You are on page 1of 6

AMARTYA SEN: KEADILAN

MULTIKULTURALISTIK
Oleh Benyamin Molan

(Artikel ini merupakan ringkasan dari tulisan yang selengkapnya dimuat, dengan judul yang
sama, dalam Respons, Jurnal Etika Sosial, Volume 16 Nomor 02 Desember 2011.)

Pembicaraan tentang keadilan harus dilakukan bukan dengan tujuan untuk mendapatkan
konsep yang abstrak tentang apa itu masyarakat yang adil, melainkan dengan tujuan untuk
menyingkirkan atau paling sedikit mengurangi ketidak adilan. Amartya Sen menawarkan satu
pendekatan baru yang lebih praktis, dengan memperhatikan keadilan yang dipraktikkan
ketimbang teori-teori tentang keadilan yang condong bermuara pada institusionalisme. Dia
menulis dalam bukunya The Idea of Justice bahwa keadilan akhirnya terkait dengan cara orang
menjalani kehidupan, bukan hanya dengan dunia institusi yang melingkupi mereka.

Maka masalah keadilan harus didekati dengan cara yang praktis dan bukan teoritis, supaya bisa
secara efektif menciptakan keadilan atau sekurang-kurangnya mengurangi ketidak akilan.
Upaya untuk mendapatkan keadilan tidak bisa dilepaskan dari konsep keadilan masyarakat
faktual konkrit yang bisa diperbandingkan. Bagaimana kita bisa mendapatkan pemahaman
mengenai keadilan kalau pendekatannya bersifat teoritis idealistik yang kemudian ternyata sulit
untuk diaplikasi.

Keadilan: masalah klasik

Sebelum Amartya Sen, sudah banyak pemikir yang berbicara tentang keadilan. Pada zaman
Homeros ketika kehidupan nampaknya masih lebih sederhana, keadilan umumnya dimengerti
sebagai balas dendam alias gigi ganti gigi, mata ganti mata. Faham keadilan mulai menjadi
kompleks ketika Plato berbicara tentang keadilan yang bersifat ilahi; keadilan adalah suatu idea
yang hanya bisa dicita-citakan secara tidak utuh, tidak lengkap, atau tidak sempurna oleh
manusia. Selanjutnya Aristoteles memperkenalkan satu kriteria formal tentang keadilan yang
kemudian mendapatkan persetujuan cukup besar mungkin karena keformalannya yang kental:
Perlakukan secara setara kepada yang setara dan secara tidak setara kepada yang tidak setara
(Treat equals equally and unequals unequally). Sejak itu rmuncul berbagai definisi tentang
keadilan dari para filsuf dan pemikir. Kalimat-kalimat yang mulai dengan keadilan adalah
. semakin populer. Dan kita bersentuhan dengan begitu banyak pihak yang tidak persis kita
ketahui apakah mereka benar-benar memahami apa itu keadilan, termasuk malaikat keadilan
(perempuan berbalut mata, simbol keadilan). Bagi Thomas Aquinas keadilan adalah kejujuran
pikiran di mana orang melakukan apa yang harus dilakukan dalam situasi yang dihadapinya.
Bagi Hume keadilan tidak lain adalah temuan artifisial. Bagi Learned Hand, seorang hakim
Amerika, keadilan adalah akomodasi kepentingan-kepentingan masyarakat yang berkonflik
yang dapat ditolerir. Pembicaraan tentang keadilan menjadi berlimpah karena rangkaian
konsep ini sering deterapkan pada keputusan, orang, prosedur, hukum aksi, peristiwa. Di
samping itu semua, Rawls akhirnya tampil dengan konsep keadilan sebagai fairness (Justice is
Fairness).

Melihat pendekatan terhadap keadilan yang lebih bersifat teoritis Amartya Sen melakukan
pendekatan baru. Konsep Amartya Sen tentang keadilan dalam bukunya The Idea of Justice

1
telah menjadi satu pendekatan yang menarik. Dia seolah-olah membangunkan kita dari tidur
panjang. Betapa kita sudah bergumul berabad-abad memperjuangkan keadilan dan pada
akhirnya malah tidak mendapatkan keadilan, selain hanyut dalam keasyikan mengutak-atik apa
itu keadilan. Bahkan keasyikan itu telah menghabiskan waktu berabad-abad sehingga semakin
menjadi tidak jelas apakah hewan abstrak yang namanya keadilan itu memang ada, atau
sebenarnya hanya fatamorgana yang membuat kita terus menerus mengejarnya tanpa bisa
menggapainya. Kita sepertinya lupa pada tujuan pokok yakni melenyapkan ketidak-adilan atau
paling sedikit menguranginya.

Setiap tindakan yang dilakukan tanpa tujuan jelas hanya akan berakhir pada satu konsep yang
bagus tetapi tidak bermanfaat untuk memperbaiki nasib manusia. Maka Sen mengajak kita
untuk kembali melihat keadilan tanpa melepaskan diri dari tujuan yakni, tidak sekadar
menemukan apa itu keadilan melainkan, membuatnya menjadi sesuatu yang terwujud dan
bermanfaat untuk kepentingan masyarakat manusia. Pembicaraan tentang keadilan harus
bermuara pada mengurangi ketidak-adilan dan memajukan keadilan dan bukan pada
menunjukkan karakterisasi ideal masyarakat yang adil.

Prakata buku The Idea of Justice cukup jelas memperlihatkan hal ini. Di situ
dinyatakan dengan jelas bahwa Apa yang disajikan di sini adalah teori tentang keadilan dalam
pengertian yang luas. Tujuannya adalah untuk mengklarifikasi bagaimana kita dapat terus maju
dan mengajukan pertanyaan tentang meningkatkan keadilan dan menggusur ketidak-adilan,
dan bukannya menawarkan resolusi atas pertanyaan menyangkut sifat dari keadilan yang
paripurna. Amartya Sen. (2009)

Karena itu Sen tidak mendekati keadilan dari berbagai teori melainkan berhadapan dengan
praktik. Itu berarti dia akan berhadapan dengan berbagai praktik keadilan yang tentu saja bisa
sangat beraneka ragam. Dengan kata lain, dia akan menggumuli berbagai konsep praksis
keadilan yang dianut dalam berbagai macam suku, budaya, keyakinan, gender, agama, kelas,
dan sebagainya.

Pendekatan Transendental dan Komparatif

Sen dalam bukunya The Idea of Justice banyak mengeritik John Rawls ketika dia berbicara
tentang pendekatan yang dia sebut sebagai transendental dan komparatif. Sen menyebut
metode Rawls sebagai transcendental institutionism, dikontraskan dengan pendekatannya
sendiri yakni pendekatan komparatif.(Amartya Sen 2009)

Dua model pendekatan ini yang kemudian digambarkan dalam dua makna keadilan yang
berbeda dalam bahasa Sanskrit yakni niti, kepatutan organisasi dan ketepatan perilaku yang
berhubungan dengan aturan (rules); dan nyaya, yang berarti keadilan yang direalisasikan, yang
lebih berkaitan dengan keadilan (justice).amarya Sen, 2009). Dalam konteks India, peran
lembaga, aturan dan organisasi harus dinilai dalam perspektif dunia yang lebih luas dan lebih
inklusif sebagaimana yang sesungguhnya terjadi. Menurut Sen, model keadilannya adalah
nyaya (justice) bukan niti (rules). Niti lebih mengarah ke pendekatan transendental
sedangkan nyaya lebih pada pendekatan komparatif.

Teori transendental sering juga disebut teori ideal karena teori tersebut mau menciptakan
satu laporan tentang kadilan yang universal, berlaku di mana-mana, dan sepanjang waktu. Sen
meragukan dan cenderung berpendapat bahwa pendekatan tunggal semacam ini tidak mungkin
untuk ditempuh. Ada banyak sekali teori keadilan, dan masalahnya adalah teori mana yang

2
harus diikuti. Di sinilah ceritanya mengenai Ann, Bob, and Carla, mengilustrasikannya. Semua
pernyataan bisa benar, dan Sen menunjukkan bahwa siapa saja bisa dengan alasannya
memberikan flute itu kepada salah satunya. Utilitariansdan dengan alasan berbeda,
Aristotelianslebih menyukai Ann, egalitarians menyukai Bob, libertarians menyukai Carla,
tetapi masalahnya adalah tidak ada alasan untuk mengandaikan siapa yang benar.

Masih dalam kritiknya terhadap teori ideal bahwa dalam perbandingan, kita selalu
membandingan dua hal dengan kriteria ukuran yang sama. Dalam praktik, kita selalu
membandingkan kemungkinan kebijakan dengan kemungkinan kebijakan, bukan dengan ideal.
(Orang pergi membeli baju ke pasar, misalnya, tidak membandingkan baju itu dengan baju
yang ideal melainkan membandingkannya dengan baju lain yang ada di pasar.) Sen
menggunakan analogi: jika saya diminta untuk mengatakan apakah lukisan van Gogh atau
Picasso yang lebih baik, saya tidak bisa mengatakan bahwa lukisan Mona Lisa-nya da Vinci
adalah lukisan terbaik sepanjang masa. Di sini Sen hanya mau mengatakan bahwa mengejar
keadilan sebenarnya adalah soal perbandingan.

Sen secara santun menyatakan ketidak-sepakatannya dengan para pemikir lain, bahkan ketika
ia secara elegan membuang ke kotak sampah keseluruhan aliran pemikiran ekonomi dan sosial.
Dia menghempaskan kehandalan GDP sebagai ukuran peningkatan obyek-obyek
kesejahteraan yang membosankan; dan mencatat bahwa penggunaan income sebagai ukuran
komparatif dari kesejahteraan itu dianggapnya sebagai kekurangan karena ada perbedaan-
perbedaan dalam tingkatan (rates) di mana orang dapat mengubah kekayaan menjadi hal-hal
lain. (Poin terakhir ini adalah contoh dari insistensinya bahwa pemikiran tentang keadilan harus
memperhitungkan kehidupan yang dapat benar-benar dirintis orang, dan bukannya situasi
birokratik statistik di mana mereka ditempatkan.) Tampak bahwa istilah-istilahnya tentang
rujukan tidak dibatasi pada politik barat: dia meminjam distingsi yang mencerahkan dari
pemikiran India klasik, dan menghancurkan prasangka bahwa demokrasi, jika dimengerti
secara luas sebagai pemerintahan dengan penalaran publik, sebenarnya secara eksklusif
merupakan tradisi barat.

Melalui The Idea of Justice, Sen mengundang kita untuk terlibat dalam penalaran publik
mengejar keadilan, bukan dengan rujukan pada suatu jenis ideal melainkan pada kondisi yang
praktis, membandingkan dampak kebijakan-kebijakan khusus, dan bercermin pada cara segala
sesuatu dilakukan atas nama imparsialitas dan fairness. Dia mengundang kita untuk
mempertimbangkan aturan-aturan sosial secara keseluruhan, untuk menilai dampaknya
terhadap lingkup komprehensif yang lebih luas tanpa menjadi terobsesi dengan prosedur dari
aturan formalsingkatnya, dia mengundang kita untuk mempertimbangkan nyaya dan bukan
hanya niti, Smith dan bukan hanya Kant.

Dengan pendekatannya yang lebih praktis dan pluralaistik, buku ini menjadi karya monumental
yang terus menyuarakan hal yang sama. Bila orang di seluruh dunia berjuang untuk
mendapatkan keadilah yang lebih global, mereka tidak berteriak-teriak untuk menuntut suatu
jenis kemanusiaan minimal. Mereka punya cukup kepekaan untuk menyadari bahwa dunia
yang sepenuhnya adil adalah impian yang utopis. Yang mereka inginkan adalah penyingkiran
atas beberapa penataan yang sangat tidak adil untuk meningkatkan keadilan global.

Menyingkirkan Ketidak-adilan sebagai Nilai Bersama

Dengan pendekatan komparatif Sen melihat fakta mengenai keadilan dalam berbagai
masyarakat suku. Dia melihat ada fakta pluralistik dalam hal keadilan. Apa yang dilakukan Sen

3
dalam pendekatannya terhadap keadilan sebenarnya sejalan dengan pendekatan
multikulturalistik. Dengan kata lain model pendekatan komparatifnya terhadap keadilan yang
bertolak dari praktik-praktik keadilan dalam budaya sebenarnya juga merupakan langkah-
langkah yang multikulturalistik. Artinya dia tidak berangkat dari teori keadilan melainkan
berangkat dari praktik keadilan yang ada pada berbagai kultur yang ada. Itu berarti
pendekatannya mula-mula bersifat pluralistik dan bermuara pada multikulturalistik. Dia tidak
hanya sampai pada keanekaragaman konsep keadilan melainkan, melalui perbandingan,
diskusi, dialog, dari berbagai konsep keadilan yang beranekaragam, dia sampai pada keadilan
multikulturalistik, yang bisa diterima bersama. Dan karena praktik-praktik keadilan itu ada
pada beraneka ragam budaya, maka dia harus berangkat dari sana untuk berkontribusi pada
penciptaan keadilan serta menyingkirkan ketidak-adilan, dan bukannya sekedar membangun
ideal masyarakat multikultural tentang keadilan dan mencocokannya dengan suatu model ideal
yang teoritis. Ini sejalan dengan metode komparatif praktis yang ditempuhnya bersama
Adam Smith, Karl Marx, dan bukannya metode transendental ideal yang ditempuh John
Rawls, John Locke, Immanuel Kant, dll.

Tampak bahwa pendekatan ini sejalan dengan konsep menemukan nilai-nilai bersama dalam
hal ini nilai keadilanyang bisa menjadi landasan bagi bahasa bersama untuk bertindak dan
berperilaku dalam kehidupan bersama sebagai masyarakat yang berkeadilan. Dan nilai-nilai
bersama ini tidak dibangun di atas struktur teoritis yang transendental dan institusional
melainkan di atas praktik-praktik keadilan yang komparatif; dari situ bisa diharapkan untuk
bisa ditemukan bukannya nilai-nilai keadilan yang ideal teoritis melainkan nilai-nilai keadilan
yang konkrit dan bisa dipahami bersama.

Karena itu pendekatan Sen terhadap keadilan bukan berujung pada keyakinan bahwa masing-
masing identitas punya budaya sendiri-sendiri sehingga tidak terjadi titik temu, melainkan juga
memberi peluang bebas kepada masing-masing orang atau kelompok untuk memilih identitas
mana yang bisa menjadi mediasi untuk mencapai titik temu mengenai keadilan. Dengan
demikian, lebih praktis kalau berangkat dari hal konkrit menyangkut ketidak-adilan daripada
keadilan. Lebih mudah mengidentifikasi keadilan dari aspek kualitas negatif daripada aspek
kualitas positif.

Hal ini juga bisa dimengerti dan lebih dapat diterima mengingat keadilan yang teroritis dan
abstrak itu kurang dikenal dalam masyarakat tradisional. Dalam bahasa daerah saya sendiri pun
saya tidak menemukan kata keadilan. Yang dikenal adalah rumusan-rumusan negatif, dengan
kata jangan, seperti jangan curang, jangan berdusta, jangan berat sebelah, jangan serakah,
jangan menang sendiri dsb.

Pendekatan ini sejalan dengan konsep pendekatan multikultural untuk menemukan nilai-nilai
bersama dari berbagai budaya yang beraneka ragam seperti yang dikemukakan Sisela Bok.
Pendekatan ini dalam multikulturalisme dikenal sebagai pendekatan nilai minimalis dan
pendekatan nilai maksimalis. Nilai minimalis adalah nilai bersama yang dapat ditemukan
dalam nilai-nilai paling dasar yang menjadi tuntutan fundamental untuk menjamin kehidupan.
Dan karena kehidupan hanya bisa dilakukan dalam kebersamaan maka nilai-nilai fundamental
ini bisa juga menjadi tuntutan untuk kehidupan bersama demi menjamin berlangsungnya
kehidupan individu. Nilai-nilai bersama, dalam hal ini juga keadilan, digali dari praktik-praktik
kehidupan budaya dan bukannya didasarkan pada teori-teori rasional melalui kesepakatan-
kesepakatan yang dibentuk dalam sebuah institusi.

4
Menyimak apa yang dilakukan Sen dalam pendekatan terhadap keadilan, tampak bahwa
pendekatannya adalah pendekatan pluralistis. Artinya dia mulai dengan praktik keadilan yang
beragam. Tetapi dia tidak hanya sampai pada pendekatan pluralistik saja yang terkesan
monokulutral yang plural, melainkan multikulturalistik. Artinya dia tidak hanya menerima
keanekaragaman keadilan melainkan juga menemukan langkah bersama untuk sekurang-
kurang mengurangi ketidak adilan. Dia bisa bertolak dari nilai bersama yang bisa dirumuskan
secara negatif yakni, ketidak adilan, dan kemudian menemukan jalan bersama untuk
memperbaiki ketidak adilan. Jadi pendekatan pluralistik lebih melihat aspek perbedaan-
perbedaan kekhasan keunikan yang mengarah kepada kebebasan. Sedangkan multikulturalistik
itu lebih sebagai aspek bagaimana menghadapi dan menyikapi perbedaan-perbedaan itu. Dan
itu ditemukan dalam nilai-nilai bersama yakni menyingkirkan-ketidak-adilan. Nilai keadilan
multikulturalistik ini justru ditemukan melalui penalaran, diskusi, dialog yang bebas. Dalam
situasi situasi ini orang bissa terkondisi untuk mampu menemukan semua identitasnya dan
bukan hanya terpelotot pada satu identitas saja yang sifatnya eksklusif.

Dengan demikian Sen tidak hanya sampai pada keanekaragaman praktik yang bisa
menimbulkan konflik melainkan mengajak kita untuk terus bergumul menemukan cita-cita
bersama yakni melawan ketidak-adilan dan dengan demikian mencapai, atau sekurang-
kurangnya menghasilkan, keadilan, dan mengurangi ketidak-adilan global.

Memperhatikan alur pemikiran tentang, dan pendekatan Sen, terhadap ide keadilan, tampak
adanya pengaruh yang sangat kental dari pergolakan pemikirannya tentang persoalan
kemanusiaan pada umumnya yang digumulinya dalam buku-buku dan artikelnya, terutama
pemikirannya tentang multikulturalisme yang dicurahkannya dalam bukunya Identity and
Violence. Dalam Identity and Violence misalnya, dia tidak melihat multikulturalisme hanya
sebagai plural-monoculturalism yang menekankan keanekaragaman secara berlebihan,
melainkan juga membuka sekat-sekat budaya melalui multi-identitas, dialog, diskusi,
penalaran, kebebasan, demokrasi yang mampu memodulasikan sekat-sekat itu.

Pemikirannya tentang keadilan dalam bukunya Idea of Justice telah menggoyang pendekatan
terhadap konsep keadilan yang ditempuh selama ini. Dengan kembali ke pendekatan praktis
komparatif terhadap keadilan, sepertinya Sen mengajak kita untuk melihat bukannya keadilan
ideal yang tidak memihak melainkan keadilan yang punya lingkup budaya, yang boleh kita
sebut budaya keadilan. Dan budaya keadilan tidak bisa terlihat tanpa menengok pada praktik-
praktik budaya yang ada.

Budaya keadilan merupakan lingkup budaya yang menaungi konsep keadilah pada setiap
budya. Maka Sen menyadarkan kita bahwa kita tidak bisa bicara keadilan hanya dengan
mengandalkan konsep keadilan global yang cenderung menjadi utopis. Banyak masalah
muncul di berbagai aspek kehidupan justru karena lingkup budaya pendukung sering dicopot,
sehingga menjadi compang-camping, berantakan dan tidak merupakan satu keutuhan lagi.
Betapa kita mengalami banyak masalah teknologi karena kita hanya mengambil teknologinya
tanpa peduli pada budaya pendukungnya. Juga di dunia pendidikan, kita mengimpor sistem
pendidikan dari luar negeri yang sangat efektif di negeri asalnya, tetapi di Indonesia tidak jalan.
Itu semua terjadi karena sistem atau teknologi sudah dipreteli dari budayanya. Ekonomi kita
yang lepas dari budaya juga sudah ditunjukkan oleh Karl Polanyi, bahwa ekonomi akan hancur
kalau lepas atau tercerabut dari relasi sosial dan budaya. Ekonomi telah melenggang sendiri
dalam lingkaran setan keangkuhan, melibas seluruh tatanan sosial tempat dia datang dan
dibesarkan.

5
Kali ini Amartya Sen menunjukkan kepada kita bahwa cita-cita keadilan juga akan menjadi
utopis kalau lepas dari budaya. Di sinilah Amartya Sen dan Polanyi bertemu. Kalau Polanyi
megeritik ekonomi kapitalis sebagai ekonomi yang sudah tercerabut (disembedded) dari akar
budaya, maka Amartya Sen juga menunjukkan bahwa keadilan pun sudah tercerabut dari akar
budaya dan perlu ditanamkan kembali (embedded).

Selain itu, pendekatan Amartya Sen sebenarnya bukan hanya pendekatan terhadap keadilan
yang pluralistik melainkan pendekatan yang menuju ke keadilan yang multikulturalistik.
Artinya dia tidak hanya melihat keanekaragaman budaya keadilan, melainkan juga
mengupayakan bagaimana keadilan pluralistik itu bisa sekurang-kurangnya sampai pada
membuat masyarakat menjadi lebih adil dan mengurangi ketidak-adilan, dan bukannya
memelihara konflik tentang keadilan. Dengan demikian terlihat bahwa pendekatan praktis
komparatif Sen tidak bermuara pada pertentangan nilai soal keadilan melainkan mau
memperjuangkan keadilan secara bersama-sama, menemukan nilai keadilan bersama, dengan
menempatkan kembali keadilan dalam rasa keadilan pada masyarakat dan bukannya berteori
tentang keadilan yang akhirnya hanya menghasilkan kebingungan dan konflik yang tak
berujung. Apa yan dilakukan Sen sebenarnya membuat kita harus berpikir kembali tentang
hukum adat, kearifan-kearifan lokal, musyawarah, kemauan untuk berdialog, yang kiranya bisa
merupakan sumbangan yang berharga dalam mengurangi ketidak-adilan dan mengupayakan
masyarakat yang lebih berkeadilan.

Daftar Pustaka

1. Amartya Sen. (2009). The Idea of Justice. Cambridge, Mass: Belknap Press of
Harvard University Press).
2. Amartya Sen. (1983). Poverty and Famines. New York: Oxford University Press.
3. Amartya Sen, More Than 100 Million Women Are Missing, New York Review of
Books 37, no. 20, December 20, 1990.
4. Amartya Sen. (2006). Identity and Violence, New York: W. W. Norton & Company.
5. Andre Ata Ujan et al. (2010). Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama dalam
Perbedaan. Jakarta: Indeks.
6. Carin Romano, Amartya Sen Shakes Up Justice Theory, The Cronicle Review,
September 14, 2009.
7. Chris Brown, On Amartya Sen and The Idea of Justice, Ethics & International
Affairs,Volume 24.3 (Fall 2010).
8. John Rawls. 1970. A Theory of Justice. Cambridge, Mass.: Belknap Press of Harvard
University Press.
9. Nitin Pay, Amartya Sens Wrong Idea of Justice, Public Policy, 29 th July 2009.
10. Sissela Bok. (1995). Cultural Diversity, Common Values. Columbia and London:
University of Missouri Press.
11. Stephen May. (1999). Critical Multiculturalism. Great Britain: Falmer Press.
12. Ziauddin Sandar, Book Review: The Idea of Justice dalam The Independent, 21
August, 2009

You might also like