You are on page 1of 9

Good Bye Moccacino, Hello

Vanilla Latte
By Amalia Risky Fitrayanti
Hujan malam ini membasahi jendela apartemenku. Dengan
secangkir moccacino hangat di tanganku, aku memberanikan diri
mengingat trauma masa lalu hingga ku tak mampu membendung aliran
sungai air mata di pipiku. Kenangan menyakitkan yang kau tinggalkan dua
tahun lalu ketika aku sangat merindukanmu. Dan membuatku hingga hari
ini tak bisa mengikhlaskanmu mengakhiri itu semua. Dan seketika
moccacino di tanganku yang belum sempat aku minum terjatuh dan
pecah. Perasaan dua tahun silam sama hancurnya dengan serpihan beling
cangkir ini. Semua ini karenamu, sayang.
Malam dua tahun lalu saat kau mengajakku bertemu di kedai kopi
langganan kita. Aku mempersiapkan semuanya, pakaian, pertanyaan, dan
basa-basi yang akan kubicarakan denganmu. Dengan mengenakan long
dress pemberianmu, aku menghampirimu yang sedang menungguku di
teras depan rumah dengan sangat percaya diri.
Delapan bulan sudah kita tidak bertemu. Jujur malam ini kau
sangat cantik pujimu saat kau melihatku. Kau memelukku erat seakan-
akan kau tidak ingin melepaskanku. Kau membukakan pintu mobil dan
membawaku dengan mobil VW milikmu. Mungkin saat itu aku sangat
merindukanmu hingga aku tak henti-hentinya memandang wajahmu. Dan
berharap kepada Tuhan untuk menjadikan satu menit seperti satu tahun
lamanya. Sesampainya di kedai kopi, seperti biasa setelah lama tidak
bertemu, saling menanyakan kabar, kesibukan kuliah, dan kabar keluarga.
Keluarga kita memang dekat, dan pernah menjalin kerjasama antar
pengusaha kopi Indonesia. Jadi, tak dipungkiri juga bila kita menyukai kopi
yang sama yaitu moccacino.
Mbak, pesan moccacino coffee 2 sahutya pada pelayan kedai kopi.
Di kedai bergaya vintage itu kita larut dengan alunan lagu Iwan Fals yang
berjudul Kemesraan ini. Pesanan sudah datang, tapi tak sedikitpun dia
membicarakan hal-hal tentang hubungan kita. Tak biasanya dia begitu.
Dia terlihat kaku dan seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
Sayang, kamu kenapa? Apa ada yang salah padaku malam ini?
tanyaku.
Aku tidak tahu harus mulai darimana untuk membicarakan ini. Aku
hanya ingin minta maaf padamu malam ini ucapnya dengan sedikit
tertunduk.
Apa maksudmu? Kenapa harus minta maaf? tanyaku, aku masih
tidak mengerti. Mungkin perkataanku ini akan membuatmu kecewa, tapi
jujur aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Rayah, kamu cantik, baik.
Tapi aku hanya memanfaatkanmu saja jawabnya dengan memegang erat
tanganku dan menatap mataku yang mulai berlinang tapi tetap kutahan
agar tidak menangis di depannya. Hati ini mulai sedikit sesak mendengar
pernyataannya itu.
Saat di Ausie aku mendengar kabar tentang ayahmu. Aku tidak
bisa melanjutkan hubungan ini dengan status ayahmu yang sekarang. Aku
menjalin hubungan denganmu hanya bermaksud untuk kerjasama dengan
perusahaan ayahmu. Tapi maaf semua itu tidak bisa. Aku sungguh minta
maaf. Maafkan aku. Aku tak bermaksud membuatmu kecewa seperti ini
bila semua itu tidak terjadi Rayah tuturnya dengan jelas hingga
membuatku melepas genggaman tangan halusnya, tapi dia tetap
berusaha meraih tanganku. Brengsek!! Ucapku dalam hati. Kursi yang
kududuki pun terasa membakar seluruh tubuhku. Aku tidak kuat dengan
apa yang kudengar tadi. Aku memutuskan untuk pergi tanpa membalas
alasannya itu. Aku berdiri dan melangkahkan kakiku yang bergetar. Boleh
kuantar kau pulang? Diluar cuaca sedang hujan. Aku tidak tega melihatmu
pulang sendiri ucapnya. Lagi-lagi aku tidak bisa berbicara. Mulutku
membeku seketika. Aku sudah tidak mampu lagi untuk melihatnya dan
mendengar kata-kata manis yang sudah mulai menjijikkan keluar dari
mulutnya. Langsung kulepaskan genggaman tangan itu. Tapi saat aku
berusaha melepas genggamannya, tidak sengaja itu membuat kopi yang
kami sukai tumpah dan cangkirnya pecah. Aku pun tak
memperdulikannya. Karena aku berpikir nasib secangkir kopi itu sama
dengan nasibku malam itu. Aku pergi dan dia hanya memanggilku tanpa
berusaha untuk mengejar dan memperbaiki kesalahannya. Hati ini sudah
tak bertuan. Sangat hancur. Dengan menenteng high heels favoritku aku
berjalan tanpa arah. Aku menangis sepanjang jalan, berharap hujan
mengerti apa yang sedang kurasakan. Dan sejak saat itu aku sangat
membenci manusia itu.
Meski aku tidak terima dengan semua itu, tapi aku tidak membenci
Ayahku. Aku tetap mencintainya. Tujuan hidupku sekarang adalah lulus
kuliah dan menjadi seorang Banker di Bank Internasional. Akupun juga
berkeinginan untuk meninggalkan kota kelamku ini.
***
Tiga tahun berlalu, aku lulus perguruan tinggi dan bekerja di salah
satu Bank Internasi-onal di Bali. Aku hijrah ke Bali meninggalkan semua
masa lalu dan orang tuaku. Disini aku ju-ga tidak memiliki keluarga dekat.
Aku berharap tinggal di Bali dapat melupakan semuanya. Memang
menurut orang tua, jika kita sudah mapan maka akan mudah mendapat
pria yang di-inginkan. Tapi tidak untukku. Entah karena aku masih tidak
bisa melupakannya atau belum menemukan yang tepat. Entahlah aku
merasa sangat penat memikirkan itu. Akhirnya kuputus-kan untuk
menikmati malam di sekitar jalan Sunset Road, Kuta-Bali. Dan aku
menemukan tempat favoritku, tempat itu bernama Kedai Kopi Kultur. Aku
melangkah masuk, duduk, dan berharap ada kenangan indah yang akan
kuciptakan disini. Belum sempat aku memesan kopi, tapi aku sudah
mendengar bait puisi yang sangat menyentuh hatiku. Aku terbawa dalam
emosi yang tertuang pada makna di setiap kata-katanya. Dan disitupun
aku teringat kembali pada ma-sa kelamku.
Tidak seperti yang kuharapkan, ternyata di tempat ini aku masih
bisa mengingatnya. Aku memutuskan untuk pergi, tapi ada seorang pria
menghentikan langkahku. Ia adalah pem-baca puisi itu. Aku merasa tak
asing melihat wajah dan matanya. Laki-laki tegap dengan dua cup kopi
ditangannya. Hey.. Rayah! Apa kabar? mau minum kopi denganku?
ucapnya.
Meski harus berkelahi dengan waktu untuk dapat mengingatnya, tapi
suara itu aku ingat. Dia a-dalah Muhammad Bakhtiar Lazuardi. Laki-laki
yang kusukai saat SMA, Tiar. Tak kuduga bisa bertemu dengannya lagi.
Meski dulu aku menyukainya dalam diam, tapi menurutku dia tahu
perasaanku. Tapi biarlah, setidaknya aku punya teman dan tidak kesepian
di pulau ini.
Kita berbicara banyak. Ternyata sekarang dia seorang motivator dan
editor novel di sa-lah satu agensi terkenal di Indonesia yang bertempat di
Bali. Wow! dalam hatiku. Secangkir kopi Vanilla Latte untuk malam ini
bersamanya. Kopi yang sangat tren di kalangan anak muda. Rasanya
tidak terlalu buruk untuk pengganti Moccacino kesukaanku dulu.
Hari demi hari aku melaluinya bersama Tiar. Dia sering
menjemputku saat pulang ker-ja, juga menikmati kopi bersama. Anehnya,
aku bisa sedikit melupakan masa laluku dan mene-rima putusnya
hubunganku dengan Arjuna. Hari-hariku lebih ceria dan bersemangat.
Entah ini karena Tiar atau hanya perasaanku saja. Yang jelas aku merasa
hidupku lebih bernilai.
Tepat di malam Hari Ibu, Tiar mengajakku untuk minum kopi
kesukaan kita di Pantai Pandawa. Tak biasanya ini terjadi. Tapi malam itu
aku lembur dan dia tetap bersikeras me-nungguku di area parkir kantor.
Harus bagaimana lagi, aku pun segera menyelesaikan laporan-ku yang
menumpuk. Tugasku selesai, butuh waktu dua jam untuk
menyelesaikannya. Aku buru-buru menemuinya. Ternyata dia sedang
tertidur dalam mobilnya. Aku tak berani memba-ngunkannya. Melihat raut
wajahnya, sepertinya dia sangat lelah hingga aku membuka mobilnya saja
dia tidak dengar. Aku mencuri kesempatan untuk memandangnya sambil
mencari alasan a-pa yang kusukai darinya. Ku ambil tisu dalam tasku dan
kuusapkan ke keningnya. Sontak dia-pun terkejut dengan kedatanganku
dan dia memegang tanganku yang sedang mengusapnya.
Sudah berapa lama kau disini? Kau tidak mencuri kesempatan saat
aku tidur kan? ta-nyanya dengan sedikit tersenyum kearahku. Akupun
melepas tanganku yang ia genggam.
Lima belas menit yang lalu. Sejak kapan kau berubah menjadi
sangat percaya diri?. Maaf ya kau bukan tipeku. Jawabku kesal. Dia
hanya mengerutkan dahinya dan tersenyum melihat pipiku memerah
karena malu. Kuakui dia menang sekarang, dengan berhasil menebak apa
yang aku lakukan. Akupun menutup pintu mobil sedangkan dia mengusap
wajahnya meng-gunakan tisu yang kuberi. Kita langsung menuju pantai.
Ada sesuatu yang tersimpan malam ini. Sambil memegang kopi Vanilla
Latte dan berjalan di tepi pantai dia mengeluarkan ponselnya dan
memasang heatset ke telingaku dan telinganya. Lagu Iwan Fals yang
berjudul Ijinkan Aku Menyayangimu semakin membuatku larut dalam
malam indah bersamannya. Yang membuat-ku terkejut, dia memegang
tanganku di sepanjang tepian pantai. Dan akupun tidak bisa meno-laknya.
Persis setelah lagu selesai, tiba-tiba dia memelukku. Lagi-lagi aku tidak
bisa menolak.
Rayah, tolong ijinkan aku menyayangimu seperti lagu tadi. Aku
ingin kau menemani-ku disetiap waktuku. Aku mencintaimu. Ada apa ini,
mengapa aku tak bisa berkata apa-apa dan hanya bisa menganggukan
kepalaku saat dia mengungkapkannya. Apa itu berarti aku sudah siap
menerimanya. Di malam indah ini, pantai ini dan juga kopi Vanilla Latte
telah menjadi saksi, bahwa sekarang Tiar sudah menjadi milikku.
Sudah jam 00.25 WITA aku harus mengucapkan Selamat Hari Ibu
pada Ibuku. Aku menceritakan semua tentang kedekatanku dengan Tiar.
Ternyata ibuku sangat mendukungnya, sangat menyenangkan. Keesokan
harinya, Tiar menjemputku dan mengajakku pergi. Mungkin ini akan
menjadi kencan pertama kita setelah kejadian tadi malam. Kita mau
kemana? tanyaku. Ikuti saja aku nyonya, kamu akan tahu nanti.
Jawabnya. Dia memang suka membuat orang penasaran. Kita pun sampai
di sebuah rumah. Rumah siapa ini? Tanyaku lagi. Rumah-ku. Aku ingin
mengenalkanmu pada ibuku jawabnya. Belum sempat aku menjawab
apapun, dia langsung menyeret tanganku untuk masuk. Dengan perasaan
gugup dan berdebar akupun memberanikan diri memasuki rumahnya dan
duduk di ruang tamu yang banyak sekali novel di rak lacinya. Dia
meninggalkanku sebentar untuk memanggil Ibunya. Setelah beberapa
menit, Ibunya keluar dengan membawa dua cangkir kopi Vanilla Latte.
Aku mencium tangan yang membuat Tiar sukses seperti sekarang. Tiar
memulai pembicaraan Ibu, ini Rayah. Kalau ibu ingat dia teman SMA ku.
Tapi, hari ini aku memperkenalkannya pada ibu. Dia pacarku bu.
Senang bertemu ibu jawabku sedikit kaku. Tiba-tiba ibu Tiar menjawab
salamku. Bagaima-na kabar ayahmu? Apa dia baik-baik saja di penjara?.
Sontak pertanyaan itu membuatku terke-jut dan tak bisa berkata apa-apa.
Tiar jika ini yang kamu perkenalkan pada ibu, maaf ibu tidak bisa
menerimanya dan pernyataan lanjutan ibunya pun lebih menyakitkan
dan membuatku tertegun. Tiar pun langsung mengejar ibunya yang
langsung pergi menuju dapur setelah melon-tarkan pernyataan itu
didepanku. Aku mendengar perselisihan diantara mereka. Entah apa sa-
lahku. Aku mencoba menguatkan diri dan pergi menemui mereka. Ibu
saya minta maaf kalau kehadiran saya mengganggu ibu. Saya pergi dulu.
Assalamualaikum. Ucapku saat mencoba menghentikan perselisihan
diantara ibu dan anak itu. Mendengar itu Tiar langsung mengejar-ku.
Jangan pedulikan aku, atasi ibumu dulu. Aku tidak apa-apa, masuklah.
Ibumu mungkin le-bih memerlukanmu sekarang. Setelah mengucapkan
itu aku langsung pergi dengan berurai air mata. Hatiku terluka, lagi-lagi
karena Ayahku. Tapi aku berusaha untuk tetap tetap tegar, aku ta-hu
rintangan untuk bersamanya itu sangat susah kulewati tapi aku harus
berjuang. Keesokan harinya aku datang kerumah Tiar tanpa
sepengetahuannya. Ibunya membukakan pintu tanpa sedikitpun
tersenyum padaku. Aku menjulurkan tanganku untuk mencium tangannya
tapi beliau tidak membalasnya. Aku baru tahu kalau ternyata hari ini
beliau sedang sakit. Baiklah tugasku hari ini adalah menggantikan semua
tugas yang biasa Ibu lakukan. Menjemur cucian, mencuci piring,
memasak, menyapu, mengepel. Tiga hari berturut-turut aku melakukan
semua itu. Tapi tetap tidak ada respon apapun, tapi anehnya walau begitu
beliau tetap membukakan pintu untukku. Hingga hari ketiga saat aku
sedang mengelap sepatunya, dia mulai mengeluar-kan kata yang mulai
menyentuhku. Apa yang kau lakukan? Kau ini muka tembok atau apa?
Apa tidak ada lagi yang bisa kau kerjakan selain mengelap sepatu?.
Walaupun dengan sinis Ibu mengatakannya, entah mengapa kata itu
seperti sebuah perhatian. Beliau meneruskan perkataanya
Pulanglah!dengan sedikit menyentak padaku. Akupun menuruti
perkataannya.
Entah apa yang terjadi, sehari setelah kejadian itu Tiar
menjemputku di apartemenku. Yang membuatku terkejut dia akan
mengajakku ke rumahnya. Dengan sedikit gugup aku memberanikan diri
untuk tidak menolaknya. Tidak seperti biasanya, Ibu menerima juluran
tanganku untuk mencium tangannya. Jujur aku senang, tapi ini sangat
aneh.
Langsung saja, bukannya Ibu merestui hubungan kalian. Tapi Ibu
hanya membiarkan Tiar menyadari kalau dia nantinya akan menyesal
telah memilihmu ucapnya mengawali pembicaraan dimeja makan
rumahnya. Tiar akan menjawab perkataan Ibunya, tapi aku memotong
dan dengan mengatakan Ibu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan
membuat Tiar menyesal telah memilihku sebagai teman hidupnya.
Terimakasih Ibu telah memberi kita restu meski menurut Ibu ini bukan
restu. Setidaknya Ibu sudah memberi ijin jawabku seraya memeluk Ibu.
Pembicaraan di siang ini membuatku sadar tentang arti kasih sayang yang
luar biasa dari seorang Ibu.
Walaupun sedikit terlambat, aku ingin mengucapkan selamat Hari
Ibu untuk Ibu kandungku dan untuk Ibu yang akan kuabdikan hidupku
untuk anak laki-lakinya kelak tambahku kepada Ibu. Aku berharap di
akhir tahun ini agar Ibuku dan Ibunya bisa menjadi besan. Aamiin...

Biodata Penulis

Namaku Amalia Risky Fitrayanti. Aku baru lulus dari salah satu
sekolah kejuruan di Jember. Ibukulah yang mengajarkan aku bercerita.
Beliau sangat berharga dibanding apapun.
Terimakasih Ibu. Dan juga terimakasih kepada sahabatku yaitu Desi
Imaniar Dwi R. S yang telah membuatkanku cemilan ketika menulis
cerpen ini. Aku menyayangi kalian. Tidak lupa, kuucapkan terimakasih
kepada Allah SWT telah memberiku ide-ide yang indah untuk menuliskan
kata per kata yang bermakna untuk cerpen perdana ini.
Di cerpenku ini, kuselipkan pengalaman nyata di masa-masa SMK
ku. Aku terlebih dulu menyukai teman sekelasku. Semoga kalian senang
dan menyukai cerpen perdanaku ini. Tak lupa kuucapkan Selamat Hari Ibu
untuk Ibu hebat Indonesia. Wassalamualaikum......

You might also like