You are on page 1of 10

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Rumah Sakit (RS) merupakan suatu unit yang sangat kompleks. Kompleksitas ini tidak hanya
berkaitan dengan rumah sakit sebagai tempat pelayanan medis namun juga sebagai tempat
yang paling mungkin menularkan infeksi (nosokomial) baik pada pasien, petugas kesehatan
maupun masyarakat yang berkunjung. Hal ini terjadi karena rumah sakit mengandung populasi
mikroorganisme yang tinggi dengan jenis virulen yang resisten terhadap antibiotik (Potter &
Perry, 2006). Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di sarana pelayanan kesehatan baik
rumah sakit, rumah perawatan, panti jompo, dan klinik kesehatan lainnya (Rohani dan Setio,
2010). Suatu penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) tahun 2006
mencatat angka kejadian infeksi nosokomial sekitar 8,7% pada 55 rumah sakit di 14 negara di
Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Pasifik. Angka kejadian infeksi nosokomial di Asia
Tenggara tercatat sebanyak l0% (Nugraheni, dkk, 2012). Sepuluh Rumah Sakit Umum (RSU)
pendidikan di Indonesia pada tahun 2010 mencatat angka kejadian infeksi nosokomial yang
terjadi sekitar 6-16% dengan rata-rata 9,8% (Nugraheni, dkk, 2012). Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang sebagai salah satu rumah sakit rujukan di Nusa Tenggara
Timur (NTT) juga mencatat adanya infeksi nosokomial yang terjadi 2 pada tahun 2014. Angka
infeksi nosokomial yang terjadi pada Bulan Februari 2014 adalah 0,17%, pada Bulan Maret
0,15%, pada Bulan Mei sekitar 0,04%, pada Bulan Juni terjadi peningkatan menjadi 0,69% (RSUD
Kupang, 2014). Jenis infeksi nosokomial yang paling banyak terjadi di RSUD Prof. Dr. W. Z.
Johannes Kupang adalah kejadian infeksi pada pasien-pasien pasca operasi yaitu sebanyak
0,92%. Infeksi nosokomial lain yang terjadi sejak Bulan Januari hingga Juni 2014 adalah Plebitis
sebanyak 4 kasus (RSUD Kupang, 2014). Oleh karena itu, perlu diupayakan suatu tindakan
pencegahan dan pengendalian terhadap penularan infeksi. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
(PPI) adalah suatu upaya yang ditujukan untuk mencegah transmisi penyakit menular di semua
tempat pelayanan kesehatan (Minnesota Department of Health, 2014). Aktivitas pengendalian
infeksi berfokus pada upaya memotong mata rantai infeksi dengan cara mengendalikan jumlah
dan jenis agen, tempat penyimpanan mikroorganisme penyakit di rumah sakit, serta mencegah
perpindahan mikroorganisme tersebut, baik pada pasien maupun petugas kesehatan (Rohani &
Setio, 2010). Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2007 telah mengeluarkan Surat
Keputusan Nomor 382/Menkes/SK/III/2007 sebagai bentuk dukungan dalam upaya pencegahan
terjadinya infeksi nosokomial. Surat Keputusan ini menyebutkan tentang Pelaksanaan Program
PPI di Rumah Sakit maupun fasilitas pelayanan kesehatan lain melalui pembentukan Panitia
Medik Pengendalian Infeksi. Tugas dari Panitia Medik Pengendalian Infeksi ini berfokus pada
upaya 3 pemutusan siklus penularan penyakit dan melindungi pasien, petugas kesehatan,
pengunjung, serta masyarakat yang menerima pelayanan kesehatan (Darmadi, 2008; Kemenkes
RI, 2011). Hasil wawancara peneliti dengan perawat anggota Panitia Medik Program PPI di RSUD
Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang menyatakan bahwa pelaksanaan program PPI sudah mulai
berjalan dengan baik. Petugas dari Panitia Medik PPI Rumah Sakit melakukan sosialisasi tentang
cara-cara pencegahan dan pengendalian infeksi, misalnya cara mencuci tangan yang benar,
pemakaian Alat Pelindung Diri (APD), dan sebagainya. Salah satu bentuk pelaksanaan program
PPI adalah pengelolaan limbah rumah sakit secara baik dan benar (Kemenkes RI, 2011).
Pengelolaan limbah rumah sakit perlu dilakukan karena semua hasil kegiatan pelayanan medis di
rumah sakit akan menghasilkan produk samping berupa limbah yang dapat diindikasikan sebagai
reservoar kuman infeksi. Reservoar ini akan menjadi sumber mikroba patogen penyebab
penyakit infeksi (Darmadi, 2008). Pengelolaan limbah rumah sakit adalah suatu upaya yang
dilakukan terhadap limbah, mulai dari tahap pemilahan dan pengumpulan di tempat sumber,
pengangkutan, penampungan hingga tahap pemusnahan (Djohan & Halim, 2013). Peran perawat
dalam pengelolaan limbah terletak pada tahap pemilahan (Indonesia Public Health Information,
2014). Perawat harus memilah limbah medis dan limbah non medis serta menempatkannya
pada wadah penampung 4 berdasarkan jenis limbah dan/atau sesuai ketentuan yang ada di
rumah sakit (Djohan & Halim, 2013). Limbah medis adalah limbah sarana medis yang habis
terpakai atau terbuang setelah digunakan sebagai alat bantu diagnosis, pengobatan, prosedur
dan tindakan medis atau perawatan pada pasien, misalnya kassa, plester, jarum suntik, set
infus/botol infus, kantung darah, sarung tangan, dan sebagainya. Limbah non medis adalah
limbah hasil kegiatan rumah tangga rumah sakit (kantor/tata usaha, dapur, taman, gudang,
rekam medis, dan sebagainya), misalnya kertas, plastik, kaleng, sayur/buah yang terbuang, daun,
ranting, dan lain-lain (Darmadi, 2008). Tahap pemilahan kedua jenis limbah ini dilakukan mulai
dari tempat sumber limbah, yakni unit perawatan/unit pelayanan medis (Djohan & Halim, 2013).
Salah satu tempat penghasil limbah terbanyak adalah Instalasi Gawat Darurat (IGD). IGD adalah
salah satu instalasi perawatan yang pertama dilalui pasien saat diindikasikan Masuk Rumah Sakit
(MRS). Ruangan IGD merupakan tempat awal pasien mendapatkan prosedur dan/atau tindakan
medis sehingga ruangan IGD menjadi salah satu tempat yang banyak menghasilkan limbah hasil
prosedur dan tindakan medis yang dilakukan serta salah satu tempat yang paling mungkin
menularkan infeksi (Darmadi, 2008). IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang mencatat jumlah
kunjungan pasien baik pasien yang menjalani rawat jalan biasa dan pasien yang diindikasikan
rawat inap dalam tahun 2014 sebanyak 15.138 pasien. Pasien-pasien yang datang ini sebagian
besar mendapatkan tindakan dan prosedur medis baik yang bersifat 5 emergensi, urgen, dan
non urgen. Tindakan dan prosedur medis yang diterima pasien tergantung pada jenis penyakit
dan dapat berupa tindakan atau prosedur pemasangan oksigen, pengambilan darah,
pemasangan infus, pemasangan kateter, tindakan hecting, dan lain sebagainya. Beragamnya
tindakan dan prosedur medis yang ada di IGD ini, tentunya akan menghasilkan banyak limbah
baik medis dan non medis (RSUD Kupang, 2014; Musliha, 2010). Upaya pemilahan limbah medis
dan non medis merupakan kegiatan yang memerlukan pengetahuan, pemahaman yang benar-
benar baik, kesadaran, dan keterampilan yang benar dari perawat (Darmadi, 2008; Rohani &
Setio, 2010). Namun pada kenyataannya, masih ada perawat yang mengabaikan hal ini. Hasil
wawancara peneliti dengan petugas Instalasi Pemeliharaan Sarana Rumah Sakit (IPSRS) RSUD
Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang menyebutkan bahwa saat akan melakukan proses pemusnahan
limbah, masih ditemukan adanya limbah medis dan non medis yang tercampur. Peneliti juga
mewawancarai seorang perawat yang bertugas dalam Panitia Medik Pengendalian Infeksi RSUD
Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang yang menyatakan bahwa saat melakukan inspeksi mendadak ke
setiap ruangan perawatan, kadang-kadang masih ditemukan limbah medis dan non medis yang
tercampur. Hasil wawancara peneliti dengan Kepala Ruangan dan seorang perawat Instalasi
Gawat Darurat (IGD) RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang, dikatakan bahwa perilaku perawat
dalam membuang limbah medis dan non medis masih tergolong kurang baik misalnya balutan-
balutan bekas dari pasien (sampah medis) dibuang 6 ke kantong hitam yang seharusnya kantong
tersebut digunakan untuk menyimpan sampah non medis. Contoh lainnya adalah jarum-jarum
bekas dari pasien dibuang begitu saja di dalam tempat sampah padahal sudah disediakan safety
box untuk membuang benda-benda tajam. Ini menunjukkan bahwa masih ada perilaku perawat
yang kurang baik dalam melakukan pemilahan limbah medis dan non medis. Perilaku perawat
yang kurang baik ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Berbagai teori dikembangkan untuk
menentukan determinan perilaku. Kholid (2012) menyebutkan ada beberapa faktor yang
mempengaruhi perilaku yaitu usia, jenis kelamin, pengetahuan, pendidikan, sikap, nilai
(keyakinan). Notoadmodjo (2010) menuliskan teori dari Green (1980), yang menyebutkan bahwa
determinan perilaku mencakup faktor predisposisi (misalnya pengetahuan, sikap, tradisi, nilai
kepercayaan), faktor pemungkin/enabling, dan faktor penguat/reinforcing. Marmi dan Margayati
(2013) menambahkan faktor lain yang mempengaruhi perilaku adalah sarana dan fasilitas serta
dukungan sosial. Penelitian Kusnaryanti (2005) dan Maironah, dkk (2011) menuliskan bahwa ada
hubungan antara pengetahuan, sikap, ketersediaan fasilitas, peran kepala ruangan sebagai role
model dengan praktek petugas kesehatan khususnya perawat dalam hal pengelolaan limbah
rumah sakit. Sedangkan hasil penelitian Jasmwati, dkk (2011) menentang dua hasil penelitian ini
yang menyebutkan tidak ada hubungan antara pengetahuan, sikap dan ketersediaan fasilitas
dengan perilaku pengelola limbah medis rumah sakit. 7 Berdasarkan hasil penelusuran peneliti,
di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang, penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan
dengan perilaku perawat dalam memilah limbah medis dan non medis ini belum pernah
dilakukan serta masih ada pro dan kontra tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan
perilaku perawat dalam pengelolaan limbah rumah sakit. Hal ini menarik perhatian peneliti
untuk mengetahui lebih dalam faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam
memilah limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang penulis angkat adalah Faktor-
faktor apa yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam memilah limbah medis dan non
medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum
dari penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat
dalam memilah limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang.

1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : a. Mengidentifikasi pengetahuan
perawat tentang pemilahan limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes
Kupang. b. Mengidentifikasi sikap perawat dalam pemilahan limbah medis dan non medis di IGD
Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang c. Mengidentifikasi ketersediaan fasilitas untuk proses
pemilahan limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang d.
Mengidentifikasi peran Kepala Ruangan dalam pemilahan limbah medis dan non medis di IGD
RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang e. Mengidentifikasi perilaku perawat dalam memilah
limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang. f. Menganalisis faktor-
faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam pemilahan limbah medis dan non
medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Praktis
a. Bagi perawat Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi perawat dalam upaya
mencegah dan mengendalikan infeksi melalui pemilahan limbah medis dan non medis. 9
b. Bagi pihak manajemen Rumah Sakit Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan untuk
manajemen rumah sakit dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit melalui
peningkatan pengetahuan, sikap perawat dan pengadaan sarana prasarana yang mendukung
proses pemilahan limbah rumah sakit sehingga program PPI dapat terlaksana dengan baik.

1.4.2 Manfaat Teoritis


a. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dan pemikiran bagi pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang PPI khususnya dalam pemilahan limbah medis dan non medis.

b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar kepustakaan dan informasi awal untuk melakukan BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Rumah Sakit (RS) merupakan suatu unit yang sangat kompleks. Kompleksitas ini tidak hanya
berkaitan dengan rumah sakit sebagai tempat pelayanan medis namun juga sebagai tempat
yang paling mungkin menularkan infeksi (nosokomial) baik pada pasien, petugas kesehatan
maupun masyarakat yang berkunjung. Hal ini terjadi karena rumah sakit mengandung populasi
mikroorganisme yang tinggi dengan jenis virulen yang resisten terhadap antibiotik (Potter &
Perry, 2006). Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di sarana pelayanan kesehatan baik
rumah sakit, rumah perawatan, panti jompo, dan klinik kesehatan lainnya (Rohani dan Setio,
2010). Suatu penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) tahun 2006
mencatat angka kejadian infeksi nosokomial sekitar 8,7% pada 55 rumah sakit di 14 negara di
Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Pasifik. Angka kejadian infeksi nosokomial di Asia
Tenggara tercatat sebanyak l0% (Nugraheni, dkk, 2012). Sepuluh Rumah Sakit Umum (RSU)
pendidikan di Indonesia pada tahun 2010 mencatat angka kejadian infeksi nosokomial yang
terjadi sekitar 6-16% dengan rata-rata 9,8% (Nugraheni, dkk, 2012). Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang sebagai salah satu rumah sakit rujukan di Nusa Tenggara
Timur (NTT) juga mencatat adanya infeksi nosokomial yang terjadi 2 pada tahun 2014. Angka
infeksi nosokomial yang terjadi pada Bulan Februari 2014 adalah 0,17%, pada Bulan Maret
0,15%, pada Bulan Mei sekitar 0,04%, pada Bulan Juni terjadi peningkatan menjadi 0,69% (RSUD
Kupang, 2014). Jenis infeksi nosokomial yang paling banyak terjadi di RSUD Prof. Dr. W. Z.
Johannes Kupang adalah kejadian infeksi pada pasien-pasien pasca operasi yaitu sebanyak
0,92%. Infeksi nosokomial lain yang terjadi sejak Bulan Januari hingga Juni 2014 adalah Plebitis
sebanyak 4 kasus (RSUD Kupang, 2014). Oleh karena itu, perlu diupayakan suatu tindakan
pencegahan dan pengendalian terhadap penularan infeksi. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
(PPI) adalah suatu upaya yang ditujukan untuk mencegah transmisi penyakit menular di semua
tempat pelayanan kesehatan (Minnesota Department of Health, 2014). Aktivitas pengendalian
infeksi berfokus pada upaya memotong mata rantai infeksi dengan cara mengendalikan jumlah
dan jenis agen, tempat penyimpanan mikroorganisme penyakit di rumah sakit, serta mencegah
perpindahan mikroorganisme tersebut, baik pada pasien maupun petugas kesehatan (Rohani &
Setio, 2010). Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2007 telah mengeluarkan Surat
Keputusan Nomor 382/Menkes/SK/III/2007 sebagai bentuk dukungan dalam upaya pencegahan
terjadinya infeksi nosokomial. Surat Keputusan ini menyebutkan tentang Pelaksanaan Program
PPI di Rumah Sakit maupun fasilitas pelayanan kesehatan lain melalui pembentukan Panitia
Medik Pengendalian Infeksi. Tugas dari Panitia Medik Pengendalian Infeksi ini berfokus pada
upaya 3 pemutusan siklus penularan penyakit dan melindungi pasien, petugas kesehatan,
pengunjung, serta masyarakat yang menerima pelayanan kesehatan (Darmadi, 2008; Kemenkes
RI, 2011). Hasil wawancara peneliti dengan perawat anggota Panitia Medik Program PPI di RSUD
Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang menyatakan bahwa pelaksanaan program PPI sudah mulai
berjalan dengan baik. Petugas dari Panitia Medik PPI Rumah Sakit melakukan sosialisasi tentang
cara-cara pencegahan dan pengendalian infeksi, misalnya cara mencuci tangan yang benar,
pemakaian Alat Pelindung Diri (APD), dan sebagainya. Salah satu bentuk pelaksanaan program
PPI adalah pengelolaan limbah rumah sakit secara baik dan benar (Kemenkes RI, 2011).
Pengelolaan limbah rumah sakit perlu dilakukan karena semua hasil kegiatan pelayanan medis di
rumah sakit akan menghasilkan produk samping berupa limbah yang dapat diindikasikan sebagai
reservoar kuman infeksi. Reservoar ini akan menjadi sumber mikroba patogen penyebab
penyakit infeksi (Darmadi, 2008). Pengelolaan limbah rumah sakit adalah suatu upaya yang
dilakukan terhadap limbah, mulai dari tahap pemilahan dan pengumpulan di tempat sumber,
pengangkutan, penampungan hingga tahap pemusnahan (Djohan & Halim, 2013). Peran perawat
dalam pengelolaan limbah terletak pada tahap pemilahan (Indonesia Public Health Information,
2014). Perawat harus memilah limbah medis dan limbah non medis serta menempatkannya
pada wadah penampung 4 berdasarkan jenis limbah dan/atau sesuai ketentuan yang ada di
rumah sakit (Djohan & Halim, 2013). Limbah medis adalah limbah sarana medis yang habis
terpakai atau terbuang setelah digunakan sebagai alat bantu diagnosis, pengobatan, prosedur
dan tindakan medis atau perawatan pada pasien, misalnya kassa, plester, jarum suntik, set
infus/botol infus, kantung darah, sarung tangan, dan sebagainya. Limbah non medis adalah
limbah hasil kegiatan rumah tangga rumah sakit (kantor/tata usaha, dapur, taman, gudang,
rekam medis, dan sebagainya), misalnya kertas, plastik, kaleng, sayur/buah yang terbuang, daun,
ranting, dan lain-lain (Darmadi, 2008). Tahap pemilahan kedua jenis limbah ini dilakukan mulai
dari tempat sumber limbah, yakni unit perawatan/unit pelayanan medis (Djohan & Halim, 2013).
Salah satu tempat penghasil limbah terbanyak adalah Instalasi Gawat Darurat (IGD). IGD adalah
salah satu instalasi perawatan yang pertama dilalui pasien saat diindikasikan Masuk Rumah Sakit
(MRS). Ruangan IGD merupakan tempat awal pasien mendapatkan prosedur dan/atau tindakan
medis sehingga ruangan IGD menjadi salah satu tempat yang banyak menghasilkan limbah hasil
prosedur dan tindakan medis yang dilakukan serta salah satu tempat yang paling mungkin
menularkan infeksi (Darmadi, 2008). IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang mencatat jumlah
kunjungan pasien baik pasien yang menjalani rawat jalan biasa dan pasien yang diindikasikan
rawat inap dalam tahun 2014 sebanyak 15.138 pasien. Pasien-pasien yang datang ini sebagian
besar mendapatkan tindakan dan prosedur medis baik yang bersifat 5 emergensi, urgen, dan
non urgen. Tindakan dan prosedur medis yang diterima pasien tergantung pada jenis penyakit
dan dapat berupa tindakan atau prosedur pemasangan oksigen, pengambilan darah,
pemasangan infus, pemasangan kateter, tindakan hecting, dan lain sebagainya. Beragamnya
tindakan dan prosedur medis yang ada di IGD ini, tentunya akan menghasilkan banyak limbah
baik medis dan non medis (RSUD Kupang, 2014; Musliha, 2010). Upaya pemilahan limbah medis
dan non medis merupakan kegiatan yang memerlukan pengetahuan, pemahaman yang benar-
benar baik, kesadaran, dan keterampilan yang benar dari perawat (Darmadi, 2008; Rohani &
Setio, 2010). Namun pada kenyataannya, masih ada perawat yang mengabaikan hal ini. Hasil
wawancara peneliti dengan petugas Instalasi Pemeliharaan Sarana Rumah Sakit (IPSRS) RSUD
Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang menyebutkan bahwa saat akan melakukan proses pemusnahan
limbah, masih ditemukan adanya limbah medis dan non medis yang tercampur. Peneliti juga
mewawancarai seorang perawat yang bertugas dalam Panitia Medik Pengendalian Infeksi RSUD
Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang yang menyatakan bahwa saat melakukan inspeksi mendadak ke
setiap ruangan perawatan, kadang-kadang masih ditemukan limbah medis dan non medis yang
tercampur. Hasil wawancara peneliti dengan Kepala Ruangan dan seorang perawat Instalasi
Gawat Darurat (IGD) RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang, dikatakan bahwa perilaku perawat
dalam membuang limbah medis dan non medis masih tergolong kurang baik misalnya balutan-
balutan bekas dari pasien (sampah medis) dibuang 6 ke kantong hitam yang seharusnya kantong
tersebut digunakan untuk menyimpan sampah non medis. Contoh lainnya adalah jarum-jarum
bekas dari pasien dibuang begitu saja di dalam tempat sampah padahal sudah disediakan safety
box untuk membuang benda-benda tajam. Ini menunjukkan bahwa masih ada perilaku perawat
yang kurang baik dalam melakukan pemilahan limbah medis dan non medis. Perilaku perawat
yang kurang baik ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Berbagai teori dikembangkan untuk
menentukan determinan perilaku. Kholid (2012) menyebutkan ada beberapa faktor yang
mempengaruhi perilaku yaitu usia, jenis kelamin, pengetahuan, pendidikan, sikap, nilai
(keyakinan). Notoadmodjo (2010) menuliskan teori dari Green (1980), yang menyebutkan bahwa
determinan perilaku mencakup faktor predisposisi (misalnya pengetahuan, sikap, tradisi, nilai
kepercayaan), faktor pemungkin/enabling, dan faktor penguat/reinforcing. Marmi dan Margayati
(2013) menambahkan faktor lain yang mempengaruhi perilaku adalah sarana dan fasilitas serta
dukungan sosial. Penelitian Kusnaryanti (2005) dan Maironah, dkk (2011) menuliskan bahwa ada
hubungan antara pengetahuan, sikap, ketersediaan fasilitas, peran kepala ruangan sebagai role
model dengan praktek petugas kesehatan khususnya perawat dalam hal pengelolaan limbah
rumah sakit. Sedangkan hasil penelitian Jasmwati, dkk (2011) menentang dua hasil penelitian ini
yang menyebutkan tidak ada hubungan antara pengetahuan, sikap dan ketersediaan fasilitas
dengan perilaku pengelola limbah medis rumah sakit. 7 Berdasarkan hasil penelusuran peneliti,
di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang, penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan
dengan perilaku perawat dalam memilah limbah medis dan non medis ini belum pernah
dilakukan serta masih ada pro dan kontra tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan
perilaku perawat dalam pengelolaan limbah rumah sakit. Hal ini menarik perhatian peneliti
untuk mengetahui lebih dalam faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam
memilah limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang penulis angkat adalah Faktor-
faktor apa yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam memilah limbah medis dan non
medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum
dari penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat
dalam memilah limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang.
1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : a. Mengidentifikasi pengetahuan
perawat tentang pemilahan limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes
Kupang. b. Mengidentifikasi sikap perawat dalam pemilahan limbah medis dan non medis di IGD
Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang c. Mengidentifikasi ketersediaan fasilitas untuk proses
pemilahan limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang d.
Mengidentifikasi peran Kepala Ruangan dalam pemilahan limbah medis dan non medis di IGD
RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang e. Mengidentifikasi perilaku perawat dalam memilah
limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang. f. Menganalisis faktor-
faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam pemilahan limbah medis dan non
medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Praktis
a. Bagi perawat Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi perawat dalam upaya
mencegah dan mengendalikan infeksi melalui pemilahan limbah medis dan non medis. 9
b. Bagi pihak manajemen Rumah Sakit Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan untuk
manajemen rumah sakit dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit melalui
peningkatan pengetahuan, sikap perawat dan pengadaan sarana prasarana yang mendukung
proses pemilahan limbah rumah sakit sehingga program PPI dapat terlaksana dengan baik.

1.4.2 Manfaat Teoritis


a. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dan pemikiran bagi pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang PPI khususnya dalam pemilahan limbah medis dan non medis.

b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar kepustakaan dan informasi awal untuk melakukan BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Rumah Sakit (RS) merupakan suatu unit yang sangat kompleks. Kompleksitas ini tidak hanya
berkaitan dengan rumah sakit sebagai tempat pelayanan medis namun juga sebagai tempat
yang paling mungkin menularkan infeksi (nosokomial) baik pada pasien, petugas kesehatan
maupun masyarakat yang berkunjung. Hal ini terjadi karena rumah sakit mengandung populasi
mikroorganisme yang tinggi dengan jenis virulen yang resisten terhadap antibiotik (Potter &
Perry, 2006). Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di sarana pelayanan kesehatan baik
rumah sakit, rumah perawatan, panti jompo, dan klinik kesehatan lainnya (Rohani dan Setio,
2010). Suatu penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) tahun 2006
mencatat angka kejadian infeksi nosokomial sekitar 8,7% pada 55 rumah sakit di 14 negara di
Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Pasifik. Angka kejadian infeksi nosokomial di Asia
Tenggara tercatat sebanyak l0% (Nugraheni, dkk, 2012). Sepuluh Rumah Sakit Umum (RSU)
pendidikan di Indonesia pada tahun 2010 mencatat angka kejadian infeksi nosokomial yang
terjadi sekitar 6-16% dengan rata-rata 9,8% (Nugraheni, dkk, 2012). Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang sebagai salah satu rumah sakit rujukan di Nusa Tenggara
Timur (NTT) juga mencatat adanya infeksi nosokomial yang terjadi 2 pada tahun 2014. Angka
infeksi nosokomial yang terjadi pada Bulan Februari 2014 adalah 0,17%, pada Bulan Maret
0,15%, pada Bulan Mei sekitar 0,04%, pada Bulan Juni terjadi peningkatan menjadi 0,69% (RSUD
Kupang, 2014). Jenis infeksi nosokomial yang paling banyak terjadi di RSUD Prof. Dr. W. Z.
Johannes Kupang adalah kejadian infeksi pada pasien-pasien pasca operasi yaitu sebanyak
0,92%. Infeksi nosokomial lain yang terjadi sejak Bulan Januari hingga Juni 2014 adalah Plebitis
sebanyak 4 kasus (RSUD Kupang, 2014). Oleh karena itu, perlu diupayakan suatu tindakan
pencegahan dan pengendalian terhadap penularan infeksi. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
(PPI) adalah suatu upaya yang ditujukan untuk mencegah transmisi penyakit menular di semua
tempat pelayanan kesehatan (Minnesota Department of Health, 2014). Aktivitas pengendalian
infeksi berfokus pada upaya memotong mata rantai infeksi dengan cara mengendalikan jumlah
dan jenis agen, tempat penyimpanan mikroorganisme penyakit di rumah sakit, serta mencegah
perpindahan mikroorganisme tersebut, baik pada pasien maupun petugas kesehatan (Rohani &
Setio, 2010). Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2007 telah mengeluarkan Surat
Keputusan Nomor 382/Menkes/SK/III/2007 sebagai bentuk dukungan dalam upaya pencegahan
terjadinya infeksi nosokomial. Surat Keputusan ini menyebutkan tentang Pelaksanaan Program
PPI di Rumah Sakit maupun fasilitas pelayanan kesehatan lain melalui pembentukan Panitia
Medik Pengendalian Infeksi. Tugas dari Panitia Medik Pengendalian Infeksi ini berfokus pada
upaya 3 pemutusan siklus penularan penyakit dan melindungi pasien, petugas kesehatan,
pengunjung, serta masyarakat yang menerima pelayanan kesehatan (Darmadi, 2008; Kemenkes
RI, 2011). Hasil wawancara peneliti dengan perawat anggota Panitia Medik Program PPI di RSUD
Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang menyatakan bahwa pelaksanaan program PPI sudah mulai
berjalan dengan baik. Petugas dari Panitia Medik PPI Rumah Sakit melakukan sosialisasi tentang
cara-cara pencegahan dan pengendalian infeksi, misalnya cara mencuci tangan yang benar,
pemakaian Alat Pelindung Diri (APD), dan sebagainya. Salah satu bentuk pelaksanaan program
PPI adalah pengelolaan limbah rumah sakit secara baik dan benar (Kemenkes RI, 2011).
Pengelolaan limbah rumah sakit perlu dilakukan karena semua hasil kegiatan pelayanan medis di
rumah sakit akan menghasilkan produk samping berupa limbah yang dapat diindikasikan sebagai
reservoar kuman infeksi. Reservoar ini akan menjadi sumber mikroba patogen penyebab
penyakit infeksi (Darmadi, 2008). Pengelolaan limbah rumah sakit adalah suatu upaya yang
dilakukan terhadap limbah, mulai dari tahap pemilahan dan pengumpulan di tempat sumber,
pengangkutan, penampungan hingga tahap pemusnahan (Djohan & Halim, 2013). Peran perawat
dalam pengelolaan limbah terletak pada tahap pemilahan (Indonesia Public Health Information,
2014). Perawat harus memilah limbah medis dan limbah non medis serta menempatkannya
pada wadah penampung 4 berdasarkan jenis limbah dan/atau sesuai ketentuan yang ada di
rumah sakit (Djohan & Halim, 2013). Limbah medis adalah limbah sarana medis yang habis
terpakai atau terbuang setelah digunakan sebagai alat bantu diagnosis, pengobatan, prosedur
dan tindakan medis atau perawatan pada pasien, misalnya kassa, plester, jarum suntik, set
infus/botol infus, kantung darah, sarung tangan, dan sebagainya. Limbah non medis adalah
limbah hasil kegiatan rumah tangga rumah sakit (kantor/tata usaha, dapur, taman, gudang,
rekam medis, dan sebagainya), misalnya kertas, plastik, kaleng, sayur/buah yang terbuang, daun,
ranting, dan lain-lain (Darmadi, 2008). Tahap pemilahan kedua jenis limbah ini dilakukan mulai
dari tempat sumber limbah, yakni unit perawatan/unit pelayanan medis (Djohan & Halim, 2013).
Salah satu tempat penghasil limbah terbanyak adalah Instalasi Gawat Darurat (IGD). IGD adalah
salah satu instalasi perawatan yang pertama dilalui pasien saat diindikasikan Masuk Rumah Sakit
(MRS). Ruangan IGD merupakan tempat awal pasien mendapatkan prosedur dan/atau tindakan
medis sehingga ruangan IGD menjadi salah satu tempat yang banyak menghasilkan limbah hasil
prosedur dan tindakan medis yang dilakukan serta salah satu tempat yang paling mungkin
menularkan infeksi (Darmadi, 2008). IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang mencatat jumlah
kunjungan pasien baik pasien yang menjalani rawat jalan biasa dan pasien yang diindikasikan
rawat inap dalam tahun 2014 sebanyak 15.138 pasien. Pasien-pasien yang datang ini sebagian
besar mendapatkan tindakan dan prosedur medis baik yang bersifat 5 emergensi, urgen, dan
non urgen. Tindakan dan prosedur medis yang diterima pasien tergantung pada jenis penyakit
dan dapat berupa tindakan atau prosedur pemasangan oksigen, pengambilan darah,
pemasangan infus, pemasangan kateter, tindakan hecting, dan lain sebagainya. Beragamnya
tindakan dan prosedur medis yang ada di IGD ini, tentunya akan menghasilkan banyak limbah
baik medis dan non medis (RSUD Kupang, 2014; Musliha, 2010). Upaya pemilahan limbah medis
dan non medis merupakan kegiatan yang memerlukan pengetahuan, pemahaman yang benar-
benar baik, kesadaran, dan keterampilan yang benar dari perawat (Darmadi, 2008; Rohani &
Setio, 2010). Namun pada kenyataannya, masih ada perawat yang mengabaikan hal ini. Hasil
wawancara peneliti dengan petugas Instalasi Pemeliharaan Sarana Rumah Sakit (IPSRS) RSUD
Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang menyebutkan bahwa saat akan melakukan proses pemusnahan
limbah, masih ditemukan adanya limbah medis dan non medis yang tercampur. Peneliti juga
mewawancarai seorang perawat yang bertugas dalam Panitia Medik Pengendalian Infeksi RSUD
Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang yang menyatakan bahwa saat melakukan inspeksi mendadak ke
setiap ruangan perawatan, kadang-kadang masih ditemukan limbah medis dan non medis yang
tercampur. Hasil wawancara peneliti dengan Kepala Ruangan dan seorang perawat Instalasi
Gawat Darurat (IGD) RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang, dikatakan bahwa perilaku perawat
dalam membuang limbah medis dan non medis masih tergolong kurang baik misalnya balutan-
balutan bekas dari pasien (sampah medis) dibuang 6 ke kantong hitam yang seharusnya kantong
tersebut digunakan untuk menyimpan sampah non medis. Contoh lainnya adalah jarum-jarum
bekas dari pasien dibuang begitu saja di dalam tempat sampah padahal sudah disediakan safety
box untuk membuang benda-benda tajam. Ini menunjukkan bahwa masih ada perilaku perawat
yang kurang baik dalam melakukan pemilahan limbah medis dan non medis. Perilaku perawat
yang kurang baik ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Berbagai teori dikembangkan untuk
menentukan determinan perilaku. Kholid (2012) menyebutkan ada beberapa faktor yang
mempengaruhi perilaku yaitu usia, jenis kelamin, pengetahuan, pendidikan, sikap, nilai
(keyakinan). Notoadmodjo (2010) menuliskan teori dari Green (1980), yang menyebutkan bahwa
determinan perilaku mencakup faktor predisposisi (misalnya pengetahuan, sikap, tradisi, nilai
kepercayaan), faktor pemungkin/enabling, dan faktor penguat/reinforcing. Marmi dan Margayati
(2013) menambahkan faktor lain yang mempengaruhi perilaku adalah sarana dan fasilitas serta
dukungan sosial. Penelitian Kusnaryanti (2005) dan Maironah, dkk (2011) menuliskan bahwa ada
hubungan antara pengetahuan, sikap, ketersediaan fasilitas, peran kepala ruangan sebagai role
model dengan praktek petugas kesehatan khususnya perawat dalam hal pengelolaan limbah
rumah sakit. Sedangkan hasil penelitian Jasmwati, dkk (2011) menentang dua hasil penelitian ini
yang menyebutkan tidak ada hubungan antara pengetahuan, sikap dan ketersediaan fasilitas
dengan perilaku pengelola limbah medis rumah sakit. 7 Berdasarkan hasil penelusuran peneliti,
di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang, penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan
dengan perilaku perawat dalam memilah limbah medis dan non medis ini belum pernah
dilakukan serta masih ada pro dan kontra tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan
perilaku perawat dalam pengelolaan limbah rumah sakit. Hal ini menarik perhatian peneliti
untuk mengetahui lebih dalam faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam
memilah limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang penulis angkat adalah Faktor-
faktor apa yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam memilah limbah medis dan non
medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum
dari penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat
dalam memilah limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang.

1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : a. Mengidentifikasi pengetahuan
perawat tentang pemilahan limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes
Kupang. b. Mengidentifikasi sikap perawat dalam pemilahan limbah medis dan non medis di IGD
Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang c. Mengidentifikasi ketersediaan fasilitas untuk proses
pemilahan limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang d.
Mengidentifikasi peran Kepala Ruangan dalam pemilahan limbah medis dan non medis di IGD
RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang e. Mengidentifikasi perilaku perawat dalam memilah
limbah medis dan non medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang. f. Menganalisis faktor-
faktor yang berhubungan dengan perilaku perawat dalam pemilahan limbah medis dan non
medis di IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Praktis
a. Bagi perawat Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi perawat dalam upaya
mencegah dan mengendalikan infeksi melalui pemilahan limbah medis dan non medis. 9
b. Bagi pihak manajemen Rumah Sakit Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan untuk
manajemen rumah sakit dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit melalui
peningkatan pengetahuan, sikap perawat dan pengadaan sarana prasarana yang mendukung
proses pemilahan limbah rumah sakit sehingga program PPI dapat terlaksana dengan baik.

1.4.2 Manfaat Teoritis


a. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dan pemikiran bagi pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang PPI khususnya dalam pemilahan limbah medis dan non medis.

b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar kepustakaan dan informasi awal untuk melakukan

You might also like

  • Airborne
    Airborne
    Document12 pages
    Airborne
    apriliantika rahayu
    No ratings yet
  • Benda Tajam Panduan
    Benda Tajam Panduan
    Document2 pages
    Benda Tajam Panduan
    apriliantika rahayu
    No ratings yet
  • Benda Tajam Panduan
    Benda Tajam Panduan
    Document2 pages
    Benda Tajam Panduan
    apriliantika rahayu
    No ratings yet
  • Bab I
    Bab I
    Document8 pages
    Bab I
    apriliantika rahayu
    No ratings yet
  • Benda Tajam 1
    Benda Tajam 1
    Document2 pages
    Benda Tajam 1
    apriliantika rahayu
    No ratings yet
  • Bab I
    Bab I
    Document8 pages
    Bab I
    apriliantika rahayu
    No ratings yet
  • Airborne
    Airborne
    Document12 pages
    Airborne
    apriliantika rahayu
    No ratings yet
  • Airborne
    Airborne
    Document12 pages
    Airborne
    apriliantika rahayu
    No ratings yet
  • Airborne
    Airborne
    Document12 pages
    Airborne
    apriliantika rahayu
    No ratings yet
  • Bab I
    Bab I
    Document1 page
    Bab I
    apriliantika rahayu
    No ratings yet
  • Bab I
    Bab I
    Document1 page
    Bab I
    apriliantika rahayu
    No ratings yet