak-pihak yang berstatus ahli waris, telah dijelaskan di dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia. Melalui Pasal 174 ayat (1) KHI dengan jelas
telah mengelompokkan dalam dua kelompok, yaitu:
1. Kelompok pertama menurut hubungan darah, terdiri atas: golongan laki-laki, yaitu,
ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Sedang golongan perempuan,
yaitu, ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
2. Kelompok kedua menurut hubungan perkawinan terdiri atas, janda dan duda.

Berdasarkan ketentuan hukum kewarisan Islam yang juga tertuang di dalam Pasal 174
ayat (2) KHI, yang menyatakan bahwa:

3 Bustanul Arifin, Transformasi Hukum Islam ke Hukum Nasional, Bertenun dengan Benang-Benang
Kusut, Yayasan Al-Hikmah, Jakarta, 2001, hlm.36
4 Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia dan Otoriter Konservatif Menuju
Konfigurasi Demokrasi Resfonsif, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. XIX
5 Hasbi, Penghalang Kewarisan di Kabupaten Polmas. (Tesis). Program Pascasarjana. Universitas Mus-
lim Indonesia, 2002, hlm. 2.
6 A. M. Mandra, Berbagai Kajian Masalah Budaya Mandar dan Agama Islam, Yayasan Saq-Adawang,
Sendana Majene, 1988, hlm.11
7 Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, P.T. Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm.5
8 Hasbi, op.cit,.hlm. 3.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 355

Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya, anak, ayah,
ibu, janda atau duda.
Hal ini dapat dipahami bahwa dalam kondisi apapun juga, anak, ayah, ibu, duda
atau janda tidak mungkin saling menghalangi antara yang satu dengan yang lainnya dalam
memperoleh bagian masing-masing, kecuali dalam kondisi khusus ahli waris tersebut
melakukan sesuatu perbuatan yang dengan perbuatan itu ia menjadi kehilangan hak waris,
seperti perbedaan agama, pembunuhan dan perbudakan. Selain itu, penyebab terhalangnya
seseorang menjadi ahli waris yakni apabila dinyatakan dengan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, di mana seseorang atau sekelompok orang tersebut
dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau menganiaya berat pewaris.9
Bagi masyarakat di Kabupaten Majene, sebagai penganut agama Islam, dalam
menentukan faktor-faktor penghalang berpatokan kepada ketentuan hukum kewarisan Islam,
tetapi terdapat satu hal yang merupakan salah satu bentuk kebiasaan masyarakat yang sejak
dahulu hingga sekarang masih sering dilakukan, juga dijadikan sebagai salah satu bentuk
penghalang mewaris. Kebiasaan yang dimaksud adalah pemutusan hubungan keluarga di
kalangan keluarga inti. Menurut Hassan Shadily,10 yang dimaksud dengan keluarga inti
(nuclear family atau conjungal family) adalah keluarga yang terdiri atas suami, isteri dan
keturunan.
Pemutusan hubungan ini, biasanya dilakukan dari atas ke bawah, yaitu orang tua
memutuskan hubungannya dengan anak kandungnya sendiri dengan alasan-alasan yang
bervariasi, seperti karena menikah dengan orang yang tidak dikehendaki orang tua, murtad, atau
perbuatan lain yang dianggap dapat merusak nama baik dan martabat keluarga di masyarakat
dan mengakibatkan keluarga menanggung beban malu atau siri. Sebab siri itu tidak lain
daripada martabat dan harga diri manusia.11 Siri ialah suatu perasaan mempertahankan harga
diri yang banyak sekali memaksa manusia bertindak atau berbuat secara rasional atau ada
kalanya irrasional.12 Oleh karena itu, dengan adanya pemutusan hubungan keluarga tersebut,
mereka merasa martabat dan harga dirinya kembali terpulihkan.
Konsep pemutusan hubungan keluarga yang lebih lazim dikenal dengan sebutan
lipas, bukan hanya sekedar tidak adanya keterkaitan dan hubungan silaturrahmi maupun
hubungan persaudaraan dalam persepsi sebagian masyarakat Kabupaten Majene, tetapi justru
berdampak kepada pemutusan hak-hak keperdataan kedua belah pihak, terutama hak orang
yang dijatuhi sanksi lipas tersebut, dalam hal ini hak mewaris. Dengan lipas seorang anak
yang semestinya menjadi ahli waris dari orang tuanya menjadi terhalang mendapatkan hak

9 Badriyah Harun, op.cit., hlm. 52


10 Hassan Shadily, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm.77
11 Hasbi, op.cit., hlm. 4.
12 Ibrahim Abbas, Pendekatan Budaya Mandar, UD. Hijrah Grafika, Makassar, 1999, hlm.159

AMANNA GAPPA
356 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

mewarisnya. Akibatnya anak yang dilipas tersebut tidak mustahil menjadi anak yatim yang
miskin.
Melihat lipas tetap ada dalam masyarakat Kabupaten Majene dan kepatuhan sebagian
masyarakat terhadapnya merupakan suatu sikap kepatuhan masyarakat terhadap nilai budaya
atau kebiasaan masyarakat yang sejak dahulu berlangsung, penundukan diri terhadap sanksi
lipas dan akibatnya tersebut didasari anggapan bahwa setiap pelanggaran kaidah sosial harus
diberikan sanksi. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Sudikno Mertokusumo, pelanggaran
kaidah sosial harus dijatuhi sanksi, yaitu reaksi akibat atau konsekuensi pelanggaran kaidah
sosial.13 Sebaliknya mereka tidak menyadari bahwa tidaklah semua nilai budaya yang ada
harus diterima dan dilestarikan sebagaimana yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat, sebab
dalam sistem nilai budaya dari berbagai suku bangsa dan lapisan sosial dalam masyarakat,
terdapat berbagai nilai tradisional yang memang tidak cocok dengan nilai pembangunan.14

PEMBAHASAN DAN ANALISIS


Landasan Teori
1. Teori Kredo atau Syahadat
Teori kredo atau syahadat ialah teori yang mengharuskan pelaksanaan hukum Islam
oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai konsekuensi logis dari
pengucapan kredonya.
Teori ini sesungguhnya kelanjutan dari prinsip tauhid dalam filsafat hukum Islam.
Prinsip tauhid yang menghendaki setiap orang yang menyatakan dirinya beriman kepada
ke-Maha Esaan Allah swt, maka ia harus tunduk kepada apa yang diperintahkan Allah swt.
Dalam hal ini taat kepada perintah Allah swt, dan sekaligus taat kepada Rasulullah saw, dan
sunnahnya.
Teori Kredo ini sama dengan teori otoritas hukum yang dijelaskan oleh H.A.R. Gibb.
Gibb,15 menyatakan bahwa orang Islam yang telah menerima Islam sebagai agamanya berarti
ia telah menerima otoritas hukum Islam atas dirinya. Teori Gibb ini sama dengan apa yang
telah diungkapkan oleh imam madzhab seperti Imam Syafii dan Imam Abu Hanifah ketika
mereka menjelaskan teori mereka tentang Politik Hukum Internasional Islam (Fiqh Siyasah
Dauliyyah) dan Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Mereka mengenal teori teritorialitas
dan non teritorialitas. Teori teritorialitas dari Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa seorang
muslim terikat untuk melaksanakan hukum Islam sepanjang ia berada di wilayah hukum
di mana hukum Islam diberlakukan. Sementara teori non teritorialitas dari Imam Syafii
menyatakan bahwa seorang muslim selamanya terikat untuk melaksanakan hukum Islam di

13 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1986, hlm. 9
14 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1984, hlm. 68
15 H.A.R. Gibb. The Modern Trends in Islam, The University of Chicago Press, Chicago, Illionis, 1950

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 357

mana pun ia berada, baik di wilayah hukum di mana hukum Islam diberlakukan, maupun di
wilayah hukum di mana hukum Islam tidak diberlakukan.
Sebagaimana diketahui bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia adalah penganut
madzhab Syafii sehingga berlakunya teori syahadat ini tidak dapat disangsikan lagi. Teori
Kredo atau Syahadat ini berlaku di Indonesia sejak kedatangannya hingga kemudian lahir
Teori Receptio in Complexu di zaman Belanda.

2. Teori Receptio in Complexu


Teori Receptio in Complexu menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh
hukum Islam sebab ia telah memeluk agama Islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat
penyimpangan-penyimpangan. Teori ini berlaku di Indonesia ketika teori ini diperkenalkan
oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian van den Berg. Teori ini telah diberlakukan di zaman
VOC sebagaimana terbukti dengan dibuatnya pelbagai kimpulan hukum untuk pedoman
pejabat dalam menyeleaikan urusan-urusan hukum rakyat pribumi yang tinggal di dalam
wilayah kekuasaan VOC yang kemudian dikenal senagai Nederlandsch Indie.

3. Teori Receptie
Teori Receptie menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum
adat. Hukum Islam berlaku bagi rakyat pribumi kalau norma hukum Islam itu telah diterima
oleh masyarakat sebagai hukum adat. Teori Receptie ini dikemukakan oleh Christian
Snouck Hurgronye dan kemudian dikembangkan oleh van Vollenhoven dan Ter Haar.
Teori ini dijadikan alat oleh Snouck Hurgronye agar orang-orang pribumi jangan sampai
kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam. Jika mereka berpegang terhadap ajaran dan
hukum Islam, dikhawatirkan mereka akan sulit menerima dan dipengaruhi dengan mudah
oleh budaya barat. Ia pun khawatir hembusan Pan Islamisme yang ditiupkan oleh Jamaluddin
Al-Afgani berpengaruh di Indonesia.
Teori ini sangat berpengaruh bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia serta
berkaitan erat dengan pemenggalan wilayah Indonesia ke dalam sembilan belas wilayah
hukum adat. Teori Receptie berlaku hingga tiba di zaman kemerdekaan Indonesia.

4. Teori Receptie Exit


Teori Receptie Exit diperkenalkan oleh Hazairin. Menurutnya, setelah Indonesia
merdeka, tepatnya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Undang-Undang Dasar
1945 dijadikan Undang-Undang Negara Republik Indonesia, semua peraturan perundang-
undangan Hindia Belanda yang berdasarkan teori receptie bertentangan dengan jiwa UUD
45. Dengan demikian, teori receptie itu harus exit alias keluar dari tata hukum Indonesia
merdeka.

AMANNA GAPPA
358 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

Teori receptie bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah. Secara tegas UUD NRI
1945 menyatakan bahwa, Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Demikian dinyatakan dalam
Pasal 29 (1) dan (2) UUD NRI 1945.

5. Teori Receptie A Contrario


Teori Receptie Exit yang diperkenalkan oleh Hazairin dikembangkan oleh Sayuti
Thalib, dengan memperkenalkan Teori Receptie A Contrario. Teori Receptie A Contrario
yang secara harfiah berarti lawan dari Teori Receptie menyatakan bahwa hukum adat berlaku
bagi orang Islam kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum
Islam. Dengan demikian, dalam teori receptie a contrario, hukum adat itu baru berlaku kalau
tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Jika teori receptie mendahulukan berlakunya hukum adat daripada hukum Islam,
maka teori receptie a contrario sebaliknya. Dalam teori receptie, hukum Islam tidak dapat
diberlakukan jika bertentangan dengan hukum adat. Teori receptie a contrario mendahulukan
berlakunya hukum Islam daripada hukum adat, karena hukum adat baru dapat dilaksanakan
jika tidak bertentangan dengan hukum Islam.16

Ruang Lingkup Budaya Lipas


Makna Lipas
Dalam menguraikan makna lipas dapat menggunakan dua sudut pandang, pertama dari
segi bahasa dan kedua menurut istilah. Oleh karena itu, dalam uraian ini, terlebih dahulu
akan dikemukakan pengertian lipas menurut bahasa sebagai berikut. Sepintas lalu, kata lipas
hampir sama dengan kata lappas, sebab itu tidak mustahil lipas berasal dari kata lappas
tersebut. Dalam bahasa Mandar, lappas diartikan dengan lepas sedang lepas sendiri diartikan
dengan sudah tidak terkait, tidak berhubungan.
Menurut Abdul Muthalib, dalam Kamus Bahasa Mandar disebutkan bahwa lipas itu
berarti kutuk. Ia pun memberikan contoh penggunaan kata tersebut dalam praktek sehari-hari,
seperti:
Ulipasoo mua namaindongoo lao di tommuane (artinya: saya akan mengutuk
engkau, jika engkau melarikan diri kepada laki-laki).
Apabila dikaitkan antara makna lipas atau lappas sebagai terlepas atau tidak ada
hubungan dengan makna kutuk, maka dapat disimpulkan bahwa lipas adalah suatu kutukan
yang mengakibatkan terlepasnya hubungan kekeluargaan.

16 Sebagaimana dikutip pada laman website: http://master-masday.blogspot.com/2011/05 /teori-tentang-


berlakunya-hukum-islam-di.html?m=1 Diakses pada tanggal 20, Desember 2012

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 359

Sementara itu, pengertian lipas menurut istilah, di antaranya dikemukakan oleh


beberapa tokoh masyarakat Mandar, sebagai berikut:
a. Menurut Abd. Malik17
Lipas adalah pemutusan hubungan kekeluargaan, karena todilipas melakukan perbuatan
tercela, khususnya dalam pandangan tomallipas.
b. Menurut Aco Daeng Cora18
Lipas adalah kutukan hukuman tertinggi bagi seseorang yang melanggar hukum tradisi
yang digunakan oleh orang tua terhadap anaknya, kakak terhadap adiknya, atau keluarga
yang lebih tua terhadap yag lebih muda.
c. Menurut Baharuddin19
Lipas adalah hukuman yang dijatuhkan oleh orang tua terhadap anaknya karena dinilai
telah melakukan pelanggaran terhadap tradisi, agama dan kehendak orang tua.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa lipas adalah


pemutusan hubungan antara orang tua dengan anaknya, atau kakak dengan adiknya, karena
anak atau adik tersebut telah melakukan suatu perbuatan tercela yang dinilai bertentangan
dengan tradisi, agama maupun kehendak keluarga.

Tata Cara Menjatuhkan Lipas


Dalam praktiknya, masyarakat Kabupaten Majene menjatuhkan lipas dengan
menggunakan 2 (dua) cara, yaitu: lipas yang dilakukan secara mendadak dan lipas yang
dilakukan secara bertahap.20
Adanya perbedaan cara pelaksanaan seperti ini ada kaitannya dengan tingkat kesadaran
psikologis pihak tomallipas, sebab bagaimana pun kasus seperti ini, banyak didorong oleh
kepekaan emosi pada saat-saat tertentu. Oleh karena ia tidak mempunyai alternatif lain,
kecuali menjatuhkan lipas.21 Untuk jelasnya akan diuraikan kedua cara menjatuhkan lipas,
sebagai berikut :
1. Lipas Secara Mendadak
Peristiwa lipas seperti ini terjadi di kalangan keluarga yang sangat fanatik dan ekstrim
dalam mematuhi hukum Adat atau tradisi masyarakat dan biasanya mereka dalam masyarakat
memiliki status sosial dari golongan atas, sehingga setiap pelanggaran tradisi dikalangan
keluarganya merupakan siri atau lokko yang dapat merusak nama baik keluarga secara
turun temurun. Mereka biasanya tidak mudah diajak kompromi dengan pertimbangan yang
datang dari luar.22
17 Arifuddin Ismail, Lipas Bagi Orang Mandar, Makalah. Majene, 1996, hlm. 34.
18 Ibid, hlm. 34.
19 Baharuddin, Mengikis Budaya Lipas di Mandar, Makalah. Yayasan Tipalayo, Polewali, 1983, hlm. 22.
20 Arifuddin Ismail, Loc.cit, hlm. 42.
21 Ibid, hlm. 43.
22 Ibid, hlm. 45.

AMANNA GAPPA
360 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

Proses terjadinya lipas secara mendadak sering didahului dengan permohonan restu
seorang anak kepada orang tuanya untuk melakukan perkawinan dengan seorang yang
dicintainya, tetapi karena perbedaan status sosial atau karena pertimbangan orang tua yang
sangat ketat, maka rencana tersebut tidak mendapat respon positif dari orang tua.23
Dalam kondisi penolakan orang tua tersebut, seorang anak yang terlanjur sudah sangat
mencintai calonnya atau mungkin sudah memberikan janji akan menikahinya, biasanya tidak
lagi berpikir untuk mengikuti kemauan orang tuanya, tetapi justru langsung memutuskan
sendiri menikah dengan pilihannya tersebut dengan kesiapan menanggung segala bentuk
akibat yang mungkin muncul. Apabila hal seperti ini terjadi, maka orang tua yang merasa
kehendaknya sudah tidak ditaati oleh anaknya, dengan dorongan emosi akan menjatuhkan
lipas secara mendadak.
Menjatuhkan lipas secara mendadak dapat ditandai dengan penggunaan kata-kata
yang memang mengandung makna berlaku seketika diucapkannya. Menurut Sitti Aminah
Pabittei, yang dikutip oleh Hasbi mengenai kata-kata yang sering digunakan dalam lipas
secara mendadak ini, seperti:
a. Andiammo anau di lino lamba lao di akhera.
(artinya: Saya tidak lagi mempunyai anak dunia akhirat).
b. Uita matemi.
(artinya: Saya telah menganggapnya ia mati).24
Dengan menyimak makna dari ungkapan-ungkapan yang dipergunakan dalam
menjatuhkan sanksi lipas tersebut, dapat disimpulkan bahwa saat diucapkannya kata-kata
tersebut, maka pada saat itu pula sanksi lipas mulai diberlakukan dengan pengertian sejak itu
hubungan antara orang tua dengan anak mulai terlepas.

2. Lipas Secara Bertahap


Jika pada lipas yang dilakukan secara mendadak umumnya dilakukan oleh kalangan
keluarga yang masih ekstrim dalam menyikapi pelanggaran kebiasaan atau tradisi, maka pada
lipas yang dijatuhkan secara bertahap ini, biasanya dilakukan oleh kalangan keluarga yang
berpikiran moderat, kelompok ini biasanya ditemukan pada kelompok strata tau pia. Mereka
mulai berpikir akomodatif, di satu pihak masih menghargai pada ketentuan yang dipatuhi
secara lokal, tetapi mereka mulai berpikir rasional dengan mempertimbangan berbagai faktor
yang diangap lebih bermanfaat bagi diri, keluarga dan masyarakat.25
Dalam menerapkan sanksi lipas dari kelompok keluarga tau pia ini, apabila dari
kalangan keluarga ini ada yang melakukan pelanggaran, biasanya tidak langsung dijatuhi

23 Arifuddin Ismail, Loc.cit.


24 Sitti Aminah Pabittei, 1995, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Ujungpandang, hlm. 102.
25 Arifuddin Ismail, op.cit. hlm.48

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 361

lipas, tetapi sebelumnya melewati tahapan tertentu, di mana anggota keluarga yang
melakukan pelanggaran tersebut dahulu dinasihati agar tidak melanjutkan perbuatannya yang
bisa menodai martabat keluarga.26
Dengan proses awal sebelum menjatuhkan lipas tersebut, biasanya sudah dibarengi
sejumlah ungkapan yang mengandung makna adanya kehendak orang tua menjatuhkan lipas
jika tidak dipenuhi keinginannya dan sanksi tersebut berlaku jika benar-benar anak yang
dinasihati dengan ancaman lipas tersebut tetap nekad meneruskan keinginannya. Adapun
kalimat yang biasa digunakan dalam lipas yang dijatuhkan secara bertahap ini, antara lain
sebagai berikut :
E... anau, e... kabeu ! madhondong duambongi, anna likkao siola dio anana
ianu... andiangmo tuu diang tomabubemmu. Mua diongoo di atambusang, iami
tomabubemmu di aya di matanna allo, anna mua iami tomabubemmu mendiolo mate,
daleba mai peillang bopa. Tipateng toi mua io kabe mate mendiolo, iami andiang toi
tau namating mappeillangoo.
(artinya: Wahai anakku, besok atau lusa, jika engkau kawin dengan anaknya si Anu
(nama orang tua yang hendak dikawini), maka engkau tidak akan mempunyai orang tua
lagi. Oleh karena itu, jika kamu berada di Timur, maka kami orang tuamu berada di Barat.
Jika kelak kami meninggal dunia lebih dahulu, engkau tidak perlu bersusah paya untuk
melayat jenazah kami. Begitu pun sebaliknya sekiranya Tuhan mentakdirkan engkau
lebih dahulu meninggal sebelum kami, kami pun tidak akan melayat jenazahmu). 27
Dari ungkapan di atas, jelas terlihat bahwa orang tua yang memberikan peringatan
atau nasihat kepada anaknya dengan kata-kata seperti di atas dengan penekanan kata
anau dan kabeu memberikan gambaran bahwa orang tua tersebut masih sangat mencintai
anaknya, karena arti kata anau maupun kabeu adalah ungkapan kasih sayang yang sering
dipergunakan orang tua terhadap anaknya di Mandar. Namun demikian, jika ternyata anak
yang telah diberikan nasihat seperti itu masih tetap nekad dengan keinginannya, maka hakikat
lipas mulai berlaku, ketika orang tua menambahkan ucapannya dengan ungkapan yang biasa
digunakan dalam menjatuhkan lipas secara mendadak.

Akibat Budaya Lipas dan Kaitannya dengan Kewarisan bagi Masyarakat di Kabupaten
Majene
Dari hasil penelitian penulis, ditemukan sejumlah kasus lipas, baik yang terjadi sejak
beberapa tahun lalu, maupun yang belum lama terjadi. Dari beberapa kasus tersebut, dapat
diketahui alasan-alasan yang mempengaruhi lahirnya lipas dalam masyarakat di Kabupaten
Majene. Dari beberapa kasus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa alasan-alasan yang
mempengaruhi lahirnya lipas di Kabupaten Majene, adalah:
1. Oleh karena seseorang melakukan perbuatan yang dinilai telah mempermalukan serta
26 Ibid.
27 Hasbi, 2002, Penghalang Kewarisan di Kabupaten Majene, hlm.15

AMANNA GAPPA
362 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

mencoreng harkat dan martabat keluarga. Perbuatan-perbuatan tersebut diantaranya


yakni, menikah dengan orang yang tidak disetujui oleh orang tua baik karena alasan
perbedaan status sosial maupun karena alasan lainnya, kawin lari (sipaindongang),
mempunyai banyak hutang, dan lain-lain.
2. Disebabkan terdapat kebiasaan dan nilai-nilai budaya masyarakat Mandar khususnya
masyarakat Kabupaten Majene yang hingga saat ini masih dipertahankan. Hal ini dapat
dilihat dari kasus mengenai pernikahan yang tidak direstui karena alasan perbedaan
status sosial, dimana masih terdapat masyarakat yang mengutamakan status sosial dan
siri.
Kebiasaan masyarakat Kabupaten Majene dalam melakukan pemutusan hubungan
keluarga atau yang lazim disebut lipas, bukanlah sebagai suatu hal yang asing, tetapi justru
merupakan hal yang diketahui secara umum oleh masyarakat, terutama di kalangan masyarakat
dewasa. Hal ini, menurut Ahmad,28 seorang budayawan Mandar disebabkan kebiasaan lipas
memang telah terjadi semenjak dahulu dan hingga saat ini kebiasaan tersebut masih terus ada.
Sependapat dengan hal tersebut, Andi Tamaruddin,29 salah seorang tokoh agama di Kabupaten
Majene menambahkan bahwa terjadinya lipas merupakan sifat emosional orang tua terhadap
anaknya.
Dalam kaitannya dengan akibat yang ditimbulkan oleh lipas dalam masyarakat
Kabupaten Majene, lebih lanjut, Ahmad menjelaskan, bahwa selain memutuskan hubungan
keluarga, biasanya mengakibatkan seseorang yang terlipas menjadi terhalang mendapatkan
warisan orang tuanya. Dari hasil penelitian diketahui bahwa beberapa mayoritas masyarakat
Kabupaten Majene memandang lipas sebagai penghalang mewaris, sehingga dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa lipas di Kabupaten Majene telah diposisikan sebagai
suatu penghalang bagi ahli waris untuk memperoleh hak mewarisnya. Pendapat ini cenderung
melihat praktik lipas dalam masyarakat di mana hampir semua orang yang dijatuhi sanksi
lipas tidak akan mendapatkan warisan dari pewaris.
Hal ini disebabkan ahli waris lainnya, selain mentaati hukum kebiasaan dalam
masyarakat, juga menurut salah seorang budayawan Mandar yaitu Ahmad, karena anak-anak
atau keluarga dari orang yang melakukan lipas kepada anaknya sangat terpengaruh dengan
bunyi dan makna ungkapan lipas yang diucapkan ketika menjatuhkan lipas, seperti ungkapan:
Udosao mie lino lambi akhera mua matea anna muwarei bareang pole di barang-
barangngu lao di anu.... (Berdosalah kalian semua jika kelak saya meninggal dunia,
kalian memberikan bagian dari harta peninggalan saya kepada si Anu...)
Dalam memposisikan lipas dalam kaitannya dengan kewarisan dalam hal ini sebagai
penghalang mewaris, tentu saja menimbulkan suatu pertanyaan, apakah mereka mengetahui
28 Wawancara pada tanggal 6 April 2011 di Musem Mandar Kabupaten Majene.
29 Wawancara pada tanggal 18 April 2011 di Binanga Kec. Banggae Timur.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 363

bahwa yang dilakukannya tersebut telah sejalan dengan hukum kewarisan Islam yang
semestinya menjadi panutan bagi mereka yang beragama Islam atau justru sangat bertentangan
dengan hukum kewarisan Islam. Hal ini menurut Andi Tamaruddin, yang lebih lanjut
menambahkan bahwa dalam ajaran Agama Islam tidak dikenal adanya lipas dan anak yang
terlanjur telah dijatuhi sanksi lipas tetap berhak mendapatkan warisan dari orang tuanya.
Dalam persepsi masyarakat, lipas sebagai penghalang di Kabupaten Majene telah sesuai
dengan hukum kewarisan Islam. Hal ini dapat dinilai dari sikap masyarakat yang mematuhi
dan mentaati akibat hukum yang ditimbulkan oleh lipas tersebut, dengan kata lain ahli waris
yang dijatuhi sanksi lipas benarbenar dapat menerimanya sebagai suatu keputusan final
yang tidak perlu diganggu gugat. Berkaitan dengan hal tersebut menurut M. Thayyib.HP,
masyarakat Majene terutama yang secara langsung terkait dengan lipas cukup mematuhi
akibat hukum dari sanksi lipas tersebut. Seperti terhalangnya seorang anak mendapatkan harta
warisan orang tuanya umumnya diterima begitu saja tanpa adanya upaya untuk melakukan
perlawanan.
Hal tersebut terlihat pada kurangnya gugatan tentang kewarisan yang diajukan ke
Pengadilan Agama dimana kewarisan hanya berjumlah sekitar 10% dari total jumlah
perkara. Sebagai bukti ketaatan masyarakat terhadap sanksi lipas tersebut, Peneliti mencoba
mengaitkannya dengan menganalisis perkara-perkara di bidang kewarisan yang pernah
ditangani dan diselesaikan melalui Pengadilan Agama Majene, sebagaimana tertuang dalam
tabel berikut:

Tabel 1. Perkara Kewarisan yang Diterima oleh Pengadilan Agama Majene


Tahun 2005-201030
Tahun Perkara yang Diterima
2005 -
2006 5
2007 1
2008 1
2009 1
2010 -
Total Jumlah 8 Perkara
Data di atas memang tidak secara langsung menggambarkan ada tidaknya unsur lipas
di dalamnya, tetapi menurut penjelasan salah seorang hakim Pengadilan Agama Majene,
M. Thayyib. HP, bahwa selama ia bertugas di Pengadilan Agama Majene yang sudah
berlangsung sekitar 6 tahun, hingga saat ini belum pernah menemukan adanya gugatan waris
yang didasarkan bahwa penggugat menuntut bagiannya yang dikuasai ahli waris lain tanpa
memberikan kepada penggugat dengan alasan lipas. Olehnya itu, dari 8 jumlah perkara yang
ditangani sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2010, semuanya tidak terkait dengan lipas.
30 Sumber: Data Pengadilan Agama Majene

AMANNA GAPPA
364 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

Dengan demikian dapat dipahami, bahwa tidak adanya tuntutan masyarakat dari
pihak yang tidak mendapatkan warisan hanya karena alasan lipas, maka dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa lipas benar-benar dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat, terutama masyarakat
yang terlibat langsung di dalamnya, baik yang mendapatkan keuntungan karena lipas maupun
yang dirugikan. Sebenarnya, diberlakukannya lipas sebagai penghalang mewaris, menurut
penulis sangat bertentangan dengan hukum kewarisan Islam yang telah menentukan secara
rinci dan jelas mengenai hal-hal yang dapat dijadikan sebagai penghalang mewaris, seperti
pembunuhan, perbedaan agama, dan perbudakan yang jika dikondisikan dengan masyarakat
Kabupaten Majene maka setidaknya dua hal yang menurut hukum Islam dapat dijadikan
sebagai penghalang mewaris, yakni pembunuhan terhadap pewaris dan perbedaan agama.
Oleh sebab itu, berdasarkan hal ini maka dengan sendirinya sebagai penganut Agama
Islam apa yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Majene tersebut, sangatlah bertentangan
dengan nilai-nilai hukum kewarisan Islam. Namun demikian, jika dikaji tentang penyebab
awal dijatuhkannya lipas, maka terdapat dua alasan yang dapat mensinkronkan lipas sebagai
penghalang mewaris, yaitu apabila lipas dijatuhkan karena telah membunuh salah seorang
dari orang tuanya, atau karena telah murtad dari Agama Islam. Kedua hal ini kemungkinan
besar dapat terjadi dalam masyarakat Kabupaten Majene. Namun, apabila dengan alasan
lain misalnya karena menikah dengan seseorang yang bukan pilihan orang tua atau karena
perbedaan status sosial, sesuai dengan kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat Kabupaten
Majene yang mayoritas menjatuhkan sanksi lipas karena alasan tersebut, maka sangat tidak
mendasar untuk menghalanginya mendapatkan warisan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa akibat yang ditimbulkan
dengan adanya lipas dalam masyarakat di Kabupaten Majene dalam hal kewarisan, yaitu:
a) Terhalangnya hak mewaris bagi orang yang dilipas terhadap harta warisan orang tua; b)
Putusnya hubungan kekeluargaan antara orang tua dengan anaknya yang disebabkan oleh
ambisi untuk mempertahankan harkat dan martabat keluarga.
Adapun akibat yang ditimbulkan dengan adanya lipas tersebut, sangat merugikan pihak
ahli waris apalagi dengan lipas tersebut sangat sulit lagi terjadi perdamaian secara sukarela
antara orang tua yang melipas dengan anak yang terlipas. Oleh karena itu, secara non litigasi
sangat sulit bagi ahli waris terlipas tersebut untuk kembali memperoleh haknya sebagaimana
layaknya seorang ahli waris.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa masyarakat Kabupaten Majene dalam
menentukan faktor penyebab terhalangnya seseorang menerima warisan, selain berpedoman
kepada aturan hukum Kewarisan Islam, juga berpedoman kepada salah satu kebiasaan
masyarakat yang telah berlangsung secara terus menerus sejak dahulu hingga sekarang.
Kebiasaan yang dimaksud adalah kebiasaan pemutusan hubungan keluarga antara orang tua

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 365

dengan anaknya yang oleh masyarakat Kabupaten Majene disebutnya dengan lipas.
Dengan adanya hal tersebut, tidak berarti harapan mendapatkan haknya kembali pupus
sama sekali, sebab dalam kaitan ini anak yang dilipas dapat mengajukan persoalannya ke
Pengadilan Agama dalam bentuk gugatan waris, dengan gugatan tersebut pihak Pengadilan
Agama melalui Majelis Hakim yang diberi tugas untuk memeriksa dan memutus gugatan
tersebut dapat memberikan solusinya dengan memberlakukan aturan hukum kewarisan
Islam, sehingga faktor penghalang mewaris yang tidak sesuai dengan hukum kewarisan
Islam seperti lipas dapat dikesampingkan. Dengan demikian penerapan hukum kewarisan
akan sampai kepada suatu tujuan tercapainya kewarisan yang ideal, yaitu kewarisan yang adil
menurut hukum Islam.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan dan analisis di atas, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pemberlakuan budaya Lipas sebagai penghalang mewaris dalam masyarakat di Kabupaten
Majene sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dan Hukum Kewarisan Islam.
2. Lahirnya budaya lipas dalam masyarakat di Kabupaten Majene disebabkan oleh beberapa
alasan, di antaranya:
a. Oleh karena seseorang melakukan perbuatan yang dinilai telah mempermalukan serta
mencoreng harkat dan martabat keluarga, seperti menikah dengan orang yang tidak
disetujui oleh orang tua karena perbedaan status sosial.
b. Kebiasaan dan nilai-nilai budaya masyarakat Mandar khususnya masyarakat Kabupaten
Majene yang hingga saat ini masih dipertahankan.
c. Tingkat pengetahuan hukum khususnya hukum Islam dalam masyarakat di Kabupaten
Majene yang masih sangat rendah.
3. Akibat yang ditimbulkan dengan adanya budaya lipas dalam masyarakat di Kabupaten
Majene dalam hal kewarisan, yaitu:
a. Terhalangnya hak mewaris terhadap harta warisan orang tua bagi orang yang dilipas.
b. Putusnya hubungan kekeluargaan antara orang tua dengan anaknya yang disebabkan
oleh ambisi untuk mempertahankan harkat dan martabat keluarga.

Saran
1. Untuk menghindari berlangsungnya kebiasaan masyarakat Kabupaten Majene dalam
melakukan pemutusan hubungan kekeluargaan dengan jalan lipas, disarankan kepada
para ulama dalam melakukan aktivitasnya memberikan ceramah agama kepada
masyarakat tidak semata-mata menyampaikan materi tentang surga dan neraka saja, tetapi

AMANNA GAPPA
366 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

hendaknya memberikan pengetahuan atau informasi mengenai kebiasaan masyarakat yang


bertentangan dengan ajaran agama Islam seperti lipas sebagai suatu kebiasaan yang tidak
sewajarnya dipertahankan dan ditumbuhkembangkan.
2. Agar frekuensi penyuluhan hukum terus ditingkatkan, khususnya mengenai hukum-
hukum kewarisan Islam dalam berbagai aspek, terutama mengenai penyebab terhalangnya
ahli waris dalam mendapatkan warisan, sehingga rendahnya pengetahuan hukum maupun
tingkat kesadaran hukum masyarakat Kabupaten Majene yang mengaitkan lipas dengan
masalah kewarisan dan menjadikan lipas tersebut sebagai penghalang dalam mewaris
dapat dihindarkan, dan sejalan dengan hal tersebut masyarakat yang telah menjadi korban
terhadap pemutusan hubungan keluarga (lipas) dapat memperoleh haknya kembali sebagai
ahli waris, dengan cara mengajukan gugatan waris melalui Pengadilan Agama.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Muthalib. 1997. Kamus Bahasa MandarIndonesia, Pusat Pembinaan dan Pengem-
bangan Bahasa Depdikbud: Jakarta.
Achmad Ali. 1990. Mengembara di Belantara Hukum, Lembaga Penerbitan Universitas
Hasanuddin: Makassar.
A. M. Mandra. 1988. Berbagai Kajian Masalah Budaya Mandar dan Agama Islam, Yayasan
Saq-Adawang: Sendana Majene.
Badriyah Harun. 2010. Panduan Praktis Pembagian Waris, Pustaka Yustisia: Yogyakarta.
Hasbi, 2002, Penghalang Kewarisan di Kabupaten Polmas. (Tesis). Program Pascasarjana.
Universitas Muslim Indonesia. Makassar.
Ibrahim Abbas. 1999. Pendekatan Budaya Mandar, UD. Hijrah Grafika, Makassar.
Mohammad Daud Ali. 1990. Islam dan Peradilan Agama, Keberlakuan dan Keberadaannya
di Indonesia. Pustaka Antara: Jakarta.
__________________ . 2007. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia. PT. Rajagrafindo. hlm. 21.
M. Arfin Hamid. 2008. Hukum Islam Prespektif Keindonesiaan: Sebuah Pengantar dalam
Memahami Realitas Hukum Islam di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Hasa-
nuddin.
Nur Azizah Syahril. 1998. Nilai-Nilai Budaya Dalam Sastra Lisan Mandar. Balai Penelitian
Bahasa: Ujung pandang.
Suffran Sabrie. 2000. Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah Perkembangan Lembaga dan
Proses Pembentukan Undang-Undangnya. Departemen Agama: Jakarta.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 367

Zainuddin Ali. 2006. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika

Sumber lainnya:
Arifuddin Ismail. 1996. Lipas Bagi Orang Mandar. Makalah. Majene.
Anonym. Hapusnya Hak Menerima warisan Dalam Hukum Perdata (BW) dan Dalam Hukum
Islam, www.yahoo.com. Diakses Tanggal 25 Februari 2011.

AMANNA GAPPA
368 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 013

RISALAH RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM


PERSEROAN TERBATAS DALAM PERSPEKTIF CYBER
NOTARY

Oleh:
Rakhmat Mushawwir Rasyidi
Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstract: Agenda of SGM which is not related to the change of the statutes, in which the
minutes do not have to be writtn in the autentic notarial document, so the minutes of SGM
of the limited liability carried out thraugh the electronic media are legitimate. On the other
hand, the minutes SGM of the limited liability which are carried out throughthe electronic
media are not legitimate if the meeting agenda is related to the changes of the statutes because
the agenda should be have not confessed the signing of the notarial document through the
electronic media, and the Acts concerning the Electronic Information and Transaction limit it,
so that it result in the stipulation concerning SGM through the electronic media as regulated
in the Acts concerning limited liability applicable.
Keywords: Cyber Notary, Minutes of the AGM

Abstrak: Agenda RUPS yang tidak terkait dengan perubahan anggaran dasar, dan
risalahnya tidak harus dituangkan ke dalam akta otentik, maka Risalah RUPS PT yang
diselenggarakan melalui media elektronik tersebut adalah sah. Sebaliknya, risalah RUPS
PT yang dilakukan melalui media elektronik tidak sah, apabila agenda rapat terkait dengan
perubahan anggaran dasar, karena agenda tersebut harus dituangkan ke dalam akta notaris
karena UUJN belum mengakui penandatanganan akta notaris melalui media elektronik, dan
UU ITE membatasinya, sehingga mengakibatkan ketentuan mengenai RUPS melalui media
elektronik sebagaimana diatur dalam UUPT berlaku terbatas.
Kata Kunci: Cyber Notary, Risalah RUPS

PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi memberikan banyak kontribusi terhadap perkembangan hukum
baik dari segi pembangunan hukum maupun dari segi penerapan hukum. Perkembangan dan
kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan
dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk
perbuatan hukum baru.
Pemerintah perlu mendukung pengembangan teknologi informasi melalui infrasruktur
hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan teknologi informasi dilakukan secara aman
untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial
budaya masyarakat Indonesia.
Salah satu bentuk dukungan yang dilakukan pemerintah dalam hal pengembangan
teknologi informasi adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun

AMANNA GAPPA
370 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang mengakui eksistensi
penandatanganan elektronik. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 11 ayat (1) UU ITE yang
menentukan bahwa:
Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan;
b. Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan
elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan;
c. Segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu
penandatanganan dapat diketahui;
d. Segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan
Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
e. Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya;
dan
f. Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan
persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.
Tentunya hal ini akan memicu timbulnya perbuatan-perbuatan hukum baru, Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), menampung aspirasi
dan mengakomodasi perkembangan teknologi informasi dengan diterimanya teleconference
dan video conference yang terdapat pada Pasal 77 UUPT yang menentukan bahwa:
Penyelenggaraan RUPS dapat dilakukan melalui media telekonferensi, video
konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta
RUPS melihat dan mendengar serta secara langsung berpartisipasi dalam rapat.

Selain itu, Pasal 77 ayat (4) mengharuskan setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana
disebut dalam Pasal 77 ayat (1) dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani
oleh semua peserta RUPS. Berarti di sini ada dokumen elektronik yang dihasilkan dari RUPS
tersebut.
Perkembangan tersebut tentu akan membawa perubahan terhadap pelaksanaan tugas
dan kewenangan Notaris selaku pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik,
bergeser dari sistem konvensional dengan cara berhadap-hadapan atau tatap muka langsung,
bergeser menuju Cyber Notary dengan berbasis pada sistem elektronik yang berada dalam
ruang maya. Menjadi persoalan kemudian adalah, apakah undang-undang jabatan notaris
dalam hal ini Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan notaris (untuk selanjutnya
akan disebut UUJN) sudah sejalan dengan perkembangan tersebut?
Pasal 1 angka (7) UUJN, menentukan bahwa:
Akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan
tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 371

Sedangkan pengertian akta otentik berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata menyebutkan
bahwa:
Suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau di
hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta
tersebut dibuat.
Aturan yang terdapat pada Pasal 77 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas tersebut di atas tidak bersinergi dengan Pasal 1 angka (7) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Berdasarkan pemaparan di atas, terjadi ketidaksinergian antara beberapa ketentuan,
sehingga dalam mekanisme pembuatan risalah RUPS melalui media telekonferensi, yang
akan diselenggarakan oleh para pihak berkepentingan bukanlah menjadi hal yang mudah
untuk dilaksanakan atau menjadi tidak optimal, belum lagi ketidakamanan akan orisinalitas
dokumen dari gangguan pihak yang tidak bertanggung jawab sebagaimana disebutkan di
atas.

PEMBAHASAN DAN ANALISIS


Keabsahan dari Risalah RUPS Perseroan terbatas yang dilakukan melalui Media
Telekonferensi
Setiap penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas, baik itu
RUPS tahunan maupun RUPS lainnya, wajib dibuatkan risalah, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 90 ayat (1) UUPT. Risalah yang dimaksud dalam Pasal tersebut dapat berupa akta
otentik, dapat pula berupa akta di bawah tangan. Risalah yang bentuknya harus dituangkan
ke dalam akta otentik bergantung pada agenda rapat.
Pasal 21 ayat (4) UUPT menentukan bahwa perubahan anggaran dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dimuat atau dinyatakan dalam akta notaris dalam bahasa
Indonesia.
Dapat dilihat, agenda RUPS yang terkait dengan perubahan anggaran dasar perseroan,
berdasarkan Pasal 21 ayat (4) Risalah dari rapat tersebut harus dituangkan ke dalam akta
otentik, baik itu berupa akta Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham, maupun berupa
Akta Pernyataan Keputusan Rapat, sedangkan agenda rapat yang tidak terkait dengan
perubahan anggaran dasar, maka risalahnya tidak harus dituangkan ke dalam akta otentik.
Agenda yang tidak harus di tuangkan ke dalam akta otentik terkait dengan laporan
tahunan perusahaan. yang mana agenda-agenda tersebut tidak harus diberitahukan atau
disetujui oleh menteri.
Risalah yang dimaksud dapat berupa risalah konvensional dan dapat juga berupa
risalah elektronik. Hal ini dapat dilihat dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 77 ayat (1)

AMANNA GAPPA
372 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

UUPT yang menentukan bahwa


Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, RUPS dapat
juga dilakukan melalui media telekonferensi,video konferensi, atau sarana media
elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan
mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.
Mengacu pada Pasal tersebut di atas, dapat dilihat bahwa harus ada upaya dan jaminan
untuk memastikan bahwa peserta RUPS saling melihat, saling mendengar dan berpartisipasi
antara satu dengan peserta RUPS lainnya selama berlangsungnya rapat, dan yang dilihat itu
bukan rekaman.
Selain itu, peserta RUPS juga harus memerhatikan ketentuan Pasal 76 ayat (3), bahwa
RUPS harus diselenggarakan di wilayah Negara Republik Indonesia, yang mana menurut
peneliti hal ini diharuskan adanya bukti yang menjamin bahwa peserta RUPS benar-benar
berada di wilayah Negara Republik Indonesia.
Hasil dari keputusan RUPS harus dibuatkan Risalah berdasarkan Pasal 77 ayat (4):
Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuatkan
risalah raat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS.
Penjelasan Pasal 77 ayat (4) UUPT menyebutkan, yang dimaksud dengan disetujui
dan ditandatangani adalah disetujui dan ditandatangani secara fisik atau secara elektronik
Sehubungan dengan hal ini peneliti berpendapat, bahwa ketentuan UUPT telah
mengantisipasi kemungkinan kesulitan yang timbul tatkala penandatanganan mutlak
dilakukan secara fisik, disebabkan ketika rapat yang diselenggarakan melalui media
elektonik, yang mana para pemegang saham tidak berada dalam satu tempat, maka tentunya
risalah atas RUPS melalui media elektronik, yang penandatanganannya dilakukan secara
fisik akan sangat sulit ditandatangani oleh semua peserta RUPS pada saat itu juga, sedangkan
ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN mengharuskan ditandatanganinya akta pada saat
itu juga.
Maka dari itu, peneliti berpandangan bahwa penandatanganan yang dimaksud dalam
Pasal 77 ayat (4) UUPT memberikan kemungkinan dilakukan secara elektronik, sebab
terdapat kemungkinan penandatanganan secara fisik tersebut sulit dilakukan oleh semua
peserta rapat, sedangkan Pasal 77 ayat (4) mengharuskan semua peserta RUPS menyetujui
dan menandatangani risalah RUPS yang dimaksud.
Dalam hal penandatanganan untuk akta otentik, peraturan yang harus dijadikan acuan
adalah UUJN. Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN menentukan bahwa
Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua)
orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 373

Dalam penjelasan Pasal tersebut ditegaskan bahwa :


Notaris harus hadir secara fisik dan menandatangani akta di hadapan penghadap dan
saksi.
Ketentuan lex specialis mengenai penandatanganan akta otentik sangat nampak
penegasannya pada penjelasan Pasal tersebut, yang mana dibutuhkan kehadiran secara fisik
notaris dalam hal membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit
2 (dua) orang saksi, dan waktu penandatanganan akta terlihat dalam kalimat pada saat itu
juga yang mana kalimat tersebut menunjukkan waktu yang bersamaan dengan pembacaan
akta yang dilakukan secara fisik. Sehingga dapat dilihat bahwa substansi dalam ketentuan
pada Pasal tersebut belum mengakui keberadaan digital signature.
Sehingga peneliti menyimpulkan secara keseluruhan mengenai keabsahan risalah
RUPS melalui media elektronik tidak sah apabila agenda RUPS terkait dengan perubahan
anggaran dasar yang mana agenda tersebut harus dituangkan ke dalam akta otentik,
karena UUJN sebagai lex specialis dari akta Notaris belum mengakui penandatanganan
elektronik. Sebaliknya, risalah RUPS melalui media elektronik sah apabila agenda RUPS
tidak terkait dengan perubahan anggaran dasar, yang mana agenda tersebut tidak harus
dituangkan ke dalam akta otentik dan penandatanganannya dianggap sah. Dengan kata lain,
implementasi dari teori kepastian hukum belum sepenuhnya terwujud. Begitu pun juga
dengan implementasi teori utilitas pada pelaksanaan risalah RUPS melalui media elektronik
yang memberikan manfaat kepada seluruh pemegang saham karena dengan media tersebut
pelaksanaan RUPS menjadi mudah.

Kedudukan Kekuatan Pembuktian Risalah Rapat Umum Pemegang Saham melalui


Media Elektronik
Pasal 5 ayat (1) UU ITE, menegaskan:
Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat
bukti yang sah.
Pasal 5 ayat (2)
Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Namun dengan demikian, tidak sembarang informasi elektronik/dokumen elektronik
dapat dijadikan alat bukti yang sah. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 16 ayat
(1) UU ITE, yang menyatakan:
Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap Penyelenggara
Sistem Elektronik wajib mengoperasikan Sistem Elektronik yang memenuhi
persyaratan minimum sebagai berikut :
a. Dapat menampilkan kembali Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-

AMANNA GAPPA
374 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

undangan;
b. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan
keteraksesan Informasi Elektronik tersebut;
c. Dapat beroperasi sesuai prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem
Elektronik tersebut; dan
d. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan
kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
Pihak yang mengajukan informasi tersebut harus dapat membuktikan bahwa telah
dilakukan upaya yang patut untuk memastikan bahwa suatu sistem elektronik telah dapat
melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi
elektronik tersebut.
Pasal 5 ayat (4) UU ITE, menentukan:
Bahwa ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebagai alat bukti yang sah tidak berlaku untuk:
a. Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis;dan
b. Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam
bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Penafsiran ketentuan tersebut menurut Surya Jaya (seminar Cyber Notary tanggal 25
Juni 2011, hotel Mercure, Makassar) mengandung arti bahwa alat bukti elektronik dalam
bentuk Dokumen Elektronik tidak berlaku dan tidak dapat dipersamakan dengan suatu akta
otentik/akta notaril yang bentuknya tertulis dan mempunyai minuta akta (asli akta notaris).
Menurut pandangan peneliti, keberlakuan pasal di atas mengakibatkan segala ketentuan
lain yang terkait dengan RUPS melalui media elektronik menjadi berlaku terbatas, yakni
Pasal 77 ayat (1) UUPT menekankan RUPS boleh dilakukan melalui media elektronik yang
mana RUPS yang dimaksud dalam Pasal tersebut tidak menspesifikkan agenda-agenda RUPS
apa saja yang boleh dilakukan melalui media elektronik, padahal ada agenda tertentu yang
hasilnya harus dituangkan ke dalam akta otentik, yang mana pada Pasal 5 ayat (4) huruf b
menentukan surat beserta dokumen yang menurut undang-undang harus dalam bentuk akta
notaris tidak boleh berbentuk dokumen elektronik. artinya dokumen/informasi elektronik
bukan merupakan alat bukti yang sah sepanjang peruntukannya itu berkaitan surat beserta
dokumen yang menurut undang-undang harus dalam bentuk akta notaris.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Agenda RUPS yang tidak terkait dengan perubahan anggaran dasar, yang mana
risalahnya tidak harus dituangkan ke dalam akta otentik, maka Risalah RUPS Perseroan

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 375

terbatas yang diselenggarakan melalui media elektronik tersebut adalah sah adanya
selama memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam UUPT dan penandatanganannya
sesuai dengan yang ditentukan dalam UU ITE. Sebaliknya, Risalah RUPS Perseroan
Terbatas yang dilakukan melalui media elektronik tidak sah, apabila agenda rapat terkait
dengan perubahan anggaran dasar, karena agenda tersebut harus dituangkan ke dalam
akta notaris yang mana UUJN belum mengakui penandatanganan akta notaris melalui
media elektronik, dan UU ITE membatasinya, sehingga mengakibatkan ketentuan
mengenai RUPS melalui media elektronik sebagaimana diatur dalam UUPT berlaku
terbatas.
2. Kedudukan kekuatan pembuktian risalah RUPS yang dibuat melalui media elektronik
tidak dapat disetarakan dengan akta otentik. Karena selain UU ITE membatasi hal itu,
UUJN juga belum mengakui digital signature, sehingga kekuatan pembuktian risalah
yang dilakukan melalui media elektronik hanya sama dengan akta di bawah tangan yang
kekuatan pembuktiannya hanya sempurna apabila tidak ada pihak yang menyangkal
kebenarannya.

Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, untuk mengimplimesikan konsep cyber notary di
Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan penyelenggaraan risalah RUPS Perseroan
Terbatas, maka peneliti menyarankan beberapa hal sebagai berikut:
1. Terhadap pihak legislatif, diharapkan:
a. Merevisi Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN sehingga substansi ketentuannya menjadi
pembacaan dan penandatanganan akta tidak harus dilakukan secara fisik atau
konvensional.
b. Mempertegas/memperluas makna kata oleh/di hadapan yang tertuang dalam Pasal
1 angka (7) UUJN.
2. Terhadap perusahaan, diharapkan:
Mengoptimalkan pemanfaatan media elektronik dalam penyelenggaraan RUPS
media elektronik yang agendanya tidak terkait dengan perubahan anggaran dasar yang
mana perubahan itu tidak perlu dituangkan ke dalam akta otentik.

AMANNA GAPPA
376 Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur Anshori. 2009. Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum


dan Etika. Yogyakarta: UII Press.
Ahmad M. Ramli, dkk. 2007. Menuju Kepastian Hukum di Bidang: Informasi dan Transaksi
Elektronik. Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.
Ahmadi Miru. 2010. Hukum kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Asri Sitompul. 2004. Hukum Internet (Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace).
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Assafa Endeshaw. 2007. Hukum E-Commerce dan Internet. Yogyakarta: Pustaka
Pelayar
Ridwan Khairandy. 2009. Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan Perundang- undangan
dan jurisprudensi.Yogyakarta. Total Media.
Yahya Harahap. M. 2004. Hukum Acara Perdata. Jakarta. Sinar Grafika.
____________ . 2009. Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta. Sinar Grafika.

Sumber lainnya:
Surya Jaya.seminar Cyber Notary tanggal 25 Juni 2011, hotel Mercure, Makassar.
Ahmadi Miru. Seminar hukum cyber notary,25 juni 2011,hotel Mercure, Makassar
Seminar pembakalan dan penyegaran pengetahuan Ikatan Notaris Indonesia. 18 Juni 2011.
di Grand Hotel Clarion. Makassar.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012

BIODATA PENULIS

Hijrah Adhyanti, S.H., M.H


Dosen pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
E-mail: hijrah.adhyanti@yahoo.com

Dr. Sudiarto, S.H., M.Hum


Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram. Alamat: Jalan Majapahit No. 62 Mataram,
83125, Nusa Tenggara Barat.
E-mail: sudiartomataram@ymail.com

Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H. M.Hum


Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Alamat: Jalan Perintis
Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar.
E-mail: patittingi@yahoo.co.id

A. Muhammad Fajar Akbar, S.H


Lembaga Bantuan Hukum Makassar. Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Alamat: Jalan Pelita Raya VI Blok A.34 No. 9,
90222, Makasar.
E-mail: fajarmerah.lbhmks@gmail.com

Rajab Lestaluhu, S,H., M.H


Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sorong. Alamat: Jalan Pendidikan
No. 27 Malaingkedi, Sorong, Papua Barat.

Sukardi, S.H., M.H


Mahasiswa Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Anggota Kepolisian Republik Indonesia Daerah Sulawesi Selatan.
E-mail: cardilia_mks73@yahoo.com

Mushawwir Arsyad, S.H


Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
E-mail: shawirarsyad@rocketmail.com

Ika Novitasari, S.H


Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
E-mail: ika_novieta@yahoo.com

Rakhmat Mushawwir Rasyidi, S.H., M.Kn


Fakultas Hukum Universitas Udayana. Jalan Kampus Bukit Jimbaran Badung, Bali.

AMANNA GAPPA
Jurnal Ilmu Hukum AMANNA GAPPA | Vol. 20 Nomor 3, September 2012 192

AMANNA GAPPA

You might also like