You are on page 1of 115

%

SEMINAR SEJARAH NASIONAL III

SEKSI
PERGERAKAN
NASIONAL

DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


DIREKTORAT SEJARAH DAN NILAI TRADISIONAL
UJ **<m WIM *<t r;l J KT;VI LftiiB UU <\ I *<t r;VI Ho H J;l ;*
BIBLIOTHEEK KITLV

0013 0367

o ^ r 73-r #07.
i. I1!^

SEM1NAR SEJARAH NASIONAL III

SEKSI
PERGERAKAN
NASIONAL
o ^u]K msrlr
/V
V00* u
%

DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


DIREKTORAT SEJARAH DAN NILAI TRADISIONAL
PROYEK INVENTARISASI DAN DOKUMENTASI SEJARAH
NASIONAL
1982
A M A R ISI

hal.
KATA PENGANTAR i

SAMBUTAN DAN PENGARAHAN MENTERI PENDIDIKAN DAN


KEBUDAYAAN iii

TUHAN SANG NAHUALU RAJA SIANTAR I

DUA RADICALE CONCENTRATIE 24

PENGARUH PENDIDIKAN BARAT TERHADAP KEDUDUKAN


ULEBALANG DI ACEH 40

SOENARDI SURYONINGRAT DALAM PENGASINGAN 51

MANGKUNEGARAN DAN NTA SURATA 66

SUATl' ENDEKATAN SEJARAH SOSIAL KOTA YOGYAKARTA 76

LAMPIRAN I

KEBUTUHAN DIRJEN KEBUDAYAAN DEP. P DAN K RI

LAMPIRAN U

DAFTAR PESERTA SEMINAR SEJARAH NASIONAL III

LAMPIRAN III

LAPORAN HASIL, SEMINAR SEJARAH NASIONAL III

LAMPIRAN IV

DAFTAR MAKALAH SUMBER SEJARAH NASIONAL III


KATA PENGANTAR

Bertepatan dengan Hari Pahlawan tanggal 10 Nopember 1981, di Hotel


Wisata Internasional, Jakarta, telaha berlangsung Seminar Sejarah Nasional
UI, hingga tanggal 15 Nopember 1981, dengan tema "Melalui Penelitian dan
Penulisan Sejarah Nasional dan Lokal kita bina Semangat Persatuan dan Ke
>;uuan Bangsa."
Dalam hal ini penelitian dan penulisan Sejarah Nasional dan Sejarah
i okal hendaknya kita lihat pada konteks yang luas, yaitu dalam rangka
pembinaan kebudayaan, termasuk pula semangat persatuan dan kesatuan
bangsa.
Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, bahwa "Pemerintah mema-
jukan kebudayaan nasional Indonesia". Itu mengandung arti, bahwa Pe-
merintah berkewajiban mewujudkan identitas nasional berlandaskan aneka
ragam kebudayaan Indonesia; dan juga mewujudkan pedoman pola tingkah
(aku yang akan menyatukan bangsa yang terdiri dari banyak suku bangsa
dengan latar belakang kebudayaan yang beraneka ragam itu.
Di sini perlu kita perhatikan adanya kenyataan, bahwa masyarakat
bangsa Indonesia itu merupakan masyarakat yang majemuk dengan aneka
ragam latar belakang sejarah dan kebudayaannya. Di samping itu, dengan
pengembangan kebudayaan nasional itu diharapkan akan menjadi pegangan
ataupun pedoman tingkah laku pergaulan sosial antar warga negara ke luar
batas lingkungan suku atau daerah. Kemudian, masih perlu diperhitungkan,
bahwa terdapat pula beberapa masalah sebagai akibat pembangunan yang
pada hakekatnya merupakan proses perubahan di segala bidang.
Kesemuanya itu berlangsung dalam ruang lirigkupdan waktu, yang perlu
kita buat inventarisasi dan dokumentasinya sebagai dukungan data yang
memadai. Data dan informasi kesejarahan itu pada khususnya diperlukan
antara lain untuk menyusun kebijakan pembinaan dan pengembangan
kebudayaan nasional dalam rangka usaha pembinaan persatuan dan kesatuan
bangsa. Demikian pula diperlukan untuk melihat berbagai kecenderungan
yang terjadi dalam proses integrasi nasional secara menyeluruh. Dan yang
lebih utama ialah agar masyarakat terbina kesadaran sejarahnya sebagai satu
bangsa.
Di dalam Seminar Sejarah Nasional III itu dapat dipertemukan berbagai
pihak yang menaruh minat dalam kesejarahan. Di dalam forum Seminar
itulah dipersembahkan hasil penelitian para sejarawan, dan mereka
memanfaatkannya untuk mempertajam konsep, menyempurnakan metode
dan metodologi untuk mempertinggi kemampuan mengungkapkan kembali
sejarah bangsa di tingkat nasional maupun daerah. Juga diharapkan untuk
mencapai keseragaman bahasa dan penafsiran berbagai peristiwa sejarah
bangsa, sehingga dapat menjernihkan berbagai masalah kesejarahan dan
mempermudah penanaman kesadaran sejarah pada masyarakat.
Materi kesejarahan dalam Seminar Sejarah Nasional III itu meliputi ke-
seluruhan sejarah nasional Indonesia, yang dibagi ke dalam enam panel,
yaitu: prasejarah; sejarah kuno; sejarah pasca kuno meliputi masa sejarah
masuk dan berkembangnya Islam; sejarah perlawanan terhadap kolonialisme,
sejarah awal abad ke-XX dan pergerakan nasional; dan sejarah mutakhir.
Kesemua materi kesejarahan tersebut berasal dari berbagai penjuru tanah
air yang merupakan pusat-pusat pemikiran kesejarahan (Jakarta, Bali, Banda
Aceh, Bandung, DI Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Riau, Banjarmasin,
Palembang, Bima, Ujungpandang, Sulawesi Utara, Medan dan Samarinda).
Demikian pula tulisan tersebut merupakan hasil penelitian ilmiah yang
crisinal, berskala nasional ataupun lokal; dan belum pernah dipublikasikan.
Pada akhirnya, dengan diterbitkannya bahan hasil Seminar Sejarah
Nasional UI ini diharapkan kesadaran sejarah pada masyarakat luas menjadi
meningkat.
Jakarta, 21 Agustus 1982
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional
SAMBUTAN DAN PENGARAHAN
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

PADA PEMBUKAAN SEMINAR SEJARAH NASIONAL III

Hadirin sekalian yang saya hormati.


Saudara-saudara sebangsa, sebahasa dan setanah air
Kita berkumpul di sini hari ini untuk bersama-sama melalui seminar
sejarah nasional yang ketiga kalinya. Pembahasan tentang sejarah merupakan
suatu aktipitas intelektual yang tidak pernah basi walaupun andaikata tema
pembahasan yang dipilih tetap sama. Secara naluri selalu ada kecenderungan
pada diri manusia untuk mengetahui masa lalu dan berdasarkan pengetahuan
tersebut berharap mendapat pelajaran guna menduga, bahkan membangun
masa depan yang dikehendaki.
Pengamatan umum ini kiranya tercermin juga pada tema yang ditetapkan
oleh seminar kali ini. Tema ini berupa "Melalui Penelitian dan Penulisan
Sejarah Nasional dan Lokal Kita Bina Semangat Persatuan dan Kesatuan
Bangsa". Dari bunyi tema ini segera dapat diketahui bahwa para peserta
seminar tidak hanya menganggap bahwa penelitian merupakan aktipitas yang
berguna, tetapi bahwa sejarah layak dijadikan objek penelitian karena ia
mengandung suatu arti (sense). Arti yang dikandung oleh sejarah ini harus
digali melalui penelitian untuk kemudian dimasyarakatkan melalui penulisan
dan selanjutnya dijadikan modal bagi pembinaan semangat persatuan dan
kesatuan bangsa.
Baik seminar sebagai aktipitas intelektual maupun tema yang dipilih oleh
seminar sejarah ini, sangat saya hargai. Melalui semua ini kita ingin mene-
gaskan bahwa kita tidak ingin dikutuk oleh sejarah bahwa kita tidak belajar
dari sejarah. Sebab memang acapkali justru dari sejarah kita belajar betapa
kita tidak belajar dari sejarah. Namun harus diakui bahwa usaha untuk
menarik pelajaran dari sejarah bukanlah pekerjaan yang sederhana. Usaha
memperoleh angka yang tinggi dari studi sejarah, bahkan usaha meraih
judicium yang membanggakan dari ujian mata pelajaran sejarah pasti jauh
lebih mudah dari usaha memahami arti (sense) dari sejarah manusiawi. Betapa
tidak. Dengan bermodalkan diktat orang lain atau "singkatan" dari bahan
kuliah yang dibuat oleh teman, seorang mahasiswa dapat saja mendapat
angka yang lumayan dari ujian yang ditempuhnya. Namun untuk menggali,
apalagi dapat menemui arti dari sejarah, si pelajar sejarah dituntut untuk
menghayati, sesedikitnya membiasakan diri dengan, falsafah. Falsafah dalam
aman pengusutan tentang hakikat dari relatitas, baik sebagai keseluruhannya
ataupun mengenai salah satu atau beberapa aspek dari sekian banyak aspek
yang dikandungnya. Mengingat arti essensial dari falsafah adalah pemikiran
yang sistematik sedangkan bekerjanya pikiran manusia pada dasarnya sama,
apapun obyek yang dijadikan bahan pemikiran itu, kiranya dapat dikatakan
bahwa tidak ada satu falsafah tertentu yang secara khusus disediakan hanya
bagi pemikiran sejarah.
Realitas berkaitan erat dengan fakta dan setiap ahli sejarah pasti akan
menggunakan fakta tanpa ragu-ragu. Memang bagi ahli sejarah fakta-fakta
mengenai masa lalu manusia merupakan perbendaharaan dari bahan
pekerjaannya. Tetapi ada baiknya ahli sejarah bertanya pada diri sendiri apa-

iii
kah yang disebut fakta yang dianggapnya sebagai realitas itu dan di mana ia
dapat atau telah memperolehnya. Apakah yang dianggapnya sebagai fakta-
i ealitas itu adalah obyek di luar dirinya, seperti batu atau kayu yang dapat
ditemui atau dikutip di sepanjang jalan? Apakah fakta-realitas itu sebenarnya
bukan hasil ciptaan pikirannya sendiri yang tidak ada bandingnya
(counterpart) di luar dirinya?
Pertanyaan seperti ini perlu diajukan mengingat, menurut hemat saya,
yang disebut sebagai fakta-realitas itu tidaklah seluruhnya subyektif dan tidak
pula seluruhnya objektif, tetapi merupakan benda separuh-buatan, sesuatu
"semi-manufactured article"- Andaikata benda yang terdapat di luar dirinya
itu memang tidak bersesuaian dengan apa yang ada'di dalam benak pikiran
manusia, si pemikir tidak akan dapat mengenalnya dan lalu mengambilnya se-
bagai fakta. Di pihak lain, si pemikir telah memilih sejemput bahan faktual ini
dari sekumpulan massa yang mungkin kurang disadarinya bahwa jumlahnya
melimpah ruah tidak terbatas. Tetapi kalau dia tidak mengadakan pemilihan
dan tidak mempelajari beberapa contoh yang telah dipilihnya itu, dia tidak
akan memperoleh fakta yang dapat diolahnya secara mental.
Di dalam melaksanakan proses pengolahan intelektual inilah perlu
adanya penghayatan cabang falsafah yang dikenal sebagai "epistemologi",
yaitu teori pengetahuan. Sebab pertanyaan mengenai hakikat dari fakta pada
gilirannya menimbulkan persoalan tentang hubungan antara hipotesa dengan
generalisasi di satu pihak dan di lain pihak tentang fakta-fakta yang berkaitan
dengan hipotesa dan generalisasi tersebut. Hipotesa dan generalisasi tidak
begitu saja timbul dalam pikiran. Kehadirannya dalam pikiran karena
desakan, suggesti, dari pengamatan atas fakta, tetapi perlu disadari bahwa
fakta yang cukup suggestif ini belum tentu, bahkan jauh dari, konklusif.
Kalau hipotesa dan generalisasi ini perlu dikukuhkan, validitasnya perlu diuji
melalui lebih banyak lagi fakta yang relevan yang dapat dikuasai oleh si
pemikir. Tetapi berapa banyak yang dapat dikuasainya? Setiap saat per-
bendaharaan fakta yang telah dimiliki dapat saja diragukan oleh lain-lain
fakta yang selama ini belum diketahui atau belum dipertimbangkan dan
berkat kehadiran fakta-fakta baru ini mungkin saja koleksi fakta yang
suggestif tersebut runtuh berantakan. Memang pikiran manusia tidak
mempunyai kemampuan untuk mutlak memperoleh pengetahuan tertentu.
Gambaran yang dibuatnya mengenai sesuatu gejala dalam batas cakrawalanya
sendiri merupakan tidak lebih dari suatu pendekatan terhadap kebenaran
yang mutlak.
Hal ini tidak hanya berlaku terhadap pemikiran manusia tentang hal non-
manusia, tetapi juga tentang studi mengenai hal-ikhwal manusiawi. Data yang
dapat dikumpulkan oleh orang-orang yang mempelajari hal-hal yang lain dari
manusia memang sulit untuk dapat dikatakan lengkap dan pemilihan data itu
sendiri juga dapat dikatakan arbitrair dan kebetulan. Jadi sejarah mengenai
seleksi dan kontruksi intelektual di bidang studi bukan-manusia, kita betul-
betul tergantung pada faktor kebetulan. Namun sejauh mengenai studi
tentang hal-ikhwal manusia, kita masih tergantung pada beberapa faktor
tambahan lainnya, seperti prasangka, pilih-kasih, kekacauan yang disadari
atau tidak disadari. Hal ini karena pelajar tentang hal-ikhwal yang bukan-
manusia merupakan pengamat yang tidak terlibat pada hal yang dipelajarinya
sedangkan orang yang mempelajari hal-ikhwal manusia merupakan sekaligus
peserta dan peninjau. Di samping berada di pentas dia berada pula di
auditorium. Dia melakukan peranan ganda dan ini pula yang mempersulit
situasi kerja intelektualnya.

iv
Pelajar hai-ikhwal manusia sulit untuk melepas diri karena ia terlibat,
secara emosional dan moral, dalam setiap perbuatan makhluk manusia yang
dapat diketahuinya. Mungkin saja ia tidak akan mengutuk seekor harimau
yang membantai habis seorang manusia karena mengetahui bahwa binatang
buas ini bertindak mengikuti naluri yang berjalinan erat dengan susunan
psikosomatik hewani. Tetapi ia pasti mengutuk atau sesedikitnya mengulas
sesuatu tindakan seorang manusia dan penilaian moralnya diiringi dengan
perasaan yang bobotnya berubah sesuai dengan derajat kebaikan atau
keburukan dari tindakan yang berada dalam pengamatannya itu.
Inilah sebabnya mengapa tadi saya katakan betapa perlunya seorang
pelajar sejarah menghayati falsafah dan khususnya epistemologi atau teori
pengetahuan. Adalah bijaksana apabila seorang pemikir tentang apapun
mempelajari lebih dahulu bagaimana bekerjanya pikiran manusia. Apabila
hal ini diabaikannya ia tidak akan menyadari keterbatasan dari keterbatasan
dari kekuatan pemikiran manusia. Bahkan di samping kelemahan-kelemahan
yang umum terdapat pada pemikiran manusia, pemikiran manusia tentang
hal-ikhwal manusia mempunyai keterbatasan okkupasionalnya sendiri. Orang
yang mempelajari hal-ikhwal manusia harus menyadari akibat dari ke-
dudukannya sebagai peserta yang sekaligus peninjau. Keadaan seperti ini
intrinsik dengan obyek studinya, yaitu sesama makhluk manusia seperti
dirinya sendiri juga, dan apabila hal ini kurang disadarinya ada resiko ia akan
membuat kekeliruan yang mudah sekali dihindarkan oleh orang yang
mempelajari hal-ikhwal yang tidak mengenai makhluk manusia.

Para peserta seminar yang terpelajar.


Falsafah, atau sedikitnya epistemologi, juga diperlukan di dalam meng-
gali atau berusaha menemui arti dari sejarah. Hal ini mengingat adanya
ambiguistas dalam perkataan "arti", yaitu arah atau pengertian.
Secarapoeitisorang seringkali mengatakan tentang "arus" atau "gelom-
bang" sejarah dan sebagai arus atau gelombang, sejarah membawa,
menghanyutkan atau mengantarkan seseorang kesatu realitas dan meninggal-
kan atau membiarkan yang lain dalam kebingungan. Bila "arti" dari sejarah
ini ditafsirkan sebagai "arus" atau "gelombang", kiranya ia ditanggapi se-
bagai "arah". Artinya, kita seperti melihat di dalam rangkaian momen yang
berkesinambungan itu adanya satu arah yang berkelanjutan, yang ditentukan
satu dan lainnya oleh kejadian kausal. Tetapi arah, orientasi atau arus ini
tidak hanya sekadar diterima sebagaimana adanya. Orang cenderung pula
untuk menilainya, bahkan dijadikan sumber dan ukuran dari setiap nilai. Bila
demikian pada waktu yang bersamaan "arti" dari sejarah ini diberikan satu
tafsiran yang lain, yaitu pengertian, makna atau dasar pengakuan (raison
d'etre). Dengan perkataan lain mempunyai "arti" sekaligus ditanggapi se-
bagai lawan dari "tanpa arti", lawan dari "non-sens". Jadi "tujuan" secara
implisit dimasukkan dalam pengertian "arti" ini.
Soalnya lalu, apakah cukup bahwa sejarah mengandung suatu orientasi
atau arah untuk dapat dinyatakan mempunyai arti? Sebaliknya, apakah satu
sejarah tanpa arah tidak mungkin dinyatakan mempunyai arti?
Menjawab pertanyaan seperti ini menjadi mudah selama kita meng-
gunakan suatu waktu yang berdimensi tunggal, yang disimbolkan melalui satu
garis lurus. Di sini sejarah berjalan sepanjang satu garis lurus yang mengarah
dari masa lalu ke masa depan, kesesuaiannya, kalaupun ada, membuktikan
adanya kesinambungan dari momen yang beruntun saling menyusul, satu arah

v
yang jelas terbaca dari keseluruhan kejadian. Arah yang berkelanjutan ini,
kalaupun tidak dengan sendirinya dapat ditafsirkan sebagai suatu "arti" yang
berupa dasar pengakuan, sesedikitnya dapat ditanggapi sebagai suatu kondisi.
Agar supaya kesinambungan tersebut pada waktu yang bersamaan dapat
ditafsirkan sebagai "pengertian", kita terpaksa untuk memasukkan
"tujuan", yang juga bersifat lineair. Artinya, momen yang
berkesinambungan dari sejarah tidak hanya merupakan satu rangkaian vang
berkesesuaian, satu arah yang berkelanjutan, tetapi juga satu penyelesaian.
Dengan perkataan lain, pada "arah" atau "orientasi" ini perlu dibubuhi satu
tujuan, yang juga terletak pada garis lurus yang sama, dan yang dalam dirinya
merupakan "raison d'etre" dan sumber nilai bagi keseluruhan prose's sejarah
yang bersangkutan.
Bila demikian, bila pengetahuan kesejarahan telah mencapai tingkat per-
kembangan yang seperti ini, studi mengenai morphologi sejarah menjadi sama
pentingnya dengan studi mengenai momen dan kejadian yang kita awasi
kaitan yang satu dengan lainnya. Morphologi dari sejarah menjadi semakin
penting dengan semakin meluasnya cakrawala pandangan ahli sejarah.
Usaha untuk membuat suatu rekonstruksi dari jalannya kejadian-ke-
jadian masa lalu pada mulanya dibatasi pada penuturan atau cerita dari satu
periode tertentu. Memang semua rekonstruksi kesejarahan terpaksa
dilakukan dalam bentuk penuturan karena semua hal ikhwal manusia terus
terjadi dalam dimensi waktu. Apabila kita berusaha menyetop jalannya
kejadian-kejadian untuk sekedar memisahkannya agar tidak bertumpang
tindih sebagai benang kusut, kita sebenarnya sudah mengganggu, kalaupun
tidak merusak, realitas sejarah. Sejarah dapat dilukiskan sebagai suatu arus
kejadian-kejadian yang secara metaphorik dapat disamakan dengan suatu
arus dari aliran air dan sebagai hal ini, ia mempunyai bentuk yang dapat
dilihat dan dianalisa.
Apakah sejarah merupakan suatu gerakan yang kacau balau di mana
arusnya tidak mempunyai suatu arah tertentu, atau, apakah arusnya ini jelas
mempunyai satu orientasi, sama halnya dengan arus sebuah sungai? Apabila
arus sesuatu sungai dapat disamakan dengan arus sesuatu sejarah, apakah
sejarah berjalan (mengalir) dengan kecepatan yang sama, atau apakah
kecepatan ini berubah-ubah menurut liku dan relung yang dilewatinya, atau
apakah sejarah mempunyai kecenderungan umum untuk semakin lama
semakin cepat jalannya atau secara bergantian semakin menurun? Dengan
cara yang sama kita juga dapat bertanya apakah ia selalu bergerak dalam satu
jalur atau selalu bergerak dalam berbagai cabang jalur yang paralel atau
kadangkala bersatu atau kadangkala berpisah. Selanjutnya kita dapat pula
bertanya apakah bentuk dari alur sungai yang sama tetap sama di titik
manapun ia berada, atau berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang
dilampauinya, begitu rupa sehingga memudahkan atau mempersulit kita
untuk membuat persamaan atau perbedaan di antara bentuk-bentuk tersebut.
Cara mempelajari sejarah seperti inilah yang tadi saya sebutkan sebagai
"morphologi" dari sejarah, yang agak berbeda dari epistemologi, tetapi biar
bagaimanapun, dalam mempelajarinya, tetap diperlukan pemikiran yang
sistematik, jadi artinya, tetap memperlakukan penghayatan falsafah. Lebih-
lebih bila studi morphologi sejarah ini dilakukan demi menggali "arti" yang
dikandungnya itu.

VI
Hadirin sekalian yang saya hormati.
Biar bagaimanapun kita yang hidup dewasa ini sangat jauh lebih
beruntung dari nenek moyang kita dahulu. Apakah manusia pertama di bumi
pertiwi ini diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuknya yang
sempurna seperti makhluk manusia dewasa ini atau tumbuh secara volutif
seperti yang kita lihat dari fosil di lapisan-lapisan lumpur sepanjang tebing
dan beting Bengawan Solo, dari manapun mereka berasald an datang, dapat
kita bayangkan betapa sulit dan beratnya hidup mereka itu. Walaupun secara
berangsur-angsur mereka mampu membangun perlindungan dan meramban
makanan, mereka tidak mempunyai keluarga yang dapat memberikan tun-
tutan ataupun yang dapat dipakai sebagai contoh. Namun yang paling terasa
tidak mereka punyai adalah suatu masa lalu. Mereka tidak mempunyai buku
sejarah yang dapat menceritakan bagaimana manusia hidup sebelumnya.
Mereka tidak mempunyai musik atau cabang kesenian lainnya, tidak
mempunyai falsafah, tidak mempunyai konsep yang seragam tentang itu.
Kita dewasa ini lebih berbahagia dari mereka karena kita kini mempunyai
satu masa lalu, mempunyai satu sejarah. Bagi kita sejarah ini merupakan satu
warisan nasional. Sekarang kita berkumpul untuk menyimak, menggali
"arti" dari warisan kita ini. Dan arti ini, kalau saya tidak keliru
menangkapnya, adalah semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Bukankah
tema seminar kita ini adalah, saya ulangi, melalui penelitian dan penulisan
sejarah nasional dan lokal kita bina semangat persatuan dan kesatuan bangsa.
Bahwa seminar sejarah ini dengan tema seperti ini dimulai pada tanggal
10 Nopember, sungguh merupakan satu kesengajaan yang membanggakan.
Tanggal 10 Nopember, yang dengan setia kita peringati setiap tahun, adalah
hari pahlawan, hari yang dihiasi dengan semangat patriotik. Sedangkan
Tadi saya katakan bahwa bagi kita sejarah bangsa yang ckp ta ini
merupakan satu warisan nasional. Dan satu warisan dalam dirinya merupakan
satu hak-kelahiran. A heritage is in itself a birthright. Pada saat dan suasana
di mana intrenasionalisme merupakan sat mode, di mana patriotisme
dianggap sebagai satu nilai yang kolot, melalui seminar sejarah ini kita
tunjukkan bahwa sejarah nasional dan lokal merupakan dasar dari
patriotisme yang tidak kunjung padam. Maka it marilah dengan penuh ke-
tekunan dan melalui keteraturan berpikir, dari sejarah kita, dari warisan
nasional ini, kita gali arti yang berguna bagi usaha pembinaan semangat
persatuan dan kesatuan bangsa.
Dengan harapan seperti ini, dengan nama Tuhan Yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang, pada Hari Pahlawan ini, Selasa tanggal 10
Nopember 1981, Seminar Sejarah Nasional ke-III, dengan resmi saya
nyatakan dibuka.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Dr. Daoed Joesoef

vii
TUHAN SANG NAHUALU, RAJA SIANTAR
oleh:
Tengku Luckman Sinar, SH
Kerajaan SIANTAR sebelum 1946, adalah salah satu daripada 4 Keraja-
an di dalam wilayah Kabupaten Simelungun (Prop. Sum. Utara) sekarang ini.
Di tempat di mana terletak Kota PEMATANG SIANTAR kini, berdiam di
zaman dahulu kala RAJA SI TANGGANG dari marga Lontung Sinaga, Kam-
pong-kampong asai dalam wilayah kerajaan itu adalah Pematang, Naga Bosi,
Dolok Malela dan Silampuyang. Yang belakangan ini mula-mula masih
berdiri sendiri di bawah TUHAN SILAMPUYANG dari marga Saragih.O
Pada suatu hari muncullah seorang bernama PERTIGA TIGA SIPUN-
JUNG marga Damanik yang menetap di Silampuyung dan kawin dengan pu-
teri Tuhan Silampuyang itu. Dalam suatu pertaruhan Raja Si Tanggang kalah
dan menyingkir ke Tanah Jawa, Part iga Tiga Tiga Sipunjung Damanik lalu
menjadi raja di kerajaan Siantar. Sejak itulah adatnya bahwa Raja-raja
Siantar mengambil permaisuri mereka (disebut "Puang Bolon") dari keluarga
turunan Tuhan Silampuyang. Pertiga Tiga Sipunjung digantikan puteranya SI
ALI URUNG. Pada suatu hari ia ini pergi ke kampung SIANTAR MATIO,
lalu menganjurkan beberapa keluarga-keluarga di sana, termasuk cucu dari
BAGOT DI HITANG, agar mengikutinya pindah ke Pematang Siantar.
Entah sebab apa tiada berapa lama kemudian Ali Urung ini memakzulkan
dirinya dan mengangkat cucu Bagot di Hitang itu menggantikannya menjadi
raja sedang dia sendiri mengangkat dirinya menjadi BAHDOLAK (semacam
Perdana Menteri). Itulah sebabnya setiap raja-raja Siantar menuturkan Bah
Bolak dengan sebutan "Menek". Lain pula keterangan dari Van Dijk.(2> Ia
menyatakan bahwa invasi pertama di bawah pimpinan Bah Bolak yang tak
berhasil menaklukkan raja baru itu sehingga minta bantuan kepala kampong
Siantar Matio di mana yang belakangan ini berhasil mengusir musuh itu,
sehingga kepala kampong Siantar Matio itu yang menjadi raja dan dia
menjadi Bah Bolak. Turunan Raja-raja Siantar ini bercabang ke wilayah
bandar, Sidamanik dan Silampuyang (Sipoldas) sehingga negeri-negeri itu
menjadi vaal (jajahan) dari Kerajaan Siantar. Pada masa dahulu route per-
dagangan Siantar ke arah pantai timur Sumatera adalah melalui jalan dagang
Tanjong Kasau Tebing tinggi Pagunawan Pantai timur (daerah pesisir
yang didiami suku bangsa Melayu) sedangkan ke arah pantai barat Sumatera
melalui route Padangan Bandar Danau Toba. "Tuhan" (atau "Tuan)
adalah seperti halnya gelar "Raja" menjadi gelar-gelar kaum bangsawan di
Simolungun. Kalau permaisuri raja disebut "Puang Bolon" maka isteri utama
dari para "Tuhan" disebut "Puang HuU". Raja yang Empat di Simelungu
("Raja Na Opat) adalah angkatan dari Sultan Aceh.<3'- Yang menobatkan
Raja Siantar adalah Tuhan Bandar dan Tuhan Sidamanik. Tanah sekeliling
sesuatu kampong adalah kepunyaan kampong itu, tetapi sebaliknya tanah-
tanah hutan yang kosong (woeste gronden) adalah kepunyaan Raja. Setiap
orang yang mohon untuk mengerjakan tanah kepada raja dikutip pajak 1/10
dari hasil tanah itu oleh raja.<4>

(1) J. Tideman, "Simeloengoen", p. 56 57.


(2) P.A.L.E. Van Dijk. "Rapport butreffende de Si Baloengoensche Landschappen Tandjong
Kasau, Tanah Djawa en Si Antar", TBG XXXVII, 1893, p. 186.
(3) Ibid, p. 172
(4) Ibid, p. 198

l.l
Susunan tata pemerintahan kerajaan Siantar adalah sbb.
(A). RAJA (Partongah) Siantar dari marga Demanik Bariba.
(B). HARAJAAM DI PEMATANG:
1. Bah Bolak (suhi Bah Besar& dengan Paiduna Tuhan Ambarita
2. Tuhan Anggi (Suhi Huluan) dengan Paiduna Jagoraha (panglima pe-
rang)
3. Rumah Tengah (Sahi Haean) dengan Paiduna Tuhan Tumorang
4. Nagodang (Suhu Huta Ipis) dengan Paiduna Tuhan Nabolon
(C). PENDAPAAN (Pertuhanan/Si Opat Suku):
1. Tuhan Sipelha
2. Tuhan Dolok Melala
3. Tuhan Lingga
4. Tuhan Jeriang Huluan.
5. Tuhan Silo Bayu
6. Tuhan Bangun
7. Tuhan Silampuyang
Akhir abad ke-19 adalah merupakan masa-masa di mana modal-modal
Belanda/Barat secara besar-besaran ditanamkan di perkebunan-perkebunan
di Sumatera Timur, mengingat suksesnya hasil-hasil perkebunan
yang diexport tsb. (tembakau, kopi kemudian karet dan kelapa sawit).'5'
Pada periode inilah tanah-tanah yang subur diserahkan untuk
konsesi-konsesi perkebunan-perkebunan besar tadi sehingga tak heranlah di
mana-mana terjadi perlawanan-perlawanan dari rakyat.*6' Pada akhir-akhir
abad ke-19 itu hanya daerah-daerah Batak di pedalaman Sumatera Timur
(Tanah Karo, Simelungun, Habinseran, Dairi) yang belum dikuasai Belanda.
Wilayah-wilayah ini sering disebut Belanda sebagai "onafhankalijke
Bataksche gehieden", wilayah-wilayah Batak yang masih merdeka. Tetapi
lapar tanah dari kaum kapitalis perkebunan Belanda rupa-rupanya sudah
mendahului gerakan-gerakan dari alat-alat pemerintahan Hindia Belanda
untuk merembes ke sana. Pada masa periode ini perlawanan-perlawanan
bersenjata yang tangguh berada di bawah pimpinan orang-orang Simelungun
dari kerajaan Raya (pimpinan Raja Rendahaim) dan dari hulu Sunggal
(Tanah Karo). Di wilayah-wilayah perbatasan dengan "onsfhankelijke
gebieden" ini sering terjadi serang menyerang dan bakar membakar
kampung-kampung rakyat oleh serdadu-serdadu Belanda, jika rakyat mem-
balas perampasan tanah mereka oleh perkebunan dengan membakar bangsal-
bangsal tembakau. Dalam tahun 1884 Kerajaan Siantar telah memprotes
pihak Belanda karena melindungi perampasan tanah di daerah Tanjong Kasau
yang dianggap Kerajaan Siantar sebagai masuk wilayahnya. Tetapi tentulah
protes-protes seperti itu dianggap sepele oleh Belanda. Masa itu sudah naik
tahta Raja Sang NAHUALU DAMANIK (naik tahta 1888) menggantikan
ayahnya RAJA NA MARTUAH (Raja Na Iparsiroan) yang mangkat tahun
1880, ketika Sang Nahualu masih di bawah umur di mana Mangkubumi
adalah pakciknya, Raja Itam. Untuk menghadapi intrik-intrik Belanda ini,
lalu Sang Nahualu mengikat perjanjian rahasia dengan seorang pengusaha
perkebunan bangsa Jerman bernama BARON VON HORN dalam tahun
1885. Jika Baron Von Horn dapat mengusahakan bantuan Kerajaan Jerman
Raya untuk membendung perembesan Belanda ke dalam wilayah Siantar

(5) Lihat untuk ini T. Luckman Sinar, SH: "Sari Sedjarah Serdang", 1970, p. 162 179.
(6) Lihat juga T. Luckman Sinar, SH: "Perang Besar dalam Kampung Kecil, Riwayat Perjuangan
Rakyat Sunggal", Majalah PRISMA No. 8 Agustus 1980.

2.
maka Von Horn akan diberikan konsesi besar untuk membuka perkebunan di
sana. Rupa-rupanya rahasia ini tercium juga oleh pembesar-pembesar
Belanda di Medan sehingga Baron Von Horn diusir kembali ke Berlin.<7)
Ketakutan Belanda untuk mendapat saingan dari negara-negara lain di Ero-
pah membuat cepat-cepat dilaksanakan "pacifikasi" memasukkan wilayah-
wilayah yang masih merdeka ke dalam wilayah Hindia Belanda. Untuk ini
ditugaskan kontelir" P.A.L.E. Van Dijk dan J. Koresen. kebetulan dalam
tahun 1888 itu terjadi perpecahan di antara para orang-orang Besar Kerajaan
Siantar, sehingga Belanda dapat memaksakan Raja yang masih muda belia ini
menandatangani Kontrak pendek 16 September 1888.
Sejak masa itu Belanda agak kecewa terhadap anak muda ini yang diang-
gapnya "koppig" (keras kepala). Dengan Kerajaan Tanah Jawa telah terjadi
ketegangan di bulan Maret 1891 di mana paman Raja Siantar ini, Tuhan
Marihat, turut tersangkut. Dengan Tanjong Kasau juga terjadi ketegangan
soal ganti rugi "pancang alas" yang tidak dibayar kepada Tuhan Bandar,
vazaal dari Siantar. Juga dengan Dolok Merlawan dan Dolok Kahean kedua-
duanya vazaal dari Kerajaan Pane terjadi juga perselisihan.
Rupa-rupanya sang Nahualu menganggap bahwa selama ini integritas
wilayah Siantar sudah jauh menurun. Ia melihat dengan geram perembesan
kapital-kapital perkebunan Belanda tanpa menghiraukan hak-hak adat
rakyat. Di dalam waktu singkat saja seluruh tanah-tanah yang subur antara
wilayah kerajaan-kerajaan Melayu di pesisir dengan Kerajaan Siantar sudah
diberikan buat konsesi perkebunan asing.*8' Terutama setelah dibukanya jalan
raya dari pesisir lima puluh Perdagangan Siantar. Bersamaan dengan
masuknya modal Barat tsb. pemerintah Hindia Belanda dengan senang hati
pula mendukung operasi perkembangan Zending Kristen ke dalam wilayah
Tanah Batak. Pendeta Muller dengan sejumlah orang-orang Batak Toba
ditempatkan di Siantar dalam tahun 1907 untuk mendukung project irigasi.
Menurut laporan Assisten Residen Belanda buat Simelungun dan Tanah Karo,
Westenberg mengenai penduduk Simelungun disebut a.l.:
".... De bevelking is not bijna geheel heidensch doch in de aan de
Maleische landen grenzende streken heeft de Islam reeds vasten voet
gekregen en breidt zijn invloed langzaam maar zoker uit. Allewege
arbeiden Zendelingen die reeds een groot aarial scholen hebben opgericht;
bekeerlingen zijn or maar zeer weining." 'W
(artinya; penduduk di sini hampir seluruhnya belum beragama tetapi di
dekat batas daerah-daerah Melayu agama Islam mendapat tempat
berpijak dan lalu memperluas pengaruhnya secara pelan-pelan tetapi
pasti. Sementara itu Zending Kristen bekerja dengan mendirikan sekolah-
sekolah di mana-mana tetapi orang-orang yang masuk kristen sangat se-
dikit).
Memang missi agama Islam masuk dari wilayah kerajaan-kerajaan
Malayu di pasisir ke Simalungun terutama via Tanjung Kasau dan Batubara
dan dari Padang dan Negeri Bandar sendiri. Di dalam tahun 1901 Raja Siantar
Tuhan Sang Nahualu resmi memeluk agama Islam. Selain itu ia juga
menganjurkan kepada orang-orang Besarnya dan rakyatnya agar memeluk
agama baru ini. Peringatan-peringatan dari Kantelir Belanda yang ada di
Batubara tidak dihiraukannya.

(7) W.H.M. Schadee(M. Joustra," De Uitbreiding van ons gezag in de Bataklanden" p. 29 30.
(8) Ibid. Schadce, p. 33.
(9) Rapport no. 288 tgl. 25 21901.

3
Dengan Gouvernement Besluit no. 22 tertanggal 12 12 1906
(Staatsblad 531) dengan resmi diumumkan oleh Pemerintah Hindia Belanda
bahwa seluruh wilayah Batak yang masih merdeka, sudah dimasukkan ke
dalam wilayah Hindia Belanda dan dibentuklah Afdeeling (Kabupaten)
Simeloengoen en Karolanden di mana Assisten Residen yang pertama
diangkat tuan Westenberg berkedudukan di Saribu Dolok. Hal ini dimungkin-
kan ketikalsatu expedisi tentera Belanda yang kuat pimpinan Let. Kol. G.C.E.
Van Daalen dari Aceh melewati Tanah Gayo dan Tanah Kias dan dari Pakpak
Dairi merembes ke Tanah Toba menuju Sibolga. Dari sana dalam tahun 1904
itu juga mereka kembali ke Aceh. Sebagian dari expedisi militer itu
sesampainya di Pakpak Dairi, dipimpin Kapten De Graaf Tanah Karo untuk
tiba di Medan, tetapi dihadang rakyat Karo sehingga terbirit-birit lari ke
Medan, itupun karena sempat dibantu oleh colonne Eleckmann yang dida-
tangkan dai Medan. Karena adanya perlawanan rakyat di Tanah Karo maka
didatangkan lagi pasukan Belanda pimpinan Kolonel Collijn dari Aceh bulan
Oktober 1904 itu.*10' Dalam bulan Juni 1906 pos Belanda di Perapat diserang
rakyat dari kampung Girsang dan Simpangan Bolon. Belanda mendatangkan
bantuan dari seribu Dolok dan di dalam penggerebekan Belanda telah
dibunuhnya 8 orang rakyat Girsang. Begitu juga di Tanah Jawa emplasemen
perkebunan Kek Buluh diserang oleh Si Rambaing Raja dari Dolok Paribuan,
jajahan Tanah Jawa dalam tahun 1907 sehingga polisi Belanda yang
mendekking terpaksa kabur arah ke Danau Toba. Tetapi akhirnya Si
Rambaing tertangkap juga dan mati karena siksaan di dalam penjara Belanda
di Medan. Peristiwa-peristiwa kegusaran rakyat di mana-mana menambah
kebencian Sang Nahualu terhadap Belanda. Sebaliknya Belanda mencari
bahan-bahan kelemahan untuk menyingkirkannya. Alasan yang dipakai
Belanda ialah bahwa Sang Nahualu itu suka "memeras rakyat" dan melak-
sanakan intrik-intrik. Pengaduan yang pertama dilancarkan oleh Kontelir
Batubara, Karthaus, di dalam notanya April 1905 di mana Raja Siantar itu
memperbuat 10 kesalahan bersifat kesalahan penindasan dengan sepenge-
tahuan pula dari Bah Bolak dan Orang-orang Besarnya anggota Kerapatan
yang lain. Di dalam tuduhan yang nomor 10 misalnya, Kontelir itu menulis:
".... 10e. Hoewel Men niet bewijzen kan dan de vorst dwang uitoefent
wat betreft de overgang tot den Islam van zijne onderdanen, wijs de
beschuldiging omtrent de gevangen houding van Limahani daar toch op;
ook doet het ondervolgende zulks vermoeden" dst. (artinya: Meskipun
tidak bisa dibuktikan bahwa raja itu melakukan pemaksaan terhadap
rakyatnya agar masuk Islam, menunjukkan jugalah tuduhan mengenai
penangkapan atas diri Limahani, juga kecurigaan terhadap kasus seperti
di bawah ini, yaitu Sadiakin).
Adapun kasus seorang Batak bernama LIMAHANI adalah sbb.: Pada
suatu ketika, isteri dari Lima hani memeluk agama Islam atas kesadaran
sendiri. Tiba-tiba di dalam suatu pesta perkawinan, ia memaksa isterinya
supaya makan daging babi. Mendengar pengaduan atas ini, Raa Sang
Nahualu (yang nota bene sudah memeluk Islam) lalu menjatuhkan hukuman
kurungan atas diri Limahani. Kasus Sadiakin lain lagi. Isteri dan anak-
anaknya pada suatu hari dirampas dan dilarikan oleh Topa. Sadiakin meng-
adukan halnya kepada Raja. Raja Sang Nahualu menyuruhnya pindah saja ke
Pematang Siantar dan raja berjanji akan membantu mengembalikan anak
isteri Sadiakin. Tiada berapa lama ia berdiam di Siantar maka anak-anak dan

(t(H W Vnhnrk. Nm v*i Poliiirk ftflcid n Be^tmirorn i tl Riiiienho/iiiin*rn' IH


4
isterinya dapat diketemukan kembali dan diserahkan padanya. Atas rasa
syukur ia lalu sekeluarga memeluk agama Islam. Setelah beberapa lama
kemudian ia mohon kembali ke Bolok Malela. Kemudian disebutkan oleh
Kontelir bahwa Raja Sang Nahualu menuntut sejumlah wang kepada Sadiakin
dan Sadiakin tak mau membayar karena katanya ia dipaksa Raja masuk Islam
dan kini mau keluar dari Islam. Yang anehnya Residen Sumatera Timur
Schaap, mendukung tuduhan-tuduhan kantelir Batubara ini meskipun bukti-
bukti secara konkrit belum ada. Dalam laporannya kepada Gubernur Jendral
Hindia Belanda*1" Ia bahkan sudah bertindak untuk menahan Raja Sang
Hahualu di Medan. Ditambah pula:
"De willakeur van dezen Radja is vooral toegenomen seder hij tot het
Mohamadaansche geloof is overgegaan en nu meent zich volstrekt niet te
behoeven te storen aan de Batakche adat Gesteund en meer dan waarschijnlijk
daartoe aangespoord door zijn rijksgroote Bah Bollak, terrichte de Radja de
eene wederrechtelijke handeling voor de andere na, en ik twijfel ar geen
agenblik aan of na een nauwkeurig onderzoek zullen nog meerdere staalthes
van het slechte bestuur van den Radja en zijn medeplichtige Bah Bollak voor
den dag komen, zoedra men maar in Siantar de zekerheid heeft dat de Radja
van zijn waardigheid is en hij tijdelijk met Bab Bollak uit Siantar verwijderd
wordt gehouden. On den Controlleur zijn verder onderzoek ter zake
tevergemakkelijken, heb ik dan ook Sang Nahoealoe en Bah Bollak naar
Medan Ontboden en daar voorlopig aangehouden", (artinya: Kesewenangan
Raja ini terutama meningkat sejak ia memeluk agama Islam dan kini
menganggap tidak lagi harus sepenuhnya musti patuh pada adat Batak.
Dibantu dan besar kemungkinan juga dihasut oleh Orang Besarnya Bah
Bolak, sang Raja melakukan berbagai tindakan-tindakan salah dan saya tidak
ragu-ragu mengatakan sandainya diadakan penyelidikan lebih teliti bakal
banyak lagi kesalahan-kesalahan dalam pemerintahan Raja ini dan konconya
Bah Bolak asal saja orang di Siantar yakin bahwa Raja ini telah diturunkan
dari tahtanya dan bahwa dia beserta Bah Bolak sudah dienyahkan dari Sian-
tar. Untuk mempermudah Kontelir mengadakan penyelidikan setempat, saya
telah meminta Sang Nahualu dan Bah Bolak agar datang ke Medang
sesampainya di sana mereka buat sementara lalu ditahan).
Yang menjadi pertanyaan kini ialah, apakah seorang Residen mempunyai
wewenang buat menahan seorang Raja pribumi| dan menurunkannya dari
tahtanya? Apalagi jika hal tsb. dilakukan hanya dengan alasan tuduhan-tu-
duhan yang belum konkrit pembuktiannya? Di dalam model Korte Verklaring
(Pernyataan Pendek) yang ditandatangani Sang Nahualu! dalam tahun 1880
instansi yang tertinggi yang dapat menjatuhkannya ialah Gubernur Jendral di
Betawi setelah mendapat advies dari Raad van Indie?!
Tidaklah heran pula sehingga segera setelah itu Residen Sumatera Timur,
Schaap, lalu dicopot dari kedudukannya. Residen Sumatera Timur yang baru
jadi penggantinya lalu tidak tahu apa yang harus diperbuat. Kalau Sang
Nahualu dikembalikan ke Siantar seluruh korps ambtenaar Belanda akan
dapat malu besar. Raad van Indie lalu memberikan pertimbangannya kepada
Gubernur Jenderal' dari hasil rapatnya tertanggal 6 April 1906*'2' sebagai
berikut:

(11) Surat ttg. 25 8 1905 no. 3775/4.


(12) No. 2478/05/3775/4.

5
"Wanneer de nieuw opgetreden Resident der Oosthust van Sumatra Ins-
temtmet het voorstal door zijn ambte-voorgangerten opzichte van den
Radja van Siantar Gedaan warnaar telegraphisch ware te
iniormoeren zoo kome het ook den Raad van Nederkandsch Indie
wenschelijk voor darmaan gevolg te geven. Hel bevenstaande
voorbehoud wordt gemaakt, omdat het zou kunnen zijn dat om politieke
redenen het tegenwoor dig hoofd van gewestelijk bestuur's radja'
afzetting voorshands niet raadzaam achtte en in vorband daarmee later
met een voorstel kwam strekkende tot zijn herstal. Wordt de Radja
afezet. dan komt eene voorlopige voorziening in het bestuur, als in de
bijgevoegde nota der algemeene Secretaris aanbevolen, varkieselijk voor
boven opvolging van het desbetrffende voorstel van den Residen Schaap.
An het voorstel van dien Resident om sang Nahoealoe en Bah Bolak te
Medan te Interneeren tot tijd en wijde dat betere toestanden in het
Landscha Siantar zijn ingetreden, zou alleen gevolg kunnen worden
gegeven door toepassing op hen van artikel 47 van het R.R. Dan Resident
der Oosthust van Sumatra daarom te vragen of z.i. voor dit laatste
voldoende termen bestaan en hem made te deelen dat in het bevestigend
geval een daartoe strekkend gemotiveerd voorstel van hemwordt
tegemoet ge gezien. Het voorestaande moge strekken als de van den Raad
gevraagde consideratien en advies.

De Raad van Nedrlandsch-Indie


O. van der wijck
(Vice-President)
Van wege den Raad:
De Secretaris,
W. Brouwer.
(artinya: Jika seandainya Residen Sumatera Timur yang baru diangkat
setuju dengan usul rekannya terdahulu mengenai apa yang akan diper-
buat terhadap Raja Siantar seperti apa yang telah dijelaskan secara
telegrafis sebelumnya maka begitu juga Raad van Indie sejalan dengan
pendapat tsb. Hal tsb. di atas akan dilaksanakan seandainya karena
sesuatu alasan politik dijatuhkannya sang raja oleh pemerintah wilayah
setempat itu tidaklah dipandang tepat dan di mana hubungan dengan itu
akan datanglah suatu usulnya buat merehabilitir sang raja tersebut.
Seandainya raja itu dijatuhkan, harus ada persiapan untuk pemrintahan
sementara, sebagaimana yang diusulkan dalam nota Sekretaris Negara
terlampir, yang dianggap lebih baik daripada apa yang telah diusulkan
Residen Schaap dulu. Mengenai usul Residen tsb. agar Sang Mahualu dan
Bah Bolak ditahan di Medan sampai suasana akan lebih baik kelak di
Kerajaan Siantar, hanya akan mungkin juga pasal 47 dari R.R.
dikenakan terhadap mereka. Oleh sebab itu diharapkan agar Residen
Sumatera Timur memberikan pendapatnya mengenai yang terakhir ini
apa sudah cukup syarat-syarat untuk itu secara meyakinkan berdasarkan
usul yang mempunyai motivasi. Yang tersebut di atas adalah kansiderasi
dan nasiht yang diharapkan dari Raad.).
Memang Gubernur Jendral berdasarkan pasal itu bisa saja menahan dan
menghukum buang seseorang bumiputera, tetapi haruslah terlebih dahulu
melalui suatu proses verbaal yang meyakinkan. Tetapi bagaimanapun
akhirnya dengan Besluit Gubernur Jendral tanggal 24 April 1906 no. 1

6
(kemudian diperkuat lagi dengan Besluit tanggal 22 Januari 1908 no. 57) maka
Raja Sang Nahualu dinyatakan dimaksudkan dari tahta kerajaan Siantar
karena alasan "wederrechtelijke handelingen" (tingkah laku yang melawan
hukum). Pada pasal 2 dari Besluit 1906 itu disebutkan bahwa pemerintahan
dalam Kerajaan Siantar terserah kepada Residen Sum. Timur, Maka berda-
sarkan besluit Residen Sumatera Timur pula tertanggal 20 Juli 1907 no. 254
diangkatlah suatu Dewan Kerajaan di mana Ketuanya adalah Kontelir
Belanda di Simelungun dan anggota-anggotanya Tuhan Sidepmanik dan
Tuhan Marihat. Untuk memberikan pula semacam "dasar hukum" maka
disodorkanlah kepada kedua orang Besar Kerajaan Siantar ini, yaitu Tuhan
Marihat Si Tori Alam dan TuhanSidepmanik Si Riahata, supaya menandata-
ngani Pernyataan Pendek (Krote Verkloring) yang baru selaku anggota
"Commissie van Bestuur". Pernyataan Pendek itu mereka tandatangani pada
tanggal 16 Oktober 1907. Tetapi mereka bukan Raja dari kerajaan Siantar,
bisakah mereka "menyerahkan" kerajaan pada orang lain? Di dalam Per-
nyataan Pendek itu mereka mewakili Kerajaan Siantar dalam kedudukan se-
bagai "Leden van de commissie van bestuur van het landschap Siantar" (ang-
gota Komisi dari pemerintahan kerajaan Siantar) sedangkan yang me-
nandatangani atas nama Pemerintah Hindia Belanda ialah Kontelir Simelung-
un, I.L.O'Biten, yang nota bene "Ketua" dari komisi tsb. di atas?! Oleh
sebab itulah untuk memperkuat lagi dasar hukum ke-2 orang tersebut di atas
oleh kontelir O'Brien lalu dikumpulkan Kepala Rakyat dalam wilayah kera-
jaan Siantar yang dipaksa untuk menandatangani pernyataan bahwa mereka
menyetujui Pernyataan Pendek yang ditandatangani oleh Tuhan Si Tori Alam
dan Tuhan Si Riahata itu. Mereka-mereka itu adalah:
Si Sauadim, Tuan Bandar
Si Bajandim, Tuan Bandar Pulau
Perbapaan Bandar
Si Kani, Tuan Bandar Rayu
Si Jamin, Pemangku Tuan Negeri Bandar
Si Mia, Tuan Simalangu *>
Si Koma, Rumah Soak I
Si Bisara, Nagodang \ dari Negeri Pematang Bandar.
Si Jommaihat, Tuan Kakaha J
Si Jarainta, Tuan Buntu
Si Jandiurung, Tuan Dolok Siantar
Si Silim, Tuan Bandar Sakuda ->.
Perbapaan Bandar Si Jontahali (Tuan Mariah Bandar Perbapaan
Si Rimmahala, Tuan Naga Bandar [Bandar
Si Kadin, Tuan Bandar Tonga *
Si Tangna. Bah Bolak Pematang_Siantar
Si Moman, Tuan Lingga
Si Jaha, Tuan Bangun
Si Jibang, Tuan Dolok Malela ^Perbapaan Siantar Parapat
Si Jandi Ain, Tuan Silo Bayu
Si Lampat, Tuan Jorlang Hulua
Si Arim, Tuan Maligas Bandar
Si Janoli, Tuan Sakuda
Si Rajawan, Tuan Gunung Maligas
Si Jaulak, Tuan Tambun
Si Tahan Batu, Tuan Sipolha
Si Ganjang, Tuan Repa
Si Riakadi. Tuan Manik Sipolha
Si Unjunghata, Tuan Pagar Batu
Si Jaingat, Tuan Lampuyang
Si Jaurung, Tuan Gayung
Si Mahata, Tuang Anggi Sidopmanik
Si Bandar, Tuan Manik Kataran
Si Tankkang, Tuang Tambun Rea Perbapaan Sidepmanik
Si Rian, Tuan Manik Maraja
Si Marihat, Tuan Parbalogan
Si Pinggan, Tuan Huta Bayu
Si Jungmahita, Tuan Mangguntur.
Ditambahkan lagi bahwa Tuhan Sidepmanik dan Tuhan Marihat ditetap-
kan selaku Mangkubumi dari putera Sang Mahualu, Tuban Kadin, yang
masih di bawah umur. Raad van Indie menyetujui^3) laporan proses verbaal
dari Kanselir O'Brien itu dan menyarankan agar isi copy pernyataan Pendek
itu dikirimkan kepada Staten General (Parlemen Belanda) dan juga kepada
Pemerintah Inggris (yang mempunyai jajahan di Malaya dan Borneo Utara)
untuk sekedar diketahuinya tidak adanya di sini unsur "Paksaan" konon dari
Pemerintah Hindia Belanda pada kerajaan-kerajaan di Sum. Timur, di mana
sering-sering dituduhkan oleh Inggris, situasi mana bisa berakibat pengha-
langan modal asing ke mari. Tetapi meskipun ke semua mereka-mereka itu
telah terpaksa menandatangani Pernyataan Pendek tadi tetapi dari isi laporan
Residen Sumatra Timur, Paauw, kepada Gubernur Jendral di Betawi<14>
Jelaslah diketahui bahwa hampir-hampir tidak ada satupun di antara orang-
orang Besar Kerajaan Siantar itu yang tidak bersimpati kepada Sang Nahualu.
Mereka-mereka itu jelas tidak dipercayai Belanda.
. . . . met uitzondering van Tuhan Marihat, die onbeduidend is doch dien
menten minste vertrouwen kan, komt geen der Landsgrooten en voor in
aanmerking. Het rijs of medeplichtigen van den verbannen Radja Sang
Naoealoe en even groote schurken als hij, of felle Mohamedanen. Et zat
dus voorlopig niet anders of dan den Controlleur te lasten bersturen, met
Tuhan Marihat naast zich die gedurende de minderjarig heid van den
opvolger in het bestuur als Regent (Pemangkoe) wodt beschouwd.
Intusschen wordt uitgezien naar personnen die leden van ruik een
commisie zouden kunnen worden; rijzij echter nog niet gevonden. Tuan
Nagori Poerba komt als vreemdeling niet in aanmerking; hoogstens zou
hij als mentor van Tuan Marihat een positie hebben kunnen krijgen. Nu
zijn broeder Tuan Poerba onder verdenking staat van vi jandelijkheden
tegen ons in den zin te hebben, zag ik er achter van af Tuan Nagori
Poerba in den Siantarsche zaken te Halen."
(artinya: . kecuali Tuan Marihat yang dianggap tak berarti tetapi setidak-
tidaknya masih bisa dipercayai, tidak ada satupun Orang-orang Besar
yang lainnya dapat ajukan. Mereka itu atau terlihat dengan Raja Sang
Nahualu yang dibuang itu dan sama bangsanya dengan dia atau mereka
itu merupakan orang-orang Islam yang keras. Jadi tidak ada sementara
ini jalan lain daripada meletakkan Kontelir selaku Kepala pemerintahan
dengan Tuan Marihat di sampingnya yang diangkat menjadi Mangkubu-
mi selagi putera mahkota masih di bawah umur. Sementara itu sulit men-
cari orang yang akan didudukkan sebagai anggota Dewan komisi. Tuan

(13) Putusan tanggal 10 I 1906 No. XVII.


< I 4 ) M - I - 1907 No. 7 / 4 .

8
Negeri Purba sebagai orang luar paling-paling dia cuma bisa didudukkan
sebagai mentor Tuan Marihat. Karena saudaranya, Tuan Purba, ada
indikasi bermusuhan dengan Belanda, lebih baiklah Tuan Nagori Purba
tidak saya bawa serta dalam urusan Siantar ini).
Tuhan Raja Sang Nahualu (beserta Bah Bollak dan pengikutnya telah di-
buang oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Bengkalis (1906). Puteranya yang
tertua yang masih di bawah umur, RIAH TUHAN KADIM, oleh pemerintah
Hindia Belanda dititipkan di bawah pemeliharaan Pendeta Zending,
Guillaume, di negeri Purba dengan tujuan:
"... hetgeen geschiedde om hem aan Mohammedaansche invloeden te
ontrekken" (artinya itu dilaksanakan untuk menjauhkannya daripada
pengaruh-pengaruh Islam)05)
Dengan beradanya Kontelir Belanda secara langsung sebagai kepala
pemerintahan (Ketua Dewan Pemerintahan) kerajaan Siantar, segeralah
melapangkan jalan untuk memasukkan modal perkebunan asing secara besar-
besaran. Di dalam tahun 1908 perkebunan yang pertama, Siantar Estate telah
dibuka di sekitar kota Siantar sekarang. Dalam tahun 1912 ibukota kabupaten
Simalungun dipindahkan dari Seribu Dolok ke Pematang Siantar. Putera
Raja Sang Nahualu, WALDEMAR TUHAN NAGA HUTA (dahulunya
bernama Diah Tuhan Kadim) telah diangkat Belanda menjadi Raja Siantar
dengan menandatangani Pernyataan Pendek tgl. 18 Mei 1916. Dia adalah
merupakan Raja Kristen yang pertama di wilayah Simelungun dan Tanah
Karo.*16' Tetapi Tuan Waldemar Tuahn Naga Huta ini sebenarnya bukan
putera yang lahir dari Permaisuri (Puang Bolon, puteri dari Silampuyang)
tetapi dari isteri biasa. Putera dari Permaisuri yang menurut adat Simelungun
lebih berhak menaiki tahta kerajaan, yaitu Sarma Hata, baru lahir tahun
1911, ketika Sang Nahualu sudah berada dalam pembuangan di Bengkalis. Se-
waktu ada beberapa ahli pamili berkunjung ke Bengkalis, Tuhan Raja Sang
Nahualu ada menitipkan pesan tertulis di dalam aksara Batak Simelungun
yang kira-kira berbunyi:*17) "Pimpinan Rakyat di daerah bersatulah selama
hidup saya di dalam pembuangan". Dalam tahun 1914 Sang Nahualu
mangkat di dalam pembuangan di Bengkalis dan makamnya lebih dikenal
penduduk di sana dengan nama "Makam Raja Batak Beragama Islam".

(15) Tideman, Simoloengoen ...", p. 44.


(16) Lihat "Memorie v. Overgave" Gubernur Sumatera Timur S. van der Plass, tgl. 2 7 _ 1917.
p. 192.
(17). Tulisan beserta fotonya di tahun 1913, M.D. Purba "Mengenal Sang Nauluh Damanik sebagai
Pejuang", hal. 31

9
SEKOLAH KARTINI
SUATU USAHA UNTUK MENYEBARKAN DAN
MENINGKATKAN KECERDASAN WANITA PADA PERMULAAN
ABAD KE XX
Oleh: Soekesi Soemoatmaja

I
"Saya tahu, jalan yang hendak saya tempuh itu sukar, penuh duri, penuh
anak, penuh lobang, jelas itu berbatu, tidak rata, licin tidak mudah
dilalui. Demikianlah kutipan dari surat kartini tanggal 7 Oktober 1900 kepada
Nyonya RM Abendepon Mandri, tentang gagasannya untuk meningkatkan
kaumnya dan yang masih banyak menghadapi banyak rintangan. Kutipan
tersebut sengaja dicantumkan di sini karena ada hubungannya dengan usaha
mendirikan sekolah wanita yang kemudian dinamakan Sekolah Kartini.1
Berbicara tentang sekolah Kartini, kita selalu diingatkan kepada seorang
tokoh wanita yang bernama RA Kartini, salah seorang puteri dari Raden Mas
Adipati Ario Sosroningrat Bupati Jepara (1880 1905). Mengetengahkan
tokoh ini bukanlah tidak beralasan. Pada zamannya tidak hanya Kartini dan
saudaranya saja yang telah mengenyam pendidikan sekolah sebagai ke I
kemajuan", tetap Kartini adalah wanita yang telah memberi bukti nyata
bahwa ide-idenya terutama kemajuan memang ada. Bukti tersebut tertera
dalam surat-suratnya yang banyak dikirim kepada kenalannya tokoh-tokoh
beraliran maju yang hampir semuanya adalah bangsa Belanda. Kartini yang
dilahirkan pada akhir abad XIX (21 April 1878) kemudian diakui sebagai
tokoh kemajuan wanita Indonesia2, sebenarnya tidaklah mengherankan
apabila kita mengetahui latar belakang pendidikan yang berlaku di
lingkungan keluarganya.
Pendidikan sekolah di tanah Jawa dimulai dari golongan bangsawan dan
priyayi.3 Pada tahun-tahun permulaan 1870an beberapa priyayi telah men-
didik putera-puteranya dengan pendidikan secara barat (Belanda). Di daerah
Priangan beberapa bangsawan Sunda telah memasukkan putera-puteranya di
Sekolah Rendah Eropa (ELS) Partikelir di Garut. Sementara itu ada beberapa
pegawai tinggi pribumi yang mendatangkan guru-guru untuk mendidik
putera-puteranya untuk tinggal bersama (menumpang) di keluarga Belanda.
Bupati Ciamis, Koesoeno Adiningrat (1839 1886) mendidik putera-putera-
nya bersama-sama dengan sekelompok putera-putera priyayi lainnya di
kabupaten (rumah tempat tinggal Bupati) di bawah asuhan seorang para pri-
vat bangsa Belanda. Beberapa tahun kemudian sistim guru privat ini terdapat
1. Di dalam tulisan ini akan diungkapkan usaha-usaha yang bertujuan mendirikan sekolah khusus
bagi wanita, yang kemudian disebut Sekolah Kartini. Bahan-bahan yang digunakan ke-
banyakan terdiri dari beberapa koleksi yang terdapat di KITI.V Leiden, ARA den Maag, RA
van Binnenlaad Bestuur den Haag, den beberapa literatur yang bersangkutan. Pendekatan
prosesual dipilih guna menampilkan fakta-fakta serta perkembangannya pada periode tertentu.
Menampilkan banyak tokoh-tokoh Belanda baik pria maupun wanita di dalam hal ini hanya
untuk menunjukkan bahwa mereka ikut secara aktif dalam usaha mendirikan Sekolah Kartini
2. Berdasarkan penuturan Presiden Republik Indonesia no. 217 Tahun 1957 dan Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 241 tahun 1958 maka Raden Ajeng Kartini ditetapkan sebagai
Pahban Kemerdekaan Nasional dengan surat Keputusan Presiden Republik Indonesia no dan jatuh ke tangan
penguasa Belanda pada tahun 1748.
3 Priyayi is aristocrat or official, member of the governing elite of lava; characteristics of that
class. Sutherland, H., (1878), p. xiv.

10
juga di kabupaten-kabupaten Cirebon, Majalengka dan Yuwana4. Putera-pu-
tera bangsawan ada juga yang dikirim ke negeri Belanda, misalnya pangeran-
pangeran dari keluarga Paku Alam Yogyakarta. Di antara keluarga-keluarga
bangsawan dan priyayi tersebut ada yang terkenal yaitu Pangeran Ario
Tjondonegoro IV bupati Demak. Bupati ini sejak tahun 1864 telah mendidik
putera-puteranya secara: modern yaitu dengan mendatangkan guru privat ke
kabupaten. Selain putera-puteranya sendiri terdapat juga beberapa orang
pangeran dari keraton Solo dan seorang bupati di Jawa Tengah bersama-sama
dididik di kabupaten Demak. Gurunya bernama CE van Kesteren.
CE van Kesteren adalah seorang Belanda dan telah memiliki ijazah MO
dari negeri Belanda. Riwayat singkat CE van Kesteren yang ditulis oleh Ir.
R.A. van Sandick di dalam De Insenieur 7 Juli 1917 mengatakan bahwa CE
van Kesteren pernah menjabat hoofdredacteur surat kabar De Locmotief di
Semarang Surat kabar ini terkenal di tanah jajahan sering memuat suara-suara
progresif dari kalangan orang-orang partikulir dan orang-orang pemerintahan
beraliran maju. Salah satu artikelnya tanggal 15 Maret 1864 memuat berita
tentang CE van Kesteren yang pada waktu itu dikatakan bahwa dia menjadi
guru privat putera bupati Demak. Berita ini dilanjutkan pada artikelnya
tanggal 25 Maret 1864. Masih tentang diri CV van Kestere maka DR. H.
Barman di dalam Meer Licht over Kartini menulis bahwa pada umur 24 tahun
CE van Kesteren telah memiliki tiga ijazah keahlian mengajar, dan dikatakan
bahwa dia meninggalkan Negeri Belanda pada tahun 1861. Pada bulan No-
vember 1863 CE van Kesteren memajukan permohonan kepada pemerintah
jajahan (Nederlands Indie) untuk mendirikan sebuah Institut atau
Gymnasium untuk mendidik putera-putera raja-raja dan pembesar lainnya5
Dari beberapa data tersebut di atas dapat diperkirakan bahwa CE van
Kesteren termasuk orang Belanda yang berpandangan maju. Dia mempunyai
kemauan yang besar dalam ikut memajukan rakyat, hal ini apabila dihubung-
kan dengan kedatangannya di Jawa bertepatan dengan diumumkannya
rencana Pemerintah Hindia Belanda untuk mengembangkan pendidikan seko-
lah bagi rakyatnya6. Hal ini ditambah lagi dengan usahanya menerbitkan
suatu majalah De Indische Gids tahun 1878.
Dengan demikian ternyata pemilihan guru yang dilakukan oleh Pangeran
Tjondronegoro IV bagi putera-puteranya tepat sekali guna menunjang cita-
citanya, yaitu menjadikan putera-puteranya orang-orang yang terdidik dan
berpandangan maju. Karenanya tidak mengherankan apabila pada diri anak-
anak didik itu tertanam jiwa kemajuan. Salah seorang anak didik yang sangat
menonjol di antaranya ialah Pangeran Ario Hadiningrat, yang terkenal se-
bagai bangsawan terdidik pada akhir abad XIX yang dapat disejajarkan
denganbangsaEropa yang terdidik pada saat itu. Pangeran ini terkenal kecer-

4 Keterangan Pangeran Ario Tjandronegoro IV ditulis di dalam sebuah pakem yang terkenal
disebut Pakem Tjitrosoman dan Tjondronegaran memuat sejarah keluarga keturunan Pati dan
Yuwana.
5 Yang disebut "putera-putera raja-raja" di sini lebih tepat disebut "putera-putera
bupati-bupati", raja-raja yang masih mempunyai kedaulatan pada abad XIX adalah raja-raja
Surakarta dan Yogyakarta. Sedang di daerah dengan daerah lain telah masuk ke dalam pengaruh
pemerintahan Belanda melalui bupatinya. Bupati berstatus sebagai pegawai pemerintah Belanda.
Daerah pantai utara Jawa lepas dari kekuasaan Mataram dan jatuh ke tangan penguasa Belanda
pada tahun 1748.
6 Penyempurnaan pendidikan di Gymnasium terjadi pada tahun 1861. T.N.I. 1868, 3e serie, 2de
jaargan a. Iste deel, 271 275

11
dasannya dan mampu mengamati dan memberi analisa masyarakat sekeliling-
nya secara kritis. Sehingga salah seorang anggota Tweede Kamer, H.J. Hooi
dari negeri Belanda, mengadakan korespondensi dengannya untuk menda-
patkan saran-saran guna diajukan ke sidang rapat Tweede Kamer tanggal 21
November 1893 dalam acara membicarakan tindakan-tindakan pemerintah
untuk mengadakan perbaikan masyarakat di Jawa7. Di dalam surat-suratnya
itu Pangeran Ario Hadiningrat menuturkan tentang wibawa para bupati di Ja-
wa yang makin merosot, demikian tentang kesejahteraan rakyat yang semakin
jelas. Bupati Demak ini juga memberi pandangan-pandangan tentang cara-
cara mengadakan perbaikan nasib rakyat dan perbaikan sistim pendidikan
pada masa itu. Sistim megang yang dikenakan kepada pegawai pribumi dirasa
tidak sesuai lagi untuk diterapkan kepada calon pegawai pribumi yang telah
terdidik. Sampai saat itu berlaku suatu aturan bahwa bagi bangsa pribumi
yang melamar jadi pegawai pemerintah harus lebih dulu menduduki tingkat
masang yaitu suatu jabatan tidak resmi yang diberikan kepada si calon dengan
tujuan mendidik dan melatih mengerjakan tugas-tugas sebelum menduduki
jabatannya secara resmi. Dalam kenyataannya pelaksanaan perbaikan-per-
baikan nasib rakyat tidak sesuai dengan yang diinginkan, karena adanya
diskriminasi antara golongan kulit putih dan pribumi. Golongan kulit putih
mempunyai hak-hak istimewa dalam segala bidang, sebaliknya golongan
pribumi harus mentaati segala peraturan yang diberikan. Hal ini berlaku juga
dalam penerimaan murid sekolah. Murid yang dapat diterima di sekolah
Rendah Eropa adalah terutama anak-anak Belanda dan keturunan Belanda,
selain itu anak kaum bangsawan dan priyayi. Sejalan dengan perjalanan
waktu maka pendidikan sekolah semakin seluas di kalangan anak-anak
golongan atas tersebut. Para bupati dan pegawai tinggi pribumi yang ter-
golongan maju mulai berani mengirimkan puteri-puterinya masuk sekolah
Rendah Eropa yang pada masa itu masih belum lazim. Bupati dari golongan
maju antara lain ialah Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat bupati Jepara,
kakak Pangeran Ario Hadiningrat bupati Demak.
RAden Mas Adipati Ario Sosroningrat mempunyai sebelas putera dan
puteri. Tiga orang puteri dari semua padmi ialah Raden Ajeng Sulastri
(9Januari 1877),Raden AjengRoekmini(4 Juli 1880)dan Raden Ajeng Kartinah
(3 Juni 1883). Sedang dari gerampil lahir lima orang putera danitiga orang
puteri; puteri-puteri tersebut ialah Raden Ajeng Kartini (21 April 1879);
Raden Ajeng Kardinah (1881); dan Raden Ajeng Sumatri (11 Maret 1888).
Keenam puteri tersebut disekolahkan di sekolah Rendah Eropa (ELS) di Jepa-
ra yang merupakan satu-satunya sekolah Belanda di kota itu. Raden Mas Adi-
pati Ario Sostroningrat adalah seorang bupati yang masih memegang teguh
adat Jawa, yang pada masa itu sangat dijunjung tinggi. Maka terhadap puteri-
puterinya pada umur dua belas tahun harus mengakhiri sekolahnya, kemu-
dian harus tinggal di rumah kabupaten sampai saatnya datang lamaran dari
calon suami.
Kartini tidak dapat meneruskan sekolahnya dan harus tinggal di rumah
sampai kurang lebih dua belas tahun. Kehidupan dalam pingitan dirasa sangat
menjemukan, sehingga dia menyibukkan dirinya dengan berbagai pekerjaan
rumah tangga, membaca buku, majalah-majalah yang berisi berita-berita

7. Saran-saran tersebut telah ditulis pada tahun 1893, tetapi baru pada tahun 1899 tulisan tersebut
dipublikasikan lewat Tijdschrift voor hel Binnenlandse/). Bestuur dengan judul "De
Achteruitrang van het prestige der Inlandsche Hooden en de Middelen om daarin Verbeteringte
Brengen", TBB, 17de deel, nos. ! 6. 1899, pp. 367 385

12
kemajuan8, atau menulis surat kepada sahabat kepalanya. Segala apa yang
dialami dia dengar dan dia baca dari buku-buku bacaannya menempa dan
mendewasakan jiwanya. Semakin banyak pergolakan di dalam bathinnya se-
makin mengalir gagasannya yang tertuang di dalam surat-suratnya yang
ditujukan kepada sahabat kenalannya tokoh-tokoh bangsa Belanda yang
berpandangan maju. Inilah yang membedakan Kartini dengan puteri-puteri
pelajar sejamannya.
II
Surat-surat yang diterbitkan oleh J.H. Abendanon adalah surat-surat
Kartini yang ditulis sejak tahun 1899 1904 kepada sahabat kenalannya
bangsa Belanda. Tidak semua surat-surat Kartini diterbitkan oleh J.H.
Abendanon dan tidak memberi alasannya. Sementara dugaan mengatakan
bahwa surat-surat tersebut tidak secara lengkap diterbitkan karena diduga ada
maksud-maksud tertentu9, yaitu untuk ditujukan kepada orang-orang
Belanda di negeri Belanda. Isi surat-surat tersebut meliputi tata cara
kehidupan keluarga bupati di kabupaten Jepara sikap saudara-saudara Kar-
tini terhadapnya, keinginannya untuk meneruskan pendidikan seperti teman-
temannya bangsa Eropa, adat istiadat di kabupaten yang telah tidak cocok
lagi dengan jamannya, keadaan masyarakat sekeliling dan himbauan kepada
yang berwajib untuk mengangkat bangsa Jawa. Surat-surat tersebut baru
berarti setelah oleh J.H. Abendanon diterbitkan menjadi satu kumpulan
dengan judul Door Duisternis tot Licht. Betapa besar pengaruh ide Kartini ini
dapat dilihat dari seberapa jauh dan luasnya penyebaran buku kumpulan
surat-surat Kartini itu.
Pertama-tama buku itu dicetak oleh N.V. Electrische Drukkerij "Luctor
et Emergo" di 's-Gravenhage pada tahun 1911. Cetakan kedua dan ketiga
terbit pada tahun 1912, sedang cetakan yang keempat dan merupakan cetak-
an terakhir dari penerbit yang sama diterbitkan tahun 1923. Di bawah penga-
wasan Comissie voor Volkbestuur buku kumpulan surat-surat tersebut diter-
jemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh baginda Abdolelah Dahlan, seorang
asisten bahasa Melayu di Universitas Leiden dengan dibantu oleh tiga tenaga
ahli lainnya. Terjemahan ini diberi judul Hobis Gelap Terbitlah Terang.
Kemudian di bawah pengawasan komisi yang membuka tersebut diterjemah-
kan ke bahasa Sunda. Terjemahan ke dalam bahasa Inggris terbit di Amerika
oleh A.L. Symmers. Mula-mula berupa artikel dalam Atlantic Montly (New
York, 1919/29), kemudian diterbitkan tersendiri dengan judul Letters of a
Javanese Princess, kata pengantar dari Louis Couperus, terbit pada tahun
192010. Dari copyright tahun 1920 ini oleh Agnes Louis Symmers dicetak
ulang pada tahun 1948 dengan mengalami perubahan. Kemudian diterbitkan
kembali untuk pertama kali oleh the Norton Library New York pada tahun
1964 di bawah editor Hildred Geertz dengan kata pengantar dari Eleanor
8. Bacaan Kartini hampir seluruhnya berbahasa Belanda yang dikirim oleh kakaknya yang belajar
di HBS Semarang dan kemudian menyelesaikan studinya di Rijksuniversiteit Leiden yaitu
Raden Mas Kartono yang kemudian dikenal sebagai Drs. RMP Sosrokartono atau nDoro
Sosro. Di samping itu ayahnya juga menyediakan leestrommel untuk Kartini dan adik-adiknya
9 Para peneliti berikutnya, Rob Niewenhuys dan H. Bouman telah menemukan surat-surat Kar-
tini yang lain. Prof. E. Allard pada tahun 1976 telah menerbitkan kembali kumpulan surat-surat
tersebut dari editor J.H. Abendanon dengan dilengkapi surat-surat Kartini yang belum pernah
diterbitkan sebelumnya.
10. Jubileum- Verslag, uitgegeven ter gelegenhoid van het 25-jarig bestaan der Vereeniging-Kartini-
fonds te 's-Gravenhage, 27 Juni 1913 1938,p 39.

13
Roosevelt, isteri presiden Amerika. Pada tahun 1976 terjemahan Agnes Louis
Summers dengan kata pengantar Louis Couperus diterbitkan lagi dengan
introduksi Prof. Sartono Kartodirdjo pada penerbit Oxford University Press
Kuala Lumpur. Sedang edisi yang berbahasa Belanda telah mengalami cetak
ulang yang kelima pada tahun 1976 oleh Penerbit Ge Nabrink & ZN.,
Amsterdam dengan diadakan peninjauan kembali dan dilengkapi dengan
surat-surat Kartini yang belum pernah diterbitkan, di bawah pimpinan Prof.
Elizabeth Allard. Di fihak lain di Indonesia sejak tahun 1938 sampai tahun
1978 Penerbit Balai Pustaka telah menerbitkan terjemahan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Armijn Pane dari edisi bahasa Belanda dengan judul Habis
Gelap Terbitlah Terang. Sampai tahun 1978 buku-ini telah mengalami cetakan
yang kedelapan. Terbitan ini tidak memuat surat-surat. Kartini selengkapnya
dengan maksud supaya buku tersebut tidak terlalu mahal untuk dibeli masya-
rakat luas sehingga ide atau cita-cita Kartini dapat menyebar luas di kalangan
rakyat banyak11. Pada tahun 1935 di Surabaya pernah dibentuk suatu komite
penterjemah buku Kartini ke dalam bahasa Jawa, atas prakasa Imam Supardi.
Sedang orang yang ditunjuk untuk mengerjakan terjemahan tersebut ialah
Raden Sosrosugondo, bekas guru bahasa Melayu pada Kweekschool di Yo-
gyakarta. Terjemahan ini terbit pada tahun 1938 di Surabaya dengan kata
pengantar Raden Soetomo, pemimpin Budi Utomo, dengan judul mBoekok
Pepeteng. Edisi bahasa Belanda cetakan keempat diterjemahkan secara leng-
kap ke dalam bahasa Indonesia oleh Prof. Sulastin Sutrisno diterbitkan oleh
Penerbit Djambatan di Jakarta tahun 1979. Di samping yang telah tersebut di
atas masih ada terjemahan dalam bahasa Perancis tahun 1960 oleh L.C.
Damais.
Usaha menerbitkan kumpulan surat-surat tersebut ialah mencari pen-
dukung dan sekaligus mencari dana guna membantu mendirikan sekolah-
sekolah wanita di Jawa. Ternytaa usaha tersebut berhasil. Banyak tanggapan
positif datang dari kalangan orang-orang Belanda yang berpandangan maju.
Dari kalangan pendukung tersebut maka pada akhir tahun 1911 dibentuklah
sebuah Komite. Sementara sebagai perwujudan dari usaha tersebut. Baronesse
van Hogendorps' Jacob, sebagai ketua; tuan dan nyonya mr. J.H.
Abendanon; tuan dan nyonya mr. C. Th. van Deventer; nyonya N.
Rosseboom-Pit; nyonya Kessler-de Lange; nona D. Von Schmidt auf
Altenstad; nona J.C.F, de Graeff; nona e van Loon; tuan H.V. Baroh Bon-
tinck, dan tuan D. Hannema12.
Pada tanggal 1 Februari 1912 di gedung Deligentia di s'-Gravenhage
Komite tersebut mengadakan rapatnya yang pertama. Setelah pertemuan itu
masih ada beberapa lagi pertemuan lainnya yang akhirnya melahirkan ke-
putusan bahwa sebelum Komite Sementara melancarkan propaganda ke se-
luruh pelosok tanah air (negeri Belanda) maka sebaiknyalah Komite menetap-
kan garis-garis program kerjanya dengan lebih dahulu mencari bahan-bahan
dengan cara mengumpulkan data yang banyak yang berasal dari tokoh-tokoh
orang Jawa. Berdasarkan keputusan tersebut Komite menunjuk mr. C.Th.
van Deventer yang pada waktu itu juga sebagai anggota de Erste Kamer, pergi
ke Indonesia untuk tugas tersebut. Pada 28 April 1912 mr. C.Th. van
Deventer bersama istri tiba di Batavia. Sesuai dengan jadwal yang mereka
susun maka tanggal 30 April 1912 mereka mengadakan jamuan makan di
istana untuk menghormati Princees Juliana. Tanggal 2 Mei 1912 pergi ke Bo-

11. Di dalam kata Pembimbing, Balai Pustaka, 1978


12. Jubileum-Verslag, op. cit., p. 6.

14
gor sebagai tamu Gubernur Jenderal Idenburg, kepadanya van Deventer
membicarakan maksud kedatangannya serta mengharap bantuannya guna
memperkuat usaha merealisasi rencana tersebut di atas. Kemudian setelah itu
barulah dimulai perjalanan keliling Jawa, untuk melihat dari segala macam
sudut yang berhubungan dengan pengajaran. Pada waktu itu di Indonesia
(Jawa) telah berdiri sekolah-sekolah dokter, hukum, sekolah-sekolah ke-
juruan seperti pertukangan dan pertanian, yang tidak luput pula dari
perhatian van Deventer. Dikunjungi pula sekolah-sekolah desa yang masih
sangat sederhana peralatannya maupun materi yang diberikannya dan tentu
saja sekolah-sekolah wanita seperti sekolah partikelir untuk gadis-gadis di
Bandung dan Garut. Dengan perhatiannya yang besar van Deventer suami
istri pergi ke Karanganyar mengunjungi sekolah wanita yang telah didirikan
oleh Bupati Karanganyar. Guru sekolah ini ialah puteri bupati Karanganyar
bernama Raden Ajeng Soehito13. Kemudian kunjungan diteruskan ke sekolah
Puteri Kristen (Koningen Wilhelmine School) di Yogyakarta, sekolah puteri
Katolik (H.I.S. Puteri) di Mendut (Magelang) dan sekolah Neutral Mardi
Kenyo di Surabaya.
Beberapa bulan kemudian konklusi dari penyelidikan/perjalanan keliling
tersebutdikirim kepada Komite Sementara di den Haag dari Semarang yang
menyatakan bahwa kota Semarang adalah tepat untuk mendirikan sekolah
siang bagi gadis-gadis di Jawa (Hollandsch Javansche Dagschool voor
Inlandsche Meisjes) sesuai dengan cita-cita Kartini14. Pada akhir bulan Agus-
tus datanglah balasan dari den Haag bahwa Komite menyetujui usul tersebut.
Maka pada bulan yang sama van Deventer mengajukan permohonan kepada
Gubernur Jenderal untuk mendapat bantuan/subsidi dari pemerintah dengan
mengemukakan alasan bahwa Indonesia (Jawa) tidak dapat lebih lama lagi
menanti15, dikiaskannya "selagi besi membara maka orang menempanya".
Menurut penglihatan van Deventer situasi di Indonesia (Jawa) pada waktu itu
telah berubah; kesadaran timbul secara meluas di antara penduduknya dan
menuntut diberi pendidikan sekolah secara merata. Satu setengah bulan
kemudian datanglah surat izin dari permohonan van Deventer tersebut.
Semarang memberikan reaksinya yang berupa terbentuknya sebuah Komite
Aksi yang beranggotakan: Residen Semarang A.C.A. G. de Vogel, sebagai
ketua; Raden Ajoe Soematri Sosrohadikoesoemo (adik R.A. Kartini) sebagai
anggota dan mr. A.M. Joekes sebagai sekretaris. Sebuah sub Komisi yang
dipimpin Z. Stokvis, seorang Direktur H.B.S. di Semarang pada waktu itu,
mempelajari rencana sementara dari den Haag. Tokoh-tokoh penting dari

13. Ketika mr. J.H. Abendanon sedang mengumpulkan surat-surat Kartini untuk diterbitkan pada
tahun 1911, mr. C. Th. van Deventer mengadakan pembicaraan dengan mr. J.H. Abendanon
(bekas Directeur van Onderwijs, Eeredienst en Mijverheid th. 1900 1905), mengusulkan
untuk memberi subsidi kepada Sekolah Puteri di Karanganyar yang diasuh oleh Raden Ajeng
Soehito.
14. Alasan memilih kota Semarang karena letak kota Semarang di luar kesibukan politik sebagai-
mana halnya kota Batavia. Di samping itu Semarang adalah pelabuhan besar di pantai utara Ja-
wa Tengah yang cukup banyak terdapat orang yang telah terdidik.
15. Permohonan tersebut tertanggal 22 Agustus 1912. Van Deventer memberikan penjelasan
tentang situasi masyarakat Jawa pada masa itu didorong oleh pengalamannya pada masa lalu se-
waktu masih menjadi anggota Raad van Indie, mengajukan permohonan kepada Pemerintah
Nederlandsch Indie untuk mendirikan Tjandi Stichting yaitu suatu yayasan yang akan memberi
subsidi kepada usaha-usaha mendirikan sekolah bagi anak negeri terutama bagi wanitanya.
Permohonan tersebut sampai akhir masa dinasnya dan kembali ke Nederland th. 1897, belum
pernah diberi. W.A. van Goudoever, Onderde Hoede van een Naam, 1957.

15
masyarakat Indonesia yang aktif ikut andil dalam kegiatan ini ialah Raden
Kamil, seorang inspektur pendidikan, M. Soenarjo, M. Atmodirono, dr.
Radjiman, Raden Mas Koesoemo Otojo, R. Ng. Sosrohadikoesoemo. Ke-
putusan dari persiapan pekerjaan tersebut mempunyai sifat yang karakteristik
yaitu timbulnya kesadaran bahwa kepengurusan harian pada pendirian
sekolah nanti akan dilola oleh orang-orang Indonesia dan bukanlah oleh
orang-orang Belanda.
Pada tanggal 26 Pebruari 1913 di gedung Diligentia den Haag, Komite.
Sementara mengadakan pertemuan dan setelah mendapat persetujuan dari
para anggotanya maka diputuskan sebuah statuta perkumpulan yang berisi
tentang bagaimana pemerintah dana. Dua artikel penting dalam statuta itu
ialah yang netapkan bahwa:
1. Bantuan dari uang dana ditujukan untuk memajukan rakyat Indonesia.
2. Kepada sekolah-sekolah yang didirikan atau dibantu oleh uang dana
akan memberikan pelajaran yang sana kepada murid-muridnya dan
menghormati agama mereka masing-masing.
Di dalam pertemuan itu pula diresmikan berdirinya perkumpulan
Vereeniging Kartinifonds. Perkumpulan ini merupakan badan yang definitif
menggantikan Komite Sementara dan bertugas mencari dana kemudian
menyalurkan berupa subsidi kepada sekolah-sekolah wanita di Indonesia. Se-
bagai pidato pembukaan dalam upacara peresmian itu mr. C. TH. van
Deventer mengucapkan pidatonya dengan judul Onder de Hoede van
Kartini's Naam. Isi pidato tersebut memberi dasar-dasar dan pedoman kerja
perkumpulan tersebut yang untuk selanjutnya digunakan sebagai pegangan.
Di dalam pidato itu antara lain dikatakan:
"Kartini adalah suatu fenomena, yang tampilnya bukanlah penampilan yang
tanpa sebab Dikatakan pula sifat-sifat yang baik pada diri Kartini, betapa
lembut sikapnya tanpa semu, keakrabannya, bakatnya tentang seni, kecerdasan-
nya, yang dikatakan merupakan sifat-sifat yang berbeda dengan apa yang
dipunyai oleh anggota masyarakat Indonesia pada umumnya. Kepada gadis-gadis
Padang (Padangsche Bovenlanden) yang pernah dijumpainya, di katakan betapa
mereka dengan lincahnya menggerakkan jari jemari membuat renda untuk
dirinya sendiri .... Dan tentang gambaran sekolah rendah di Priangan, seorang
mantri guru memperlihatkan hasil tulisan murid-murid, betapa halus dan
indahnya tulisan itu baik tulisan latin maupun tulisan Arab. Mereka terdiri dari
anak-anak laki-laki dan perempuan. Mereka mendapat pelajaran berhitung,
menulis, menggambar dan menyanyi. Pada tingkatan yang lebih tinggi anak-anak
perempuan tidak diperkenankan mengikuti pelajaran lagi. Masyarakat mengkha-
watirkan apabila anak-anak perempuan ikut belajar bersama dengan anak-anak
laki-laki sampai tingkat yang lebih tinggi lagi. Demikianlah nasib rakyat Kartini
... Kepada pemerintah terhadap kebijaksanaan pengajaran, van Deventer
mengatakan: Sedikit menyedihkan ... Pada umumnya sekolah pemerintah untuk
anak negeri juga diperlakukan bagi anak-anak perempuan16 tetapi di samping
itu pendidikan sekolah tersebut keseluruhannya adalah pendidikan
sekolah tersebut keseluruhannya adalah pendidikan untuk anak laki-laki.
Sedang bagi anak-anak perempuan mereka begitu cepat meninggalkan sekolah
itu. Para orang tua berkeberatan apabila anak-anak perempuannya bersekolah
bersama-sama anak-anak laki-laki .. Di sekolah desa di Jawa perbandingan

16. Pemerintah sejak tahun 1893 telah membuka sekolah rendah kelas II (Tweedekals School)
untuk rakyat umum. Lama pendidikannya tiga tahun dengan mata pelajaran menulis,
membaca, menggambar, menyanyi dan berhitung secara sederhana. AOV. 1892 1893

16
murid laki-laki dan perempuan adalah sebagai 20 : 1. Di dalam bulan Mei 1912 di
seluruh Jawa jumlah murid-murid perempuan dari delapan kelas (kelas O sampai
kelas 7) di sekolah-sekolah Eropa (Europes Lagere School) ada 356 orang. Dari
jumlah tersebut tidak lebih dari 14 orang saja yang duduk di kelas teratas. Maka
dari itu sekolah-sekolah perempuan (bukan coeducatie) di Jawa sangatlah
diperlukan."
Setelah secara resmi perkumpulan tersebut berdiri maka mulailah usaha
pengumpulan dana guna dikirim ke Indonesia oleh perkumpulan tersebut. Se-
bagai modal pertamanya ialah uang hasil penjualan buku Door Duistrnis tot
licht17. Untuk memperluas pendukung usaha tersebut maka oleh anggota per-
kumpulan diadakan pula kegiatan propaganda. Propaganda ini diprakarsai
oleh nyonya Hilda de Booy-Bolssevain18, yang hampir selama satu tahun
melakukan pidato propaganda ke seluruh pelosok negeri Belanda. Secara ber-
turut-turut dapat dicatat sebagai berikut19:
20 Juni 1913 berpidato di muka perkumpulan De Vrouw di Amster-
dam.
12 Nov. 1913 berpidato di muka mahasiswa dan para cendekiawan di
Universiteit Leiden dengan kata pengantar yang diberikan
oleh Prof. van Vollenboven.
17 Nov. berpidato di Arnhem dengan kata pengantar oleh Ds.
Boets.
26 Nov. 1913 berpidato di muka Bond van Vrouwen di Amsterdam.
10 Des. 1913 berpidato di Leeuwarden.
13 Des. 1913 berpidato di Roterdam.
9 Jan. 1914 berpidato di Assen.
12 Jan. 1914 berpidato di Amsterdam dengan kata pengantar yang di-
berikan oleh Van Huetsz, bekas Gubernur Jendral.
17 Jan. 1914 berpidato di Amsterdam Egelantier (Bond van H.B.S.
meisjes).
20 Jan. 1914 berpidato di Apeldooren di muka perkumpulan Oost en
West.
5 Feb. 1914 berpidato di den Haag.
18 Feb. 1914 berpidato di Museum di muka Bond van Vrouwen.
19 Feb. 1914 berpidato di muka "Nut van het Algemeen" di Amster-
dam.
21 Maret 1914 berpidato di Hengelo.
26 Maret 1914 berpidato di Middelburg.
29 April 1914 berpidato di Middelburg.
Okt. 1914 berpidato di muka mahasiswa Universiteit Delf.
Pidato penerangan selama hampir satu tahun itu juga dimuat di dalam
surat kabar setempat, misalnya pada tanggal 15 November dan 17 November
1913 Arnhemsche Courant memuat pidato yang diucapkan Mevr. de Booy
tentang usaha mencari dana guna membantu mendirikan sekolah wanita di
Jawa. Reaksi dari pidato di beberapa tempat dan dengan disiarkannya melalui
surat-surat kabar, banyak mengundang simpati masyarakat sehingga banyak-
17. Ternyata uang hasil penjualan ini tidaklah sedikit. Dari ahun 1913 uang masuk dari penjualan
buku edisi bahasa Belanda di negeri Belanda terhitung f. 5.809 75. Sedang uang masuk yang
disumbangkan dari penjualan buku edisi bahasa Inggris di Amerika kepada Vereeniging
Kartinifond selama tahun 1920 sejumlah f. 903.55. Jubeltum Verslag, p. 39.
18. Dia adalah seorang isteri ajudan Gubernur Jendral Rooseboom di Bogor ketika suaminya
berdinas di sana. Persahabatannya dengan Kartini dimulai sejak kedatangan Kartini di Istana
Bogor atas undangan Gubernur Jendral September 1900.
19. Collectie Kartini, no. 7.K.I.T.L.V. Leiden.

17
Iah para penyumbang yang mengirimkan bantuannya kepada Vereeniging
Kartini fonds.
Berdasarkan surat keputusan pemerintah no. 60 tahun 1913 maka
Vereeniging Kartinifonds mendirikan cabangnya di Indonesia yaitu di kota
Semarang dengan nama Kartini Vereeniging. Perkumpulan yang baru ini ber-
tugas menerima dan menyalurkan bantuan yang datang dari Vereeniging Kar-
tini fonds di den Haag, di samping itu juga menertibkan laporan tentang
kegiatan sekolah-sekolah yang telah mendapat bantuan dan yang perlu diusul-
kan untuk diberi bantuan. Perkumpulan ini membuka Sekolah Kartini di
Semarang pada 15 September 1913, dengan jumlah murid 86 orang. Gedung
sekolahnya menempati sebuah rumah sewaan di daerah Jomblang. DUA
tahun kemudian didirikan gedung sekolah permanen milik sendiri di
Karreweg20 (Jin. Kare?) yang dibangun oleh seorang arsitek Ir. M. Maclaine
Post21 dan mulai ditempati pada 11 Januari 1915.
Kesadaran wanita untuk bersekolah semakin meningkat, ini terlihat
dengan semakin banyaknya sekolah-sekolah wanita yang didirikan, Kartini
Verreniging dalam hal ini mempunyai andil yang banyak yaitu dengan
mendirikan sekolah-sekolah Kartini di beberapa kota di Jawa. Biasanya
sekolah Kartini diberi nama sesuai dengan nama kota di mana sekolah ter-
sebut didirikan, misalnya: Vereeniging Eataviasche Kartinischool, dibuka di
Jakarta pada 11 Januari 1914 dengan jumlah murid 60 orang. Madiunsche
Kartinischool dibuka pada 5 Januari 1914 dengan jumlah murid mula-mula 53
orang, jumlah ini meningkat menjadi 120 orang pada 1 September 1916.
Buitenzorgsche Kartinischool dibuka di Bogor pada Februari 1914. Malang-
sche Vereeniging didirikan pada bulan September 1915 dan baru mendirikan
sekolahnya pada bulan Desember tahun itu juga dengan jumlah murid 70
orang. Pada November 1915 di Cirebon didirikan Vereeniging Cheribonsche
Kartinischool, tetapi sekolahnya baru mulai dibuka pada 31 Januari 1916
dengan alasan tidak diterangkan. Akhirnya pada 1 November 1916 dibuka se-
kolah Kartini di Pekalongan.
Di tempat tempat lain ada beberapa sekolah dengan nama sekolah Kartini
tetapi tidak ada hubungannya dengan Vereeniging Kartinifonds. Hal ini
menunjukkan betapa besar minat kaum wanita untuk mendapatkan pendidik-
an dan sekaligus secara sadar ataupun tidak dengan menggunakan nama yang
sama berarti ada kecenderungan menerima ide kemajuan yang dirintis oleh
Kartini penganjurnya.
Sekolah-sekolah Kartini tidak semuanya mendirikan asrama bagi murid-
muridnya kecuali sekolah Kartini Bogor dan Semarang. Asrama ini didirikan
dengan pertimbangan bahwa pelajaran kerumahtanggaan dapat lebih praktis
apabila dalam kehidupan asrama. Di samping itu juga berguna untuk
menampung murid-murid yang berasal dari luar kota.
Bagaimana hubungan antara Vereeniging Kartinifonds dan Sekolah-
sekolah Kartini, dapat dilihat dari sudut pembiayaan sekolah-sekolah terse-
but. Perlu diketahui bahwa sekolah-sekolah Kartini pada permulaan berdiri-
nya tidak mendapat bantuan dari pemerintah tentang keuangannya. Untuk
mendirikan sekolah tersebut biaya dipikul oleh kedua belah pihak, separo oleh
sekolah Kartini itu sendiri dan yang separo lagi mendapat bantuan dari
Vereeniging Kartinifonds. Dari tahun 1913 1937 jumlah sekolah Kartini ada
7 buah meliputi tujuh daerah dengan jumlah ratusan murid. Pada setiap

20. MA. van Goudoever, op. cit. p. 113.


21 Collectie A.M. Jockes.

18
sekolah tersebut Vereeniging Kartinifonds memberikan bantuan/subsidi tiap
tahun rata-rata f. 500, (lima ratus gulden). Beberapa besar subsidi yang di-
berikan oleh Vereeniging itu kepada sekolah-sekolah Kartini dari tahun 1913
1937, ialah sebagai berikut:
1. Kartinischool di Semarang sejak tahun 1913 1937 mendapat subsidi
sebanyak kira-kira f. 50.000, (lima puluh ribu gulden). Dengan jumlah
murid dari 112 orang meningkat menjadi 277 orang pada tahun 1937.
2. Kartinischool di Batavia sejak tahun 1914 1937 mendapat subsidi
sebanyak f. 16.511, (enam belas ribu lima ratus sebelas gulden).
Dengan jumlah murid dari 84 orang menjadi 224 orang pada tahun 1937.
3. Kartinischool di Bogor sejak tahun 1915 1937 mendapat subsidi se-
banyak f. 19.685, (sembilanbelas ribu enam ratus delapan puluh lima
gulden). Dengan jumlah murid dari 50 orang menjadi 185 orang pada
tahun 1937.
4. Kartinischool di Malang sejak tahun 1916 1937 mendapat subsidi
sebanyak f. 13.540, (tiga belas ribu lima ratus empat puluh gulden).
Dengan jumlah murid dari 95 orang menjadi 183 orang.
5. Kartinischool di Madiun sejak tahun 1915 1937 mendapat subsidi
sebanyak f. 14.570, (empat belas ribu lima ratus tujuh puluh gulden).
Dengan jumlah murid sebanyak dari 120 orang menjadi 267 orang pada
tahun 1937.
6. Kartinischool di Pekalongan sejak tahun 1928 1937 mendapat subsidi
sebanyak f. 5.000 (lima ribu gulden). Dengan jumlah murid dari 125
Orang menjadi 152 orang pada tahun 1937.
7. Kartinischool di Cirebon sejak tahun 1928 1937 mendapat subsidi se-
banyak f. 5.000 (lima ribu gulden). Dengan jumlah murid 209 orang
menjadi 213 orang pada tahun 1937.
Sehingga Vereeniging Kartinifonds telah mengeluarkan biaya untuk sub-
sidi sekolah-sekolah Kartini di 7 cabang tersebut sejak berdirinya organisasi
itu di Semarang tahun 1913 sampai tahun 1937 sebanyak sekitar f. 124.000,
(seratus dua puluh empat ribu gulden).
Pada tahun 1924 inisiatif salah seorang anggota pengurus yaitu mr. D.
Baron van Hogendorp membuat percobaan memberi kiriman buku-buku
kepada perpustakaan-perpustakaan sekolah Kartini di cabang-cabang. De-
ngan demikian maka biaya yang dikeluarkan guna keperluan buku-buku ter-
sebut sampai tahun 1937 mencapai f. 900, (sembilan ratus gulden).
Sekolah wanita di luar sekolah Kartini yang juga mendapat bantuan dari
Vereeniging Kartinifonds ialah Pamulangan Istrischool di Bogor, yang dibuka
sejak(15 Juni 1924. Di mr. Cornelis (Jatinegara) Vereeniging Kartinifonds juga
memberi bantuan kepada Kemajuan Istrischool yang dibuka pada 2 April
1928.
Alasan mengapa Vereeniging Kartinifonds juga memberi subsidi kepada
sekolah-sekolah bukan sekolah Kartini, ini disebabkan karena adanya kesa-
daran tentang perlunya pendidikan untuk wanita anak negeri, ditambah lagi
dengan adanya kenyataan bahwa banyak orang-orang tua murid yang tidak
dapat menyekolahkan anaknya (anak gadisnya) ke sekolah Hollandsch
Inlandscheschool berhubung tidak mampu membayar biaya. Di luar itu
banyak juga orang-orang tua yang tidak mengizinkan anak gadisnya
bersekolah di sekolah campuran (coeducatie). Dengan alasan itulah maka
Vereeniging Kartinifonds cabang Bogor memutuskan untuk membuka
sekolah rendah kelas dua khusus untuk wanita. Sekolah-sekolah tersebut ialah
yang telah disebut di atas.

19
Pelajaran yang diberikan di Sekolah Kartini sama dengan yang diberikan
di Hollandsch Inlandscheschool dengan ditambah pelajaran ketrampilan ke
rumahtanggaan seperti menjahit, menyulap, memotong, menyetrika, mema-
sak, pengetahuan kesehatan, berkebun dsb. Bahasa pengantar yang berlaku di
sekolah ialah bahasa Belanda, tetapi pada kelas pertama sampai tiga masih
banyak menggunakan bahasa daerah. Lulusan dari sekolah Kartini banyak
yang meneruskan ke MULO, van Deventerschool di Semarang (1921), Solo
(1925) Malang (1931), atau ke Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzeressen
di Salatiga (1918), Frbel Kweekschool di Bandung, Huishoudenderwijs,
Nijverheidschool, dsb. Biaya sekolah tiap bulan di Kartini school rata-rata f.
2, (dua gulden), maka dari itu kebanyakan dari mereka terdiri dari kaum
menengah.
Kartinischool di Semarang juga menyelenggarakan kursus ketrampilan
rumah tangga yang khusus ditujukan untuk wanita/gadis dari desa22. Kursus
ini berlaku enam bulan dengan tidak memungut bayaran. Guru yang meng-
asuhnya terdiri dari alumni Kartinischool. Para kursis terdiri dari wanita/ga-
dis berumur 12 15 tahun, tiap kursus diikuti sedikitnya 10 orang dan paling
banyak 15 orang. Kursus ini didirikan oleh mevr. Volkers Schippers, bekas
direktris Semarangsche Van Deventer school, pada tahun 1935. Kursus ini
bernama Pagoeran Istri Widoeri; majalahnya sebagai media penerangan juga
bernama Widoeri, sebagai singkatan dari willen, doen, richten. Kursus dilak-
sanakan ada waktu sore bertempat di dapur Kartinischool Semarang. Biaya
guna melaksanakan kursus ini didapat dari subsidi Vereeniging Kartinifonds
yang tiap bulannya menerima f. 65, (enam puluh lima gulden) dan sejak 1
Maret 1938 subsidi diperbesar menjadi f. 90, (sembilan puluh gulden).
Sampai pertengahan Maret 1938 kursus tersebut telah berjalan 30 angkatan.
Sejak mevr. Volkers-Schipper pulang ke negeri Belanda maka pimpinan
kursus diserahkan kepada mej. H.A. Haighton, kepala Kartinischool Se-
marang.
Peningkatan kepandaian wanita semacam ini sebenarnya telah dirintis
oleh R.A. Kartini bersama adik-adiknya di kabupaten Jepara pada tahun
1903, sebagaimana yang dikisahkan oleh salah seorang bek as kursus t sb. yaitu
nyonya Warsini Sahadi.23
Kira-kira pertengahan tahun 1903 atas desakan putera dan puterinya
bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat mengumumkan kepada
segenap pegawai pangreh praja di lingkungan kabupaten Jepara bahwa di
kabupaten akan segera dibuka'tekolah wanita yang akan diasuh langsung oleh
puteri-puteri bupati. Gadis kecil Warsini yang pada waktu sedang mondok di
rumah seorang wanita Belanda yaitu familie Halwijn untuk belajar bahasa
Belanda, didaftarkan oleh ayahnya menjadi murid di kabupaten. Mula-mula
jumlah murid ada 8 orang termasuk Warsini kemudian bertambah menjadi 14
orang. Delapan di antara mereka di asrama di dalam kabupaten termasuk
Warsini. Murid-murid terdiri dari anak pegawai dari juru tulis desa sampai
anak patih. Mereka dididik untuk saling menghormati dantidak memandang
rendah sesamanya. Nama-nama mereka yang masih dapat diingat yaitu
Samini dan Soekesi keduanya puteri Puspowardojo, menteri guru Mayong;
Djaemah puteri asisten Kolektur Jepara; seorang lagi tak diingat namanya,

22. Yang dimaksud wanita/gadis desa ialah dari kalangan Buruh dan petani kecil.
2). Warsini lahir tahun 1897 di kawedanan Wirosari kabupaten Purwodadi Grobogan. Sekitar
tahun 1900 ayahnya pindah di daerah kabupaten Jepara, ditugaskan menjadi Mantri Pengairan
di kecamatan Mayong.
yaitu puteri Jaksa Karimun Jawa dan Warsini puteri asisten Wedana Bayu,
kabupaten Pait24. Ketika sekolah tersebut dibuka, R.A. Kartini baru saja
melangsungkan perkawinannya mengikuti suami; sehingga anak didik itu
diasuh oleh adik-adik R.A. Kartini yaitu R. A. Rukmini, R.A. Kardinah, dan
R.A. Sumatri.
Pelajaran dimulai tiap pagi pukul 8.00 berakhir pukul 12.00. Mata
pelajaran meliputi: membaca dan menulis bahasa Jawa dan Belanda,
berhitung, kerajinan tangan, memasak, menyanyi. Delapan dari empat belas
muridnya tinggal (mondok) di kabupaten tanpa dipungut biaya. Delapan
orang tersebut termasuk Warsini. Mereka ini seusai sekolah masih menda-
patkan pendidikan budi pekerti yaitu dengan jalan mengikuti tata cara kehi-
dupan keluarga kabupaten. Misalnya: cara makan, bertata krama (subasita)
dan sebagainya. Semua biaya sekolah sepenuhnya ditanggung Bupati
Sosroningrat. Setelah sekolah berjalan kira-kira satu tahun mendapat kun-
jungan R.A. Kartini yang kebetulan meninjau ayah beliau sekeluarga, yaitu
pada tahun 1904, beberapa bulan sebelum beliau wafat. Pada kesempatan itu
R. A. Kartini ikut mengajar anak-anak asuhan adik-adiknya. Anak-anak didik
yang telah meningkat kepandaiannya itu terpaksa tidak dapat meneruskan se-
kolahnya sampai akhir karena secara mendadak pada tahun 1905 Bupati
RMAA Sosroningrat wafat sehingga tidak ada lagi yang membiayai ataupun
tempat mereka belajar. Berturut-turut kemalangan menimpa keluarga
kabupaten, wafatnya RA Kartini dan disusul ayahandanya, maka dengan
penuh duka diberitahukan kepada anak didik bahwa sekolah terpaksa ditutup
untuk sementara sambil menunggu bantuan dari pemerintah.
Demikianlah kisah sekolah wanita "Kartini, merupakan prototipe dari
sekolah Kartini kemudian hari, dan gagasan Kartini yang tertuang di dalam
tulisannya merupakan "jembatan emas" bagi wanita Indonesia dalam
mencapai kemajuan.

24. Ayah Warsini berhasil menangkap penjahat (pemalsu uang) di daerah Mayong, atas jasanya itu
dia diangkat menjadi Menteri polisi. Sementara Warsini mengikuti pendidikan di kabupaten,
ayahnya diangkat menjadi Asisten Wedana di Gunung Wungkal, kawedanan Tayu, kabupaten
Pati.

21
BIBLIOGRAFI

Abendarion, J.H.. Door Duisternis tot Ikht: gedachten over en voor Javaansche Volk van Raden
Ajeng Kartini. Vierde druk mt herzien mitgebreid en ingeleid door Elisabeth Allard.
Amsterdam: Ge Nabrink i. Zn.. 1976.
Arien, Phillips, Centuries of Childhood: a social history of family life. Translated from the French
by Robert Baldick. New York: Vintage books, N.d.
Armijn Pane, Habis Gelap Terbitlah Terang. Terjemahan dari edisi bahasa Belanda "Door
Duisternis tot Licht". Cetakan ke VIII. Balai Pustaka, 1978.
Bouman, H., Meer Lieht over Kartini. Amsterdam: H.J. Paris, 1954.
De Stuers, Cora Vreede, The Inaonesian Woman. Struggles and Achievment 's- Gravenhage:
Mouton A Co., 1960.
Djajadiningrat. P.A. Achmad, Kenang-kenangan. Batavia. 1936.
Geertz, Clifford, The Religion of Java, Chicago; n.d.
Kartini, Raden Ajeng. Letters of a Javanese Princess. Oxford University Press, 1976.
_, Letters of a Javanese Princess. With Preface by Eleanor Rosevelt. New York, 1964.
Satu Abad Kartini 1879 1979. Bunga Rampai Karangan mengenai RA. Kartini. Cetakan ke H.
Jakarta; Sinar Harapan, 1979.
Siti Soemandari Soeroto, Kartini.; sebuah biografi. Jakarta: Gunung Agung, 1977.
Sulastin Sutrisno, Surat-surat Kartini; renungan tentang dan untuk bangsanya. Terjemahan
dri Door Duisternis tot Licht, Cetakan ke IV. Jakarta; Djambatan, 1979.
Sullerot, Evelyne, Women, Society and Change. Translate from the Frcnsch by Margaret Scotford
Archer. New York: Mc-Grawhill. 1971.
Sutherland, Heather, The Making of Bureaucratic Elite: the coloniatransformation of the
Javanese Priyayi. Singapore; Heinemann Educational Books (Asia) Ltd. 1979.
Vierhout, M., Raden Ajeng Krtini 1879 1904, enn Javaansche over de nooden en behooften van
haar volk. Tweede druk. Den Haag; N.V. Uitgevers-Matshcappij "Oceanus". 1979, 1944.
Goudoever, W.A. van. Onder de Hoede van een Naam, leven en werken van Elisabeth M.L. van
Deventer-Maas 18S7 1942. Amsterdam: P.N. van Kampen A Zn., n.d.

22
DARI ARSIP DAN ARTIKEI

Het eerste lustrum der Kartinischool te Semarang 1913 1918.


Jubelium Verslag der Kartini Vereeniging 1913 1938.
Surat DR Bouman kepada Rob Nieuwenhuys 1959.
Surat Roekmini kepada My. de Booy-Boissevain 1913.
Kartinischool te Semarang, Schoolverslag Januari-Februari-Maret 1927. door H.A. Haighton,
't Hoofd der Kartinischool.
, Schoolverslag Juli-Agustus-September 1927. door H.A. Haighton, 't Hoofd der
Kartinischool.
, Schoolverslag October-November-December 1927, door H.A. Haighton, 't Hoofd der
Kartinischool.
Deventer, C TH. van, Onder de Hoede van Kartini naam. Pidato pembukaan berdirinya Vereeni-
ging Kartinifonds 1913 di den Haag.
Frans, C , Raden Ajeng Kartini haar Beteekents voor de assciatie gedachte en voor de volksbeve-
ging in Indonsie. Oedaya, Dec., 1929
Huisvrow in Indie, Maandblad van de vereeniging van Huisvrouw te Batavia, 1935, Jg. 5.
Hurgronje, C. Snouck, En en ander over hel Inlandsche Onderwijs in de Padangsche Bovenlanden
VSGSG, IV, 1, 2 7 - 52.
Indische Courant, 15 December 1911. "Een Hollandsch-Javaanscheschool te Jogjakarta".
Kartini nummer, "Ter gelegenheid van de viering van Raden Adjeng Kartini's geboortedag op 21
April 1937", uitg. door de Vereeniging der Indonesische Studeerden Roekoen Pelajar
Indonesia. Leiden 1937.
Koleksi Kartini, K.I.T.L.V., Leiden.
Locomotief, de, 12 Januari 1900: over Kartini opinies.
, 9 October 1911: particuliere onderwijs.
, 10 October 1911: over Kartini's Door Duisternis tot Licht.
, 14 October 1911: bezoldiging van onderwijszers eh onderwijzeressen.
, 22 November 1911: iets over Prins Mangkoenegoro enmijnrijk.
, 9 Januari 1917: onderzoek over Kartini Vereeniging te de Haag.
Mangoenhardjo. Vereeniging van Inlandsche Ambtenaren te Semarang. Mededeeling no. 1 4,
1911 1915.
OvinkSoer, Marie, Persoonlijke Herrinering aan Raden Adjeng Karlini, 1925.

23
D t A RADICALE CONCENTRATIE:
sebuah perbandingan
Oleh: Wardiningsih Soerjohardjo, SS
I
Radicale Concentratie merupakan suatu konsentrasi politik yang terdiri
dari berbagai organisasi pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Konsen-
trasi politik ini timbul dua kali, yang pertama pada tahun 1918 dan yang
kedua pada tahun 1922.
Pengamatan terhadap gejala politik ini cukup menarik, oleh karena
sejauh pengetahuan kami, pengamatan secara bulat terhadap konsentrasi
politik ini belum kami temukan. Penulis-penulis terdahulu yang pernah
mencatat gerakan ini secara sepintas lalu dalam kerangka penulisan sejarah
Indonesia, khususnya periode sejarah pergerakan nasional adalah J. Th.
Petrus Blumberger, D.M.G. Koch, A. Pringgodigdo, Iwa Kusuma Sumantri,
Susanto Tirtoprodjo, Robert Van Niel, S.J. Rutgers, dan Akira Nagazumi.
Selain itu terdapat pula artikel-artikel yang menyoroti gerakan politik ini,
antara lain O.S. Tjokroaminoto1 dan H. Agoes Salim2. Keduanya menjadi
aktivis dalam gerakan ini. Sedangkan Mohammad Hatta3 dan J.F.H.A.
Later4 lebih cenderung untuk dikatakan sebagai pengamat dari periode yang
melingkupi peristiwa tersebut.
Dalam penelitian ini dipergunakan baik sumber primer maupun se-
kunder, di samping metode wawancara sebagai bahan pelengkapnya. Sumber
primer misalnya surat-surat kabar dan majalah yang terbit pada masa itu, se-
dangkan sumber arsip mengenai aktivitas dari Radicale Concentratie belum
berhasil kami temukan. Mengenai sumber-sumber sekunder, misalnya buku-
buku, artikel-artikel, publikasi-publikasi resmi, antara lain Mededeelingen
Omtrent Enkele Onderwerpen Van Algemeen Belang dan Staatsblad van
Nederlandsch Indie. Selain itu Overzicht van de Inlandesche en Maleisch-
Chineesche Press tak kurang pentingnya sebagai sumber dalam penelitian ini
oleh karena memuat intisari berita-berita penting yang tercantum dalam
berbagai surat kabar pada waktu itu dengan terlebih dulu menyebutkan nama
surat kabar ataupun majalah yang memuatnya.
Membicarakan Radicale Concentratie, tidaklah dapat dilepaskan dari
sebuah institusi yang dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun
1918, yaitu Volksraad (Dewan Rakyat). Dengan menelusuri latar belakang
pembentukan Volksraad, kita akan memahami gagasan-gagasan dari kalang-
an pergerakan bangsa Indonesia mengenai bentuk-bentuk suatu Dewan Per-
wakilan Rakyat yang dikehendaki mereka pada waktu itu. Setelah Volksraad
terbentuk, timbul berbagai reaksi di kalangan pergerakan yang kesemuanya
kami hubungkan dengan munculnya Radicale Concentratie yang pertama se-
bagai perwujudan dari ketidakpuasan terhadap keadaan Volksraad.

II
Peristiwa pecahnya Perang Dunia Pertama tahun 1914 membawa pe-
ngaruh besar pada situasi kolonial di Hindia Belanda, dan timbullah masalah-
masalah tentang masa depan hubungan kolonial. Pada umumnya rakyat
menyampaikan pernyataan setia kepada Pemerintah Hindia Belanda. Namun
di sat ping pernyataan loyalitas itu, timbul pula persoalan mengenai cara-cara
mempertahankan Hindia Belanda5. Masalah pertahanan ini ternyata mengun
dang terjadinya dua perpecahan pendapat di kalangan beberapa organisasi

24
Boedi Oetomo (BO) yang mulanya hanya bergerak di kalangan pendidikan
dan kebudayaan, kini mulai terjun ke lapangan politik. Kongres BO tahun
1915 di Bandung menyarankan agar soal milisi untuk pertahanan bumiputra
hendaknya dibicarakan oleh lembaga perwakilan yang mempunyai hak leges-
latif, sedangkan Regentenbond (Perserikatan Bupati), menyarankan pem-
bentukan suatu lembaga yang mempunyai hak untuk memberikan saran-
saran, hak interpelasi dan hak angket6. Pada pihak lain, organisasi-organisasi
yang secara tegas menolak rencana pertahanan bumiputra adalah Indische
Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), Insulinde, Sarekat Islam (SI) ca-
bang Semarang dan Muhammadiyah. ISDV hanya menginginkan kebebasan
bicara dalarr pers dan Zelfbestuur (Pemerintahan sendiri); Insulinde
berpendapat bahwa milisi bumiputra merupakan pemborosan, lebih baik
uang yang a<i iigunakan untuk kemajuan penduduk pribumi sampai mereka
mampu metix .mg pemerintahan sendiri dan hendaknya segera dibentuk
sebuah pari-, n > vang menampung segala kesulitan penduduk pribumi, selain
itu perlu adumu perluasan di bidang pendidikan SI cabang Semarang menya-
takan bahwa milisi bumiputra tidak akan bermanfaat apa-apa7, sedangkan
Muhammadiyah menyatakan bahwa penduduk pribumi tidak perlu mengam-
bil bagian dalam milisi tersebut, oleh karena segala kekayaan di Hindia Belan-
da menjadi milik bangsa asing.8 Sementara itu, Ketua Centrale Sarekat Islam
(CSI), Tjokroaminoto, menyatakan persetujuannya atas milisi bumiputra
oleh karena SI akan menuju ke arah Hindia Menjadi Staat yang memegang
pemerintahan sendiri. Untuk itu kalau Hindia Belanda terlepas sama sekali
dari Belanda, maka tujuan ini tidak akan tercapai9. Menurut pendapatnya,
Gemeente Raad (Dewan Kota) dan Gewestelijke Raad (Dewan Daerah), me-
rupakan sekolah-sekolah politik bagi penduduk pribumi sampai kemudian
tercapai pemerintahan sendiri. Akan tetapi dewan-dewan tersebut masih
belum terbuka secara luas untuk penduduk pribumi, sehingga perlu diperju-
angkan.10
Walaupun kesatuan pendapat mengenai hal ini tidak tercapai, Peme-
rintah Hindia Belanda pada tahun 1916 mengirimkan suatu Panitia yang dise-
but Commite Indie Weerbaar (Panitia Kesiapsiagaan Hindia) yang terdiri
wakil-wakil berbagai organisasi ke negeri Belanda untuk menghadap Sri Ratu,
mohon agar Hindia Belanda diberi pertahanan. Sehubungan dengan hal ini
BO diwakili oleh M. Ng. Dwidjosewojo; SI diwakili oleh Abdoel Moeis;
Prinsenbond (Perhimpunan Bangsawan dari daerah kesultanan di Jawa
Tengah) diwakili oleh P.A. Koesoemadiningrat; Regentenbond oleh R.T.
Danoesoegondo; dan wakil dari Dinas Ketentaraan Belanda, Kapten
Rhemrev. Dengan demikian masalah pertahanan di Hindia mulai menjadi per-
bincangan politik dalam parlemen Belanda. Kenyataannya perbincangan
mengenai masalah milisi bergeser dan beralih ke masalah pembentukan
sebuah lembaga perwakilan rakyat terlebih dahulu oleh karena milisi bumipu-
tra perlu dibahas dan ditentukan oleh sebuah lembaga perwakilan rakyat.
Akhirnya bukan rancangan Undang-Undang mengenai milisi bumiputra yang
diterima oleh parlemen Belanda, melainkan Rancangan Undang-Undang
Pembentukan Volksraad pada bulan Desember 1916.
Pada tanggal 1 Agustus 1917 dibentuklah Volksraad yang hanya berfung-
si sebagai Een Adviserende Lichaam (Badan Penasihat) belaka. Badan baru
ini bukanlah merupakan Badan Legeslatif, tidak mempunyai hak inisiatif; hak
amandemen; hak interpolasi; dan hak angket. Satu-satunya hak yang dimiliki
Volksraad adalah hak petisi, yaitu hak untuk mengajukan usul yang
sehubungan dengan kepentingan penduduk pada umumnya, tanpa menying-

25
gung masalah pembuatan undang-undang. ' '
Sidang Volksraad yang pertama dibuka pada tanggal 21 Mei 1918. Dr.
J.C Koningsberger terpilih menjadi Ketuanya yang pertama. Anggotanya
berjumlah 39 orang, terdiri dari12:
a. Seorang Ketua yang diangkat oleh Raja.
b 15 orang anggota bangsa Indonesia, 10 orang dipilih dan 5 orang
diangkat.
c 23 orang bangsa Belanda dan Timur Asing (orang Tionghoa dan
Arab), 9 orang dipilih dan 14 orang diangkat.
Ditinjau dari susunan keanggotaannya, tampak bahwa BO berhasil men-
duduki tempat terbesar (tujuh); menyusul Insulinde (tiga); kemudian
Regentenbond, Perserikatan Minahasa, ISDP (masing-masing dua) dan akhir-
nya Perserikatan Soematra, CSI, Ambonsch Studiefonds, Politiek
Economische Bond (PFB), Christelijk Staat kundige Partij (CSP) dan Chung
Hwa Hwe (CHH) (masing-masing satu).
Keadaan Volksraad yang hanya berfungsi sebagai Badan Penasihat
belaka itu mendorong timbulnya sebuah fraksi dalam Volksraad, yang terdiri
dari berbagai organisasi, yaitu Radicale Concentratie yang pertama. Selain itu
ketegangan politik yang terjadi di negeri Belanda merupakan salah satu unsur
penyebab pula dalam pembentukan konsentrasi politik ini.

Ill
Munculnya Volksraad sebagai sebuah institusi yang dibentuk oleh
Pemerintah Kolonial Belanda menimbulkan berbagai reaksi. Surat kabar
Neratja tanggal 1 Juli 1918 memuat adanya ketidakpuasan terhadap keang-
gotaan Volksraad yang tidak memberi kesempatan kepada penduduk
Kalimantan untuk mengirim wakilnya sebagai anggota Volksraad.13 Baik
mereka yang duduk sebagai anggota Volksraad, maupun yang bukan menjadi
anggota Volksraad pada masa itu, mengecam bentuk Volksraad dengan keras.
Dr. Abdoel Rivai, walaupun pada waktu itu menjadi anggota Volksraad,
menyatakan bahwa Volksraad bukanlah sebuah parlemen, melainkan biji
atau telur parlemen yang tidak menetas, karena hak-haknya tidak lengkap.
Pendapat ini didukung oleh Ch. G. Cramer dan R. Sastrowidjono14, yang saat
itu juga menjadi anggota Volksraad. Sedangkan Mr. Budhyarto, seorang ang-
gota dalam Pengurus Besar Nationaal Indische Partij (NIP) di Semarang,
mencoba anggota Volksraad dengan ungkapan bahasa Belanda "wiens brood
men oet, diens woord men spreekt", yang artinya kita akan diberi roti olehnya
apabila kita mengucapkan kata-katanya.15 Surat kabar Sri Diponegoro tang-
gal 29 April 1919 memuat pendapat Soerjopranoto, pemimpin PFB yang juga
merangkap anggota CSI bahwa Volksraad lebih tepat disebut Volksrayap
(rayapnya rakyat), sedangkan mereka yang menjadi anggota Volksraad pada
masa-masa selanjutnya, antara lain Ir. P.M. Noor (1931 1942), Soetardjo
Kartohadikoesoemo (1931 1942), I.J. Kasimo (1931 1842) mempunyai
pendapat yang sama pula dengan Soerjopranoto.
Bersamaan dengan munculnya ketidakpuasan terhadap bentuk
Volksraad, tersiar berita melalui tilgram yang dibuat oleh Menteri Jajahan
Idenburg kepada Gubernur Jendral Van Limburg Stimm tertanggal 15
November 1918, bahwa pada tanggal 12 November 1918, Troelstra, seorang
tokoh Partai Buruh Sosial Demokrat di Negeri Belanda, berusaha menjatuh-
kan Kerajaan Belanda dengan mengucapkan pidato di dalam Tweede Kamer
(Majelis Rendah Parlemen Belanda) yang menyambut agar Eerste Kamer (Ma-

26
jelis Tinggi Parlemen Belanda) ditiadakan.17 Akan tetapi usaha Troelstra me-
ngalami kegagalan.
Walaupun Troelstra mengalami kegagalan, berita ini membawa pengaruh
di Hindia Belanda, sehingga Teewen, anggota Volksraad yang mewakili In-
sulinde, segera menuntut supaya segera diadakan perubahan-perubahan pen-
ting dalam struktur pemerintahan Hindia Belanda. Atas inisiatif Ch. G.
Cramer, wakil ISDP dalam Volksraad, dibentuklah sebuah fraksi di dalam
Volksraad dengan nama Radicale Concentratie pada tanggal 16 November
191818 Gerakan ini sering juga disebut Politieke Concentratie dan
Democratische Concentratie20 Dalam uraian kami selanjutnya, konsentrasi
politik ini disebut Radicale Concentratie Pertama oleh karena peristiwa ini ter-
jadi untuk yang pertama kalinya di Hindia Belanda, sedangkan mengenai
konsentrasi politik yang namanya sama yang dibentuk pada tahun 1922, kami
sebut Radicale Concentratie Kedua oleh karena mempunyai latar belakang
pembentukan, ruang cukup keanggotaan, tujuan dan sifat yang berbeda dan
lebih luas apabila dibandingkan dengan konsentrasi politik yang pertama.
Radicale Concentratie yang pertama beranggotakan USDP, CSI, BO, In-
sulinde, Perserikatan Soematra dan Pasoendan. Tujuannya adalah memben-
tuk Voorparlement (Parlemen Sementara atau Dewan Nasional) yang disusun
menurut perbandingan yang demokratis oleh dan dari wakil-wakil organisasi
politik, ditambah dengan wakil-wakil organisasi non politik yang ada. Voor-
parlement bersama-sama dengan Pemerintah atas dasar mayoritas suara ter-
banyak yang didapat, membentuk Undang-Undang Sementara yang mengatur
hubungan antara Hindia Belanda dengan dewan-dewan yang ada, serta pe-
milihan umum yang luas. Setelah tugas dari Voorparlement selesai, harus
segera dibentuk sebuah Dewan Perwakilan Rakyat yang sesungguhnya, yang
dibentuk sampai dengan Undang-Undang Sementara yang dihasilkan oleh
Voorparlement tersebut21.
Langkah pertama yang dilakukan oleh gerakan ini adalah membentuk
Uitvoerend Committe (Badan Pelaksana) yang terdiri dari22:
Ketua : O.S. Tjokroaminoto (Ketua CSI).
Wakil Ketua : Abdoel Moeis (anggota SI), dan H. Agoes Salim (anggota
SI, mewakili Perserikatan Soematra).
Anggota : Sastrowidjono (anggota SI, mewakili BO), Semaoen (wa-
kil SI), Darnakoesoema (Anggota SI dan Insulinde,
mewakili Pesoendan), Tjipto Mangoenkoesoemo (wakil
Insulinde) dan Cramer (wakil ISDP).
Sebagai pencetus gagasan pembentukan Radicale Concentratie Pertama.
Cramer melihat bahwa figur Tjorkoaminoto yang mempunyai pengaruh besar
pada waktu itu, di mana ia mampu memimpin SI-SI lokal yang tersebar di
Hindia Belanda, sehingga apabila dibandingkan dengan pengaruh ISDP,
pengaruh SI jauh lebih besar. Atas dasar inilah Cramer memilih
Tjokroaminoto menjadi Ketua dari Radicale Concentratie yang pertama23.
"Radikal" di sini dikaitkan dengan gagasan-gagasannya mengenai per-
ubahan bentuk Volksraad yang ada pada waktu itu, sedangkan sebelumnya
belum pernah terdapat sebuah organisasipun di Hindia Belanda yang secara
tegas mengajukan rancangan mengenai perubahan bentuk Volksraad kepada
Pemerintah Hindia Belanda, oleh karena itulah para aktivisnya menamakan
konsentrasi politik ini Radicale Concentratie,,M
Kerja sama dalam konsentrasi politik ini dinyatakan oleh Cramer dalam
pidatonya dalam sidang Volksraad tanggal 16 November 1918 bahwa:25

27
"Keadaan-keadaan di waktu sekarang telah menuntut pembentukan suatu kon-
sentrasi yang terdiri dari unsur-unsur Bumiputra dan Eropa yang bersifat demo-
kratis. Dasar dari konsentrasi ini adalah akan mengeluarkan rencana penting ten-
tang perubahan-perubahan yang memungkinkan karena kejadian-kejadian yang
baru terjadi di Eropa."
Adapun kecenderungan berbagai organisasi untuk memasuki konsentrasi
politik ini mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Pada BO yang
merupakan organisasi kedaerahan oleh karena bertujuan untuk "kemajuan
yang harmonis untuk penduduk Jawa dan Madura" dan pada SI yang
merupakan organisasi yang bersifat nasional dan berdasarkan agama Islam
terdapat keselarasan dalam salah satu sikap, yaitu ketika Rancangan Undang-
Undang mengenai Pembentukan Volksraad diterima oleh parlemen Belanda,
maka kedua organisasi ini membentuk sebuah Komite Nasional pada tahun
1917 untuk menghadapi kampanye pemilihan anggota Volksraad- Dengan
demikian baik BO maupun CSI menghendaki|partisipasiyang lebih besar dari
penduduk bumiputra dalam pemerintahan Hindia Belanda walaupun
Volksraad I belum dibentuk. Apabila hak-hak daripada Volksraad dileng-
kapi, maka peranan penduduk bumiputra menjadi lebih besar dalam peme-
rintahan di Hindia Belanda.
Pada Insulinde, terlihat adanya perkaitan antara Teeuwen dan Cramer.
Sebagai wakil Insulinde dalam Volksraad, Teewen mengusulkan agar diada-
kan perubahan-perubahan penting dalam struktur pemerintahan di Hindia
Belanda, tanpa memperinci perubahan-perubahan tersebut lebih lanjut. Usul
ini kemudian menimbulkan gagasan pada Cramer, wakil ISDP dalam
Volksraad untuk membentuk Radicale Concentratie, sehingga tidaklah
mengherankan apabila Insulinde memasuki konsentrasi politik ini.
Selanjutnya, kecenderungan pada Perserikatan Soematra untuk
memasuki konsentrasi politik ini adalah karena sudah sejak berdirinya,
organisasi ini bergerak di bidang politik dengan tujuan "berusaha
memperbesar pengaruh bangsa Indonesia dalam pemerintahan sampai ke-
mudian tercapai Pemerintahan sendiri dan memperbesar otonomi daerah ber-
dasarkan demokrasi26. Sedangkan Radicale Concentratie bertujuan memper-
luas hak-hak yang ada pada Volksraad, sehingga tampak bahwa tujuan Per-
serikatan Soematra dan Radicale Concentratie berjalan sejajar dalam usaha
memperbesar partisipasi bangsa Indonesia di Hindia Belanda dalam lapangan
pemerintahan.
Pada Pasoendan, tampak hal yang sedikit berbeda. Organisasi ini se-
benarnya tidak bersifat radikal, hal mana tampak dalam tujuannya yaitu
"berusaha memajukan bidang sosial dan budaya suku bangsa Sunda di Jawa
Barat"27. Oleh karena salah seorang tokohnya, yaitu Darnakoesoema,
terpengaruh oleh Insulinde,28 dan bersikap radikal, maka Pasoendan kemu-
dian memasuki Redicale Concentratie. Hal ini terbukti dengan duduknya ia
dalam Badan Pelaksana konsentrasi politik ini.
Menghadapi Radicale Concentratie, Gubernur Jendral Van Limburg
Stirum mengutus Mr. Dr. D. Talma, wakil Pemerintah untuk urusan umum,
untuk menyatakan di dalam Volksraad, antara lain bahwa Pemerintah meng-
hilangkan aturan-aturan yang kurang baik bagi Volksraad.29 Ini dinyatakan
pada tanggal 18 November 1918, dua hari setelah Radicale Concentratie ter-
bentuk, dan kemudian dikenal dengan sebutan "November Belofte" (Janji
November).
Pada tanggal 25 November tahun itu juga Radicale Concentratie menga-
jukan mosi yang intinya mendesak Pemerintah untuk segera mengadakan

28
perubahan aturan-aturan dalam Volksraad sebelum atau dalam tahun 1921.
Jika hal ini tidak dilaksanakan, maka semua anggota Radicale Concentratie
akan melepaskan keanggotaannya dalam Volksraad.30
Akhirnya dengan Surat Keputusan Gubernur Jendral tertanggal 17 De-
sember 1918, dibentuklah Commissie tot Hersiening van de Staatsinrichting
van Nederlands-Indie", yaitu suatu panitia yang bertugas meninjau kembali
tata pemerintahan di Hindia Belanda.31 Sebagai ketuanya terpilih Mr. H.H.
Carpentier Alting, sedangkan anggota Radicale Concentratie yang duduk
dalam panitia ini adalah Cramer, Koch, Hasan Djajadiningrat dan H. Agoes
Salim. Pada tanggal 28 Desember 1918 anggota Panitia ini dilantik secara
resmi sejak saat itu mu'a i,a ' 1 mereka bekerja!
Sementara anggota-anggota Radicale Concentratie yang duduk dalam
Panitia ini menjalankan tugasnya, konsentrasi politik ini tetap menjalankan
aktivitasnya yang lain. Pada tanggal 21 Juni 1919, Radicale Concentratie
mengadakan rapatnya di luar Volksraad untuk memprotes "Peristiwa
Cimareme", yaitu suatu peristiwa yang menyedihkan di desa Cimareme
(Garut), Jawa Barat, di mana Haji Hasan beserta seluruh keluarganya
dibunuh oleh Pemerintah Kolonial Belanda menantang penyerahan padi
menurut jumlah yang ditentukan oleh Pemerintah.
Pada bulan Juni 1920, tugas Panitia dibawah pimpinan Carpentier Alting
telah selesai. Akan tetapi usul-usulnya tidak mencerminkan adanya kesatuan
pendapat. Di satu pihak menghendaki agar Hindia Belanda tetap merupakan
jajahan Belanda oleh karena dari segi ekonomi hal ini menguntungkan bagi
golongan pengusaha swasta, sedangkan di lain pihak, yaitu usul dari anggota-
anggota Radicale Concentratie, adalah menyarankan agar dibentuk
Zelfbestuur di mana penduduk bumiputra dapat turut berpartisipasi dalam
pemerintahan di Hindia Belanda dan mengusulkan agar Volksraad dilengkapi
hak-haknya.32 Sampai dengan tahap ini, Radicale Concentratie masih
mengharapkan usul-usulnya diterima oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Pada tanggal 13 Februari 1921 Radicale Concentratie mengadakan rapat yang
kemudian menghasilkan usul agar hak pilih untuk anggota Volksraad
diperluas lagi.33 Menurut Het Indische Volk rapat ini merupakan aktivitas
yang terakhir dari Radicale Concentratie Pertama sampai kemudian terbentuk
lagi Radicale Concentratie Kedua pada bulan November 1922. Namun de-
mikian konsentrasi politik yang pertama ini tidak pernah membubarkan diri
secara resmi.

IV
Pada waktu usul-usul dari Herzieningscommissie belum mendapatkan
tanggapan dari Pemerintah Kolonial Belanda, muncul sebuah Rancangan
Undang-Undang baru dari Menteri Jajahan Simon de Graaff pada tahun
1921. RUU baru ini menitikberatkan penguatan kedudukan struktur adminis-
trasi desentralisasi dari Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu dari tingkat
Gubernur Jenderal sampai dengan Gubernur di tiap-tiap propinsi, serta sejauh
mana hak dan kewajiban mereka masing-masing,34 Pada tanggal 14 April
1922 RUU ini diterima oleh Pemerintah Kolonial di bawah pimpinan Guber-
nur Jendral D. Fock.
Dengan diterimanya RUU tersebut, timbul reaksi di luar Volkraad",
yaitu dengan dibentuknya Committe Autonomie voor Indie (Panitia Otonomi
Hindia). Pada taggal 3, 4, dan 5 Juni 1922, Panitia ini mengadakan kong-
resnya. Kongres tersebut dihadiri oleh wakil-wakil dari 17 organisasi, baik dari

2')
unsur bangsa Indonesia maupun bangsa Belanda dan Indo, di antaranya
adalah D. Van Hinlcopen Labberton (Ketua Kongres), Douwes Dekker,
Tjipto Mangoenkoesoemo Ir. Fournier, H. Agoes Salim, Soewardi
Soeryaningrat, Cramer, Ratulangie, A. Rivai dan Dwidjosewojo.35 Labberton
menuntut otonomi yang lebih luas akan tetapi masih dalam naungan
Pemerintah Kolonial Belanda. Soewardi Soeryaningrat mencela tindakan Pe-
merintah yang semakin ketat, sehingga mempersempit ruang gerak organisasi-
organisasi. Konggres akhirnya memutuskan dibentuknya sebuah Komite
Nasional di bawah pimpinan Dwidjosewojo dan pembentukan sebuah delegasi
yang akan diutus ke Negeri Belanda untuk menyampaikan bahwa RUU dari
Simon de Graaff tidak memenuhi segala keperluan di Hindia Belanda. Usaha
Panitia ini mengalami kegagalan oleh karena Pemerintah Kolonial
menghalangi setiap gerak.36
Sementara itu keadaan ekonomi yang serba sulit timbul di Hindia
Belanda sebagai akibat berakhirnya Perang Dunia Pertama. Pada tahun 1920,
permintaan bahan-bahan eksport dari Hindia Belanda untuk pasaran dunia
semakin merosot, oleh karena negara-negara yang terlibat perang secara
langsung baru mulai membangun ekonominya kembali. Akibatnya banyak
pengusaha-pengusaha perkebunan dan kantor-kantor perdagangan di Hindia
Belanda yang menutup usahanya ataupun mengurangi jumlah pegawainya.
Ketegangan sosial memuncak lagi dengan dicabutnya marang, mendapat
pengaruh dari ISDV (yang kemudian menjadi PKI) dan juga terpengaruh oleh
gerakan Autonomie voor Indie, sehingga mendorong organisasi ini memasuki
keanggotaan Radicale Concentratie yang kedua.40
Perserikatan Minahasa mendapat pengaruh pula dari propaganda ISDV,
sehingga pemimpinnya J.H. Pengamanan membawa organisasi ini memasuki
konsentrasi politik yang kedua.41
Selanjutnya, faktor-faktor yang mendorong PKI untuk memasuki kon-
sentrasi politik yang kedua ini adalah karena keadaan ekonomi yang mem-
buruk dengan dilakukannya tindakan penghematan oleh Pemerintah Hindia
Belanda, dan kemudian keadaan politik yang memperlihatkan tidak adanya
kebebasan bergerak bagi organisasi-organisasi politik di Hindia Belanda, serta
diterimanya Perubahan Aturan Undang-Undang hasil RUU yang diajukan
oleh Simon de Graaff pada tahun 1922 oleh Pemerintah Hindia Belanda.42
Pada pihak lain, kecenderungan PVH untuk memasuki konsentrasi
politik yang kedua adalah karena tindakan Pemerintah mengadakan tindakan
penghematan, karena dengan pencabutan tunjangan kemahalan, berarti gaji
para pegawai menjadi berkurang.43 Sedangkan konsentrasi politik yang kedua
akan melakukan berbagai macam aksi.
Kegiatan pertama dari Radicale Concentratie Kedua adalah dengan
dibukanya rapat tanggal 3 Desember 1922 di Bandung untuk membentuk
komite harian yang terdiri dari wakil-wakil NIP, PKI, dan SI.44 Selain itu
akan dibentuk komite-komite setempat yang akan bergerak di bidang politik
dan ekonomi, dan sebulan sekali direncanakan adanya rapat oleh komite-
komite setempat tersebut.
Selanjutnya pada tanggal 7 Januari 1923 diadakan rapat di rumah Mayer
(Ketua NIP cabang Bandung) untuk menentukan pelaksanaan rapat umum.
Dalam rapat ini hadir wakil-wakil dari SI, BO, NIP, ISDP, Bond Tegen de
Werkloosheid (Perserikatan Penentang Pengangguran). Perserikatan Dokter
Boemiputra dan PVH. Susunan Pengurus ditentukan dalam rapat ini, yaitu:45
Ketua : PP. Dahler (NIP)
Sekretaris : Koersin (BO).
Bendahara : Paul (NIP).

30
Pada tanggal 14 Januari 1923 diadakanlah rapat-rapat umum secara
serentak di Batavia, Semarang, Bandung, Medan dan Surabaya. Rapat umum
yang tersebar di beberapa tempat ini dihadiri oleh ratusan orang dari berbagai
organisasi. Pada pokoknya sesuatu hal yang penting dari rapat umum ini
adalah dikeluarkannya sebuah manifest yang disebut Manifest di Radicale
Concentratie yang isinya:46
a. Mencela tidak adanya kebebasan bergerak di Hindia Belanda.
b. Mencela tindakan penghematan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia
belanda, terutama di bidang pengajaran.
c. Menuntut agar Pemerintah Hindia Belanda turut mengatasi masalah
pengangguran di kalangan kaum buruh.
d. Menurut pelaksanaan dari November Belofte 1918, dan menyatakan
kecewa atas diterimanya RUU dari Simon de Graff oleh Pemerintah
Hindia Belanda.
Rapat umum ini berhasil menarik perhatian dari Bond Tegede
Werkloesheid sehingga organisasi ini mengadakan rapatnya di Bandung pada
tanggal 28 Januari 1923, yang dihadiri oleh wakil-wakil SI, PKI, NIP,
Pasoendan dan BO, Usul yang diajukan dalam rapat ini adalah Radicale
Concentratie bersedia membantu dalam mengatasi pengangguran dengan
mencarikan pekerjaan ataupun dengan memperluas usaha ekonominya
sehingga dapat menampung mereka.47
Pada tanggal 15 Maret 1923, suatu rapat dari Radicale Concentratie dia-
dakan lagi di Gambir Park, Weltevreden. Rapat ini membahas tindakan
penghematan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan menurut
dihapuskannya Poenale Sanctie.**
Rupanya^ aktivitas dari konsentrasi politik yang kedua ini terdengar oleh
mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda yang tergabung dalam Indonesische
Vereeniging (Perhimpunan Indonesia). Dalam suratnya tertanggal 23 Maret
1923, organisasi ini menyatakan dukungannya terhadap aksi-aksi yang
dilakukan oleh Radicale Concentratie.49
Sebagaimana juga dengan Radicale Concentratie Pertama, maka
Radicale Concentratie Kedua ini pun hanya melakukan beberapa aktivitas
saja. Belum sampai setengah tahun konsentrasi politik yang kedua ini ter-
bentuk, gejala-gejala perpecahan di dalamnya sudah mulai nampak. Hal ini
dikarenakan terjadinya kejadian-kejadian penting di tahun 1923. Dalam
tahun 1923 terjadi Partij Discipline (disipilin partai) yang dilakukan oleh SI
terhadap PKI, di mana mereka yang telah menjadi anggota SI dilarang men-
jadi PKI. Keputusan ini dinyatakan dalam Kongres SI Nasional yang ketujuh
tanggal 16 21 Februari 1923.50 Akan tetapi pertentangan ideologi antara SI
PKI sebenarnya telah meruncing dalam kongres SI Nasional yang keenam
tanggal 10 Oktober 1921 di Surabaya. Akan tetapi dengan pernyataan pihak
SI Madiun dalam Kongres di Madiun yang "netral" terhadap agama, maka
disiplin partai tidak dapat dielakkan lagi. Dari 40 wakil SI lokal, maka hanya
SI Madiun dan Nganjuk saja yang minta disiplin partai disebut bagi PKI.
Perencanaan ini menimbulkan bibit permusuhan dalam keanggotaannya
dalam Radicale Concentratie yang kedua, sehingga kekompakan yang
diharapkan dalam menggalang kerja sama menjadi kabur sifatnya.
Kejadian penting lainnya di tahun 1923 adalah pemogokan besar-besaran
yang dilakukan oleh buruh Vereeniging van Spoor en Tramweg Personeel
(VSTP, yaitu Persatoean Boeroeh Kereta Api dan Trem) pada 8 Mei tahun
itu. Pemogokan ini berpangkal pada tuntutan kenaikan upah di satu pihak,
dan di lain pihak meluasnya proDaeanda Semaoen (anggota SI yang kemudian

31
menjadi tokoh PKI) yang sejalan dengan keadaan ekonomi yang buruk waktu
itu. Dalam pemogokan ini hampir seluruh setasiun kereta api yang terbesar di
pulau Jawa mengadakan pemogokan, di antaranya pada jalur kereta api
Semarang Juana; Semarang Cirebon; terus merambat ke Surabaya,
Gubeng, Kendal, Kudus, Wonokromo, Bangil, Kalimas, Probolinggo, Ker-
tosono, Tegal dan Pekalongan. Kemudian merambat lagi ke setasiun
Sidoarjo, Ponorogo, Jombang, Madiun, Malang, Blitar, Jember dan
Nganjuk.51 Rentetan pemogokan ini mendorong Pemerintah Kolonial Belan-
da pada tanggal 12 Mei mengeluarkan larangan berkumpul dan mengadakan
rapat, sedangkan Semaoen sendiri kemudian dibuang ke negeri Belanda untuk
beberapa saat, lalu pindah ke Moscow. Sehubungan dengan hal ini, surat
kabar Neratja. 16 Mei 1923 mencatat bahwa sejumlah 41 orang ditangkap dan
dimasukkan ke penjara, dan dalam tahun itu juga Pemerintah Hindia Belanda
memecat sejumlah 2000 buruh kereta api dan trem. Sitausi pada hari-hari
selanjutnya menjadi pulih kembali sedikit demi sedikit setelah hampir sebulan
lamanya jaringan transportasi kereta api menjadi macet. Peristiwa ini
mengakibatkan lumpuhnya PVH sebagai suatu federasi buruh, di mana VSTP
merupakan kekuatannya yang terbesar, maka secara tidak langsung berpenga-
ruh pula pada aktivitas konsentrasi politik yang kedua.
Di samping kedua sebab di atas, perbedaan taktik perjuangan, yaitu
sikap Coperatie (bekerja sama dengan Pemerintah Kolonial Belanda) dan
non coperatie (tidak bekerja sama dengan Pemerintah Kolonial Belanda) di
antara para anggota Radicale Concentratie yang kedua, merupakan penyebab
pula terjadinya kemunduran aktivitas konsentrasi politik tersebut. Sejak
kongres SI bulan Januari 1923 di Madiun, masalah ini telah dibicarakan
dengan hangat. BO (terkecuali Dwidjosewojo) menolak sikap non coperatie,
sedangkan CSI dan juga NIP bersikeras juga melaksanakannya.52
Pada Sarekat Ambon dan Perserikatan Minahasa terjadi hal yang berbe-
da dibandingkan dengan organisasi-organisasi lainnya yang menjadi anggota
Radicale Concentratie Kedua. Ketua Sarekat Ambon, A. J. Patty yang
mulanya terpengaruh oleh propaganda ISDV di Semarang, ternyata
terkelahkan pengaruhnya oleh J.A. Soselisa (Ketua Ambonsch Studiefonds,
merangkap anggota Volksraad), sehingga A.J. Patty disingkirkan ke
Ambon.53 Sedangkan J.H. Pangamanan (Ketua Perserikatan Minahasa) yang
mulanya juga terpengaruh oleh propaganda ISDV di Semarang, kemudian ter-
kalahkan pengaruhnya oleh F. Lach dan A.L. Waworoentoe (Keduanya ang-
gota Volksraad) yang kurang menyukai aksi-aksi radikal.54, sehingga hal ini
menambah pecahnya kekompakan Radicale Concentratie yang kedua.
Perpecahan ini ditambah lagi dengan pengunduran Dahler sebagai Ketua
Radicale Concentratie Kedua dan sebagai anggota Volksraad, kemudian
disusul dengan pembubaran NIP sebagai suatu organisasi politik55. Kalau ke-
dudukan pimpinan organisasi sudah kosong, ditambah lagi dengan perpecah-
an paham dan prtentangan mengenai taktik perjuangan yang diambil, maka
keutuhan dari kesatuan politik ini sudah tidak dapat diharapkan lagi.
Sebagaimana dengan Radicale Concentratie yang pertama, maka
Radicale Concentratie yang kedua inipun tidak menunjukkan aktivitasnya la-
gi, tanpa pembubarannya secara resmi.

V
Ditinjau dari tujuan yang akan dicapainya, maka baik Radicale
Concentratie yang pertama maupun yang kedua, boleh dikatakan gagal oleh

32
karena Volksraad walaupun berarti "Dewan Rakyat" tetap merupakan
sebuah Badan Penasehat. Seandainya Volksraad benar-benar berfungsi se-
bagai sebuah parlemen, maka usaha-usaha Radicale Concentratie kemungkin-
an besar akan lebih nyata hasilnya.
Kedua konsentrasi politik ini mempunyai beberapa persamaan dan perbe-
daan-perbedaan. Cramer merupakan figur yang cukup penting dalam men-
cetuskan gagasannya baik dalam pembentukan Radicale Concentratie yang
pertama maupun yang kedua. Baik konsentrasi yang pertama maupun yang
kedua, mempunyai unsur bangsa Indonesia, Indo dan Belanda.
Ikatan kedaerahan yang membatasi BO, Pasoendan, Perserikatan
Soematra, Sarekat Ambon dan Perserikatan Minahasa, tidaklah menghalangi
anggota-anggotanya untuk memasuki Radicale Concentratie yang sudah
menggariskan perjuangannya dalam ruang lingkup Hindia Belanda. Berarti
kesetiaan pada tingkatan kedaerahan semakin kabur dan mengarah pada
tingkatan yang lebih lama lagi, yaitu ruang lingkup Hindia Belanda. Hal ini
tampak dengan duduknya mereka dalam keanggotaan Volksraad tahun 1918,
yaitu Abdoel Moeis (dari Perserikatan Soematra, merangkap CSI); R. Kamil,
R.M.T.A. Koesoemo Oetojo, R.M.T.A. Koesoemojoedo Soemiodo, R.
Sastrowidjono, dr. N. Ng. Radjiman Wediodipoero, M. Ng. Dwidjosewojo
(masing-masing dari BO); A.L. Waworoentoe dan F. Lach (dari Perserikatan
Minahasa) dan J.A. Soeselisa (dari Ambonscli Studiefonds). Kedudukan me-
reka dalam Volksraad, mendorong mereka untuk berpikir dalam wawasan
Hindia Belanda, bukan sekedar memikirkan kepentingan daerahnya masing-
masing. Mereka harus memikirkan kepentingan penduduk di Hindia Belanda
walaupun anggaran dasar masing-masing organisasi kedaerahan tersebut
masih belum berubah.
Tokoh-tokohnya yang bersikap radikal, antara lain Dwidjosewojo, A.J.
Patty dan J.H. Pangemanan, mendorong organisasinya masing-masing untuk
memasuki Radicale Concentratie. Tampaknya para pemimpin dari berbagai
organisasi yang menggabungkan diri ke dalamnya sadar akan situasi yang
dihadapi, mereka mengambil sikap untuk bersatu dalam mencapai tujuannya.
Kedua konsentrasi politik ini terbentuk secara cepat dan serentak, begitu
gagasan pembentukannya dicetuskan, ternyata berhasil menarik sejumlah
anggota-anggota ke dalamnya. Akan tetapi kedua konsentrasi ini tidak
berusia lama sehingga aktivitas yang dijalankannyapun tidak banyak.
Motivasi dari pada pembentukan kedua konsentrasi politik ini berbeda
oleh karena situasi-situasi yang melatarbelakanginya pada waktu itu. Radicale
Concentratie yang pertama terbentuk oleh karena sistim politik Pemerintah
Kolonial Belanda pada waktu ttu, khususnya dengan menentukan Volksraad
sebagai Badan Penasehat, bukan parlemen yang memiliki hak-hak yang
lengkap. Faktor lain yang turut mempercepat pembentukan konsentrasi yang
pertama adalah pengaruh kejadian politik di negeri Belanda di mana
Troelatra, seorang tokoh Partai Buruh Sosial Demokrat di sana berusaha
meniadakan Eerste Kamer. Sedangkan pada Radicale Concentratie yang
kedua, ketidakpuasan di bidang politik, ekonomi dan sosial mendorong pem-
bentukannya. Pada waktu itu Pemerintah Kolonial belanda masih belum
menempati November Belofte yang diucapkannya pada tahun 1918. Selain it a
tidak adanya tangapan atas usul-usul yang diajukan oleh anggota Radicale
Concentratie yang duduk dalam Herzienings Commissie oleh Pemerintah
Hindia Belanda dan ditambah lagi dengan pencabutan tunjangan kemahalan
bagi para pekerja, menimbulkan keresahan sosial yang terwujud dalam
serangkaian pemogokan oleh kaum buruh.

33
Oleh karena situasi yang melatarbelakangi pembentukan kedua konsen-
trasi ini berbeda, maka keduanyapun mengadakan respons terhadap tekanan-
tekanan yang berbeda pula. Pada konsentrasi politik yang pertama, respon
lebih ditekankan untuk menciptakan tata susunan politik yang lebih baik yang
memberi kesempatan bagi penduduk Hindia Belanda untuk berpartisipasi
dalam pemerintahan melalui Volksraad. Oleh karenanya yang pertama ditun-
tut adalah perubahan bentuk Volksraad yang betul-betul berfungsi sebagai
parlemen yang mempunyai hak-hak lengkap. Sedangkan pada konsentrasi
politik yang kedua, respons lebih ditekankan pada perbaikan kondisi sosial
dan ekonomi, di samping bidang politik menjadi perhatiannya pula. Hal ini
tampak dalam Manifest der Radicale Concentratie yang dicetuskan oleh
konsentrasi yang kedua, yaitu tuntutan agar diberikan kebebasan bergerak
bagi organisasi-organisasi, pencabutan tindakan penghematan yang dilakukan
oleh Pemerintah Kolonial Belanda, penanggulangan masalah pengangguran
dan teguran pada Pemerintah agar November Belofte dilaksanakan.
Keanggotaan pada konsentrasi politik yang kedua lebih luas daripada
yang pertama. Pada konsentrasi yangjpertamaterdiri dari CSI, ISDP, BO, In-
sulinde, Perserikatan Soematra dan Pasoendan, Komposisi keanggotaan ter-
diri dari organisasi yang nasional religius (berdasarkan agama Islam) yaitu
CSI; organisasi yang berlandaskan Marxisme dengan sikap reformistis-
moderat yaitu ISDP, yang bertujuan agar lambat laun tercapai kemerdekaan
di Hindia Belanda tanpa pemerintahan Belanda dan berusaha meningkatkan
kedudukan pemerintahan taraf internasional; Selain itu terdapat pula
organisasi yang terdiri dari unsur Indo, yaitu Insulinde; dan organisasi yang
mempunyai ikatan kedaerahan seperti BO, Pasoendan dan Perserikatan
Soematra. Pada Radicale Concentratie yang kedua, keanggotaan konsentrasi
yang pertama tetap dipertahankan, di mana insulinde telah berubah menjadi
NIP, suatu organisasi politik nasional yang dengan tegas menitikberatkan
"untuk menggiatkan Indirs dalam mencapai kemerdekaan negeri". Selain itu
PVH sebagai federasi dari sarekat buruh menjadi anggota pula dalam konsen-
trasi yang kedua, demikian pula organisasi yang berideologi komunis (PKI)
turut menggabungkan diri ke dalam konsentrasi yang kedua. Organisasi
kedaerahan lainnya yang memasuki konsentrasi ini adalah Sarekat Ambon
dan Perserikatan Minahasa.
Sikap "keradikalan" lebih menonjol pada konsentrasi yang kedua,
dengan dilakukannya rapat-rapat umum di berbagai tempat secara serentak
yaitu tanggal 14 Januari 1923 di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan
Medan, yang menghasilkan sebuah manifest yang isinya sama. Selain itu sikap
radikal tampak dengan dilakukannya aksi pemogokan umum oleh buruh
VSTP (anggota PVH) yang disebabkan oleh keberhasilan propaganda
Semaoen dengan PKInya, sejalan dengan keadaan ekonomi yang buruk pada
waktu itu di mana kaum buruh menuntut kenaikan upah. Tampaklah bahwa
pada Radicale Concentratie Kedua ditandai dengan adanya pengaruh PKI,
yang secara tidak langsung merupakan salah satu andil dalam perpecahan
konsentrasi yang kedua.
Ditinjau dari segi kepemimpinan, tampak adanya pergeseran kendali
kepemimpinan dari O.S. Tjokroaminoto (CSI) sebagai Ketua Radicale Con-
centratie Pertama kepada P F Dahler (NIP) sebagai Ketua Konsentrasi yang
kedua.
Walaupun Radicale Concentratie Kedua lebih bersikap radikal, akan
tetapi hasil yang dicapai lebih maju konsentrasi politik yang pertama dari
pada yang kedua. Konsentrasi politik yang pertama mampu mendorong

\4
Pemerintah Kolonial Belanda untuk membentuk Herzienings Commissie di
bawah pimpinan Carpentier Alting, walaupun tujuan akhir dari konsentrasi
yang pertama tidak tercapai. Pada konsentrasi politik yang kedua, titik pun-
cak keberhasilan dicapai dengan dikeluarkannya sebuah manifest, di mana
sementara manifest tersebut belum dapat tanggapan dari Pemerintah Hindia
Belanda, telah terjadi kemunduran-kemunduran yang mempengaruhi
eksistensinya, yaitu dengan terjadinya pertentangan ideologi antara SI-PKI
yang memuncak dan tak tertolong lagi pada kongres SI Nasional yang ketujuh
tanggal 16 21 Februari 1923 di Madiun, dengan dikeluarkannya disiplin
partai. Selain itu terjadinya umum oleh buruh VSTP dan perbedaan sikap per-
juangan antara SI dan NIP di satu pihak yang menandaskan politik non
coperatie terhadap Belanda melawan BO yang bersikeras untuk menjalankan
plitik Coperatie terhadap Belanda. Melemahnya pengaruh A.J. Patty
(Sarekat Ambon) dan J.H. Pangeman (Perserikatan Minahasa), pengunduran
diri P.F. Dahler sebagai Ketua Radicale Concentratie Kedua serta pem-
bubaran NIP sebagai organisasi politik melumpuhkan aktivitas konsentrasi
yang kedua, yang sejalan dengan tindakan yang keras dari Pemerintah
Kolonial Belanda, mengakibatkan lumpuhnya sama sekali Radicale Concen-
tratie Kedua tanpa pembubaran organisasinya secara resmi.
Pada hakekatnya, munculnya Radicale Concentratie dalam perjalanan
sejarah bangsa Indonesia, merupakan suatu momentum sejarah untuk pening-
katan dan pemantaban daya perjuangan bangsa Indonesia yang semakin lama
semakin menuju ke arah kemerdekaan penuh pada masa-masa selanjutnya.

35
Daftar Catatan

1. O.S. Tjokroaminoto, "Radicale Concentratie", Oeloesan Hindia, 13 Desember 1918.


2. H.A.S., "Democratische Concentratie", Neratja, 18 dan 19 Desember 1918.
3. Moh. Hatta, "Van een Radicale tot een Nationalistische Concentratie", Verapreidde
Geschriften.
4. J.F.H.A. Later, "De Radicale Concentratie", De Indische Bweging, November Nummer
1918.
5. Soewardi Soeryaningrat, "Indie Weerbaar", Hindia Poetra, 1916 1917, hal. 146 147.
6. Ibid.
7 Oeloesan Hindia, 23 Agustus 1916.
8 H. Fachroedin, "Militie Boemipoetra", Sri Diponegoro, 16 September 1918; dan Soeradi,
"Gerakan Indie Weerbaar", Ibid, 30 Desember 1918.
9. Oeloesan Hindia, 24 Agustus 1916.
10. A. Zainoel Ihsan dan Pitut Soeharto, Aku Pemuda Kemarin Di Hari Esok, Pidato tokoh Perge-
rakan Kebangsaan 1913 1938, Jakarta, Jayasakti, 1981, hal. 25.
11. Kleintjes, Staatsinstellingen van Nederlandsch-Indi, Eerste Deel, 1917, hal. 149.
12. Ibid., hal. 337
13. Mohamad Sjeh, "Pilihan dan Pengangkatan leden Volksraad tidak adil", Neratja, 1 Juli 1918.
14. Abdoel Rivai, "Wakil Regeering dan Wakil Ra'iat dalam Volksraad", Neratja, 18 Agustus 1918
dan Neratja, 10 Agustus 1918, serta R. Sastrowidjono, "Wakil Regeering dan Wakil Ra'iat
dalam Volksraad", Neratja, 8 Agustus 1918.
15. Wawancara dengan Mr. R. Sundoro Budhyarto Martoatmodjo, Jakarta, 8 Januari 1%5.
16. Soerjopranoto, "Mengapakah Volksraad dibilang Comdie", Sri Diponegoro, 29 April 1914;
Wawancara dengan Dr. Sutardjo Karlihadikusumo (Jakarta, 16 Januari 1975); I. J. Kasimo(te-
karta, 5 Februari 1975); Ir. P.M. Noor (Jakarta, 18 Februari 1975).
17. S.L. Van Der Wal, De Volksraad En De Staalkundige Ontwikeling Van Nederlands-Indie, Een
Bronnenpublikatie, Eerste Stuk 1991 1926, 1964, hal. 254; dan De Indir, 18 November 1918.
18. S.L. Van Der Wal, De Opkomst Van De Nationalische Beweging in Nederlands-Indie, Een
Bronnenpublikatie, No. 4, 1967, hal. 518.
19. Sin Po, 14 November 1922.
20. Moh. Natsir, Capita Selecta, 1, hal. 261.
21. J.P.H.A. Later, Op. Cit.. hal. 4 5 .
22. O.S. Tjokroaminoto, Loc. Cit., dan H.A.S., Loc. CU.
23. Wawancara dengan Mr. Budhyarto, Jakarta, 8 Januari 1979.
24. Ibid.; Mr. Budhyarto sendiri hadir pada sidang Volksraad tanggal 18 November 1918, yang
sekaligus menjadi tanggal pembentukan Radicale Concentratie yang pertama. Ia sendiri bukan
anggota Volksraad.
25. Moh. Hatta, Op. Cit.. hal. 389.
26. A.K. Pringgodigdo, Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia, Pustaka Rakjat NV, 1950, hal. 11.
27. Ibid., hal. 19.
28. S.L. Van Der Wal, Op. Cit.. Eerste Stuk, hal. 182
29. Ibid.. hal. 256.
30. H.A.S., "Volksraad: Gerakan jang Penting", Neratja. 26 November 1918.
31. Abdoel Moeis, "Dipapan Tjatoer Politik", Neratja, 2 Januari 1918.
32. Berita Komisi Pengoebah Atoeran Pemerintahan di Hindia Belanda, hal. 507.
33. Het Indische Volk, 19 Februari 1921. Pada waktu itu anggota Volksraad dipilih melalui
Gemeente Raad dan Gewestelike Raad, sedangkan dewan-dewan ini masih belum terbuka secara
luas bagi penduduk bumiputra.

36
34. Staatsblad van Nederlandsch-lndie 1922, No. 216.
33. Het Indische Volk. 8 Juni dan 14 Juni 1922.
36. De Volharding, Februari Mare! 1923, hal 4.
37 Sandra, Sedjarah Pergerakan Buruh Indonesia, Djakarta, 1961 hal. 30 31.
38 Mededeelingen Omtrent Enkele Onderweroen van Algemeen Belang, 1921, hal. 12.
39. Encyc/opaedie van Nederlands Oost-lndie, Supplement, V.
40. Mena Moeria, Januari 1923; dan Ibid.
41. Encyclopaedie van Nederlans Oost-lndie, Supplement, V.
42. "Het standpunt van de Partij der Komunisten is Indi" ten opzichte van de Radicale
Concentratid", De Volharding, Th. XV, No. 2 3 , Februari Maret 1923 Semarang, 2 6.
43. Sandra, Op. Cit., hal. 26 dan 36.
44. Encyclopaedie van Nederlands Oost-lndie. Supplement, V.
45. Pahlawan. 14 Januari 1923.
46. Hel Indische Volk, 24 Januari 1923.
47. Partij SI, 11 Februari 1923.
48. Poenale Sanctie adalah suatu peraturan ancaman hukuman yang dilakukan oleh Pemerintah
Hindia Belanda terhadap kuli-kuli yang tidak menepati kontrak kerja yang telah mereka ikat
Peraturan pertama diadakan pada tahun 1880, yaitu untuk perkebunan tebu di Sumatra Timur.
Setelah itu diadakan pula peraturan yang sama pada pelbagai perkebunan di luar P. Jawa. Pada
tahun 1931 barulah diadakan peraturan umum untuk menghapus Poenale Sanctie secara ber-
angsur-angsur. (Lihat Encyclopedie van Nederlands Oost-lndi, Supplement V dan VII.
49. Neratja, 20 Maret 1923.
50. Partij St, 11 Januari 1923, hal. 8 9.
51. Mona Lohanda, "Vereenigingvan Spoor an Tramweg Personeel in Nederlandsch-Indi. Sebuah
Studi Pendahuluan, Skripsi Sarjana Jurusan Ilmu-Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra UI, Jakarta,
1975.
52. Neratja, 20 October 1923 dan Atnela, H.O.S. Tjokroaminoto Hidup Dan Perdjuangannya.
Djilid I, Djakarta, Bulan Bintang, 1952, hal. 132.
53. R.Z. Leirisan, Maluku Dalam Perjuangan Nasional, Lembaga Sejarah Fakultas Sastra UI,
1975, hal. 63.
54. Encyclopaedie van Nederlandsch Oost-lndie, Supplement, VI.
55. Neratja, 16 Juni 1923. Karena NIP tidak pernah mendapatkan rechtspersoon (hak badan
hukum) dari Pemerintah Kolonial Belanda, maka NIP berpendapat bahwa hal ini tidak
memungkinkan NIP mendapatkan kemajuan politik oleh karena Pemerintah Kolonial selalu
menghalangi setiap langkah maju. Maka NIP mengambil keputusan untuk membubarkan diri,
dan masing-masing anggotanya bebas berjuang dengan caranya masing-masing.

37
Daftar Kepustakaan
Surat Kabar dan Majalah
Hindia Poelra, Orgaan van het Indonesische verbond van Studeeren, Den Haag, 1916 1917
De Indische Beweging, Semarang, November Nummer 1918.
Het Indische Volk. Weekblad van de Indische Sociaal Democratische Partij, Batavia, 1921 dan
1923.
Mena Moeria, Hoofdbestuur Sarekat Ambon, Weltevreden, 1923.
Neratja. Batavia, 1918 dan 1923.
Oetoesan Hindia, Soerabaja, 1916, 1918.
Pahlawan, Bandoeng, 1923.
Partij SI. Orgaan Partij SI Hindia Timoer, Djogjakarta, 1923.
Sin PO, Batavia, 1922.
Sri Diponegoro, Djogjakarta, 1918, 1919.
De Voldarding, Semarang, Februari Maret 1923.
Buku-Buku
Amelz, H.O.S. Tjokroaminoio; Hidup Dan Perdjuangannja, Djilid I, Djakarta, Bulan
Bintang, 1952.
Blumberger. J. Th. Petrus, De Nationalistische Beweging m Nederlandsch Indie. Haarlem,
H.D. Tjeeuk dan Zoon NV, 1931.
Budiardjo, Prof. Miriam, Dasar Dasar Ilmu Politik. Jakarta, Penerbit PT Gramedia, 1977
Encyclopaedie van Nederlands Oost-lndie, Supplement V, VI, VII.
Hatta, Moh., Verspreidde Geschriften.
Ihsan, A. Zainoel dan Pitut Soeharto, Aku Pemuda Kemarin Di Hari Esok, Capita Selecta,
Jilid I, Kumpulan tulisan asli, lezing, Pidato tokoh Pergerakan Kebangsaan 1913 1938,
Jakarta, Jayasakti, 1981
Kleintjes, Mr. Ph., Staatsinstellingen van Nederlandsch Indii Eerste Deel, 1917.
Koch, D.M.G., Menuju Kemerdekaan /Terjemahan dari Om de Vrijheid)
Leirissa, H.Z., Maluku Dalam Perjuangan Nasional, Lembaga Sejarah Fakultas Sastra UI,
1975.
Lohanda, Mona, "Vereeniging van Spoor en Tramweg Pesoneel in Nederlandsch Indi, Sebuah
Studi Pendahuluan. Skripsi Sarjana Jurusan Ilmu-Ilmu Sejarah Fakultas Sastra UI, Ja-
karta, 1975.
Nagazumi, Akira, The Dewa o/ Indonesian Nationalism: The Early Years on the Budi Utomo
1908 1918, Tokyo, 1972
Natsir, Moh., Capita Selecta, I.
Niel, Robert Van, The Emergience of the Modern Indonesian Elite. The Hague, W. van
Hoeve Publishers Ltd, 1970.
Overzicht van Indendsche en Maleisch Chineesche Pers 1922 Deel III dan IV. Weltevreden,
Drukkerij Volkslectuur, 1923.
Pringgodigdo, A.K.. Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia, Pustaka Rakjat NV, 1950.
Rutgers, Ir S.J.. Sedjarah Pergerakan Nasional Indonesia. Surabaja, Penerbit CV Hajam
Wuruk, 1951.
Sandra, Sedjarah Pergerakan Buruh Indonesia. Djakarta, 1961
Sudarsono MA, Juwono, "Ikatan-ikatan Primordial Dan Politik Kebangsaan Di Negara-
Negara Baru", terjemahan dari Clifford Geertz, "The Integrative Revolution: Primordial
Sentiments and Civil Politics in New States", dalam Buku Pembangunan Dan Perubahan
Politik. Jakarta, PT. Grammedia, 1976.
Sumantri, Prof. Iwa Kusuma, Sedjarah Revolusi Indonesia: Masa Perdjuangan Sebagai Perintis
Revolusi. I, 1963
Tirtoprodjo. Susanto, Sedjarah Pergerakan Nasional Indonesia. Djakarta, PT Pembangunan.
1962
Wal. Dr S.l Van Der. De Volksraad En De Staatkundige Ontwikeling Van Sederlands-lndie.
ten Brennenpubhkalie. Eerste Stuk 1891 1926. 1964
De Opkotnei Van De \uttonulistisihe Beweging In \ederlands tndie. Fcn
Bronnenpubhkatie. No 4. 196"'
III Publikasi Resmi
Brita Komisi Pengobah Moeran Pemerintahan di Hindia Belanda. Terjemahan, Landsdrukke-
Mj. 1921

Mededeehngen Omtrent fcnkele Onderwerpen van Algemeen Belang,


Landsdrukkerij, 1921.
Staatsblad van Nederlandsch-lndi. 1922
IV Wawancara
Wawancara dengan I I Kasimo, Jakarta, 5 Februari 1975.
Wawancara dengan Ir P.M. Noor, Jakarta, 18 Februari 1975.
Wawancara dengan Mr R. Sundoro Budhyarto Martoatmodjo, Jakarta, 8 Januari 1975.
Wawancara dengan Dr. Sutardjo Kartohadikusumo, Jakarta, 16 Januari 1975.

39
PENGARUH PENDIDIKAN BARAT TERHADAP KEDUDUKAN
EKONOMI ULEEBALANG DI ACEH
Oleh: Rusdi Sufi

I
Daerah-daerah takluk kerajaan Aceh yang berlokasi di daerah yang se-
karang disebut Propinsi Daerah Istimewa Aceh,1 hingga masa pendudukan
Belanda oleh orang Aceh disebut dengan nama nanggroe atau negeri, yang
jumlahnya melebihi dari seratus2. Pimpinan nanggroe disebut uleebalang.
Selain itu di daerah Aceh Rayeuk yang juga disebut Aceh Inti (sekarang
Kabupaten Aceh Besr) terdapat tiga buah federasi yang dinamakan sagoe atau
sagi yaitu sagi XXII mukim, sagi XXVmukim, dan sagi XXVI mukim, setiap
sagi diperintah oleh seorang yang disebut panglima sagoe atau panglima sagi.
Mereka juga digelar dengan nama uleebalang. Di luar dari ketiga sagi dalam
wilayah Aceh Rayeuk juga masih terdapat enam daerah uleebalang yang ber-
diri sendiri yang disebut mukim*, yang kepala pemerintahannya disebut
kepala mukim yang derajatnya juga sama dengan uleebalang. Wilayah
mukim-mukim ini lebih kecil dari pada sagi dan kepala pemerintahannya lang-
sung berada di bawah pengawasan Sultan Aceh. Adapun keenam mukim ini
adalah mukim Mesjid Raya sebelah kiri sungai Aceh, mukim Mesjid Raya se-
belah kanan sungai Aceh, mukim Meuraksa4. Di luar dari mukim-mukim
yang berdiri sendiri ini, masih terdapat sejumlah mukim-atau daerah-daerah
uleebalang, tetapi ulcebalangnya tunduk di bawah kepala sagi. Jadi mukim
mukim ini berada di bawah dari ketiga segi yang telah disebutkan di atas.
Setiap sagi jumlah mukim yang terdapat di bawahnya sesuai dengan nama sagi
yang bersangkutan, seperti sagi XXVI mukim yang berarti di bawah pagi ini
terdapat XXVI buah mukim dan begitu juga dengan kedua sagi lainnya.
Di nanggroe-nanggoe yang pada umumnya berlokasi di pantai bahagian
Timur dan pantai bahagian Barat Aceh, terdapat pula sejumlah mukim. Dan
seperti juga di daerah Aceh Rayeuk setiap mukim. Ini terdiri atas sejumlah
gampong (kampung) atas meunasah yang dikepalai oleh seorang keucik
(kepala kampung) yang dibantu oleh seorang waki (wakil). Namun tidak
semua sanggoe di daerah takluk Aceh mengenal sunan mukim ini, misalnya di
pantai Timur sekarang dan di pantai Barat pada kabupaten Aceh Barat
sekarang. Di beberapa nanggroe khususnya di pantai Timur yang termasuk
kabupaten Aceh Utara sekarang, terdapat apa yang disebut uleebalang Cut
(uleebalang kecil), uieebalang lapan (uleebalang delapan), dan uleebalang peut
(uleebalang empat). Kedudukan dari bermacam uleebalang ini berada di
bawah uleebalang nanggroe atau negeri.
Luas daerah dan jumlah penduduk dari masing-masing sagi, nanggroe
dan mukim adalah tidak sama. Pimpinannya (uleebalang) ditetapkan berdasar
adat secara turun temurun dengan pengesahan melalui pemberian surat peng-
angkatan atau sarakata yang dibubuhi cap stempel kerajaan yang bernama
cap sikureueng oleh Sultan Aceh5. Meskipun kenyataannya para uleebalang
merupakan bawahan Sultan, tetapi mereka adalah kepala-kepala negeri atau
raja-raja kecil yang sangat berkuasa di daerahnya masing-masing6. Mereka
mempunyai beberapa hak istimewa seperti yang juga dipunyai oleh Sultan
Aceh. Dalam memimpin pemerintahan mereka mendapat bantuan dari be-
berapa pembantu yang ditetapkannya, seperti yang disebut banta yaitu adik

40.
laki-laki atau saudara uleebalang yang kadang-kadang juga bertindak sebagai
uleebalang bila yang bersangkutan berhalangan7. Pembantu lainnya yang
disebut kadhi yaitu yang membantu dalam menyelesaikan masalah-masalah
yang berkaitan dalam bidang hukom%. Selain itu juga yang disebut rakan yaitu
mereka yang menjadi pengawal uleebalang9.
Sebagai kepala adat yang berdasarkan warisan turun temurun,
uleebalang bertindak menjaga ketertiban umum yang diatur menurut adat dan
berhak untuk mengadili serta menjatuhkan hukuman kepada orang-orang
yang bersalah di daerahnya10. Dengan merosotnyaikekuasaan Sultan di Aceh
sesudah abad ke XVII, kekuasaan uleebalang yang mengepalai nanggroe-
nanggroe di beberapa daerah seperti di Pidie dan daerah Aceh Timur sekarang
menjadi meningkat. Dan pada abad ke XIX sebagian para uleebalang selain
berperan dalam bidang perekonomian. Mereka pada masa itu terkenal sebagai
eksportir-eksportir lada yang menghubungkan antara penanam lada dengan
pembelinya. Dan juga berdasarkan sarakata atau lisensi yang mereka
dapatkan dari Sultan, mereka mempunyai hak untuk memasukkan dan
mengeluarkan barang-barang perdagangan di pelabuhan-pelabuhan dalam
daerah mereka. Selain itu mereka juga yang mengurusi pengairan pada
seuneubok-seuneubok atau perkebunan-perkebunan lada". Dengan kuasa
politik yang mereka pegang, terdapat pula uleebalang yang menyalahkan
gunakan kekuasaan mereka dengan membeli lada-lada rakyat secara paksa
dengan harga murah dan kemudian dijualnya kepada pembeli-pembeli yang
dalam hal ini kepada orang-orang Cina yang datang dari Penang dengan harga
yang tinggi12. Dan ini dimungkinkan oleh karena pedagang-pedagang Cina itu
pada umumnya membeli lada melalui para uleebalang1*.
Adat Meukuta Alam yang juga dikenal dengan nama "Peratoran Di
Dalam Negeri Atjeh Bandar Dar-As-Salam", menyebutkan ketentuan-ke-
tentuan yang berlaku terutama yang berhubungan dengan sistem politik dan
ekonomi di kerajaan Aceh. Berbagai ketentuan, baik yang menyangkut
kepentingan Sultan maupun yang menyangkut hak dan tugas para uleebalang
disebutkan di dalam adat Meukuta Alam14. Khusus mengenai kuasa politik
dan kedudukan ekonomi uleebalang secara umum dilukiskan bagaimana
kedudukan politik dan dari mana asal sumber penghasilan mereka15. Sebagai
penguasa yang sangat berkuasa di daerahnya, para uleebalang mendapatkan
pendapatan atau kekayaan untuk diri mereka dari berbagai bentuk hasil cukai
yang dalam bahasa Aceh disebut vase atau base (hasil) yang diatur menurut
adat.16 Penghasilan dari wase ini sangat tidak teratur dan tidak tetap jumlah-
nya.
Adapun wase-wase utama yang didapatkan oleh para uleebalang dapat
disebutkan antara lain dari hak penjualan candu (opiumrechten) yang sebelum
pecahnya perang dengan Belanda merupakan salah satu sumber penghasilan
pokok bagi mereka. Hal ini karena pada waktu itu banyak sekali candu
digunakan oleh penanam-penanam lada terutama di pantai Timur dan pantai
Barat Aceh. ' 7 Sehingga dapat dikatakan bahwa di daerah-daerah itu ketika itu
tanpa candu tidak ada rakyat-rakyat yang bekerja di perkebunan-perkebunan
lada.18 Dan penggunaan candu pada waktu-waktu itu tidak saja oleh rakyat
yang bekerja pada perkebunan-perkebunan lada tetapi juga oleh sebagian
para uleebalang sendiri. Wase lainnya yang didapatkan oleh para uleebalang
adalah dari pengutipan cukai masuk dan keluar barang-barang pelabuhan-
pelabuhan yang berada di daerahnya (in uit on doorvoerrechten) Biasanya di
sini para uleebalang mendapatkan 5% dari jumlah harga barang-barang yang
diekspor dan diimport melalui pelabuhan-pelabuhan di kota-kota pantai yang

41
termasuk dalam wilayah uleebalang yang bersangkutan. Selain itu juga dari
cukai barang-barang yang dibawa dari satu daerah ke daerah lain yang terjadi
di pedalaman jika melalui perbatasan, seperti di perbatasan daerah Cayo
dengan Aceh Utara sekarang dan dengan pantai Aceh Barat.19 Pengutipan
cukai ini biasanya dilaksanakan oleh rakan, kawan atau pengawal dari
uleebalang yang bersangkutan.
Pendapatan para uleebalang juga mereka dapatkan dari wase lada dan
pinang. Di daerah-daerah yang menghasilkan lada dan pinang mereka
memperoleh suatu wase yang disebut wase uleebalang yang merupakan salah
satu wase pokok untuk penghasilannya. Di daerah Aceh Rayeuk untuk setiap
pukul lada dikenakan cukai atau wase sebesar S 2 dan S 1.50 untuk setiap tiga
pikul pinang. Tetapi di daerah-daerah takluk Aceh jumlah bea atau cukai
yang dikenakan untuk hasil-hasil lada dan pinang ini berbeda-beda.20 Pada
umumnya penguasaan tempat atau tanah untuk ditanami lada yang disebut
seunebok dilaksanakan oleh perseorangan yang modalnya (baik berupa tanah
maupun berupa uang) kuat. Dan biasanya oleh para uleebalang yang
membawahi nanggroe atau wilayahnya.21 Mereka yang memberikan modal
pendahuluan (voorschotgever) yang disebut pangkay peutuka untuk
pengusahaan tanaman lada biasanya juga oleh para uleebalang. Dan untuk ini
mereka mendapat wase khusus yang lazim disebut wase peutuha. Selain itu
biasanya penanam lada yang membutuhkan uang, meminjam terlebih dahulu
dari uleebalang nanggroe-nya dengan menjadikan pohon-pohon lada yang
sudah berbuah sebagai jaminan. Tetapi lada ini kemudian harus dijual kepada
uleebalang yang telah memberikan pinjaman uang itu. Sistim ini di pantai
Timur Aceh disebut cingkram,22 dan di Aceh Rayeuk disebut caram.
Selain dari wase-wase yang telah disebutkan di atas, para uleebalang
masih mendapatkan pendapatannya dari bea ekspor barang-barang hasil
hutan seperti getah, rotan, kemenyan, damar, kayu, gading, cula badak dsb.
Semua bea ekspor hasil-hasil hutan ini ditetapkan oleh ulebalang-ulebaiang
daerah tanpa hasil hutan itu diekspor. Bea untuk hasil hutan ini disebut wase
oeteum atau hase oeteum (hasil hutan). Uleebalang juga mendapatkan
penghasilan dari-wase ateueng atau cukai jalan. Bea yang ditarik ini umumnya
diadakan pada jalan-jalan yang menuju perkebunan lada. Dan pelaksanaan
ikan bea ini dilakukan oleh banta atau rakan dan uleebalang tertentu. Sebagai
penguasa tradisional yang melaksanakan pemerintahan yang diatur menurut
adat di daerah-daerah tempat mereka berkuasa, maka para uleebalang masih
mendapatkan penghasilan dari sejumlah denda-denda atas orang-orang yang
bersalah yang telah diputuskan oleh kadhi di pengadilan dan dari biaya-biaya
persidangan suatu perkara serta juga dari pembagian harta warisan yang
disebut hak prae. Dari hak prae para uleebalang mendapatkan 10% dari
jumlah warisan yang dibagi kepada yang berhak dan sebagian kecil dari
jumlah 'itu dibagikan kepada pemuka-pemuka adat lainnya seperti
teungkumeunasah (yang memimpin bidang keagamaan pada sebuah kam-
pung), dan kepada keucik (kepala kampung)23
Kalau di atas telah disebutkan penghasilan-penghasilan utama yang
didapatkan oleh para uleebalang, berikut ini akan disebutkan pula beberapa
jenis cukai atau bea yang dalam bahasa Aceh disebut adat yang
pelaksanaannya juga diurus oleh para uleebalang. Di antaranya adalah wase
atau adat kuala (bea muara sungai), sejenis bea yang harus diserahkan kepada
uleebalang oleh setiap kapal/perahu yang melewati muara sungai menuju ke
hulu atau mau berlabuh di suatu pelabuhan yang ada di sungai itu. Untuk
sebuah tongkang (sejenis perahu yang agak besar) dikenakan bea SI, untuk

42
satu perahu atau sampan $ 0,50, untuk sebuah jaloeu (perahu kecil) $ 0.2524.
Untuk orang-orang asing yang mengangkut barang-barang dagangan mereka
melalui kuala (muara sungai) dikenakan bea 5% dari harga barang dan untuk
penduduk daerah itu 2'/z%. Wase lainnya yaitu dari adat peukan
(mark t be last in g) yaitu bea yang harus dibayar oleh orang-orang yang ber-
jualan di pasar. Bea pasar ini diurus pelaksanaannya oleh rakan yang ditunjuk
uleebalang. Jenis adat lainnya yaitu adat gte (cukai gunung) dan adat tanoh
(wase tanoh) atau (grondbelasting), di sini rakyat yang menjual tanahnya
harus memberikan 1% dari hasil penjualan itu kepada uleebalang2^.
Selain dari berbagai wase dan adat yang telah disebutkan di atas, para
uleebalang juga mendapatkan penghasilan dari hasil-hasil sawah dan ladang
kepunyaan mereka sendiri. Di sini jika sawah milik uleebalang dikerjakan
oleh rakyat dari daerah uleebalang yang bersangkutan, maka V% hasilnya
diberikan kepada rakyat yang mengerjakannya, serta 2/3 sisanya untuk
uleebalang sebagai pemilik sawah itu26. Dalam penggarapan sawah-sawah
uleebalang sering juga berlaku suatu sistem yang disebut mawaih, yaitu sistem
bagi hasil yang jumlahnya satu banding satu (dibagi sama) antara uleebalang
si pemilik tanah dengan rakyat yang mengerjakannya. Selain itu ada juga
sistem yang disebut gala atau geumala, yaitu mereka yang memerlukan uang
menggadaikan sawahnya kepada uleebalang. Pada waktu tertentu sawah atau
tanah yang di gala ini harus ditebus kembali yang disebut teboih. Jika sudah
pada waktunya belum sanggup ditebus, biasanya terpaksa harus dijual yang
disebut puebloe11, kepada uleebalang yang bersangkutan. Bagi mereka yang
memerlukan uang dapat juga menggunakan sawah atau tanahnya untuk
dijadikan jaminan kepada uleebalang yang mau memberikan uang. Di sini
juga berlaku sistem bunga, yaitu bila sampai waktu uang yang dipinjam itu
belum dikembalikan, maka si peminjam harus membayar bunga baik dalam
bentuk uang maupun dalam bentuk barang seperti padi, lada, buah kelapa
atau pinang kepada uleebalang yang meminjamkan uang kepadanya28. Hal ini
semua tentu saja menambah penghasilan dan memperkuat kedudukan
ekonomi para uleebalang.
Seperti telah disebutkan, meskipun uleebalang merupakan raja-raja kecil
yang paling berkuasa atas nanggroe-nanggroe mereka, tetapi terdapat
perbedaan dalam kedudukan ekonomi mereka. Di antara mereka ada yang
kaya dan ada yang miskin, ada yang dareahnya sangat luas dan ada yang
hanya kecil saja, juga ada yang mempunyai rakyat banyak dan ada yang
sedikit saja. Ketika Belanda sudah dapat menanamkan kekuasaannya di Aceh
(meskipun peperangan dengan pihak Aceh masih berlangsung) beberapa hak
dan wewenang uleebalang mulai berkurang. Pihak Belanda mulai ikut campur
mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan situasi ekonomi di Aceh. Selain
itu sejalan dengan kepentingannya sejak permulaan abad ke XX pihak
Belanda juga hendak mengikutsertakan para uleebalang dalam struktur
birokrasi mereka. Sehubungan dengan kepentingan ini, pemerintah Belanda
mengusahakan agar para uleebalang ini dapat dijadikan sebagai aparat-aparat
yang efektif dalam sistem ekonomi dan struktur birokrasi mereka. Maka
untuk ini kepada para uleebalang khususnya anak-anak mereka perlu dididik
atau dibina dengan sistem pendidikan Belanda. Berkait dengan maksud di
atas, maka sejak tahun 1900 mulailah diperkenalkan sistem pendidikan
Belanda kepada putera-putera uleebalang di Aceh. Pada tahun itu beberapa
putera uleebalang Idi Rayeuk (bagian dari pantai Timur Aceh) oleh
pemerintah Belanda telah diikutsertakan untuk mengikuti pada sebuah
sekolah Belanda di Kutaraja29 (sekarang Banda Aceh). Dan pada tahun 1901

43
tiga putera uleebalang lainnya dari Aceh Rayeuk dikirim ke Fort de Koek
(sekarang Bukit Tinggi) untuk memasuki sekolah guru di sana.30
Selanjutnya pada tahun 1907 dua putera uleebalang yang berasal dari
pantai Barat Aceh dikirim ke Bandung untuk bersekolah pada sekolah
pendidikan pegawai bumi putera di sana. Rupanya sebelum ke Bandung
(tahun 1904) mereka juga telah disekolahkan pada sekolah guru di Bukit
Tinggi31. Setelah menamatkan pendidikannya pada sekolah pegawai bumi
putera di Bandung, pada 12 Desember 1912 mereka kembali ke Aceh dan
diangkat sebagai uleebalang pada salah sebuah manggroe di pantai Barat
Sumatra32.
Pada 12 Desember 1908, tiga belas orang pemuda Aceh yang kesemuanya
terdiri dari anak-anak uleebalang oleh pemerintah Belanda dikirim lagi ke
Bukit Tinggi untuk memasuki sekolah guru dan sekolah Raja di sana. Adapun
nama-nama mereka dan asalnya adalah sebagai berikut:
Teuku Nyak Areh, anak uleebalang panglima segi XXVI mkim Aceh
1. Rayeuk (Aceh Besar).
2. Teuku Asim, anak uleebalang Janthoe Aceh Raeuk (Aceh Besar).
3. Teuku Berahim, anak uleebalang Ulee Kareueng Aceh Rayeuk (Aceh
Besar).
4. Teuku Hitam, anak uleebalang Tapak Tuan (pantai barat Aceh).
5. Teuku Husein, anak uleebalang Aron (pantai Utara Aceh).
6. Teuku Muhammad Ali, anak uleebalang Bulon Biang Ara (pantai Utara
Aceh).
7. Teuku Leman, anak uleebalang Meureudu (pantai utara Aceh).
8. Teuku Raja Leman, anak uleebalang Lhok Nga Aceh Rayeuk (Aceh Be-
sar).
9. Teuku Johan, anak uleebalang Balohan pulau Weh Aceh Rayeuk (Aceh
Besar).
10. Teuku Ade, anak uleebalang Kaye Adang Aceh Rayeuk (Aceh Besar).
U. Teuku Raja Kuala, anak uleebalang Sawang (pantai Utara Aceh).
12. Teuku Raja Keucek, anak uleebalang Rcube Pidie (pantai Utara Aceh).
13. Teuku Idris, anak uleebalang Lam Bada Aceh Rayeuk.33 (Aceh Besar).
Dari ketiga belas anak-anak uleebalang yang tersebut di atas yang
kemudian jelas menggantikan orang tua mereka sebagai uleebalang di
daerahnya adalah 5 orang. Mereka adalah Teuku Nyak Aceh, Teuku Asim,
Teuku Hitam, Teuku Muhammad Ali dan Teuku Johan. Selain ketiga belas
mereka, pada waktu yang yang hampir bersamaan pemerintah Belanda
mengirim pula 4 orang putera uleebalang Cunda (pantai Utara Aceh), 2.
Teuku Bujang, anak uleebalang Nisam (pantai Utara Aceh), 3. Teuku Hasan,
anak Uleebalang Keumala Pidie (pantai Utara Aceh) dan 4. Teuku Ahmad,
anak uleebalang Peuraume Aceh Rayeuk (Aceh Besar). Di Bukit Tinggi semua
mereka memasuki sekolah guru dan setiap bulannya diberi tunjangan oleh
pemerintah Belanda f. 25.34 Dari keempat mereka yang jelas menjadi
uleebalang menggantikan orang tuanya adalah Teuku Hasan dari Keumala
Pidie. Ia diangkat sebagai uleebalang oleh Belanda pada 24 Nopember 1915.35
Pada tahun 1910 dikirim lagi 4 orang lainnya yang juga memasuki sekolah
guru di Bukit Tinggi. Mereka adalah Teuku Abdul Latif, putera uleebalang
Guedong (pantai Utara Aceh), Teuku Mahmud juga putera uleebalang
Geudong, Abdul Rochim dari Singkel (pantai Barat Aceh) dan Teuku raja
Pakeh, putera uleebalang Tapak Tuan (pantai Barat Aceh)36. Dari keempat
mereka yang jelas menjadi uleebalang adalah Teuku Abdul Latif yang
menggantikan jabatan orang tuanya sebagai uleebalang di Geudong37

44
Bersamaan dengan pengiriman mereka yang tersebut di atas, oleh
Gubernur Sipil/Militer Belanda di Aceh pada waktu itu yaitu H.N.A. Swart,
meminta lagi kepada Direktur Pendidikan Agama dan Kerajinan, supaya
anak-anak uleebalang yang namanya tercantum seperti di bawah ini dapat
diterima pada sekolah externenschool di Bukit Tinggi. Dan permintaan ini
dikabulkan oleh Direktur Pendidikan Agama dan Kerajinan. Mereka adalah:
1. Teuku Tengoh, anak uleebalang Meuraksa Aceh Rayeuk (Aceh Besar), 2.
Teuku Dullah, anak uleebalang Seulimun Aceh Rayeuk (Aceh Besar), 3. Teu-
ku Ubit, anak uleebalang loi Leubeu Pidie (pantai Utara Aceh), 4. Teuku Cut,
anak uleebalang Lhok Saumawe (pantai Utara Aceh), 5. Teuku Muhamad
Aji, ana uleebalang Matang Panyang (pantai Utara Aceh) 6. Teuku Muham-
mad, anak uleebalang Tapak Tuan (pantai Barat Aceh) dan Teuku raja Mak
Ali, anak uleebalang Idi Cut (pantai Timur Aceh). Menurut Gubernur
H.N.A. Swart, orang-orang tua Teuku Teungoh, Teuku Dullah, Teuku Ubit,
Teuku Cut dan Teuku Raja Mak Ali, sanggup membayar sendiri segala biaya
pendidikan anak-anak mereka selama menyelesaikan sekolahnya di Bukit
Tinggi. Sedangkan orang tua Teuku Muhammad, karena tidak sanggup mem-
biayai sendiri maka biaya pendidikan si anak selama di sana ditanggung oleh
pemerintah Belanda.38 Setelah mereka menyelesaikan sekolahnya di Bukit
Tinggi dan kembali ke Aceh yang jelas menjadi uleebalang di daerahnya
adalah Teuku Teungoh (uleebalang Meuraksa) dan Teuku Muhammad Aji
yang menjadi uleebalang di Matang Panjang39.
Kecuali anak-anak uleebalang yang dikirim untuk memasuki sekolah
guru dan sekolah raja di Bukit Tinggi, ada juga sebagian lainnya yang dikirim
ke Tanjung Balai (Asahan) untuk disekolahkan pada sekolah khusus untuk
anak-anak kepala bumiputera (de school voor hoofdenzoons) di sana.40 Pada
tahun 1909 ada 10 orang putera uleebalang yang dikirim ke Asahan. Adapun
nama-nama mereka adalah sebagai berikut: 1. Teuku Cut, anak uleebalang
kepala mukim Pagar Ayeryang bertempat tinggal di kampung Binah Biang,
Pagar Ayer Aceh Rayeuk (Aceh Besar). 2. Teuku Johan, anak Teuku Bentara
Istiyah Muda uleebalang Peureudan yang bertempat tinggal di kampung
Geureugok (pantai Utara Aceh). 3. Nyak Raman, anak Teuku Cik Peuralak
yang bertempat tinggal di Kuta Tualang (pantai Timur Aceh). 4. Nyak
Basyah, anak uleebalang Teuku Cik Idi yang bertempat tinggal di kota Krueng
(pantai Timur Aceh). 5. Bin Asan, anak Teuku Ujong yang bertempat tinggal
di Tampa (pantai Utara Aceh). 6. Samaun, anak Teuku Husein yang
bertempat tinggal di Rantau Panjang (pantai Timur Aceh). Nyak Daud, anak
Teuku Butah yang bertempat tinggal di Kampung Tualang (pantai Timur
Aceh). 8. Nyak Hitam, anak Teuku Muda Ali yang bertempat tinggal juga di
kampung Tualang (pantai Timur Aceh). 9. Habib Umar, anak Teuku Habib
Husein yang bertempat tinggal di Sungu Raya (pantai Timur Aceh) dan 10.
Abdul Aziv, juga anak dari Teuku Habib Husein4'. Menurut yang dilaporkan
bahwa mereka adalah anak-anak yang pintar dan nantinya setelah mereka
akan bersedia menjadi uleebalang untuk menggantikan orang-orang tua
mereka.42
Hampir bersamaan waktunya dengan diperkenalkan pendidikan Barat
kepada anak-anak uleebalang (yang sebagian besar pada mulanya dikirim ke
luar Aceh), pemerintah Belanda juga mulai memikirkan pendidikan kepada
pemuda-pemuda Aceh lainnya yang berasal bukan dari kelompok uleebalang.
Hal ini dimaksudkan selain untuk mendapat pegawai rendahan (sesuai dengan
salah satu tujuan politik ethis), juga untuk mengurangi pengaruh dari
pemimpin-pemimpin agama atau para ulama dalam mengurangi kefanatikan

45
mereka terhadap permusuhannya dengan Belanda,43 Maka untuk ini pemerin-
tah Belanda mendirikan sekolah-sekolah rakyat atau sekolah-sekolah desa
seperti di Jawa.44 Oleh karena fokus makalah ini mengenai kelompok
uleebalang, maka uraian tentang perkembangan pendidikan Belanda di Aceh
di sini hanya disinggung selintas saja.
Dalam perkembangannya selain sekolah desa (Volkschool), pemerintah
Belanda juga mendirikan jenis-jenis sekolah dasar seperti Vervolgschool,
Meisjeschool, De 2de klassescholen, Inlandsche School, Europeesche Lagere
School dan Hollandsch inlandsche School (HIS); juga beberapa sekolah ke-
juruan seperti Ambachtschool, Weefschool dan Landbouwschool. Satu-
satunya sekolah menengah yang terdapat di Aceh adalah Meer Uitgebried
Lager Onderwijs (MULO),45 yang hanya sanggup dikunjungi oleh putera-
putera uleebalang dan anak-anak pejabat yang mampu. Hingga akhir
pemerintahan Belanda di Aceh, jumlah sekolah-sekolah Belanda yang ter-
dapat di seluruh Aceh dapat disebutkan 1 MULO, 4. Europeesche Lagere
School, 1 sekolah Ambon khusus, 8 HIS, 45 Vervolgschool, 1 Ambacht-
school, 1 Landbouwschool dan 348 Volkschool (sekolah rakyat)46.
Berdasarkan dari sebagian kecil data-data yang diutarakan di atas
khususnya tentang penyekolahan anak-anak uleebalang oleh pemerintah
Belanda, maka dapat disebutkan bahwa penekanan prioritas pendidikan
Barat pada peringat awal di Aceh terutama ditujukan kepada anak-anak
uleebalang. Umumnya para putera uleebalang ini setelah mereka menyele-
saikan pendidikannya pada sekolah-sekolah Belanda, mereka menjadi
pegawai-pegawai pada kantor-kantor pemerintah Belanda dan menjadi
uleebalang menggantikan orang-orang tua mereka di daerahnya. Hal ini sesuai
dengan apa yang disebutkan oleh A.J. Piekaar (yang menjabat sebagai
sekretaris residen terakhir dari masa pemerintah Hindia Belanda di Aceh)
bahwa pemerintah Belanda pada tahun-tahun awal abad ke XX telah
memberikan pendidikan kepada pemuda-pemuda Aceh dengan harapan un-
tuk dapat mengisi jabatan-jabatan administratif pada kantor-kantor pemerin-
tah yang memungkinkan bagi mereka yang mampu memangkunya.47 Mereka
yang menjadi uleebalang diakui oleh Belanda sebagai aparat-aparat pemerin-
tahan adat dalam bentuk daerah-daerah uleebalang atau kenegerian yang ber-
pemerintahan sendiri (Zeliesturende landschappen). Dan sebagai aparat
Belanda, uleebalang menjadi semakin terikat dalam struktur birokrasi Belan-
da dalam suatu ikatan yang kuat. Selanjutnya dengan bekal pendidikan Barat
dan kuasa yang mereka dapatkan dari Belanda, sebagian uleebalang meng-
gunakan kesempatan untuk semakin memperkuat kedudukan atau kuasa
politik dan ekonomi mereka. Misalnya dengan monopoli kuasa politik di
mana mereka berkuasa dan juga pemilikan atas tanah secara besar-besaran
seperti di daerah Pidie (dahulu masuk wilayah pantai Utara Aceh).48
Dari sejumlah putera uleebalang yang mendapat pendidikan Barat, baik
merekayang sudah menjadi uleebalang maupun yang telah bekerja pada
kantor-kantor pemerintah, dalam perkembangannya muncul sebagai suatu
kelompok yang menjadi pendukung dari pada pendidikan itu. Oleh karena
sistem pendidikan itu selalu mempunyai visi itu, mereka bergabung dan
membentuk suatu wadah yang mereka namakan Vereeniging Atjeh yang
didirikan pada tahun 191649 Bertindak sebagai ketua adalah Teuku Cik
Mohammad Thayeb uleebalang Peurelak, lulusan sekolah OS VIA Bandung.50
Sebagai wakil ketua adalah Teuku Tengoh uleebalang Meuraksa yang pernah
bersekolah pada Externenschool Bukit Tinggi. Sekretaris I dan II, masing-
masing dijabat oleh Nyak Cut dan Abu Bakar yang juga sebagai alumnus

46
Bukit Tinggi. Cara perserikatan ini memajukan pendidikan adalah dengan
memberi bantuan kepada anak-anak pintar yang telah tamat pada
Europeesche School dan Holandsch-lnlandsche School dan ingin meneruskan
pelajarannya ke luar Aceh. Juga murid-murid dari kedua sekolah itu kematian
orang tuanya, maka perserikatan akan mengusahakan bantuan supaya anak-
anak itu dapat meneruskan sekolahnya. Jika dikira perlu oleh pengurus
perserikatan juga memberi pertolongan uang kepada murid-murid dari Nor-
maalcursus, Ambachtschool dan Lanbourschool.il Alat-alat yang dianggap
tidak sesuai lagi dan mendatangkan keberatan seperti dalam hal perkawinan
anak-anak yang belum cukup umur, diikhtiarkan supaya anak laki-laki atau
perempuan jangan dikawinkan di bawah umur 16 tahun (sebelum akil-balig).
Juga pesta-pesta yang berhubungan dengan perkawinan yang memboroskan
supaya dihindari, juga yang berhubungan dengan kematian jangan diadakan
kenduri-kenduri sebelum yang perlu dikerjakan. Sedang hal poemo bae
(upacara penangisan jenazah) wajib dihapuskan sama sekali.52 Perserikatan
ini juga mengusulkan supaya diadakan suatu perkumpulan wanita yang
maksudnya untuk merubah segala hal-ihwal dalam rumah tangga yang
berhubungan dengan kebersihan, kesopanan dan kesehatan. Kalau perlu
perkumpulan wanita ini boleh memakai seorang nyonya Eropa untuk menun-
tutnya.53 Dengan demikian kelompok yang berinisiatip dan yang mendukung
Vereeniging (Perserikatan ini dapat dikatakan telah menjadi suatu kelompok
baru dalam masyarakat Aceh.

III
Sebagaimana telah disinggung, ketika Belanda sudah dapat menanamkan
kekuasaannya di Aceh, mereka mulai ikut campur mengurusi hal-hal yang
berhubungan dengan situasi ekonomi di Aceh. Dapat disebutkan misalnya
wase utbalang dari cukai-cukai candu (opiumrechten) yang sebelum
pecahnya perang dengan Belanda merupakan salah satu sumber penghasilan
utama bagi utbalang, sesudah Beianda berhasil menanam pengaruhnya
pengaturan candu ini mulai diatur oleh Belanda. Baik di Aceh Rayeuk
maupun di daerah-daerah takluk Aceh, pemasukan dan penjualan candu
diurus oleh Belanda.54 Hal ini tentu saja merugikan pihak utbalang,
meskipun pihak Belanda memberi suatu ganti rugi (schadeloostellingen)
secara bulanan kepada para utbalang dalam jumlah yang berbeda-beda.
Selain candu juga cukai dari barang-barang yang keluar masuk pelabuhan
pengaturannya juga pengaturannya dilaksanakan oleh Belanda. Untuk ini
pemerintah Belanda berdasarkan keputusannya 14 April 1910 no. 5 pasal 2,
juga menetapkan suatu ganti rugi kepada para utbalang dalam rangka
pengisian kembali kekosongan penghasilan mereka. Jumlah yang diberikan
kepada setiap utbalang juga berbeda-beda, tergantung dari banyaknya arus
barang yang keluar masuk suatu pelabuhan.55
Jika sebelum Belanda masuk, para utbalang yang di daeah-daerah yang
memproduksi lada dan pinang mendapat wase dari hasil-hasil tersebut, maka
setelah Belanda berhasil menanamkan kekuasaanya, wase-wase ini diakhiri
oleh Belanda.56 Dan selanjutnya hal yang berhubungan dengan wase ini
diurus oleh Belanda. Begitu juga wase jalan yang biasanya diterima oleh para
utbalang pada jalan-jalan yang menuju ke perkebunan-perkebunan lada
yang ada di daerah mereka, oleh Belanda dinyatakan bebas dari wase tersebut.
Di bawah Belanda, baik pegawai-pegawai maupun para utbalang yang
mau bekerja sama dengannya, diberi suatu penghasilan baru, yang me-

47
rupakan gaji tetap secara bulanan karena mereka merupakan aparai pemenn
tah Belanda. Beberapa utbalang malah menerima tunjangan perseorangan
sebagai ganti rugi dari wase-wase yang dihapus dan dari kerugian yang mereka
derita sebagai akibat harta mereka dirusak atau dibakar oleh pejuang-pejuang
Aceh yang menganggap mereka sebagai kaki tangan Belanda. Para utbalang
juga mendapatkan penghasilan dari saham-saham mereka di perkebunan-per-
kebunan pertanian yang bekerja sama dengan Belanda.Jumlah yang mereka
terima di sini tergantung dari besarnya saham yang mereka berikan. Adapun
gaji tetap yang diberikan secara bulanan kepada para utbalang jumlahnya
berbeda-beda. Hal ini selain tergantung pada kekayaan yang dimiliki oleh
suatu nanggroe, juga berkait dengan tingkat pendidikan dan fungsi dari
utbalang yang bersangkutan. Berapa jumlah gaji tetap yang diterima secara
bulanan oleh para utbalang yang menjadi aparat Belanda, khususnya di
daerah-daerah takluk Aceh, dapat dilihat misalnya dalam J. Kreemer, "De in-
komsten van het Lanschaps-bestuur in het gewest Atjeh en Onderboorighe-
den", De Indische Gids, tahun ke 42 (1920), halaman 139 148. Dalam karya
J. Kraemer ini setiap utbalang yang membawahi nanggrebe-nange
disebutkan jumlah gaji bulanan yang mereka terima. Ada yang menerima f
25 saja dan ada pula yang sampai f. 1000.
Dalam rangka untuk memperkuat kedudukan ekonominya ada di antara
para utbalang uang meminta tunjangan lebih dari gaji yang telah ditetapkan
.oleh pemerintah Belanda. Dapat disebutkan misalnya utbalang kepala segi
XXII mukum (Aceh Rayeuk) Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa
Muhamad Dawod. Dengan suratnya yang bertanggal 27 November 1907, ia
meminta kepada Gubernur Aceh dan Daerah-Daerah takluknya, supaya
menambah tunjangan bulanan yang diberikan kepadanya. Dalam hal ini ia
tidak menyebutkan jumlahnya dan permintaan ini dikabulkan oleh Belanda
dengan memberi tembakan kepadanya f. 100. Selain itu sebagai uang ganti
rugi akibat dihapuskannya beberapa wase utbalang di daerahnya, kepada
Panglima Polem diberikan f. 300 setiap bulannya. 57 Alasan Teuku Panglima
Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Dawod meminta tambahan tunjangan
adalah karena menurut dia selama menduduki jabatan kepala sagi, ia sangat
baik dengan lakyutnya dan di antara mereka banyak yang bertamu
kepadanya. Untuk ini ia harus mengeluarkan banyak yang karena menjamu
mereka. Selain itu rakyat juga menganggap, karena ia sekarang sudah makan
gaji sama ueianud tentu mempunyai oanyak uang.-
Selain kepada kepala Rabi XXII mukim, pemerintah Belanda juga
memberi tunjangan yang sama kepala-kepala sagi lainnya di Aceh rayeuk
(Aceh Besar). Dan kepada kepala-kepala mukim yang berada di bawah sagi-
sagi itu umumnya diberi gaji tetap f. 75 setiap bulannya. 59
ScVifxrni nenntim Valn flalnm maVnlan ini danai kami sebutkan bahwa di
antara akibat yang ditimbulkan dengan diperkenalkan sistem pendidikan
Barat dan perluasan dari padanya di Aceh adalah telah mengakibatkan ada
nya perubahan-perubanan aaiam sisiem ekonomi, poinik dan sosial dalam
masyarakat Aceh khususnya pada golongan utbalang.

4K
Caiman

1. Yang menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini adalah daerah-daerah yang didiami oleh
kelompok ethnis aceh saja
2. Jumlah yang pasti baru dapat ditentukan setelah masuknya Belanda ke Aceh, yaitu setelah
mereka mengakui pimpinan nanggroe sebagai penguasa yang berpemerintahan sendiri. Ber-
dasarkan surat Gubernur Mililer/Sipil Aceh kepada Directeur van Bmnenlandseh Bestuur 7
Desember 1912/no. 42T/75, jumlah nanggore ada 111 buah, lihat Matlr. no. 847/13.
3. K.P.H, van Langen, "De Inrichting van het Atjehsche Staatsbestuur Onder het Sultanaat",
PK1 37 (1888), hal. 390.
4. F.A. Liefrinck, "Eenige Mededeelingen Omtrent den Tegenv.oordigen Toostand van Atjenh
Proper", TNAG V (1888), hal 50
5. G.P. Rouffaer, "De huidoeslansch Oorsprong van het "Negenvoudig" Sultanszegel van
Atjeh", PK1 59 (1906), hal. 349 - 384.
6. C. Snouck Hurgronje, De Atjehers 1 (1893), hal. 91.
7. K.F.H, van Langen, Beknopt Alfabetisch Informatieboekje Groot Atjehsche Personen an
Aangeleheden. Kota-Radja (1897), hal. 16.
8. Di sini maksudnya yang berkaitan dengan Syarila Islam.
9. James T. Siegel, The Rope of God, Berkeley and Los Angeles (1969), hal. 30.
10. K.F.H, van Langen, op-cil, hal. 143.
11. James T. Siegel, op-cit, hal 9 47.
12. K.A. James, "De Pepercultuur ter Oostkust van Atjeh" Koloniale Studien (1922), hal. 370.
13. Ibid.
14. K.F.H, van Langen, op-cil., hal. 346 447.
15. Ibid., hal. 445 447.
16. J. Kreemer, "De Inkomsten van het Landschaps-bestuur in het Gewest Atjeh en
Onderhoorigheden"", De Indische Gids 42, (1920), hal. 123 124.
17. Ibid.
18. Ibid.
19. Ibid., hal. 125.
20. Ibid . hal. 130.
21. J.J.C .H. van Waardenburg, De Invloed van den Landbouw op Zeden de Taal en Letterkunde
der Atjehers, (1936). hal. 14.
22. K.A. James, Loc cil
23. K.F.H, van Langen, op cit.. hal 143 - 145.
24. Ibid. hal. 14
25 K.F.H, van Langen, op cit.. hal. 143.
26. Ibid., "De Inrichting" op. cit.. hal. 423 426.
27. D.W.N. Boer. "Het Recht op den Grond in Atjeh", Koloniaal Tijdschrift 21 (1932), hal. 76 -
77.
28. Ibid., hal. 78
29. Koloniaal Vorslug 1900, hal. 3.
30. Matlr. 688/1900.
31. Koloniaal Verslag 1905, hal. 19.
32. Lihat Regeeringsalmanak 1913, hal. 288.
33. Mailr. 353/09.
34. Ibid
35. Regeeringsalmanak 1918, hal 2ss
36. Mailr 234 10.
37. 1 ihat M.H. Du Croo dan H.J. Schmidt, Generaal \want Pacificator van 41/eh (1943). hal. 166.
38. Mfl//r 234/10
39. M.H. Du Croo dan H.J. Scmidt, op-cil . hal 167
40 I Kreemer, Atjeh II (1921), hal 167
41 Mailr 953'10
42 Ilml
43. Uuilr 688 1900. I i hal luga Kern papieren No 410 MLI t 1 ciden, hal. 167 169.
44 Koloniaal Vm/ag 1908. hal n

V
45. Algemeen Verskag van lic/ Onderwas in Sederhnda'h Indlt Ovei I92S. hal 16"
46 A.J Piekaai, Atjeh en dc Oorlog met lapan (1949), hal 29
47. Ibid.. hal. 12.
48. Ibid . hal. 8.
49. Vb. I - 2 - - 87. Mailr. 3225/20.
50. Moirr 1178/09.
51. Vb I - 2 - '21 - 87. Mailr. 3225/20.
52. Ibid.
53. Ibid
54. J. Kreemei, op cil., hal. 124.
55. Ibid , hal. 127
56 J.H. Heyl, De Peperculluur in Atjeh en Onderhortgheden, Kutaraja, hal. 31.
57 Surat Gubernur Jendral Hindia Belanda kepada Menteri Koloni 20 Juni 1909 no 53/1034.
58 AM
59. Malir 615/05

50
SOEWARDI SOERJANINGRAT DALAM PENGASINGAN
Oleh: Irna Hanny Hadi Soewito

Bahan makalah ini saya ambil dari Skripsi untuk memenuhi syarat guna
menempuh ujian sarjana Sastra dalam Ilmu Sejarah di Fakultas Sastra UI,
yang juga berjudul: Soewardi Soerjaningrat Dalam Pengasingan.
Bukannya tidak beralasan mengapa saya memilih judul itu, karena saya
ingin turut mengabadikan nama Ki Hajar Dewantara' dalam bentuk penulis-
an. Dalam lingkungan Taman Siswa itulah saya mengenal bermasyarakat dan
tahu apa arti kehidupan. Di kalangan Perguruan itu pula saya tidak hanya
'menderes' ilmu, tetapi juga mendapat kesempatan untuk mengembangkan
bakat dan memperoleh didikan jasmani serta rokhani.
Buku-buku, majalah, brosur maupun surat kabar yang menguraikan
riwayat hidup maupun perjuangan Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar
Dewantara telah banyak beredar dan diketahui oleh umum, namun belum ada
yang menulis secara lengkap, lebih-lebih penanganan arsip sebagai bahan
pelengkap, karenanya saya turut berusaha untuk menambah kelengkapan
karya tulis yang sudah ada.
Menangani sebuah arsip yang masih 'perawan'2 sungguh asyik dan me-
rupakan suatu kepuasan tersendiri. Saya bersyukur karena sayalah orang per-
tama yang mendapat kesempatan menyusun penulisan dengan menggunakan
bahan sumber asli. Saya telah menemukan banyak persoalan pribadi yang
belum pernah dipublisir, terutama mengenai surat dari teman-teman Soewardi
yang mengungkapkan berbagai macam persoalan. Arsip tersebut tidak
ditangani secara khusus, karena saya ingin menulis biografi Soewardi dipan-
dang dari suatu aspek tertentu. Semoga di lain kesmepatan Arsip Ki Hajar
Dewantara itu dapat diolah sebagai penunjang penulisan riwayat hidupnya.
Untuk menyusun makalah ini saya pergunakan beberapa sumber.
Sumber asli, ya'ni berujud arsip yang telah dipindahkan ke micro film, tersim-
pan di arsip Nasional, Jakarta Selatan, sedang aslinya di Museum Dewantara
Kirti Griya di Yogyakarta. Arsip ini berisi surat-surat keputusan pemerintah
Hindia Belanda, telgram, surat-surat biasa, catatan-catatan dan lain-lainnya.
Juga dari sumber primer, yaitu orang yang hadir pada peristiwa yang
diceritakan atau saksi pandangan mata. Saya juga menggunakan Kepustakaan
yang berupa buku, majalah, brosur, laporan, surat kabar dan dokumen
rahasia yang tersimpan di Perpustakaan Museum Pusat, Jakarta Pusat.
Kecuali itu, saya masih berkesempatan mengadakan wawancara dengan
Nyi Hajar Dewantara yang didampingi oleh Ratih Lahade (putra Ki Hajar)
pada tahun 1963 di Padepokan Dewantara Yogyakarta. Kemudian di tempat
yang sama saya keftibali pada tanggal 10 Desember 1979; waktu itu diterima
oleh Nyi Ratih, Ibu Soebroto Harjo Mataram (menantu Ki Hajar) dan Ibu
Wilis (murid dan juga menantu Ki Hajar).
Pada pertengahan bulan Desember 1979, saya pun bertemu dengan mas
Bambang Sokawati Dewantara (putra Ki Hajar) yang sekarang bertempat
tinggal di Kemayoran Serdang, RT 0010/RW 010 No. 3, Bu Darmi, Jakarta
Pusat.
Bapak Drs. Abdurrachman Soerjomihardjo, Ketua Masyarakat Sejarawan
Indonesia (MSI) Jakarta yang duduk dalam berbagai macam jabatan di
bidang ilmiah itupun tidak luput dari sasaran penulis untuk menjadi ter-

51.
wawancara. Kesempatan meminta keterangan beliau tidak terhitung berapa
kali, yang jelas sejak akhir Desember 1979 hingga yang terakhir pada tanggal
19 Oktober 1981 di LIPI LEKNAS, Jl. Gondangdia No. 39 Jakarta Pusat.
Sebelum menguraikan isi makalah secara singkat, tanpa mengurangi rasa hor-
mat saya kepada obyek penulisan ini, saya ingin mengemukakan suatu tang-
gapan terhadap tulisan Mochammad Tauchid yang menyatakan bahwa:
'Perlu dikenangkan sifat rendah hati Ki Hajar Dewantara yang tidak suka
mengemukakan nama dan menonjolkan diri dengan apa yang telah dibuatnya
.... Kerendahan hatinya mendekatkan Ki Hajar dengan masyarakat' (Sic).3
Membaca kalimat tersebut, semula memang biasa saja dan dapat
menerima, tetapi setelah saya kutip untuk keperluan skripsi, saya mendapat
pertanyaan yang jarang saya dengar, namun benar, dari Prof. Dr. Harsja W.
Bachtiar selaku pembimbing:
"Siapa yang memberi nama Ki Hajar Dewantara?"
t "Beliau sendiri, pada waktu berusia 40 tahun, pak."
"Apa arti ki, hajar dan dewantara?"
Kemudian saya uraikan satu-satu:
Ki yalah sebutan seorang guru (di kalangan Taman Siswa)
hajar artinya sama dengan pendeta
dewantara merupakan singkatan dari dewa antara
Jadi, menamakan dirinya semacam ini, apakah itu dapat dikatakan ren-
dah hati?4 Terus terang saja, saya jadi terdiam sebentar dan kemudian
mengemukakan bahwa adanya nama tersebut bukan hasil keputusan orang
yang rendah hati. Bagaimana pendapat para hadirin? Demikianlah sekelumit
pengalaman saya dalam menghadapi pendalaman pribadi Soewardi Soerjan-
ingrat.
Masalah kehidupan Soewardi ini cukup menarik. Tokoh nasional yang
lahir pada tanggal 2 Mei 1889 itu, sejak kecil menang bergaul dan bermain
bersama anak-anak di luar lingkungan kraton; hal yang sangat menyenangkan
dalam sebagian kehidupannya. Dia tergolong anak yang keras hati dan nakal.
Kenakalan seorang anak seusia dia. Hal itu dapatldilihat dari beberapa contoh
kejadian seperti berikut: Main layang-layang merupakan salah satu
kesenangannya. Pada suatu hari sebelum berangkat mengadu, layang-layang
tadi diberi tulisan: "Sapa sing nemoe iki, jen lanang dak pek sedoeloer, nek
wadon dak pek bodjo" 5 yang artinya 'Siapa yang menemukan ini, kalau laki-
laki saya anggap mau dara, jika wanita akan saya peristeri'. Kalimat tersebut
nampak biasa-biasa saja tetapi kalau kita telaah secara mendalam, maka
orang akan berpendapat bahwa kata-kata seperti itu biasanya ditulis oleh
anak yang sudah dewasa. Justru karena Soewardi masih tergolong kanak-
kanak, maka memberi kesan lucu dan bandel.
Sifat pemarah dan mudah terbakar sudah nampak sejak kecil. Bersama
teman-temannya, dia sering berkelahi melawan anak-anak Belanda di Yogya-
karta. Beberapa tata-cara kraton yang berlaku dalam lingkungan hidupnya
bertentangan dengan kemauannya.6

Latar Belakang Kehidupan.


Permaisuri Paku Alam ke-III melahirkan dua orang putera, ya'ni
Pangeran Soerjaningrat dan Pangeran Sasraningrat. Putra mahkota tersebut
tidak dapat mempergunakan haknya sebagai pengganti tahta ayahnya, karena
tuna netra. Namun dengan berbagai macam alasan, pemerintah Hindia Belan-
da menolak pencalonan Pangeran Sasraningrat untuk menggantikan
kedudukan kakaknya.

52
Karena tekanan-tekanan yang berwenang, maka akhirnya Kanjeng Ratu
Sepuh, yaitu janda Sri Ratu Paku Alam ke-I, yang dianggap sesepuh keluarga
mengajukan salah seorang cucu yang lain, sebagai pejabat Paku Alam ke-IV
yang kemudian diakui dan disahkan oleh GubernurJenderal Hindia Belanda.
Meskipun Sri Paku Alam ke-IV ini bukan keturunan permaisuri dan bukan
pula putra Sri Paku Alam ke-III, namun dia seorang 'priyayi' yang sudah
cukup lama berkecimpung dan berpengalaman di bidang kepamongprajaan.
Sedang kedua Pangeran putra permaisuri mendiang Sri Paku Alam ke-III
dianggap masih terlalu muda untuk dinobatkan sebagai pengganti ayah me-
reka. Ini berarti bahwa pemerintah kolonial Belanda telah memotong garis
keturunan raja dengan menyingkirkan Pangeran Soerjaningrat dan Pangeran
Sasraningrat. Tentu saja hal tersebut menimbulkan suatu akibat. Mereka ber-
dua merasakan berbagai macam perasaan dan bathin mereka memberontak
jika Residen terlihat hilir-mudik ke istana seperti di rumah sendiri.
Dengan adanya kabut kelabu yang meliputi alam pikiran kedua pangeran
tersebut, maka tumbuhlah keinginan mereka untuk mengenyam kebebasan
dan kedamaian hati. Sebenarnya mereka ingin memprotes, ingin memberon-
tak, namun mereka tidak berdaya. Mereka menghadapi intrik-intrik dan ha-
sutan-hasutan yang tersebar di dalam kraton. Pelajaran agama yang mereka
tekuni itulah yang menebalkan iman. Mereka menemukan kesadaran bathin,
bahwa yang lebih penting daripada mahkota yang hilang itu yalah hidup yang
aman, tenteram, tenang dan damai. Dari kisah tersebut dapatlaha diketahui
bagaimana jiwa kakak beradik Pangeran Soerjaningrat dan Pangeran Sasra-
ningrat itu tumbuh dan ditempa suasana sekitarnya.7
Mengikuti sekelumit data yang terurai tadi, maka saya berkesimpulan
bahwa salah satu sebab perjuangan politik Soewardi Soerjaningrat dalam
menentang pemerintah Hindia Belanda itu adalah merupakan akibat dari per-
jalanan hidup ayahnya yang kurang (beruntung dalam menggantikan tahta
kakeknya, yaitu Sri Paku Alam ke-III. Pernikahannya dengan Soetartinah,
putera Pangeran Sasraningrat itu pun mempunyai perhitungan tersendiri. Ke-
dua belah pihak keluarga telah bersepakat untuk menjodohkan kedua saudara
sepupu tersebut, dengan maksud agar keturunan Soerjaningrat-Sasraningrat
dapat menggantikan tahta Paku Alam. Namun Tuhan telah menggariskan ja-
lan hidup yang lain.
Setelah tamat dari Europeesche Lagere School yakni sekolah yang se-
tingkat dengan sekolah Dasar, maka Soewardi melanjutkan sekolahnya ke
STOVIA (School Tot Opleiding van Indische Artsen) yang dikenal dengan
sebutan Sekolah Dokter Jawa, di Batavia. Dia tidak sampai menamatkan pe-
lajarannya karena Bea Siswa yang diterima dari pemerintah, telah dicabut
dengan alasan bahwa kelancaran dalam kenaikan tingkat tidak berjalan se-
bagaimana mestinya, berhubung seringnya absen karena sakit.
Soewardi mulai berpindah-pindah pekerjaan, dari pabrik gula Kalibagor
di Banyumas, Jawa Tengah, beralih kerja di apotik Rathkamp, Yogyakarta.
Dia pun mengikuti pelajaran yang berhubungan dengan pekerjaannya dan
bermaksud untuk menjadi seorang 'apotheeker' yang ahli dalam meramu
obat. Kegiatannya berkorespondensi dengan berbagai surat kabar terutama
De Expres, terlalu banyak menyita waktunya, menyebabkan kurang tidur dan
tidak dapat menekuni pekerjaan yang sedang dihadapi, sehingga Kepala
apotik tersebut merasa wajib memecatnya.8 Kecuali itu, masih ada alasan lain
yang lebih penting yang rasanya tidak akan termaafkan. Soewardi pernah
salah dalam meramu obat.9 Akhirnya dia merasa lebih cocok berkecimpung
dalam persuratkabaran.

53.
Tulisan Yang Tajam.
Soewardi lebih tertarik pada lapangan jurnalistik daripada semua peker
jaan yang pernah ditangani. Pada tahun 1912 dia pindah ke Bandung atas per-
mintaan Douwes Dekker yang pada waktu itu memimpin harian De Expres.
Soewardi telah mengenalnya ketika masih belajar di STOVIA dan Douwes
Dekker adalah Redaktur Batavias Nieuwablad. Surat kabar yang bersifat
bebas dan tidak menurut haluan penguasa kolonial tersebut, banyak menarik
simpati para murid Sekolah Dokter Jawa. Pada waktu itu mulailah terjalin
suatu persahabatan antara Tjipto Mangoenkoesoemo, Douwes Dekker dan
Soewardi Soerjaningrat yang selanjutnya dipupuk terus.10
Tulisan Soewardi Soerjaningrat yang berjudul "Als ik eens Nederlander
was'u (Andaikata aku seorang Belanda), merupakan pisau tajam yang
mengirim perasaan para pejabat pemerintah pada waktu itu (tahun 1913).
Lewat wadah Inlandse he Comit tot Herdenking voor Nederlands honderd-
jarige Vrijheid atau 'Panitia Peringatan 100 tahun Kemerdekaan negeri Belan-
da' yang dikenal dengan nama Comit Boemi Poetera, Soewardi bersama Dr.
Tjipto Mangoenkoesoemo dan E.F.E. Douwes Dekker menyadarkan
masyarakat luas, akan ketidakadilan pemerintah Hindia Belanda terhadap
golongan pribumi. Dengan tulisan-tulisan yang berani, mereka menyadarkan
bangsanya untuk mengerti apa arti Persatuan dan Kemerdekaan.
Tulisan yang merupakan kritik pedas bagi pemerintah itu kemudian disita
oleh yang berwajib. Dr. Tjipto kemudian menyerang pemerintah dengan
tulisannya yang berjudul "Kracht of Vrees" "Kekuatan atau Ketakutan".
Antara lain dia bertanya, apakah tindakan yang berwenang dan sikap polisi
yang secara kasar memeriksa kantor Comit itu merupakan pameran kekuat-
an ataukah karena ketakutan?12
Soewardi pun tidak tinggal diam. Dalam surat kabar De Expres tertang-
gal 28 Juli 1913, dia menulis sebuah artikel "Een voor allen, maar ook allen
voor een" 'Satu untuk semua tetapi juga semua untuk satu'. Soewardi
mengajak bangsanya untuk selalu siap dalam menghadapi kemungkinan. Kita
harus mempunyai kekuatan dan kepribadian dalam menghadapi perjuangan
nasional ini.13 Menanggapi sikap kedua sahabatnya itu maka Douwes Dekker
dalam surat kabar yang sama tertanggal 5 Agustus 1913, telah menulis
karangan yang berjudul "Onze Helden: Tjipto Mangonkoesoemo en R.M.
Soewardi Soerjaningrat" 'Pahlawan-pahlawan kami: Tjipto
Mangoenkoesoemo dan R.M. Soewardi Soerjaningrat'.14
Karena tulisan-tulisan tajam dan tindakan mereka yang dianggap menen-
tang kebijaksanaan pemerintah dan mengganggu ketertiban umum (Peraturan
Pemerintah No. 47), maka dengan mendapat persetujuan Raad Nederlandch
Indi (Majelis Hindia Belanda) maka Raad van Justitie (Majelis Hakim)
memutuskan bahwa Dr. Tjipto Mangoekoesoemo harus menetap di Banda,
keresidenan Amboina, R.M. Soewardi Soerjaningrat ke Bangka dan E.F.E.
harus segera berangkat ke Kupang, Timor.15 Tetapi menurut ketentuan yang
ada, apabila diinginkan, mereka boleh meninggalkan Hindia Belanda.
Karenanya berdasarkan persetujuan dan atas kehendak mereka bertiga, maka
dipilihnya negeri Belanda sebagai tempat pengasingan, dengan pertimbangan
agar di negeri tersebut mereka dapat melanjutkan kegiatan politiknya.

Pers Dan Perjuangan.


6 September 1913, tepat pada hari ulang tahun Indische Partij, ber-
tolaklah mereka dari pelabuhan Tanjung Priok Batavia: Dr. Tjipto

54
Mangoenkoesoemo, E.F.E. Douwes Dekker dan R.M. Soewardi Soerjan-
ingrat beserta keluarga. Keberangkatan keluarga mereka dimungkinkan oleh
adanya pengumpulan uang secara suka rela dari para anggota Indische Partij,
Boedi Oetomo dengan tuduhan tanpa bukti dan tidak diberi kesempatan un-
tuk membela diri.
Dalam pengasingan itu, mereka bertiga mendapat kesempatan untuk ter-
jun kembali di bidang persuratkabaran. Dr. Tjipto bersama Douwes Dekker
memimpin majalah De Indir yang bercorak politik radikal; 16 sedangkan
Soewardi yang SEJAK TAHUN 1912 memang senang menulis, maka sesuai
dengan niatnya dia pun aktif membantu surat kabar, mingguan serta majalah
yang terbit di negeri Belanda dan juga di tanah air sendiri. Tulisannya ter-
dapat di Koloniale Weekblad, mingguan Indie, Nederlandsch Indie Oud en
Niew, Hollandsch Revue, majalah bergambar Panorama dan Wereld Kroniek.
Soewardi juga membantu De Beweging yang merupakan majalah bulanan di
Amsterdam. De Indir di mana kedua sahabatnya bekerja, De Nieuwe
Courant pimpinan D.M.G. Koch yang merupakan sebuah harian terutama
bagi pembaca di Hindia, Nieuwe Amsterdammer, Croene Amsterdammer,
Het Volt,11 Bataavache Nieuwsblad di Batavia pimpinan F.H.K. Zaal berg,
Oetoesan Hindia, sebuah harian di Surabaya, De Expres di Bandung dan
masih beberapa lagi yang lain.
Haji Oemar Said Tjokroaminoto yang dikenal sebagai pemimpin Sarekat
Islam dan kemudian juga sebagai bekas mertua Bung Karno (Presiden
Republik Indonesia I), selaku pimpinan harian Oetoesan Hindia di Surabaya,
telah membalas surat Soewardi yang beralamatkan Laan van Meerdervoort
No. 224, Den Haag. Tjokroaminoto telah menerima surat Soewardi tertanggal
21 September 1913. Melihat jawabnya Tjokroaminoto, maka saya berkesim-
pulan bahwa Soewardi dalam suratnya menyatakan kesanggupannya untuk
tetap membantu harian tersebut. Dalam surat balasannya tertanggal 12 Okto-
bei 1913 itu, Tjokroaminoto menyatakan bahwa dengan senang hati dia akan
menyisihkan f. 25, (dua puluh lima gulden) setiap bulan dan mengirimkan-
nya ke alamat Soewardi. Selanjutnya dikatakan pula bahwa uang tersebut
hendaknya jangan dianggap sebagai honorarium karena keuangan Soewardi
dinilai lebih berharga daripada jumlah uang yang dia kirim. Andaikata usaha
yang dipimpin Tjokroaminoto nanti mengalami kemajuan, tentu Soewardi
akan mendapat imbalan lebih daripada apa yang telah dikemukakan tadi. 18
Kesanggupan pimpinan Oetoesan Hindia itu berarti suatu sumber baru yang
dapat menambah penghasilan keluarga Soewardi di negeri asing.
Hidup terasing di negeri asing bersama teman-teman senasib, memang
mempunyai corak nafas tersendiri tetapi sungguh terasa sangat beratnya. Me-
reka tidak mendapat bantuan pemerintah, dengan alasan karena tidak mau
menerima putusan pembuangan ke Bangka, Banda maupun Kupang, Timor.
Dana TA DO yang merupakan sokongan tetap dari Indische Partij, sangat
membantu kehidupan mereka.
TA DO adalah singkatan dari Tot De Onafhankelijkheid yang berarti
'Sampai Merdeka' Banyak juga yang mengatakan bahwa TADO merupakan
singkatan dari Tot Aanmoediging Der Opstandelingen yang artinya 'Untuk
membesarkan hati para pemberontak' Yang dimaksud dengan 'pemberon-
tak' di sini yalah mereka yang melawan kebijaksanaan pemerintah kolonial.
Dana tersebut diberikan kepada mereka yang memerlukan bantuan hidup. 19
Sementara itu, Douwes Dekker telah pula berhasil usahanya dalam men-
cari bantuan pemerintah melalui F H T Pleyte Menteri Jajahan yang
berkedudukan di 's-Gravenhage. Dalam suratnya kepada Douwes Dekker ler-

15
tanggal 15 Juli 1914, dia menjelaskan bahwa Gubernur Jendral memerin-
tahkan agar setiap bulan, instansinya mengirimkan uang sejumlah f. 175,
(seratus tujuh puluh lima gulden) sebagai sokongan untuk Douwes Dekker,
selama berstatus sebagai tahanan. Untuk R.M. Soewardi Soerjaningrat ber-
jumlah f. 75, (tujuh puluh lima gulden) dan untuk Dr. Tjipto Mangoenkoe-
soemo f. 125, (seratus dua puluh lima gulden) selama enam bulan. Setelah
pembayaran tersebut berakhir dalam jangka waktu yang telah ditetapkan,
maka mereka dapat memperpanjang permintaan untuk mendapatkan sokong-
an selanjutnya.20 Untuk mengatasi kesulitan hidup, maka ketiga tokoh politik
tersebut beserta keluarga untuk sementara tinggal serumah dan saling menun-
jang.
Atas bantuan dari Sosiaaal Democratische Arbeiders Partij (Partai Buruh
Sosial Demokrat), maka mereka sering mengadakan ceramah di Paleis voor
Volkslijt, yakni sebuah gedung di Amsterdam, di mana umum dapat
mengadakan sesuatu kegiatan. Penjelasan tentang keadaan tanah air, mem-
buka mata yang hadir. Ceramah yang berjudul "Protes terhadap koloniali",
menjadikan sebagian kecil rakyat Nederlands turut memikirkan persoalan na-
sional kita, yakni: Bagaimana seharusnya dengan Hindia Belanda? Pada
kesempatan yang lain, gedung Diligentia di Den Haag penuh dengan hadirin
yang ingin mendengarkan suara ketiga tokoh politik dari negeri jajahan yang
namanya akhir-akhir itu menjadi topik sejumlah surat kabar Hindia maupun
negeri Belanda. "Apapun yang terjadi, akan kami hadapi.... Makin berat dan
sukar, makin baik karena itu akan memperpendek jalan menuju kemerdeka-
an; dan sekarang kami sudah dalam perjalanan ...." demikianlah Tjipto yang
disambut dengan tepuk tangan panjang para hadirin.21
Melihat kelincahan Soewardi dalam mengolah berita, maka Wakil Kepala
Centraal Bureau voor Sosiale Adviezen (Biro Pusat Penasehat Sosial) di
Amsterdam, dalam suratnya tertanggal 8 Agustus 1918, menyatakan ingin
menarik Soewardi agar mau membantu dan bekerja sama dengan bironya.
Hal itu dikemukakan berhubung adanya pergerakan politik di Hindia Belanda
dan Soewardi diminta untuk memberi penerangan. Tawaran tersebut
diterimanya, karena penerangan semacam itu merupakan pekerjaannya.
Namun dia mengajukan syarat, yaitu tidak mencantumkan nama pada
tulisan-tulisannya.22
Ini memang dapat dimaklumi, agar penulis tidak begitu mendapat perha-
tian dari pembaca, mengingat statusnya sebagai seorang buangan politik.
Pemerintah Belanda pernah memperingatkan para mahasiswa di negerinya,
terutama yang datang dari Hindia yang tindakannya ataupun tulisannya
dianggap merugikan pemerintah, tidak diperkenalkan lagi menerima kiriman
dan bantuan berupa apapun dari orang tua maupun para penanggung jawab-
nya. Itulah sebab mengapa para penulis menjadi lebih berhati-hati, jarang
mencantumkan nama, meskipun hanya berupa inisial saja.
Kecuali itu, nama Soewardi juga tercatat sebagai pembantu Nederlandsch\
Correspondentie-bureau (Biro Koresponden Belanda), di mana dia banyak
mendapat bahan berita penting dan kemudian menyampaikan laporannya
pada harian-harian terkenal (seperti yang tersebut tadi). Hubungan baik
Soewardi dengan Pers Melayu di tanah air, memperlancar serta memudahkan
urusan yang dikelolanya.23
Nederlandsch Zuid-Afrikaansch Pers Bureau (Biro Pers Afrika Selatan di
negeri Belanda) mempunyai sebuah majalah yang telah berusia 11 (sebelas)
tahun, dan ini memerlukan seorang penulis, ahli budaya dan sastrawan yang
dapat menggambarkan keindahan pemandangan di Hindia; pada hal semua

56
persyaratan tersebut terdapat pada diri Soewardi, jadi dia pulalah yang ter-
pilih sebagai pembantu.24
Majalah Oost en West yang mempunyai banyak pembaca di Barat
maupun di Timur, setelah puas menerima laporan dari Soewardi tentang "De
Indische Congres" (Kongres bangsa Hindia) di Wageningen, pengurusnya
memintanya agar lebih sering mengirimkan karangan, asal bersifat obyektif
dan tidak terlalu bernada keras.23
Begitu banyak waktu yang dituntut untuk keperluan tulis-menulis,
namun Soewardi masih juga sempat menyisipkan kesempatan untuk mem-
balas surat-surat yang datang dari tanah air. Bukan hanya yang berhubungan
dengan persuratkabaran, melainkan persoalan-persoalan pribadi yang diper-
cayakan kepadanya, mendapat tanggapan dengan penuh kesungguhan.
Misalnya surat yang datang dari Rijken, Zielmans dan van Leeuwen, yang
mengadukan tentang keguncangan yang sedang melanda tubuh De Expres.
Kepada mereka bertiga yang merupakan teman baik di Bandung, Soewardi
menyarankan agar tidak terlalu berprasangka kepada rekan yang mereka se-
but dengan inisial W, sebelum benar-benar terbukti kesalahannya.26 Apakah
huruf W tersebut merupakan singkatan nama dari Wesselius, saya kurang
memperoleh bukti. Namun berprasangka, mengingat bahwa tidak ada orang
penting yang berinisial W, kecuali Wesselius. Dia adalah pemimpin perce-
takan De Eerste Bandoengsche Publicatie Mastschappij, penerbit harian De
Expres. Sayang sekali bahwa surat sejumlah 5 (lima) lembar tersebut tidak
menjelaskan apa persoalannya.
Pada tanggal 17 Agustus 1917, keputusan hukuman buang atas diri ketiga
tokoh politik: Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, R.M. Soewardi Soerjaningrat
dan E.F.E. Douwes Dekker telah resmi dicabut oleh pemerintah Hindia
Belanda. Namun tiadanya angkutan berhubung situasi Perang Dunia ke-II
(1914 1918), maka kepulangan mereka ke tanah air terpaksa tertunda.
Soewardi tidak tinggal diam. Walaupun dia sudah membantu berbagai
macam biro, surat kabar dan majalah, tetapi masih sempat mendirikan kantor
berita yang diberi nama Indonesisch Pers Bureau (Biro Pers Indonesia). Kan-
tor tersebut beralamat di Fahrenheitstraat No. 473, Den Haag; di situ pulalah
tempat tinggalnya.
Untuk mendirikan dan membina Biro Pers ini, Soewardi telah meminjam
sejumlah uang f. 500, (lima ratus gulden) kepada H. van Kol, anggauta
parlemen Belanda yang pernah bekerja di Departemen Pekerjaan Umum di
Jawa. Dia mempunyai perhatian pada perjuangan Soewardi dan kawan-ka-
wannya. Ada pun uang yang dipinjam tersebut akan dikembalikan secara ber-
tahap pada setiap tanggal 1 (satu), sejumlah f. 25, (dua puluh lima gulden)
hingga lunas. Dalam hal ini van Kol mengatakan, bahwa satu-satunya sumber
sampingnya yalah dari andeel atau bagian hasil perkebunan kopi di Jawa.
Meskipun beberapa tahun berakhir mengalami hambatan karena macetnya
export, tetapi demi teman baik, maka dia tidak akan membiarkan Soewardi
dalam kebingungan menghadapi masa-masa permulaan usaha yang sulit. Van
Kol akhirnya mengirimkan weselpos sejumlah uang yang diminta dan
mengharap agar Soewardi segera mengirimkan tanda bukti penerimaan uang
tersebut.27
Lahirnya Indonesisch Pers Bureau mendapat sambutan yang cukup baik
dari kalangan pers, di Nederland. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya surat
kabar Belanda yang menulis tanggapannya berhubung dengan penerbitan
nomor pertama terutama berita tentang Hindia Belanda. Seberapa perhatian
masing-masing, dapat dilihat dari besar kecilnya kolom yang digunakan.

V
Biro Pers yang didirikan Soewardi itu, bukan hanya semata-mata ber-
fungsi sebagai kantor berita, tetapi juga menjadi Badan Perjuangan Politik
dan Kebudayaan bangsa Indonesia. Jadi merupakan alat pergerakan nasional.
Biro yang dibina atas usaha sendiri kadang menerima bantuan uang, tetapi
dengan syarat: tanpa mengharap imbalan ikatan yang berupa apapun. Dia
bekerja sama dengan beberapa badan, seperti pers Belanda, Badan Penerbitan
dan partai-partai politik di negeri itu yang menaruh simpati kepada per-
juangan kemerdekaan bangsa Hindia.28
Setelah mengetahui bahwa Soewardi mendirikan Indonesisch Pers
Bureau, maka orang yang sejak semula sudah mempunyai perhatian, yakni
G.H. Fromberg* yang beralamat di Bourbon straat No 16 - Charlotte, pada
tanggal 29 Nopember 1918 berkirim surat kepada Soewardi dan menyatakan:
apakah mau atau bersedia mencetak tulisannya yang berjudul "Het Geval
Soewardi" 'Peristiwa Soewardi' menjadi brosur; jika tidak maka
Fromberg akan mengirimkan ke majalah De Gids.2** Tentu saja maksud baik
tersebut oleh Soewardi diterima dengan senang hati. Soewardi telah benar-
benar menekuni pekerjaannya. Tulisan yang mendapat tempat di hati pemba-
ca, membuat dia lebih bersemangat dalam menghadapi tantangan hidup.
Kecuali memang senang, Soewardi juga mengandalkan imbalan yang telah
dan akan diterimanya dari hasil guratan penanya.
Dengan menulis, orang dapat mencurahkan segala rasa, menguraikan
pikiran dan melegakan hati. Soewardi yang memilih Pers sebagai alat per-
juangan, ternyata telah banyak menulis, tulisan yang hingga kini sangat
berharga untuk diteliti dan dipelajari.

Kegiatan Bersama Mahasiswa.


Indische Vereeniging didirikan pada tahun 1908 di Den Haag, atas
prakarsa R. Soemitro, seorang bangsawan Jawa, bersama dengan R. Soetan
Casajangan Saripada, dari Mandailing. Adapun anggautanya Indische
Vereeniging bukan hanya berasal dari suku bangsa di kepulauan Hindia saja,
melainkan ada juga yang berasal dari keturunan Cina maupun Belanda. Dr.
Tjipto Mangoenkoesoemo, R.M. Soewardi Soerjaningrat dan E.F.E. Douwes
Dekker termasuk Anggauta yang sering muncul di dalam pertemuan yang
drselenggarakan oleh perkumpulan tersebut. Selain kesadaran dari para ang-
gautanya, maka beberapa orang Belanda yang menaruh simpati, sangat men-
dukung kemajuan daripada Perkumpulan Bangsa Hindia itu.30

Fromberg adalah anggauta senior dalam Mahkamah Agung Hindia Belanda ( Oud raadsheer i/h
Hoogererechlshof van Nederlands-Indiie), yang menanggapi keputusan Pengadilan atas diri
Soewardi yang dianggap tidak sebagaimana biasa. Dia katakan bahwa sesungguhnya ada
larangan yang diatur oleh Undang-undang, misalnya Peraturan Pemerintah No. 81 yang
melarang pemerintah turut campur secara langsung dalam bidang Pengadilan; tetapi karena
Penuntut Umum merupakan alat Pemerintah, maka keputusan Hakim yang mempunyai sifat
tidak dapat diganggu gugat, dilanggar oleh kekuasaan exekutif. Sebenarnya perkara Soewardi
tersebut dapat ditinjau menurut hukum, tetapi kalau hal itu ada pertanggungan jawab
politiknya, maka persoalannya lalu menjadi lain. (Lihat P H . Fromberg, 1926, "Het Geval
Soewardi", Versprei de Geschriften, Leiden, him)

58
Adanya Indonesisch Pers Bureau di rumah Soewardi, menyebabkan ma-
kin eratnya antara keluarga tersebut dengan para mahasiswa. Mereka juga ser-
ing bersama mempelajari kesenian Jawa, yang hasilnya sekali-kali diper-
tunjukkan pada waktu-waktu tertentu. Pernah Indische Vereeniging menye-
lenggarakan Malam Kesenian yang disebut De Watersnood Avond yaitu
Malam Dana yang hasilnya mereka sumbangkan kepada para korban banjir di
tanah air. Pertunjukan perdana diselenggarakan pada tanggal 15 Maret di
Koninglijke Nederlands Schouwburg, yakni gedung sandiwara di
's-Gravenhage.31
Kecuali itu, ketika di Utrecht diadakan suatu pertunjukan gabungan yang
disebut Groot Nederlandsch Uitvoering yaitu "Pertunjukan besar di negeri
Belanda', di mana Indische Vereeniging berkesempatan juga untuk mengisi
acara dalam nomor Javaansche Muziek, Zang en Dans yalah 'Gamelan', Gen-
ding dan Tari Jawa', maka Soewardi pun ikut serta sebagai pengendang.
Karena pergaulan sehari-hari yang begitu eratnya, dan berdasarkan
pertimbangan yang masak, Soewardi kemudian diangkat sebagai Ketua
Redaksi Hindia Poetra, yakni majalah dari Indische Vereeniging. Soewardi
dianggap satu-satunya anggauta yang mampu mencari jalan keluar untuk
mengatasi kesukaran keuangan. Dia dipandang telah matang serta terbiasa
dalam menghadapi keadaan yang bagaimanapun sulitnya.32
Untuk mempertahankan kehidupan Hindia Belanda. Soewardi mengha-
rapkan hasil dari pemasangan iklan dan pemasukan uang dari para langganan.
Pembaca majalah bulanan tersebut ada beberapa macam, yaitu langganan
tetap, para pendatang dari Hindia yang begitu banyak jumlahnya di negeri
Belanda, para anggauta Indische Verbond van Studerrenden (Perkumpulan
Pelajar-pelajar Hindia) dan para pembaca di Hindia.
Hindia Poetra kemudian mencetak monografi, yakni karangan mengenai
suatu bab tertentu, kemudian dijilid berupa brosur yang diperdagangkan
dengan harga murah dan terjangkau oleh kantong rakyat. Adapun brosur
pertama berjudul "Het eerste Congres van het Indonesisch Verbond van
Studeer enden' (Konggres pertama dari Perkumpulan Pelajar-pelajar Hindia).
Dengan demikian maka jelaslah bahwa pembeli utama yang dapat diharapkan
yalah ke-700 orang anggauta dari perkumpulan itu sendiri dan mereka yang
mempunyai hubungan dengan Hindia.
Harga setiap brosur hanya f. 25, Bagi para pemasang iklan, diberi ke-
ringanan dengan menyodorkan harga f. 20, Soewardi mencantumkan tarif
dengan persyaratan sebagai berikut: Setiap satu halaman f. 30, setengah
halaman f. 20, seperempat halaman f. 12,50 dan seperdelapan halaman f.
7,50. Pemasangan iklan sebanyak tiga kali berturut-turut mendapat keringan-
an 20%.33
Melihat rencana kerja yang telah dilaksanakan tersebut, maka jelaslah
bagi kita, bagaimana uletnya Soewardi dalam memikirkan pemasukan uang,
demi ketahanan hidup Hindia Poetra. Majalah tersebut mengutamakan berita
perkembangan masyarakat di Hindia. Untuk memenuhi pengisiannya, maka
redaktur menjalin berita-berita dari surat kabar yang terbit di Hindia,
misalnya: Oetoesan Hindia, Medan Boediman dan yang lain-lain.
Berbagai surat telah dia terima dari teman-teman sebangsa maupun dari
bangsa asing, tentang persoalan pers ataupun yang bersifat pribadi, tetapi
sepucuk surat telah melayang ke Fahrenheitstraat 473, yang mempunyai arti
tersendiri bagi Soewardi. Surat tersebut datang dari Indische Vereeniging yang
beralamat di Havenstraat No. 6 A, Delf. Adapun isinya menyatakan keperca-
yaan para pengurusnya untuk menangkat Soewardi Soerjaningrat menjadi Ar-

59
chiefaris (pemegang arsip) Indische Vereeniging, dengan honorarium se-
jumlah f. 7,50 (tujuh gulden lima puluh sen) untuk setiap bulannya.34
Surat pengangkatan yang ditandatangani oleh Goenawan
Mangoenkoesoemo selaku Ketua dengan Sekretaris Soerjomihardjo tersebut
hanya berupa sepucuk kartupos. Memang mengherankan jika satu surat
pengangkatan resmi ditulis hanya pada kartupos saja. Namun hal semacam
itu di tahun 1915an merupakan hal biasa yang tidak perlu diherankan.35
Di samping kesibukannya dalam mengurus persoalan pers dan membantu
berbagai macam biro, namun Soewardi masih juga dapat menyempatkan diri
untuk mengikuti pelajaran Sekolah Guru yang diselenggarakan oleh Menteri
Dalam Negeri di 's-Gravenhage. Akhirnya pada tanggal 12 Juni 1915 dia men-
dapat ijazah yang disebut Akte van bekwaamhaid als Onderwijzer^ (Ijazah
Kepandaian Mengajar).
Mendengar bahwa Soewardi telah lulus ujian, maka Douwes Dekker
(yang ada pada waktu itu sedang menekuni Staatshuishoud kunde 'Ilmu
Ekonomi' dan kemudian memperdalam Etantswetenschap 'Ilmu Tata Ne-
gara'37 mengirim surat yang berisi peringatan kepada sahabatnya, agar tidak
lagi memuat persoalan politik. Disarankan pula agar Soewardi segera datang
menemui Proelstrai yang anggauta Parlemen itu, untuk mengajukan
permohonan menjadi pengajar serta mau menerima penempaan di mana saja,
walau harus mengajar di sekolah swasta sekalipun. Soewardi dipesan supaya
benar-benar dapat mempergunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya.38
Conrad Theodor van Deventer, yang pernah ditugaskan oleh pemerintah
Hindia Belanda menangani bidang ekonomi rakyat Jawa Madura dan yang
merupakan salah seorang yang memperhatikan kepentingan serta nasib
pribumi, telah menyarankan agar Soewardi mau menjadi guru Hollands In-
landsche School (setingkat Sekolah Dasr) di Bangka; atau pulang ke Jawa se-
bagai pegawai pemerintah. Dia akan menerima uang sejumlah f. 200, (dua
ratus gulden) kalau mau pergi dan tawaran itu akan dinaikkan lebih tinggi
lagi.
Douwes Dekker pun menyetujui saran dari van Deventer yang mendapat
dukungan dari Pleyte, selaku Menteri Jajahan. Maksudnya agar sahabatnya
itu mengalami masa depan yang baik. Selanjutnya Douwes Dekker meminta
supaya keputusan Soewardi tidak berdasarkan emosi, melainkan dengan
pemikiran yang sehat.39
Namun bagaimanapun manisnya madu bujukan, tetapi putra Soerjaning-
rat yang keras hati ini tetap menolaknya. Perkembangan pikiran setelah
berkecimpung di lapangan pendidikan tidak hanya sampai di situ, Soewardi
sependapat dengan isterinya, bahwa perjuangan tidak selamanya dilakukan
dengan kekerasan tetapi dapat dikerjakan dengan cara lain cara halus untuk
melumpuhkan kekuatan musuh itupun disebut berjoang. Dia pun
mengarahkan pandangannya ke jalan lain.
Waktu yang tersisa dipergunakan Soewardi untuk membaca Sasaran
kepustakaan mengenai pendidikan dan pengajaran yang menarik perhatian
itulah yang membuat dia mengenal tokoh-tokoh seperti Frbel, yang men-
didik anak-anak menurut kodratnya yaitu bebas dalam bertindak.40 Soewardi
juga mengenal Montessori, seorang ahlipendidikltalia yang mementingkan
adanya kebebasan dan spontanitas anak, dan mengarahkannya pada ke-
cerdasan budi.41 Lain pula pendapat Rabindranath Tagore, dia berpendapat
bahwa pendidikan itu hanya merupakan alat dan syarat untuk memperkokoh
hidup kemanusiaan dalam arti yang sedalam-dalamnya, yaitu yang menyang-

60
kut keagamaan.42 Jadi menurut dia, yang menjadi bekal ini ialah tekad dan
kepercayaan.
Bagi Soewardi, ketiga tokoh tersebut dianggapnya sebagai penunjuk
jalan baru. Langkah mereka sesuai dengan apa yang sedang dipikirkannya.
Soewardi meletakkan dasar kemerdekaan, sebagai azas pendidikan anak-
anak, karena dia sadar bahwa mengisi jiwa merdeka pada anak-anak negeri
jajahan, berarti mempersenjatai bangsa tersebut dengan keberanian berjuang
dan inilah yang merupakan senjata yang paling ampuh di antara segala macam
senjata yang ada Soewardi menyadari bahwa perjuangan merebut kemer-
dekaan bangsa dan mempertahankan kemerdekaan itu sendiri, hanya dapat
diperoleh dari orang-orang yang berjiwa merdeka.
Sistim pengajaran kolonial akan menyebabkan bangsa Hindia selalu ter-
gantung pada keinginan orang Barat. Keadaan tersebut tidak akan lenyap jika
hanya dilawan dengan kekerasan politik saja. Itulah sebabnya maka pen-
didikan dan pengajaran nasional sangat diperlukan.43 untuk mendidik anak-
anak pribumi, agar kelak menjadi penegak keluhuran tanah air dan bang-
sanya sendiri.
Soewardi Soerjaningrat meskipun berkecimpung dalam dunia pen-
didikan, namun masih mengarahkan pandangannya ke dunia politik. Setelah
kembali ke tanah air dari pengasingan, maka dirintislah sebuah pendidikan
yang lain daripada sistim pendidikan nasional. Sesudah mengalami berbagai
macam rintangan, akhirnya berdirilah sebuah Perguruan Nasional Taman
Siswa, itulah hasil perjuangannya.

61
KESIMPULAN
"Semakin tebal perasaan rakyat tentang harga dirinya semakin men-
dalamlah hati mereka menghadapi suasana yang semacam itu. Hampir dapat
dipastikan bahwa gerakan-gerakan rakyat yang timbul di tanah Jawa pada
waktu-waktu yang akhir ini, adalah juga menuju ke arah itu ...' ,44
Demikianlah D.M.G. Koch dalam bukunya Menuju Kemerdekaan (1951)
yang aslinya berjudul: Om de Vrijheid
Gerakan rakyat yang dimaksud, termasuk gerakan yang dipimpin oleh
Soewardi Soerjaningrat bersama kawan-kawannya. Pada waktu itu, termasuk
suatu keberanian jika seorang pribumi menentang kebijaksanaan pemerintah.
Hal demikian biasa terjadi jika timbul kesadaran akan adanya pertentangan
ideologi. Gerakan tersebut untuk membebaskan diri dari "cengkeraman"
penjajah, dalam hal ini pemerintah Hindia Belanda.
Pada masyarakat yang masih melihat kebangsawanan sebagai suatu nilai
yang berharga, maka terjunnya R.M. Soewardi Soerjaningrat ke dalam
bidang politik, cepat dapat mempengaruhi para pengikutnya dan sekaligus
merupakan suatu perisai yang menyebabkan pemerintah Hindia Belanda tidak
dapat berbuat sesukanya. Walaupun menurut kenyataan sebagian besar
keputusan pemerintah terhadap diri Soewardi dapat terlaksana, namun masih
ada tindakan kekerasan yang terbatas karena keseganan. Justru kebangsa-
wanan Soewardi inilah yang membuat dia tidak dapat menerima tekanan-
tekanan bathin yang terasa di jaman itu; dia berasal dari keluarga yang masih
memiliki kekuasaan dan biasa memerintah.
Jiwa kemerdekaan yang ingin dipertahankan serta dikembangkan, sama
dengan semangat nasionalisme bangsanya. Perjuangan Soewardi untuk men-
capai cita-cita bangsa yang bebas merdeka itu dijalankan melalui beberapa
bidang, yaitu: jurnalistik, politik, pendidikan dan kebudayaan. Dalam bidang
jurnalistik, dia terkenal dengan penanya yang tajam sehingga berulang kali
mengalami kehidupan di penjara, dengan tuduhan: telah mengadakan
pelanggaran hukum pers (pers delict). Tulisan yang berjudul Als ik eens
Nederlander was (andaikata aku seorang Belanda), merupakan guratan yang
berbau politik yang menyentik kebijaksanaan pemerintah. Anehnya, tulisan
Soewardi tersebut tidak pernah mendapat tanggapan resmi dari yang berwa-
jib.
Tekanan-tekanan dari luar tidak meredakan semangatnya, malahan jus-
tru membakar jiwa dalam mencari jalan bagaimana cara diktatiknya untuk
melepaskan diri dari genggaman pemerintah kolonial. Hukuman buang yang
dia terima malahan membawa hikmah dalam kehidupannya. Keadaan sekitar
telah membuatnya lebih matang dalam menghadapi serta mengolah segala
macam persoalan yang dia hadapi. Soewardi menjadi orang yang sebar dalam
bertindak dan tenang dalam memutuskan sesuatu masalah.
Pengaruh putra Soewardi ini di kalangan masyarakat yang secara
subyektif yalah: meskipun dia seorang bangsawan, namun kerakyatannya
sangat menonjol. Pengaruh yang obyektif terlihat pada semboyan: mandiri
'berdiri sendiri', ini kemudian meresap dalam jiwa bangsa yang ingin memiliki
kepribadian nasional. Ternyata pula bahwa perlawanannya yang berdasarkan
non violent 'tidak dengan kekerasan', dapat mengalahkan kekerasan yang
dihadapi.

62
Harapan
Dalam meneliti kembali jejak perjuangan Soewardi Soerjaningrat, saya
bersyukur mendapat kesempatan yang masih langka diungkap, yakni
mengorek Arsip Ki Hajar Dewantara. Kebanyakan surat yang datang dari
teman-teman berbangsa asing, merupakan surat jawaban atas tulisan Soewar-
di yang dikirimkannya. Alangkah baiknya jika pihak arsip Nasional berusaha
untuk mendapatkan surat-surat Soewardi yang telah diterima oleh teman-
teman tersebut. Ini berarti menambah kelengkapan perbendaharaan arsip
yang telah ada.
Dari dokumentasi maupun catatan pribadi milik keluarga, tidak banyak
bahan yang saya peroleh, karena Soewardi pernah melarang keluarganya agar
tidak menulis tentang apa yang telah dilakukan: "Biar orang lain saja yang
menulis dan menilai apa yang dilakukan bapak", katanya.43 Bagi sejarawan,
hal itu merupakan pengurangan data sumber primer. Seyogyanya orang yang
mempunyai nama dalam percaturan nasional maupun internasional, mau
menulis riwayatnya atau paling sedikit mempunyai catatan, buku harian
ataupun semacamnya.
Marilah kita galakkan penelitian sejarah, agar terungkap peristiwa lam-
pau yang dapat dipelajari masa kini, sebagai bahan langkah ke masa depan.

63
CATATAN
1. Nama Soewardi Soerjaningrat setelah berusia 40 tahun.
2. Menurut istilah Abdurrachman Surjomihardjo dengan penjelasan bahwa arsip tersebut belum
pernah ditangani.
3. Moch. Tauchid, 1962, "Sipat rendah hati Ki Hadjar Dewantara", Pusara, (jilid XXIII, No. 3
4, Mei Juli), Jakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, him. 22.
4. Konsultasi dengan Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar, 8 Januari 1981, Konsorsium Fakultas Sastra
UI.
5. Dari catatan pribadi milik Ki Sajoga (saya pinjam tahun 1963), Majelis Luhur Taman Siswa,
Yogyakarta.
6. Pranata Ssp., 1959, Ki Hadjar Dewantara Perintis Perjuangan Kemerdekaan Indonesia,
Djakarta: Balai Pustaka, him. 36.
7. Nukilan bebas dari B.S. Dewantara, 1979, Nyi Hajar Dewantara Dalam Kisah dan Data, Jakar-
ta: Gunung Agung, him. 15 21.
8. Liefrink (Residen Jogja), 1913, Nota De betreffende Goschriften van Douwes Dekker, him. 144
9. Pengakuan Ki Hajar, menurut keterangan B.S. Dewantara.
10. Lihat Margono Djojohadikusumo, 1973, Dr. E.F.E. Douwes Dekker, Jakarta: Bulan Bintang,
him. 28
11. Lihat E.F.E. Douwes Dekker, Onze Verbanning, 1913, Schiedam: De Toekomst, him. 68 73.
12. Ibid, him. 73 75.
13. Ibid, him. 75 77.
14. Ibid. him. 79.
15. Lihat microfilm, 1913, Arsip Ki Hajar Dewantara, No. 85 arsip Nasional, Jakarta Selatan.
16. Frans Berding, 1913, "Wat we willen", De Indir, Tahun I No. 1, him. 2.
17. Arsip Ki Hajar, op. cit. No. 20
18. Ibid., No. 88
19. Persatoean Hindia, 8 Nopember 1919, Jogjakarta.
20. Arsip Ki Hajar, op. cit. 93
21. D. van der Neulen, 1977, "De Drie bannelingen", Hoort gij de donder nietl, Amsterdam: T.
Wever B.V. Franker, him. 23 25.
22. Arsip Ki Hajar, op. cit. No. 19 20.
23. Ibid., No. 20.
24. Ibid., No. 17.
25. Ibid., No. 26
26. Ibid (tidak jelas nomernya).
27. Ibid.. No. 12
28. Ki Hajar Dewantara, 1932, Dari Kebangunan Nasional sampai Proklamasi Kemerdekaan, him.
102
29. Arsip Ki Hajar, op. cit. 61
30. Lihat Harsja w. Bachtiar, 1976, "The development of a common national conciousness among
students from the Indonesians archipelago in the Netherlands", Majalah Ilmu-ilmu Sastra In-
donesia, jilid IV, No. 2 him. 31.
31. H. Francois, 1916 1917, "Oostersche Kunst", Hindia Poetra, 's-Gravenhage, him. 77 78.
32. Hindia Poetra, op. cit. him. 23.
33. Arsip Ki Hajar, op. cit. no. 22
34. Ibid. No. 114
35. Menurut keterangan Drs. Abdurrachman Surjomihardjo, April 1980, LEKNAS LIPI, IL
Gondangdia 39, Jakarta Pusat.
36. Arsip Ki Hajar, op. cit. No. 103
37. E. de Bruyne, et. al. Winkler Prins Encyclopedie, (Amsterdam, ELVESIER, Brussel), him. 418
419.
38. Arsip Ki Hajar, op. cit. No. 100.
39. Ibid., No. 103 (surat Douwes Dekker kepada Soewardi Soerjaningrat; Zurich, 27 6 1915).
40. E. de Bruyne, op. cit. him. 51
41. Ibid.. him. 821.
42. Ibid., him. 132.
43. Taman Siswa 30 Tahun. (Buku Peringatan 1922 - 1952). 1956 Jogjakarta: Majelis Luhur
Taman Siswa, him. 192 - 193.
44. Telah disesuaikan dengan ejaan baru.
45. Menurut keterangan Nyi Ratih Dewantara Lahade. wawancara tanggal 10 Desember 1979,
Padepokan Dewantara, Jogyakarta.

KEPUSTAKAAN DAN SUMBER IAIN

Arsip Ki Hajar Dewantara, dalam bentuk microfilm. Arsip Nasional, Jakarta Selatan: dan Arsip
1913 Asli di Museum Kirti Griya, Yogyakarta.
Bachtiar Harsja J, "The development of a common national conciousness among students
1976 from the Indonesians archipelago in the Netherlands", Majalah Ilmu-ilmu Sastra, jilid
IV. No. 2 him. 31
Berding, Frans, "Wat we willen". De Indiir. Tahun I, No. I (23 Oktober).
1913
Catatan harian, surat, silsilah keluarga, album milik pribadi Ki Hajar Dewantara, Museum
Dewantara Kirti Griya Yogyakarta.
Catatan pribadi milik Ki Sejoga yang saya kutip pada tahun 1963 di Perguruan Taman Siswa.
Yogyakarta.
Dewantara, Ki Hajar, Dari Kebangunan Nasional sampai Proklamasi Kemerdekaan, Djakarta:
1952 Endang.
1962 Karya Ki Hajar Dewantara Pendidikan, Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.
Dewantara, B.S., Nyi Hajar Dewantara Dalam Kisah dan Data, Jakarta: Gunung Agung.
1979
Dekker, E.F.E. Douwes, Onze Verbanding, Schiedam: De Toekomst.
1913
1913 at. al.. Mijmeringen van Indirs over Hollands Feestvierderij in de Kolonie (surat
selebaran Comit Boem i Poetra), No. 2, Schiedam: De Toekomst.
Djojohadikusumo, Margono, Dr. E.F.R. Douves Dekker, Jakarta: Bulan Bintang.
1975
Francois, Hl, "Oostersche Kunst", Hindia Poetra, 's-Gravenhage, him. 77 78.
1916
1977
Fromberg, P.H., Het Geyal Soewardi, 's-Gravenhage: Indonesisch Persbureau )Fahrenheitstraat
1926 473).
Koch, D.M.C., Menuju Kemerdekaan. Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia sampai 1942
1951 (terjemahan Abdoel Moeis; Om de Vrijheid), Jakarta: Yayasan Pembangunan.
Majelis Luhur Taman Siswa. Taman Siswa 30 tahun. (Buku Peringatan 1922 1952), Yogyakarta.
1956
Meulen, D. van der, "De drie bannelingen", Hoort gij de donder niet?, Amsterdam: T. Wever
B.V. Franken, him. 23 25.
Nota betreffende Geschriften van Douwes Dekker, Arsip Rahasia Batavia.
1913
Persatoean Hindia, 8 Nopember 1919, Yogyakarta.
Pranata Sep., Ki Hadjar Dewantara Perintis Perdjuangan Kemerdekaan, Djakarta: Balai Pustaka.
1959
Soerjomihardjo, Abdurrachman, "Sejarah pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia di da-
1969 lam sumber-sumber Hindia Belanda", Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, no. 3,
Mm. 201 - 209.
1978 "Tiga aliran pertama dalam Pergerakan Nasional Kisah dan Tafsir pada tahun 1917",
Bunga Rampai Sumpah Pemuda 30 th., Jakarta: Balai Pustaka, him. 438 411.

65
MANGKUNEGARAN DAN NATA SURATA
olehtDra. Darsiti Suratman.
Uraian tentang sejarah Mangkunegara dihubungkan dengan Nata Surata
(1888 1951) seorang pengarang dan penyair berbahasa Belanda, berasal dari
pura Pakualam mencakup pemerintahan Mangku Negara VII (1916 1944),
suatu periode jaman kemajuan. Pada awal jaman kemajuan itu daerah Mang-
kunegaran diperintah oleh Mangku Negara VI (18% 1916), seorang yang
berjasa dapat menyehatkan kembali situasi keuangan yang sangat kalut
Kepala Pemerintahan dan kepala trah Mangkunegaran ini walaupun tidak
pernah memperoleh pendidikan Barat secara formal ia mampu merintis jalan
menuju ke arah kemajuan negara dan rakyatnya. Tradisi yang menjadi pe-
rintang kemajuan dirombaknya, yang paling menyolok ialah antara lain: pe-
laksanaan prinsip kesederhanaan menentang pemborosan yang selama itu ber-
langsung di istana-istana Jawa, dan pelaksanaan disiplin secara ketat. Untuk
membantu kaum muda yang cerdas, tetapi kurang mampu menanggung biaya
pendidikan yang diikuti maka pada tahun 1912 dengan persetujuan residen ia
mendirikan lembaga "Studiefonds".1 Pada pemerintahan penggantinya, lem-
baga ini tetap dipertahankan, dan dengan cara demikian, makin banyaklah
anak-anak keluarga, abdi dalem dan prajurit Legiun yang dapat menyelesai-
kan pendidikan di atas sekolah dasar. Di antaranya ada yang memasuki
"Landbouw Hooge School" di Wageningen, Negeri Belanda, Universitas di
Negeri Belanda, T.H.S. di Bandung, S.T.O.V.I.A., A.M.S. Kweekschool,
dan sebagian besar untuk mengikuti pelajaran di M.U.L.O.2 cara memberi
pinjaman biaya lewat Studiefonds ini sangat menunjang kemajuan di kalang-
an muda, dan memperkuat korp kepegawaian Mangkunegran.3
Usaha membentuk kepegawaian dan prajurit Legiun yang maju, sebenar-
nya telah dirintis oleh M.N. IV (1853 1881). Pada sekitar tahun 1860'an. di
istana Mangkunegaran didirikan sekolah Jawa. Prinsip ketidaksamaan masih
dipegang teguh, oleh sebab itu dalam menerima pelajaran, murid-murid
dikelompokkan menurut kedudukan dan derajat ayahnya. Selain itu walau-
pun mereka duduk di tingkat yang sama, namun mata pelajaran yang diberi-
kan juga tidak sama, karena juga disesuaikan dengan kedudukan ayahnya.
Makin tinggi derajat orang tuanya makin banyak pula pula jumlah mata
pelajaran yang diberikan, dan cara mengajarkannya juga lebih mendalam.
Hal ini disebabkan karena mereka harus disiapkan untuk menduduki jabatan
yang tinggi. Beberapa tahun kemudian, di 12 tempat di luar kota didirikan se-
kolah semacam itu. Tujuannya selain agar para pegawai angkatan berikutnya
lebih cakap, demikian pula untuk dapat dipekerjakan di pabrik-pabrik gula
dan kopi.4
Pada awal pemerintahannya M.N. VI belum tertarik pada pendidikan
Barat. Oleh sebab itu ketika kemenakannya Surya Suparta minta ijin untuk
melanjutkan pelajaran di tingkat sekolah menengah Belanda, permohonan
tersebut tidak dikabulkan. Dengan demikian maka Surya Suparta hanya
memiliki ijazah Sekolah Dasar Belanda. Pada 1912 ia bekerja sebagai juru
bahasa di kraton Surakarta dan pada tahun berikutnya sampai 1915, ia berada
di Negeri Belanda atas biaya sendiri.

1 Darsiti Soeratman, Peranan M M VI dalam membangun negaranya, kertas kerja untuk diskusi
Kelompok Sejarawan, pada 26 April 1980 di Yogyakarta
2 Th. M Metz, Mangkunegaran. analyse van een Javaanse Vorstendom, iweede Nederlandse
Uitgave, Nijgh & Van Ditmar N V Rotterdam, hal ' 0
Ibid hal 69
4 Algemeen Verslag van hei Inlandsen Onderwijs m Nederlandsen Indie. 1965 1885

66
Pertemuan pertama-tama dengan Nata Surata terjadi di Negeri asing, la
diperkenankan memperdalam pelajaran bahasa Jawa di Universitas Leiden,
sedang Mata Surata adalah salah seorang dari banyak putera bangsawan Paku
alam yang menuntut pelajaran di Nederland. Nata Surata mempelajari ilmu
hukum di Universitas Leiden. Ketika di Eropa pecah perang Dunia I, putera
bangsawan Mangkunegaran dan Pakualam tersebut bersama-sama
memasuki dinas militer Belanda pada resimen infanteri (Grenadiers) di 's
Gravenhage. Sesudah mencapai tingkat opsir di Amersfoort. Pada tahun
berikutnya ia diangkat menjadi Letnan. Di kalangan teman-temannya ia
dikenal sebagai "kopral kecil" karena dibanding dengan kawan-kawannya, ia
bertubuh kecil.3
Sesudah dinas militernya berakhir, Surya Suparta pulang ke Indonesia
(1915). Sebelumnya ia mengajukan permohonan untuk beraudiensi pada Sri
Ratu, dan permohonan itu dikabulkan. Sesampainya di Surakarta ia bekerja
sebagai ajung kontrolit untuk urusan pertanian. Setahun kemudian ia
diangkat oleh pemerintah menjadi Prang Wadana, menggantikan
Mangkunegara VI yang mengundurkan diri atas kehendaknya sendiri. Baru
pada dekade ke 4 abad ini, ia pulang ke tanah air. Ia bekerja sebagai Jaksa di
Mangkunegaran, dan kemudian diangkat menjadi sekretaris M.N. VII
Beberapa persahabatan antara Surya Suparta dan Nata Surata yang
dimulai ketika mereka sama-sama masih muda, tetap dibina. Nata Surata
gemar menggubah syair-syair dalam bahasa Belanda, seperti: "Kuntum-kun-
tum Melati" (1917), 'Bau Sedap Konde Ibu" (1916), "Bisikan Angin Malam"
(1917), "Untaian Bunga" (1918), "Bunga Tanjung dan Embun Pagi" (1920),
Kidung-kidung Wayang" (1931) dan "Bisikan Baru" (1931) Ia menaruh
banyak perhatian pada tokoh filsof India, Rabindranath Tagors. Hal ini
dapat dilihat pada karyanya, a.l.: "Rabindranath Tagore" sebuah studi
biografi (1920): "Cita-cita pendidikan Tagore" (1921); menterjemahkan
karya Tagore: "Sekolah Beo"7 dan ceramah Tagore di Shantinekatan di
depan murid-muridnya. Ia juga mengagumi Mahatma Gandi, dan kebesaran
jiwa tokoh ini sering dipakai sebagai contoh dalam uraiannya. Terhadap
R.Aj. Kartini, pelopor kemajuan Wanita Indonesia; ia menaruh simpati, dan
di depan anggota Indische Vereehiging, ia memberi ceramah dengan judul:
Gagasan Kartini sebagai pedoman Indische Vereeniging.8
Sebagai orang yang banyak berkecimpung dalam kesusasteraan Jawa dan
pewayangan, Surya Suparta tertarik untuk menterjemahkan beberapa bait
syair Naa Surata ke dalam bahasa Jawa, yang diambil adalah syair "Kuntum-
kuntum Melati" dan syair yang lain yang tidak diterbitkan. Beberapa bait dari
syair "Bau sedap Konde Ibu" diterjemahkan oleh Dr. Purbacaraka. Dari
hasil terjemahan tersebut, Nata Surata menilai bahwa terjemahan
Purbacaraka bersifat lebih bebas, tidak terikat oleh peraturan-peraturan
tradisional yang berlaku pada nyanyian Jawa (tembang), akan tetapi ia
membagi bait-baitnya sesuai dengan model sonnet Belanda.9
Di Negeri Belanda. Nata Surata pernah menjadi ketua "Indische
Vereeniging", akan tetapi sesudah organisasi mahasiswa-mahasiswa

5 Th. M. Metz, Mangkuntgamt. hal. 9


6. Judul-judul asli: "Melati Knoppan"; "De Geur van Meeder's", "Fluisteringen van de Avond-
wind", dan "Nieuwe Fluisteringen".
8. Judul asli: De Gedachten van R.Aj. Kartini als Richtsnoer voor de Indische Vereeniging.
9 Nata Surata. De Teekomst der Javaansche. dalam Sumbangsih. Gedenkboek Budi Utama 1908
- 20 Mei - 1918. hal. 3 - M.

7
Indonesia yang ada di Nederlands itu menganut faham revolusioner, Nata
Surata tidak mendapat tempat lagi dalam perkumpulan itu, lebih-lebih lagi
sesudah nama organisasi tersebut diganti dengan "Indonesische Vereeniging"
dengan "Indonesia Merdeka" sebagai orang. Ia pernah menjadi ketua
"Nederlandsen Indonesisch Verbond" (N.I.V.) dan dalam buku "naar een
Nieuwe Samenleving" ia menguraikan secara panjang lebar tentang gagasan-
gagasan pokok N.I.V.
Sesudah ia kembali ke tanah air dan bekerja di pura Mangkunegaran,
tulisan-tulisannya dimuat dalam majalah atau surat kabar berbahasa Belanda
dan juga di majalah "Surya", organ perkumpulan "Mulut Sarira" di
Mangkunegaran.
Hubungan antara Surya Suparta, yang kemudian menjadi kepala peme-
rintahan Mangkunegaran, dengan Nata Surata sangat dekat. Dalam kertas
kerja ini dipermasalahkan sampai seberapa jauh pengaruh penyair tersebut
terhadap kehidupan sosial dan pemerintahan di Mangkunegaran.
II
Mangkunegara VII adalah pengagum kebudayaan Jawa dan ia berusaha
melindunginya serta membawanya maju. Prof. Dr. M. Kraemer guru besar
pada Universitas Leiden yang pada 1930 1935 tinggal di Surakarta, menjadi
sekretaris I'Panti Budaya" sebuah lembaga yang diketuai oleh M.N. VII
mengatakan bahwa atas prakarsa Pangeran Adipatilah, di daerah kejawen
terdapat lembaga-lembaga untuk mempertahankan kekayaan kesusasteraan
Jawa dan atas dasar prakarsanya pula diusahakan adanya pertemuan antara
Timur dan Barat.10
Pada 1931, De Cultuur-Wijsgerige Studiekring dibentuk. Perkumpulan
ini beranggotakan berbagai macam kelompok etnik: Jawa, Belanda dan Cina,
dimaksudkan supaya hubungan yang dangkal di antara mereka itu dapat
diperdalam agar dapat diperoleh gambaran yang sesungguhnya mengenai
pikiran dan perasaan mereka. Pertemuan-pertemuan pereodik studiekring ini
dilangsungkan di istana Mangkunegaran, diisi dengan ceramah-ceramah atau
diskusi mengenai sejarah, sifat kebudayaan, filsafat, ilmu jiwa, ilmu
pendidikan, keadaan persekolahan, pemeliharaan orang miskin dan sebagai-
nya. Mereka bersepakat untuk sedapat-dapatnya menghindari pertanyaan a-
tau permasalahan tentang politik praktis. Bavinck menerangkan bahwa dalam
pertemuan-pertemuan semacam itu keluarlah kekayaan pikiran Jawa dan
kehidupan dari perasaan yang keluar dari hati sanubari orang-orang Jawa.
Kadang-kadang mereka menjadi tercengang apabila mereka mengetahui,
bahwa permasalahan di dunia Barat yang ada sejak berabad-abad lamanya,
juga terdapat dalam pemikiran Jawa tetapi dinyatakan secara halus, sering
kali dengan cara simbolik. Dengan mengadakan pertemuan-pertemuan itu
Timur dan Barat bertemu, dan mereka sadar bahwa di dalam lapisan-lapisan
yang dalam dari kehidupan batin terdapat ruang tempat melunakkan
perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan, karena mereka
bersama-sama berjuang untuk memenuhi tugas masyarakat yang luas.11
Bahwa M.N. VII bersama kelompok cendikiawan Indonesia lainnya ber-
juang untuk memberi isi baru kepada kultur kita disesuaikan dengan jiwa
jaman, dapat diikuti dari pendapat Mr. Supama yang mengatakan bahwa
sampai berakhirnya dekade keempat abad ini, aktivitas cendekiawan
Indonesia pada umumnya baru sampai pada menggugah perhatian,

10. M. Kraemer, Ontmoeting van Oost en West, dalam Triwindu Gedenkboek, 1939, hal. 24
11. J.H. Bavinck, De Cultuur-Vijsgerige Studiekring, dalam Triwindu Gedenkboek, 1939, hal.

66
mengetahui kembali, menemukan kembali dan mengenal kembali kultur lama
kita. Diharapkan agar pada masa-masa mendatang dapat dilakukan kerja
kreatif, menghasilkan kultur dengan bentuk baru yang harmonis dengan jiwa
jaman modern, berdasarkan pada fundamen-fundamen lama.12
Dalam hal usaha mempertemukan timur dan Barat, Nata Surata
mempunyai faham yang sama dengan M.N. VII. Ia ingin menjembatani
jurang yang memisahkan dua kutub itu. Dalam beberapa tulisannya dengan
maksud memperkuat pendapatnya, ia mengutip kata-kata M.N. VII peletak
dasar "Java Instituut" sebagai berikut:
"hatiku merasa sangat senang, jika melihat banyak dari saudara-saudara se tanah
air bergabung dengan kelompok-kelompok penduduk lain, kemudian diikuti
dengan kerja sama di antara mereka, tidak hanya untuk mempelajari kultur kita
sebagai pernyataan masa lampau, melainkan juga untuk membuat rancangan
yang dapat memberikan kehidupan baru bagi kultur untuk masa kini dan masa
mendatang. Di dalam masa-masa seperti sekarang ini, dalam mana perhatian
orang nampaknya lebih banyak ditujukan untuk memecah belah dari pada
mempersatukan, tujuan kemanusiaannya sering lebih banyak ditujukan untuk
menghancurkan dari pada membangun perbedaan antara Timur dan Barat sering
dibayangkan sebagai jurang yang tidak bisa dijembatani, maka setiap orang
hendaknya bertindak, seperti yang menjadi tugas "Java Instituut", dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat, membawa kelompok-kelompok orang yang
masing-masing berdiri sendiri-sendiri itu ke dalam keadaan harmonis dan saling
mengerti antara satu dengan lainnya.13
Nata Surata berpendapat bahwa jika Timur tidak dipertemukan dengan
Barat.problema mengenai ras akan meruncing. Ia menolak pendapat bahwa
kultur Barat merupakan kekuatan jahat, yang membawa kecelakaan dan
kehancuran di dunia, terutama di dunia Timur, berarti termasuk negara dan
bangsa kita. Sebab kita mengenal kultur Barat, orang tidak akanmengerti
apakah nasionalisme itu.14
Sesuai dengan pandangannya tersebut di atas, maka gagasan Nata Surata
mengenai hari depan hubungan Indonesia dan Belanda adalah sebagai
berikut: Tahap ke 1, negri induk dan tanah jajahan (terutama Indonesia) tetap
tinggal bersama-sama, demi keamanan terhadap serangan dari luar dan
kekacauan dari dalam. Sementara itu pemerintah memberi kesempatan
kepada bangsa Indonesia untuk mengembangkan cita-cita nasionalnya yang
masih sangat lemah ke arah yang kuat. Di samping membentuk kesatuan, juga
harus sadar akan terbentuknya masyarakat dengan berbagai nasionalitas.
Tahap ke 2, proses perkembangan kesatuan Indonesia dengan dasar kekuatan
ekonomi. Akhirnya Nederland Raya dalam bentuk Serikat negara-negara.
Untuk mencapai tingkat ini, diperlukan adanya orang-orang Belanda dan
orang-orang Indonesia yang mempunyai pandangan yang sama. Apabila tidak
ada, maka berarti bahwa dua macam bangsa itu tidak memiliki kebutuhan
dan cita-cita yang sama. Akibatnya Negeri Belanda mungkin harus mencari
kedudukan baru dalam masyarakat Eropa, dan Indonesia mungkin akan
menjadi negara-negara kecil, terlepas satu dengan lainnya, tanpa memiliki
ikatan kesatuan.13
12. Supama, De Sociaaal-cultuurele Taak der Indonesische Intellectuelen, dalam Triwindu, hal. 62
13. Nata Surata, Cultur en Civilisatie, dalam Kleurchakeeringen, N. V. Adi Pustaka, 's Gravenhage,
1925. hal. 86.
14. Ibid.. hal. 81
15. Nata Surata. Nederland en Indonesia, overdrukt uit "Vdaya", N.V. Adi Pustaka, 's
Gravenhage, 1025.

69
Pada sekitar 1925, Nata Surata tidak keberatan menggunakan istilah
"Indonesia" dan "orang Indonesia", asal penggunaan istilah itu jangan
dihubungkan dengan pandangan "lepas dari Negeri Belanda" atau "lepas
dari orang-orang Belanda". Ia menolak menggunakan istilah: orang Jawa,
orang Timor, orang Minahasa, dan seterusnya karena ia ingin memberi
tekanan pada sifat umumnya, bukan pada perbedaannya. Dengan sikapnya
ini ia menolak pendapat beberapa nasionalis, bahwa ia menentang kesatuan
Indonesia. Istilah "Inlander" dianggapnya tidak sedap didengar, lebih-lebih
jika disertai sikap atau tekanan yang merendah. Selain itu jika penduduk
Jawa disebut inlanders dari Jawa, demikian pula halnya, orang-orang Belanda
adalah inlanders dari Nederland.16
Selanjutnya Nata Surata menerangkan bahwa yang dimaksud dengan ke-
satuan Indonesia adalah bersamanya daerah-daerah di Indonesia dan kesa-
daran kebersamaan penduduknya di bawah kekuasaan pusat dengan mendiri-
kan kemerdekaan bagian-bagian tersebut di dalam batas-batas kesatuan itu.
Pemerintah Pusat untuk sementara masih dipegang oleh Pemerintah Belanda.
Pengakuan terhadap kekuasaan Belanda ini bukan berarti bentuk
Pemerintahan Belanda yang berlaku pada waktu itu, ialah penguasaan terha-
dap bangsa lain. Bentuk Pemerintahan Belanda itu harus dilawan, akan'etapi
tidak melepaskan diri dari Negeri Belanda. Tujuan akhir bukan Indonesia se-
bagai negara yang berdiri sendiri sebagai anggota dunia, melainkan bersama-
sama dengan fan berada di samping Negeri Belanda: perserikatan bangsa-
bangsa di bawah satu penguasa yang sama. Jadi membentuk negara Indonesia
yang bebas politik, ekonomi dan kulutural dan mengadakan kerjasama dalam
bidang politik, ekonomi dan kultural dengan Negeri Belanda.17 Ia tidak setuju
dengan adanya "Satu Bangsa Indonesia".
Nata Surata mengusulkan dipakainya stelsel-demokrasi untuk melak-
sanakan terciptanya negara Indonesia yang bebas politik, ekonomi dan
kultural. Maksudnya jika penguasa tradisional di kalangan penduduk
Indonesia diberi lagi kesempatan untuk memegang tampuk pimpinan
pemerintahan, maka kerjasama untuk menciptakan kemerdekaan akan ber-
hasil tidak hanya terjadi antar orang-orang Indonesia, melainkan juga dengan
orang-orang Belanda. Kerjasama dengan orang yang terakhir disebut ini tidak
dapat ditinggalkan.18 Selama periode peralihan ialah dari "penguasaan ke
pemerintahan sendiri", aristoi Indonesia secara sedikit demi sedikit
memperoleh kekuasaan dari pemerintah Hindia Belanda.19
Sebagai konsekuensi dari gagasan yang dikemukakan tersebut di atas,
Nata Surata tetap berdiri sebagai seorang yang berusaha bekerja sama, se-
bagai sahabat Belanda dan bersikap loyal. Karena ia tidak memiliki sifat
Indonesia yang radikal, dan tidak ada fikiran Indonesia, melainkan juga
dengan orang-orang untuk melepaskan diri dari Nederland, maka dalam ne-
gara Indonesia Merdeka yang akan datang, ia mengusulkan bahwa orang-
orang Belanda masih akan mendapatkan tempat yang menguntungkan; di
negara yang merdeka itu tersedia tempat untuk kekuatan-kekuatan Belanda,
untuk intelek Belanda dan untuk kapital Belanda, dan akhirnya di dalam ne-
gara Indonesia Merdeka itu Ratu Belanda akan menjadi ratu Negara baru
itu.M
16. Nata Surata, Van Overheersching naar Zelfregeering, N V . Adi Pustaka, 's Gravenhage, 1931,
hal. 22 23.
17 Ibid.. hal. 26
18. Ibid.. hal. 27
19. Ibid., hal. 28
20. Ibid.. hal. 18 - 19

70
Pendapat Nata Surata tentang hari depan Indonesia oleh kaum nasionalis
radikal disebut pandangan yang pesimis, karena sangat menggantungkan diri
kepada bantuan Belanda. Sementara lainnya menyebutkan sebagai kaki
tangan Belanda yang akan menindas saudara sebangsanya. Juga caranya
kan bahasa Belanda mengun-
mengeluarkan pendapat yang selalu menggunakan bahasa Belanda mengun-
dang banyak kritik. Dalam dua konggres "Java Instituut" cara Nata Surata
dinilai tidak menguntungkan kultur Jawa, tidak sesuai dengan tujuan "Java
Instituut" yang ingin mengembangkan kebudayaan sendiri.
Tindakan Nata Surata itu diumpamanya sebagai pohon yang ditanam di
suatu halaman, tetapi buahnya jatuh di halaman orang lain. Akan tetapi Nata
Surata membela diri, bahwa apa yang dilakukan itu seharusnya diterima
dengan senang hati, jangan kebalikannya, karena walaupun ia menggunakan
bahasa Belanda sebagai alat melahirkan gagasannya, namun jika syair atau
karangan itu tetap Jawa. Ini berarti bahwa "pohon" itu ditanam di tanah
yang subur, dan hendaknya orang menanam lagi "pohon" di tengah
halaman, agar buahnya tidak jatuh di halaman orang lain. Ia menerangkan
bahwa ada dua faktor yang menyebabkan ia menulis syair-syairnya dalam
bahasa Belanda: faktor politik ekonomis dan faktor kultur historis. Yang ter-
akhir ini menunjukkan bahwa bahasa Jawa pada waktu itu masih dalam
tingkat sangat sederhana, dan ia yakin bahwa di masa mendatang bahasa
Belanda akan menjadi alat menyatakan pendapat bagi peradaban Jawa
modern.21
Di atas telah disebutkan bahwa Nata Surata menggunakan istilah "In-
donesia" dan "orang-orang Indonesia" tetapi tidak dihubungkan dengan
semboyan "lepas dari Negeri Belanda". Demikian pula dengan penggunaan
istilah nasionalisme. Ia menyebut dirinya seorang nasionalis dengan penger-
tian bahwa nasionalisme adalah hak masyarakat bangsa untuk mencapai
kemerdekaan dalam batas-batas yang ada hubungannya dengan kebutuhan
kemanusiaan.22 Nasionalisme tidak diartikan sebagai suatu ide yang dipakai
untuk menghadapi kekuasaan kolonial Barat. Juga tidak diartikan sebagai
metalitas massa yang merendahkan orang lain, berwatak sombong tidak mau
tahu tentang cita-cita kemanusiaan.23
Ketika datang kembali di Indonesia pada dekade keempat abad ini, ia
melihat adanya perubahan besar dalam pergerakan nasional. Jika pada tahun-
tahun awal abad ini nasionalisme di kalangan kaum priyayi muda yang telah
mengalami perbaratan, dengan tokoh-tokoh antara lain: Suryadiningrat,
Natadiraja, Surayakusuma. Surya Suparta yang terakhir ini pernah menjabat
ketua Budi Utama, sesudah terjadi Konggres Pemuda II (1928) solidaritas
mereka dengan dasar kesatuan Indonesia makin kokoh. Di mata kaum
nasionalis ini nasionalisme atau "chauvenisme" regional disamakan dengan
feodalisme dan politik kolonial "divide et impera".24 Mereka juga ber-
pendapat bahwa ikatan feodal dan ikatan tradisi membatasi lapangan berge-
rak: jabatan yang turun temurun, penghormatan kepada atasan secara

21. Nata Surata, Hollandsche Gedichten en Javaan sehe Gedachten, dalam Kteurschakeeringen.
hal. 5 1 - 5 2 .
22. Nata Surata Van Overheersching, hal. 27
23. Nata Surata. Van Overheersching, loc cil
24 Wh Wertheim, Indonesian Society in Transition Van Hoeve, Bandung, 2nd edition, 1956, hal.
271

71
berlebih-lebihan, konservatisme dalam soal pendidikan dan perkawinan, adat
istiadat yang sudah lapuk dan tidak sesuai lagi dengan keadaan baru.23
Bagi praja Mangkunegaran, tantangan yang dihadapi bukan hanya
berasal dari kelompok nasionalis tersebut di atas, tetapi juga dari perkumpul-
an lokal seperti "Perkumpulan Kawula Surakarta" (P.K.S.) yang didirikan
pada 1932 atas inisiatif beberapa anggota PBI. Mula-mula "Perkumpulan
Kawula Mangkunegaran" (PKMN) ikut menjadi anggota federasi PKS akan
tetapi kamu dian menarik diri, karena adanya sikap yang tidak menyenangkan
bagi Mangkunegaran.
Sadar akan bahaya yang mengancam eksistensi prajanya, kaum alit
Mangkunegaran bersatu untuk menyusun kekuatan pertahanan dengan
mengingat tuntutan kemajuan jaman. Perasaan tidak aman ini lebih terasa
ketika Budi Utama pada 1932, dalam konggresnya di Surakarta memutuskan
mengubah secara radikal tujuannya, menjadi "mencapai Indonesia
Merdeka". Kemudian disusul dengan berfungsinya BU dan PBI dalam
Parindra pada 1935.
Pada 1 Pebruari 1935 terbentuklah perkumpulan 'Mulat Sarira" di
Mangkunegaran. Ketua umum dipegang oleh bupati patih Sarwaka Mangun-
kusuma dan M.N. VII sebagai pelindungnya. Dalam arti kel II dari Anggaran
Dasar organisasi itu dituliskan tujuannya, sbb.:
1. Perkumpulan ini berjuang untuk tercapainya rasa kesatuan dan ke-
bersamaan antar kawula Mangkunegaran, dan antara kawula Mangkune-
garan, tetapi mereka ingin mengambil bagian dalam perjuangan itu.
2. Perkumpulan ini akan lebih mempertinggi perasaan hormat dan cinta
kasih terhadap pribadi Pangeran Adipati serta memberi kepercayaan
kepada pimpinannya; berusaha membantu menjaga Negara dan pemerin-
' mnya, mengusahakan kemajuan dan kesejahteraan lahir batin bagi
kyatnya.26
Sehubungan dengan pentingnya arti 'Mulat Sarira" sebagai alat untuk
iKiupertahankan praja Mangkunegaran maka diterbitkan majalah Surya se-
bagai organ pembawa suara organisasi tersebut. Dia dalam majalah tersebut
Nata Surata banyak menulis tentang gagasannya mengenai "aristo-demo-
krasi" dihubungkan dengan "Mulat Sarira". Aristo demokrasi memuat
Elemen-elemen demokrasi ialah wewenang sebagai penasehat dan hak
memilih sedang elemen-elemen aristokrat, ialah membuat perturan dan
melaksanakannya. Ia mengatakan bahwa antara bangsawan dan rakyat di
dalam masyarakat Jawa tidak merupakan dua unsur yang bertentangan,
tetapi hanya merupakan suatu nuansa. Tidak ada seorangpun dari raja-raja
yang pada waktu itu berkuasa, jika ditinjau ke belakang dua atau tiga
angkatan yang lalu, tidak memiliki darah rakyat dalam tubuhnya. Selanjutnya
ia menerangkan bahwa dihapusnya hak menggantikan menjadi bupati oleh
anaknya laki-laki tertua oleh pemerintah, berarti berakhirnya stelsel feodal se-
cara simbolis. Jika masih ada putera bupati menggantikan menduduki jabatan
ayahnya, pasti dalam seleksi calon-calon ia dinilai memiliki kemampuan yang
tepat untuk jabatan itu. Peraturan ini merupakan langkah pertama demokra-
tisasi. Langkah kedua ke arah demokratisasi terjadi dengan diadakannya
dewan-dewan di samping penguasa. Langkah-langkah yang diperlukan ialah
rakyat suatu kabupaten lewat perantara orang-orang yang dipercaya menun-

25. Sartono Kartodirdjo, Lembaran Sejarah, no. 2, Agustus 1968, hal. 53.
26. Anggaran Dasar "Mulat Sarira", Surya, Agustus 1935, no. 6.

72
nik calon untuk jabatan bupati. Dapat dipastikan bahwa calon yang ter-
pilih itu berasal dari lingkungan bangsawan di mana rakyat masih menaruh
hormat dan percaya. Kemudian kelompok orang-orang terpercaya yang sudah
melakukan tugasnya memilih calon bupati itu, merupakan dewan dengan we-
wenang sebagai penasehat. Jika bupati hasil pemilihan itu tidak mampu
melaksanakan tugasnya dengan baik, maka dewan itu dapat minta kepada
penguasa yang lebih tinggi untuk memecat bupati yang terpilih tadi.27
Harjaprakosa, inspektur urusan pajak di Mangkunegaran, mengajak pa-
ra pemegang pemerintahan itu terhadap rakyatnya bersikap seperti ayah dan
ibu. Pegawai yang menjalankan tugasnya sesuai dengan bunyi pranatan dapat
diumpamakan bertindak sebagai "bapak". "Mulat Sarira' didirikan untuk
bertindak sebagai "ibu", tempat pegawai itu tidak berkedudukan sebagai
tuan-tuan terhadap bawahannya, melainkan berkedudukan sebagai saudara-
saudara tua dan sahabat, dan setiap anggota dapat mengemukakan
pendapatnya dengan bebas kepada Komite Pusat yang berkedudukan sebagai
ibu. "Ibu" itu dalam hal ini "Mulat Sarira" akan meneruskan pendapat
atau kesulitan-kesulitan anaknya kepada "bapak" ialah pemerintah. Adanya
kerjasama "Mulat Sarira" dengan pemerintah ditujukan untuk kebaikan, ke-
sejahteraan, dan kecintaan rakyatnya.28
Dalam melaksanakan tujuan "Mulat Sarira", terutama dalam
mempertahankan Mangkunegaran dan kepala pemerintahannya, dijalankan
nasionalisme lokal, dimulai dari tingkat anak-anak lewat buku bacaan
"Bocah Mangkunegaran", semacam biografi penguasa-penguasa Mangkune-
garan secara sederhana, dan hal-hal yang berhubungan dengan Mangkune-
garan, misalnya kemajuannya, kepanduan Mangkunegaran, Krida Muda dan
sebagainya. Adanya peraturan bahwa untuk dapat diangkat menjadi pegawai,
harus mengikuti latihan militer dalam Legiun, menyebabkan jumlah prajurit
Legiun bertambah banyak. Mereka yang pernah dilatih, dan sewaktu-waktu
dibutuhkan oleh negara harus siap menjalankan.
Terbentuknya kepanduan (J.P.O. = Javaansche Padvinders Organisatie,
untuk anak-anak sekolah) sejak 1917 yang makin lama makin berkembang,
kemudian Krida Muda pada 1934, terutama untuk anak-anak yang kurang
mendapat pendidikan disiplin secara militer, ditambah jumlah anggota Legiun
yang makin besar menimbulkan kesan bahwa "Mulat Sarira" dalam pelaksa-
naan programnya bernada fasis/ nasional-nalionalis.
Patih sebagai Ketua Umum "Mulat Sariga" pada 1935 mengucapkan pi-
dato yang isinya membantah pendapat atau kesan tersebut di atas. Ia menje-
laskan bahwa metoda kerja "Mulat Sarira" tidak lain dari melakukan sis-
timatisasi cara kerja tradisional yang dianggap dapat dijadikan panutan.
Yang terpenting ialah bahwa:
1. golongan atas sampai teratas harus merasa, selanjutnya mereka harus
bertindak untuk kepentingan orang banyak serta orang-orang yang ren-
dah kedudukannya;
2. orang-orang yang berkuasa bertindak sebagai pelindung bagi yang lemah;
orang-orang bawahan harus mempercayai pemimpin-pemimpin mereka
dan sedapat-dapatnya memberikan bantuannya.

2"1 Nata Surata. Democratie op Itu a. Surra. Pebruan 1941


2K Dikutip uleh Main Surau Hei Staatkundig-politieke aspect van 'Mulat Sarira", Surya,
Desemhei I9H. 1,0

73
Diterangkan bahwa dalam bidang pemerintahan berlaku panutan "pe-
moring kawula gusti", yaitu kesatuan antara raja dan bangsawan di satu fihak
dengan rakyat di fihak lain. Dengan demikian jelas bahwa gagasan dan dasar-
dasar yang dijadikan pembimbing "Mulat Sarira" lebih tua usianya dari pada
fasisme atau nasiisme. Selain itu jika nasiisme melaksanakan diskriminasi ras.
"Mulat Sarira" justru melakukan pengakuan ras, bekerjasama dengan berba-
gai macam ras, dan juga menerima ras lain sebagai anggota perkumpulan itu.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua Umum "Mulat Sarira" itu mengemu-
kakan adanya bahaya yang mengancam negaranya, ialah pudarnya per-
juangan secara sadar untuk mencapai "pamoring kawula gusti" dalam arti
ketatanegaraan dan sosial. Akan tetapi ketua umum itu menyatakan bahwa
saat itu masih belum terlambat. Kemudian ia mengajak agar masing-masing
melakukan koreksi terhadap dirinya sendiri, menilai kecakapannya, sifatnya,
dan panggilannya sendiri-sendiri, singkatnya mengajak "Mulat Sarira" agar
supaya masing-masing dapat mengisi tempat yang paling sesuai.
Kesatuan antara raja dan bangsawan dengan rakyat tidak berarti bahwa
kedua belah pihak sama dengan lainnya, melainkan masing-masing harus
dapat melaksanakan peranannya sendiri dengan baik dalam bingkai permain-
an secara keseluruhan.
Pemimpin-pemimpin "Mulat Sarira" harus selalu ingat akan "kaca"
yang selalu ada di hadapannya. Untuk kedudukan yang tinggi, pemimpin itu
dituntut harus memiliki kecakapan dan keuletan yang cukup. Di samping itu
kepriyayian tidak boleh ditinggalkan. Jika "Mulat Sarira" dipakai sebagai
matram untuk menilai diri sendiri, tidaklah banyak orang yang merasa dirinya
mendapat panggilan, dan yang sedikit itu akan terbukti dapat bertindak se-
bagai pemimpin-pemimpin pilihan yang akan mengabdi kepada rakyat
banyak.29
Nata Surata juga berpendapat bahwa tindakan "Mulat Sarira" merupa-
kan kunci untuk hidup bermasyarakat yang baik.30
IV
Dari uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan:
1. Dalam usaha mencapai cita-citanya, ialah kemerdekaan negara dan bang-
sanya, kaum nasionalis dibedakan antara kelompok revolusioner dan
evolusioner. Kelompok pertama bekerja atas kekuatan sendiri, menolak
kerjasama dengan pemerintah kolonial, karena mereka tidak percaya
akan kesungguhan kerja pemerintah itu dalam membantu pelaksanaan
semboyan: "lepas dari negeri Belanda". Aliran kedua berpendapat bah-
wa dengan bekerjasama dengan pemerintah kolonial, mereka akan
memperoleh hasil yang menguntungkan, walaupun hasil tersebut tidak
cepat dapat dilihat. Mengenai apakah Indonesia yang merdeka itu tetap
ada hubungannya dengan Belanda atau lepas dari Belanda, merupakan
masalah sekunder.
2. Nata Surata termasuk kelompok kedua, mencita-citakan Indonesia mer-
deka secara politik, ekonomi kultural, dan mengadakan kerjasama
dengan Belanda dalam bidang politik, ekonomi kultural.
3. Mangku Negara termasuk nasionalis regional, dengan tujuan memper-
tahankan eksistensinya.

29. Sarwaka Mangunkusuma, pidato mengenai "Mulat Sarira", Surya, Mei 1935, no. 2
30 Nata Surata, Van Overheersching. hal. 115

74
4. Nata Surata dan Mangku Negara VII mempunyai pandangan yang sama:
1. prinsip bekerjasama dengan pemerintah kolonial.
2. mempertemukan Timur dan Barat.
3. bekerja untuk kemanusiaan.
4. menolak tercapainya "satu bangsa Indonesia".
5. Kehadiran Nata Surata di tengah-tengah warga Mangkunegaran,
mempertajam nasionalisme regional atau "chauvenisme "regional,
dengan melaksanakan gagasan aristo demokrasi, sehingga dari luar nam-
pak adanya kesan bernada fasistis.

*
7
5
SUATU PENDEKATAN SEJARAH SOSIAL KOTA YOGYAKARTA
akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20
oleh
Abdurrachman Suryomihardjo
Pengantar
Sasaran studi ini yang terutama ialah pertumbuhan segi-segi transisional
dalam perkembangan masyarakat kota kerajaan di akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20. Segi-segi transisional itu tumbuh berbarengan dengan beradunya
dua kekuatan, yaitu kekuatan tradisional dan kekuatan kolonial, yang me-
libatkan golongan-golongan penduduk di dalam batas-batas kota Yogyakarta.
Ia barulah merupakan pokok-pokok kesimpulan dari suatu penelitian yang
sedang berjalan, dan oleh karena itu sementara sifatnya. Diajukan dalam
sidang Seminar Sejarah Nasional ke-III sekarang ini dengan maksud untuk
mendapat perhatian mereka yang menaruh minat kepada sejarah perkotaan
maupun kepada sejarah sosial. Sudah barang tentu diharapkan dari sidang
dalam seminar ini tanggapan dan kritik, yang akan bermanfaat bagi penulis
karangan ini serta para peserta persidangan.

Pendekatan teoretis
Karangan ini merupakan kesimpulan studi permulaan yang mempelajari
proses adaptasi beberapa kelompok penduduk kota kerajaan dalam situasi
kolonial. Dengan konsep situasi kolonial kita melihat daerah jajahan sebagai
suatu rangkaian pranata yang saling berhubungan, namun selalu berubah.
Pertama, karena pengaruh pembebanan dan usaha-usaha stabilisasi pemerin-
tahan kolonial. Kedua, karena diperkenalkannya oleh pemerintah kolonial itu
pranata-pranata yang tidak ada dalam masyarakat tradisional. Ketiga, dengan
tumbuhnya perhimpunan-perhimpunan bebas, terutama dengan tumbuhnya
gerakan nasionalis menuju proses dekolonisasi (Wallerstein 1966).
Pusat perhatian studi ini yang terutama ialah pertumbuhan tiga pranata
pendidikan, para lokal dan pergerakan nasionalis di tingkat lokal dan
kelompok penduduk yang terlibat. Studi ketiga segi perkembangan pranata
dalam masyarakat kota Yogyakarta pada akhir abad ke-19 dan awal abad
ke-20 bisa dipakai sebagai bahan perbandingan pertumbuhan sejarah kota-
kota lain di Indonesia. Dewasa ini kota-kota merupakan noktah dalam
jaringan yang saling berkaitan dalam negara kita, yang awal pertumbuhan
pesatnya dapat kita lihat sejak akhir abad ke-19 (Wertheim 1958&. Dalam
jangkauan regional juga menarik sekali untuk diamati perkembangan kota-
kota di Asia Tenggara, seperti telah diungkapkan dalam Karya perintis
(McGee 1967) dan beberapa kepustakaan mutakhir (Yeung & Lo 1976).
Apakah yang telah terjadi pada ketiga kelompok penduduk kota yang
terlibat dalama tiga pranata sosial setelah penguasa Belanda di Yogyakarta
melakukan pembaharuan di bidang politik, bidang sosial dan bidang
ekonomi? Apakah perkembangan ketiga pranata sosial itu memperkuat atau
memperlemah proses integrasi nasional terutama setelah awal abad ke-20?
Apa pula pengaruhnya bagi perkembangan masyarakat setempat dan sikap
laku mereka menghadapi perubahan?
Pertanyaan-pertanyaan itu diharapkan akan terjawab dalam kegiatan
penelitian yang akan dilakukan berdasarkan pendekatan textual (berdasarkan
dokumen dan arsip) dengan memperhatikan hasil-hasil pendekatan contextual
(penelitian tentang sikap laku perorangan dan kelompok penduduk) dalam
masyarakat yang sedang menghadapi pembaharuan dan perub^ian sosial.

76
Dari hasil studi ini diharapkan suatu rekonstruksi sejarah yang mampu
memberikan keterangan latar belakang pertumbuhan historis kota Yogyakar-
ta sebagai telaah khusus sejarah perkotaan di Indonesia, seperti yang telah
dirintis untuk kota Jakarta (Milone 1966) dan kota Pare (Geertz 1965).
Dengan lain perkataan prosedur penelitian sejarah murni disesuaikan dengan
hasil penelitian bidang ilmu-ilmu sosial lain. Bentuk dan isi hasil prosedur
penelitian ini akan merupakan sejarah sosial kota.
Apakah sejarah sosial itu? Istilah ini dalam kepustakaan selalu merupa-
kan istilah yang batas-batasnya sukar untuk dirumuskan dan sukar pula
dicapai kata akhir mengenai perumusannya. Namun bertolak dari hasil-hasil
karya sejarah di waktu yang lalu, maka istilah itu dipakai dalam tiga
pengertian yang saling melengkapi. Pertama, dalam arti sejarah si miskin atau
sejarah gerakan mereka, yang dalam kepustakaan disebut sebagai gerakan
sosial. Kedua, istilah itu dipergunakan bagi karya-karya tentang ke-
anekaragaman aktivitas manusia, yang sukar untuk dikelaskan dalam istilah-
istilah seperti kebiasaan, adat-istiadat atau kehidupan sehari-hari. Ketiga,
istilah sejarah sosial dipergunakan dalam kombinasi dengan sejarah ekonomi
(Hobsbawm 1971 : 21).
Dalam hubungan studi ini, maka kategori kedualah yang akan dikem-
bangkan, dengan memperhatikan pendapat Goubert tentang sejarah lokal,
yaitu sejarah kelompok penduduk (Goubert 1971 : 117), yang tumbuh di
dalam batas-batas suatu kota. Berbagai segi lokal dalam masa transisi yang
didekati melalui konsep sejarah sosial dalam kerangka pemahaman proses di
antara "suara-suara lokal" dan "kekuasaan pusat" (MoVey 1978 : 1-131)
telah pula menjadi perhatian para ahli Asia Tenggara. Pendekatannya
mengenai berbagai masyarakat tradisional dalam situasi kolonial memperkuat
asumsi penulis karangan ini untuk dapat menerangkan perkembangan sebuah
kota melalui perkembangan tiga pranata sosial tersebut di atas. Dengan
demikian batas studi yang akan dilakukan juga menginjak bidang sejarah per-
kotaan, yang telah merupakan topik atau masalah-masalah kompleks yang
menjadi pusat perhatian sejarah sosial dan telah berkembang dalam kepus-
takaan di Eropa dan Amerika (Abrams & Wrigley 1979; Handlin & Burchard
1963; Hobsbawm 1971).
Apakah kota itu? Juga di sini tidak terdapat kesepakatan tentang batasan
tentang kota. Tiap negara mempunyai batasan sendiri, yang biasanya
dikaitkan dengan tujuan dan keperluan sensus. Jadi unsur utama sebuah kota
ialah jumlah penduduknya, namun jumlah yang ditentukan negara masing-
masing pun tidak sama. Ada juga yang ingin mendekati pengertian kota dari
funksinya: kota perdagangan, kota keagamaan, kota pelabuhan, kota
kerajaan dan kota kolonial. Dan masih banyak funksi yang lain, yang pernah
diiktisarkan oleh seorang penulis (Jones 1966).
Namun dari sekian banyak batasan tentang pengertian kota, pengertian
ideogram Mesir kuno tentang "kota", yaitu sebuah bulatan dengan garis si-
lang di tengahnya, seperti yang ditafsir oleh Robert S. Lopez nampaknya
mendekati hakekat pengertian tentang kota. Garis silang menunjukkan
adanya titik temu jalan-jalan yang masuk dan keluar kota yang mengatur lalu
lintas orang, barang dagangan dan juga gagasan-gagasan. Titik temu itu
mempercepat komunikasi yang selalu memberikan keuntungan, namun dapat
juga menghambat karena kota itu sendiri tidak dapat menyerap barang-
barang yang begitu cepat berdatangan dan merugikan kemampuan
pengeluaran barang produksinya sendiri. Bulatan dengan gambar hieroglyph
menunjukkan parit di keliling benteng atau tembok. Di dalam batas itu warga

77
kota hidup bersama, sadar sebagai sesama warga, bangga karena cara hidup-
nya lain dengan daerah di luarnya, terlindung dari bahaya dari luar dan ber-
hubungan satu sama lain. Tembok itu sendiri juga dapat menjadi penghambat
perkembangan, terutama bila menimbulkan frustrasi karena warganya tidak
dapat berhubungan dengan dunia di luarnya. Kesimpulan dari uraian itu ialah
adanya kecakapan untuk menghadapi perubahan dengan perasaan aneh
tentang identitasnya, atau dalam dua pengertian adanya "communication and
togetherness", komunikasi dan kebersamaan (Lopez 1963 : 27-28).
Bertalian dengan Yogyakarta, yang berbenteng justru daerah kraton Sul-
tan, yang bersama daerah di luarnya disebut kota, tetapi yang berada dalam
pengawasan penguasa kolonial. Rioklefs dalam studinya (1974; 362-413)
secara terperinci menguraikan segi-segi hubungan kraton Yogyakarta dengan
penguasa Belanda yang telah melakukan intervensi dalam masa pemerintahan
Sultan Mangkubumi, 1749 1792. Sembilan puluh tahun kemudian, dengan
diselingi Perang Diponegoro yang membawa akibat-akibat besar bagi kesul-
tanan Yogyakarta, residen van Baak pada tahun 1882 telah mulai dengan ga-
gasannya membagi daerah kesultanan Yogyakarta dalam tiga afdeeling:
Mataram, Kulon Progo dan Gunung Kidul. Pada tahun 1903 gagasan itu
dilaksanakan dengan Yogyakarta, Wates dan Wonosari sebagai ibukota setiap
afdeeling. Mataram terdiri dari "kota Yogyakarta" sebagai ibukota, Sleman,
Bantuld an Kalasan. Setelah reorganisasi pangreh praja pada tahun 1926,
maka daerah Kesultanan dibagi dalam 4 kabupaten dan satu saja yang
memakai nama kota, yaitu Kabupaten Kota Yogyakarta dengan Kawedanan
Kota Yogyakarta pula (Poerwokoesoemo 1968 : 52-53, 77).
Pembaharuan administrasi sejalan dengan pembangunan fisik kota, ter-
utama penyempurnaan jalan-jalan umum dan kereta api, jembatan-jembatan
penghubung, pusat-pusat pasar dan permukiman baru yang menandakan per-
kembangan prasarana fisik kota Yogyakarta dan mengubah wajah kota. Per-
kembangan penduduk membuat pula pembukaan permukiman baru dan per-
lunya bangunan sekolah-sekolah yang tersebar di berbagai sudut kota. Per-
luasan kota sejalan dengan pertambahan penduduk dan sarana kebutuhannya
yang nampak dari peta-peta kota Yogyakarta dari sejak tahun 1756 (Kasto
1976) Dari isi penerbitan L.P. Dingemans (Gegevens over Djokjakarta 1925
1926) kita ketahui banyaknya tajuk yang telah diperkenalkan oleh administra-
si kolonial untuk daerah Yogyakarta, yang sedikit atau banyak mempengaruhi
pertumbuhan kota Yogyakarta dan penduduknya. Hal-hal itu makin jelas bila
diperbandingkan dengan daftar isi sebuah studi tempat masa awal sejarah
kota Yogyakarta di bawah Sultan Mangkubumi 1749 1792 (Ricklefs 1974).
Seberapa jauh adanya "komunikasi dan kebersamaan" sebagai hakekat
sebuah kota dapat diterangkan melalui tiga segi perkembangan pranata sosial
yang ir>?r\!p-2kan ajang kegiatan kelompok penduduk kota Yogyakarta? Di
sinilah perlu dicatat pentingnya dua buah studi yang memberikan perspektif
-T-i-inh kota Yogyakarta sesudah masa perkembangan yang telah kami pilih.
Yang dimaksud ialah studi tentang pengaruh depresi ekonomi tahun 1930-an
atas daerah Yogyakarta (O'Malley 1977) dan sebuah studi tentang perubahan-
perubahan sosial yang terjadi di daerah itu yang meliputi perubahan
administrasi pada akhir Hindia Belanda, melalui zaman pendudukan Jepang,
zaman Revolusi Indonesia sampai kurang lebih tahun 1958 (Selosoemardjan
1962).
Mengapa kota Yogyakarta dipilih sebagai obyek studi? Dan mengapa
pula kurun waktu sejarah sosial kota itu ialah dari masa akhir abad ke-19
sampai dengan awal abad ke-20?

78
Sebagaimana semua karya sejarah, maka pada pertamanya terdapat
alasan subyektif mengenai topik yang akan dikerjakan seorang sejarawan.
Pilihan atas topik sejarah sosial kota, merupakan usaha untuk menguji rele-
vansi hasil kerja penelitian dan penulisan sejarah umum Indonesia di tingkat
lokal.
Adapun alasan obyektifnya ialah pengertian dan tanggapan penulis
karangan ini dalam melakukan pembacaan kepustakaan tentang sejarah
perkotaan. Betapa studi sejarah perkotaan di Indonesia sudah merupakan
arah gejala yang kuat dalam historiografi dapat kita amati dalam kepustakaan
(Nas et. al. 1975; Telkamp 1978; Yeung & Lo 1976)
Kota Yogyakarta menarik sebagai pusat perhatian studi karena di dalam
perkembangannya kota ini merupakan kota keraton di pedalaman yang
diawasi oleh pemerintah kolonial, sehingga dua kekuatan kcpcmiuga
bertumbuk di kota ini, kekutan tradisional dan kekuatan kolonial. Bahwa
kurun waktu yang dipilih ialah masa akhir abad ke-19 sampai awal abad
ke-20, hal ini bertali rapat dengan proses "pasifikasi Hindia Belanda" dan
makin mendalamnya pengaruh politik dan ekonomi kolonial ke daerah
pedalaman di Jawa, yang menimbulkan perubahan dan pembaharuan (Burger
1948-1950, 1975; Sosrodihardjo 1972). Dari sudut sejarah politik ketatanega-
raan terlihat kepentingannya berhubung dengan dua kontrak politik Kerajaan
Belanda dan Kesultanan Yogyakarta thaun 1877 dan 1921 (Soedarisman
Hardjodipoero 1942). Awal abad ke-20 menyaksikan tumbuhnya elite
Indonesia (Van Niel 1956) yang gejala dan prosesnya juga terdapat dalam
konteks lokal Yogyakarta. Kongres pertama suatu gerakan yang dianggap se-
bagai pelopor gerakan nasinalis Indonesia, Budi Utomo, juga diadakan di
Yogyakarta, dan dimungkinkan oleh konteks sosial budayanya. (Verslag
Congres Budyatama 1909; Nagazumi 1972; Resink 1979). Di Yogyakarta juga
didirikan sekolah-sekolah, yang penting ialah Kweekschool Jetis sebagai
tempat pesemaian para guru-guru pertama. Kemudian menyusul sekolah-
sekolah yang didirikan oleh kelompok penduduk kota itu seperti yang
diadakan oleh perkumpulan Vrijmetselarij, Keristen, Katolik, Muhamma-
diyah, Adhidarmo dan Taman Siswa.
Kemudian muncul suratkabar berbahasa Jawa, Belanda dan Mefayu-
Tionghwa sebagai pranata sosial baru sebuah kota, yang dapat berkembang
sejalan dengan peningkatan ekonomis kota Yogya serta makin besarnya pen-
duduk yang dapat dan suka membaca. Adapun kaitan konseptual tiga segi
perkembangan masyarakat kota itu ialah konsep professional communicators,
yaitu bgian kecil kelompok penduduk yang tidak saja mengeluarkan gagasan-
nya melalui tulisan di surat kabar dan majalah, tetapi juga melakukan ativitas
bebas di luar pemerintahan tradisional maupun birokrasi kolonial (Pye 1963 :
78-81: 82-148). bertolak dari pengertian itu kami tambahkan munculnya guru-
guru pertama yang mengajar sekolah-sekolah di Yogyakarta, sehingga mem-
perjelas kaitan tiga segi perkembangan masyarakat kota itu memasuki awal
abad k e-20, abad yang membawa bangsa kita ke dunia modern. Dan
masyarakat lokal Yogyakarta tidak dapat mengelak lagi untuk memasuki
dunia modern.

Permasalahan
Sumber arsip pemerintah Hindia Belanda, khususnya yang berupa
Memorie van Overgave para residen Yogyakarta selalu memakai kata-kata
hervormingen, nieuwe regelingen, reorganisatie, aanstelling van inlandsche

79
hoofden, beschikbaarstellen van Europeesche ambtenaren, invoering van
belasting, conversie van alle onbetaalde diensten.
Di dalam konteks sejarah kota Yogyakarta pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20 hal itu merupakan petunjuk-petunjuk awal bagaimana peme-
rintah Hindia Belanda memperkenalkan pranata-pranata baru di bidang
administrasi, hak tanah, susunan birokrasi, sistim pajak dan upah di dalam
tata penghidupan ekonomis dan tata kehidupan sosial budaya, masalah yang
berkait dengan itu ialah seberapa jauh penduduk menyadari hal itu sebagai
bagian pembaharuan dan kemudian melakukan tindak perbuatan menye-
suaikan diri dengan tuntutan zaman secara kreatif. Pembaharuan
administratif pernah disebut sebagai unsur yang paling awal dalam langkah ke
modernisasi (Passin 1963 : 82).
Kecuali dasar pemikiran pembaharuan administratif, maka kontak lang-
sung antara penduduk Eropa dan bumiputera pasti telah terjadi, walaupun
masih terbatas pada sebagian kecil lapisan atas. Kontak intelektual ternyata
menimbulkan pemuaian pikiran, terbukti semakin tertariknya kaum bang-
sawan dan kemudian kaum priyayi lain kepada pengajaran dan kesertaan
mereka dalam organisasi yang non tradisional, seperti pengaruh vrijmetselarij
di kalangan keluarga Paku Alam dan lingkungan pengurus Budi Utomo
dalam konteks Yogyakarta (Wering 1979).
Pengajaran yang pada mulanya memang dimaksudkan untuk dapat
menunjang usaha pembaharuan administratif, ditanggapi secara kreatif oleh
mereka yang mendapat kesempatan untuk mengenyamnya. Banyak para
lulusan sekolah menengah dan sekolah guru yang kemudian mengambil
keputusan untuk menjadi partekelir di luar birokrasi tradisional maupun
kolonial. Bersama-sama dengan guru mereka, maka tanggapan kreatif para
lulusan sekolah-sekolah pertama itu menarik untuk dianalisa. Hal demikian
merupakan kelanjutan dari suatu proses sejak akhir abad ke-19, dalam
sejarah percobaan-percobaan pendidikan sekolah di Indonesia di abad ke-19
(Kroeskamp 1973).
Salah satu segi perkembangan yang bertali erat dengan munculnya lite
Indonesia ialah munculnya surat kabar. Semula amenjadi kegiatan orang-
orang Belanda dan Tionghoa, maka kemudian banyak di antara lulusan
sekolah menengah dan sekolah guru yang menjadi redaksi dan penerbit surat
kabar. Fungsi surat kabar sebagai penampung berita dan penyebar gagasan
yang hidup dalam masyarakat telah diketahui umum. Bertalian dengan
masyarakat dalam situasi kolonial, maka fungsi pers bertambah penting lagi.
Dari rangkaian lokasi penerbitan surat kabar, yang kini tersimpan di
Perpustakaan Nasional di Jakarta nyata sekali kaitan timbulnya surat kabar
dengan tumbuhnya masyarakat kota di Indonesia. Lebih dari 75 kota di In-
donesia pada jaman Hindia Belanda pernah menjadi tempat tertibnya surat
kabar: dari mulai kota Ambon sampai Banda Aceh dan kota kecil Wates, di
dekat kota Yogyakarta (Katalog Surat Kabar 1973).
Dari penelitian yang telah dilakukan, untuk sementara telah tercatat lebih
dari 50 surat kabar. Dua di antaranya telah terbit sejak abad ke-19, yaitu
Mataram (Bahasa Belanda) yang terbit sejak tahun 1877 dan Retno Bhoemilah
(Bahasa Jawa) yang terbit sejak tahun 1895. Kemudian dalam abad ke-20
bermuncullah surat kabar lain yang merupakan petunjuk makin beranekanya
golongan penduduk kota Yogyakarta: dari surat kabar Melayu-Tionghoa
sampai ke surat kabar golongan agama, golongan keagamaan dan golongan
pergerakan nasionalis. Dengan mengikuti tumbuh dan tenggelamnya surat
kabar di kota Yogyakarta, maka gambaran mengenai sejarah kota ini akan

80
memperlihatkan segi-segi kegiatan kelompok penduduk dalam perkembangan
kota itu.
Selama ini'peranan gerakan nasionalis Indonesia lebih banyak diuraikan
dalam tingkat nasional daripada di tingkat lokal. Namun dari beberapa studi
mutakhir tentang itu nyata kaitan kondisi lokal dengan tumbuhnya Budi
Utomo (Nagazumi 1972), Muhammadiyah (Alfian Noer 1973), Taman Siswa
(McVey 1967; Tsuohiya 1976), Pakempalan Kawoelo Ngayogyakarta
(O'Malley 1978) dan perkembangan Islam masa kini di kota Gede (Nakamura
1976). Ketiga segi perkembangan masyarakat itu tumbuh sezaman sehingga
menarik untuk diterangkan derajat interaksi antar kelompok penduduk kota
itu. Adakah kaitan rencana dan pelaksanaan program perkembangan sosial
ekonomi oleh penguasa kolonial di daerah itu telah menciptakan tata
lingkungan baru penduduk kota? Seberapa jauh perkembangan baru
mengubah kedudukan kota itu sebagai kota bersejarah, lambang kewibawaan
kesultanan? Bagaimanakah sikap dan tindak perbuatan kaum bangsawan dan
golongan lite baru dalam menghadapi perubahan itu? Seberapa jauhkah
pranata sosial yang tumbuh di kota itu merupakan pusat-pusat perkembangan
penduduk kota?
Pengorganisasian data yang berhubungan dengan ketiga segi perkem-
bangan masyarakat kota itu dalam usaha rekonstruksi sejarah sosial kota,
diharapkan akan memberikan kejelasan proses sejarah kota tradisional dan
kolonial itu menjadi Kota Madya dewasa ini. Keberhasilan rekonstruksi
sejarah dapat memberikan sumbangan pengetahuan tentang kedudukan kota
di dalam sejarah Indonesia.
Bertali-erat dengan usaha rekonstruksi sejarah tersebut ialah ketepatan
metode penelitian yang akan ditempuh. Dalam penelitian seperti ini suatu
kombinasi metode penelitian sejarah dengan memperhatikan hasil-hasil
penelitian di bidang ilmu-ilmu sosial yang relevan dengan studi sejarah
perkotaan perlulah ditempuh.
Studi sejarah murni diharapkan memberikan perspektif di dalam dimensi
waktu yang kami tetapkan akan meliputi kurun waktu kurang lebih lima
puluh tahun. Bahan studinya terutama ialah dokumen dan arsip yang sezaman
atau yang lazim disebut dalam metodologi sejarah sebagai sumber sejarah
primer (Kartodirdjo 1977).
Pendekatan penelitian contextual, tentang sikap laku perorangan dan
kelompok masyarakat kota akan mendapat perhatian penuh. Diharapkan
dengan ini fakta dan data dari dokumen dan arsip sezaman dapat diinterpre-
tasi lebih luas dan mendalam latar belakang kemasyarakatannya (Berkhofer
1969; Kartodirdjo 1973; Singer 1973; 39 52).
Metode penelitian lapangan dan wawancara akan pula ditempuh sebagai
pelengkap kegiatan guna mengakrabkan peneliti dengan suasana kemasya-
rakatan budaya daerah itu masa kini. Dengan itu diharapkan dapat
mempertajam pandangan peneliti mengenai apa yang telah berubah dan apa
yang masih tetap dalam proses sejarah kota Yogyakarta.

31
Pandangan penutup
Pengorganisasian sumber-sumber penelitian tercermin dalam pembagian
sumber dan kepustakaan, yang dalam garis besarnya terbagi dalam sumber-
sumber primer berupa arsip Hindia Belanda, surat kabar semasa dan buku-
buku yang semasa pula.
Sumber-sumber terdiri dari buku dan surat kabar yang tidak semasa.
Satu segi khusus dari sumber sekunder ialah kepustakaan yang dipakai se-
bagai bahan orientasi pendekatan dan teori ilmu-ilmu sosial dalam hubungan
dengan studi sejarah. Diperhatikan ialah hasil penelitian yang relevan dengan
masyarakat kota pada umumnya, kota Yogyakarta khususnya.
Hasil pengorganisasian data dari studi permulaan ini akan membuka segi-
segi perkembangan transisional kota Yogyakarta.
Pertama, latar belakang sejarah kesultanan, usaha-usaha pembaharuan
kuasa kolonial dan pengaruhnya atas sikap-laku masyarakat kota Yogyakar-
ta. Dilengkapi dengan data perkembangan penduduk, dan perkembangan
kota secara fisik serta lokasi pusat-pusat kegiatan kelompok penduduk kota.
Kedua, latar belakang percobaan pendidikan Barat di abad ke-19. Ke-
lanjutannya pada awal abad ke-20, khususnya yang diselenggarakan di kota
Yogyakarta dengan uraian khusus tentang sekolah-sekolah swasta dan
sekolah sebagai pusat ideologi, pertanda tanggap kreatif atas perubahan
masyarakat setempat.
Ketiga, uraian umum tentang surat kabar lokal: tentang redaksi dan pe-
nerbit, bahasa dan isinya secara umum, dengan studi khusus tentang dua surat
kabar tertua di Yogyakarta Mataram dan Retno Dhoemilah yang merupakan
media awal yang terbuka bagi kelompok professional communicators.
Keempat, rekonstruksi sejarah gerakan nasionalis yang berkembang
dalam konteks lokal yang akan meliputi corak dan peranan kepemimpinan
lokal gerakan-gerakan tersebut, masalah-masalah lokal yang dikemukakan se-
bagai tujuan tindakan politik, sosial dan ekonomi yang berkait dengan
pergerakan di tingkat nasional.

82
KEPI S T \ K \ \ N

Abdullah. Taufik
1971 School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra
11927 1933/. MonographSeries Modern Indonesia Project,
Southeast Asia Program, Cornell University, Ithaca, New York.
Abrams, Philips & E A. Wrigley (eds)
1979 Towns in Societies. Essays in Economic History and Historical
Sociology. Cambridge University Press, Paperback edition
Alfian
1969 Islamic Modernish in Indonesian Politics: The Muhammadijah Mo-
vement during the Dutch Colonial Period 11912 1942). Ph. D. tesis
tak diterbitkan, University of Wisconsin.
Berkhofer, R.
1971 A Behavioral Approach to Historical Analysis. New York.
Between People and Statistics. Essays on Modem Indonesian History.
1979 Presented to P. Oreutzberg.
Martinus Nijhoff, The Hagus.
Bluss, L., Wesseling and G.D. Winius
1980 History and Underdevelopment
Leiden Centre for the History of European Expansion. Editions de la
Maison des Sciences del'home. Leiden-Paris.
Bus O.C.D., P. Paulus
1949 Missie en Onderwijs in Ned. Indie. 1808 1941
Dissertatio ad lauream in fakultate Missionelogica apud. Pont.
Athenaseum Urbanum de Propaganda Fide Moderanto. Khusus
Hoofdstuk I : 135 202.
Burger, D.H.
1977 Perubahan-perubahan Struktur Dalam Masyarakat Jawa, Bhratara,
Jakarta, Terjemahan dari karangan tahun 1948 1950 dengan Kata
Pengantar Soedjito Sosrodihardjo.
1975 Economisch-Sosiologische Cesohienis van Indonesia. Met
historiografische Introductie door J.S. Wigboldus. Twee Delen.
Koninklijk Instituut voor de Tropen. Amsterdam.
Dyos, H.J. ed.
1974 Urban History Yearbook 1974
Leicester University Press.
Geertz, C.
1965 The Social History of an Indonesian Town, The M.I.T. Press.
Cambridge, Massachusetts.
Gegevens over Djokjakarta. Voorwoord Resident van Djokjakarta
L.F. Dingemans.
1925
1926 A + B
Goubert, Pierre
1971 Local History, dalam Daedalus, Journal of the American Academy of
Arts and Sciences, Winter: 113 117.
Handlin, Oscar and John Burchard (eds)
1963 The Historian and the City. The M.I.T. Press and Harvard University
Press.
Hobsbawn, E.J.
1971 From Social History to the History of Society dalam Daedalus, Winter:
20 - 45.
Jones. Emrys
1955 Towns A Cities. Oxford University Press. New York, London,
Toronto

83
Kartodirdjo, Sarlono
1973 Protest Movements in Rural lava Institute of Southeast Asian Studies
Oxford University Press
1977 Metode Penggunaan Bahan Dokumen, dalam Koentjaraningrat ed.
Metode-metode Penelitian Masyarakat Gramedia, Jakarta: 61 92.
Kast o
1976 Pertambahan Penduduk Kotamadya Yogyakarta. Lembaga Kepen
dudukan Universitas Gadjah Mada.
Katalog Surat Kabar Koleksi Perpustakaan Museum Pusat, Jakarta disusun oleh Martini
1973 Hardjoprakoso.
Kroeskamp, H.
1973 Early Schoolmasters in a Developing Countries. A History of
Experiments in Schooleducation in 19th Century Indonesia. Van
Gorcum & Comp. B.V. Assen, The Netherlands.
Lopez, Robert S.
1963 The Crossroad Within the Wall, dalam Handlin, Oscar and John
Burohard 1963: 27-43.
McGee, T.G.
1967 The Southeast Asian City.
G. Bell and Sons Ltd. London.
McVey, Ruth T.
1967 Taman Siswa and the Indonesian National Awakening, dalam Indone-
sia (Cornell University), 4: 128-149.
1978 Southeast Asian Transitions. Approaches to Social History. Yale
University Press, New Haven and London. Essays written to honor the
late Harry J. Benda.
Milone, P.D.
1966 Queen City of the East: the Metamorphosis of a Colonial Capital.
Unpublished Ph. D. Thesis University of California, Berkeley.
Moertono, Soemarsaid
1974 Stale and Statecraft in Old Java: A Study of the later Malram Period
Monograph Series. Modern Indonesia Project, Cornell University,
Ithaca, New York.
Nagazumi, Akira
1972 The Dawn of Indonesian Nationalism. The Early Years of the Budi
Utomo 1908 1918. Institute of Developing Economies Tokyo.
Nakamura, Mitsuo
1976 The Crescent arises over the banyan tree: A Study of Muhammadijah
movement in a central Javanese town. Tesis, Ph. D. tak diterbitkan
Cornell University, Ithaca New York.
Nas, Peter J.M., Marise Pols-Haighton, Satyawan Sunito
1975 Bibliografie Urbanisatie in Indonesi. Instituut voor Cultureele
Anthropologie en Sociologie der niet-Westerse Volken, Bijksuniver-
siteit Leiden.
Niel, R. van
1956 The Emergence of Modern Indonesian Elite. W. van Hoeve. The
Hague-Bandung.
Nor, Deliar
1973 The Moderniest Muslim Movement in Indonesia 1900 - 1942 Oxford
University Press. Kuala Lumpur.
O'Mallye, William Joseph
1977 Indonesia in the Great Depression: A Study of East Sumatra and
Jogjakarta in the 1930s. Unpublished Ph. D. Thesis. Cornell
University.
1978 The Pakempalan Kawulo Ngajogjakarta: An Official Report on the
Jogjakarta People's Party of the 1930's, dalam Indonesia: 26: 111-120.

84
Passin, Herbert
1963 Writer and Journalist in the Transitional Society, dalam Pye 1963:
82-123
Pye, Lucian W (ed.)
1963 Communications and Political Development. Princeton University
Press. Princeton, New Jersey.
Poerwokoesoemo, Soedarisman
1968 Daerah Istimewa Jogjakarta. Naskah ketik.
Resink, G.J.
1976 Boedi Oetomo in de Vorstenlandse Omgeving, Bijdragen lot de taal-.
Land-, en Volkenkunde, DI. 134, 42, Afl.: 463-467. Saduran dalam
bahasa Indonesia terdapat dalam Surjomihardjo 1980.
Ricklefs, M.C.
1974 Jogjakarta under Sultan Mangkubumi, 1749 1792.
London Oriental Series, Vol. 30.
Selosoemardjan
1962 Social Changes in Jogjakarta. Ithaca, Cornell University Press.
Singer, Hilton
1972 When A Great Tradition Modernizes. An Anthropological Approach
to Indian Civilization. Pall Mai Press. London.
Soedarisman, Hardjodipoero, R.
1942 Enige Beschouwingen over hel Polilieke-Contract. Skripsi Meester in
de Rechten R.H.S., Batavia-D. photo copy naskah.
Surjomihardjo, Abdurrachman
1973 (ed) Beberapa Segi Sejarah Masyarakat-Budaya Jakarta. Dinas
Museum dan Sejarah DKI Jakarta.
1977 Pemekaran Kota/The Growth of Jakarta, Djambatan, Jakarta.
1980 Budi Utomo Cabang Betawi.
Pustaka Jaya. Jakarta.
Telkamp, Gerard J.
1978 Urban History and European Expansion. Leiden
Tsuchiya, Kenji
1976 Gerakan Taman Siswa: Delapan Tahun Pertama dan Latar Belakang
Jawa Taman Siswa, dalam S. Ichimura dan Koentjaraningrat (red),
Indonesia. Masalah dan peristiwa. Bunga Rampai. Gramedia Jakarta.
Verslag Congres Budyatama (yang pertama). Disusun dalam bahasa
1909 "Malayu-Jawa" oleh Dwidjosewojo.
Wallerstein, Immanuel
1966 Social Change. The Colonial Situation. John Wiley & Sons. New York.
Wering, C C . van
1979 The Freemasons in Budi Utomo. Photo copy naskah.
Wartheim, W.F. (ed)
1958 The Indonesian Town. Studies in Urban Sociology A. Manteau van
Hoeve, Bruxelles The Hague.
1959 Indonesian Society in Transition. A Study of Social Change. Van
Hoeve, 'sGravenhage.
1975 Elite en massa.
Amsterdam.

93
Lampiran I
KEPUTUSAN
DIREKTUR JENDERAL KEBUDAYAAN
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: 26/A.1/1981
TENTANG
PEMBENTUKAN PANITIA PENGARAH DAN PENANGGUNG JAWAB
PENYELENGGARAAN SEMINAR KESEJARAHAN DI JAKARTA
DIREKTUR JENDERAL KEBUDAYAAN
Menimbang : a. bahwa salah satu kegiatn Proyek Inventarisasi dan Doku-
mentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional adalah mengadakan Seminar Kesejarahan di
Jakarta;
b. bahwa untuk dapat tercapainya trtib kerja yang berdaya
guna dalam penyelenggaraan Seminar tersebut, maka di-
pandang perlu membentuk "Panitia Pengarah dan Pe-
nanggung Jawab Penyelenggaraan Seminar Kesejarahan di
Jakarta".
Mengingat : 1. Keputusan Presiden Republik Indonesia:
a. Nomor 44 Tahun 1974;
b. Nomor 45 Tahun 1974, sebagaimana telah diubah/di-
tambah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 62 Tahun 1981;
c. Nomor 47 Tahun 1979;
d. Nomor 237/M Tahun 1978;
e. Nomor 14 A Tahun 1980 beserta penyempurnaannya;
2. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan:
a. Nomor 0222 e/0/1980 tanggal 11 September 1980;
b. Nomor 0122/P/1981 tanggal 7 April 1981;
3. Surat Pengesahan DIP Tahun Anggaran 1981/1982
Nomor 462/XXIII/3/1981 tanggal 12 Maret 1981.

MEMUTUSKAN
Menetapkan
PERTAMA 1. Membentuk "Panitia Pengarah Seminar" dengan tugas
mengarahkan serta menyelesaikan sesuatu agar penyeleng-
garaan Seminar Kesejarahan mencapai hasil yang diharap-
kan.
2. Panitia tersebut pada ayat 1 pasal ini mempunyai anggota
sebagai tersebut dalam lampiran Keputusan ini.
KETIGA Mengangkat Penanggung Jawab Penyelenggaraan Seminar
Kesejarahan yang bertugas mengadakan persiapan pelaksana-
an dan penyelesaian Seminar Kesejarahan serta segala sesuatu
yang berhubungan dengan Seminar Kesejarahan yang nama-
nya seperti tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
KETIGA Biaya untuk keperluan pelaksanaan Keputusan ini dibe-
bankan pada anggaran yang disediakan dalam DIP Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional tanggal 12
Maret 1981 Nomor 462/XXIII/3/1981.
KEEMPAT : Apabila pelaksanaan Seminar Kesejarahan telah selesai, Pani-
tia Seminar dianggap bubar, dan mewajibkan Ketua Panitia
Seminar menyampaikan laporan tertulis pelaksanaan
tugasnya serta pertanggungjawaban keuangan kepada Direk-
tur Jenderal Kebudayaan.
KELIMA : Hal-hal lain yang belum diatur dalam Keputusan ini akan di-
atur lebih lanjut dalam ketentuan tersendiri.
KEENAM : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan
ketentuan bahwa Keputusan ini berlaku selama 3 bulan mulai
1 Agustus 1981.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Juli 1981.
DIREKTUR JENDERAL KEBUDAYAAN,
ttd.

Prof. Dr. Haryati Soebadio


NIP. 130 119 123
SALINAN KEPUTUSAN INI
Disampaikan kepada:
1. Sekretariat Negara,
2. Sekretariat Kabinet,
3. Semua Menteri Negara,
4. Semua Menteri Koordinator,
5. Semua Menteri,
6. Semua Menteri Muda,
7. Sekjen Dep. P. dan K.,
8. Inspektur Jenderal Dep. P. dan K.
9. Kepala BP3K Dep. P. dan K.,
10. Ditjen Hukum dan Perundang-undangan Dep. Kehakiman,
11. Semua Dirjen dalam lingkungan Dep. P. dan K.,
12. Semua Sekretaris Ditjen, Itjen, dan BP3K dalam Lingk. Dep. P dan K.,
13. Semua Direktorat, Biro, Pusat, Inspektur dan P.N. dalam lingk. Dep. P.
dan K.,
14. Semua Kepala Kanwil Dep. P. dan K. di Propinsi,
15. Semua Kordinator Perguruan Tinggi Swasta,
16. Semua Gubernur Kepala Daerah Tk. L,
17. Semua Universitas/Institut/Sekolah Tinggi/Akademi dalam lingkungan
Dep. P. dan K.
18. Dit. Perbendaharaan dan Belanja Negara Ditjen Anggaran Dep. Ke-
uangan,
19. Ditjen Anggaran,
20. Ditjen Pajak,
21. Badan Administrasi Kepegawaian Negara,
22. Semua Kantor Perbendaharaan Negara/Kantor Pembantu Perbendaha-
raan Negara,
23. Badan Pemeriksa Keuangan,
24. Ketua DPR-RI,
25. Komisi IX DPR-RI,
26. Ybs. untuk seperlunya.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Tatalaksana
Direktorat Jenderal Kebudayaan,

ttd
Sutarso, SH
NIP. 130186291

LAMPIRAN Keputusan Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor : 26/A.I/1981
Tanggal : 17 Juli 1981.
Daftar Susunan Keanggotaan Panitia Pengarah dan Penanggung Jawab
Penyelenggaraan Seminar Kesejahteraan di Jakarta

PELINDUNG:
I Prof. Dr. Haryati Soebadio Sebagai Pelindung;

PANITIA PENGARAH:
1. Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo Sebagai Ketua merangkap Anggota;
2. Dr. S. Budhisantoso Sebagai Wakil Ketua merangkap ang-
gota;
3. Drs. Anhar Gonggong Sebagai Sekretaris;
4. Prof. Dr. Nugroho Notosusanto -Sebagai Anggota;
5. Dr. R.P. Suyono Sebagai Anggota;
6. Drs. Bastomi Ervan Sebagai Anggota;
7. Drs. Buchari Sebagai Anggota;
8. Drs. UkaTjandrasasmita Sebagai anggota;
9. Drs. Abdurachman Surjomihar-
djo : Sebagai anggota.
Sutrisno Kutouo Sebagai Penanggung Jawab Penye-
lenggara.
Salinan sesuai dengan aslinya Ditetapkan di Jakarta
Kepala Bagian Tatalaksana Pada tanggal 17 Juli 1981
Direktorat Jenderal Kebudayaan DIREKTUR JENDERAL KEBU-
DAYAAN
ttd. ttd
Sutarso S.H. Prof. Dr. Haryati Soebadio
NIP. 130186291 NIP. 130119123
Lampiran II
DAFTAR PESERTA
SEMINAR SEJARAH NASIONAL III.
I. PANITIA PENGARAH
1. Prof. Dr. Haryati Soebadio Pelindung
2. Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo Ketua/Anggota
3. Dr. S. Budhisantoso Wakil Ketua/anggota
4. Drs. Anhar Gonggong Sekretaris
5. Prof. Dr. Nugroho Notosusanto Anggota
6. Dr. R.P. Suyono Anggota
7. Drs. Bastomi Ervan Anggota
8. Drs. Buchari Anggota
9. Drs. Uka Tjandrasasmita Anggota
10. Drs. Abdurrachman Suryomihardjo -Anggota
II. PANELIS
1. Dr. S. Budhisantoso
2. Dr. Taufik Abdullah
3. Dr. Kuntowijoyo
4. Dr. Edi Ekadjati
5. Drs. Amir Ruchiatmo
6. Prof. Dr. Mattulada
7. Dr. Nico Kana
8. Drs. Mudardjito
9. Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar
10. Dr. Steve Jawanao
11. Dr. T. Ibrahim Alfian
12. Dr. Onghokham
13. Dr. Yang Aisyah
14. Prof. Dr. Nugroho Notosusanto
15. Dra. Mona Lohanda
16. Dra. Sumartini
17. Prof. Dr. Sulastin Sutrisno
18. Dr. Sri Wulan Rudjiati
19. Dr. Ayat Rochaedy
20. Drs. F.X. Sutjipto
21. Dr. Nico L. Kalangie
III. Seksi-Seksi:
Sekai Pra Sejarah
1. Dr. R.P. Suyono Ketua
2. Drs. Goenadi Nitihaminoto Anggota/pembawa naskah
3. Drs. Hary Truman Simanjun-
tak : Anggota/pembawa naskah
4. Dn. D. Suryanto Anggota/pembawa naskah
5. Drs. Haris Sukendar Anggota/pembawa naskah
6. D.D. Bintarti Anggota/pembawa naskah
7. Dr. R.P. Suyono Anggota/pembawa naskah
8. Drs. Santoso Soegondo Anggota/pembawa naskah
9. R. Budi Santosa Azis Anggota/pembawa naskah
10. Ny. Nios A. Subagus Anggota/ pembawa naskah
l l . J . Ratna Indraningsih Pangga-
bean Anggota/pembawa naskah
12. Drs. I Made Sutaba Anggota/pembawa naskah
13. Drs. Nyoman Purusa Maha-
viranata Anggota/pembawa naskah
14. Dra. Ayu Kusumawati Anggota/pembawa naskah
15. Dra. Sumiati Atmosudiro

Seksi Sejarah Kuno


16. Drs. Buchari Ketua
17. Drs. I Gde Semado Astra Anggota/pembawa naskah
Drs. M.M. Sukarto K. Atmo
djo - Anggota/pembawa naskah
19. Dra. Ricadiana Kartakusu-
mah Anggota/pembawa naskah
20. Drs. Bambang Budi Utomo Anggota/pembawa naskah
21. Dra. Sri Soejatmi Satari Anggota/pembawa naskah
22. Drs. Moh. Umar Anggota/pembawa naskah
23. Drs. Yanto Ditjosuwondo Anggota/pembawa naskah
24. Drs. Nur Abbas Anggota/pembawa naskah
25. Edhie Wuryahtoro Anggota/pembawa naskah
26. D.S. Setya Wardhani Anggota/pembawa naskah
27. Drs. Buchari Anggota/pembawa naskah
28. Drs. Rusyai Padmawidjaja Anggota/pembawa naskah

Seksi Sejarah Pasca Kuno


29. Drs. UkaTjandrasasmita Ketua
30. Drs. P.J.Suwarno, SH Anggota/pembawa naskah
31. Ahmad Adaby Dahlan Anggota/pembawa naskah
32. SagimunM.D Anggota/pembawa naskah
33. Tawalinuddin Haris Anggota/pembawa naskah
34. H. Abdullah Tayib, BA Anggota/pembawa naskah
35. Drs. H. RamliNawawi Anggota/pembawa naskah
36. Drs. Fendy E.W. Parengkuan Anggota/pembawa naskah
37. Drs. Aminuddin Kasdi Anggota/pembawa naskah
38. Drs. A.A. Gde Putra Agung Anggota/pembawa naskah
39. Dra. Marledily Asmuni Anggota/pembawa naskah
40. M. Th. Naniek Harkantining-
sih Anggota/pembawa naskah
41. Drs. Moch. Hudan Anggota/pembawa naskah
42. Drs. Ma'mun Abdullah Anggota/pembawa naskah
43. Drs. E. Kosim Anggota/pembawa naskah
44. Drs. Sauki Hadiwardoyo Anggota/ pembawa naskah
45. Drs. Daud Limbu Gau Anggota/pembawa naskah
46. Drs. G. Moedjahto, MA Anggota/pembawa naskah

Seksi Sejarali Penjajalian Kolonial


47 Drs. DiokoSukiman
Dr T Ibrahim Alfian Ketua
48 Drs Suhartono Anggota/ pembawa naskah
49. Firdaus Burhan Anggota/pembawa naskah
50. Drs. NasiefChatib Anggota/pembawa naskah
51. Drs. Imam Hilman Anggota/pembawa naskah
52. Ida Bagus Sideman Anggota/pembawa naskah
53. Drs. H. Siahaan Anggota/pembawa naskah
54. Drs. A.A. Bagus Wirawan Anggota/pembawa naskah
55. Drs. Suwardi, MS Anggota/pembawa naskah
56. Dra. Tiurma L. Tobing Anggota/pembawa naskah
57. Drs. Hollius Syamsuddin, 1VIA -Anggota/pembawa naskah
58. Drs. R.Z. Leirrissa Anggota/pembawa naskah
59. Dra. Julianti Parani Anggota/pembawa naskah
60. Drs. Didi Suryadi Anggota/pembawa naskah
61. Drs. M. ld war Saleh Anggota/pembawa naskah
62. Drs. Rosad Amidjaja Anggota/pembawa naskah
63. A.M. Djuliati Suroyo Anggota/pembawa naskah
64. Moh. Noor ARS Anggota/pembawa naskah
65. Drs. Djoko Utomo Anggota/pembawa naskah

Seksi Sejarah Pergerakan Nasional


66. Drs. Abdurrahman Suryo
m i hard j o Ketua
67. Tengku Lukman Sinar, SH Anggota/pembawa naskah
68. Dra. Soekesi Soemoatmodjo Anggota/pembawa naskah
69. Wardiningsih Soerjohardjo Anggota/pembawa naskah
70. Drs. Rusdi Sufi Anggota/pembawa naskah
71. Drs. Mardanas Safwan Anggota/pembawa naskah
72. Drs. Yusmar Basri Anggota/pembawa naskah
73. Dra. Irna Hanny Hadisuwito -Anggota/pembawa naskah

Seksi Sejarah Mutakhir


74. Prof. Dr. Nugroho Notosu
sahto Ketua
75. H.A.M. Effendy, SH Anggota/pembawa naskah
76. Drs. Gazali Usman Anggota/pembawa naskah
77. I Gde Putu Gunawan Anggota/pembawa naskah
78. Drs. Suranto Sutanto Anggota/pembawa naskah
79. J.R. Chaniago, Drs Anggota/pembawa naskah
80. Drs. Adisusilo S.J. Anggota/pembawa naskah
81. Ariwiadi Anggota/pembawa naskah
82. Tri Wahyuning Mahrus
Irsyam, SS Anggota/pembawa naskah
83. Husain Haikal Anggota/pembawa naskah
84. Drs. Sutopo Sutanto Anggota/pembawa naskah
85. Tanu Suherly Anggota/pembawa naskah
86. J. Yogaswara Anggota/pembawa naskah
87. Drs. Anhar Gonggong Anggota/pembawa naskah
88. Susanto Zuhdi Anggota/pembawa naskah
89. Amrin Imran Anggota/pembawa naskah
90. Saleh A. Djamhari Anggota/pembawa naskah
91. Masfar R. Hakim Anggota/pembawa naskah
92. M. Idwar Saleh Anggota/pembawa naskah
93. Moela Marboen Anggota/pembawa naskah
Lampiran 111
LAPORAN HASIL SEMINAR SEJARAH NASIONAL III

PENGANTAR
Seminar Sejarah Nasional III dengan tujuan memasyarakatkan kesa-
daran bersejarah melalui penggalakan penelitian, penulisan, dan publikasi
sejarah secara baik telah diselenggarakan pada tanggal 10 sampai dengan 13
November 1981 di Jakarta.
Seminar telah membahas 17 makalah dalam sidng-sidang panel dan 86
dalam sidang-sidang seksi, dengan perincian sebagai berikut:

A. SIDANG PANEL
Sidang-sidang panel telah membahas:
1. Etnohistori dengan 4 makalah yang terdiri dari:
a. "Etnohistori Sebagai Pendekatan Sejarah di Indonesia", oleh Dr. S.
Budhisantoso.
b. "Studi Kasus Komuniti Sebagai Pendukung Penulisan Sejarah Na-
sional" oleh Dr. N.S. Kalangie
c. "Pengkajian Teks Lisan Sebagai Sumber Sejarah" oleh Dr.
Stephanus Djawanai.
d. "Etnoarkeologi: Peranannya dalam Pengembangan Arkeologi Indo-
nesia", oleh Drs. Mundardjito.
Kesimpulan: Mengingat keanekaragaman masyarakat dan ke-
budayaan Indonesia dan jangkauan masa sejarah yang sangat luas,
sementara itu tradisi tulis menulis dan sumber sejarah masih sangat ter-
batas, maka dirasa perlu untuk mengembangkan konsep-konsep, me-
todologi dan cara pengumpulan data yang mampu menggali dan me-
manfaatkan berbagai sumber sejarah yang tidak tertulis baik yang berupa
teks lisan maupun lain-lain.
Atas dasar kenyataan tersebut, maka pendekatan etnohistori perlu
diselenggarakan secara terarah, khususnya dalam mengungkapkan se-
jarah kelompok etnis sebagai bagian dari masyarakat-masyarakat bang-
sa.
Sedang etnoarkeologi dirasa perlu dalam usaha memahami sejarah
asal-usul, perkembangan, persebaran dan pembauran kebudayaan bang-
sa di masa lampau sebagaimana bercermin dalam kebudayaan materiil.
2. Historiografi Tradisional dengan 5 makalah yang terdiri dari:
a. "Struktut Politik dan Historiografi Tradisional" oleh Drs. F.A.
Sutjipto.
b. "Kebudayaan Setempat dan Historiografi Tradisional" oleh Dr. Sri
Wulan Rudjiati Mulyadi.
c. "Sastra dan Historiografi Tradisional" oleh Prof. Dr. Sulastin
Sutrisno.
d. "Tokoh dan Historiografi Tradisional: Studi Kasus Tokoh Dipati
Ukur" oleh Dr. Edi S. Ekajati.
e. "Peranan Benda Purbakala dalam Historiografi Tradisional" oleh
Dr. Ayatrohaedi.
Kesimpulan: Historiografi Tradisional sebagai satu jenis penulisan
sejarah yang disusun secara tradisional, berbeda dengan historiografi
modern, karena ia berlandaskan pada pengertian dan pandangan penulis
tentang sejarah dan kebudayaannya. Oleh karena itu pengkajian tulisan
sejarah tradisional amat penting artinya bagi penulisan sejarah nasional,
khususnya dalam mengungkapkan nilai-nilai budaya, gagasan utama dan
keyakinan yang melatarbelakangi peristiwa-peristiwa sejarah.
3. Sejarah Lokal meliputi 3 makalah, yaitu:
a. "Di sekitar Sejarah Lokal di Indonesia" oleh Dr. Taufik Abdullah.
b. "Sebelah catatan Tentang Bagaimana Lokalnya Sejarah Lokal" oleh
Dr. Ibrahim Alfian.
c. "Sejarah Lokal" oleh Dr. Onghokham.
Kesimpulan: Penulisan sejarah lokal sangat penting artinya dalam
menyusun sejarah nasional mengingat perkembangan masyarakat yang
beragama sebelum dan sesudah terbentuknya negara kesatuan Indonesia.
Kerajaan-kerajaan besar maupun kecil yang pernah berkembang dan
banyaknya masyarakat kesukuan serta perkauman yang mengalami
sejarah di lokalitas masing-masing, memerlukan pendekatan penulisan
sejarah yang lebih banyak memperhatikan keadaan setempat dengan
dinamikanya masing-masing.
4. Sejarah Lisan meliputi 3 makalah yang terdiri dari:
a. "Wawancara Simultan: Suatu Experimen Dalam Sejarah Lisan" Oleh
Prof. Dr. Nugroho Notosusanto.
b. "Sumber Sejarah Lisan Dalam Penulisan Sejarah Kontemporer In-
donesia" oleh Dra. Mona Lohanda.
c. 'Kegunaan Sejarah Lisan Dalam Penulisan Sejarah Nasional" oleh
Dr. Kuntowijoyo.
Kesimpulan: Kelangkaan sumber dokumenter mendorong sejarawan
untuk mencari sumber lisan. Untuk penulisan sejarah mutakhir terutama
sejarah revolusi, pengumpulan sumber lisan sudah sangat mendesak
untuk dilakukan, karena semakin jauh jarak waktu yang semakin surut
usia serta daya ingat para pelaku sejarah, akan semakin sukarlah peng-
galiannya. Dikhawatirkan bahwa sumber sejarah lisan itu akan punah
sebelum berhasil direkam.
B. SIDANG SEKSI
Sidang-sidang seksi telah membahas:
t. Praseajrah yang meliputi 14 makalah (lihat lampiran daftar makalah).
2. Sejarah Kuno: meliputi 12 makalah (lihat lampiran daftar makalah)
3. Sejarah Abad XVI XVIII meliputi 15 makalah (lihat lampiran daftar
makalah).
4. Sejarah Abad XIX Masa Perlawanan Terhadap Penjajah, meliputi 16
makalah (lihat lampiran daftar makalah).
5. Sejarah Awal Abad XX Perguruan Nasional meliputi 10 makalah
(lihat lampiran daftar makalah).
6. Sejarah Mutakhir meliputi 19 makalah (lihat lampiran daftar makalah)
C. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Sidang-sidang seksi telah menyimpulkan bahwa jarak antara Seminar
Sejarah Nasional II dan III terlalu jauh, sehingga tampak adanya
kesenjangan mutu antara makalah yang ditulis oleh para peserta Senior
dan peserta yunior.
Adapun kesimpulan dari masing-masing seksi ialah sebagai berikut:
1. PRASEJARAH:
a. Beberapa makalah mengungkapkan data baru yang penting untuk me-
lengkapi sejarah manusia dan kebudayaannya. Pada masa prasejarah
di Indonesia.
b. Sebagian makalah membahas keadaan masyarakat masa kini yang
masih hidup dengan tradisi prasejarah (etnoarkeologi).
c. Dari pembahasan ternyata terdapat kesinambungan unsur-unsur
kebudayaan prasejarah yang melintasi batas kurun waktu Indonesia
Hindu, Indonesia Islam dan berlanjut sampai masa kini.
2. SEJARAH KUNA
a. Tampak kemajuan dalam penelitian Sejarah Kuna, ternyata dibahas-
nya temuan-temuan baru, dan munculnya tafsiran-tafsiran baru atas
sumber yang telah tersedia.
b. Munculnya muka-muka baru yang di antaranya baru pertama kali
tampil dalam forum nasional, tetapi telah menunjukkan karya ilmiah
yang cukup bermutu.
c. Adanya beberapa makalah yang mutunya agak kurang, yang diajukan
oleh peserta dari daerah, yang rupa-rupanya amat kekurangan sumber
kepustakaan sebagai bahan referensi.
d. Nampak kurangnya perhatian terhadap penggunaan sumber-sumber
naskah kuna, baik yang membahas segi-segi prosesual, maupun segi
struktural Sejarah Kuna Indonesia.
e. Dari makalah-makalah yang diajukan tampak bahwa para peneliti
sejarah kuna dihambt oleh kurang tersedianya hasil-hasil penelitian
filosogis, khususnya, mengenai naskah-naskah yang berkenaan
dengan pemerintahan, hukum, keagamaan, peraturan tentang tingkah
laku bagi golongan-golongan masyarakat, dan lain-lain.
3. SEJARAH ABAD XVI XVIII
a. Di antara 14 makalah, hanya ada lima yang mengungkapkan data-da-
ta baru yang penting bagi memperkaya pengetahuan Sejarah Indo-
nesia, yaitu mengenai masuk dan proses perkembangan Islam di Bima,
Lombok. Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali.
b. Masuk dan proses perkembangan Islam di Indonesia menimbulkan
perubahan sosial-budaya dan pergeseran kekuasaan.
Walaupun demikian tetap terdapat kesinambungan sosial-budaya
yang berdiri Indonesia.
4. SEJARAH ABAD XIX/MASA PERLAWANAN TERHADAP
PENJAJAH
Minar dan peran-serta dalam penulisan dan pembahasan sejarah abad
XIX sangat besar, namun demikian kritisisme historis belum mendapat
perhatian yang serius. Di samping itu masalah pendekatan atau kerangka
acuan masih belum mendapat tempat dalam sebagian besar makalah.
5. SEJARAH AWAL ABAD XX/PERGERAKAN NASIONAL
Beberapa makalah yang dibahas mengenai sejarah awal abad XX dan
Pergerakan Nasional menunjukkan adanya penguasaan metodologis dan
kemampuan penulisannya.
6. SEJARAH MUTAKHIR
Nampak besarnya minat masyarakat terhadap sejarah kutakhir, sehingga
menuntut kecermatan dan peningkatan kemampuan metodologis dalam
penelitian dan penulisan sejarah.
SanmsanM
Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan di atas maka diajukan saran-saran
umum sebagai berikut:
a. Agar Seminar Sejarah Nasional diselenggarakan secara bersinambung
sekurang-kurangnya 4 tahun sekali.
b. Agar topik yang hendak dibahas ditentukan terlebih dahulu, sehingga
masalahnya lebih terpusat dan lebih banyak waktu untuk pembahasan.
Selanjutnya saran dari masing-masing saksi ialah sebagai berikut:
1. PRASEJARAH
a. Untuk menyempurnakan/memantapkan kronologi prasejarah In-
donesia, penggunaan metode pertanggalan radiometris sangat diperlu-
kan.
b. Untuk menyusun perkerangkaan prasejarah Indonesia berdasarkan
pada sosial ekonomi, diperlukan peningkatan penelitian paleo-ekologi
yang terpadu.
c. Penyebarluasan pola sosial ekonomi dalam perkerangkaan prasejarah
Indonesia perlu ditingkatkan pola pendidikan mulai dari Sekolah
Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi.
2. SEJARAH KUNA
a. Diharapkan kepada pemerintah, cq. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, untuk menyediakan perpustakaan yang memadai bagi
Universitas dan Institut yang mempunyai jurusan Sejarah dan
Arkeologi, khususnya majalah-majalah ilmiah dalam kedua bidang
tersebut. Baik dari dalam maupun dari luar negeri.
b. Disarankan agar pemerintah memberi rangsangan bagi para ahli
filologi untuk menggarap naskah-naskah kuna sebagai sumber
informasi bagi penelitian dan penulisan Sejarah dan arkeologi In-
donesia. ,'.-"-
3. SEJARAH ABAD XVI XVIII
Peningkatan penelitian sejarah abad XVI XVIIl dirasa perlu untuk
dilakukan secara lebih mendalam dengan memperhatikan sumber-sumber
informasi dan metodologi yang sesuai, sehingga dapat mengungkapkan
sejarah secara objek.tif. .
4. SEJARAH ABAD XIX/MASA PERLAWANAN TERHADAP
PENJAJAH , ^:
a. Dirasa perlu peningkatan penKlran dari penulisan sejarah perlawanan
' terhadap penjajah dari seluruh daerah di Iridqpesia, sehingga hifeilnya
dapat dipetik u^itjak, dadjkan bahan ^gna njenanmkari ' srhangat
iy
rjatriotisrhe dan cinta tanah'air bgi segeiiap lapisan masyarakat. (%ng-
sa Indonesia, t
b*. htk mencapai tujuan tersebut -di atas, diperlukan penyusunan
bibliografi yang menyangkut sejarah dan kebudayaan dari setiap
daerah yang antara lain memuat daftaV makalah yang terdapat dalam
majalah-majalah sepertUIMT.' TI, TBG, BKI. dan lain-lain.
c. Hendaknya, diusahakan pula bahan-bahan arsip yang penting untuk
penulisan .sejarah suatu daerah.
5. SEJARAH AWAL ABAD XX/PERGERAKAN NASIONAL "
Agar makalah-makalah yang baik segera diterbitkan untuk disebarluas-
kan kepada masyarakat.
6. SEJARAH MUTAKHIR
Agar makalah-makalah yang baik segera diterbitkan untuk dise-
barluaskan kepada masyarakat.
Jakarta, 13 Nopember 1981
Tim Perumus Seminar Sejarah Nasional III
I ainnirun IV
DAFTAR MAKALAH SEMINAR SEJARAH NASIONAL III
I MAKAI AH SEKSI PRA SEJARAH:
1 Tradisi Megalitik pada Makam Islam/Asta Tinggi Sumenep, oleh Drs
Goenadi Nitihaminoto.
2 Tradisi Masa Perundagian pada Masyarakat Batak, oleh Drs Harri
Truman Simanjuntak.
3 Watu Kandang Matesih: Arti pentingnya dalam Masa Perundagian, oleh
Drs. D. Suryanto.
4. Peninggalan Megalitik khususnya tentang kubur Batu Megalitik Terjan,
oleh Drs. Haris Sukendar.
5. Moko sebagai salah satu unsur penting masa perundagian, oleh DRA
D.D. Bintarti.
6. Masalah-masalah kronologi Prasejarah Indonesia, oleh Dr. R.P.
Suyono.
7. Awal perdagangan gerabah di Indonesia, oleh Drs. Santoso Soegondo.
8. Tinjauan tentang tradisi kapal perimbas-penetak di Indonesia, oleh Drs.
R. Budi Sant osa Azis.
9. Tradisi serpih bilah di Indonesia, oleh Dra. Ny. Nies A. Subagus.
10. Situs kubur tempayan di Anyer, Jawa Barat, oleh Drs. J. Ratna Indra-
ningsih.
11. Bentuk-bentuk megalit di Pura Bukit Mentik di desa Buwahan Kinta-
mani, Bangli, oleh Drs. I Made Sutaba.
12. Pola penguburan sarkofagus di desa Tigawasa Buleleng, oleh Drs.
Nyoman Purusa Mahaviranata.
13. Peninggalan tradisi masa perundagian di Sumba Timur, oleh Drs. Ayu
Kusumawati.
14. Tradisi masyarakat bercocok tanam di Liwolere, Larantuka, Nusa Teng-
gara Barat, oleh Dra. Sumiati Atmosudiro.

II. MAKALAH SEKSI SEJARAH KUNO


1. Teori tentang asal usul Ratu Cri Sang Ajnadevi, oleh Drs. Gde Made
Astra.
2. Betulkah Artasura Retna Bumi Banten seorang raja Bali yang murka dan
hina oleh Drs. M.M. Sukarto K. Atmodjo.
3. Rakryan Sanjiwana, oleh Dra. Richadiana Kartakusumah.
4. Timbul dan berlanjutnya pemukiman di daerah Kedu, oleh Drs. Bam-
bang Budi Utomo.
5. Sejarah Batang Kuno dan sekitarnya. Studi wilayah Sejarah Lama, oleh
Drs. Moh. Oemar.
6. Mithos Ratu Adil Jawa sebagai usaha motivasi penyatuan kembali Ke-
rajaan Jenggala, oleh Drs. Yanto Dirjosuwondo.
7 Peninggalan Hinduisme di Aceh, oleh Drs. Nur Abbas.
8. Wanua I Tpi Siring, data prasasti jaman Balitung, oleh Drs. Edhi
Wurjantoro.
9. Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu, oleh Dra. D.S. Setya Wardani.
10. Ulah pemungut pajak dalam masyarakat Jawa Kuno (Faudulent tax
officials in ancient Javanese Society), oleh Drs. Buchari.
II Candi Cangkuang dan permasalahannya, oleh Drs. Rusyai Padmawi-
djaja
12 Kerajaan Kuantan, oleh Dra. Marlaely Asmuni.
III. MAKALAH SEKSI SEJARAH ARAB KE-16 18
1. Sejarah Kauman Yogya. Sebuah Studi perubahan Sosial, oleh Ahmad
Adaby Darban.
2. Sombaopu, Bungaya dan beberapa kesalahan dalam penulisan sejarah,
oleh Sagimun M.D.
3. Sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Lombok, oleh Tawalinuddin
Haris.
4. Sejarah masuk dan berkembangnya agama Islam di Bima, oleh H.
Abdullah Tayib, B.A.
5. Perkembangan agama Islam di Kalimantan Selatan sampai akhir abad
ke-18, oleh Drs. H. Ramli Mawawi.
6. Pengaruh penyebaran agama Islam terhadap kehidupan sosial politik di
daerah Sulawesi Utara, oleh: Drs. Fendy E.W. Parengkuan.
7. Peranan kepurbakalaan Islam untuk memahami kedatangan dan perse-
baran Islam di Jawa, oleh Drs. Aminuddin Kasdi.
8. Sejarah masuknya Islam di Karangasem Bali, oleh Drs. A.A. Gde Putra
Agung.
9. Faham keislaman dan perkembangan politik dalam masa kerajaan Islam
di Demak, oleh Drs. Moch Hudan.
10. Caatan singkat tentang Masyarakat kota Banten Lama abad ke-16, oleh
Dra. M. Th. Naniek Harkantiningsih.
11. Masuk dan berkembangnya agama Islam di daerah Sumatera Selatan;
suatu tinjauan historis, oleh Drs. Ma'mun Abdullah.
12. Pertumbuhan idem kekuasaan Jawa: Studi kasus Kerajaan Matram pada
masa pertengahan abad XVIII, oleh Drs. Sauki Hadiwardoyo.
13. Masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajan di Sulawesi
Selatan, oleh Drs. Daud Limbu Gau.
14. Pergeseran kekuasaan dalam sejarah Mataram, oleh Drs. G. Moedjanto,
MA.

IV. M A K A L A H SEKSI M A S A P E R L A W A N A N T E R H A D A P P E N J A J A H
1. Bekal dan Gerakan sosial: Kasus Srikaton Surakarta 1888, oleh Drs.
Suhartono.
2. Interpretasi positif atas pengaruh Inggeris Bengkulu, oleh Firdaus Burhan.
3. Perlawanan Sutan Mangkutur terhadap Belanda di Mandiling, oleh Drs.
Nazief Chatib.
4. Peristiwa pembunuhan Asisten residen Nagel tahun 1845, oleh Drs. Imam
Hilman.
5. Perang Kusamba 24 Mei 1949, oleh Ida Bagus Sidemen.
6. Keterlibatan Belanda dalam percaturan politik di Kalimantan Barat pada
abad ke-19, oleh Drs. H. Siahaan.
7. Puputan Klungkung 28 April 1958. Perlawanan terhadap penjajah, oleh
Drs. A . A . Bagus Wirawan.
8. Perlawanan Raja Haji Marhum Telok Ketapang-Malaka menghadapi
Belanda (1782 - 1784), oleh Drs. Suwardi MS.
9. Pengkristenan Tanah Batak pertemuan dua kepentingan (Usaha memper-
tahankan Hababatahon dan kolonialisme Belanda) oleh Drs. Tiurma L.
Tobing.
10. Perang Ngali dan Perang Sapugara di pulau Sumbawa tahun 1908, oleh
Drs. Helius Syamsuddin, M.A.
11. Raja Jailolo (1811 - 1932). Gerakan Nativisme di Maluku, oleh Drs. R.Z
Leirissa.
12. Tradisi lokal dan penulisan sejarah Buton, Dra. Julianti Parani.
13. Pemberontakan Petani di Tanggerang 1924, Drs. Didi Suryadi
14. Wajib kerja di Karesidenan Kedu pada abad ke-19, oleh A.M. Djuliati
Suroyo.
15. Pangeran Panji dari Kerajaan Pasir, oleh Noor Ars.
16. Pemogokan Buruh tani di Yogyakarta tahun 1882, oleh Drs. Djoko
Utomo.

V. MAKALAH SEKSI PERGERAKAN NASIONAL


1. Tuhan Sang Nahualu Raja Siantar, oleh Tengku Lukman Sinar S.H.
2. Sekolah Kartini suatu usaha untuk menyebarkan dan meningkatkan ke-
cerdasan wanita pada permulaan abad ke XX, oleh Drs. Sukesi
Soemoatmodjo.
3. Dua Radicale Concentratie; Sebuah perbandingan, oleh Wardiningsih
Soerjohardjo, SS.
4. Pengaruh Pendidikan Barat terhadap kedudukan ekonomi Uleebalang di
Aceh oleh Drs. Rusdi Sufi.
5. Beberapa pengalaman wawancara untuk menulis sejarah perintis
kemerdekaan oleh Drs. Mardanan Safwan.
6. Pelaksanaan Sejarah Lisan dalam penelitian sejarah pemberontakan De
Zeven Provincin, oleh Drs. Yusmar Basri.
7. Soewardi Soerjaningrat dalam pengasingan, oleh Dra. Irna Hanny Hadi
Soewito.
8. Peranan Inlandsche Matine Bond (1MB) dalam pemberontakan di atas
kapal De Zeven Provincin, oleh Rochmani Santosa.
9. Mangkunegaran dan Nata Surata, oleh Dra. Darsiti Suratman.
10. Suatu Pendekatan Sejarah Sosial Kota Yogyakarta akhir abad ke-19 awal
abad ke-20:
VI. MAKALAH SEKSI SEJARAH MUTAKHIR
1. Kapan lahirnya Pancasila, oleh R.AM. Effendy, SH
2. Pengaruh persetujuan Linggarjati terhadap perjuangan ABRI Divisi IV,
Periode revolusi Fisik 1945 1949, oleh Drs. Gazali Usman.
3. Usaha Petani dalam mempertahankan hidup. Kisah pendudukan Jepang
di Madiun, oleh Drs. I Gde Putu Gunawan.
4. Pemberontakan PKI Mr. Mohammad Joesoeph tahun 1946 di Cirebon,
oleh Drs. Soeranto Soetanto.
5. Wajah dua muka sebuah kekuatan politik. Badan Pekerja KNIP periode
Jakarta, oleh Drs. J.R. Chaniago.
6. Pengaruh Rasionalisme terhadap Badan-badan Perjuangan dan TNI
(1947 1950), oleh Drs. Ariwiadi.
7. Cina Islam di Indonesia (Pengenalan awal terhadap PITI) oleh Tri
Wahyuning Mahrus Irsyam, SS.
8. Minoritas Tionghoa dalam sastra Indonesia, oleh Husain Raikal.
9. Pemerintahan Nasional kota Jakarta, oleh Drs. Soetopo Soetanto.
10. Kekuatan Gerilya di daerah Priangan pada waktu Divisi Siliwangi hijrah
1948, oleh Drs. Tanu Suherly.
11. Lahirnya Badan-badan Perjuangan dan BKR di kota Bandung sampai
timbulnya MDPP/MPPP, oleh Drs. J. Jogaswara.
12. Oahhar Mudzakkar: Pergumulan dalam siri, Suatu Sisi situasi gerakan
Pemberontakan Dl/TII di Sulawesi Pada 1950 1965. oleh Drs Anhar
Gonggong.
13. Bogor Shu pada masa pendudukan Jepang (1942 1945) oleh Surnanto
Zuhdi
14. Markas Besar Komando Sumatera 1948 1949, oleh Drs. Amrin Imran.
15. Kekuatan-kekuatan revolusi di Surabaya (1945), oleh Saleh S. Djamhari
16. Operasi lintas laut menembus blokade Belanda (1946 1949), oleh Drs.
Masfar R. Hakim.
17. Sejarah pembentukan UUD '45 dan pengesahannya, oleh Drs. Moela
Marbun.
18. Sumbangan Prof. Dr. Soepomo terhadap perumusan Dasar Negara dan
UUD 1945, oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto.
19. Perkembangan Peranan Ulama Dalam Arena Politik di Aceh Utara, oleh
Drs. P.J. Suwarno, SH.
20. Rakyat dan Tentara di Bibis 1949, oleh Drs. Adisusilo S.J.
Panitia Seminar Sejarah
Nasional III
/t/U Ofh

You might also like