You are on page 1of 15

ACARA I

PEMBUATAN LARUTAN DAN STANDARISASINYA

A. TUJUAN
Tujuan praktikum Kimia Anorganik Acara I Pembuatan
Larutan dan Standarisasinya ini adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa dapat melakukan standarisasi larutan HCl dan NaOH.
2. Mahasiswa dapat menentukan kadar Na2CO3 dengan menggunakan HCl.

B. TINJAUAN PUSTAKA
Larutan merupakan campuran homogen yang terdiri atas 2
komponen yaitu zat terlarut (solute) dan zat pelarut (solvent).
Berdasarkan konsentrasi larutannya, larutan dapat dikatakan sebagai
larutan tidak jenuh, larutan jenuh dan larutan lewat jenuh. Larutan
jenuh adalah larutan yang dapat mengandung sebanyak-banyaknya
(maksimal) zat pada suhu tertentu. Jika zat terlarut dalam jumlah
sedikit maka disebut sebagai larutan encer, sedangkan jika zat terlarut
dalam jumlah banyak maka disebut larutan pekat. Larutan yang
mengandung zat terlarut lewat dari ukurannya disebut larutan lewat
jenuh. Larutan tidak jenuh akan membentuk endapan yang tidak larut.
Contoh dari larutan adalah gula dan air, gula sebagai zat terlarut dan
air sebagai zat pelarutnya. Larutan juga dapat terjadi antara dua zat
yang sulit dipisahkan, misalkan alkohol dengan air. Dalam kasus
seperti ini, senyawa terbanyak dalam campurannya disebut dengan
pelarut dan yang lebih sedikit dalam campurannya disebut zat terlarut.
Ada dua cara untuk menyatakan konsentrasi larutan, yaitu
dengan jumlah berat yang terkandung dalam sejumlah berat tertentu
zat pelarutnya (persentase berat, jumlah berat yang terkandung,
kemolalan, dan fraksi mol), dan dengan jumlah berat zat yang
terkandung dalam volume tertentu larutannya (kenormalan dan
kemolaran). Persentase berat adalah jumlah gram zat yang terkandung
dalam 100 gram larutannya. Kemolalan adalah sejumlah mol zat yang
terkandung dalam tiap 1000 gram pelarutnya. Sedangkan fraksi mol
adalah perbandingan antara jumlah mol salah satu zat penyusunnya
dengan jumlah mol keseluruhan. Nilai fraksi mol zat terlarut jita
ditambahkan dengan nilai fraksi mol zat pelarut nilainya akan 1
(Pringgomulyo dan Wardio, 1982).
Molaritas didefinisikan sebagai jumlah mol zat terlarut dalam
satuan liter larutan (mol/liter atau milimol/mililiter). Sedangkan
normalitas didefinisikan sebagai sejumlah massa yang setara
(ekuivalen) dengan zat terlarut yang terkandung dalam satu liter
larutan atau jumlah miliekuivalen per milimeter. Dari definisi dan
fakta menunjukkan bahwa massa ekuivalen dari asam harus selalu
dinetralkan dengan basa, dan begitupun sebaliknya, dapat ditulis
sebagai volume asam x normalitas asam = volume basa x normalitas
basa (Guerrant, 1972).
Ketika basa ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam larutan
asam, pH larutan meningkat pada setiap tetes penambahan basa. pH
akan meningkat sedikit demi sedikit seiring dengan penambahan basa
dan akan terjadi kenaikan pH yang sangat tajam saat asam mencapai
titik ekuivalen, ketika asam persis dinetralkan oleh basa. Seluruh
proses penambahan basa pada asam dan penentuan titik akhir disebut
titrasi. Saat asam tepat dinetralkan oleh basa, saat inilah yang disebut
dengan titik akhir titrasi (Rosenberg dan Lawrence, 1990).
Proses titrasi terdiri dari penambahan bertahap volume larutan
yang telah diketahui konsentrasinya, diukur dari larutan yang
konsentrasinya tidak diketahui. Titik ekuivalen ini akan terdeteksi
dengan bantuan indikator yang cocok. Phenolphthalein yang berwarna
merah dalam larutan basa dan yang tidak berwarna di larutan asam
seringkali digunakan untuk titrasi asam. Titik akhir ini menyebabkan
perubahan warna yang permanen setelah pencampuran. Hanya setetes
dari zat pentiter, akan memberi dampak perubahan warna yang
permanen pada larutan. Analisis volumetrik dapat dilakukan dalam
presisi yang sama sebagai proses gravimetri penimbangan. Larutan
yang konsentrasinya diketahui dijadikan sebagai standar acuan yang
biasa disebut larutan standar. Konsentrasi relatif dua larutan dan
normalitas zat yang belum diketahui dapat ditemukan dari volume
relatif dari larutan (larutan pentiter) yang digunakan
(Frantz dan Malm, 1963).
Indikator titrasi asam basa digunakkan agar titik akhir titrasi
dapat terlihat dan dibedakan dengan jelas pada analisis volumetri.
Suatu zat dapat dijadikan sebagai indikator apabila dapat berubah
warna jika ditambahkan asam atau basa seiring dengan perubahan ion
hidrogen [H+] dan ion hidroksida [OH-] atau perubahan pH-nya.
Indikator titrasi asam basa biasanya adalah senyawa asam lemah atau
basa lemah yang dapat mendonorkan ion hidrogen untuk membentuk
basa konjugasi atau mendonorkan ion hidroksida untuk membentuk
asam konjugasinya. Indikator-indikator yang sering digunakan dalam
percobaan adalah indikator sintetik seperti Phenolphtalein (PP), metil
jingga, metil merah, brontimol biru dan sebagainya. Karakter dari
indikator dapat membantu kita menentukan indikator manakah yang
cocok untuk asam kuat, basa kuat dan sebagainya. Sebagai contoh,
indikator Phenolphtalein sangat cocok untuk titrasi asam kuat dan
basa kuat, karena pada kondisi basa ia akan tidak berwarna dan pada
kondisi asam akan berwarna merah (Marwati, 2012). Berikut tabel
indikator beserta dengan trayek ph-nya,

Tabel 1.1 Indikator Asam-Basa


Perubahan Warna
Indikator Trayek pH
dengan Naiknya pH
asam pikrat tidak berwarna-kuning 0,1-0,8
biru timol merah-kuning 1,2-2,8
2,6-dinitrofenol tidak berwarna-kuning 2,0-4,0
kuning metil merah-kuning 2,9-4,0
biru brontimol kuning-biru 3,0-4,6
jingga metil merah-kuning 3,1-4,4
hijau bromkresol kuning-biru 3,8-5,4
merah metil merah-kuning 4,2-6,2
lakmus merah-biru 5,0-8,0
ungu metil ungu-hijau 4,8-5,4
p-nitrofenol tidak berwarna-kuning 5,6-7,6
ungu bromkresol kuning-ungu 5,2-6,8
merah netral merah-kuning 6,8-8,0
merah fenol kuning-merah 6,8-8,4
p-a naftolftalein kuning-merah 7,0-9,0
fenolftalein tidak berwarna-merah 8,0-9,6
timolftalein tidak berearna-biru 9,3-10,6
kuning R alizarin kuning-lembayung 10,1-12,0
1,3,5-trinitrobenzena tidak berwarna-jingga 12,0-14,0

Sumber: Day dan Underwood, 1986


Terdapat dua penyebab kesalahan (error) dalam penetapan titik
akhir suatu titrasi dengan menggunakan indikator yang tampak.
Penyebab yang pertama adalah kesalahan akan terjadinya indikator
yang digunakan tidak berubah warna pada pH yang sesuai. Kesalahan
ini adalah kesalahan terpastikan dan dapat dikoreksi dengan suatu
blanko indikator. Indikator blanko semata-mata adalah volume asam
atau basa yang diperlukan untuk mengubah pH dari pH titik
kesetaraan ke pH dimana indikator akan berubah warna. Biasanya
blanko ini ditetapkan secara eksperimental. Kesalahan kedua terjadi
dalam hal asam atau basa yang sangat lemah, dimana lereng kurva
titrasi tidak besar dan dan karena itu perubahan warna pada titik-titik
akhir titrasi tidak tajam. Kesalahan ini disebabkan oleh kurang
cermatan dalam menentukan akhir dari perubahan warna. Penggunaan
pelarut bukan air dapat mempertajam titik akhir. Untuk mempertajam
perubahan warna dengan menggunakan beberapa indikator dapat
digunakan campuran dari 2 indikator atau campuran suatu indikator
dengan zat warna yang tidak tergantung terhadap pH. Jika metil
termodifikasi yang dikenal untuk titrasi karbonat adalah suatu
campuran metil jingga dan zat warna xilena sianola FF. Zat warna ini
menyerap beberapa panjang gelombang yang diteruskan oleh kedua
bentuk berwarna, yang dengan demikian membuang daerah tumpang
tindih dari kedua warna itu. Pada suatu pH pertengahan, metil jingga
mulai memiliki warna yang hampir komplementer dengan warna
xilena sianola FF, sehingga larutan tampak keabuan. Perubahan warna
ini lebih mudah dideteksi apabila perubahan bertahap metil jingga itu
dari kuning ke merah lewat uk kristal rona jingga. Banyak campuran 2
indikator telah direkomendasikan untuk memperbaiki perubahan
warna (Day dan Underwood, 1986).
Metil jingga merupakan senyawa azo yang berbentuk kristal
berwarna kuning kemerahan, metil jingga larut dalam air panas dan
larut dalam alkohol. Metil jingga memiliki pKa 3,46 dan berwarna
merah dalam keadaan asam serta berwarna kuning dalam keadaan
basa. Metil jingga dapat digunakan untuk mentitrasi asam mineral dan
basa kuat, serta menenukan alkalinitas dari air tetapi tidak dapat
digunakan untuk asam organik (Suirta, 2010).
Dalam percobaan standarisasi digunakan garam boraks. Boraks
merupakan garam natrium sub kelas karbonat dengan rumus kimia
Na2B4O7.10H2O atau Na2[B4O5(OH)4].8H2O. Boraks adalah suatu
senyawa yang berbentuk kristal, berwarna putih, tidak berbau, larut
dalam air dan stabil pada suhu dan tekanan normal. Dan untuk
percobaan menentukan kadar digunakan natrium karbonat. Natrium
karbonat atau yang lebih dikenal dengan nama komersil soda abu/
soda kue (Na2CO3) yang banyak digunakan dalam pembuatan sabun,
deterjen, pembasmi serangga, obat, dan bahan pengawet. Natrium
karbonat memiliki sifat tidak berwarna, tidak berbau dan larut dalam
air (Nugroho dan Darmono, 2010).
Proses titrasi dilakukan dengan alat bantu yaitu buret serta
statif. Banyak penelitian di bidang pangan yang menggunakan proses
titrasi, salah satunya adalah untuk penelitian tentang penentuan bahan
pengawet benzoat (natrium benzoat maupun ssam benzoat) pada saus
tomat yang beredar di wilayah kota Denpasar. Analisis dilakukan
dengan titrasi asam-basa, dengan cara mengekstrasi benzoat dengan
pelarut dietil eter. Secara kualitatif ditemukan bahwa semua saus
tomat baik yang bermerek maupun tidak semuanya mengandung asam
benzoat (Siaka, 2007).

C. METODE PENELITIAN
1. Waktu dan Tempat Penelitian
Praktikum Acara I Pembuatan Larutan dan Standarisasinya
dilaksanakan pada hari Senin, 20 Oktober 2014 pukul 15.00-17.00
WIB bertempat di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan
Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
2. Bahan dan Alat
a. Bahan
i. Padatan Boraks Murni
ii. Padatan Asam Oksalat
iii. Larutan HCL
iv. Larutan NaOH
v. Padatan Na2CO3
vi. Indikatol Methyl Orange (MO)
vii. Indikator Phenolphtalein (PP)
viii. Aquades
b. Alat
i. Pipet tetes
ii. Labu takar
iii. Erlenmeyer
iv. Timbangan analitik
v. Beaker glass
vi. Buret
vii. Statif
3. Cara Kerja
a. Standarisasi Larutan HCl 0,1 N dengan Larutan Borax

Boraks murni

Aquades

Penimbangan 0,4 gram

MO
Pelarutan dalam labu takar 50 mL
sampai tanda tera

HCl
Homogenisasi

Pemindahan larutan ke dalam


erlenmeyer

Penambahan indikator 3 tetes

Prosers titrasi

Perhitungan N HCl

b. Standarisasi NaOH dengan Asam Oksalat


N HCl
Asam Oksalat
Penimbangan 0,1 gram

Pelarutan dalam labu takar 20 mL


sampai tanda tera Aquades

Homogenisasi

Pemindahan larutan ke dalam


erlenmeyer

Penambahan indikator 3 tetes PP

Proses titrasi NaOH

Perhitungan N NaOH

c. Penentuan Kadar Na2CO3


N NaOH
Natrium Karbonat
Penimbangan 0,75 gram

Pelarutan dalam labu takar 50 ml Aquades


sampai tanda tera

Homogenisasi

Pemindahan 10 ml larutan ke MO
dalam erlenmeyer
HCl
Penambahan indikator 3 tetes

Proses titrasi Kadar Na2CO3

Perhitungan Kadar Na2CO3


D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1.2 Standarisasi Larutan HCl dengan Boraks

m boraks V HCl Warna Larutan


N HCl
(gr) (ml) Awal Proses Akhir
0,4 20,2 0,104 jingga jingga orange
0,4 21 0,100 jingga jingga orange
0,4 22,5 0.093 jingga jingga orange
0,4 22 0,095 jingga jingga orange
0,4 18,8 0,111 jingga jingga orange
Sumber: Laporan Sementara

Tabel 1.3 Standarisasi Larutan NaOH dengan Asam Oksalat

m asam Warna Larutan


V NaOH
oksalat N NaOH
(ml) Awal Proses Akhir
(gr)

0,1 16,4 0,097 tidak tidak merah


berwarna berwarna muda
0,1 16,5 0,096 tidak tidak merah
berwarna berwarna muda
0,1 15,7 0,101 tidak tidak merah
berwarna berwarna muda
0,1 18,5 0,086 tidak tidak merah
berwarna berwarna muda
0,1 14 0,113 tidak tidak merah
berwarna berwarna muda
Sumber: Laporan Sementara
Tabel 1.4 Penentuan Kadar Na2CO3

Kadar Warna Larutan


V HCl
N HCl Na2CO3
(ml) Awal Proses Akhir
(%)

0,101 20,3 72,667 jingga jingga orange


0,101 21,7 77,333 jingga jingga orange
0,101 24,5 87,333 jingga jingga orange
0,101 22,5 80,000 jingga jingga orange
0,101 23 82,000 jingga jingga orange
Sumber: Laporan Sementara

Dalam melakukan percobaan atau analisis kimia, banyak


larutan-larutan yang tidak diketahui konsentrasinya. Hal tersebut dapat
menghambat praktikan dalam melakukan percobaan dan analisis kimia.
Ada banyak cara untuk mengungkapkan nilai konsentrasi dalam larutan,
bisa dengan molaritas, normalitas, molalitas, fraksi mol, dan
sebagainya. Dalam praktikum kali ini, konsentrasi ditentukan melalui
normalitasnya. Untuk mengtahui normalitas sebuah larutan, dapat
dilakukan standarisasi larutan tersebut. Larutan yang tidak diketahui
normalitasnya dapat diketahui dengan menggunakan larutan lain yang
sudah diketahui normalitasnyaa. Larutan yang normalitasnya diketahui
dijadikan sebagai standar acuan yang biasa disebut larutan standar.
Konsentrasi relatif dua larutan dan normalitas zat yang belum diketahui
dapat ditemukan dari volume relatif dari larutan (larutan pentiter) yang
digunakan (Frantz dan Malm, 1963).
Pada praktikum kali ini, percobaan pertama dilakukan dengan
mengetahui normalitas larutan HCl dengan menggunakan larutan
boraks, mengetahui normalitas larutan NaOH dengan menggunakan
larutan asam oksalat serta penentuan kadar Na2CO3 dengan HCl.
Standariasi dilakukan dengan titrasi dengan bantuan indikator PP dan
MO. Tabel 1.2 menjabarkan standarisasi larutan HCl dengan boraks.
Dari hasil percobaan, didapatkan volume larutan HCl untuk masing-
masing titrasi adalah 20,2 ml; 21 ml; 22,5 ml; 22 ml; dan 18,8 ml.
Massa molekul relatif boraks diketahui sebesar 382, maka dari itu dapat
dicari normalitas dari HCl. Dari analisis perhitungan yang telah
dilakukan, didapat hasil normalitas HCl sebesar 0,104 N; 0,100 N;
0,093 N; 0,095 N; dan 0,011. Rata-rata dari normalitas HCl yang
didapat adalah 0,101 N. Dari rata-rata normalitas HCl yang didapat,
dapat diketahui bahwa angka yang didapat tersebut sesuai dengan nilai
normalitas HCl yang telah ditentukan sebelumnya yaitu 0,1 N.
Pada tabel 1.3 menjabarkan standarisasi larutan NaOH dengan
asam oksalat. Dari hasil percobaan, didapatkan volume larutan NaOH
untuk masing-masing titrasi adalah 16,4 ml; 16,5 ml; 15,7 ml; 18,5 ml;
14 ml. Massa molekul relatif asam oksalat adalah 126, maka dari itu
dapat dicari normalitas NaOH. Dari analisis perhitungan yang telah
dilakukan, didapatkan normalitas NaOH sebesar 0,097 N; 0,096 N;
0,101 N; 0,086 N; 0,113 N. Sehingga didapatkan rata-rata normalitas
NaOH 0,099 N. Dan jika dibulatkan didapatkan normalitas NaOH
sebesar 0,1 N. Dari rata-rata normalitas NaOH yang didapat, dapat
diketahui bahwa angka tersebut sesuai dengan nilai normalitas NaOH
yang telah ditentukan sebelumnya yaitu 0,1 N. Reaksi yang terjadi
antara asam oksalat dengan NaOH adalah
H2C2O4 + 2NaOHNa2CO4 + 2H2O
Sedangkan pada Tabel 1.4 menjabarkan penentuan kadar
Na2CO3. Dalam menentukan kadar Na2CO3, volume larutan yang dibuat
sebesar 50 ml dan volume larutan yang dititrasi sebesar 10 ml. Dari
hasil percobaan, didapatkan volume larutan HCl untuk masing-masing
titrasi adalah 20,3 ml; 21,7 ml; 24,5 ml; 22,5 ml; 23 ml. Dari analisis
perhitungan yang telah dilakukan, didapatkan kadar Na2CO3 sebesar
72,667%; 77,333%; 87,333%; 80%; 82%. Sehingga didapatkan rata-
rata kadar Na2CO3 79,9%. Reaksi yang terjadi antara natrium karbonat
dengan asam klorida adalah
Na2CO3 + 2HCl2NaCl+H2CO3
Proses titrasi suatu larutan dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Jenis larutan itu sendiri merupakan salah satu faktor penentunya. Yang
dimaksud jenis larutan adalah, apakah larutan dititrasi oleh asam atau
basa yang kuat maupun lemah. Jika larutan yang digunakan adalah
larutan basa, maka larutan tersebut dititrasi dengan larutan asam begitu
pun sebaliknya. Indikator asam-basa yang digunakan juga berpengaruh
dalam proses titrasi. Indikator yang digunakan harus sesuai dengan
trayek pH larutan tersebut, contohnya tidak sesuai apabila titrasi boraks
dengan HCl menggunakan indikator PP, karena trayek pHnya berbeda.
Proses titrasi juga dipengarui oleh faktor-faktor teknis yang disebabkan
oleh praktikan sendiri. Saat melakukan proses titrasi, praktikan tidak
boleh membuka kran buret terlalu lama sehingga larutan mengalir
dengan deras. Penambahan larutan dilakukan secara perlahan-lahan dan
erlenmeyer juga harus digoyang-goyangkan sehingga larutan menjadi
homogen. Ketelitian peneliti dalam melihat perubahan warna juga
berpengaruh. Untuk mengurangi resiko ketidaktelitian praktikan dalam
perubahan warna, dapat digunakan kombinasi indikator asam-basa yang
dicampur dengan zat pewarna yang tidak terpengaruh dalam kondisi
asam maupun basa (Day dan Underwood, 1986).
Pada proses titrasi, titik ekuivalen dapat diketahui dengan
adanya bantuan indikator. Titik ekuivalen adalah suatu titik saat asam
tepat dinetralkan oleh basa. Indikator umumnya adalah senyawa yang
berwarna, senyawa tersebut akan berubah warna karena adanya
perubahan pH. Indikator dapat menanggapi munculnya kelebihan titran
dengan adanya perubahan warna. Indikator berubah warna karena
sistem kromofornya diubah oleh reaksi asam-basa (Suirta, 2010).
Pada praktikum kali ini, digunakan indikator PP untuk titrasi
basa dan indikator MO untuk titrasi asam. Karakter dari indikator dapat
membantu kita menentukan indikator manakah yang cocok untuk asam
kuat, basa kuat dan sebagainya. Indikator Phenolphtalein sangat cocok
untuk titrasi basa kuat, karena pada kondisi basa ia akan tak berwarna
dan pada kondisi asam akan berwarna merah (Marwati, 2012). Selain
itu, perubahan warna PP juga dapat terdeteksi dengan jelas, karena
perubahannya adalah dari tak berwarna hingga ke merah. Warna
ditimbulkan saat titik akhir titrasi sangatlah kontras. Digunakannya
indikator MO untuk titrasi asam adalah karena trayek pH MO berkisar
3,1-4,4 dengan perubahan warna merah ke kuning. Trayek pH tersebut
cocok dengan titrasi asam.
Fenolftalein adalah indikator titrasi yang lain yang sering
digunakan, dan fenolftalein ini merupakan bentuk asam lemah yang
lain. Pada kasus ini, asam lemah tidak berwarna dan ion-nya berwarna
merah muda terang. Penambahan ion hidrogen berlebih menggeser
posisi kesetimbangan ke arah kiri, dan mengubah indikator menjadi tak
berwarna. Penambahan ion hidroksida menghilangkan ion hidrogen dari
kesetimbangan yang mengarah ke kanan untuk menggantikannya atau
mengubah indikator menjadi merah muda.
Dalam dunia pangan, standarisasi banyak dilakukan untuk
mengkaji kandungan dalam suatu zat atau larutan, contohnya adalah
penelitian pengawet benzoat dalam saos tomat dan pengukuran kadar
vitamin C dalam suatu larutan. Telah dilakukan penelitian tentang
penentuan bahan pengawet benzoat (Natrium benzoat maupun Asam
benzoat) pada saus tomat yang beredar di wilayah kota Denpasar.
Analisis dilakukan dengan titrasi asam-basa, dengan cara mengekstrasi
benzoat dengan pelarut dietil eter. Secara kualitatif ditemukan bahwa
semua saus tomat baik yang bermerek maupun tidak, semuanya
mengandung asam benzoat (Siaka, 2007).
Alat titrasi sederhana yang mampu mengukur kadar vitamin C
secara otomatis untuk mengurangi tingkat kesalahan pengukuran kadar
vitamin C dalam suatu larutan. Metode yang digunakan untuk
mengukur kadar vitamin C adalah metode titrasi asam-basa, yang
jumlah asam pada larutan setara pula dengan jumlah basa dalam larutan
(Ika, 2009).

E. KESIMPULAN
Dari percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Pada standarisasi HCl dengan larutan borax, didapatkan normalitas
HCl sebesar 0,1 N.
2. Pada standarisasi NaOH dengan larutan asam oksalat, didapatkan
normalitas NaOH sebesar 0,1 N.
3. Pada penentuan kadar Na2CO3 dengan dengan menggunakan
larutan HCl, didapatkan kadar Na2CO3 sebesar 79,9%.

DAFTAR PUSTAKA
Day, R.A dan A.L. Underwood 1986. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi Kelima.
Jakarta: Erlangga.

Frantz, Harper W dan Lloyd E. Malm 1963. Fundamental Experiments for


College Chemistry. United States of America: W. H. Freeman and Compa.

Guerrant, William B 1972. Experimental General Chemistry. United States of


America: Burgess Publishing Company.

Harahap, Hamidah 2006. Pengaruh Penambahan Buffer Sodium Citrat terhadap


Higroskopisitas Permen Rasa Buah. Jurnal Teknologi Proses 5 (2): 76.

Marwati, Siti .2012. Ekstrasi dan Preparasi Zat Warna Alami Sebagai Indikator
Titrasi Asam Basa. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidika dan
Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negri Yogyakarta, 2 Juni
2012: 1.

Nugroho, Nur Kotib Cahyo dan Darmono. Efektivitas Pengawetan Kayu


Terhadap Serangan Rayap Menggunakan Campuran Boraks Dengan
Asam Borat. Jurnal Teknik Sipil: 3.

Prinngomulyo, Saroyo, Wardio BA 1982. Kimia Umum. Jakarta: Departemen


Pendidikan.

Rosenberg, Jerome L dan Lawrence M. Epstein 1990. Theory and Problems of


College Chemistry. Sventh Edition. United State of America: McGraw-
Hill, Inc.

Suirta, I W 2010. Sintesis Senyawa orto-Fenilazo-2-Naftol Sebagai Indikator


dalam Titrasi. Jurnal Kimia 4 (1): 27-28.

You might also like