Professional Documents
Culture Documents
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
Cedera kepala mempunyai dampak emosional, psikososial, dan ekonomi
yang cukup besar sebab penderitanya sering menjalani masa perawatan rumah
sakit yang panjang, dan 5-10% setelah perawatan rumah sakit masih
membutuhkan pelayanan jangka panjang.1
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk
mengeluarkannya.
5
2.1.3 Meningen (Selaput Otak)
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan, yaitu:6,7
1) Duramater
Duramater, secara embriologi berasal dari mesoderm. Terletak paling luar, terdiri
atas dua lapisan yaitu lapisan luar (lapisan periosteal) langsung melekat pada
endosteum tabula interna dan lapisan dalam (lapisan meningeal). Duramater
merupakan selaput yang keras,terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat
pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang
terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan
subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Vein, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
6
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Diperdarahi
oleh arteri meningea anterior, media, dan posterior. Masing-masing merupakan
cabang dari arteri opthtalmika untuk yang anterior, arteri carotis eksterna untuk
yang media, dan arteri vertebralis untuk yang posterior.
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi
pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis.
2) Arakhnoid
Arakhnoid, secara embriologi berasal dari ektoderm. Terletak tepat dibawah
duramater. Lapisan ini merupakan lapisan avaskuler, mendapatkan nutrisi dari
CSS (Cairan Serebospinal). Ke arah dalam, lapisan ini memiliki banyak trabekula
yang melekat pada lapisan epipial dari piamater. Selaput ini dipisahkan dari dura
mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural, dan dari pia mater oleh
spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan
subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3) Pia mater
Pia mater secara embriologis dan histologis sama dengan arachnoid, hanya pada
lapisan ini sel-selnya tidak saling tumpang tindih. Terdiri dari dua lapisan yaitu
lapisan epipial (luar) dan lapisan pia-glia (dalam). Melekat erat pada permukaan
korteks serebri. Pia mater adalah membrana vaskular yang dengan erat
membungkus otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci yang paling dalam.
Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteri-arteri yang masuk ke dalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
7
bekerja dengan tangan kanan, dan juga pada lebih 85% orang kidal. Hemisfer otak
yang mengandung pusat bicara disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontal
mengontrol inisiatif, emosi, fungsi motoric dan pada sisi yang dominan
mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Pada semua orang yang bekerja dengan tangan
kanan dan sebagian orang kidal, lobus temporal kiri bertanggung jawab dalam
kemampuan menerima rangsang dan integrasi bicara. Lobus oksipital bertanggung
jawab dalam penglihatan.8
Batang otak terdiri dari mesensefalon (midbrain), pons dan medulla
oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi system aktivasi reticular
yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pusat kardiorespiratorik
berada di medulla oblongata yang berlanjut memanjang menjadi medulla spinalis.
Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis
yang berat. Serebelum terutama bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, membentuk hubungan dengan
medulla spinalis, batang otak dan akhirnya dengan kedua hemisfer serebri.8
8
2.1.5 Sistem Ventrikel
Ventrikel-ventrikel adalah suatu system berupa rongga yang berisi Liquor
Cerebrospinal (LCS). Berlokasi dibagian atap ventrikel lateralis kanan dan kiri
dan ventrikel III terdapat pleksus khoroideus yang menghasilkan LCS dengan
kecepatan kira-kira 20 ml/jam. LCS mengalir dari ventrikel lateral ke foramen
Monroe menuju ventrikel III, lalu ke akuaduktus Sylvius menuju ventrikel IV di
fossa posterior. Selanjutnya LCS keluar dari system ventrikel dan masuk dalam
rongga subarachnoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis
dan akan mengalami reabsorbsi kedalam sirkulasi vena melalui granulasio
arachnoid menuju sinus sagitalis superior.8,9
Adanya darah dalam LCS dapat mengganggu penyerapan LCS,
menyebabkan tekanan tinggi intracranial dan pembesaran ventrikel (hidrosefalus
komunikan pasca trauma). Pembengkakan atau edema dan lesi massa (misalnya
perdarahan) dapat menyebabkan pergeseran ventrikel yang biasanya simetris yang
dengan mudah terlihat pada hasil CT scan otak.
2.1.6 Tentorium8
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang
9
infratentorial (berisi fosa kranii posterior). Mesensefalon (midbrain)
menghubungkan hemisfer serebri dengan batang otak (pons dan medulla
oblongata) dan berjalan melalui celah lebar tentorium serebeli yang disebut
insisura tentorial.
Nervus okulomotorius berjalan sepanjang tepi tentorium, dan saraf ini dapat
tertekan bila terjadi herniasi lobus temporal, yang umumnya diakibatkan oleh
adanya massa supratentorial atau edema otak. Serabut-serabut parasimpatik yang
berfungsi melakukan konstriksi pupil mata berjalan dipermukaan nervus
okulomotorius. Tekanan terhadap serabut superfisial ini saat terjadinya herniasi
menyebabkan pupil dilatasi sebagai akibat tidak adanya hambatan terhadap
aktivitas serabut simpatis, sering disebut sebagai blown pupil.
Bagian otak yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial
adalah sisi medial lobus temporal yang disebut Unkus.
Herniasi Unkus juga menyebabkan penekanan traktus kortikospinal
(piramidalis) yang berjalan di midbrain otak tengah. Traktus piramidalis atau
traktus motorik menyilang garis tengah menuju sisi berlawanan pada level
foramen magnum, sehingga penekanan pada traktus ini menyebabkan paresis otot-
otot sisi tubuh kontralateral (hemiparese kontralateral). Dilatasi pupil ipsilateral
disertai hemiparese kontralateral dikenal sebagai sebagai sindrom klasik herniasi
unkus. Kadang-kadang, lesi massa yang terjadi akan menekan dan mendorong sisi
kontralateral midbrain pada tentorium serebeli sehingga mengakibatkan
hemiparese dan dilatasi pupil pada sisi yang sama dengan hematoma
intrakranialnya (sindroma lekukan Kernohan).
2.1.7 Fisiologi
Konsep fisiologis yang berhubungan dengan cedera otak meliputi tekanan
intrakranial, doktrin Monro-Kellie, dan aliran darah otak.8
A. Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan
kenaikan tekanan intrakanial (TIK). Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi
10
otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. TIK normal pada keadaan
istirahat kira-kira 10 mmHg. TIK lebih tinggi dari 20 mmHg, terutama bila
menetap dan sulit diatasi menyebabkan kesudahan yang sangat buruk.
B. Doktrin Monro-Kellie
11
darah arteri rata-rata dikurangi tekanan intracranial. CPP sebesar 50-150 mmHg
diperlukan untuk memelihara aliran darah otak tetap konstan (autoregulasi
tekanan).
Konsekuensinya, otak yang cedera akan mengalami iskemia dan infark
sehubungan dengan penurunan ADO sebagai akibat cedera itu sendiri. Keadaan
iskemi awal tersebut akan dengan mudah diperberat oleh adanya hipotensi,
hipoksia, dan hipokapnia sebagai akibat hiperventilasi agresif yang kita lakukan.
2.2.2 Epidemiologi
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan jangka panjang pada
anak anak dan dewasa muda usia kurang dari 35 tahun, yang menimbulkan efek
serius pada kehidupan pasien, keluarga dan temannya, juga masyarakat. Sekitar
10 juta orang di dunia mengalami cedera kepala setiap tahun. Di Amerika Serikat,
sekitar 1 7 juta mengalami cedera kepala setiap tahun, dan sekitar 3 5 juta
orang hidup dengan kecacatan karena cedera kepala.11
Di Eropa (Denmark), kira kira 363 per satu juta penduduk mengalami
cedera otak sedang sampai berat setiap tahun, dimana lebih dari sepertiganya
memerlukan rehabilitasi dari cedera kepala.8
12
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari hasil penelitian
di salah satu rumah sakit di Bandung, RS Hasan Sadikin, diperoleh data kejadian
cedera kepala selama periode 3 tahun (2008 - 2010) sebanyak 2836. Kejadian
cedera kepala ringan 1641 kasus, cedera kepala sedang 1086 kasus, cedera kepala
berat 109 kasus.12
Mekanisme Cedera
Cedera otak secara luas dapat dibagi atas cedera tumpul dan cedera
tembus, cedera otak tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka
tembak dan bacok.
Beratnya Cedera
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan sebagai pengukur secara klinis
beratnya cedera otak. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai
koma atau cedera otak berat. Pasien dengan nilai GCS 9 12 dikategorikan
sebagai cedera otak sedang, dan pasien dengan nilai GCS 13 15 dikategorikan
sebagai cedera otak ringan.
Morfologi
Cedera kepala dapat meliputi patah tulang tengkorak, kontusio, perdarahan
dan cedera difuse.
Fraktur kranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk
garis/linier atau bintang/stellata dan dapat pula terbuka atau tertutup. Frakture
13
dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan
teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tnda-tanda tersebut antara
lain ekomikosis periorbital (Raccon eyes sign), ekomikosis retro aurukular (Buttle
sign), kebocoran CSS dari hidung (rhinorhea) dan telinga (otorhea), gangguan
nervus kranialis VII dan VIII (parese otot wajah dan gangguan kehilangan
pendengaran), yang dapat timbul segera atau beberapa hari setelah trauma.
Umumnya prognosis pemulihan parasis nervus fasialis lebih baik pada keadaan
paresis yang terjadi beberapa waktu kemudian, sementara prognosis N VIII sangat
buruk. Fraktur dasar tyenkorak yang menyilang kanalis karotikus dapat merusak
arteri karotis (diseksi, pseudoaneurisma atau trombosis) dan pertimbangkan untuk
dilakukan pemeriksaaan arteriografi.
Fraktur cranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi
kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura.
Adanya fraktur tengkorak nyata yang tidak boleh diremehkan, karena
menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat. Pada pasien sadar, bila
ditemukan fraktur linier tulang kalvaria kemungkinan adanya perdarahan
intracranial meningkat sampai 400 kali.
Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau
kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk perdarahan
epidural, perdarahan subdural, kontusi dan perdarahan intraserebral.
1. Cedera Otak Difus
Cedera otak difus mulai dari konkusi ringan dimana gambaran CT scan
normal, sampai cedera berat iskemi-hipoksik yang berat.
Pada konkusi, pasien biasanya menderia kehilangan gangguan neurologis non
fokal sementara, yang seringnya termasuk kehilangan kesadaran.
Cedera otak difus berat biasanya diakibatkan oleh hipoksia, iskemi otak
karena syok yang berkepanjangan atau periode apneu yang terjadi segera
14
setelah trauma. Pada kasus demikian, awalnya CT scan sering menunjukkan
gambaran normal, atau gambaran otak bengkak secara merata dengan batas
area substasia putih dan abu-abu hilang. Kelainan difus lainnya, sering
terlihat pada cedera dengan kecepatan tinggi atau deselerasi, yang dapat
menunjukkan gambaran titik-titik perdarahan multioel di seluruh hemisfer
otak yang terkonsentrasi di batas area putih dengan abu-abu. Cedera
shearing/menggunting itu dikenal sebagai Cedera Aksonal Difus (CAD),
yang diefinsikan sebagai gejala klinis cedera otak berat yang pada umumnya
mempunyai kesudahan sangat buruk.
2. Lesi Fokal8
a. Perdarahan epidural
Perdarahan epidural relative jarang lebih kurang 0,5% dari semua cedera
otak dan 9% dari pasien yang mengalami koma. Hematoma epidural itu
secara topikasl berbentuk bikonveks atau cembung sebagai akibat dari
pendorongan perdarahan terhadap durameter yang sangat melekat ditabula
interna tulang kepala. Sering terletak diarea temporal atau temporoparietal
dan biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat
fraktur tulang tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi biasanya berasal
dari pembuluh arteri, namun dapat juga terjadi akibat robekan dari sinus
vena besar maupun fraktur tulang tengkorak.
15
b. Perdarahan subdural8
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat.
Perdarahan ini sering terjadi akubat robekan pembuluh darah / vena-vena
kecil dipermukaan korteks serebri. Berbeda dengan perdarahan epidural
yang berbrntuk lensa cembung pada CT Scan, perdarahan subdular
biasanya mengikuti dan menutupi permukaan hemisfer otak. Perdarahan
subdural dapat menutupi seluruh permukaan otak. Lebih lanjut adalah
kerusakan otak yang berada dibawah perdarahan subdural biasanya lebih
berat dan prognosisnya lebih buruk dari pada perdarahan epidural.
c. Kontusio dan perdarahan intraserebral8
Kontusio serebri sering terjadi (20% sampai 30% dari cedera otak berat).
hampir selalu berkaitan dengan perdarahan subdural akut. Kontusio serebri
sangat sering terjadi di lobus frontal dan lobus termporal, walaupun dapat
terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum.
Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan intra serebral traumatika
memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa
jam atau hari mengalami evolusi membentuk perdarahan intra serebral ata
kontusio yang luas sehingga menyebabkan lesi desak ruang yang
membutuhkan tindakan operasi. Hal ini timbul kira-kira pada 20% dari
seluruh pasien yang sudah ada kontusionya saat CT scan awal.
Untuk alasan tersebut maka pada pasien dengan kontusio serebri harus
diperiksa CT scan ulang 12-24 jam berikutnya setelah CT scan pertama
untuk mengevaluasi perubahan kontusio yang mungkin terjadi.
16
Tabel. 1 klasifikasi cedera kepala
Klasifikasi Cedera Kepala
Mekanisme
Tumpul Kecepatan tinggi (kecelakaan lalu
lintas)
Tajam/Tembus Kecepatan rendah (jatuh,dipukuli)
Luka tembak
Cedera tajam/tembus lainnya
Berat-ringannya cedera
Ringan GCS 13-15
Sedang GCS 9-12
Berat GCS 3-8
Morfologi
Fraktur tulang
Kalvaria Garis vs bintang
Depresi/ non depresi
Terbuka/tertutup
Dasar tengkorak Dengan/tanpa kebocoran LCS
Dengan/tanpa parese N.VII
Lesi Intrakranial
Fokal Perdarahan Epidural
Perdarahan Subdural
Perdarahan Intraserebral
Difus Konkusi
Konkusio Multipel
Hipoksik/Iskemia
17
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah 6 Aktif
Melokalisir rangsang nyeri 5 Melokalisir rangsang nyeri
Menghindarai rangsang nyeri 4 Menghindarai rangsang nyeri
Fleksi abnormal 3 Fleksi abnormal
Ekstensi abnormal 2 Ekstensi abnormal
Tidak ada respon 1 Tidak ada respon
Total skor 15
18
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa
perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan
tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.
Setelah terjadinya cedera otak primer, satu atau lebih kejadian terjadi
berturut turut dan memicu terjadinya perburukan fungsi serebral. Klasifikasi
etiologi cedera otak sekunder dibedakan menjadi penyebab ektrakranial dan
intrakranial. Penyebab ekstrakranial meliputi hipoksia, hipotensi, hiponatremi,
hipertermia, hipoglikemia dan hiperglikemia. Penyebab intrakranial meliputi
perdarahan subdural, intraserebral, intraventrikular dan subarachnoid. Hipotensi
dan hipoksia merupakan penyebab utama terjadinya cedera otak sekunder yang
mengakibatkan terbentuknya lesi iskemik post traumatik.
19
tertentu seperti fraktur pada vertex yang mungkin lolos dari CT-scan dan dapat
dideteksi dengan foto polos maka ct-scan dianggap lebih menguntungkan dari
pada foto Rontgen kepala.
Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia maka foto polos x-ray
dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Diperlukan foto posisi AP
(anteroposterior), lateral, Towne's view dan tangensial terhadap bagian yang
mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi. Bila diperlukan,
dapat pula dilakukan foto lateral dari kedua sisi. Foto polos cranium dapat
menunjukkan adanya fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik atau pneumosefal.
Foto polos tulang belakang digunakan untuk menilai adanya fraktur,
pembengkakan jaringan lunak, deformitas tulang belakang, dan proses-proses
osteolitik atau osteoblastik. Dengan keunggulannya terhadap rontgen polos
kepala maka jika ada indikasi jelas untuk pemeriksaan CT-scan dianjurkan
untuk tidak perlu lagi melakukan rontgen kepala.
b. CT scan
Pemeriksaan CT-Scan harus segera dilakukan secepat mungkin, segera
setelah hemodinamik distabilkan. Pemeriksaan CT-scan ulang harus diulang
bila terjadi perburukan status klinis pasien dan secara rutin 12 24 jam setelah
trauma bila dijumpai gambaran kontusio otak atau hematoma pada CT-Scan
awalnya. Hasil pemeriksaan CT-scan yang berrnakna antara lain
pembengkakan kulit kepala atau perdarahan subgaleal ditempat benturan.
Retak atau garis fraktur tampak lebih jelas pada CT-Scan bone window.
Penemuan terpenting dalam CT-Scan Kepala adalah adanya perdarahn
intracranial, kontusio dan pergeseran garis tengah.8
Indikasi CT scan pasca trauma adalah pasien dengan GCS kurang dari 13,
atau dengan GCS 13 14 2 jam setelah trauma; suspek fraktur tulang kepala
teruatama fraktur basis cranii; penurunan neurologis fokal; muntah lebih dari
satu episode; amnesia lebih dari 30 menit; setiap penurunan atau hilang
kesadaran.13
Hasil CT scan pada epidural hematom tampak gambaran hiperdens
(perdarahan) di tulang tengkorak dan duramater,umumnya daerah temporal, dan
20
tampak bikonveks. Sedangkan hasil CT scan otak pada subdural hematom tampak
gambaran hiperdens (perdarahan) diantara duramater dan arakhnoid, umumnya
karena robekan dari bridging vein, dan tampak seperti bulan sabit.1
2. Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang berguna pada kasus cedera kepala
adalah : 14
- Hb, berguna sebagai salah satu tanda adanya perdarahan hebat.
21
- Leukosit, berguna sebagai salah satu indikator berat ringannya cedera
kepala yang terjadi.
- Golongan darah, sebagai persiapan untuk tranfusi bila diperlukan.
- Gula darah sewaktu, untuk memonitor pasien agar tidak terjadi
hiper/hipoglikemia
- Fungsi ginjal
- Analisa gas darah, terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran
- Elektrolit, gangguan elektrolit merupakan salah satu penyebab
terjadinya penurunan kesadaran.
22
memperburuk luaran. Hipotensi yang terjadi pada cedera kepala membahayakan
hemodinamik otak dan menyebabkan iskemiaotak, oleh karena itu penting untuk
menjaga tekanan darah optimal termasuk juga pemilihan cairan untuk resusitasi
dan penggunaan vasopresor bila dianggap penting. Brain Trauma Foundation
Guidelines telah merekomendasikan menghindari hipotensi (sistolik <90 mmHg)
dan mempertahankan tekanan perfusi otak (CPP) 5070 mmHg. Cairan isotonis
kristaloid non glukosa merupakan pilihan utama, kecuali apabila terjadi
hipoglikemi maka kristaloid yang mengandung glukosa dipertimbangkan. Yang
ingin dicapai adalah kondisi normotensi, normovolemi, normoglikemi. Tujuan
resusitasi pada cedera kepala selanjutnya adalah pengendalian Tekanan
Intrakranial. Pengendalian edema otak dan TIK dapat dilakukan dengan pemberian
cairan hiperosmoler seperti manitol. Manitol bekerja sebagai dioretika osmotik dengan
cara meningkatkan osmolaritas serum dan membuat perbedaan tekanan osmotik.
Pemeriksaan osmolaritas serum dilakukan untuk mengevaluasi adanya peningkatan
osmolaritas akibat manitol, bila osmolaritas serum lebih dari 320 mOsm/Kg H2O bisa
terjadi efek balik peningkatan TIK, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit serta
gagal ginjal.
23
PRIMERY SURVEY
Primary survey terdiri dari 5 komponen, yang harus dilakukan dengan teliti:
A. Airway Maintenance with Cervical Spine Protection
B. Breathing and Ventilation
C. Circulation and Hemorrhage Control
D. Disability/Neurological Status
E. Exposure/Environmental Control
G. Gastric Tube
A. AIRWAY
Terhentinya pernafasan sementara sering terjadi pada cedera otak, dan dapat
mengakibatkan cedera otak sekunder. Pada pasien perlu dilakukan ventilasi
dengan oksigen 100%. Bersihkan orofaring dari darah, mukus maupun benda
asing. Angkat sudut rahang atau dagu untuk mencegah lidah jatuh ke belakang
dan menghalangi jalan napas. (Jangan memberikan perlakuan terlalu berat pada
leher, pasien mungkin memiliki cedera tulang belakang). Penggunaan tabung
orofaringeal pada pasien dengan refleks gag dapat menyebabkan muntah dan
aspirasi. Perlu diingat bahwa tabung orofaringeal memiliki penggunaan yang
terbatas. Mungkin mereka hanya menggunakannya pada pasien dengan tabung
orotrakeal, untuk mencegah pasien menggigit tabung endotrakeal. Ukuran panjang
tabung orofaringeal harus dipilih dengan benar. Jarak antara sudut mulut dan daun
telinga adalah cara mudah untuk memilih ukuran tabung yang benar.
** Jika langkah di atas tidak cukup atau jika pasien tidak sadar (GCS = <8),
intubasi endotrakeal adalah langkah berikutnya. (Ukuran 8 untuk laki-laki dewasa,
ukuran 7 untuk perempuan, atau ukuran jari kecil pasien terlepas dari usia).
24
Lakukan tekanan krikoid selama intubasi untuk mencegah aspirasi. Penekanan ini
dilakukan sampai manset tabung telah meningkat. Pastikan bahwa tabung berada
di tempat yang benar dengan memeriksa kembali CO2, mendengarkan suara
napas bilateral dan mendapatkan dada x-ray. Jika intubasi endotrakeal tidak
mungkin dilakukan (misalnya dalam trauma wajah yang parah), langkah
berikutnya adalah dengan krikotiroidotomi.
25
Penutupan dengan kasa 3 sisi dapat diterapkan sambil mempersiapkan penyisipan
tabung dada.
3. Tension pneumotoraks: dekompresi awal dengan penyisipan jarum melalui
ruang interkostal 2 anterior, mid-klavikularis. Thoracostomy tabung.
Akses vaskular dengan dua atau lebih jalur infus besar. Akses ke vena
sentral dapat dicapai dengan cara subklavia, jugularis atau kateterisasi
vena femoralis. Pada pasien dengan cedera leher atau lengan, garis
intravena harus dimasukkan pada sisi yang berlawanan untuk menghindari
ekstravasasi cairan infus dari cedera vena proksimal.
26
Pada anak-anak muda dari 6 tahun pertimbangkan infus intra-osseus, jika
vena perifer tidak tersedia.
Kecepatan infus tergantung pada panjang dan diameter kateter dan TIDAK
pada ukuran vena.
Berikan cairan 2 liter Ringer Laktat (atau 20 ml / kg untuk anak-anak).
Jika lebih banyak cairan yang diperlukan, pertimbangkan transfusi darah
dan mungkin operasi. Namun, jika pasien memiliki indikasi yang jelas
untuk operasi tidak ada waktu harus terbuang untuk resusitasi cairan!
Syok kardiogenik
Ini harus dicurigai pada pasien trauma dengan syok tanpa adanya kehilangan
darah. Tekanan darah rendah dan pembuluh darah leher dan perifer distensi.
Beberapa Kondisi berikut mungkin terkait dengan syok kardiogenik: tamponade
jantung, memar miokard, ketegangan pneumothorax, emboli udara, dan infark
miokard. Emboli udara dapat terjadi bersamaan dengan cedera pembuluh darah
besar, paru-paru, atau tekanan rendah ruang jantung. Kadang-kadang mungkin
iatrogenik, selama pemasangan garis vena sentral.
Perburukan mendadak seorang pasien dengan adanya salah satu cedera di atas
harus diwaspadai kemungkinan emboli udara. Kadang-kadang terdengar suara
sloshing pada jantung. Pengobatan terdiri dari posisi pasien dalam posisi
Trendelenburg, torakotomi dan aspirasi langsung udara dari jantung. Pada cedera
paru, lintas-klem hilus untuk mengontrol sumber emboli udara.
Infark miokard harus dicurigai pada pasien usia lanjut dengan syok kardiogenik.
EKG dan pemeriksaan level troponin harus dilakukan secara rutin.
Neurogenik Syok
Ini adalah hasil dari hilangnya tonus pembuluh darah disertai korda serviks atau
cedera thorakal spinalis bagian atas.
D. DISABILITY/NEUROLOGICAL STATUS
27
Segera setelah status kardiopulmoner pasien stabil, pemeriksaan
neurologis cepat dan terfokus dilakukan. Pemeriksaan itu terdiri dari GCS dan
refleks cahaya pupil.
E. EXPOSURE/ENVIRONENTAL CONTROL
1. Undress pasien sepenuhnya untuk pemeriksaan menyeluruh.
2. Jaga pasien tetap hangat dengan selimut dan cairan IV hangat. Pasien trauma
menjadi hipotermia sangat cepat. Kehilangan darah yang berat, pasien usia
lanjut dan pasien anak berisiko tinggi untuk hipotermia.
SECONDARY SURVEY
Survei sekunder dilakukan hanya setelah survei primer (ABC) selesai dan
resusitasi dimulai. Kadang-kadang survei sekunder dilakukan setelah operasi
untuk cedera yang mengancam jiwa. Survei sekunder terdiri dari pemeriksaan
lengkap dari kepala sampai kaki (kepala dan leher, dada, perut, punggung,
pemeriksaan dubur dan vagina, dan muskuloskeletal).
28
Pemeriksaan fisik pada cedera kepala (Pemeriksaan neurologis)
Segera setelah status kardipulmonal pasien stabil, pemeriksaan neurologis cepat
dan terfokus dilakukan. Pemeriksaan itu terdiri dari :
1. Kaji tingkat kesadaran. Gunakan Skala Koma Glasgow. Skor minimum adalah
3 dan skor maksimum adalah 15. Sebuah diintubasi pasien memiliki GCS 11T
maksimal. Sebuah skor 8 atau kurang menandakan kerusakan otak parah dan
prognosis dijaga.
2. Periksa pupil (ukuran, reaksi terhadap cahaya).
3. telinga Periksa dan hidung untuk perdarahan atau kebocoran CSF.
4. Periksa ecchymosis sekitar mata atau di belakang telinga (fraktur basiler).
5. Periksa saraf kranial.
6. Kecualikan cedera leher (neck pain, kekakuan, nyeri tekan, atau kelumpuhan
tanda-tanda yang mencurigakan).
7. Limbs (kekuatan, nada, refleks)
8. Tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi, suhu)
29
dengan cedera kepala. Keadaan hionatremia sangat berkaitan dengan edema
otak sehingga harus dicegah.
2. Hiperventilasi
Hiperventilasi bekerja dengan menurunkan PC02 dan menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang berlangsung lama dan
agresif dapat menyebabkan iskemia otak karena terjadinya vasokonstriksi
serebri berat yang pada akhirnya menurunkan perfusi otak. Terutama bila PC02
turun sampai di bawah 30 mm Hg (4,0 kPa) 3.
Umumnya, PC02 dipertahankan pada 35 mm Hg atau sedikit di atas.
Hiperventilasi dalam waktu singkat (PaCO2 antara 25-30 mmHg) dapat
dilakukan jika diperlukan pada keadaan perburukan neurologis akut sementara
pengobatan lainnya baru mau dimulai.
3. Manitol
Manitol digunakan secara luas untuk menurunkan TIK, biasanya dengan
konsentrasi cairan 20%. Dosis yang diberikan 0,25 - 1 gram / kg BB diberikan
secara bolus intra vena. Dosis tinggi manitol tidak boleh diberikan pada
penderita hipotensi karena akan memperberat hipovolemia. Indikasi yang jelas
penggunaan manitol adalah pada penderita koma yang semula reaksi cahaya
pupilnya normal tetapi kemudian timbul dilatasi pupil dengan atau tanpa
hemiparesis. Pada keadaan ini pemberian bolus manitol (1 g/kg) harus
dihabiskan secara cepat (sampai 5 menit) dan penderita segera dibawa ke CT
Scan atau langsung ke kamar operasi bila lesi penyebabnya sudah diketahui.
4. Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-
obat atau prosedur yang biasa. Namun tidak boleh diberikan bila terdapat
hipotensi, karena barbiturat sendiri juga menurunkan tekanan darah (tidak
boleh diberikan pada fase akut resusitasi)
5. Antikejang
Epilepsi pasca trauma terjadi pada 5% penderita yang dirawat di RS dengan
cedera kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Terdapat 3 fakor
30
utama yang berkaitan dengan epilepsi (1) kejang awal yang terjadi dalam
minggu pertama, (2) perdarahan intra kranial, dan (3) fraktur depresi.
Fenitoin adalah obat yang biasa diberikan pada fase akut. Untuk dewasa dosis
awalnya adalah 1g yang diberikan secara intravena dengan kecepatan
pemberian tidak lebih cepat dari 50 mg/menit. Dosis pemeliharaan biasanya
100 mg/8jam, dengan titrasi untuk mencapai kadar terapeutik serum. Pada
pasien dengan kejang berkepanjangan diazepam atau lorazepam digunakan
sebagai tambahan selain fenitoin sampai kejang berhenti. Untuk mengatasi
kejang yang terus menerus kadang memerlukan anestesi umum. Sangat jelas
bahwa kejang harus dihentikan dengan segera karena kejang yang berlangsung
lama (30 sampai 60 menit) dapat menyebabkan cedera otak.
Tatalaksana Pembedahan8,19,20
Terapi pembedahan pada trauma kapitis memerlukan beberapa
pertimbangan dan berbeda pada setiap jenis trauma kapitis.
Pada umumnya pembedahan untuk evakuasi hematoma perlu
dipertimbankan apabila ditemukan hematoma dengan volume melebihi 25 cm3
pada hasil CT-scan. Meskipun demikian indikasi pembedahan pada cedera
kepala tidak hanya berdasarkan hasil CT-scan saja, tetapi juga adanya
perburukan klinis dan lokasi lesi. Semua luka penetrasi/tembus merupakan
indikasi pembedahan.
1. Luka kulit kepala
Hal penting adalah membersihkan luka sebelum melakukan penjahitan.
Kehilangan darah dari luka kulit kepala dapat sangat hebat terutama pada
anak anak. Perdaraha ini dapat diatasi dengan balut tekan, kauterisasi
maupun ligasi pembuluh besar. Kemudian dilakukan penjahitan,
pemasangan klips.
2. Fraktur depresi tulang tengkorak
Secara umum, fraktur depresi yang memerlukan koreksi secara operatif
adalah bila terbal depresi melebihi ketebalan tulang di dekatnya atau bila
terbuka dan sangat terkontaminasi. Fraktur depresi yang tidak signifikan
31
dapat ditolong dengan menutup luka laserasi. CT scan berguna untuk
menentukan dalamnya depresi tulang, tetapi yang lebih penting adalah
untuk menentukan ada tidaknya perdarahan intrakranial atau kontusio.
3. Lesi massa intrakranial
Lesi ini harus dikeluarkan atau dirawat oleh seorang ahli bedah saraf. Bila tidak
terdapat ahli bedah saraf di fasilitas yang menerima pasien dengan lesi massa
intrakranial, maka pasien harus segera dirujuk ke RS yang mempunyai ahli bedah
saraf. Terdapat pengecualian dimana perdarahan intrakranial membesar dengan
cepat sehingga mengancam jiwa dan tidak cukup waktu untuk merujuk pasien.
Dalam keadaan itu tindakan kraniotomi darurat dapat dilakukan oleh ahli bedah
yang terlatih.
32
DAFTAR PUSTAKA
33
9. Snell RS. Neuroanatomi klinik. Edisi ke-lima. Jakarta: EGC; 2002.
10. Brain Injury Association of America. Traumatic Brain Injury (TBI)
(online) diakses 30 Oktober 2016. URL:
http://www.biasua.org/default.aspx?SiteSearchID=1192&ID=/search-
results.htm
11. Feigin Valery L, Theadorn Alice. Incidence of Traumatic brain Injury in
New zealand: A Population-Based Study. Articles Lancet Neural.
2013;12:53-64
12. Zamzami Nyiemas, Fuadi Iwan. Angka Kejadian dan Outcome Cedera
Otak di RS. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2008-2010. Jurnal
Neuroanestesia Indonesia. 2013; 2(2): 89-94
13. Ayu Basmatika, Ida. Cedera Otak Sekunder. Kepanitraan Klinik Madya
Bagian/SMF Ilmu FK Universitas Udayana RSU Pusat Sanglah. 2013
14. Soertidawi, Lyna. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral.
Jakarta: FKUI/RSCM. 2012; 39(5): 327-331
15. Wilkinson I, Graham Lennox. Essential Neurology 4th Ed. USA:
Blackwell Publishing. 2005
16. Suryono B, Wahyu Sunaryo B. Penatalaksanaan Perioperatif Cedera
Kepala Traumatik Berat dengan Tanda Chusing. Departemen Bedah
Gawat Darurat dan Anestesi RS AD Brawijaya Surabaya. JNI.
2015;4(1):34-42
17. Demetriades D. Assesment and Management of Trauma 5th Edition.
Division of Trauma and Surgical Critical Care Departement Of Surgery
University of Southern California. 2009
18. Neugebauer EAM, Waydhas C. Clinical Practice Guideline : The
Treatment of Patients With Severe and Multiple Traumatic Injuries.
Institut Forschungg in der Operativen Medizin Universitat Witten: Dtsch
Arztebl Int. 2012;109(6):102-8
19. Surya Atmadja, Surya. Indikasi pembedahan Pada Trauma Kapitis. Jakarta
Timur: CDK-236. 2016; 43(1):29-33
34
20. Shima K, Aruga T, Onuma T, Shigemori M. JSNT-Guidelines for the
Management of Severe Head Injury. Asian J Neurosurg. 2010;5(1): 15-23
35