You are on page 1of 5

AMBIGUITAS MAKNA DALAM PERSPEKTIF

NEURO-PSIKOLINGUISTIK
Pendahuluan
Ambiguitas atau kegandaan makna dapat terjadi pada tingkat fonetik, leksikal, dan
gramatikal. Kalimat ambigu akan sulit dipahami oleh orang yang mengalami gangguan
hemisfer kanan dan akan sulit diproses oleh orang yang memiliki kapasitas kerja memori
yang rendah. Dari sisi psikolinguistik, ambiguitas dipengaruhi proses pemahaman terhadap
ujaran, yaitu kalimat yang ambigu memerlukan waktu lebih lama untuk dipahami.
Ambiguitas dapat dihindarkan melalui konteks, pemberian penanda batas (leksikal, unsur
prosodi berupa jeda, tanda baca), dan kecermatan struktur gramatikal dengan memperhatikan
fitur-fitur semantik kata.

Ambiguitas makna adalah terjadinya tafsiran lebih dari satu makna. Hal ini dapat terjadi baik
dalam ujaran lisan maupun tulisan. Tafsiran lebih dari satu ini dapat menimbulkan keraguan
dan kebingungan dalam mengambil keputusan tentang makna yang dimaksud.

Jenis Ambiguitas
Ullmann (dalam Pateda, 2001: 202; Djajasudarma, 1999: 54) membagi ambiguitas menjadi
tiga tipe utama, yaitu ambiguitas tingkat fonetik, tingkat leksikal, dan tingkat gramatikal.

Ambiguitas tingkat fonetik

Ambiguitas tingkat fonetik timbul akibat membaurnya bunyi-bunyi bahasa yang diujarkan,
kadang karena kata-kata yang membentuk kalimat diujarkan terlalu cepat sehingga orang
menjadi ragu akan makna kalimat yang diujarkan (Pateda, 2001: 202), seperti tampak pada
contoh berikut :

beruang mempunyai uang atau nama binatang


bukanangka bukan angka, buka nangka, bukan nangka

Ambiguitas ini berhubungan dengan keraguan kita terhadap bunyi bahasa yang kita dengar.
Kadang-kadang karena ragu-ragu, kita mengambil keputusan yang keliru.

Ambiguitas tingkat leksikal

Ambiguitas tingkat leksikal adalah macam ambiguitas yang disebabkan oleh bentuk leksikal
yang dipakai (Dardjowidjojo, 2005: 76). Hal ini berkaitan dengan makna yang dikandung
setiap kata yang dapat memiliki lebih dari satu makna atau mengacu pada sesuatu yang
berbeda sesuai lingkungan pemakaiannya, sebagaimana tampak pada contoh berikut :

Ini bukunya.
Masing-masing mendapat satu kursi.

Pada a) kata buku dapat mengandung makna lebih dari satu, sehingga pada kalimat tersebut
tidak jelas yang manakah makna buku dimaksud. Begitu pula halnya pada b) kata kursi dapat
mengandung lebih dari satu makna dan pada kedua kalimat tersebut tidak ada kejelasan
makna apa yang dimaksud.

Ambiguitas tingkat Gramatikal

Ambiguitas ini muncul pada tataran morfologi dan sintaksis (Djajasudarma, 1999: 55). Pada
tataran morfologi ambiguitas muncul dalam pembentukan kata secara gramatikal, misalnya
kata Pemukul yang bermakna ganda orang yang memukul atau alat untuk memukul.

Pada tataran sintaksis ambiguitas muncul pada frasa, klausa, dan kalimat. Tiap kata yang
membentuk frasa atau kalimat itu telah jelas, tetapi dalam pengombinasiannya dapat memiliki
tafsiran lebih dari satu pengertian. Frasa orang tua dapat bermakna orang yang tua atau ibu-
bapak.

Gleason dan Ratner (1998, dalam Dardjowidjojo, 2005: 77) membagi ambiguitas gramatikal
menjadi dua macam, yaitu :

Ambiguitas sementara (local ambiguity), yaitu fungsi sintaktik suatu bentuk leksikal berstatus
ambigu sampai pada suatu saat di mana kita memperoleh kata-kata tambahan yang mengudari
(disambiguate) ambiguitas itu. Contoh:

The horse raced past the barn fell.

Sebelum mendengar kata fell, kata raced diduga sebagai predikat the horse karena urutan NP-
VP maka V merupakan predikat NP. Interpretasi pertama kita adalah bahwa kuda itu berlari
melewati kandang. Namun, begitu mendengar verba fell jelaslah bahwa predikatnya bukan
raced, tetapi fell. Dengan demikian kalimat tersebut tidak lagi ambigu setelah munculnya
verba fell.

Ambiguitas abadi (standing ambiguity), yaitu kalimat yang tetap ambigu walaupun telah
sampai pada kata terakhir. Contoh:

The shooting of the hunter was terrible.

Old men and women went to town.

Pada kalimat-kalimat tersebut tetap ada dua tafsiran makna untuk masing-masing kalimat
walaupun kalimat tersebut telah berakhir.

Ambiguitas dari Segi Neurologi dan Psikologi


Faktor neurologis merupakan faktor yang juga sangat penting dalam penguasaan bahasa.
Proses berbahasa ini dikendalikan oleh otak yang merupakan pengatur dan pengendali gerak
semua aktivitas manusia. Bagian otak manusia yang menangani fungsi bahasa disebut korteks
selebral, yang terdiri dari dua bagian, yaitu hemisfer kiri dan kanan. Kedua hemisfer ini
dihubungkan oleh korpus kalosum yang mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kerja
kedua hemisfer tersebut.
Pada mulanya, melalui berbagai penelitian dan tes yang dilakukan para ahli (Wada, Kimura,
dll), dinyatakan bahwa hemisfer kiri bertanggung jawab dalam pengelolaan bahasa. Namun,
perkembangan terakhir menunjukkan bahwa hemisfer kanan pun turut bertanggung jawab
dalam penggunaan bahasa walaupun tidak seintensif hemisfer kiri. Hal ini didapati pada
orang-orang yang terganggu hemisfer kanannya, yaitu antara lain kemampuan mengurutkan
peristiwa sebuah cerita menjadi kacau, kesukaran menarik inferensi, kesukaran memahami
metafora atau sarkasme, dan tidak dapat memahami kalimat yang ambigu (lihat
Dardjowidjojo, 2005: 212-213).

Dari uraian tersebut tampak bahwa kesulitan mendeteksi kalimat yang ambigu dapat
berkaitan dengan faktor neurologis, terutama hemisfer kanan. Pada kondisi otak yang normal
(kedua hemisfer tidak mengalami kerusakan) ambiguitas berkaitan dengan kerja memori
leksikal manusia. Angela D. Friederici (dari Max Planck Institute of Cognitive Neuroscience)
menyatakan bahwa kalimat yang ambigu akan sulit diproses oleh orang yang memiliki
kapasitas kerja memori yang rendah.

Dari sudut psikolinguistik, ambiguitas dipengaruhi oleh komprehensi yang berkaitan dengan
pemahaman atas ujaran. Pemahaman terhadap kalimat yang ambigu memerlukan waktu yang
lebih lama untuk diproses. Hal ini terjadi karena pendengar menerka makna tertentu, tetapi
ternyata terkaan itu tidak benar sehingga harus mundur kembali untuk memroses ulang
seluruh interpretasi dia (Dardjowodjojo, 2005: 76).

Berbagai penelitian telah dilakukan antara lain oleh MacKay (1966), Foss (1970), dan Garret
(1970) yang membuktikan bahwa ambiguitas berpengaruh terhadap pemahaman. Melalui
analisis Reaction Times (RT) terhadap kalimat ambigu didapati hasil bahwa kalimat ambigu
memperlambat proses pemahaman dibandingkan dengan kalimat yang tidak ambigu. Foss
dan Jenkins (1973) bahkan mengaitkan proses pemahaman terhadap kalimat ambigu ini
dengan konteks yang netral dan bias.

Pemecahan Masalah Ambiguitas


Dalam berbagai macam ambiguitas mana pun, yang memegang peranan sangat penting
adalah konteks. Dari konteks itulah kita dapat menentukan makna yang dimaksud (lihat
Dardjowodjojo, 2005: 78; Chaer, 2003: 288) sehingga ambiguitas dapat dihilangkan. Konteks
ini dapat berupa konteks situasi sehingga pada kalimat (6), bila konteksnya adalah transaksi
uang, maka bank kemungkinannya merujuk pada tempat simpan-menyimpan uang. Bila
konteksnya polisi brutal yang mengejar-ngejar pemburu, maka kalimat (8) mungkin berarti
penembakan terhadap si pemburu, bukan kualitas tembakan si pemburu itu.

Selain konteks situasi seperti contoh di atas, konteks kalimat pun dapat menghilangkan
ambiguitas. Misalnya, bila kata kursi diujarkan Pada pemilihan anggota dewan masing-
masing partai mendapat satu kursi jelaslah acuan makna kursi dalam kalimat itu, yaitu
kedudukan.

Pemberian penanda batas dapat pula menghindarkan ambiguitas, antara lain penanda batas :

1. Leksikal, seperti pada contoh Guru baru datang

a. Guru baru itu datang


b. Guru itu baru datang

2. Unsur prosodi berupa jeda (dalam ragam lisan), sehingga klausa itu menjadi:

Guru baru // datang


Guru // baru datang

Begitu pula dengan kalimat bahasa Inggris They are broiling hens yang melalui jeda dalam
pengucapan dapat dipahami maksudnya apakah They // are broiling // hens ataukah They
are // broiling hens. Namun, terdapat pula struktur gramatikal yang ambiguitasnya tidak dapat
diatasi melalui jeda seperti dalam kalimat bahasa Inggris berikut :

The chicken is ready to eat.

Untuk menghindarkan ambigu, kalimat tersebut dapat diparafrase (cara leksikal) sebagai
berikut :

a. The chicken is ready to eat (something).

b. The chicken is ready to be eaten.

3. Tanda baca (dalam ragam tulis), misalnya Buku sejarah baru

Buku-sejarah baru (Yang baru adalah buku sejarah)


Buku sejarah-baru (Buku tentang sejarah baru)

Ambiguitas pun dapat dihindarkan melalui kecermatan struktur gramatikal termasuk pula
dengan memperhatikan fitur-fitur semantik kata (leksem). Sebagai contoh, ambiguitas frasa
dari C.A. Mess (dalam Chaer, 2003: 289):

Lukisan Yusuf Struktur frasa ini memiliki interpretasi:

Lukisan itu milik Yusuf.


Lukisan itu karya Yusuf.
Lukisan itu menampilkan wajah Yusuf.

Interpretasi-interpretasi tersebut muncul karena fitur-fitur makna inheren yang dimiliki


leksem Yusuf, yaitu :

[+manusia] yang berpotensi [+pemilik] sehingga menimbulkan interpretasi (a)

[+pelaku] yang memunculkan interpretasi (b)

[+objek] yang memunculkan interpretasi (c).

Penutup
Ambiguitas dapat terjadi pada tingkat fonetik (pengujaran yang terlalu cepat), leksikal (setiap
kata dapat memiliki lebih dari satu makna), dan tingkat gramatikal (pada tataran morfologi
dan sintaksis).

Dari sisi neurologi, kalimat ambigu akan sulit dipahami oleh orang yang mengalami
gangguan hemisfer kanannya. Pada kondisi otak yang tidak mengalami gangguan, kalimat
ambigu akan sulit diproses oleh orang yang memiliki kapasitas kerja memori yang rendah.

Menurut psikolinguistik, ambiguitas dipengaruhi oleh proses pemahaman terhadap suatu


ujaran. Kalimat yang ambigu memerlukan waktu yang lebih lama untuk dipahami
dibandingkan dengan kalimat yang tidak ambigu.

Ambiguitas dapat dihindarkan antara lain melalui konteks (situasi dan kalimat), pemberian
penanda batas (leksikal, unsur prosodi berupa jeda, tanda baca), dan kecermatan struktur
gramatikal dengan memerhatikan pula fitur-fitur semantik kata.

Daftar Pustaka
Aminuddin. 2003. Semantik. Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.

Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

__________ . 2003. Psikolinguistik. Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik. Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia.


Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Djajasudarma, T. Fatimah. 1999. Semantik 1. Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung:


Refika.

Foss, Donald J. dan Hakes, David T. tanpa tahun. Psycholinguistics. An Introduction to The
Psychology of Language. New Jersey: Prentice-Hall.

Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.

You might also like