You are on page 1of 135

KADAR DEBU TOTAL DAN GEJALA ISPA RINGAN PADA

PEKERJA DEPARTEMEN PEMINTALAN DI INDUSTRI


TEKSTIL PT. UNITEX, Tbk BOGOR
TAHUN 2014

SKRIPSI

Oleh :
Alya Mutiara Basti
1110101000056

PEMINATAN KESEHATAN LNGKUNGAN


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLLAH
JAKARTA
1435 H/ 2014 M
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah safu persyaratan memperoleh gelar strata I di
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber ylmg saya gunakan dalam penelitian ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas


Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UfN)
Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya
asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka
saya bersedia menerima' sanksi yang berlaku di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri rufN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.

lakarta, Juli 2014


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN

Skripsi, Agustus 2014

Alya Mutiara Basti, NIM : 1110101000056


KADAR DEBU TOTAL DAN GEJALA ISPA RINGAN PADA PEKERJA
DEPARTEMEN PEMINTALAN DI INDUSTRI TEKSTIL PT. UNITEX
Tbk BOGOR TAHUN 2014
xv + 95 halaman + 4 tabel + 4 lampiran

ABSTRAKSI

Latar Belakang: Data statistik dari RPJMD kota Bogor tahun 2010-2014
menunjukkan, ISPA merupakan penyakit dengan presentasi tertinggi dari 10
penyakit utama. Selain itu berdasarkan data dinas kesehatan Bogor, telah terjadi
kenaikan jumlah penderita ISPA pada tahun 2012 jika dibandingkan dengan tahun
2011. Kemudian, data klinik PT.Unitex dalam lima bulan tahun terakhir tahun
2013 penyakit ISPA merupakan penyakit pertama dari 6 penyakit dengan
kunjungan pasien paling banyak pada bulan tersebut. Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui kadar debu total dan sebaran gejala ISPA ringan pada pekerja
non-shift departemen pemintalan PT.Unitex.
Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional.
Pada penelitian ini tidak dilakukan pengambilan sampel, sehingga semua pekerja
non-shift departemen pemintalan PT.Unitex diteliti. Penelitian ini menggunakan
data primer yaitu gejala ISPA ringan, kadar debu total dan karakteristik individu
pekerja (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, masa kerja, bagian kerja,
perilaku merokok dan lama pajanan). Gejala ISPA ringan dan karakteristik
individu pekerja diambil dengan menggunakan kuesioner. Kadar debu total diukur
dengan menggunakan High Volume Sampler atau HVS dengan metode gravimetri.
Hasil Penelitian : Hasil penelitian menunjukkan kadar debu total di ring spinning
sebesar 188,6 mg/m3 dan di blowing & carding sebesar 379,4 mg/m3. Kemudian,
sebanyak 57,4% pekerja mengalami gejala ISPA ringan. Selain itu sebaran gejala
ISPA ringan juga dilihat menurut karakteristik individu pekerja. Berdasarkan
umur, pekerja <36 maupun 36 tahun lebih dari setengahnya mengalami gejala
ISPA ringan. Berdasarkan masa kerja pekerja dengan masa kerja <12 tahun
sebesar 66,7% mengalami gejala ISPA ringan, dan pekerja perempuan lebih
banyak yang mengalami gejala ISPA ringan. Adapun pekerja dengan tingkat
pendidikan rendah sebanyak 42,9% mengalami gejala ISPA ringan. Pekerja ring
spinning sebanyak 76% mengalami gejala ISPA dibandingkan dengan pekerja
blowing & carding sebesar 41,4%. Pekerja dengan perilaku merokok sebanyak
setengahnya mengalami gejala ISPA ringan. Dari pekerja dengan lama pajanan
jam kerja normal sebanyak 55,6% (25 dari 45 orang) mengalami gejala ISPA
ringan.

ii
Simpulan : Jumlah pekerja yang mengalami gejala ISPA ringan sebanyak 57,4%,
dengan demikian diharapkan supaya dilakukan peningkatan kesehatan pekerja.
Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan pada kesehatan dan
kenyamanan lingkungan kerja bagi kesehatan pernapasan. Seperti melakukan
evaluasi dan perawatan berkala pada peralatan untuk mengurangi debu di tempat
kerja seperti alat penghisap debu otomatis dan ventilasi udara di area kerja. Selain
itu dapat dibatasi jam kerja lembur pekerja, dan meningkatkan kesadaran pekerja
akan perilaku preventif yang dapat mencegah gejala ISPA ringan seperti
penggunaan masker di lingkungan kerja.

Kata Kunci : ISPA pekerja, kadar debu total, tekstil, Bogor


Daftar Bacaan : 68 (1984-2014)

iii
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ISLAMIC STATE UNIVERSITY
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH, MAJOR ENVIRONMENTAL HEALTH

A Thesis, August 2014

Alya Mutiara Basti, Student Identification Number : 1110101000056

TOTAL SUSPENDED PARTICLES AND MILD ARI (ACUTE


RESPIRATORY INFECTION) SYMPTOMS AMONG SPINNING
WORKERS AT TEXTILE INDUSTRY PT.UNITEX TBK, BOGOR 2014

xv + 95 pages + 4 tables + 4 appendix

ABSTRACT

Background: Statistical report from RPJMD Bogor in 2010-2014 showed that,


ARI is the highest percentages disease among 10 other diseases. After that,
referred to Bogor health department report, number of ARIs patients has been
increased in 2012 compared in 2011. And according to Unitexs clinic report in
2013s last five months, ARI ranked first from six disease with most patient visit
each month. This research was conducted to determine total suspended particles
and the spread of mild ARI symptoms among spinning department non-shift
workers.
Methods: This study was using a cross sectional study. In this study, sampling
was not done, so that all of non-shift workers in spinning department investigated.
This study used mild ARI symptoms, total suspended particles and workers
individual characteristic as primary data. Workers individual characteristic
including mild ARI symptoms, age, sex, level of education, years of service, work
place, smoking behavior and length of exposure. ARI symptoms and workers
individual characteristic had been taken using questionare according to respiratory
symptoms by british medical council and total suspended particles had been taken
using high volume sampler or HVS with gravimetric.
Results: The results of this study showed that, total suspended particles were
measured 188,6 mg/m3 in ring spinning and 379,4 mg/m3 in blowing & carding.
And then, as many as 57,4% of workers had mild ARI symptoms. Beside that, the
spread of mild ARI symptoms also looked by worker individual characteristics.
Based on age, more than half <36 years and 36 workers had mild ARI symptoms.
Based on the years of service, among workers with less than 12 years years of
service, 66.7% had mild ARI symptoms, and more female workers who had mild
respiratory infection symptoms. As for workers with low education levels as many
as 42.9% had mild ARI symptoms. Ring spinning workers as many as 76% had
symptoms of mild ARI than blowing & carding workers by 41.4%. Workers with
smoking behavior as many as half had mild ARI symptoms. Workers with long
exposure normal working hour as many as 55.6% (25 of 45) had a mild ARI
symptoms.

iv
Conclusion: About 57,4% workers had mild ARI symptoms, thus expected to
make better improvements to the health and ease of work environment. An
evaluation and periodic maintenance on equipment such as automatic vacuum
cleaner and air ventilation in workplace needed, to reduce dust in the workplace.
Moreover, overtime hours work must be restricted and increase workers
awareness of preventive behaviors that could prevent mild ARI Symptoms such as
the use of mask in the workplace.

Keywords : Workers ARI, total suspended particles, textile, Bogor


Reading list : 68 (1984-2014).

v
:

PERI{YATAAN PERSETUJUAN

KADAR DEBU TOTAL DAN GEJALA ISPA RINGAN PADA


PEKERJA DEPARTEMEN PNUTTNTA.LAN INDUSTRI TEKSTIL
PT.UNTTEX tit , BOGOR TATTUN 2014

Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi


Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

, DISUSUN OLEH :

ALYA MUTIARA BASTI


1110101000056

Jakarta, Agustus 2014

MengeJahui ;t

Pembimbing I Pernbimbing II

*
3
i
-,(/ M.Kes
Dr. EIa Laelasari. SKM. d
I
197210022006042001 197s0215200901200s' l
PANITIA SIDAI\IG SKRIPSI
PR,OGRAM STUDI KESEHATAII MASYARAKAT
TAKULTAS KEDOIffERAN D,AT'{ ILMU KESEIIATAIY
I}NTVERSITAS ISLA1U NEGERI SYARItr' HIDAYATULLAH JAKARTA

Iakartq Agustus 2014


Mengetahui

Penguji I

!
.x

-j
NrP.19790421 200s01 2 00s

Penguji II

:=

19811 1 001

,. l_-
NIP. 197603222006M 1 008
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Alya Mutiara Basti

Tempat, tanggal, lahir : Jakarta, 27 Agustus 2014

Usia : 22 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Golongan Darah :O

Alamat : Perumahan Puri Gading Vila Tampak Siring Blok B2 no.1


Jatimelati Pondok Melati, Bekasi, 17415

Nomor Telepon : 085697141229

Email : alya.basti3@gmail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN

1996-1998 : TK Islam Yasfi Buaran

1998-2004 : SD Islam As-Syafiiyah Jatiwaringin

2004-2007 : Pesantren Al-Quran As-Syafiiyah Sukabumi

2007-2010 : MAN 3 Malang

2010-2014 : S1-Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah


Jakarta

viii
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas

berkat, rahmat, taufik dan hidayahnya, maka penyusunan skripsi yang berjudul

Kadar Debu Total (TSP) dan Gejala ISPA Pada Pekerja Departemen

Pemintalan di Industri Tekstil PT.Unitex Tbk Bogor dapat diselesaikan tepat

pada waktunya. Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini

banyak mengalami kendala. Namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari

berbagai pihak dan berkah dari Allah Swt kendala-kendala tersebut dapat diatasi.

Untuk itu penulis menghaturkan banyak terimakasih kepada :

1. Keluarga penulis yaitu ayah dan ibu penulis H. Musono Basuki SH, MH,

Hj. Eli Hartati serta saudara penulis Nisa Permata Basti dan Adiprawiro

Rahmatullah Basti yang telah memberikan doa dan bantuan moril,

motivasi, dan material bagi penulis.

2. Bapak Prof. Dr. dr. MK Tajudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

3. Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Program Studi Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta,

4. Ibu Dewi Utami Iriani, Ph.D selaku pembimbing pertama yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan saran yang berharga

dalam penyusunan skripsi ini,

ix
5. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes selaku pembimbing kedua yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan saran yang berharga

dalam penyusunan skripsi ini,

6. Teman seperjuangan Karlina Sulistiani yang telah memberikan banyak

masukan dan saran serta teman kamar Mushallina Lathifa atas dorongan

semangatnya.

7. Teman Envihsa yang telah memberikan doa dan bantuan moril, motivasi,

dan bagi penulis.

Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih terdapat

kekurangan-kekurangan, sehingga penulis mengharapkan adanya saran dan kritik

yang bersifat membangun sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik.

Jakarta, Agustus 2014

Alya Mutiara Basti

x
DAFTAR ISI

Hal
Lembar Pernyataan ............................................................................................. i
Abstrak ............................................................................................................ ii
Lembar Persetujuan ............................................................................................. vi
Daftar Riwayat Hidup ........................................................................................viii
Kata Pengantar ................................................................................................... ix
Daftar Isi ............................................................................................................ xi
Daftar Tabel .......................................................................................................xiv
Daftar Lampiran ................................................................................................. xv

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 7
1.3 Pertanyaan Penelitian ....................................................................... 8
1.4 Tujuan Penelitian.............................................................................. 8
1.4.1 Tujuan Umum ........................................................................ 8
1.4.2 Tujuan Khusus......................................................................... 8
1.5 Manfaat Penelitian............................................................................ 9
1.5.1 Manfaat bagi PT.Unitex .......................................................... 9
1.5.2 Manfaat bagi Pekerja ............................................................... 9
1.5.3 Manfaat bagi Peneliti .............................................................. 9
1.5.4 Manfaat bagi Institusi Pendidikan .......................................... 10
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ......................................... 13
2.1.1 Klasifikasi ISPA ...................................................................... 13
2.1.2 Gejala ISPA ............................................................................. 14
2.1.3 Faktor Resiko ISPA ................................................................. 15
2.2 Udara ............................................................................................... 20
xi
2.2.1 Pengertian Udara ..................................................................... 20
2.2.2 Pengertian Udara Ambien ...................................................... 21
2.2.3 Baku Mutu ............................................................................... 21
2.3 Pencemaran Udara............................................................................ 21
2.3.1 Klasifikasi Pencemaran Udara ................................................ 23
2.4 Debu ................................................................................................ 25
2.4.1 Macam-Macam Debu .............................................................. 27
2.4.2 Kadar Debu Total ................................................................... 30
2.4.3 Metode Sampling Kadar Debu Total ..................................... 30
2.4.4 Nilai Ambang Batas Debu ..................................................... 35
2.5 Sistem Pernapasan ........................................................................... 35
2.5.1 Anatomi Sistem Pernapasan .................................................... 38
2.5.2 Masuknya Debu ke Sistem Pernapasan ................................... 44
2.6 Industri Tekstil ................................................................................. 46
2.6.1 Alur Produksi Industri Tekstil ................................................ 46
2.6.2 Kegiatan di PT.Unitex ............................................................. 47
2.6.3 Distribusi Karyawan PT.Unitex ............................................. 53
2.7 Kerangka Teori ................................................................................ 54

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL


3.1 Kerangka Konsep ............................................................................. 56
3.2 Definisi Operasional ......................................................................... 59

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN


4.1 Desain Penelitian .............................................................................. 62
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian............................................................ 62
4.3 Populasi dan Sampel ........................................................................ 63
4.4 Metode Pengumpulan Data .............................................................. 63
4.5 Jenis Data ......................................................................................... 66
4.6 Pengolahan Data ............................................................................... 66
4.7 Analisis Data .................................................................................... 67
4.8 Penyajian Data.................................................................................. 67
xii
BAB V HASIL
5.1 Hasil Penelitian ................................................................................ 68
5.1.1 Gejala ISPA Ringan Pada Pekerja Pemintalan ....................... 68
5.1.2 Kadar Debu Total di Bagian Pemintalan................................. 68
5.1.3 Distribusi Karakteristik Individu Bagian Pemintalan ............. 69
5.1.4 Gejala ISPA Ringan Menurut Kadar Debu Total.................... 72
5.1.5 Gejala ISPA Ringan Menurut Karakteristik Individu ............. 73

BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian .................................................................... 77
6.2 Gejala ISPA pada Pekerja Pemintalan ............................................. 77
6.3 Kadar Debu Total di Pemintalan ...................................................... 79
6.4 Umur Pekerja Pemintalan PT.Unitex ............................................... 82
6.5 Masa Kerja Pekerja Pemintalan PT.Unitex ...................................... 84
6.6 Distribusi Jenis Kelamin Pekerja Pemintalan PT.Unitex ................. 85
6.7 Tingkat Pendidikan Pekerja Pemintalan PT.Unitex ......................... 85
6.8 Bagian Kerja Pekerja Pemintalan PT.Unitex ................................... 86
6.9 Perilaku Merokok Pekerja Pemintalan PT.Unitex ........................... 88
6.10Lama Pajanan Pemintalan PT.Unitex............................................... 99

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN


7.1 Kesimpulan....................................................................................... 91
7.2 Saran ................................................................................................. 93

LAMPIRAN

xiii
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 2.1 Baku Mutu Udara Lingkungan Industri 22
Tabel 5.1 Distribusi Gejala ISPA Ringan, Kadar Debu Total, Umur, 70
Masa Kerja, Jenis Kelamin, Pendidikan, Bagian Kerja,
Perilaku Merokok dan Lama Pajanan Pekerja non-shift
Tabel 5.2 Pemintalan PT.Unitex 73
Distribusi Gejala ISPA Ringan menurut Kadar Debu Total
Tabel 5.3 Pada Pekerja non-shift Pemintalan PT.Unitex 74
Distribusi Gejala ISPA Ringan menurut Umur, Masa Kerja,
Jenis Kelamin, Pendidikan, Bagian Kerja, Perilaku Merokok
dan Lama Pajanan Pekerja non-shift Pemintalan PT.Unitex.

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Pengambilan Data


Lampiran 2. Kuesioner
Lampiran 3. Hasil Uji Kadar Debu Total
Lampiran 4. Analisis dan Pengolahan Data dengan SPSS

xv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

ISPA merupakan salah satu masalah kesehatan yang masih ada di

negara berkembang maupun negara maju, karena masih tingginya angka

kesakitan dan kematian karena ISPA di kedua negara tersebut. Di Amerika

pneumonia yang termasuk ISPA, menempati urutan keenam dari semua

penyebab kematian, dan merupakan peringkat pertama di antara kematian

akibat penyakit infeksi. Di Spanyol angka kematian akibat pneumonia

mencapai 25%, sedangkan di Inggris dan Amerika sekitar 12% atau 25-30

per 100.000 penduduk (Agussalim,2012).

Sedangkan untuk kematian akibat ISPA di Filipina pada tahun 1999

menempati urutan ke dua dari sepuluh penyakit penyebab kematian yaitu

mencapai 11,1%. Untuk Singapura ISPA menempati peringkat ketiga dari

sepuluh penyakit yang menyebabkan kematian dengan prevalensi sebesar

10,9%. Selanjutnya ISPA menempati peringkat keempat di negara Thailand,

Vietnam dan Jepang. Prevalensi penyakit ini di Thailand sebesar 4,1%,

Vietnam 5,8% dan Jepang mencapai 10,0% (IMFJ, 2001). ISPA di

Indonesia masih termasuk masalah kesehatan utama, hal ini dilihat dari

prevalensi dan penyebarannya yang masih tinggi. Dalam satu tahun rata-rata

seorang anak di pedesaan dapat terserang penyakit ISPA sebanyak tiga kali,

dan untuk wilayah perkotaan sendiri dapat mencapai enam kali (Depkes RI,

1993).
1
2

Prevalensi penyakit ISPA nasional mencapai 25,50% dan sebanyak 16

provinsi mempunyai prevalensi diatas prevalensi nasional. Adapun 16

provinsi ini yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Bengkulu,

Bangka Belitung, Riau, Jawa Tengah, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa

Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah,

Gorontalo, Maluku, Papua Barat dan Papua (Depkes, 2008).

Data statistik dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

(RPJMD) kota Bogor tahun 2010-2014, dari sepuluh penyakit utama yang

ditemukan di puskesmas, ISPA merupakan penyakit dengan persentasi

tertinggi. Persentasi penyakit ISPA yaitu sebesar 41,99% dibandingkan

penyakit lainnya. Selain itu berdasarkan data Dinas Kesehatan Bogor, telah

terjadi kenaikan jumlah penderita ISPA dari tahun 2011 sebanyak 4383

kasus dan tahun 2011 sebanyak 5470 kasus.

Adapun faktor-faktor yang dapat memengaruhi risiko seseorang terkena

ISPA dapat dibagi menjadi empat garis besar yaitu faktor pencemaran,

karakteristik individu, perilaku pekerja, ataupun karena faktor lingkungan.

Faktor pencemaran yaitu akibat pencemaran di dalam maupun luar ruangan,

kemudian karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin dan tingkat

pendidikan juga dapat memengaruhi risiko kerentanan terkena ISPA.

Selanjutnya perilaku pekerja yaitu seperti merokok atau penggunaan masker.

Faktor lingkungan meliputi suhu, kelembapan curah hujan dan kecepatan

serta arah angin (Sormin, 2012).


3

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan tekstil di Indonesia maka

industri tekstil sebagai produsen TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) semakin

berkembang. Peningkatan kebutuhan tekstil di Indonesia dapat dilihat dari

konsumsi TPT yang semakin meningkat tiap tahunnya. Hal ini sebagaimana

yang disampaikan oleh Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) yaitu

Ade Sudrajat yang mengatakan konsumsi TPT meningkat pada tahun hingga

tahun 2013 naik yaitu sebanyak 7,5 kg.

Industri tekstil dan produk tekstil yang selanjutnya disebut TPT

merupakan perusahaan industri yang menghasilkan tekstil dan produk tekstil.

Kegiatan didalam industri tekstil secara umum meliputi kegiatan pemintalan,

penenunan, pencelupan dan penyempurnaan. Kegiatan pemintalan

memroses bahan baku menjadi benang, penenunan memroses benang

menjadi kain, pemolesan yaitu pemolesan kain terhadap warna, sedangkan

pencelupan berupa pencelupan benang sebelum benang ditenun menjadi

kain.

Bahan baku proses pembuatan benang dapat menggunakan kapas dan

poliester. Kapas merupakan serat halus yang berasal dari tumbuhan kapas

(Gossypium). Tumbuhan atau tanaman kapas telah dikembangkan di

Indonesia sejak jaman penjajahan Belanda, dilanjutkan pada jaman

penjajahan oleh Jepang hingga saat ini telah menjadi salah satu komoditi

ekspor non-migas Indonesia.

Selain menggunakan kapas yang berasal dari tumbuhan, bahan baku

untuk industri tekstil juga dapat menggunakan kapas buatan atau poliester.
4

Poliester atau polietilen tereftalat adalah sebuah polimer (sebuah rantai dari

unit yang berulang-ulang) dimana masing-masing unit dihubungkan oleh

sambungan ester (Clark, 2007).

PT.Unitex merupakan salah satu industri tekstil yang telah berdiri sejak

lama di Indonesia. Dibangun sejak tahun 1971 dan mulai berproduksi secara

komersial pada tahun 1972 di wilayah Tajur, Bogor. Perusahaan ini

merupakan perusahaan yang melibatkan kerjasama dua negara yaitu negara

Indonesia dengan negara Jepang. PT.Unitex bergerak dibidang tekstil dari

hulu hingga ke hilir yaitu mulai dari bahan mentah (kapas dan poliester)

hingga bahan jadi (kain/bahan pakaian), atau disebut dengan bidang tekstil

terpadu (PT.Unitex, 2014).

Dalam proses produksinya industri tekstil menggunakan kapas dalam

jumlah besar, kapas ini kemudian akan dicacah supaya mengembang

sebelum diolah lebih lanjut. Pencacahan ini dilakukan secara manual oleh

pekerja tekstil bagian awal produksi di departemen pemintalan. Dalam satu

hari PT.Unitex dapat menggunakan kapas dan poliester rata-rata sebanyak 8

bal, dengan berat 1 balnya kira-kira sebesar 227 Kg. Sehingga dalam satu

hari kira-kira PT.Unitex menggunakan kapas dan poliester mencapai 1816

Kg. Pencacahan dari kapas ini seringkali melepaskan kotoran-kotoran

berupa debu halus dari kapas mentah ke udara. Dengan jumlah 8 bal perhari

maka dapat diperkirakan akan banyak debu halus yang terdeposisi di udara

dan berisiko untuk terhirup ke saluran pernapasan pekerja.


5

Debu di lingkungan kerja dapat berpengaruh terhadap kesehatan, salah

satunya kepada sistem pernapasan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan

dalam penelitian Nugrahaeni mengenai analisis faktor risiko debu terhadap

fungsi paru. Di penelitian ini disebutkan gangguan fungsi paru pekerja

secara bermakna disebabkan oleh kadar debu di udara pada ruang kerja, dan

diperberat oleh masa kerja, kebiasaan merokok, dan riwayat penyakit paru

(Nugrahaeni 2004).

Debu yang dihisap oleh pekerja dapat menyebabkan gangguan fungsi

paru yang merupakan organ utama pernafasan. Hal ini ditandai dengan

menurunnya fungsi paru yang pada stadium lanjut dapat menyebabkan

turunnya elastisitas paru. Turunnya elastisitas paru kemudian dapat

mengurangi volume penampungan volume udara (Marsam, 2003).

Dalam jurnal mengenai gejala sakit di pernapasan dan fungsi paru yang

dilakukan pada pekerja tekstil di Nigeria, pekerja yang terekspos debu dari

kapas mentah mengalami keluhan batuk, produksi phlegm atau dahak,

rhinitis, bersin-bersin, sakit pada dada, dan susah napas. Gejala pernapasan

ini lebih tinggi di daerah kerja yang berdebu dibanding daerah kerja lainnya

di industri tekstil, yaitu di departemen pemintalan dan penenunan (Nagoda

dkk, 2011).

Selain itu, studi epidemiologi yang meneliti debu TSP dan

hubungannya dengan fungsi paru pekerja di lingkungan industri semen

menemukan bahwa kadar debu yang di industri semen ini telah melebihi

baku mutu yaitu sebesar 32,59 mg/m3. Berdasarkan pengukuran, ditemukan


6

sebanyak 64,4% dari responden yang diteliti mengalami gangguan fungsi

paru (Setiawan, 2002).

Dalam penelitian yang berjudul Hubungan pajanan debu dengan

kejadian ISPA ringan pekerja di PT.Texmaco yang bertujuan untuk

menganalisis hubungan pajanan debu dengan ISPA ringan pada pekerja,

ditemukan adanya hubungan antara pajanan debu dengan kejadian ISPA

ringan pada tenaga kerja. Dengan nilai p= 0,002 dan x2 serta odds ratio

sebesar 9,68 (Wuninggar, 2002).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Alemu, Abera dan Gail dalam

jurnalnya yang berjudul Byssinosis and other respiratory symptomps among

factory workers in Akaki textile factory dengan metode potong lintang ini

ditemukan hubungan yang kuat antara pajanan debu di industri tekstil

dengan gangguan pernafasan. Debu ini diketahui memiliki hubungan yang

kuat dengan bisinosis atau yang lebih dikenal dengan sindrom paru-paru

coklat (brown lung disease) yang merupakan salah satu penyakit ISPA.

Selain itu juga berpengaruh terhadap penyakit bronkhitis dan gejala

gangguan pernafasan lainnya seperti batuk, flek dan dyspnea (Alemu dkk,

2010).

Risiko gangguan pernafasan yang ditimbulkan debu di lingkungan

kerja industri tekstil ini berbeda menurut bagian dari kegiatan industri tekstil.

Bagian yang memiliki kadar debu cukup tinggi adalah di departemen

pemintalan. Menurut studi yang dilakukan pada pekerja tekstil di Karachi,

Pakistan ditemukan bahwa debu yang terdapat di bagian spinning atau


7

pemintalan berpengaruh terhadap tingginya penyakit bisinosis (Memon dkk,

2008).

Data klinik PT.Unitex dalam lima bulan tahun terakhir menyebutkan

pada Agustus, September, Oktober dan Desember 2013 penyakit ISPA

merupakan penyakit pertama dari 6 penyakit dengan kunjungan pasien

paling banyak pada bulan tersebut. Sedangkan pada bulan November, ISPA

menempati urutan kedua dengan urutan pertamanya merupakan penyakit

otot (Laporan Bulanan Klinik PT.Unitex, 2013).

Berdasarkan pajanan tersebut peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dan pengukuran kadar debu total di lingkungan kerja pada

industri tekstil khususnya di PT.Unitex. Pengukuran ini akan dilakukan di

departemen pemintalan atau spinning. Selain melakukan pengukuran kadar

debu total penulis juga ingin mengetahui sebaran pekerja yang mengalami

gejala ISPA ringan pada departemen pemintalan di PT.Unitex.

1.2 Rumusan Masalah

Industri tekstil merupakan industri yang mengolah bahan baku yaitu

kapas dan poliester menjadi produk tekstil. Di dalam proses produksinya

terutama di departemen pemintalan terdapat banyak debu yang terutama

berasal dari residu kapas mentah. Salah satu bagian di industri tekstil yang

banyak menghasilkan debu adalah di departemen pemintalan. Jika cuaca

sedang panas dan terang seringkali debu yang berasal dari kapas ini dapat
8

dilihat secara kasat mata melayang-layang di udara. Debu ini berisiko

menyebabkan berbagai gangguan pernapasan.

Menurut data puskesmas Bogor didapatkan bahwa ISPA merupakan

penyakit dengan persentasi tertinggi dan merupakan penyakit sepuluh besar.

Data dari klinik PT.Unitex juga menyebutkan dalam 5 bulan terakhir tahun

2013 ISPA masuk ke dalam tiga penyakit utama (PT.Unitex 2013).

Berdasarkan pemaparan tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui kadar

debu total di departemen pemintalan dan sebaran pekerja di tempat tersebut

yang memiliki gejala ISPA ringan.

1.3. Pertanyaan Penelitian

1.3.1 Umum

Bagaimanakah kadar debu total pada bagian pemintalan di PT. Unitex

dan distribusi gejala ISPA ringan pada pekerja di bagian tersebut?

1.3.2 Khusus

a) Berapakah kadar debu total yang terukur di departemen pemintalan di

PT. Unitex Tbk. Tajur, Bogor ?

b) Bagaimanakah sebaran pekerja di departemen pemintalan yang

mengalami gejala ISPA ringan berdasarkan area kerja ?

c) Bagaimanakah karakteristik individu pekerja (umur, jenis kelamin,

masa kerja, bagian kerja, tingkat pendidikan, perilaku merokok, lama

pajanan) di departemen pemintalan PT.Unitex Bogor ?

d) Bagaimanakah gejala ISPA ringan pekerja menurut karakteristik

individu?
9

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kadar debu total dan

distribusi pekerja yang mengalami gejala ISPA ringan di departemen

pemintalan PT. Unitex Tahun 2014.

1.4.2 Tujuan Khusus

a) Mengetahui kadar debu total pada bagian pemintalan di beberapa titik

pengukuran.

b) Mengetahui distribusi pekerja departemen pemintalan PT.Unitex yang

mengalami gejala ISPA ringan berdasarkan area kerja.

c) Mengetahui karakteristik individu pekerja (umur, jenis kelamin, masa

kerja, bagian kerja, tingkat pendidikan, perilaku merokok, lama

pajanan) di departemen pemintalan PT.Unitex Bogor.

d) Mengetahui gejala ISPA ringan pekerja menurut karakteristik individu.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat bagi PT. Unitex

a) Dapat mengetahui data terbaru dari hasil penelitian ini yaitu kadar

debu total di departemen pemintalan pada Mei-Juni Tahun 2014.

Dengan demikian, jika diperlukan dapat dilakukan langkah-langkah

penanggulangan dan pencegahan bila kadar debu total di atas baku

mutu.

b) Mengetahui sebaran pekerja yang memiliki gejala ISPA ringan pada

Mei-Juni 2014.
10

1.5.2 Manfaat bagi pekerja

a) Menambah pengetahuan dan kesadaran pekerja akan dampak debu

bagi kesehatan dan faktor risiko dari gejala ISPA ringan di lingkungan

kerja.

1.5.3 Manfaat bagi peneliti

a) Menambah pengetahuan dan melakukan studi keilmuan mengenai

debu dan gejala ISPA ringan.

b) Menerapkan berbagai mata kuliah secara praktikal di lapangan yang

kemudian dapat menambah pengalaman kerja peneliti.

1.5.4 Manfaat bagi institusi pendidikan

a) Terjalinnya kerjasama yang baik antara institusi pendidikan dengan

perusahaan.

b) Menambah koleksi pustaka tentang kadar debu total di industri tekstil

dan gejala ISPA ringan pada institusi.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di industri tekstil PT. Unitex Tbk Tajur, Bogor

untuk mengetahui kadar debu total lingkungan kerjan, khususnya di

departemen pemintalan pada beberapa titik pengukuran. Setelah itu juga

akan dilakukan pengambilan data untuk mengetahui sebaran pekerja yang

mengalami gejala ISPA ringan di departemen tersebut. Kemudian juga akan

dilakukan pengambilan data untuk mengetahui karakteristik individu


11

pekerja di departemen pemintalan di PT. Unitex, Bogor. Adapun

pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juni 2014.

Penulis memilih untuk melakukan penelitian di industri tekstil karena

pada industri tersebut terdapat debu yang berisiko mengganggu kesehatan

pernapasan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan desain studi cross sectional atau potong lintang. Data yang

dikumpulkan mencakup dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder.

Data primer didapat dari observasi dan pengisian kuesioner. Sedangkan data

sekunder didapat dari PT.Unitex.

Ruang lingkup penelitian terbatas pada pekerja PT. Unitex Tbk di

departemen pemintalan. Variabel dependen penelitian yaitu gejala ISPA

pada pekerja bagian pemintalan. Variabel independen yaitu kadar debu total

di titik pengukuran departemen pemintalan, umur, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, bagian kerja, perilaku merokok dan lama pajanan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

ISPA menurut WHO (2007) adalah penyakit saluran pernapasan atas

atau bawah, biasanya menular yang dapat menimbulkan berbagai spektrum

penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai

penyakit parah dan mematikan.

ISPA merupakan penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian

dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga

alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga

telinga tengah dan pleura. Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi,

saluran pernapasan dan akut (Depkes, 2006).

a. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh

manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

b. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli

beserta organ adneksanya. ISPA secara anatomis mencakup saluran

pernapasan bagian atas, saluran pernapasan bagian bawah (termasuk

jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernapasan.

c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.

Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk

beberapa penyakit yang dapat digolongkan menjadi ISPA prosesnya

dapat berlangsung lebih dari 14 hari.

12
13

2.1.1 Klasifikasi ISPA

ISPA berdasarkan tingkatannya dapat diklasifikasikan ke dalam

tiga kelompok (Depkes RI, 2002) :

a. ISPA ringan

Meliputi salah satu atau lebih gejala seperti batuk tanpa pernapasan

cepat (40 kali/menit), pilek (mengeluarkan lendir), serak, sesak

yang disertai atau tanpa disertai panas atau demam (>37C) dan

keluarnya cairan dari telinga lebih dari dua minggu tanpa rasa sakit

pada telinga.

b. ISPA sedang

Meliputi gejala ISPA ringan ditambah dengan satu atau lebih gejala

seperti pernapasan lebih cepat dari 50 kali per menit atau lebih

pada umur >1tahun dan 40 kali per menit pada umur 1-5 tahun,

panas 39C, mengi, tenggorokan kemerahan, telinga

mengeluarkan cairan disertai rasa sakit, timbul bercak di kulit

menyerupai campak dan pernapasan berbunyi.

c. ISPA berat

Meliputi gejala ISPA ringan dan sedang disertai dengan satu atau

lebih gejala seperti penarikan dada ke dalam saat napas, stidor

(napas berbunyi seperti mengorok), nafsu makan menurun. Tanda

lain seperti sianosis, kejang, dehidrasi, kesadaran menurun, nadi

>160 per menit atau tak teraba.


14

2.1.2 Gejala ISPA

Penyakit ISPA adalah penyakit yang timbul karena menurunnya

sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karean kelelahan

atau stres. Bakteri dan virus penyebab ISPA di udara bebas akan

masuk dan menempel pada saluran pernapasan bagian atas yaitu

tenggorokan dan hidung. Pada stadium awal, gejalanya berupa panas,

kering dan gatal dalam hidung, yang kemudian diikuti oleh bersin

terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta demam dan

nyeri kepala (Halim, 2000).

Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak.

Akhirnya terjadi peradangan yang disertai demam, pembengkakan

pada jaringan tertentu hingga kemerahan. Infeksi dapat menjalar ke

paru-paru, dan menyebabkan sesak atau pernapasan terhambat,

oksigen yang dihirup berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang

mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah,

infeksi saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia

(Halim, 2000).

Adapun menurut Putranto (2007), hal-hal yang mendasari

timbulnya gejala penyakit pernapasan adalah :

a. Batuk

Timbulnya gejala batuk karena iritasi partikulat adalah jika terjadi

rangsangan pada bagian-bagian peka saluran pernapasan, misalnya

trakeobronkial, sehingga timbul sekresi berlebih dalam saluran


15

pernapasan. Batuk timbul sebagai reaksi refleks saluran pernapasan

terhadap iritasi pada mukosa saluran pernapasan dalam bentuk

pengeluaran udara dan lendir secara mendadak disertai bunyi khas.

b. Dahak

Dahak terbentuk secara berlebihan dari kelenjar lendir (mucus

glands) dan sel goblets oleh adanya stimuli, misalnya yang berasal

dari gas, partikulat, alergen dan mikroorganisme infeksius. Karena

proses inflamasi, di samping dahak dalam saluran pernapasan juga

terbentuk cairan eksudat yang berasal dari bagian jaringan yang

berdegenerasi.

c. Sesak Napas

Sesak napas atau kesulitan bernapas disebabkan oleh aliran udara

dalam saluran pernapasan karena penyempitan. Penyempitan dapat

terjadi karena saluran pernapasan menguncup, oedema atau karena

sekret yang menghalangi arus udara. Sesak napas dapat ditentukan

dengan menghitung pernapasan dalam satu menit.

d. Bunyi Mengi

Bunyi mengi merupakan salah satu tanda penyakit pernapasan yang

turut diobservasikan dalam penanganan infeksi akut selama

pernapasan.

2.1.3 Faktor Resiko ISPA

Menurut berbagai penelitian sebelumnya terdapat berbagai faktor

resiko yang dapat menyebabkan terjadinya ISPA. Yaitu perilaku


16

merokok, kualitas udara, pencemaran udara dalam ruangan atau

(IAP/Indoor air pollution), pencemaran udara luar ruangan, faktor

lingkungan (suhu kelembapan dan pencahayaan), umur, lama bekerja,

dan penggunaan masker (Sormin, 2012).

a. Perilaku merokok

Merokok pada dewasa dapat menimbulkan berbagai gangguan

sistem pernapasan seperti kanker paru, gejala iritan akut, asma,

gejala pernapasan kronik, penyakit paru obstruktif kronik, infeksi

pernapasan (Tarlo dkk, 2010).

Asap rokok merupakan zat iritan yang dapat menyebabkan

infeksi pada saluran pernapasan. Asap rokok mengandung ribuan

bahan kimia beracun dan bahan-bahan yang dapat menimbulkan

kanker (karsinogen). Kebiasaan merokok dapat meningkatkan

resiko terjadinya ISPA sebanyak 2,2 kali (Suryo, 2010).

Adapun pengertian perokok menurut WHO dalam Depkes

(2004) adalah mereka yang merokok setiap hari untuk jangka

waktu minimal 6 bulan selama hidupnya dan masih merokok saat

survei dilakukan.

b. Pencemaran udara dalam ruangan

Pencemaran udara merupakan peningkatan konsentrasi zat-zat di

dalam udara yang dapat diakibatkan oleh akitivitas manusia.

Pencemaran terbagi menjadi dua yaitu pencemaran udara dalam

ruangan dan pencemaran udara luar ruangan. Pencemaran udara


17

dalam ruangan dapat berasal dari berbagai sumber baik bahan-

bahan sintetis maupun bahan alami. Pencemaran udara ini

kemudian berhubungan dengan penyakit ISPA (Fitria dkk, 2008).

c. Umur

Semakin bertambah umur seseorang maka akan terjadi

degenerasi otot-otot pernapasan dan elastisitas jaringan menurun.

Sehingga kekuatan otot-otot pernapasan dalam menghirup oksigen

menjadi menurun. Kemudian karena faktor umur yang bertambah

maka semakin banyak alveoli yang rusak dan daya tahan tubuh

semakin rendah. Karena itu seseorang tersebut rentan terkena ISPA.

Kemudian pajanan debu yang terkumpul di paru-paru juga dapat

memengaruhi menyebabkan ISPA pada seseorang dengan umur

lebih tua (Nelson dkk, 2005).

d. Jenis Kelamin

Faktor jenis kelamin merupakan salah satu variabel deskriptif

yang dapat memberikan perbedaan angka/rate kejadian pada pria

dan wanita. Perbedaan insiden penyakit menurut jenis kelamin,

dapat timbul karena bentuk anatomis, fisiologis dan sistem

hormonal yang berbeda (Noor, 2008).

e. Masa kerja

Semakin lama manusia terpapar debu di tempat kerja yang bisa

dilihat dari lama bekerja maka debu kemungkinan besar akan

tertimbun di paru-paru. Hal ini merupakan hasil akumulasi dari


18

inhalasi selama bekerja. Lama bekerja bertahun-tahun dapat

memperparah kondisi kesehatan pekerja karena frekuensi pajanan

yang sering (Sumamur, 1991).

f. Bagian Kerja

Hasil penelitian oleh Nagoda dkk (2011) pada pekerja tekstil di

Nigeria menemukan bahwa dari beberapa pekerja tekstil di bagian

kerja yang berbeda, terdapat pula perbedaan gejala pernapasan

yang dialami pekerja tersebut. Penelitian ini melibatkan pekerja

tekstil dari bagian pemintalan, penenunan, pencelupan,

pemeliharaan, pemasaran. Gejala gangguan pernapasan paling

banyak dialami oleh pekerja dari pemintalan yaitu sebanyak 27,3%.

g. Lama Pajanan

Lama pajanan debu beresiko mempengaruhi keparahan

gangguan pernapasan yang diderita oleh pekerja. Karena semakin

lama pajanan maka debu yang menumpuk semakin banyak.

Berdasarkan penelitian mengenai pengaruh pajanan debu urea

terhadap ISPA pekerja, ditemukan bahwa pekerja yang mengalami

lama pajanan debu >8 jam mengalami ISPA lebih tinggi (Florencia,

2013).

h. Penggunaan masker

Masker berfungsi untuk menghalangi partikel berbahaya yang

dapat masuk ke pernapasan. Seperti gas, uap, debu, atau udara yang

mengandung polutan, racun dan substansi lain yang mengganggu.


19

Oleh karena itu penggunaan masker dapat menjadi alat pelindung

untuk mencegah manusia menghirup partikulat yang berbahaya.

Dalam penelitian mengenai pengendalian pajanan debu yang

dilakukan di daerah Deli, ditemukan bahwa nilai fungsi paru

pekerja yang menggunakan masker rata-rata lebih tinggi sekitar

361,91 ml dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak

menggunakan masker yaitu 342,35 ml. Dengan demikian penelitian

tersebut menunjukkan ada pengaruh yang bermakna penggunaan

masker terhadap fungsi paru pekerja (Suryanta, 2009).

i Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi sangat erat hubungannya dengan

karakteristik lainnya seperti pekerjaan, pendapatan keluarga,

kebiasaan hidup keluarga, dan lain-lain. Sehingga faktor sosial

ekonomi merupakan salah satu karakteristik tentang orang yang

perlu mendapatkan perhatian tersendiri. Status sosial ekonomi

dapat menentukan bagaimana seseorang dalam menerima

pelayanan kesehatan. Dan pelayanan kesehatan merupakan salah

satu hal yang memengaruhi status kesehatan menurut teori H.L.

Blum (Noor, 2008).

j. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan dapat berpengaruh terhadap pengetahuan

seseorang. Pengetahuan kemudian merupakan salah satu faktor

yang dapat membentuk perilaku selain dari sikap dan tindakan.


20

Perilaku seseorang kemudian dapat memengaruhi status

kesehatannya.

Dalam penelitian mengenai hubungan tingkat pendidikan dan

pekerjaan ibu dengan perilaku pencegahan ISPA pada balita,

ditemukan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan

dengan perilaku pencegahan ISPA pada Balita. Terdapat

kecenderungan bagi ibu yang dengan tingkat pendidikan menengah

keatas memiliki perilaku pencegahan ISPA yang lebih baik

(Firdausia, 2013).

2.2 Udara

2.2.1 Pengertian Udara

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2012), udara

adalah campuran berbagai gas yang tidak berwarna dan tidak berbau

yang memenuhi ruang di atas bumi seperti yang kita hirup apabila kita

bernapas.

Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang

mengelilingi bumi. Komposisi campuran gas tersebut tidak selalu

konstan. Komponen yang konsentrasinya paling bervariasi adalah air

dalam bentuk uap H2O dan karbon dioksida. Jumlah uap air yang

berada di udara bervariasi tergantung cuaca dan suhu (Fardiaz, 1992).

Udara dapat diartikan sebagai campuran beberapa macam gas yang

perbandingannya tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara,

tekanan udara dan lingkungan sekitar. Komposisi campuran gas


21

tersebut tidak selalu konstan. Komponen udara yang konsentrasinya

paling bervariasi adalah air (H2O) dan Karbon Dioksida (CO2) dengan

konsentrasi sekitar 0,03% (Wardhana, 1994).

2.2.2 Pengertian Udara Ambien

Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan

troposfir yang berada di dalam wilaya yuridiksi Republik Indonesia

yang dibutuhkan dan memengaruhi kesehatan manusia, makhluk

hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya (PP No.41 Tahun 1999).

2.2.3 Baku Mutu

Baku mutu udara di lingkungan industri

Baku mutu udara di lingkungan industri menurut Keputusan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan

Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri sebagaimana yang dapat

dilihat di tabel 2.1. Kandungan debu maksimal didalam udara ruangan

dengan pengukuran 8 jam.

2.3 Pencemaran Udara

Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk

hidup, zat, energi, dan atau komponen lainnya ke dalam udara ambien oleh

kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat

tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya

(UU No. 23 Tahun 1997).


22

Tabel 2.1
Baku Mutu Udara Lingkungan Industri
No. Parameter Konsentrasi Maksimal

1. Suhu 18C 30 C

2. Kelembapan 65% - 95%

3. Debu Total 10 mg/m3

4. Asbes Total 5 serat/ml udara dengan panjang

serat 5(mikron)

5. Silikat Total 50 mg/m3

Sumber : Kepmenkes No. 1405/MENKES/SK/XI/2002

Sedangkan menurut Chambers (1976) dan Masters (1991) dalam

prinsip dasar kesehatan lingkungan oleh Mukono (2000), yang dimaksud

pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substrat fisik atau kimia

ke dalam lingkungan udara normal yang mencapai sejumlah tertentu,

sehingga dapat dideteksi oleh manusia, binatang, vegetasi dan material.

Pencemaran udara merupakan masuknya substansi atau zat apapun ke

udara yang dapat berasal dari kegiatan anthropogenik, biogenik, ataupun

dari aktivitas gunung berapi yang bukan merupakan bagian dari atmosfer

alami atau yang konsentrasinya berada di atas baku mutu di atmosfir, yang

kemudian dapat menimbulkan efek jangka pendek maupun jangka panjang

(Daly dan Paolo, 2007).

Pencemaran udara dapat berdampak pada kesehatan manusia melalui

berbagai cara. Telah banyak studi penelitian yang menyebabkan bahwa

pencemaran udara terkait dengan berbagai masalah kesehatan seperti


23

menurunnya kesehatan pernapasan dan kardiovaskuler, menurunnya fungsi

paru, meningkatkan frekuensi dan keparahan gejala gangguan pernapasan

seperti sulit bernapas dan batuk-batuk, meningkatkan kerentanan terhadap

infeksi pernapasan, mengganggu sistem saraf termasuk otak seperti

penurunan IQ dan ingatan, kanker, hingga kematian dini.

2.3.1 Klasifikasi bahan pencemar udara

Bahan pencemar udara atau dapat disebut polutan dapat dibagi

menjadi polutan primer dan polutan sekunder.

a. Polutan Primer

Polutan primer yaitu polutan yang secara langsung dikeluarkan

oleh sumbernya ke atmosfir (Mukono, 2000). Polutan primer

merupakan polutan yang mencakup 90% dari jumlah polutan di udara

sesungguhnya (Ratnani, 2008).

Polutan primer dapat berupa :

1. Polutan Gas, Terdiri dari :

a) Senyawa karbon, yaitu hidrokarbon, hidrokarbon teroksgenasi,

dan karbon dioksida (CO atau CO2).

b) Senyawa sulfur, yaitu sulfur oksida.

c) Senyawa nitrogen, yaitu oksida dan amoniak

d) Senyawa halogen, yaitu fluor, klorin, hidrogen klorida,

hidrokarbon terklorinasi dan bromin.


24

2. Partikel

Partikel adalah pencemar udara yang dapat berada bersama-sama

dengan bahan atau bentuk pencemar lainnya. Partikel dapat

diartikan secara murni atau sempit sebagai bahan pencemar yang

berbentuk padatan.

Partikel dapat berupa keadaan berikut (Wardhana, 1995).

a) Aerosol, adalah istilah umum yang menyatakan adanya partikel

terhambur dan melayang di udara.

b) Fog atau kabut adalah aerosol yang merupakan butiran air yang

ada di udara.

c) Smoke atau asap adalah aerosol yang berupa campuran antara

butir padatan dan cairan yang terhambur melayang di udara.

d) Dust atau debu adalah aerosol yang berupa butiran padat yang

terhambur dan melayang di udara karena adanya hembusan

angin.

e) Mist artinya mirip dengan kabut penyebabnya adalah butiran-

butiran zat cair (bukan butiran air) yang terhambur dan

melayang di udara.

f) Fume adalah aerosol yang berasal dari kondensasi uap logam.

g) Flume adalah asap yang keluar dari cerobong asap suatu industri.

h) Smog adalah campuran smoke dan fog.


25

b. Polutan Sekunder

Polutan sekunder merupakan polutan yang bukan dikeluarkan

secara langsung oleh sumbernya, melainkan terbentuk di atmosfir

akibat reaksi kimia antara polutan primer (Mukono,2000).

Polutan sekunder biasanya terjadi karena reaksi dari dua atau lebih

bahan kimia di udara, misalnya reaksi foto kimia. Sebagai contoh

adalah disosiasi NO2 yang menghasilkan NO dan O radikal. Proses

kecepatan dan arah reaksinya dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti

konsentrasi relatif bahan reaktan, derajat fotoaktivasi, kondisi iklim

dan topografi lokal dan adanya embun.

2.4 Debu

Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel

yang melayang di udara (Suspended Particulate Meter/SPM) dengan ukuran

1 mikron sampai dengan 500 mikron. Dalam kasus pencemaran udara baik

di dalam maupun diluar gedung debu sering dijadikan salah satu indikator

pencemaran. Digunakan untuk menunjukkan tingkat bahaya baik terhadap

lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (Pudjiastuti,

2002).

Partikel debu akan akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama

dalam keadaan melayang-layang di udara kemudian masuk ke dalam tubuh

manusia melalui pernapasan. Selain dapat membahayakan kesehatan, debu

juga dapat mengurangi jarak dan daya pandang manusia. Kemudian debu ini

dapat bereaksi secara kimia, sehingga komposisi debu di udara menjadi


26

partikel yang sangat rumit karena merupakan campuran dari berbagai bahan

dengan ukuran dan jumlah yang relatif berbeda (Pudjiastuti, 2002).

Merujuk pada International Standardization Organisation/ISO (ISO

4255-ISO, 1994) debu merupakan partikel padat berukuran kecil, yaitu

partikel yang diameternya berukuran dibawah 75m dan dapat berkurang

beratnya tetapi akan tetap bertahan dalam beberapa waktu (WHO, 1999).

Sedangkan menurut Glossary of the Atmospheric Chemistric Terms

debu didefinisikan sebagai : partikel kecil, kering dan padat yang

diproyeksikan ke udara oleh kekuatan alami seperti angin, erupsi volkanik,

dan oleh kekuatan mekanik atau proses yang dilakukan oleh manusia seperti

penghancuran, penggilingan, pengeboran, pembongkaran, penyekopan,

penyaringan dan penyapuan. Partikel debu biasanya berukuran kisaran

diameter 1 - 100m yang kemudian turun dari udara secara perlahan-lahan

karena pengaruh gravitasi (Calvert, 1990).

Dalam ilmu sains mengenai aerosol, secara umum telah disetujui bahwa

partikel dengan diameter aerodinamik >50m tidak biasanya tetap berada di

udara dalam waktu terlalu lama. Karena partikel tersebut memiliki

kecepatan terminal >7cm/detik. Namun, tergantung kondisi partikel debu

yang berukuran >100m bisa saja (tapi jarang bertahan lama) berada di

udara. Partikel debu sering ditemukan berukuran <1 m dan partikel

berukuran tersebut memiliki keceparan terminal sekitar 0,03 mm/detik. Jadi

pergerakannya di udara lebih penting diperhatikan daripada endapannya di

permukaan (WHO, 1999).


27

Dengan demikian kesimpulan dari berbagai pemaparan sebelumnya,

disimpulkan debu merupakan partikel padat yang berukuran kisaran 1 m -

100 m, yang mana dapat atau akan menjadi bertahan di udara, tergantung

sumber debu tersebut, karakteristik fisik, dan kondisi ambiennya. Adapun

didalam higiene lingkungan kerja, istilah Airborne Dust, digunakan di

lingkungan higiene perusahaan. Sedangkan untuk istilah yang merujuk pada

polusi yang berada di lingkungan atmosfir, istilah Suspended Particulate

Matter lebih sering digunakan (WHO, 1999).

2.4.1 Macam-macam debu

Debu memiliki beberapa sifat yaitu (Mengkidi, 2006):

a) Sifat pengendapan, yaitu debu yang cenderung selalu mengendap

karena gaya grafitasi bumi. Namun, karena kecilnya kadang-kadang

debu ini relatif tetap berada di udara. Debu yang mengendap dapat

mengandung proporsi partikel lebih dari pada yang ada di udara

b) Sifat permukaan basah, sifat permukaan debu akan cenderung selalu

basah dilapisi oleh air yang sangat tipis. Sifat ini penting dalam

pengendalian debu dalam tempat kerja.

c) Sifat penggumpalan, Oleh karena permukaan debu selalu basah,

sehingga dapat menempel satu sama lain dan menggumpal.

Kelembapan di bawah saturasi kecil pengaruhnya terhadap

penggumpalan debu. Akan tetapi bila tingkat kelembapan di atas titik

saturasi maka akan mempermudah penggumpalan. Oleh karena


28

partikel debu bisa merupakan inti dari pada air yang berkonsentrasi,

partikel jadi besar.

d) Sifat listrik statik, debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat

menarik partikel lain yang berlawanan dengan demikian partikel

dalam larutan debu mempercepat terjadinya proses penggumpalan.

e) Sifat Opsis, partikel yang basah/lembap lainnya dapat memancarkan

sinar yang dapat terlihat dalam kamar gelap.

Sedangkan dari jenisnya debu dikategorikan sebagai (Pudjiastuti, 2002):

a) Debu mineral : Debu ini terdiri dari persenyawaan yang kompleks

seperti : SiO2, SiO3, arang batu dan lainnya. Sifat debu ini tidak

fibrosis pada paru.

b) Debu kimia lainnya : Debu kimia dan insektisida.

c) Debu organik dan sayuran : Debu yang berasal dari tumbuh-tumbuhan

dan organik seperti tepung, kayu, kapas dan serbuk bunga. Debu

organik dapat menimbulkan efek patofisiologis dan kerusakan alveoli

atau penyebab fibrosis pada paru.

d) Debu Biohazards : Partikel hidup, cendawan dan spora.

e) Debu metalik : Debu yang mengandung unsur logam seperti Pb, Hg,

Cd, Arsen dan lainnya. Debu ini menyebabkan keracunan, akibat

absorbsi rubuh melalui kulit dan lambung.

Dari segi karakter zat debu fisik ( debu tanah, batu , mineral, fiber), kimia

(mineral organik dan inorganik), biologis (virus, bakteri , kista), dan

debu radioaktif.
29

Debu berdasarkan akibat fisiologinya terhadap tenaga kerja. Klasifikasi

debu berdasarkan tingkat bahayanya (Mengkidi, 2006):

a) Debu Fibrogenik (bahaya terhadap sistem pernapasan)

Contoh : Silika (kwarsa, chert), silicate (asbestos, talk, mica, silimate),

metal fumes, biji beryllium, bijih timah putih, beberapa bijih besi,

carborundum, batu bara (anthracite, bituminous).

b) Debu Karsinogenik (dapat menyebabkan kanker)

Contoh : debu hasil peluruhan radon, asbestos, arsenik.

c) Debu-debu beracun (toksik terhadap organ atau jaringan tubuh)

Contoh : Bijih beryllium, arsen, timbal, uranium radium, torium,

kromium, vanadium, merkuri, kadmium, antimony, slenium, mangan,

tungsten, nikel dan perak.

d) Debu radioaktif (berbahaya karena radiasi alfa dan beta)

Contoh : Bijih-bijih uranium, radium, torium.

e) Debu eksplosif

Contoh : Debu-debu metal (magnesium, aluminium, zinc, timah putih,

besi), batu bara (bituminous, lignite) bijih-bijih sulfida, debu-debu

organik.

f) Debu-debu pengganggu/nuisance dust (mengakibatkan kerugian yang

ringan terhadap manusia)

g) Inert dust / debu yang tidak bereaksi kimia dengan zat lain (tidak

mempunyai akibat pada paru-paru)


30

h) Respirable dust (debu yang dapat terhirup oleh manusia yang

berukuran <10).

i) Irrespirable dust (debu yang tidak dapat terhirup oleh manusia yang

berukuran <10).

2.4.2 Kadar Debu Total

Dalam Environmental Protection Department (EPG, 2006)

disebutkan kadar debu total atau juga dikenal sebagai partikulat

tersuspensi total (TSP) mengacu pada semua partikel di atmosfer.

Kadar debu total merupakan partikel di udara yang memiliki diameter

kurang dari 100 m (mikrometer). Di antara kadar debu total,

termasuk partikel yang dapat terhisap oleh sistem pernapasan. Partikel

ini merupakan partikel di atmosfer yang memiliki ukuran sama

dengan atau bahkan kurang dari 10 m .

2.4.3 Metode Sampling Kadar Debu Total

Pengukuran sampling udara secara umum dibagi dua yaitu

sampling udara emisi dan sampling udara ambien. Sampling udara

emisi adalah teknik sampling udara pada sumbernya seperti cerobong

pabrik dan saluran knalpot kendaraan bermotor. Sedangkan udara

ambien adalah sampling kualitas udara pada media penerima

polutan/emisi udara. Alat-alat yang digunakan untuk menguji

partikulat di udara antara lain (Arief, 2013) :


31

a. HVS (High Volume Sampler)

Menurut Lodge (1989) dalam Purigiwati (2010) pengukuran

kadar debu total atau kadar partikel tersuspensi di udara dapat

dilakukan salah satunya dengan alat HVS. Alat ini dapat mengukur

partikel dengan ukuran 0 m - 10 m. Alat ini terdiri dari beberapa

komponen seperti inlet, penyangga filter, penggerak udara,

pengontrol laju alir dan timer. Adapun ilustrasi alat ini terdapat

pada gambar 2.1.

Gambar 2.1
High Volume Sampler
Sumber : Arief, 2013
Cara operasional alat ini adalah sebagai berikut :

a. Panaskan kertas saring pada suhu 105C, selama 30 menit.

b. Timbang kertas saring, dengan neraca analitik pada suhu 105

C dengan menggunakan vinset (Hati-hati jangan sampai

tersentuh tangan)

c. Pasangkan pada alat TSP, dengan membuka atap alat TSP,

kemudian dipasangkan kembali atapnya.


32

d. Simpan alat HVS tersebut pada tempat yang sudah ditentukan

sebelumnya.

e. Operasikan alat dengan cara, menghidupkan (pada posisi

On) pompa hisap dan mencatat angka flow rate-nya (laju alir

udaranya).

f. Matikan alat sampai batas waktu yang telah ditetapkan.

g. Ambil kertasnya, panaskan pada oven listrik. Timbang kertas

saringnya.

h. Hitung kadar TSP nya sebagai mg/NM3

i. Metode penggunaan alat ini juga bisa digunakan, terhadap

pm10 atau apa pun pada pengukuran parameter logam.

b. MVS (Middle Volume Sampler)

Pengukuran dengan MVS menggunakan filter berbentuk

lingkaran dengan porositas 0,3-0,45 m, kecepatan pompa yang

dipakai untuk penangkapan debu adalah 50-500 lpm. Operasional

dari MVS sama dengan HVS, perbedaannya hanya terletak pada

ukuran filter membrannya. HVS menggunakan filter A4 persegi

panjang, sedangkan MVS menggunakan filter berukuran bulat-

diameter 12 cm (BPLHD Jabar, 2007).


33

Gambar 2.4
Middle Volume Sampler (MVS)
Sumber : BPLHD Jabar, 2007

c. LVS (Low Volume Sampler)

LVS dapat digunakan untuk mengukur partikulat di dalam

maupun luar ruangan. Pompa vakum bertujuan untuk menarik

partikulat di udara ke dalam alat, kemudian ukuran partikulat

disortir oleh pemisah (impaktor) dan partikel debu dienapkan pada

filter. Setelah itu akan dilakukan analisis secara gravimetri.

Gambar 2.3
Low Volume Sampler
Sumber : BPLHD Jabar, 2007
34

Metode pengukuran dengan LVS menggunakan filter berbentuk

lingkaran dengan porositas 0,3-,45 m dengan kecepatan pompa

penangkap 10-30 lpm (Arief, 2013).

Cara operasional alat ini sebagai berikut (SNI 16-7058-2004):

1) LVS dihubungkan dengan pompa pengisap udara dengan

menggunakan selang silikon atau teflon.

2) LVS diletakkan di titik pengukuran (di dekat tenaga kerja

terpapar debu) dengan menggunakan tripod setinggi zona

pernapasan pekerja.

3) Pompa pengisap udara dihidupkan dan lakukan

pengambilan contoh dengan kecepatan aliran udara

(flowrate) 10 l/menit.

4) Lama pengambilan contoh dapat dilakukan selama

beberapa menit hingga satu jam (tergantung kebutuhan,

tujuan dan kondisi pengukuran).

5) Pengambilan contoh dilakukan minimal 3 kali dalam 8 jam

kerja yaitu pada awal, pertengahan dan akhir shift kerja.

6) Setelah selesai pengambilan contoh, debu pada bagian luar

holder dibersihkan untuk menghindari kontaminasi.

7) Filter dipindahkan dengan menggunakan pinset ke keset

filter dan dimasukkan ke dalam desikator selama 24 jam.


35

2.4.4 Nilai Ambang Batas Debu

Nilai ambang batas atau NAB adalah standar faktor-faktor

lingkungan kerja yang dianjurkan di tempat kerja agar tenaga kerja

masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan penyakit atau

gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak

melebihi 8 jam atau 40 jam seminggu.

Nilai Ambang Batas debu mengikuti ambang batas udara ambien

yaitu berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomr 41

Tahun 1999. Atau PP RI No.41 Tahun 1999. Yang menyebutkan NAB

dalam 1 jam adalah 90 ug/Nm3 sedangkan dalam 24 jam adalah 230

ug/Nm3. Untuk debu ditempat kerja dapat mengacu pada Keputusan

Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No.1405/ MENKES/SK/XI/2002. Di

dalam peraturan ini disebutkan NAB maksimal di industri sebesar 10

mg/m3.

2.5 Sistem Pernapasan

Sistem pernapasan terutama berfungsi untuk pengambilan oksigen (O2)

oleh darah dan pembuangan karbon dioksida (CO2). Paru dihubungkan

dengan lingkungan luarnya melalui serangkaian saluran, berturut-turut

hidung, faring, laring, trakea dan bronki. Pertukaran gas antara oksigen yang

dihirup dari udara masuk ke dalam darah dan karbondioksida yang akan

dikeluarkan melalui traktus respiratorius (jalan napas) terjadi didalam paru-

paru. Kemudian masuk ke tubuh melalui kapiler-kapiler vena pulmonalis


36

kemudian masuk ke serambi kiri jantung (atrium sinistra) terus ke aorta dan

dilanjutkan ke seluruh tubuh (Muttaqin, 2008).

Pernapasan merupakan suatu proses yang terjadi dengan sendirinya.

Pada saat bernapas ada dua proses yang terjadi yaitu inspirasi dan ekspirasi.

Frekuensi terjadinya inspirasi dan ekspirasi adalah selama 15-18 kali setiap

menit. Kedua proses ini diatur oleh otot diafragma dan otot antar tulang

rusuk (Mikrajuddin dkk, 2007).

Gambar 2.5
Saluran Pernapasan
Sumber : Muttaqin, 2008

Ampas atau sisa dari pembakaran berupa karbon dioksida yang

dikeluarkan melalui peredaran darah vena diteruskan ke jantung (serambi

kanan/atrium dekstra). Dari sini keluar melalui peredaran darah arteri

pulmonalis ke jaringan-jaringan paru-paru.

Beberapa istilah yang berhubungan dengan sistem pernapasan seperti :


37

a. Respirasi (Sloane, 2004)

1) Respirasi sel

Adalah penggunaan O2 oleh sel-sel tubuh untuk produksi energi,

dan pelepasan produk oksidasi (CO2 dan air) oleh sel-sel tubuh.

2) Respirasi eksternal

Merupakan proses pertukaran gas atau difusi O2 dan CO2 antara sel

darah dan sel-sel jaringan sehingga oksigen dari paru masuk ke

dalam darah, dan karbon dioksida dan air keluar dari darah masuk

ke paru.

3) Respirasi internal

Merupakan proses difusi O2 dan CO2 antara sel darah dan sel-sel

jaringan.

b. Ventilasi (Muttaqin, 2008)

Merupakan proses mekanik yang berakibat masuk dan keluarnya udara

dari paru, yang mencakup inspirasi dan ekspirasi.

1) Inspirasi

Masuknya udara yang kaya oksigen dan miskin karbondioksida ke

dalam jalan napas sampai dengan ke alveoli.

2) Ekspirasi

Keluarnya udaya yang kaya karbondioksida dan miskin oksigen

melalui jalan napas.


38

2.5.1 Anatomi sistem pernapasan

Anatomi saluran pernapasan secara garis besar terdiri atas saluran

pernapasan bagian atas (rongga hidung, sinus paranasal, dan faring),

saluran pernapasan bagian bawah (laring, trakhea, bronkhus dan

alveoli), sirkulasi pulmonal (ventrikel kanan, arteri pulmonar, kapiler

pulmonar, venula pulmonar, vena pulmonar dan atrium kiri), paru

(paru kanan 3 lobus dan paru kiri 2 lobus), rongga pleura, dan otot-

otot pernapasan (dapat dilihat pada gambar 2.6)

Gambar 2.6
Komponen sistem pernapasan
Sumber : Muttaqin, 2008

Saluran Pernapasan Bagian Atas

a. Rongga Hidung

Rongga hidung terdiri dari tonjolan seperti rak, yaitu turbinat

yang bekerja seperti kisi-kisi radiator untuk menghangatkan dan


39

melembabkan udara. Mukosa rongga ini memiliki banyak

pembuluh darah dan bervariasi (Ester, 1999).

Hidung terdiri atas dua nostril yang merupakan pintu masuk

menuju rongga hidung. Rongga hidung adalah dua kanal sempit

yag satu sama lainnya dipisahkan oleh septum. Dinding rongga

hidung dilapisi oleh mukosa respirasi serta sel epitel batang,

bersilia dan berlapis semu. Mukosa tersebut menyaring,

menghangatkan dan melembapkan udara yang masuk melalui

hidung. Vestibulum merupakan bagian dari rongga hidung yang

berambut dan berfunggsi menyaring partikel-partikel asing

berukuran besar agar tidak masuk ke saluran pernapasan bagian

bawah.

Dalam hidung juga terdapat saluran-saluran yang

menghubungkan antara rongga hidung dengan kelenjar air mata,

bagian ini dikenal dengan kantung nasolakrimalis. Kantung

nasolakrimalis ini berfungsi mengalirkan air melalui hidung-yang

berasal dari kelenjar mata- jika seseorang menangis (Muttaqin,

2008).

b. Sinus Paranasal

Sinus paranasal berperan dalam menyekresi mukus, membantu

pengaliran air mata melalui saluran nasolakrimalis, dan membantu

dalam menjaga permukaan rongga hidung tetap bersih dan lembap.

Sinus paranasal juga termasuk dalam wilayah pembau di bagian


40

posterior rongga hidung. Wilayah pembau tersebut terdiri atas

permukaan inferior palatum kribriform, bagian superior septum

nasal, dan bagian superior konka hidung. Reseptor di dalam epitel

pembau ini akan merasakan sensasi bau.

c. Faring

Faring atau tenggorok adalah tuba muskular yang terletak di

posterior rongga nasal dan oral di anterior vertebra servikalis.

Secara deskriptif, faring dapat dibagi menjadi tiga segmen, setiap

segmen dilanjutkan oleh segmen lainnya yaitu nasofaring,

orofaring dan laringofaring (Asih dan Effendy, 2004).

Faring (tekak) adalah pipa berotot yang bermula dari dasar

tengkorak dan berakhir sampai persambungannya dengan esofagus

dan batas tulang rawan krikoid. Faring terdiri atas tiga bagian yang

dinamai berdasarkan tata letaknya, yakni nasofaring (di belakang

hidung), osofaring(di belakang mulut), dan laringofaring (di

belakang faring) (Muttaqin, 2008).

Gambar 2.7
Anatomi Saluran Pernapasan Bagian Atas
Sumber : Muttaqin, 2008
41

Saluran Pernapasan Bagian Bawah

a. Laring

Laring adalah suatu katup yang rumit pada persimpangan

lintasan makanan dan lintasan udara. Laring terangkat dibawah

lidah saat menelan dan karenanya mencegah makanan masuk ke

trakea (Ester, 1999).

Sedangkan dalam Sloane (2004) disebutkan laring adalah

tabung pendek berbentuk seperti kotak triangular dan ditopang oleh

sembilan kartilago, tiga berpasangan dan tiga tidak berpasangan.

Kartilago berpasangan yaitu kartilago aritenoid, kartilago

kornikulata, dan kartilago kuneiform. Sedangkan kartilago tidak

berpasangan yaitu kartilago tiroid, krikoid, dan epiglotis

Laring (tenggorok) terletak di antara faring dan trakhea.

Berdasarkan letak vertebra servikalis, laring berada di ruas ke-4

atau ke-5 dan berakhir di vertebra servikalis ruas ke 6. Laring

disusun oleh 9 kartilago yang disatukan oleh ligamen dan otot

rangka pada tulang hioid di bagian atas dan trakhea di bagian

bawahnya (Muttaqin, 2008).


42

Gambar 2.8
Struktur anatomi laring (a) Pandangan anterior (b) Pandangan posterior
(c) pandangan melintang
(Sumber Simon dan Schuster, 2003)

Otot yang mengabdusikan laring berkontraksi pada awal inspirasi

(menghisap udara), menarik pita suara saling menjauhi dan

membuka glottis. Sewaktu menelan atau bersenda gurau terdapat

refleks kontraksi otot-otot aduktor yang menutup glottis dan

mencegah aspirasi makanan, cairan atau muntahan ke dalam paru-

paru.

b. Trakhea

Trakhea adalah saluran udara tubular yang mempunyai

panjang sekitar 10 sampai 13 cm dengan lebar sekitar 2,5 cm.

Trakhea terletak di depan esofagus dan saat palpasi teraba sebagai

struktur yang keras, kaku, tepat di permukaan anterior leher.

Trakhea memanjang dari laring atas ke arah bawah ke dalam


43

rongga toraks tempatnya terbagi menjadi bronkhi kanan dan kiri

(Asih dan Effendy, 2004).

Pengertian lain menyebutkan trakhea sebagai tuba atau pipa

udara dengan panjang 10-12 cm dengan diameter 2,5 cm dan

terletak di atas permukaan anterior esofagus. Tuba ini merentang

dari laring pada area vertebra serviks keenam sampai area verebra

toraks kelima tempatnya membelah menjad dua bronkus utama

(Sloane, 2004).

Gambar 2.9
(a) Ilustrasi trakhea (b) gambaran melintang trakhea
Sumber : Muttaqin, 2008

c. Bronkhus

Bronkhus mempunyai struktur serupa dengan trakhea.

Bronkhus kiri dan kanan tidak simetris. Bronkhus kanan lebih

pendek, lebih lebar, dan arahnya hampir vertikal dengan trakhea.

Sebaliknya bronkhus kiri lebih panjang, lebih sempit dan sudutnya

lebih runcing. Bentuk anatomi ini memiliki implikasi klinis


44

tersendiri jika ada benda asing yang terinhalasi, maka benda itu

lebih memungkinkan berada di bronkhus kanan dibandingkan

dengan bronkhus kiri karena arah dan lebarnya (Muttaqin, 2008).

2.5.2 Masuknya debu ke sistem pernapasan

Partikel yang ukurannya cukup kecil untuk dapat menetap di

udara dapat terhirup melalui hidung yaitu melalui rongga hidung

ataupun melalui mulut. Kemampuan partikel untuk terhirup

tergantung pada diameter partikel, pergerakan udara di sekitar tubuh,

dan rasio pernapasan. Partikel yang terhirup ini kemudian dapat

mengendap ataupun dihembuskan kembali, tergantung pada fisiologi

dan faktor terkait partikel. Lima mekanisme deposisi atau

pengendapan partikel dalam tubuh manusia yaitu sedimentasi, impaksi

inersia, difusi (hanya untuk partikel dengan ukuran <0,5 m),

intersepsi dan pengendapan elektrostatis. Sedimentasi dan impaksi

merupakan mekanisme yang paling penting yang berhubungan dengan

debu udara yang terhirup, dan hal ini merupakan proses yang

ditentukan oleh diameter partikel (Lippman, 1977).

Menurut Brown (1976) dalam Sintorini (2002) dikatakan

sebanyak 55% debu yang terhisap melalui udara ke pernapasan

mempunyai ukuran antara 0,25m - 6 m. Dan jumlah debu yang

terhisap tersebut 15-95% dapat mengalami retensi (debu tertahan di

dalam tubuh). Proporsi retensi tersebut mempunyai hubungan

langsung dengan sifat-sifat fisik debu. Didasarkan atas sifat fisiknya


45

suspensi debu yang terdapat dalam udara dan anatomi sistem

pernapasan maka dapat dikatakan bahwa partikel debu yang

mempunyai ukuran lebih besar dari 10 m dapat dikeluarkan oleh

saluran napas bagian atas.

Partikel debu yang berukuran 5 m dengan 10 m tertahan

terutama pada saluran pernapasan bagian atas. Debu yang memiliki

ukuran 5 m sampai dengan 10 m akan ikut jatuh sejalan dengan

percepatan gravitasi. Dan bila terhirup melalui pernapasan biasanya

akan jatuh pada alat pernapasan bagian atas dan menimbulkan banyak

penyakit berupa iritasi sehingga menimbulkan penyakit pharingitis.

Partikel debu dengan ukuran 3 m sampai dengan 5 m akan

ditahan oleh saluran pernapasan bagian tengah. Partikel debu tersebut

jatuhnya lebih ke dalam yaitu pada saluran pernapasan

(bronchus/broncheolus). Hanya bedanya disini lebih banyak memiliki

aspek fisiologis yaitu menimbulkan bronchitis, alergis atau asma. Dan

lebih mudah terkena pada orang yang semula sudah memiliki

kepekaan berdasarkan keadaan seperti itu.

Partikel debu yang berukuran 1 m sampai dengan 3 m dapat

mencapai bagian yang lebih dalam lagi dan mengendap di alveoli

karena adanya gravitasi dan difusi. Partikel debu bergerak sejalan

dengan suatu kecepatan yang konstan untuk jenis-jenis debu tertentu.

Debu-debu tersebut menghambat fungsi alveoli sebagai media

pertukaran gas. Sehingga dengan melekatnya debu ukuran ini akan


46

mengganggu kemampuan proses pertukaran gas yang lebih kecil

ukurannya dan lebih perlahan jatuhnya .

2.6 Industri tekstil

Menurut Peraturan Menteri Perinustrian atau Permenperin Nomor

15/M-IND/PER/2 Tahun 2012, mengenai program revitalisasi dan

penumbuhan industri melalui restrukturisasi mesin/peralatan industri tekstil

dan produk tekstil serta industri alas kaki, pengertian industri tekstil dan

produk tekstil yang selanjutnya disebut TPT adalah perusahaan industri

yang menghasilkan tekstil dan produk tekstil.

2.6.1 Alur Produksi Industri Tekstil

Bagan 2.2
Alur Produksi Industri Tekstil
47

2.6.2 Kegiatan di PT.Unitex

Industri tekstil merupakan industri yang bertujuan untuk

menghasilkan TPT yaitu produk tekstil. Kegiatan industri tekstil

secara umum meliputi delapan bagian utama. Yaitu bagian spinning,

bagian weaving, biro koordinasi pusat (BKP), bagian dyeing, bagian

celup benang, bagian garansi mutu, bagian teknik industri dan bagian

utility (PT. Unitex Tbk).

a. Bagian spinning

Bagian spinning atau pemintalan adalah proses memroses bahan

baku (kapas dan poliester) menjadi benang.

1. Seksi blowing dan carding

Tugas seksi ini yaitu melakukan proses pembuatan benang, dimana

bahan baku yaitu kapas atau poliester dimasukkan kedalam mesin

blowing untuk diuraikan gumpalan-gumpalan seratnya, dibersihkan

kotoran-kotorannya, dan diaduk sehingga terjadi pencampuran

yang merata beberapa jenis kapas. Dari proses ini dihasilkan Lap

yang selanjutnya diproses dalam mesin carding dan menghasilkan

Silver.

2. Seksi combing, drawing dan finishing

Tugas seksi ini adalah melanjutkan seksi sebelumnya yaitu melalui

proses Pre Drawing yang berfungsi meluruskan dan mensejajarkan

serat, memperbaiki kerataan serat dan membuat Silver dengan


48

berat persatuan panjang tertentu. Tugas seksi ini juga membuat

campuran antara poliester dengan kapas melalui proses Drawing.

3. Seksi ring spinning dan finishing

Tugas dari seksi ini adalah menyiapkan benang dari hasil

pemintalan dalam bentuk "Cones" dengan mesin Mach Conner.

b. Bagian Weaving

Bagian Weaving (penenunan) adalah bagian yang memproses

benang menjadi kain. Proses ini diawali dari mempersiapkan benang

dalam seksi persiapan hingga terbentuk anyaman benang tate yang

siap masuk mesin tenun, selanjutnya diproses dalam mesin tenun.

1. Seksi Persiapan

Tugas seksi ini adalah menggulung ulang dari bentuk Cones

menjadi bentuk Hank (relling), melakukan proses pengkajian

untuk benang-benang tertentu yang perlu dikanji, mempersiapkan

benang tate pada mesin Warper dan pengkanjian benang tate yang

telah tergulung pada Beam dalam mesin Zising, dan membuat

anyaman benang tate pada Dropper, Herdo dan Osa sesuai dengan

desain dan jenis anyaman yang diinginkan.

2. Seksi Penenunan

Tugas seksi ini adalah melakukan proses penenunan hingga

menghasilkan kain sesuai dengan yang diinginkan.


49

c. BKP / Biro koordinasi pusat

Bagian ini berfungsi untuk mengontrol produksi sesuai dengan

order yang diterima. BKP menerima order dari kantor Jakarta yang

berasal baik dalam maupun luar negeri, kemudian dipelajari untuk

menentukan jenis dan cara pembuatan kain tersebut. BKP mengatur

perencanaan proses produksi mulai dari persiapan bahan baku,

persiapan proses sampai dengan proses pengeluaran barang jadi dari

gudang untuk dikirim kepada pelanggan.

d. Bagian Dyeing

Departemen Dyeing adalah bagian pemolesan kain terhadap warna,

penampilan dan pegangan (handling). Departemen ini merupakan

bagian pemrosesan kain yang terakhir mulai dari bahan baku kapas

dan poliester sampai pada produk kain yang siap dipasarkan.

1. Seksi Sarashi

Seksi ini merupakan gabungan unit kerja yang mempersiapkan kain

mentah sampai kain tersebut siap untuk dicelup warna sesuai

dengan pesanan.

2. Seksi Pencelupan

Tugas seksi ini adalah kain yang berasal dari seksi persiapan

(sarashi) diproses kembali melalui proses pengaturan panas

(berfungsi untuk menstabilkan serat ester dan menghilangkan garis-

garis lipatan), pencelupan, resin finish (berfungsi untuk


50

memperbaiki kehalusan kain) dan Sanforized (berfungsi untuk

mengurangi penyusutan kain pada saat dibuat baju atau dicuci).

3. Seksi Resin/ Finishing

Tugas seksi ini adalah untuk menyempurnakan hasil proses

pencelupan dengan memberikan cairan kimia resin dan proses

penyusutan dengan menggunakan mesin Sanforized.

4. Seksi Hozen

Tugas seksi ini adalah mendukung kelancaran proses produksi di

bagian dyeing dan celup benang dalam hal memastikan bahwa

semua mesin produksi dapat beroperasi dengan baik. Seksi ini juga

bertugas untuk melakukan perbaikan apabila terdapat kerusakan

pada mesin atau sarana produksi lainya.

a. Seksi Laborat

Tugas seksi ini adalah untuk mencari resep-resep pencelupan,

pengujian warna dan pengujian terhadap sifat fisik kain sesuai

standar internasional.

e. Bagian Celup Benang

Bagian ini pada dasarnya merupakan bagian yang berdiri sendiri

dalam departemen dyeing. Seluruh aktifitas mulai dari persiapan

sampai dengan pengeringan dilakukan dalam seksi ini dan tidak

terkait secara langsung dengan seksi-seksi lain. Pada bagian celup

benang ini terdapat dua seksi yaitu seksi celup benang itu sendiri dan

seksi soft winder.


51

Proses yang dilakukan pada seksi celup benang adalah proses

pencelupan benang hasil produksi bagian spinning yang sebelum

ditenun dicelup terlebih dahulu. Sedangkan proses yang dilakukan

pada seksi soft winder adalah proses penggulungan benang kembali

dari hasil spinning sehingga dapat dilakukan proses celup pada seksi

celup benang.

f. Bagian Garansi Mutu

Departemen garansi mutu adalah bagian yang berfungsi untuk

melakukan pengontrolan mengenai kualitas hasil produksi, baik

kualitas produksi kain mentah, kualitas kain jadi maupun kualitas

produksi benang. Bagian garansi mutu ini merupakan penggabungan

proses pengendalian mutu dari bagian produksi sebelumnya yaitu

bagian spinning (kualitas benang), seksi penenunan dan seksi make-up

(bagian dyeing/pencelupan).

1. Seksi Pemeriksaan

Tugas seksi ini adalah menerima kain hasil tenunan dari seksi

penenunan untuk dicek dan ditentukan tingkatannya, untuk

diperbaiki dan untuk diklasifikasikan sesuai dengan jenis dan

jadwal pengiriman kebagian dyeing.

2. Seksi Make-Up

Tugas seksi ini adalah melakukan penggolongan tingkatan,

penggulungan dan pengepakan sesuai dengan pemesanan.


52

g. Bagian Teknik Produksi

Departemen teknik produksi adalah bagian yang bertanggung

jawab dalam hal proses penanggulangan masalah apabila terdapat

ketidaksesuaian antara hasil rencana dengan hasil proses produksi.

Misalnya apabila terdapat ketidaksesuaian dalam hal kualitas warna,

maka bagian ini akan meneliti permasalahannya dan mengusulkan

cara penanggulangannya bersama-sama bagian yang bersangkutan.

h. Bagian Utility

Departemen Utility adalah bagian yang berfungsi untuk

menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh departemen

lainnya. Sarana dan prasarana yang disediakan oleh departemen utility

meliputi penyediaan sumber energi listrik, uap air panas, air bersih,

pengatur suhu ruangan pabrik (AC), pemasangan peralatan.

Disamping itu departemen utility juga mengelola air limbah sisa

proses pencelupan dari departemen dyeing.

1. Seksi Air Limbah

Tugas seksi ini adalah mengolah sisa-sisa air pencelupan baik celup

kain maupun celup benang yang berasal dari departemen dyeing

dan celup benang, sehingga pada saat air terbuat dibuang kesungai

tidak membahayakan kehidupan lingkungan sekitarnya.

2. Seksi Power Station

Tugas seksi ini adalah menyediakan kebutuhan sumber energi

listrik, uap air panas, pengaturan suhu ruangan (AC) serta air bersih.
53

3. Seksi Maintenace

Tugas seksi ini adalah menyediakan, memasang dan merawat

sarana dan prasarana pada seluruh departemen lainnya.

4. Seksi Bangunan

Tugas seksi ini adalah melaksanakan pembangunan sarana

(bangunan) pada departemen lainnya serta melaksanakan

pembangunan perumahan karyawan PT Unitex.

2.6.3 Distribusi karyawan PT.Unitex

282

153
105
53 44 47 48
112 15 208 2322 14
6 1 2 63 58

Laki-Laki Perempuan

*Data profil PT.Unitex Januari 2014

Grafik 2.1

Distribusi Karyawan Berdasarkan Tempat dan Jenis Kelamin

Data Berdasarkan Grafik 2.1 dapat dilihat bahwa jumlah pekerja di

PT.Unitex sebanyak 878 orang. Dan untuk departemen pemintalan


54

sendiri pekerjanya berjumlah 153 laki-laki dan 15 perempuan

sehingga totalnya adalah sebesar 168 orang.

2.6 Kerangka Teori

Pencemaran udara yang terjadi di lingkungan secara garis besar berasal

dari dua sumber yaitu akibat kegiatan manusia ataupun karena sebab

alamiah. Pencemaran udara akibat kegiatan manusia diantaranya yaitu

akibat penggunaan bahan bakar, kegiatan tambang, kegiatan rumah tangga

maupun industri. Sedangkan sebab alami salah satunya adalah karena erupsi

gunung berapi.

Pencemaran udara ini dihasilkan oleh polutan atau zat pencemar udara

diantaranya adalah berbagai jenis debu, nitrogen oksida, sulfur oksida,

karbon monoksida, dan partikulat dengan berbagai ukuran diantaranya yaitu

PM10, PM5 dan PM2,5 . Polutan ini kemudian akan terdeposisi di atmosfer

dalam jangka waktu tertentu. Lamanya polutan terdeposisi di atmosfer

tergantung dari ukuran polutan tersebut dan juga karena faktor lingkungan

lainnya seperti suhu, kelembapan, curah hujan, dan kecepatan arah angin.

Pencemaran selain terjadi di luar rungan juga dapat terjadi di dalam

ruangan atau lebih dikenal dengan istilah Indoor Air Pollution /IAP.

Pencemaran udara dalam ruangan diantaranya berasal dari asap rokok, asap

dari penggunaan bahan bakar memasak, ataupun dari penggunaan obat

nyamuk. Polutan yang berada di udara atau atmosfer ini kemudian dapat

masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan. Jika polutan ini
55

masuk ke dalam saluran pernapasan maka polutan tersebut akan menjadi

iritan dan mengganggu kesehatan pernapasan.

Adapun besar dampak dari polutan tersebut bagi kesehatan pernapasan

dapat berbeda tiap orangnya. Hal ini tergantung karakteristik maupun

perilaku dari individu itu sendiri. Karakteristik individu diantara lain adalah

umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, masa kerja, lama pajanan, tingkat

pendidikan maupun status sosial ekonomi. Sedangkan perilaku yang dapat

berpengaruh terhadap kesehatan pernapasan seperti perilaku merokok

maupun penggunaan masker. Selain bersifat iritan, polutan pencemar udara

ini juga dapat menimbulkan penyakit kronik maupun penyakit akut.

Penyakit kronik seperti silikosis, bisinosis, asbestosis, berryliosis, dan paru

obstruktif kronik. Sedangkan penyakit akutnya dapat berupa ISPA, asma

maupun bronkhitis akut. Dengan demikan dapat dirumuskan kerangka teori

sebagaimana dalam bagan 2.3 kerangka teori berikut :

Bagan 2.3 Kerangka Teori


Sumber : Depkes RI 2002, Dharmage 2009, Suryo 2010, Sormin 2012, Sumamur, 1991,
Florencia, 2013.
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka konsep

PT.Unitex merupakan industri tekstil yang mengolah bahan baku

menjadi bahan jadi. Di dalam proses produksinya dapat terproduksi debu-

debu yang kemudian beresiko menurunkan kesehatan kesehatan pernafasan

pekerja. khususnya bagian pemintalan. Adapun faktor resiko yang ingin

diukur dalam penelitian adalah kadar debu total, umur, jenis kelamin, masa

kerja, bagian kerja, tingkat pendidikan, perilaku merokok dan lama pajanan.

Di dalam industri tekstil terdapat tiga tahapan produksi utama yaitu

pemintalan, penenunan dan pencelupan. Kegiatan pemintalan merupakan

tahapan pengolahan bahan baku yaitu kapas mentah dan poliester menjadi

benang. Berdasarkan studi pendahuluan peneliti, di departemen pemintaan

dapat terlihat banyak debu-debu yang beterbangan dan melayang-layang.

Selanjutnya di penenunan debu yang tampak secara kasat mata tidak

terlalu banyak layaknya di departemen pemintalan. Kemudian di bagian

pencelupan, karena banyak bahan kimia yang digunakan maka terdapat

kemungkinan bahan kimia terdeposisi ke udara.

Hal ini kemudian dapat memengaruhi kualitas udara. Kualitas udara

yang buruk dikombinasikan dengan karakteristik tertentu pada pekerja dapat

beresiko menurunkan status kesehatan. Termasuk timbulnya gejala ISPA

pada pekerja dan juga gangguan fungsi paru.

56
57

Pada penyakit tertentu jenis kelamin wanita lebih rentan terkena

penyakit begitu pun sebaliknya. Kemudian umur juga dinilai sebagai faktor

resiko penyakit, seperti bayi, balita, lansia dan sebagainya. Umur terlalu

muda maka sistem pernapasannya belum begitu berkembang sempurna.

Sedangkan yang umurnya semakin bertambah akan semakin berkurang

elastisitas saluran pernapasannya. Masa kerja dan lama pajanan

menunjukkan berapa lama seseorang terpapar oleh agen penyakit. Bagian

kerja menunjukkan tempat kerja yang lebih berdebu dan dapat meningkatkan

resiko gangguan pernapasan akibat debu yang terinhalasi pekerja saat

inspirasi.

Tingkat pendidikan memengaruhi perilaku yang dapat memengaruhi

status kesehatan. Perilaku merokok seringkali dikaitkan dengan dengan

menurunnya kesehatan paru sehingga merupakan salah satu resiko

meningkatkan kerentanan pejamu. Masa kerja dapat berpengaruh terhadap

seberapa besar debu yang telah memasuki saluran pernapasan pekerja dan

menimbulkan gangguan kesehatan.

Sedangkan lama pajanan menunjukkan batas waktu tertentu yang

diperbolehkan individu terpapar supaya tidak menimbulkan gangguan

kesehatan pada individu tersebut. Sehingga jika lama pajanan melebihi batas

yang ditentukan status kesehatan dan kenyamanan individu dapat terganggu.


58

Variabel Independen Variabel Dependen

Kadar Debu Total debu di


departemen pemintalan

Gejala ISPA ringan


pada pekerja
pemintalan
Umur

Jenis Kelamin

Masa kerja

Bagian Kerja

Tingkat Pendidikan

Perilaku Merokok

Lama Pajanan

Bagan 3.1
Kerangka Konsep
59

3.2 Definisi Operasional


No. Variabel Definisi Operasional Cara ukur Hasil ukur Skala ukur

1. Gejala Responden terdiagnosis Kuesioner 1. Ya Ordinal

ISPA menderita salah satu atau lebih 2. Tidak

ringan gejala berikut batuk tanpa /

dengan pernapasan cepat,

pilek, serak, sesak, keluar

cairan dari telinga dan

mengalami gejala selama 14

hari /2 minggu. (ISPA ringan

depkes)

2. Kadar Nilai debu yang terukur oleh HVS (High Rasio

Debu Total alat pengukur debu yaitu High Volume mg/m3

Volume Sampler Sampler)

(KEPMENKES RI

No.1405/MENKES/SK/XI/200

2).

3. Bagian Bagian kerja pekerja menurut Kuesioner 1. Combing Nominal

Kerja sistem kerja yang berlaku di drawing

pemintalan PT.Unitex. secara 2. Ring

umum terbagi menjadi tiga Spinning

yaitu combing drawing, ring 3. Blowing

spinning, dan blowing carding. Carding


60

4. Jenis Jenis kelamin responden sesuai Kuesioner 1. Laki-laki Nominal

Kelamin yang tecatat di kartu tanda 2. Perempuan

penduduk responden.

5. Umur Lama hidup responden yang Kuesioner Tahun Rasio

dihitung berdasarkan tahun

responden lahir yang tercatat

di kartu tanda penduduk

sampai tahun diadakannya

pengumpulan data.

6. Masa Kerja Jangka waktu responden Kuesioner Tahun Rasio

bekerja sejak masuk di bagian

pemintalan PT.Unitex sampai

tahun dilakukannya

pengumpulan data.

7. Lama Lama waktu kerja pekerja, Kuesioner Jam kerja Ordinal

Pajanan dibagi menjadi dua kategori normal

<Jam kerja

normal

8. Perilaku Perilaku responden menghisap Kuesioner Indeks Rasio

Merokok rokok. Mengacu pada indeks Brinkman

brinkman (IB), perokok ringan

merupakan perokok dengan IB

0-199, sedang IB 200-599, dan


61

perokok berat >600

9. Status Ijazah pendidikan terakhir Kuesioner 1. SD Ordinal

Pendidikan yang diperoleh oleh pekerja 2. SMP

dalam riwayat pendidikan. 3. SMK

4. SMA

5. Diploma/PT
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain studi

potong lintang (cross sectional) secara observasional atau non

eksperimental. Pada penelitian ini akan dilakukan pengukuran terhadap

variabel dependen dan variabel independen secara bersamaan. Desain studi

cross sectional epidemiologi yang mempelajari prevalensi, distribusi,

maupun hubungan penyakit dan pajanan dengan cara mengamati status

pajanan, penyakit, atau karakteristik secara serentak pada individu dari

populasi pada satu waktu.

4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan pada bulan Mei-Juni 2014. Penelitian

dilakukan di PT. Unitex, Tbk Tajur, Bogor di departemen spinning atau

pemintalan. Adapun kegiatan di bagian spinning atau pemintalan merupakan

kegiatan memroses bahan baku (kapas dan poliester) menjadi benang.

a. Seksi blowing dan carding

Tugas seksi ini yaitu melakukan proses pembuatan benang, dimana

bahan baku yaitu kapas atau polyester dimasukkan kedalam mesin

blowing untuk diuraikan gumpalan-gumpalan seratnya, dibersihkan

kotoran-kotorannya, dan diaduk sehingga terjadi pencampuran yang

merata beberapa jenis kapas.

62
63

b. Seksi combing, drawing dan finishing

Tugas seksi ini adalah melanjutkan seksi sebelumnya yaitu melalui

proses Pre Drawing yang berfungsi meluruskan dan mensejajarkan

serat, memperbaiki kerataan serat dan membuat Silver dengan berat

persatuan panjang tertentu. Tugas seksi ini juga membuat campuran

antara polyester dengan kapas melalui proses Drawing.

c. Seksi ring spinning dan finishing

Tugas dari seksi ini adalah menyiapkan benang dari hasil pemintalan

dalam bentuk "Cones" dengan mesin Mach Conner.

4.3 Populasi dan sampel

Populasi adalah semua pekerja di departemen pemintalan PT.Unitex.

Adapun populasi yang diteliti adalah pekerja non-shift di departemen

pemintalan. Berdasarkan data sekunder mengenai distribusi karyawan pada

Januari 2014 yang didapatkan dari studi pendahuluan peneliti, diketahui

jumlah total pekerja non-shift di departemen pemintalan sebanyak 54 orang.

Pada penelitian ini tidak dilakukan pengambilan sampel, sehingga semua

jumlah pekerja non-shift di departemen pemintalan PT.Unitex sebanyak 54

orang diteliti.

4.4 Metode pengumpulan Data

1. Observasi

Observasi dilakukan untuk mengamati keadaan umum lingkungan kerja

di departemen pemintalan .
64

2. Gravimetri dengan alat HVS

Metode ini merupakan metode analisis yang didasarkan pada

pengukuran berat, yang melibatkan pembentukan, isolasi dan

pengukuran berat dari suatu endapan.

2.1 Lokasi peletakan HVS

Berdasarkan SNI 16-7058-2004 mengenai pengukuran kadar debu

total di lingkungan kerja, alat pengukuran diletakkan setinggi zona

pernafasan di dekat tenaga kerja terpapar debu.

2.2 Pengambilan sampling debu total di udara

Pengambilan contoh sampling dilakukan selama 8 jam dalam satu

hari kerja. Alat diletakkan di tempat pengukuran dan ditunggu

selama 8 jam untuk mengetahui konsentrasi rata-rata kadar debu

total di tempat kerja selama 8 jam tersebut.

2.3 Cara penggunaan HVS/High Volume Sampler :

a. Panaskan kertas saring pada suhu 105C, selama 30 menit.

b. Timbang kertas saring, dengan neraca analitik pada suhu 105 C

dengan menggunakan vinset (Hati-hati jangan sampai tersentuh

tangan)

c. Pasangkan pada alat TSP, dengan membuka atap alat TSP,

kemudian dipasangkan kembali atapnya.

d. Simpan alat HVS tersebut pada tempat yang sudah ditentukan

sebelumnya.
65

e. Operasikan alat dengan cara, menghidupkan (pada posisi On)

pompa hisap dan mencatat angka flow rate-nya (laju alir

udaranya).

f. Matikan alat sampai batas waktu yang telah ditetapkan.

g. Ambil kertasnya, panaskan pada oven listrik. Timbang kertas

saringnya.

h. Hitung kadar TSP nya sebagai mg/NM3

i. Metode penggunaan alat ini juga bisa digunakan, terhadap pm10

atau apa pun pada pengukuran parameter logam.

3. Kuesioner

Kuesioner ini digunakan untuk mengukur variabel gejala ISPA,

jenis kelamin, umur, bagian kerja, tingkat pendidikan, masa kerja, lama

pajanan, dan perilaku merokok. Untuk perilaku merokok mengacu pada

Indeks Brinkman dengan klasifikasi 0-199 perokok ringan, 200-599

sedang, dan >600 berat. Adapun rumus untuk menghitung Indeks

Brinkman adalah sebagai berikut :

Jumlah rata-rata rokok yang dihisap (batang) x lama merokok (tahun)

4. Data Sekunder

Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data perusahaan secara

umum, dan data distribusi karyawan pada pekerja di klinik di PT.Unitex.


66

4.5 Jenis Data

Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data

sekunder. Data primer yang diperoleh untuk mengukur variabel gejala ispa,

kadar debu total, umur, jenis kelamin, masa kerja, bagian kerja, lama

pajanan, perilaku merokok dan tingkat pendidikan. Sedangkan data

sekunder digunakan untuk mengambil data jumlah karyawan dari PT.Unitex.

4.6 Pengolahan Data

Empat tahapan dalam pengolahan data yang akan dilakukan yaitu :

1. Menyunting data

Penyuntingan data dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan

kelengkapan pengisian dan ketepatan data sebelum data dimasukkan ke

pengolah data. Kegiatan penyuntingan data ini akan dilakukan ketika

berada di lapangan.

2. Mengkode data

Pengkodean data digunakan untuk mengklasifikasi data dan memberi

kode untuk masing-masing jawaban di kuesioner. Setelah masing-

masing jawaban dilakukan pengkodean baru data akan dimasukkan.

3. Memasukkan data

Setelah dilakukan penyuntingan dan pengkodean data, data dari hasil

pengumpulan melalui kuesioner dan hasil pengukuran debu akan

dimasukkan untuk selanjutnya dianalisis.


67

4. Membersihkan data

Tahap terakhir yaitu melakukan pengecekan ulang pada data yang telah

dimasukkan untuk memastikan data tersebut tidak ada yang salah

sebelum dilakukan analisis data.

4.7 Analisis Data

Analisis data dilakukan setelah semua data yang diperlukan

dimasukkan dan dilakukan pengecekan ulang untuk membersihkan data.

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu analisis univariat.

Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dan

persentase dari tiap variabel dependen dan independen. Variabel dependen

nya adalah gejala ISPA ringan dan variabel independennya adalah kadar

debu total, umur, masa kerja, bagian kerja, jenis kelamin, lama pajanan,

masa kerja, perilaku merokok dan tingkat pendidikan.

4.8 Penyajian Data

Secara umum penyajian data yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan tabel dan grafik. Tabel digunakan untuk melihat distribusi

frekunesi variabel independen dan dependen. Seperti distribusi frekunesi

gejala ISPA ringan, kadar debu total, umur, jenis kelamin, masa kerja,

perilaku merokok dan lama pajanan. Kemudian, grafik digunakan untuk

melihat distribusi frekuensi variabel pendidikan dan bagian kerja yang

sebelum dianalisis memiliki kategori lebih dari dua.


BAB V

HASIL

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Gejala ISPA Ringan pada pekerja pemintalan

Macam-macam gejala yang digunakan untuk menentukan pekerja

mengalami gejala ISPA merujuk pada klasifikasi ISPA ringan oleh

Depkes RI, 2002. Diantaranya yaitu batuk tanpa pernapasan cepat,

pilek (mengeluarkan lendir), serak, sesak yang disertai serta napas

terengah-engah. Selain itu gejala tersebut juga disebutkan oleh Depkes

RI, 2002 mengenai klasifikasi ISPA. Adapun distribusi frekuensi

gejala ISPA pada pekerja pemintalan non-shift di PT.Unitex Tbk,

Bogor adalah sebagai berikut :

Jumlah responden adalah sebanyak 54 orang, dengan rincian

merupakan pekerja tekstil bagian pemintalan/spinning non-shift (jam

kerja 08.00-16.00). Adapun berdasarkan tabel 5.1 pekerja pemintalan

di PT.Unitex yang mengalami gejala ISPA tergolong cukup banyak,

hal ini ditunjukkan oleh lebih dari setengah responden yaitu sebanyak

31 orang atau 57,4% mengalami gejala ISPA.

5.1.2 Kadar debu total di bagian pemintalan

Pengukuran Kadar Debu Total dilakukan di dua bagian

departemen pemintalan yaitu di ruang Blowing Carding dan Ring

Spinning pada jam kerja normal (08.00-16.00). Panduan yang

digunakan untuk mengetahui nialai ambang batas kadar debu total

68
69

adalah Kepmenkes RI No.1405 Tahun 2002 mengenai persyaratan

kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri. NAB yang

ditetapkan adalah 10 mg/m3 atau 10000 g/m3 .

Berdasarkan tabel 5.1 diketahui semua kadar debu total di dua

titik pengukuran yaitu di ruangan blowing, carding dan di ruang ring

spinning nilainya dibawah NAB.

5.1.3 Distribusi karateristik individu bagian pemintalan

a. Umur

Pengambilan data umur dikumpulkan melalui kuesioner tanpa

klasifikasi dengan satuan tahun. Sebaran umur pada pekerja di

departemen pemintalan PT.Unitex cukup bervariasi.

Pada umumnya umur pekerja adalah berkisar antara 19 hingga

55 tahun. Dengan rata-rata umur sebesar 36,19 tahun dan nilai

tengah nya 34,50 tahun. Sedangkan standar deviasinya sebesar

10,013 tahun.

b. Masa Kerja

Sebagaimana variabel umur, masa kerja dikumpulkan melalui

kuesioner dengan satuan tahun. Lama masa kerja pekerja di

departemen pemintalan PT.Unitex sangat bervariasi, ada yang baru

selama 1 tahun hingga yang paling lama 32 tahun. Rata-rata lama

masa kerja pekerja pemintalan adalah 12,92 tahun. Dengan nilai

tengahnya sebesar 12 tahun dan standar deviasinya 8,517 tahun.


70

Tabel 5.1
Distribusi Gejala ISPA Ringan, Kadar Debu Total, Umur,
Masa Kerja, Jenis Kelamin, Pendidikan, Bagian Kerja,
Perilaku Merokok dan Lama Pajanan Pekerja non-shift
Pemintalan PT.Unitex
Variabel Mean Median SD Min- Total
Maks n %
Gejala ISPA Ringan
Ya 31 57,4
Tidak 23 42,6
Kadar Debu Total
(mg/m3)
Blowing & Carding 379,4 53,7
Ring Spinning 188,6 46,3
Umur 36,19 34,50 10,01 19-55
Masa Kerja 12,92 12 8,517 1-32
Jenis Kelamin
Laki-Laki 40 74,1
Perempuan 14 25,9
Pendidikan
SD 1 1,9
SMP 13 24,1
SMK 13 24,1
SMA 25 46,3
D3/PT 2 3,7
Bagian Kerja
Ring Spinning 25 46,3
Combing & Drawing 17 31,5
Blowing & Carding 12 22,2
Perilaku Merokok
(Indeks brinkman)
0 34 63
1-199 13 24,1
200-599 6 11,1
600 1 1,9
Lama Pajanan
<8 jam 45 83,3
8 jam 9 16,7

c. Jenis Kelamin

Selain umur, variabel independen yang dikumpulkan adalah

jenis kelamin. Jenis kelamin diklasifikasikan menjadi dua kategori

yaitu laki-laki dan perempuan. Berdasarkan tabel 5.1 dapat

diketahui bahwa pada tahun 2014 khususnya di bulan Mei-Juni


71

responden di pemintalan lebih banyak yang berjenis kelamin laki-

laki. Yaitu sebanyak 37 dari 50 pekerja, atau sebesar 74%.

d. Pendidikan

Pendidikan pekerja yang dimaksud adalah ijazah pendidikan

terakhir yang diterima oleh pekerja di pemintalan. Secara umum

dibagi menjadi lima klasifikasi yaitu SD yang merupakan

pendidikan terendah, SMP, SMA, SMK dan D3 atau Perguruan

Tinggi pendidikan tertinggi. Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa

kebanyakan pekerja merupakan lulusan SMA yaitu sebanyak 25

orang atau 46,3 %. Sedangkan paling sedikit yang lulusan SD yaitu

hanya 1 orang atau 1,9%.

e. Bagian Kerja

Bagian kerja responden dapat dibagi menjadi tiga yaitu ring

spinning, blowing carding dan combing drawing berdasarkan

wilayah kerja dan sistem kerja.

Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat bahwa sebagian besar

responden merupakan pekerja di bagian ring spinning, yaitu

sebanyak 25 pekerja atau 46,3%. Sedangkan paling sedikit pekerja

yang berasal dari blowing carding yaitu sebanyak 12 orang atau

22,2%.

f. Perilaku Merokok

Berdasarkan tabel 5.1 diketahui responden yang tidak merokok

sebanyak 34 orang atau sebesar 63%. Kemudian yang merokok


72

sebanyak 20 orang, kemudian responden yang merokok

dikategorikan durasi merokoknya berdasarkan indeks brinkman. 1-

199 artinya perokok ringan, 200-599 perokok sedang sedangkan

600 merupakan perokok berat. Diantara perokok responden paling

banyak merupakan perokok ringan yaitu sebanyak 13 orang atau

24,1 %.

g. Lama Pajanan

Lama pajanan merujuk pada jam kerja pekerja, klasifikasinya

adalah jam kerja normal dan <jam kerja normal. Acuan

klasifikasi yang digunakan adalah standar jam kerja normal yaitu 8

jam. Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa sebagian besar pekerja

bekerja lebih dari sama dengan jam kerja normal atau 8 jam.

Dengan jumlah sebanyak 45 orang atau 83,3%.

5.1.4 Gejala ISPA Ringan menurut Kadar Debu Total

Kadar debu total dilakukan di dua titik di departemen pemintalan

PT.Unitex yaitu di bagian blowing & carding serta di ring spinning.

Pengukuran ini kemudian diasumsikan sebagai kadar debu yang

memapari pekerja di bagian kerja. Kadar debu total di blowing &

carding sebesar 379,4 mg/m3 sedangkan di ring spinning sebesar

188,6 mg/m3.
73

Tabel 5.2
Distribusi Gejala ISPA Ringan menurut Kadar Debu Total Pada
Pekerja non-shift Pemintalan PT.Unitex

Variabel Kategori Gejala ISPA Total


Ya Tidak
n % n % n %
Kadar 188,6 mg/m3 19 76,0 6 24,0 25 100
Debu Total 379,2 mg/m3 12 41,4 17 58,6 29 100

Berdasarkan tabel 5.2 diketahui 76% pekerja yang terpapar debu

di ring spinning mengalami gejala ISPA ringan. Sedangkan pada

pekerja di combing drawing dan blowing carding, sebanyak 41,4%

mengalami gejala ISPA ringan.

5.1.5 Gejala ISPA Ringan menurut Karakteristik Individu

a. Umur

Berdasarkan tabel 5.3, dapat dilihat bahwa pekerja dengan umur

<36 tahun lebih banyak yang mengalami gejala ISPA ringan

dibandingkan dengan pekerja dengan umur 36 tahun, yaitu

sebesar 59,3%.

b. Masa Kerja

Pada Tabel 5.3 dapat dilihat bahwa 66,7% pekerja yang

memiliki masa kerja <12 tahun memiliki gejala ISPA ringan, jika

dibandingkan dengan pekerja dengan masa kerja 12 tahun yaitu

sebesar 48,1%.
74

Tabel 5.3
Distribusi Gejala ISPA Ringan menurut Umur, Masa Kerja,
Jenis Kelamin, Pendidikan, Bagian Kerja, Perilaku Merokok
dan Lama Pajanan Pekerja non-shift Pemintalan PT.Unitex

Variabel Kategori Gejala ISPA Total


Ya Tidak
n % n % n %
Umur < 36 Tahun 16 59,3 11 40,7 27 100
36 Tahun 15 55,6 12 44,4 27 100
Masa Kerja <12 Tahun 18 66,7 9 33,3 27 100
12 Tahun 13 48,1 14 51,9 27 100
Jenis Kelamin Laki-Laki 18 45,0 22 55,0 40 100
Perempuan 13 92,9 1 7,10 14 100
Pendidikan Rendah 6 42,9 8 57,1 14 100
Tinggi 25 62,9 15 37,5 40 100
Bagian Kerja Ring Spinning 19 76,0 6 24,0 25 100
Blowing & Carding 12 41,4 17 58,6 29 100
Perilaku Ringan (1-199) 7 53,8 6 46,2 13 100
Merokok Sedang (200) 3 42,9 4 57,1 7 100
Lama Pajanan Jam Kerja Normal 25 55,6 20 44,4 45 100
<Jam Kerja Normal 6 66,7 3 33,3 9 100

c. Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel 5.3, dapat dilihat bahwa pekerja perempuan

lebih banyak yang mengalami gejala ISPA ringan dibandingkan

dengan pekerja laki-laki yaitu sebanyak 92,9%. Hal ini mungkin

disebabkan oleh jumlah pekerja yang sedikit dibandingkan dengan

pekerja laki-laki.

d. Pendidikan

Tingkat pendidikan diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu

pendidikan rendah dan pendidikan tinggi. Pendidikan rendah

meliputi tidak sekolah, tamat SD dan tamat SMP. Sedangkan

pendidikan tinggi meliputi tamat SMA, SMK dan Diploma 3 (D3)/


75

Perguruan Tinggi (PT). Adapun klasifikasi ini didasarkan pada PP

No.48 Tahun 2008 mengenai program wajib belajar 9 tahun.

Berdasarkan tabel 5.3, dapat dilihat bahwa pekerja dengan

pendidikan tinggi lebih banyak yang mengalami gejala ISPA ringan

yaitu sebesar 62,9% dibandingkan dengan pekerja yang memiliki

pendidikan rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh populasi

pekerja dengan pendidikan tinggi yang lebih banyak..

e. Bagian Kerja

Bagian kerja responden dapat dibagi menjadi tiga yaitu ring

spinning, blowing carding dan combing drawing, kemudian

diklasifikasikan kembali menjadi dua kategori yaitu ring spinning

dan blowing carding menurut sistem dan area kerja.

Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat bahwa sebagian besar

pekerja ring spinning mengalami gejala ISPA ringan yaitu sebesar

76% dibandingkan dengan pekerja blowing carding dengann gejala

ISPA ringan yaitu sebesar 41,4%.

f. Perilaku Merokok

Perilaku merokok didasarkan pada Indeks Brinkman (IB), cara

mengetahui indeks brinkman adalah dengan mengalikan rokok

yang dihisap per batang per hari dengan lama merokok dalam

satuan tahun. Kemudian akan didapatkan nilai IB. Nilai IB 1-199

menunjukkan seorang tersebut merupakan perokok ringan, IB 200-

599 perokok sedang sedangkan IB 600 merupakan perokok berat.


76

Kemudian dalam penelitian ini IB dikategorikan menjadi dua yaitu

IB 1-199 (ringan) dan IB 200 (sedang).

Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat bahwa pekerja dengan IB 1-

199 lebih banyak yang mengalami gejala ISPA ringan yaitu sebesar

53,8% dibanding dengan pekerja dengan IB 200 sebesar 42,9%.

g. Lama Pajanan

Pada Tabel 5.3 dapat dilihat bahwa pekerja yang memiliki lama

pajanan jam kerja normal cukup banyak yang memiliki gejala

ISPA ringan yaitu lebih dari setengahnya atau sebesar 55,6%.

Sedangkan pekerja dengan jam kerja normal yang tidak memiliki

gejala ISPA ringan sebanyak 44%.


BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini terdapat beberapa kendala yang

menjadi keterbatasan penelitian yaitu :

1. Pada penelitian ini pengukuran debu dilakukan di beberapa titik di

ruangan kerja namun pengukuran pajanan debu terhadap pekerja

sebaiknya dilakukan pada tiap pekerja bukan di ruangan kerja, supaya

dapat lebih melihat pajanan yang diterima tiap pekerja.

2. Pada pengukuran kadar debu total, ketika alat sudah dipasang dan

dinyalakan ternyata pada sore hari sekitar jam 14.30 alat pengukur di

ring spinning sempat mengalami gangguan akibat konslet listrik.

Dengan demikian pengukuran kadar debu total di ring spinning tidak

optimal.

3. Penelitian ini hanya meneliti pekerja non-shift, sedangkan di

pemintalan PT.Unitex juga terdapat pekerja yang bekerja dengan sistem

shift. Sehingga penelitian ini belum dapat digeneralisasikan kepada

seluruh pekerja pemintalan.

6.2 Gejala ISPA pada Pekerja Pemintalan

Menurut WHO (2007) ISPA adalah penyakit saluran pernapasan atas

atau bawah, biasanya menular yang dapat menimbulkan berbagai spektrum

penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai

penyakit parah dan mematikan. Penyakit ISPA timbul karena menurunnya

77
78

sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau

stres. Bakteri dan virus penyebab ISPA di udara bebas akan masuk dan

menempel pada saluran pernapasan bagian atas yaitu tenggorokan dan

hidung. Pada stadium awal, gejalanya berupa panas, kering dan gatal dalam

hidung, yang kemudian diikuti oleh bersin terus menerus, hidung tersumbat

dengan ingus encer serta demam dan nyeri kepala (Halim, 2000).

Adapun menurut Putranto (2007), hal-hal yang mendasari timbulnya

gejala penyakit pernapasan adalah batuk, dahak, sesak napas dan mengi.

Timbulnya gejala batuk karena iritasi partikulat adalah jika terjadi

rangsangan pada bagian-bagian peka saluran pernapasan, misalnya

trakeobronkial, sehingga timbul sekresi berlebih dalam saluran pernapasan.

Dahak terbentuk secara berlebihan dari kelenjar lendir (mucus glands) dan

sel goblets oleh adanya stimuli, misalnya yang berasal dari gas, partikulat,

alergen dan mikroorganisme infeksius.

Kemudian sesak napas atau kesulitan bernapas disebabkan oleh aliran

udara dalam saluran pernapasan karena penyempitan. Penyempitan dapat

terjadi karena saluran pernapasan menguncup, oedema atau karena sekret

yang menghalangi arus udara. Sesak napas dapat ditentukan dengan

menghitung pernapasan dalam satu menit. Sedangkan bunyi mengi

merupakan salah satu tanda penyakit pernapasan yang turut diobservasikan

dalam penanganan infeksi akut selama pernapasan.

Berdasarkan hasil penelitian di pemintalan PT.Unitex pada pekerja

menunjukkan, 57,4% responden mengalami gejala ISPA ringan, yang


79

diperoleh dari pengisian kuesioner berdasarkan keluhan sesuai gejala ISPA

ringan oleh Depkes yaitu batuk tanpa pernapasan cepat, pilek, serak, sesak

yang disertai atau tanpa disetai panas dan demam, serta keluar cairan dari

telinga. Jika pekerja mengalami salah satu atau lebih dari gejala diatas

kemudian gejala tersebut dialama dalam jangka waktu 14 hari atau 2

minggu maka pekerja dianggap mengalami gejala ISPA ringan.

Untuk penanganan gejala ISPA pekerja di PT.Unitex masih bersifat

kuratif dan kurang upaya preventif, menurut pengakuan petugas kesehatan

di klinik perusahaan PT.Unitex, pekerja yang mengalami gejala sakit

pernapasan biasanya hanya meminta obat ke petugas klinik. Kecuali jika

gejalanya sudah menetap lebih dari seminggu, barulah pekerja berinisiatif

untuk memeriksakan dirinya ke dokter klinik perusahaan. Kemudian pekerja

tersebut akan mendapatkan resep obat. Jika pekerja masih mengalami

keluhan setelah itu, pekerja akan dirujuk ke rumah sakit.

6.3 Kadar Debu Total di Pemintalan

Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel

yang melayang di udara (Suspended Particulate Meter/SPM) dengan ukuran

1 mikron sampai dengan 500 mikron. Dalam kasus pencemaran udara baik

di dalam maupun diluar gedung debu sering dijadikan salah satu indikator

pencemaran. Digunakan untuk menunjukkan tingkat bahaya baik terhadap

lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (Pudjiastuti,

2002).
80

Dalam Environmental Protection Department (EPG, 2006) disebutkan

kadar debu total atau juga dikenal sebagai partikulat tersuspensi total (TSP)

mengacu pada semua partikel di atmosfer. Kadar debu total merupakan

partikel di udara yang memiliki diameter kurang dari 100 m (mikrometer).

Partikel debu di tempat kerja yang diukur dengan menghitung kadar

debu total, dapat berpengaruh terhadap pernapasan pekerja, karena partikel

debu dapat melayang-layang di udara dalam jangka waktu tertentu sehingga

terhirup oleh sistem pernapasan saat melakukan inspirasi. Menurut Brown

(1976) dalam Sintorini (2002) debu yang terhirup oleh sistem pernapasan

akan menimbulkan retensi (debu tertahan di dalam tubuh) dan menyebabkan

iritasi pada organ pernapasan.

Pengukuran kadar debu total di pemintalan PT.Unitex menggunakan

alat pengukur debu yaitu High Volume Sampler atau HVS. Pengukuran di

dua titik di lingkungan kerja pemintalan PT.Unitex yaitu di bagian kerja

ring spinning dan blowing carding adalah sebesar 188,6 g/m3 dan 379,4

g/m3.

Nilai Ambang Batas untuk Kadar Debu Total di Industri menurut

peraturan nasional yaitu Kepmenkes RI No.1405 Tahun 2002 adalah 10000

g/m3. Studi terhadap pekerja tekstil yang dilakukan Roach dan Schilling

(1960) menemukan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara respons

biologis tubuh dengan kadar debu total di tempat kerja. Kemudian mereka

juga menyebutkan jika kadar debu total maksimal di tempat kerja yang

masih dalam batas aman bagi kesehatan adalah 100 g/m3. Standar ini
81

kemudian digunakan sebagai nilai ambang batas debu di industri di Amerika

Serikat (Neil, 2011).

Lingkungan kerja di pemintalan PT.Unitex umumnya sangat berdebu,

untuk debu yang kasat mata banyak terdapat terutama di lantai-lantai area

kerja dan ventilasi udara. Karena di tempat ini terjadi pengolahan kapas

mentah menjadi benang. Kapas mentah banyak mengandung kotoran dan

partikel debu halus yang kemudian beterbangan saat proses pengolahan

dilakukan. Partikel debu ini kemudian dapat terhirup dan beresiko

menimbulkan gejala ISPA.

Pada ventilasi di ruangan kerja, peneliti menemukan beberapa ventilasi

terlihat berdebu tebal seperti jarang dibersihkan dan kurang mendapatkan

perawatan. Untuk meminimalkan debu yang terdapat di ruangan kerja telah

terdapat vakum otomatis yang berjalan mengitari mesin dan ruangan kerja.

Selain itu, terdapat alat pompa angin yang digunakan untuk menyingkirkan

debu ke arah sudut ruangan supaya mudah dibersihkan.

Berdasarkan pengamatan peneliti, pekerja di pemintalan PT.Unitex

sebagian besar tidak menggunakan masker, padahal pemintalan merupakan

daerah kerja yang berdebu. Penggunaan masker dapat mengurangi resiko

paparan debu terhadap gangguan pernapasan. Hal ini diperkuat oleh data

penelitian dari department of preventive and social medicine Baroda dalam

Ambarwati (2007) pada pekerja tekstil di kota Baroda yang menyatakan,

dari 11 responden yang tidak disiplin mengenakan masker 8 orang

mengalami penurunan fungsi paru. Sedangkan dari 11 responden yang


82

disiplin menggunakan masker terdapat dua orang yang mengalami

penurunan fungsi paru.

Pencegahan dan penanggulangan dampak debu terhadap kesehatan

pekerja diperlukan pengawasan, evaluasi dan perbaikan secara kontinyu

pada langkah-langkah keselamatan dan kesehatan kerja pada PT.Unitex.

Langkah-langkah yang memungkinkan untuk mengendalikan kadar debu

berdasarkan hirarki pengendalian resiko adalah dengan pengendalian

administratif, modifikasi dan penggunaan APD.

Untuk menghindari lamanya paparan pekerja dapat digunakan sistem

shift, dan membatasi waktu lembur pekerja. Sedangkan untuk modifikasi

tempat kerja yang lebih aman sebenarnya telah diterapkan oleh PT.Unitex

yaitu dengan memasang alat penghisap debu otomatis, alat pompa angin dan

tersedianya ventilasi. Namun demikian, alat-alat ini tentunya harus

dilakukan perbaikan dan pengecekan berkala. Pengecekan ini berfungsi agar

alat tersebut dapat berfungsi optimal sesuai fungsinya. Penggunaan alat

pelindung diri terhadap debu pada pekerja seperti masker juga harus sesuai

dengan besar partikel debu di lingkungan kerja.

6.4 Umur Pekerja Pemintalan PT.Unitex

Umur adalah salah satu karakteristik individu yang dapat memberikan

gambaran tentang faktor penyebab penyakit ataupun faktor sekunder yang

harus diperhitungkan untuk meneliti perbedaan frekuensi penyakit dengan

variabel lainnya (Halim, 2012).


83

Menurut Nelson dkk, (2005) semakin bertambah umur seseorang maka

akan terjadi degenerasi otot-otot pernapasan dan elastisitas jaringan

menurun. Sehingga kekuatan otot-otot pernapasan dalam menghirup

oksigen menjadi menurun. Kemudian karena faktor umur yang bertambah

maka semakin banyak alveoli yang rusak dan daya tahan tubuh semakin

rendah. Karena itu seseorang tersebut rentan terkena ISPA.

Pada umumnya umur pekerja di departemen pemintalan PT.Unitex

berkisar antara 19 hingga 55 tahun. Dengan rata-rata umur sebesar 36,19

tahun dan nilai tengah nya 34,50 tahun. Sedangkan standar deviasinya

sebesar 10,01 tahun. Rentang antara umur pekerja cukup besar yaitu mulai

dari usia dewasa muda hingga dewasa tua. Hal ini disebabkan hampir semua

pekerja di PT.Unitex merupakan lulusan SMA, SMK dan SMP. Sehingga

usia mereka mendaftar kerja di PT.Unitex adalah usia setelah lulus sekolah.

Hanya sebagian kecil yang merupakan lulusan perguruan tinggi yaitu D3

atau Perguruan Tinggi. Jikapun ada yang merupakan lulusan perguruan

tinggi, mereka akan bekerja di bagian office atau kantor perusahaan, bukan

di tempat produksi. Jika ada dari mereka kerja di bagian tempat produksi

maka akan menjadi supervisor atau pengawas.

Adapun terdapatnya pekerja dengan umur dewasa tua dikarenakan

pekerja di PT.Unitex umumnya bekerja dalam jangka waktu yang lama,

artinya pekerja cenderung bertahan di perusahaan tersebut. Dalam beberapa

kasus untuk pekerja di PT.Unitex yang memiliki keahlian khusus dan telah
84

memiliki banyak pengalaman, pekerja tersebut dapat dipanggil kembali

untuk bekerja walaupun umurnya sudah memasuki usia pensiun.

6.5 Masa Kerja Pekerja Pemintalan PT.Unitex

Masa kerja menunjukkan sudah berapa lama (tahun) pekerja bekerja di

pemintalan, sehingga dapat mengindikasikan lama paparan dalam tahun

terhadap kondisi lingkungan di area kerja. Seperti salah satunya lama

paparan terhadap kadar debu total. Semakin lama pekerja terpapar dengan

debu di lingkungan kerja, maka terdapat resiko paparan debu tersebut,

terutama yang berukuran kecil <3m akan mengendap di saluran

pernapasan bagian tengah dan dalam sehingga dapat memunculkan reaksi

radang dan alergi dan gangguan lainnya (Lipman, 1977).

Pekerja di departemen pemintalan PT.Unitex pada umumnya memiliki

masa kerja yang bervariasi yaitu ada yang baru bekerja selama satu tahun

hingga mencapai 32 tahun. Dengan rata-rata masa kerja sebesar 12,92 tahun

dan nilai tengah nya 12 tahun. Sedangkan standar deviasinya sebesar 8,517

tahun. Pekerja di PT.Unitex kebanyakan cenderung bertahan bekerja di

perusahaan tersebut, sehingga terdapat pekerja yang bekerja hingga puluhan

tahun. Hal ini juga mungkin disebabkan oleh letak PT.Unitex yang berada di

kabupaten Bogor, tidak terlalu banyak lapangan pekerjaan di daerah tersebut

yang dapat memberikan pendapatan pekerja sesuai upah minimum rata-rata.

Sehingga PT.Unitex dipandang dapat memberikan pendapatan yang

memadai.
85

6.6 Distribusi Jenis Kelamin Pekerja Pemintalan PT.Unitex

Menurut Noor (2008) faktor jenis kelamin merupakan salah satu

variabel deskriptif yang dapat memberikan perbedaan angka/rate kejadian

pada pria dan wanita. Perbedaan insiden penyakit menurut jenis kelamin,

dapat timbul karena bentuk anatomis, fisiologis dan sistem hormonal yang

berbeda antara laki-laki dan perempuan. Selain itu perbedaan frekuensi

penyakit tertentu menurut jenis kelamin dapat juga disebabkan akibat

adanya perbedaan jenis pekerjaan, akses dan penggunaan ke pelayanan

kesehatan, pola makan dan kerentanan.

Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa pekerja di pemintalan

lebih banyak yang berjenis kelamin laki-laki. Yaitu sebanyak 40 dari 54

pekerja, atau sebesar 74,1%. Pekerja di PT.Unitex yang merupakan industri

tekstil umumnya merupakan pekerjaan yang dinamis, karena jarang

ditemukan pekerja yang berdiam di satu tempat, khususnya di bagian

produksi seperti pemintalan. Selain itu pekerjaan yang dilakukan juga cukup

berat dan berhubungan dengan mesin. Mungkin karena hal tersebut lebih

banyak pekerja laki-laki di bagian produksi seperti departemen pemintalan.

6.7 Tingkat Pendidikan Pekerja Pemintalan PT.Unitex

Tingkat pendidikan dapat berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang.

Pengetahuan kemudian merupakan salah satu faktor yang dapat membentuk

perilaku selain dari sikap dan tindakan. Perilaku seseorang kemudian dapat

memengaruhi status kesehatannya.


86

Berdasarkan tabel 5.1 diketahui sebagian besar pekerja di departemen

pemintalan merupakan pekerja lulusan SMA yaitu sebanyak 25 dari 54

orang atau 46,3%, kemudian disusul oleh lulusan SMK dan SMP yang

sama-sama sebanyak 13 dari 54 orang atau 24,1%. Sedangkan pekerja yang

merupakan lulusan diploma tiga/ perguruan tinggi hanya sebanyak 2 orang

atau 3,7%.

Pekerjaan di pemintalan industri tekstil umumnya tidak memerlukan

memiliki keterampilan khusus. Biasanya pekerja akan cepat beradaptasi

dengan sistem kerja dan tata cara kerja di tempat kerja setelah beberapa

bulan bekerja. Oleh karena itu sebagian besar pekerja di PT.Unitex

merupakan lulusan SMA. Walaupun demikian karena industri tekstil

merupakan industri yang banyak melibatkan mesin dalam produksinya,

maka dibutuhkan tenaga kerja yang memiliki kemampuan teknis. Oleh

karena itu terdapat pekerja yang memiliki latar belakang pendidikan SMK.

Adapun pekerja yang memiliki latar belakang pendidikan D3/PT biasanya

ditempatkan di bagian manajemen dan di kantor perusahaan ataupun bagian

fungsional non-teknis lainnya.

6.8 Bagian Kerja Pekerja Pemintalan PT.Unitex

Bagian kerja di pemintalan PT.Unitex secara umum dapat dibagi

menjadi tiga bagian kerja, blowing carding, combing drawing dan ring

spinning. Pada bagian kerja blowing carding dilakukan penguraian

gumpalan-gumpalan serat kapas mentah dan pembersihan kotoran pada

kapas. Setelah penguraian, kemudian dilakukan pencampuran antara


87

beberapa jenis kapas secara merata. Kemudian proses dilanjutkan ke bagian

combing drawing. Pada bagian ini dilakukan penyisiran serat, pelurusan dan

pensejajaran serat, serta perbaikan kerataan campuran serat. Setelah itu

proses di pemintalan dilanjutkan ke bagian akhir yaitu ring spinning, disini

dilakukan peregangan benang dan penggulungan benang.

Cemaran yang beresiko mengganggu sistem pernapasan selama proses

di pemintalan mulai dari blowing carding hingga ring spinning adalah debu.

Namun berdasarkan kegiatan di tiap bagian kerja di pemintalan,

kemungkinan banyaknya debu berbeda-beda di tiap bagian. Pada bagian

kerja blowing carding dan combing drawing kapas masih dalam keadaan

serat-serat halus, sedangkan pada bagian ring spinning kapas telah

berbentuk benang untuk kemudian digulung ke dalam cones (tempat untuk

gulungan benang). Kadar debu di bagian kerja dapat berbeda-beda. Pada

bagian ring spinning jumlah mesin lebih banyak namun jenis mesin

kemungkinan lebih sedikit menghasilkan debu karena mesin di bagian ini

mengolah kapas yang bentuknya sudah hampir mendekati benang.

Sedangkan blowing carding jumlah mesin lebih sedikit tetapi jenis

mesinnya kebanyakan adalah mesin untuk proses pencacahan kapas mentah.

Adapun sebagian besar pekerja di departemen pemintalan PT.Unitex

merupakan pekerja di bagian ring spinning, yaitu sebanyak 25 pekerja atau

46,3%. Combing & drawing sebesar 31,5% dan paling sedikit pekerja yang

berasal dari blowing carding yaitu sebanyak 12 orang atau 22,2%.

Kemudian bagian kerja dikelompokkan lagi menjadi dua kategori


88

berdasarkan sistem kerja dan wilayah kerja yaitu ring spinning dan blowing

carding Perbedaan jumlah pekerja mungkin disebabkan oleh kesibukan

kegiatan dan beban kerja yang berbeda-beda ditiap bagian kerja. Seperti

jumlah mesin yang ada di tiap bagian kerja dan jumlah tahapan kerja yang

tidak sama diantar bagian.

6.9 Perilaku Merokok Pekerja Pemintalan PT.Unitex

Asap rokok merupakan zat iritan yang dapat menyebabkan infeksi pada

saluran pernapasan. Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia beracun

dan bahan-bahan yang dapat menimbulkan kanker (karsinogen). Kebiasaan

merokok dapat meningkatkan resiko terjadinya ISPA sebanyak 2,2 kali ,

oleh karena itu perilaku merokok merupakan salah satu faktor resiko ISPA

(Suryo, 2010).

Menurut Suryo (2010) merokok diketahui mempunyai hubungan dalam

meningkatkan resiko pada berbagai penyakit pernapasan seperti kanker paru,

dan bronkhitis kronis. Dalam satu batang rokok yang dihisap akan

dikeluarkan sekitar 4.000 bahan kimia berbahaya, di antaranya yang paling

berbahaya adalah Nikotin, Tar, dan Karbon Monoksida. Demikian pula

menurut Tarlo dkk (2010) merokok pada dewasa dapat menimbulkan

berbagai gangguan sistem pernapasan seperti kanker paru, gejala iritan akut,

asma, gejala pernapasan kronik, penyakit paru obstruktif kronik, infeksi

pernapasan.

Pekerja PT.Unitex di departemen pemintalan sebagian besar merupakan

pekerja laki-laki, sehingga perilaku merokok (pada jam istirahat) pada


89

pekerja dapat dengan mudah ditemui di kawasan perusahaan tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 20 dari 40 pekerja

laki-laki atau sekitar 50% nya memiliki perilaku merokok. Adapun sebesar

24,1% merupakan perokok ringan (IB 1-199), 11,1% perokok sedang (IB

200-599) dan 1,9% nya perokok berat (IB600).

Adanya perokok aktif tentunya selain membahayakan perokok tersebut

juga dapat menimbulkan resiko kesehatan pada perokok pasif (pekerja yang

tidak merokok tapi menghirup asap perokok). Adapun hal yang telah

dilakukan perusahaan untuk mengurangi resiko kesehatan perokok pasif

adalah dengan menyediakan tempat khusus merokok di kawasan industri ini.

Jikalau ada pekerja yang melanggar, yaitu merokok di tempat yang tidak

seharusnya akan menerima sanksi dan teguran keras dari pihak P2K3

PT.Unitex.

6.10 Lama Pajanan Pemintalan PT.Unitex

Lama pajanan debu merupakan salah satu faktor resiko yang dapat

mempengaruhi keparahan gangguan pernapasan yang diderita oleh pekerja.

Karena semakin lama paparan maka debu yang menumpuk semakin banyak

Dalam penelitian ini lama pajanan pada pekerja dibagi menjadi dua

kategori yaitu diatas sama dengan jam kerja normal, dan dibawah jam kerja

normal.

Adapun jam kerja normal adalah 8 jam kerja. Berdasarkan hasil

penelitian diketahui sebagian besar pekerja memiliki jam kerja diatas sama

dengan jam kerja normal yaitu 85,3%. Dan yang memiliki jam kerja
90

dibawah normal adalah sebesar 16.3%. Hal yang dapat dilakukan untuk

mengurangi lama pajanan misalnya dengan membatasi waktu lembur bagi

pekerja.
BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di departemen

pemintalan PT.Unitex selama bulan Mei-Juni Tahun 2014 maka simpulan

yang didapatkan adalah sebagai berikut :

1. Pengukuran kadar debu total di departemen pemintalan PT.Unitex

dilakukan di dua titik yaitu di bagian ring spinning dan blowing carding.

Hasil pengukuran menunjukkan kadar debu total di ring spinning adalah

188,6 g/m3 dan blowing carding adalah 379,4 g/m3.

2. Pekerja pemintalan yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah

pekerja non-shift sebanyak 54 orang. Dari jumlah tersebut sebanyak

57,4% responden mengalami gejala ISPA ringan.

3. Karakteristik individu pekerja yang diteliti adalah umur, jenis kelamin,

masa kerja, bagian kerja, tingkat pendidikan, perilaku merokok dan lama

paparan.

a. Umur pekerja pemintalan non-shift di PT.Unitex berkisar antara 19-

55 tahun dan rata-ratanya berumur 36,19 tahun dengan nilai tengah

34,5 tahun.

b. Sebanyak 74,1% pekerja berjenis kelamin laki-laki, sedangkan

perempuan hanya 25,9%.

c. Rata-rata masa kerja pekerja adalah 12,92 tahun, nilai tengahnya 12

tahun dengan kisaran lama kerja di antara 1 hingga 32 tahun.

91
92

d. Pekerja paling banyak yang bekerja di bagian ring spinning yaitu

sebesar 46%.

e. Pendidikan dibagi menjadi empat kategori yaitu SD, SMP, SMA,

SMK dan D3/PT, sebanyak 46,3% pekerja merupakan lulusan SMA

dan yang lainnya tersebar di kategori lainnya. Kemudian pendidikan

diklasifikasikan menjadi dua tingkatan yaitu rendah (SD dan SMP)

dan tinggi (SMA, SMK, D3/PT). Sebanyak 74% memiliki

pendidikan tinggi.

f. Sebanyak 37% pekerja merokok dengan perokok ringan paling

banyak yaitu sebesar 24,1%.

g. Sebagian besar pekerja memiliki lama paparan 8 jam per harinya.

4. Gejala ISPA ringan menurut kadar debu total dan karakteristik individu

pekerja

a. Dari pekerja yang terkena paparan debu 188,6 mg/m3 (pekerja ring

spinning), sebanyak 76% mengalami gejala ISPA ringan. Sedangkan

dari pekerja yang terkena paparan debu sebesar 379,4 mg/m3

(pekerja blowing carding dan combing drawing) sebesar 41,4%

mengalami gejala ISPA ringan.

b. Dari pekerja dengan umur <36 tahun sebanyak 59,3% mengalami

gejala ISPA ringan dan 36 tahun 55,6%.

c. Dari pekerja dengan masa kerja <12 tahun sebanyak 66,7%

mengalami gejala ISPA dan 12 tahun 48,1%.


93

d. Dari pekerja dengan jenis kelamin laki-laki tahun sebanyak 45%

mengalami gejala ISPA dan perempuan 92,9%.

e. Dari pekerja dengan tingkat pendidikan rendah tahun sebanyak

42,9 % mengalami gejala ISPA ringan.

f. Dari pekerja ring spinning sebanyak 76% mengalami gejala ISPA

dan blowing carding sebesar 41,4%

g. Dari pekerja yang memiliki perilaku merokok, setengahnya atau

50% mengalami gejala ISPA ringan.

h. Dari pekerja dengan lama pajanan jam kerja normal sebanyak

55,6% (25 dari 45 orang) mengalami gejala ISPA ringan sedangkan

pekerja dengan <jam kerja normal 66,7% (6 dari 9 orang).

7.2 Saran

7.2.1 Bagi Departemen Pemintalan PT.Unitex

1. Perlu dilakukan evaluasi pada SOP (Standard Operation Procedure

/ langkah-langkah kerja) yang diterapkan dan diamati resiko bahaya

dari tiap langkah kerja.

2. Pengawasan dan evaluasi berkala secara kontinyu terhadap

pengendalian administratif dan modifikasi lingkungan kerja yang

telah dilakukan.

3. Mendisiplinkan pekerja yang bekerja tidak memenuhi syarat

keselamatan yang ditetapkan oleh P2K3 perusahaan seperti tidak

menggunakan alat pelindung diri di lingkungan kerja.


94

4. Dokter di klinik perusahaan sebaiknya memberikan pembekalan

kepada perawat dan petugas klinik bagaimana penetapan pekerja

yang mengalami ISPA ketika dilakukan pencatatan. Hal ini perlu

dilakukan supaya tidak terjadi bias dalam pencatatan jumlah kasus

ISPA di perusahaan.

7.2.2 Bagi Pekerja

1. Bekerja sesuai dengan SOP yang ada dan disiplin menggunakan

peralatan safety (masker) sesuai dengan standar untuk mengurangi

resiko terpapar oleh pajanan berbahaya bagi kesehatan seperti

misalnya debu.

2. Jika ada keluhan sakit dan mulai timbulnya gejala sebaiknya tidak

menunda untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan terdekat

seperti klinik perusahaan.

7.2.3 Bagi Peneliti Lain

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui faktor yang

paling berhubungan dengan gejala ISPA pada pekerja pemintalan.

2. Memilih sampel secara keseluruhan pada pekerja tekstil PT.Unitex

seperti melibatkan pekerja baik pada pemintalan, penenunan dan

pencelupan dan dibandingkan kadar debu total di masing-masing

lingkungan kerja tersebut terhadap gejala ISPA atau penyakit

pernapasan lainnya.
95

3. Pengukuran pajanan debu terhadap pekerja sebaiknya dilakukan

pada tiap pekerja bukan di ruangan kerja, supaya dapat lebih

melihat pajanan yang diterima tiap-tiap pekerja.


DAFTAR PUSTAKA

Agussalim. 2012. Hubungan Pengetahuan, Status Imunisasi dan Keberadaan

Perokok Dalam Rumah dengan Penyakit ISPA pada Balita di Puskesmas

Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar. Jurnal ilmiah STIKES UBudiyah.

Vol 1, No 2, Maret 2012. Aceh

Alemu, Kassahun, Abera Kumie dan Gail Davey. 2010. Byssinosis and other

respiratory symptomps among factory workers in Akaki textile factory,

Ethiopia. Ethiop. J.Health. Dev. 24(2) 133-139.

Ambarwati dkk. 2007. Rancang Bangun Alat Pemisah Serabut dengan Biji Kapuk.

Surakarta. Warta Vol 10 No 2 September 2007

Amerika Serikat. 2010. National Ambient Air Quality Standards by United State

Environmental Protection Agency (USEPA) dalam Himpunan Peraturan

Perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Kementerian

Lingkungan Hidup RI.

Arief, Muhammad Latar. 2013. Lingkungan Kerja Faktor Debu. Fakultas Ilmu

Kesehatan, Program Studi Kesehatan Masyarakat. Universitas Esa Unggul.

Jakarta

Asih, Niluh Gede Yasmin dan Christiany Effendy. 2004. Keperawatan Medikal

Bedah : Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Penerbit EGC. Jakarta

Barus, Nerseri. 2005. Prevalensi dan Pola Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan

Akut di Tiga Kelurahan Kecamatan Medan Baru, Kota Medan. Fakultas

Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara


Calvert, Jack G. 1990. International Union of Pure and Applied Chemistry

(IUPAC), Glossary of Atmospheric Chemistry Terms. IUPAC. Britania Raya

Clark, Jim. 2007. Polyester. Tersedia di : http://www.chem-is-

try.org/materi_kimia/sifat_senyawa_organik/ester1/poliester/. Diakses pada

23 Januari 2014.

Daly, Aaron dan Paolo Zanmettii. 2007. An Introduction to Air Pollution-

Definitions, Classifications anda History. (Jurnal). The Arab School for

Science and Technology (ASST) USA

Dharmage. 2009. Risk Factors of Acute Lower Tract Infections in Children Under

Five Years Of Age. Medical Public Health.

Depkes. 1993. Bimbingan Keterampilan dalam Tata Laksana Penderita Infeksi

Saluran Pernapasan Akut pada Anak. Dirjen P2PM Depkes RI. Jakarta

Depkes. 2002. Etiologi ISPA dan Pneumonia. Tersedia di :

litbang.depkes.co.id,online. Akses : 8 Maret 2014

Depkes. 2004. Kawasan tanpa rokok. Pusat Promkes. Depkes RI. Jakarta

Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran

Pernapasan. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Depkes RI.

Jakarta

Depkes RI. 2006. Glosarium Data dan Informasi Kesehatan. Depkes RI. Jakarta

Depkes RI. 2008. Riskesdas 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan, Depkes RI. Jakarta


EPG (Environmental Protection Department). 2006. Air Quality. Tersedia di :

http://www.epd.gov.hk/epd/english/environmentinhk/air/air_quality/aq_ann

ualrpt_96_4.html, Diakses pada 20-04-14 20:46 WIB.

Ester, Monica. 1999. Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan dan Sistem

Kardiovaskular. Penerbit EGC. Jakarta

Fardiaz, Srikandi. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta. Penerbit Kanisius

Firdausia, Annisa. 2013. Hubungan Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan dengan

Perilaku Pencegahan ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gang

Sehat, Pontianak. Fakultas Kedokteran. Universitas Tanjungpura Pontianak

Fitria, Laila et al. 2008. Kualitas Udara Dalam Ruang Perpustakaan Universitas

x Ditinjau Dari Kualitas Biologi, Fisik dan Kimiawi, Makara, Kesehatan.

Vol 12 No2.

Florencia, Dinda Anggun. 2013. Pengaruh Pajanan Debu Urea Terhadap Infeksi

Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Pekerja di Unit Pengantongan

Pupuk Urea (PPU) PT.Pupuk Sriwijaya Palembang. Skripsi. Fakultas

Kesehatan Masyarakat. Universitas Sriwijaya Palembang.

Halim, D. 2000. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta. Hipokrates.

Hastono, S.P. 2001. Analisis Data. Jakarta. Universitas Indonesia. Jakarta.

IMFJ. 2001. Seamic Health Statistics, Internatioanal Medical Foundation of

Japan. Seamic Publication No 84 ISBN 4-930783-84-4. Japan.

Istijanto, 2005. Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta. PT Gramedia Pustaka

Utama.
KBBI. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus versi online dalam

jaringan. Kementerian Pendidikan dan Budaya. Tersedia di :

http://kbbi.web.id/udara

Lemeshow, Stanley, David W. Hosmer dkk. 1997. Besar Sampel dalam

Penelitian Kesehatan (terjemahan). Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Lippman. 2007. Regional Deposition of Particles in the Human Respiratory

Tract dalam Lee DHK, Murphy S (Editor),Handbook of Physiology:Section

IV. Environmental Physiology. William and Wilkins Press, Philadelphia.

Tarlo, Susan M. dkk. 2010. Occupational and Environmental Disease.UK. Wiley-

Blackwell Press.

Marsam, Soleh. 2003. Hubungan Pemaparan Debu Kapas dengan Penurunan

Fungsi Paru (VC,FV dan FEV1) Pada Pembuat Kasur di Desa Banjakerta

Kecamatan Karanganyar Kabupaten Purbalingga Tahun 2003. FKM

Universitas Dipenogoro. Semarang

Memon, Ismail dkk. 2008. Prevalence of byssinosis in spinning and textile

workers of Karachi, Pakistan. Pakistan. Environmental and Occupational

Health, Vol.63, No.3, 2008. Hal 138-142

Mengkidi, Dorce. 2006. Gangguan Fungsi Paru dan Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhinya Pada Karyawan PT.Semen Tonasa Pangkep Sulawesi

Selatan. Tesis, Program Pascasarjana Kesehatan Lingkungan Industri.

Universitas Dipenogoro Semarang.

Mikrajuddin dkk. 2007. IPA Terpadu. Esis. Jakarta


Mukono, H.J. 2000. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Airlangga University

Press. Surabaya.

Muttaqin,Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem

Pernapasan. Jakarta. Penerbit Salemba Merdeka

Nagoda, Okapi dan Babashani. 2011. Assesment of Respiratory Symptomps and

Lung Function Among Textile Workers At Kano Textile Mills, Kano Nigeria.

Nigerian Journal of Clinical Practice Vol 15 Issue 4. Nigeria

Neil, Schachter. 2011. Respiratory Effects and Other Disease Patterns in Textile

Industry. ILO Encyclopedia of Occupational Health&Safety. Geneva

Noor, Nur Nasry. 2008. Epidemiologi. Jakarta. Rineka Cipta Press

Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta

Nugrahaeni, S.F.S, 2004. Analisis Faktor Resiko Kadar Debu Organik di Udara

Terhadap Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Industri Penggilingan Padi

di Kabupaten Demak. Tesis, Magister Ilmu Kesehatan Lingkungan.

Universitas Dipenogoro Semarang.

Paudyal dkk. 2010. Exposure Dust and Endotoxin in Textile Processing Workers.

Oxford Journal of Medicine and Health Vol 55, Issue 4.Nepal

Pemerintah Daerah Kota Bogor. 2012. Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Daerah (RPJMD) 2010-2014. Bappeda Kota Bogor.

BPLHD Jawa Barat. 2007. Laporan Akhir : Pemantauan Kualitas Udara dengan

Passive Sampler. BPLH Jabar.

Pemerintah Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999

Tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Jakarta


Pemerintah Indonesia. 2012. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan

Akut. Kemenkes RI. Jakarta

Pemerintah Indonesia. 1984. Undang-Undang tentang Perindustrian. UU No.5

Tahun 1984, LN 1984 Nomor 22 Tahun 1984.

Setiawan, Ebta. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI. Kementerian

Pendidikan dan Budaya. Jakarta

Pradika, Zenis Dulkan. 2011. Pengaruh Paparan Debu Total di Tempat Kerja

Terhadap Fungsi Paru Karyawan PT.Marunda Grahamineral Job Site

Laung Tuhup Kalimantan Tengah. Fakultas Kedokteran. Universitas

Sebelas Maret Surakarta

PT.Unitex. 2013. Laporan Bulan Januari - Desember 2013 PT.Unitex. PT.

Unitex. Bogor

Pudjiastuti, Wiwiek. 2002. Debu Sebagai Bahan Pencemar Yang Membahayakan

Kesehatan Kerja. Depkes RI. Jakarta

Purigiwati, Astiti. 2010. Rancang Bangun dan Uji Kinerja Alat Pengukur Total

Suspended Particulate (TSP) dengan Metode High Volume Air Sampling.

Skripsi. IPB Bogor

Putranto, R. 2007 . Pajanan Debu Kayu (PM10) dan Gejala Penyakit Saluran

Pernapasan pada Pekerja Mebel Sektor Informal di Kota Pontianak

Kalimantan Barat. (Tesis) PS-UI

Setiawan A. 2002. Hubungan Kadar Total Suspended Particulate (TSP) dengan

Fungsi Paru di Lingkungan Industri Semen (Studi Kasus pada Cibinong

Pabrik Cilacap). Tesis . Semarang.


Singh, SB dkk. 2012. Respiratory Morbidities of Jute Mill Workers in Nepal.

Nepal Journal Online Vol 10 (No.3) 181-186. Tersedia di :

http://www.nepjol.info/index.php/HREN/article/view/7132. Nepal

Sintorini, MM. 2002. Hubungan Antara Kadar PM10 Udara Ambien dengan

Kejadian Gejala Penyakit Saluran Pernapasan. PS-UI Depok.

Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Penerbit EGC. Jakarta

Sormin, Kety Rohani. 2012. Hubungan Karakteristik dan Perilaku Pekerja yang

Terpajan Debu Kapas dengan Kejadian ISPA di PT. Unitex Tahun 2011.

Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia Depok

Sumamur. 1991. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Haji Mas Agung.

Jakarta

Suryanta, Naik. 2009. Pengaruh Pengendalian Paparan Debu Pada Pekerja

Pensortiran Daun Tembakau di PT.X Kabupaten Deli,Serdang. Tesis.

Universitas Sumatera Utara. Medan

Suryo, Joko. 2010. Herbal Penyembuhan Gangguan Sistem Pernapasan. Bentang

Pustaka. Yogyakarta

Tim Dosen Biologi. Biologi Dasar. Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. Jakarta. 2008

Trisnawati, Yuli dan Juwarni. 2012. Hubungan Perilaku Merokok Orangtua

dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Rembang

Kabupaten Purbalingga 2012. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.

Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto


Wardhana, W.A. 1994. Dampak Pencemaran Lingkungan, Andi Offset,

Yogyakarta

WHO. 1999. Hazard Prevention And Control In The Work Environment:

Airborne Dust. WHO. Jenewa

WHO. 2007. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut

(ISPA) Yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas

Pelayanan Kesehatan. WHO. Jenewa

WHO. 2010. The WHO Air Quality Guideline, World Health Organization 2006.

Dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan di bidang pengelolaan

lingkungan hidup. Kementerian Lingkungan Hidup RI.

Wuninggar, Nur Roshita. 2002. Hubungan Paparan Debu dengan Kejadian ISPA

Ringan Pekerja Bagian Texturizing PT Texmacao Taman Syntethics

Kaliwungu. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas

Dipenogoro Semarang.
KEMENTERIAN AGAMA
UNTVERSTTAS rSLAM NEGERT ( UrN )
I IIL. SYAR]F HIDAYATT]LLAH JAKARTA
gTI I FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

r. Kcrtamukti No. 5 pisangan ciputat r54re $if;n" ;ffi.?,J,fl::if ffirf:'ift'd1fffr:".,.

Ciputat, o3 lanuari 2014


Nomor :Un.0l/Fl0lKM.0t.2l n D0t4
Lampiran :-
Hal : Permohonan Izin Studi Pendahuluan

Kepada Yang Terhormat,


General Manager PT. UNITEX Tbk.
di Jl. Raya Tajur No.1
Bogor-Jaw,a Barat

Assalamu'alaikum Wr. Wb.


Dalam rangka penyelesaian tugas akhir perkuliahan mahasiswa
diperlukan penyusunan Skripsi yang berjudul "Kadar Debu Total dan Gejala
ISPA Rrngan Pada Pekerja Departemen Pemintalan di
[pT.UNITDL Tbk Bogor
Tahun 2Ol4''
Sehubungan dengan itu karni mohon diberikan izin melaksanakan studi
pendahuluan atas nama :

Nama Alya Mutiara Basti


NIM I 1 10101000056
Semester VI]
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas. Kedokteran dan llmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta

Demikian atas perhatian dan bantuan Saudara kami ucapkan terima


kasih.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

mik,
,/
Widjajakusumah, AIF,., PFK
Tembusan:
1. Dekan FKIK
Lampiran 2 : Kuesioner

KUESIONER PENELITIAN ANALISIS KADAR DEBU TOTAL (TSP) TERHADAP


RESIKO ISPA PADA PEKERJA DEPARTEMEN PEMINTALAN DI PT.UNITEX
BOGOR TAHUN 2014
LEMBAR KESEDIAAN RESPONDEN

Assalamualaikum. Wr. Wb.

Saya Alya Mutiara Basti, Mahasiswi Peminatan Kesehatan Lingkungan Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sedang melakukan
penelitian tentang ANALISIS KADAR DEBU TOTAL (TSP) TERHADAP RESIKO ISPA PADA
PEKERJA DEPARTEMEN PEMINTALAN DI PT.UNITEX BOGOR. Adapun penelitian ini ditujukan
sebagai alat pengumpulan data primer untuk kegiatan skripsi peneliti.
Kami berharap Bapak/Ibu bersedia menjadi responden penelitian kami dengan menjawab semua
pertanyaan yang ada di kuisioner ini. Informasi yang anda berikan akan kami jaga kerahasiaannya. Jika
anda bersedia di mohon untuk menandatangani lembar persetujuan yang telah disediakan.
Data Responden
1. Nomor responden : ____________________________
2. Nama responden : ____________________________
3. Hari/tanggal pengamatan : ____________________________

Dengan ini bersedia menjadi responden pada penelitian ini.

, , 2014

Responden

(...............................................)
Lampiran 2 : Kuesioner

KARAKTERISTIK PEKERJA KODING


(Diisi Peneliti)

KP1 Nomor Responden (Kosongkan)

KP2 Nama Responden

KP3 Nomor
Hp/Telp.Rumah/Email
(Pilih salah satu)

KP4 Alamat

KP5 Jenis Kelamin L / P

KP6 Umur Tahun

KP7 Masa Kerja Tahun

KP8 Pendidikan terakhir a. SD


b. SMP
c. SMK
d. SMA
e. Diploma/Perguruan
Tinggi

KP9 Tempat kerja di Pemintalan a. Kepala Bagian


b. Kepala Seksi
c. Blowing & Carding
d. Combing, Drawing,
Finishing
e. Ring spinning, finishing
f. Lainnya (sebutkan):

A. PERILAKU MEROKOK (TEMBAKAU) KODING


(Diisi Peneliti)

A1 Apakah anda pernah merokok? a. Ya


b. Tidak
(Tidak jika kurang dari 20 pak rokok atau 12 rokok
klentingan selama hidup dan kurang dari 1 batang
Lampiran 2 : Kuesioner

rokok perhari selama setahun)


(Jika Tidak lanjutkan ke pertanyaan bagian B)
Jika Ya lanjutkan ke pertanyaan A.2)
A.2 Apakah anda sekarang sedang merokok? a. Ya
b. Tidak

A.3 Umur berapa anda pertama kali merokok? (Umur


dalam tahun)
Tahun

A.4 Apabila anda pernah benar-benar berhenti merokok,


umur berapa anda saat berhenti merokok tersebut?
Tahun

A.5 Saat ini, berapa batang rokok yang anda konsumsi


per hari?
batang

A.6 Selama anda merokok, kira-kira berapa rata-rata


batang rokok perhari yang anda konsumsi?
batang

A.7 Apakah anda menghisap atau pernah menghisap asap a. Tidak sama
dari rokok? sekali
b. Sedikit
c. Sedang
d. Dalam-
dalam

B. LAMA PAPARAN KODING


(Diisi Peneliti)

B.1 Apakah anda bekerja penuh waktu (30 jam atau lebih a. Ya
per minggu atau 8 jam perhari dalam waktu 6 bulan b. Tidak
atau lebih?
B.2 Apakah anda pernah bekerja lembur (>8jam perhari) a. Ya
dalam seminggu terakhir? b. Tidak
Lampiran 2 : Kuesioner

C. GEJALA ISPA KODING


(Diisi Peneliti)

C.1 Apakah dalam satu bulan a. Batuk tanpa pernapasan cepat


terakhir anda mengalami (<40 kali/meit)
salah satu atau lebih dari b. Pilek (mengeluarkan lendir),
gejala berikut ? c. Serak
d. Sesak yang disertai atau tanpa
disertai panas atau demam (>37C)
e. Keluarnya cairan dari telinga tanpa
rasa sakit pada telinga.

C.2 Jika Ya pada pertanyaan 1, a. Ya


Apakah anda mengalami b. Tidak
gejala tersebut hingga 14
hari/ 2 minggu ?
Lampiran 3 : Hasil Uji Lab Kadar Debu Total
Lampiran 4 : Hasil Analisis SPSS

Uji Normalitas Data Numerik

Umur ,

Masa Kerja
Lampiran 4 : Hasil Analisis SPSS

Hasil Univariat

1. Gejala ISPA

2. Kadar Debu Total


Lampiran 4 : Hasil Analisis SPSS

3. Umur
Lampiran 4 : Hasil Analisis SPSS

4. Masa Kerja
Lampiran 4 : Hasil Analisis SPSS

5. Jenis Kelamin

6. Tingkat Pendidikan

7. Bagian Kerja
Lampiran 4 : Hasil Analisis SPSS

8. Perilaku Merokok

9. Lama Pajanan
Lampiran 4 : Hasil Analisis SPSS

Distribusi gejala ISPA ringan menurut kadar debu dan karakteristik individu
pekerja

1. Kadar debu total

2. Umur
Lampiran 4 : Hasil Analisis SPSS

3. Masa Kerja

4. Jenis Kelamin

5. Bagian Kerja
Lampiran 4 : Hasil Analisis SPSS

6. Tingkat Pendidikan

7. Perilaku Merokok
Lampiran 4 : Hasil Analisis SPSS

8. Lama Pajanan

You might also like