You are on page 1of 35

REFERAT/CLINICAL SCIENCE SESSION

*Kepaniteraan Klinik senior/ G1A216024/ November 2016


**Pembimbing/ dr. Apriyanto, Sp.BS, M.Kes

CEDERA KEPALA Penatalaksanaan Cedera Kepala dengan Multipel


Trauma
Amanda Nofita Dewi, S. Ked * dr. Apriyanto, Sp.BS, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN BEDAH RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2016

1
BAB I
PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kecacatan dan kematian


yang cukup tinggi dalam neurologi dan menjadi masalah kesehatan karena
penderitanya sebagian besar orang muda, sehat, dan produktif. Dibandingkan
dengan cedera lainnya, presentase cedera kepala adalah yang tertinggi, yaitu
sekitar lebih atau sama dengan 80%. Kira kira sekitar 5% penderita cedera
kepala meninggal di tempat kejadian.1
Angka kejadian cedera kepala menempati 15 20 % kematian pada orang
berusia 5 hingga 35 tahun dan 1% dari seluruh kematian pada orang dewasa. Di
Amerika Serikat sekitar 1,4 juta orang menderita cedera kepala setiap tahunnya,
dari semua pasien 3500 pasien harus di rawat di ICU. Dari berbagai kasus cedera
ini, ternyata hampir 50% merupakan cedera kepala atau cedera bagian tubuh
lainnya yang disertai pula oleh cedera kepala.2,3
Kasus cedera kepala terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas,
disamping kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari ketinggian maupun
akibat kekerasan. Cedera kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif
non kongenital yang terjadi akibat ruda paksa mekanis eksternal yang
menyebabkan kepala mengalami gangguan kognitif, fisik, dan psikososial
sementara atau permanen.
Cedera kepala akan terus menjadi problem masalah yang sangat. Di
Amerika Serikat, Sebagian besar pasien dengan cedera kepala (75 80%) adalah
cedera kepala ringan (CKR), sisanya merupakan cedera dengan kategori sedang
atau cedera kepala sedang (CKS) dan cedera kepala berat (CKB) dalam jumlah
yang sama yaitu 10%.1,4
Data Epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu
rumah sakit di Jakarta, RSCM, untuk penderita rawat inap, terdapat 60-70%
dengan CKR, 15-20% dengan CKS dan sekitar 10% dengan CKB. Angka
kematian tertinggi sekitar 35-50% akibat CKB, 5-10% akibat CKS.5

2
Cedera kepala mempunyai dampak emosional, psikososial, dan ekonomi
yang cukup besar sebab penderitanya sering menjalani masa perawatan rumah
sakit yang panjang, dan 5-10% setelah perawatan rumah sakit masih
membutuhkan pelayanan jangka panjang.1

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kepala


2.1.1 Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu: 6
Skin atau kulit. Skin bersifat tebal dan mengandung rambut serta kelenjar
sebasea (keringat).
Connective tissue atau jaringan penyambung. Merupakan jaringan lemak yang
memiliki septa-septa, kaya akan pembuluh darah terutama diatas galea.
Pembuluh darah tersebut merupakan anastomosis antara arteri karotis interna
dan eksterna, tetapi lebih dominan arteri karotis eksterna.
Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan
langsung dengan tengkorak. Aponeurosis galea merupakan lapisan terkuat,
berupa fascia yang melekat pada tiga otot, yaitu m.frontalis (anterior),
m.occipitalis (posterior), m.temporoparietalis (lateral). Ketiga otot ini
dipersarafi oleh N. VII.
Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar. Loose areolar tissue,
lapisan ini mengandung vena emissary yang merupakan vena tanpa katup,
menghubungkan SCALP, vena diploica, dan sinus vena intrakranial. Jika
terjadi infeksi pada lapisan ini, akan dengan mudah menyebar ke intrakranial.
Avulsi SCALP bisa terjadi pada lapisan ini. Hematoma yang terjadi pada
lapisan ini disebut Subgaleal hematom, merupakan hematoma yang paling
sering ditemukan setelah cedera kepala, terutama anak-anak.
Perikranium, merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak, melekat
erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini periosteum akan langsung
berhubungan dengan endosteum. Jaringan penunjang longgar memisahkan
galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa
terjadinya perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah
sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan
banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang

4
cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk
mengeluarkannya.

Gambar 1. Kulit kepala

2.1.2 Tulang Tengkorak


Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiridari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya
diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis
cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak
akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa
yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa
posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.6,7

Gambar 2. Tulang tengkorak kepala

5
2.1.3 Meningen (Selaput Otak)
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan, yaitu:6,7

Gambar 2. Lapisan Pelindung Otak.


(Dikutip dari: Wexner Medical Center. Available at:
http://medicalcenter.osu.edu/patientcare/healthcare_services/nervous_system/meningitis/Pages/ind
ex.aspx)

1) Duramater
Duramater, secara embriologi berasal dari mesoderm. Terletak paling luar, terdiri
atas dua lapisan yaitu lapisan luar (lapisan periosteal) langsung melekat pada
endosteum tabula interna dan lapisan dalam (lapisan meningeal). Duramater
merupakan selaput yang keras,terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat
pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang
terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan
subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Vein, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.

6
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Diperdarahi
oleh arteri meningea anterior, media, dan posterior. Masing-masing merupakan
cabang dari arteri opthtalmika untuk yang anterior, arteri carotis eksterna untuk
yang media, dan arteri vertebralis untuk yang posterior.
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi
pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis.
2) Arakhnoid
Arakhnoid, secara embriologi berasal dari ektoderm. Terletak tepat dibawah
duramater. Lapisan ini merupakan lapisan avaskuler, mendapatkan nutrisi dari
CSS (Cairan Serebospinal). Ke arah dalam, lapisan ini memiliki banyak trabekula
yang melekat pada lapisan epipial dari piamater. Selaput ini dipisahkan dari dura
mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural, dan dari pia mater oleh
spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan
subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3) Pia mater
Pia mater secara embriologis dan histologis sama dengan arachnoid, hanya pada
lapisan ini sel-selnya tidak saling tumpang tindih. Terdiri dari dua lapisan yaitu
lapisan epipial (luar) dan lapisan pia-glia (dalam). Melekat erat pada permukaan
korteks serebri. Pia mater adalah membrana vaskular yang dengan erat
membungkus otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci yang paling dalam.
Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteri-arteri yang masuk ke dalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.

2.1.4 Anatomi Otak


Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak. Serebrum
terdiri dari hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri, yaitu
lipatan duramater yang merupakan lanjutan dari sinus sagitalis superior di garis
tengah. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara pada semua manusia yang

7
bekerja dengan tangan kanan, dan juga pada lebih 85% orang kidal. Hemisfer otak
yang mengandung pusat bicara disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontal
mengontrol inisiatif, emosi, fungsi motoric dan pada sisi yang dominan
mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Pada semua orang yang bekerja dengan tangan
kanan dan sebagian orang kidal, lobus temporal kiri bertanggung jawab dalam
kemampuan menerima rangsang dan integrasi bicara. Lobus oksipital bertanggung
jawab dalam penglihatan.8
Batang otak terdiri dari mesensefalon (midbrain), pons dan medulla
oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi system aktivasi reticular
yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pusat kardiorespiratorik
berada di medulla oblongata yang berlanjut memanjang menjadi medulla spinalis.
Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis
yang berat. Serebelum terutama bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, membentuk hubungan dengan
medulla spinalis, batang otak dan akhirnya dengan kedua hemisfer serebri.8

Gambar 3. Bagian otak


b(Dikutip dari: University of Maryland. Available at:
http://www.umm.edu/patiented/articles/what_brain_tumors_000089_1.htm)

8
2.1.5 Sistem Ventrikel
Ventrikel-ventrikel adalah suatu system berupa rongga yang berisi Liquor
Cerebrospinal (LCS). Berlokasi dibagian atap ventrikel lateralis kanan dan kiri
dan ventrikel III terdapat pleksus khoroideus yang menghasilkan LCS dengan
kecepatan kira-kira 20 ml/jam. LCS mengalir dari ventrikel lateral ke foramen
Monroe menuju ventrikel III, lalu ke akuaduktus Sylvius menuju ventrikel IV di
fossa posterior. Selanjutnya LCS keluar dari system ventrikel dan masuk dalam
rongga subarachnoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis
dan akan mengalami reabsorbsi kedalam sirkulasi vena melalui granulasio
arachnoid menuju sinus sagitalis superior.8,9
Adanya darah dalam LCS dapat mengganggu penyerapan LCS,
menyebabkan tekanan tinggi intracranial dan pembesaran ventrikel (hidrosefalus
komunikan pasca trauma). Pembengkakan atau edema dan lesi massa (misalnya
perdarahan) dapat menyebabkan pergeseran ventrikel yang biasanya simetris yang
dengan mudah terlihat pada hasil CT scan otak.

Gambar 4. Aliran cairan serebrospinal


(Dikutip dari: http://medic4u.webs.com/anatomy.htm)

2.1.6 Tentorium8
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang

9
infratentorial (berisi fosa kranii posterior). Mesensefalon (midbrain)
menghubungkan hemisfer serebri dengan batang otak (pons dan medulla
oblongata) dan berjalan melalui celah lebar tentorium serebeli yang disebut
insisura tentorial.
Nervus okulomotorius berjalan sepanjang tepi tentorium, dan saraf ini dapat
tertekan bila terjadi herniasi lobus temporal, yang umumnya diakibatkan oleh
adanya massa supratentorial atau edema otak. Serabut-serabut parasimpatik yang
berfungsi melakukan konstriksi pupil mata berjalan dipermukaan nervus
okulomotorius. Tekanan terhadap serabut superfisial ini saat terjadinya herniasi
menyebabkan pupil dilatasi sebagai akibat tidak adanya hambatan terhadap
aktivitas serabut simpatis, sering disebut sebagai blown pupil.
Bagian otak yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial
adalah sisi medial lobus temporal yang disebut Unkus.
Herniasi Unkus juga menyebabkan penekanan traktus kortikospinal
(piramidalis) yang berjalan di midbrain otak tengah. Traktus piramidalis atau
traktus motorik menyilang garis tengah menuju sisi berlawanan pada level
foramen magnum, sehingga penekanan pada traktus ini menyebabkan paresis otot-
otot sisi tubuh kontralateral (hemiparese kontralateral). Dilatasi pupil ipsilateral
disertai hemiparese kontralateral dikenal sebagai sebagai sindrom klasik herniasi
unkus. Kadang-kadang, lesi massa yang terjadi akan menekan dan mendorong sisi
kontralateral midbrain pada tentorium serebeli sehingga mengakibatkan
hemiparese dan dilatasi pupil pada sisi yang sama dengan hematoma
intrakranialnya (sindroma lekukan Kernohan).

2.1.7 Fisiologi
Konsep fisiologis yang berhubungan dengan cedera otak meliputi tekanan
intrakranial, doktrin Monro-Kellie, dan aliran darah otak.8

A. Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan
kenaikan tekanan intrakanial (TIK). Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi

10
otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. TIK normal pada keadaan
istirahat kira-kira 10 mmHg. TIK lebih tinggi dari 20 mmHg, terutama bila
menetap dan sulit diatasi menyebabkan kesudahan yang sangat buruk.

B. Doktrin Monro-Kellie

Doktrin Monro-Kellie merupakan suatu konsep sederhana tetapi penting


untuk memahami dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa tekanan
intracranial harus selalu konstan, karena rongga cranium pada dasarnya
merupakan rongga yang kaku, tidak elastik dan tidak mungkin mekar. Darah
didalam vena dan CSS dapat dikeluarkan dan dipindahkan dari rongga tengkorak,
sehingga TIK tetap normal. Sehingga segera setelah cedera otak, suatu massa
seperti perdarahan dapat bertambah dengan TIK masih tetap normal. Namun
sewaktu batas pemindahan /pengeluaran CSS dan darah intravascular tadi
terlewati maka TIK secara sangat cepat akan meningkat.

C. Aliran Darah ke Otak (ADO, Cerebral Blood Flow)


ADO normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 mL per 100 gr
jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar bergantung pada
usianya. Pada usia 1 tahun, ADO hampir seperti orang dewasa, tetapi pada usia 5
tahun ADO bisa mencapai 90 ml/100gr/menit, dan secara bertahap akan turun
sampai seperti ADO dewasa saat mencapai pertengahan atau akhir masa remaja.
Cedera otak berat yang dapat menyebabkan koma dapat mengakibatkan
penurunan ADO dalam beberapa jam pertama sejak trauma. ADO biasanya akan
meningkat setelah 2-3 hari, tetapi pada pasien yang tetap koma, ADO tetap
dibawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah trauma. Semakin
banyak bukti yang menyatakan bahwa ADO tidak dapat mencukupi kebutuhan
metabolisme otak segera setelah trauma, sehingga sering mengakibatkan iskemi
otak fokal ataupun menyeluruh.
Pembuluh darah prekapiler normal memiliki kemampuan untuk
berkonstriksi ataupun dilatasi sebagai respon terhadap perfusi otak/TPO (CPP=
Cerebral perfusion pressure), yang secara klinis didefinisikan sebagai tekanan

11
darah arteri rata-rata dikurangi tekanan intracranial. CPP sebesar 50-150 mmHg
diperlukan untuk memelihara aliran darah otak tetap konstan (autoregulasi
tekanan).
Konsekuensinya, otak yang cedera akan mengalami iskemia dan infark
sehubungan dengan penurunan ADO sebagai akibat cedera itu sendiri. Keadaan
iskemi awal tersebut akan dengan mudah diperberat oleh adanya hipotensi,
hipoksia, dan hipokapnia sebagai akibat hiperventilasi agresif yang kita lakukan.

2.2 Cedera Kepala


SINONIM: Trauma kapitis = cedera kepala = head injury = trauma
kranioserebral = Traumatic Brain Injur.

2.2.1 Definisi Cedera Kepala10


Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.
Cedera kepala didefinisikan sebagai perubahan dalam fungsi otak, atau
bukti lain patologi otak, yang disebabkan oleh kekuatan eksternal.

2.2.2 Epidemiologi
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan jangka panjang pada
anak anak dan dewasa muda usia kurang dari 35 tahun, yang menimbulkan efek
serius pada kehidupan pasien, keluarga dan temannya, juga masyarakat. Sekitar
10 juta orang di dunia mengalami cedera kepala setiap tahun. Di Amerika Serikat,
sekitar 1 7 juta mengalami cedera kepala setiap tahun, dan sekitar 3 5 juta
orang hidup dengan kecacatan karena cedera kepala.11
Di Eropa (Denmark), kira kira 363 per satu juta penduduk mengalami
cedera otak sedang sampai berat setiap tahun, dimana lebih dari sepertiganya
memerlukan rehabilitasi dari cedera kepala.8

12
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari hasil penelitian
di salah satu rumah sakit di Bandung, RS Hasan Sadikin, diperoleh data kejadian
cedera kepala selama periode 3 tahun (2008 - 2010) sebanyak 2836. Kejadian
cedera kepala ringan 1641 kasus, cedera kepala sedang 1086 kasus, cedera kepala
berat 109 kasus.12

2.2.3 Klasifikasi Cedera Kepala8


Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal
3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan: (1) Mekanisme, (2) Berat-ringannya, (3)
Morfologi.

Mekanisme Cedera
Cedera otak secara luas dapat dibagi atas cedera tumpul dan cedera
tembus, cedera otak tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka
tembak dan bacok.

Beratnya Cedera
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan sebagai pengukur secara klinis
beratnya cedera otak. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai
koma atau cedera otak berat. Pasien dengan nilai GCS 9 12 dikategorikan
sebagai cedera otak sedang, dan pasien dengan nilai GCS 13 15 dikategorikan
sebagai cedera otak ringan.

Morfologi
Cedera kepala dapat meliputi patah tulang tengkorak, kontusio, perdarahan
dan cedera difuse.

Fraktur kranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk
garis/linier atau bintang/stellata dan dapat pula terbuka atau tertutup. Frakture

13
dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan
teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tnda-tanda tersebut antara
lain ekomikosis periorbital (Raccon eyes sign), ekomikosis retro aurukular (Buttle
sign), kebocoran CSS dari hidung (rhinorhea) dan telinga (otorhea), gangguan
nervus kranialis VII dan VIII (parese otot wajah dan gangguan kehilangan
pendengaran), yang dapat timbul segera atau beberapa hari setelah trauma.
Umumnya prognosis pemulihan parasis nervus fasialis lebih baik pada keadaan
paresis yang terjadi beberapa waktu kemudian, sementara prognosis N VIII sangat
buruk. Fraktur dasar tyenkorak yang menyilang kanalis karotikus dapat merusak
arteri karotis (diseksi, pseudoaneurisma atau trombosis) dan pertimbangkan untuk
dilakukan pemeriksaaan arteriografi.
Fraktur cranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi
kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura.
Adanya fraktur tengkorak nyata yang tidak boleh diremehkan, karena
menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat. Pada pasien sadar, bila
ditemukan fraktur linier tulang kalvaria kemungkinan adanya perdarahan
intracranial meningkat sampai 400 kali.

Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau
kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk perdarahan
epidural, perdarahan subdural, kontusi dan perdarahan intraserebral.
1. Cedera Otak Difus
Cedera otak difus mulai dari konkusi ringan dimana gambaran CT scan
normal, sampai cedera berat iskemi-hipoksik yang berat.
Pada konkusi, pasien biasanya menderia kehilangan gangguan neurologis non
fokal sementara, yang seringnya termasuk kehilangan kesadaran.
Cedera otak difus berat biasanya diakibatkan oleh hipoksia, iskemi otak
karena syok yang berkepanjangan atau periode apneu yang terjadi segera

14
setelah trauma. Pada kasus demikian, awalnya CT scan sering menunjukkan
gambaran normal, atau gambaran otak bengkak secara merata dengan batas
area substasia putih dan abu-abu hilang. Kelainan difus lainnya, sering
terlihat pada cedera dengan kecepatan tinggi atau deselerasi, yang dapat
menunjukkan gambaran titik-titik perdarahan multioel di seluruh hemisfer
otak yang terkonsentrasi di batas area putih dengan abu-abu. Cedera
shearing/menggunting itu dikenal sebagai Cedera Aksonal Difus (CAD),
yang diefinsikan sebagai gejala klinis cedera otak berat yang pada umumnya
mempunyai kesudahan sangat buruk.

2. Lesi Fokal8
a. Perdarahan epidural

Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang


potensial antara tabula interna dan duramater . Sering terletak di area
temporal atau temporo-parietal yang disebabkan oleh robeknya
a.meningea media akibat retaknya tulang tengkorak. Gumpalan darah yang
terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri, namun pada sepertiga kasus
dapat terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak jarang perdarahan
epidural terjadi akibat robeknya sinus venosus terutama pada regio parieto
oksipital dan pada fosa posterior.

Perdarahan epidural relative jarang lebih kurang 0,5% dari semua cedera
otak dan 9% dari pasien yang mengalami koma. Hematoma epidural itu
secara topikasl berbentuk bikonveks atau cembung sebagai akibat dari
pendorongan perdarahan terhadap durameter yang sangat melekat ditabula
interna tulang kepala. Sering terletak diarea temporal atau temporoparietal
dan biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat
fraktur tulang tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi biasanya berasal
dari pembuluh arteri, namun dapat juga terjadi akibat robekan dari sinus
vena besar maupun fraktur tulang tengkorak.

15
b. Perdarahan subdural8
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat.
Perdarahan ini sering terjadi akubat robekan pembuluh darah / vena-vena
kecil dipermukaan korteks serebri. Berbeda dengan perdarahan epidural
yang berbrntuk lensa cembung pada CT Scan, perdarahan subdular
biasanya mengikuti dan menutupi permukaan hemisfer otak. Perdarahan
subdural dapat menutupi seluruh permukaan otak. Lebih lanjut adalah
kerusakan otak yang berada dibawah perdarahan subdural biasanya lebih
berat dan prognosisnya lebih buruk dari pada perdarahan epidural.
c. Kontusio dan perdarahan intraserebral8
Kontusio serebri sering terjadi (20% sampai 30% dari cedera otak berat).
hampir selalu berkaitan dengan perdarahan subdural akut. Kontusio serebri
sangat sering terjadi di lobus frontal dan lobus termporal, walaupun dapat
terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum.
Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan intra serebral traumatika
memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa
jam atau hari mengalami evolusi membentuk perdarahan intra serebral ata
kontusio yang luas sehingga menyebabkan lesi desak ruang yang
membutuhkan tindakan operasi. Hal ini timbul kira-kira pada 20% dari
seluruh pasien yang sudah ada kontusionya saat CT scan awal.
Untuk alasan tersebut maka pada pasien dengan kontusio serebri harus
diperiksa CT scan ulang 12-24 jam berikutnya setelah CT scan pertama
untuk mengevaluasi perubahan kontusio yang mungkin terjadi.

16
Tabel. 1 klasifikasi cedera kepala
Klasifikasi Cedera Kepala
Mekanisme
Tumpul Kecepatan tinggi (kecelakaan lalu
lintas)
Tajam/Tembus Kecepatan rendah (jatuh,dipukuli)
Luka tembak
Cedera tajam/tembus lainnya
Berat-ringannya cedera
Ringan GCS 13-15
Sedang GCS 9-12
Berat GCS 3-8
Morfologi
Fraktur tulang
Kalvaria Garis vs bintang
Depresi/ non depresi
Terbuka/tertutup
Dasar tengkorak Dengan/tanpa kebocoran LCS
Dengan/tanpa parese N.VII
Lesi Intrakranial
Fokal Perdarahan Epidural
Perdarahan Subdural
Perdarahan Intraserebral
Difus Konkusi
Konkusio Multipel
Hipoksik/Iskemia

Tabel 2. Glasgow Coma Scale


Dewasa Respon Bayi dan anak-anak
Respon membuka mata (E)
Spontan 4 Spontan
Dengan perintah 3 Dengan perintah
Dengan rangsang nyeri 2 Dengan rangsang nyeri
Tidak ada respon 1 Tidak ada respon
Respon verbal (V)
Orientasi baik 5 Orientasi baik
Disorientasi 4 Menangis tetapi dapat
ditenangkan
Kata-kata tidak teratur 3 Menangis dan tidak dapat
ditenangkan
Menggumam 2 Menggumam dan agitatif
Tidak ada respon 1 Tidak ada respon

17
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah 6 Aktif
Melokalisir rangsang nyeri 5 Melokalisir rangsang nyeri
Menghindarai rangsang nyeri 4 Menghindarai rangsang nyeri
Fleksi abnormal 3 Fleksi abnormal
Ekstensi abnormal 2 Ekstensi abnormal
Tidak ada respon 1 Tidak ada respon
Total skor 15

2.2.4 Patologi Cedera Kepala


1. Primary damage 1,3
Yaitu kerusakan yang terjadi pada saat kejadian trauma kepala, dapat
berbentuk laserasi kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, laserasi dan contusio
(luka dan memar) dari jaringan otak dan diffuse axonal injury (DAI).
Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari
suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda
keras maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan
contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang
tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan
dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-
deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar
saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid)
dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari
muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (contrecoup).

2. Secondary damage 3,13


Yaitu kerusakan yang terjadi akibat komplikasi dari proses-proses yang
terjadi pada saat trauma kepala dan baru menunjukkan gejala beberapa saat
kemudian (biasanya beberapa jam kemudian).

18
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa
perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan
tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.
Setelah terjadinya cedera otak primer, satu atau lebih kejadian terjadi
berturut turut dan memicu terjadinya perburukan fungsi serebral. Klasifikasi
etiologi cedera otak sekunder dibedakan menjadi penyebab ektrakranial dan
intrakranial. Penyebab ekstrakranial meliputi hipoksia, hipotensi, hiponatremi,
hipertermia, hipoglikemia dan hiperglikemia. Penyebab intrakranial meliputi
perdarahan subdural, intraserebral, intraventrikular dan subarachnoid. Hipotensi
dan hipoksia merupakan penyebab utama terjadinya cedera otak sekunder yang
mengakibatkan terbentuknya lesi iskemik post traumatik.

2.2.5 Penegakan Diagnosa

Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi


anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
penunjang. Pada anamnesis, informasi penting yang harus ditanyakan adalah
mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan
bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital system
organ, dan pemeriksaan neurologis yang lebih dalam mencakup pemeriksaan
fungsi batang otak, saraf cranial, fungsi motorik dan sensorik, serta reflex
fisiologis dan patologis. Pada bagian thoraks perlu diperiksa fungsi pernapasan
dan kardiovaskuler. Pada daerah abdomen perlu diperhatikan adanya
kemungkinan cedera organ dalam3.
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah:
1. Pemeriksaan Radiologi1,2
a. Foto Rontgen
Pemeriksaan radiologi yang paling sering dan mudah dilakukan adalah rontgen
kepala, yang sering dijadikan pemeriksaan skrining adanya fraktur tulang
tengkorak. Sejak ditemukannya cr-scan, maka penggunaan foto Rontgen
cranium dianggap kurang optimal. Dengan pengecualian untuk kasus-kasus

19
tertentu seperti fraktur pada vertex yang mungkin lolos dari CT-scan dan dapat
dideteksi dengan foto polos maka ct-scan dianggap lebih menguntungkan dari
pada foto Rontgen kepala.
Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia maka foto polos x-ray
dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Diperlukan foto posisi AP
(anteroposterior), lateral, Towne's view dan tangensial terhadap bagian yang
mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi. Bila diperlukan,
dapat pula dilakukan foto lateral dari kedua sisi. Foto polos cranium dapat
menunjukkan adanya fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik atau pneumosefal.
Foto polos tulang belakang digunakan untuk menilai adanya fraktur,
pembengkakan jaringan lunak, deformitas tulang belakang, dan proses-proses
osteolitik atau osteoblastik. Dengan keunggulannya terhadap rontgen polos
kepala maka jika ada indikasi jelas untuk pemeriksaan CT-scan dianjurkan
untuk tidak perlu lagi melakukan rontgen kepala.
b. CT scan
Pemeriksaan CT-Scan harus segera dilakukan secepat mungkin, segera
setelah hemodinamik distabilkan. Pemeriksaan CT-scan ulang harus diulang
bila terjadi perburukan status klinis pasien dan secara rutin 12 24 jam setelah
trauma bila dijumpai gambaran kontusio otak atau hematoma pada CT-Scan
awalnya. Hasil pemeriksaan CT-scan yang berrnakna antara lain
pembengkakan kulit kepala atau perdarahan subgaleal ditempat benturan.
Retak atau garis fraktur tampak lebih jelas pada CT-Scan bone window.
Penemuan terpenting dalam CT-Scan Kepala adalah adanya perdarahn
intracranial, kontusio dan pergeseran garis tengah.8
Indikasi CT scan pasca trauma adalah pasien dengan GCS kurang dari 13,
atau dengan GCS 13 14 2 jam setelah trauma; suspek fraktur tulang kepala
teruatama fraktur basis cranii; penurunan neurologis fokal; muntah lebih dari
satu episode; amnesia lebih dari 30 menit; setiap penurunan atau hilang
kesadaran.13
Hasil CT scan pada epidural hematom tampak gambaran hiperdens
(perdarahan) di tulang tengkorak dan duramater,umumnya daerah temporal, dan

20
tampak bikonveks. Sedangkan hasil CT scan otak pada subdural hematom tampak
gambaran hiperdens (perdarahan) diantara duramater dan arakhnoid, umumnya
karena robekan dari bridging vein, dan tampak seperti bulan sabit.1

Gambar 6. CT Scan Hematom Epidural.


(Dikutip dari: http://classic.muhealth.org/neuromed/images/epidural.jpeg)

Gambar 7. CT Scan Hematom Subdural.


(Dikutip dari: http://webmm.ahrq.gov/media/cases/images/case6_fig1.jpg)

2. Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang berguna pada kasus cedera kepala
adalah : 14
- Hb, berguna sebagai salah satu tanda adanya perdarahan hebat.

21
- Leukosit, berguna sebagai salah satu indikator berat ringannya cedera
kepala yang terjadi.
- Golongan darah, sebagai persiapan untuk tranfusi bila diperlukan.
- Gula darah sewaktu, untuk memonitor pasien agar tidak terjadi
hiper/hipoglikemia
- Fungsi ginjal
- Analisa gas darah, terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran
- Elektrolit, gangguan elektrolit merupakan salah satu penyebab
terjadinya penurunan kesadaran.

2.2.6 Penatalaksanaan Cedera Kepala16

Fokus penatalaksanaan cedera kepala pada saat ini adalah mencegah


cedera primer serta menghindari dan mengelola cedera sekunder. Landasan dari
pengelolaan cedera kepala traumatik adalah resusitasi dan stabilisasi di tempat
kejadian, kecepatan dan ketepatan transportasi, resusitasi di unit gawat darurat,
evakuasi pembedahan, kontrol Tekanan Intra Kranial (TIK), menjaga tekanan
perfusi otak, monitoring multimodal, optimalisasi lingkungan fisiologis. Periode
perioperatif sangat penting pada pengelolaan cedera kepala traumatik.
Penatalaksanaan pada periode pra rumah sakit merupakan titik kritis untuk
mencegah terjadinya cedera sekunder, tetapi ini jarang dilakukan karena pasien
dikelola oleh tenaga kesehatan setelah tiba di rumah sakit.

Penatalaksanaan pertama adalah resusitasi dan stabilisasi, pembebasan


jalan nafas, pemberian oksigen, resusitasi cairan dan pemberantasan kejang.
Intubasi sering dilakukan untuk menghilangkan obstruksi jalan nafas, kontrol
ventilasi, proteksi terhadap resiko aspirasi. Intubasi dilakukan dengan indikasi
yaitu: GCS <8, pernafasan ireguler, frekuensi nafas <10 x/menit atau > 40x/menit,
volume tidal < 3,5 ml/Kg berat badan, kapasitas vital <15 ml/Kg berat badan,
PaO2 < 70 mmHg, PaCO2 > 50 mmHg.

Disamping mencegah dan mengelola hipoksi dan hiperkarbi, penting juga


menjaga stabilitas kardiovaskular karena hipotensi dan hipertensi dapat

22
memperburuk luaran. Hipotensi yang terjadi pada cedera kepala membahayakan
hemodinamik otak dan menyebabkan iskemiaotak, oleh karena itu penting untuk
menjaga tekanan darah optimal termasuk juga pemilihan cairan untuk resusitasi
dan penggunaan vasopresor bila dianggap penting. Brain Trauma Foundation
Guidelines telah merekomendasikan menghindari hipotensi (sistolik <90 mmHg)
dan mempertahankan tekanan perfusi otak (CPP) 5070 mmHg. Cairan isotonis
kristaloid non glukosa merupakan pilihan utama, kecuali apabila terjadi
hipoglikemi maka kristaloid yang mengandung glukosa dipertimbangkan. Yang
ingin dicapai adalah kondisi normotensi, normovolemi, normoglikemi. Tujuan
resusitasi pada cedera kepala selanjutnya adalah pengendalian Tekanan
Intrakranial. Pengendalian edema otak dan TIK dapat dilakukan dengan pemberian
cairan hiperosmoler seperti manitol. Manitol bekerja sebagai dioretika osmotik dengan
cara meningkatkan osmolaritas serum dan membuat perbedaan tekanan osmotik.
Pemeriksaan osmolaritas serum dilakukan untuk mengevaluasi adanya peningkatan
osmolaritas akibat manitol, bila osmolaritas serum lebih dari 320 mOsm/Kg H2O bisa
terjadi efek balik peningkatan TIK, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit serta
gagal ginjal.

2.2.7 Penilaian Awal dan Resusitasi pada Multipel Trauma17,18,19


Pada trauma berat, penilaian dan resusitasi harus dilakukan secara
simultan atau bersamaan. Tujuan penilaian dan manajemen awal adalah untuk
mendiagnosis dan mengatasi masalah yang mengancam jiwa, dimana dapat
menyebabkan kematian dan kecacatan jika tidak dilakukan segera. Penilaian awal
ini disebut dengan primary survey.
Cedera otak sering diperburuk akibat cedera sekunder. Pasien cedera otak
berat dengan hipotensi mempunyai mortalitas 2 kali lebih banyak dibanding
pasien tanpa hipotensi. Adanya hipoksia pada pasien yang disertai dengan
hipotensi akan menyebabkan mortalotas mencapai 75%. Oleh karena itu, tindakan
stabilisasi kardiopulmoner pada pasien cedera otak berat harus dilaksanakan
secepatnya.

23
PRIMERY SURVEY
Primary survey terdiri dari 5 komponen, yang harus dilakukan dengan teliti:
A. Airway Maintenance with Cervical Spine Protection
B. Breathing and Ventilation
C. Circulation and Hemorrhage Control
D. Disability/Neurological Status
E. Exposure/Environmental Control

Setelah 5 komponen dari primary survey, dilanjutkan dengan F,G,H yaitu :


F. Foley Catheter

G. Gastric Tube

H. Hertz - Trauma Ultrasound

A. AIRWAY
Terhentinya pernafasan sementara sering terjadi pada cedera otak, dan dapat
mengakibatkan cedera otak sekunder. Pada pasien perlu dilakukan ventilasi
dengan oksigen 100%. Bersihkan orofaring dari darah, mukus maupun benda
asing. Angkat sudut rahang atau dagu untuk mencegah lidah jatuh ke belakang
dan menghalangi jalan napas. (Jangan memberikan perlakuan terlalu berat pada
leher, pasien mungkin memiliki cedera tulang belakang). Penggunaan tabung
orofaringeal pada pasien dengan refleks gag dapat menyebabkan muntah dan
aspirasi. Perlu diingat bahwa tabung orofaringeal memiliki penggunaan yang
terbatas. Mungkin mereka hanya menggunakannya pada pasien dengan tabung
orotrakeal, untuk mencegah pasien menggigit tabung endotrakeal. Ukuran panjang
tabung orofaringeal harus dipilih dengan benar. Jarak antara sudut mulut dan daun
telinga adalah cara mudah untuk memilih ukuran tabung yang benar.

** Jika langkah di atas tidak cukup atau jika pasien tidak sadar (GCS = <8),
intubasi endotrakeal adalah langkah berikutnya. (Ukuran 8 untuk laki-laki dewasa,
ukuran 7 untuk perempuan, atau ukuran jari kecil pasien terlepas dari usia).

24
Lakukan tekanan krikoid selama intubasi untuk mencegah aspirasi. Penekanan ini
dilakukan sampai manset tabung telah meningkat. Pastikan bahwa tabung berada
di tempat yang benar dengan memeriksa kembali CO2, mendengarkan suara
napas bilateral dan mendapatkan dada x-ray. Jika intubasi endotrakeal tidak
mungkin dilakukan (misalnya dalam trauma wajah yang parah), langkah
berikutnya adalah dengan krikotiroidotomi.

Perlindungan Spine serviks

Indeks kecurigaan yang tinggi tergantung pada sejarah kecelakaan:


(kecelakaan lalu lintas, jatuh, olahraga tertentu).
Hindari manipulasi kasar dari kepala dan leher. Gunakan kerah keras
untuk imobilisasi leher. Imobilsasi seluruh tubuh di papan spinal panjang.
Mendapatkan evaluasi radiologi yang tepat. Pasien yang memiliki gejala
dengan mekanisme cedera yang mencurigakan harus dievaluasi dengan CT
scan tulang belakang dan leher. Evaluasi radiologi harus dilakukan hanya
setelah pasien telah stabil, jika diperlukan setelah operasi darurat

B. BREATHING AND VENTILATION


Pada tahap breathing and ventilation, tindakan yang perlu dilakukan yaitu:
Periksa kesimetrisan gerakan dinding dada. Auskultasi bunyi napas bilateral.
Palpasi trakea untuk mengetahui adanya deviasi dan dinding dada untuk patah
tulang atau emfisema.

Beberapa masalah yang mengancam jiwa yang dapat diidentifikasi selama


primery survey:
1. Flail chest: Memantau pulse oximetry dan gas darah, intubasi dan ventilasi jika
ada hipoksia atau gangguan pernapasan. Pertimbangkan intubasi dini pada pasien
multitrauma tua atau berat.
2. Luka terbuka di dinding dada: Jangan lakukan tindakan penjahitan luka
sebelum penyisipan tabung thoracostomy. Bahaya ketegangan pneumothorax!

25
Penutupan dengan kasa 3 sisi dapat diterapkan sambil mempersiapkan penyisipan
tabung dada.
3. Tension pneumotoraks: dekompresi awal dengan penyisipan jarum melalui
ruang interkostal 2 anterior, mid-klavikularis. Thoracostomy tabung.

C. CIRCULATION AND HEMORHAGE CONTROL


Masalah pada sirkulasi yang sering terjadi adalah hipotensi. hipotensi
biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri kecuali pada stadium
terminal dimana medula oblongata sudah mengalami gangguan. Hipotensi
merupakan petunjuk adanya kehilangan banyak darah, yang kadang tidak tampak
jelas. Pada pasien hipotensi harus segera dilakukan stabilisasi untuk mencapai
euvolemia. Sebab itu penyebab utama hipotensi harus segera dicari dan diteliti.

1. Kaji tekanan darah, denyut jantung dan bukti perdarahan.


2. Kontrol perdarahan eksternal dengan tekanan langsung.
3. Dalam luka tembus dari leher, di mana dicurigai cedera vena, menempatkan
pasien dalam posisi Trendelenberg, (kepala bawah) untuk mencegah emboli
udara.
4. Jika ada syok, masukkan satu atau dua jalur infus besar dan mulai resusitasi
cairan.

Ada 3 kondisi pada trauma yang dapat menyebabkan shock:


Syok hipovolemik
Ini adalah penyebab paling umum dari hipotensi pasca-trauma dan bisa
disebabkan karena kehilangan darah eksternal atau internal.

Akses vaskular dengan dua atau lebih jalur infus besar. Akses ke vena
sentral dapat dicapai dengan cara subklavia, jugularis atau kateterisasi
vena femoralis. Pada pasien dengan cedera leher atau lengan, garis
intravena harus dimasukkan pada sisi yang berlawanan untuk menghindari
ekstravasasi cairan infus dari cedera vena proksimal.

26
Pada anak-anak muda dari 6 tahun pertimbangkan infus intra-osseus, jika
vena perifer tidak tersedia.
Kecepatan infus tergantung pada panjang dan diameter kateter dan TIDAK
pada ukuran vena.
Berikan cairan 2 liter Ringer Laktat (atau 20 ml / kg untuk anak-anak).
Jika lebih banyak cairan yang diperlukan, pertimbangkan transfusi darah
dan mungkin operasi. Namun, jika pasien memiliki indikasi yang jelas
untuk operasi tidak ada waktu harus terbuang untuk resusitasi cairan!

Syok kardiogenik
Ini harus dicurigai pada pasien trauma dengan syok tanpa adanya kehilangan
darah. Tekanan darah rendah dan pembuluh darah leher dan perifer distensi.
Beberapa Kondisi berikut mungkin terkait dengan syok kardiogenik: tamponade
jantung, memar miokard, ketegangan pneumothorax, emboli udara, dan infark
miokard. Emboli udara dapat terjadi bersamaan dengan cedera pembuluh darah
besar, paru-paru, atau tekanan rendah ruang jantung. Kadang-kadang mungkin
iatrogenik, selama pemasangan garis vena sentral.

Perburukan mendadak seorang pasien dengan adanya salah satu cedera di atas
harus diwaspadai kemungkinan emboli udara. Kadang-kadang terdengar suara
sloshing pada jantung. Pengobatan terdiri dari posisi pasien dalam posisi
Trendelenburg, torakotomi dan aspirasi langsung udara dari jantung. Pada cedera
paru, lintas-klem hilus untuk mengontrol sumber emboli udara.

Infark miokard harus dicurigai pada pasien usia lanjut dengan syok kardiogenik.
EKG dan pemeriksaan level troponin harus dilakukan secara rutin.

Neurogenik Syok
Ini adalah hasil dari hilangnya tonus pembuluh darah disertai korda serviks atau
cedera thorakal spinalis bagian atas.

D. DISABILITY/NEUROLOGICAL STATUS

27
Segera setelah status kardiopulmoner pasien stabil, pemeriksaan
neurologis cepat dan terfokus dilakukan. Pemeriksaan itu terdiri dari GCS dan
refleks cahaya pupil.

1. Kaji tingkat kesadaran (Glasgow Coma Scale).


2. Menilai pupil (ukuran, reaktivitas).
Pupil yang normal akan sama antara mata kanan dan kiri, berukuran 2 4
mm. Pupil pintpoint tanpa kecarunan opiate menunjukkan adanya perdarahan
pons. Pupil yang mengalami dilatasi dan terfiksir, menunjukkan kematian batang
otak dan hipoksia tingkat akhir.
Secara normal, pupil memberikan reaksi yang cepat terhadap cahaya terang,
karena pupil berfungsi sebgai diafragma yang engatur jumlah sinar yang sampai
ke retina. Jika reaksi tersebut lambat, menunjukkan adanya penekanan parsial
pada nervus III, sedangkan jika penekanan tersebut komplit maka reaksi tersebut
tidak akan dijumpai.

E. EXPOSURE/ENVIRONENTAL CONTROL
1. Undress pasien sepenuhnya untuk pemeriksaan menyeluruh.
2. Jaga pasien tetap hangat dengan selimut dan cairan IV hangat. Pasien trauma
menjadi hipotermia sangat cepat. Kehilangan darah yang berat, pasien usia
lanjut dan pasien anak berisiko tinggi untuk hipotermia.

SECONDARY SURVEY
Survei sekunder dilakukan hanya setelah survei primer (ABC) selesai dan
resusitasi dimulai. Kadang-kadang survei sekunder dilakukan setelah operasi
untuk cedera yang mengancam jiwa. Survei sekunder terdiri dari pemeriksaan
lengkap dari kepala sampai kaki (kepala dan leher, dada, perut, punggung,
pemeriksaan dubur dan vagina, dan muskuloskeletal).

28
Pemeriksaan fisik pada cedera kepala (Pemeriksaan neurologis)
Segera setelah status kardipulmonal pasien stabil, pemeriksaan neurologis cepat
dan terfokus dilakukan. Pemeriksaan itu terdiri dari :

1. Kaji tingkat kesadaran. Gunakan Skala Koma Glasgow. Skor minimum adalah
3 dan skor maksimum adalah 15. Sebuah diintubasi pasien memiliki GCS 11T
maksimal. Sebuah skor 8 atau kurang menandakan kerusakan otak parah dan
prognosis dijaga.
2. Periksa pupil (ukuran, reaksi terhadap cahaya).
3. telinga Periksa dan hidung untuk perdarahan atau kebocoran CSF.
4. Periksa ecchymosis sekitar mata atau di belakang telinga (fraktur basiler).
5. Periksa saraf kranial.
6. Kecualikan cedera leher (neck pain, kekakuan, nyeri tekan, atau kelumpuhan
tanda-tanda yang mencurigakan).
7. Limbs (kekuatan, nada, refleks)
8. Tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi, suhu)

Terapi medikamentosa untuk cedera otak8,19


Tujuan utama protokol perawatan intensif adalah mencegah terjadinya
kerusakan sekunder otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah
bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan, maka diharapkan
sel tersebut dapat berfungsi normal kembali. Namun bila suasananya dibiarkan
dalam keadaan tidak optimal maka akan mengalami kematian. Terapi
medikamentosa antara lain cairan intravena, hiperventilasi, manitol, furosemid,
steroid, barbiturat dan antikejang.
1. Cairan intravena
Cairan intravena harus diberikan sesuai dengan kebutuhan untuk resusitasi dan
mempertahankan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah
berbahaya. Namun, perlu juga diperhatikan untuk tidak memberikan cairan
berlebihan. Cairan yang dinjurkan untuk resusitasi adalah larutan Ringel Laktat
atau garam fisiologis. Kadar natrium serum perlu dimonitor pada pasien

29
dengan cedera kepala. Keadaan hionatremia sangat berkaitan dengan edema
otak sehingga harus dicegah.
2. Hiperventilasi
Hiperventilasi bekerja dengan menurunkan PC02 dan menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang berlangsung lama dan
agresif dapat menyebabkan iskemia otak karena terjadinya vasokonstriksi
serebri berat yang pada akhirnya menurunkan perfusi otak. Terutama bila PC02
turun sampai di bawah 30 mm Hg (4,0 kPa) 3.
Umumnya, PC02 dipertahankan pada 35 mm Hg atau sedikit di atas.
Hiperventilasi dalam waktu singkat (PaCO2 antara 25-30 mmHg) dapat
dilakukan jika diperlukan pada keadaan perburukan neurologis akut sementara
pengobatan lainnya baru mau dimulai.
3. Manitol
Manitol digunakan secara luas untuk menurunkan TIK, biasanya dengan
konsentrasi cairan 20%. Dosis yang diberikan 0,25 - 1 gram / kg BB diberikan
secara bolus intra vena. Dosis tinggi manitol tidak boleh diberikan pada
penderita hipotensi karena akan memperberat hipovolemia. Indikasi yang jelas
penggunaan manitol adalah pada penderita koma yang semula reaksi cahaya
pupilnya normal tetapi kemudian timbul dilatasi pupil dengan atau tanpa
hemiparesis. Pada keadaan ini pemberian bolus manitol (1 g/kg) harus
dihabiskan secara cepat (sampai 5 menit) dan penderita segera dibawa ke CT
Scan atau langsung ke kamar operasi bila lesi penyebabnya sudah diketahui.
4. Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-
obat atau prosedur yang biasa. Namun tidak boleh diberikan bila terdapat
hipotensi, karena barbiturat sendiri juga menurunkan tekanan darah (tidak
boleh diberikan pada fase akut resusitasi)
5. Antikejang
Epilepsi pasca trauma terjadi pada 5% penderita yang dirawat di RS dengan
cedera kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Terdapat 3 fakor

30
utama yang berkaitan dengan epilepsi (1) kejang awal yang terjadi dalam
minggu pertama, (2) perdarahan intra kranial, dan (3) fraktur depresi.
Fenitoin adalah obat yang biasa diberikan pada fase akut. Untuk dewasa dosis
awalnya adalah 1g yang diberikan secara intravena dengan kecepatan
pemberian tidak lebih cepat dari 50 mg/menit. Dosis pemeliharaan biasanya
100 mg/8jam, dengan titrasi untuk mencapai kadar terapeutik serum. Pada
pasien dengan kejang berkepanjangan diazepam atau lorazepam digunakan
sebagai tambahan selain fenitoin sampai kejang berhenti. Untuk mengatasi
kejang yang terus menerus kadang memerlukan anestesi umum. Sangat jelas
bahwa kejang harus dihentikan dengan segera karena kejang yang berlangsung
lama (30 sampai 60 menit) dapat menyebabkan cedera otak.

Tatalaksana Pembedahan8,19,20
Terapi pembedahan pada trauma kapitis memerlukan beberapa
pertimbangan dan berbeda pada setiap jenis trauma kapitis.
Pada umumnya pembedahan untuk evakuasi hematoma perlu
dipertimbankan apabila ditemukan hematoma dengan volume melebihi 25 cm3
pada hasil CT-scan. Meskipun demikian indikasi pembedahan pada cedera
kepala tidak hanya berdasarkan hasil CT-scan saja, tetapi juga adanya
perburukan klinis dan lokasi lesi. Semua luka penetrasi/tembus merupakan
indikasi pembedahan.
1. Luka kulit kepala
Hal penting adalah membersihkan luka sebelum melakukan penjahitan.
Kehilangan darah dari luka kulit kepala dapat sangat hebat terutama pada
anak anak. Perdaraha ini dapat diatasi dengan balut tekan, kauterisasi
maupun ligasi pembuluh besar. Kemudian dilakukan penjahitan,
pemasangan klips.
2. Fraktur depresi tulang tengkorak
Secara umum, fraktur depresi yang memerlukan koreksi secara operatif
adalah bila terbal depresi melebihi ketebalan tulang di dekatnya atau bila
terbuka dan sangat terkontaminasi. Fraktur depresi yang tidak signifikan

31
dapat ditolong dengan menutup luka laserasi. CT scan berguna untuk
menentukan dalamnya depresi tulang, tetapi yang lebih penting adalah
untuk menentukan ada tidaknya perdarahan intrakranial atau kontusio.
3. Lesi massa intrakranial

Lesi ini harus dikeluarkan atau dirawat oleh seorang ahli bedah saraf. Bila tidak
terdapat ahli bedah saraf di fasilitas yang menerima pasien dengan lesi massa
intrakranial, maka pasien harus segera dirujuk ke RS yang mempunyai ahli bedah
saraf. Terdapat pengecualian dimana perdarahan intrakranial membesar dengan
cepat sehingga mengancam jiwa dan tidak cukup waktu untuk merujuk pasien.
Dalam keadaan itu tindakan kraniotomi darurat dapat dilakukan oleh ahli bedah
yang terlatih.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Trauma


Kapitis. In: Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitia dan Trauma
Spinal. Jakarta: PERDOSSI Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2006
2. Jurnal Anestesiologi Indonesia. Nutrisi pada Pasien Cedera Kepala.
Semarang: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/RSUP Dr.
Kariadi. 2009
3. Wahjoepramono, Eka. Cedera Kepala. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Pelita Harapan. 2005
4. Irfani, Imma Q. Cedera Kepala. Surakarta: FKUMS. 2010
5. RSUP Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo. Komosio Cerebri, CKR, CKS,
CKB. In: Panduan Pelayanan Medis Departemen Neurologi. Pusat Penerbitan
Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2007
6. Japardi I. Cedera Kepala: Memahami Aspek-aspek Penting dalam
Pengelolaan Penderita Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer.
2004.
7. Wilson LM, Hartwig MS. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In: Price
SA. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006
8. American College of Surgeons Committee on Trauma. Cedera kepala.
Dalam Advanced Trauma Life Support. Edisi Ke-delapan. United States of
America, 2008

33
9. Snell RS. Neuroanatomi klinik. Edisi ke-lima. Jakarta: EGC; 2002.
10. Brain Injury Association of America. Traumatic Brain Injury (TBI)
(online) diakses 30 Oktober 2016. URL:
http://www.biasua.org/default.aspx?SiteSearchID=1192&ID=/search-
results.htm
11. Feigin Valery L, Theadorn Alice. Incidence of Traumatic brain Injury in
New zealand: A Population-Based Study. Articles Lancet Neural.
2013;12:53-64
12. Zamzami Nyiemas, Fuadi Iwan. Angka Kejadian dan Outcome Cedera
Otak di RS. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2008-2010. Jurnal
Neuroanestesia Indonesia. 2013; 2(2): 89-94
13. Ayu Basmatika, Ida. Cedera Otak Sekunder. Kepanitraan Klinik Madya
Bagian/SMF Ilmu FK Universitas Udayana RSU Pusat Sanglah. 2013
14. Soertidawi, Lyna. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral.
Jakarta: FKUI/RSCM. 2012; 39(5): 327-331
15. Wilkinson I, Graham Lennox. Essential Neurology 4th Ed. USA:
Blackwell Publishing. 2005
16. Suryono B, Wahyu Sunaryo B. Penatalaksanaan Perioperatif Cedera
Kepala Traumatik Berat dengan Tanda Chusing. Departemen Bedah
Gawat Darurat dan Anestesi RS AD Brawijaya Surabaya. JNI.
2015;4(1):34-42
17. Demetriades D. Assesment and Management of Trauma 5th Edition.
Division of Trauma and Surgical Critical Care Departement Of Surgery
University of Southern California. 2009
18. Neugebauer EAM, Waydhas C. Clinical Practice Guideline : The
Treatment of Patients With Severe and Multiple Traumatic Injuries.
Institut Forschungg in der Operativen Medizin Universitat Witten: Dtsch
Arztebl Int. 2012;109(6):102-8
19. Surya Atmadja, Surya. Indikasi pembedahan Pada Trauma Kapitis. Jakarta
Timur: CDK-236. 2016; 43(1):29-33

34
20. Shima K, Aruga T, Onuma T, Shigemori M. JSNT-Guidelines for the
Management of Severe Head Injury. Asian J Neurosurg. 2010;5(1): 15-23

35

You might also like