You are on page 1of 4

Awal kehidupan dan pendidikan

Setya Novanto lahir pada 12 November 1955 di Bandung, Jawa Barat dari pasangan Sewondo
Mangunratsongko dan Julia Maria Sulastri.[6] Pada tahun 1967, ia meninggalkan Bandung dan
bermukim di Jakarta dan melanjutkan sekolah dasarnya di SD Negeri 6 Jakarta.[7][8] Orang
tuanya bercerai saat ia masih duduk di Sekolah Dasar.[1] Di Jakarta ia menempuh pendidikan di
SMPN 73 Tebet, Jakarta Selatan.[8] Ia kemudian melanjutkan pendidikan menengah di SMA 9
(kini disebut SMAN 70)[8] Pada masa SMA ia bertemu dengan Hayono Isman (mantan Menteri
Pemuda dan Olahraga kabinet Presiden Soeharto) yang dikemudian hari menjadi titik tolak
upaya politiknya.[2] Selepas SMA ia melanjutkan kuliah di Universitas Katolik Widya Mandala,
Surabaya.[6]

Pendidikan tinggi dan pekerjaan awal

Saat kuliah di Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, Setya dinyatakan memiliki banyak
pekerjaan selama bermukim di kota tersebut. Ia mulai dari berjualan beras dan madu modal
Rp82.500 dan memulai dengan kulakan tiga kuintal beras hingga bisa berjualan beras sampai dua
truk yang langsung diambil dari pusatnya di Lamongan.[9] Saat itu ia juga punya kios di pasar
Keputren, Surabaya namun usaha tersebut tak bertahan lama dan predikat juragan beras
ditanggalkannya karena mitra usahanya mulai tidak jujur.[9] Ia mendirikan CV Mandar Teguh
bersama putra Direktur Bank BRI Surabaya, Hartawan, dan pada saat yang sama ia ditawari
bekerja menjual mobil salesman Suzuki untuk Indonesia Bagian Timur. Ia mengiyakannya dan
memilih membubarkan CV yang didirikannya. Berkat kepiawaiannya menjual, pada usia 22
tahun dan Setya tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Akuntansi Universitas Widya Mandala
Surabaya yang menjadi Kepala Penjualan Mobil untuk wilayah Indonesia Bagian Timur.[9] Setya
pun pernah menjadi model, dan terpilih jadi pria tampan Surabaya (1975)[6]. Dimasa masa ini
Setya Novanto dikenal sebagai orang yang ulet dan banyak sahabat.[6] Selepas kuliah di Widya
Mandala, Setya bekerja untuk PT Aninda Cipta Perdana yang bergerak sebagai perusahaan
penyalur pupuk PT Petrokimia Gresik untuk wilayah Surabaya dan Nusa Tenggara Timur.[2] PT
Aninda dimiliki oleh Hayono Isman, teman sekelas Setya di SMA Negeri 9 Jakarta.[2]
Pertemanan dengan Hayono Isman inilah yang menjadi awal mula persinggungan Setya dengan
dunia politik.[2] Kembali ke Jakarta pada tahun 1982, Setya meneruskan kuliah jurusan akuntansi
di Universitas Trisakti.[2] Selama kuliah ia tinggal di rumah teman dan atasannya, Hayono, di
Menteng, Jakarta dan tetap bekerja di PT Aninda Cipta Perdana.[2] Selain menjadi staf, ia juga
mengurus kebun, menyapu, mengepel, hingga menyuci mobil dan menjadi sopir pribadi keluarga
Hayono.[2][7] Semasa kuliah Setya diingat oleh temannya sebagai seseorang yang rapi dan rajin,
namun minim kegiatan sosial dan politik saat mahasiswa.[8] Sebagai pengusaha, ia dikenal
sebagai salah satu binaan konglomerat Sudwikatmono dan oleh Sudwikatmono, Setya diakui
memiliki kemampuan lobi diatas rata rata walaupun kurang matang.[9] Dalam wawancaranya
dengan Majalah SWA ditahun 1999 Setya mengaku,

Sudwikatmono adalah pembina usaha saya, Hayono Isman membina saya dalam
politik, dan Wismoyo Arismunandar membina wawasan pengabdian pada bangsa
dan negara.[9]
Bisnis dan politik

Setya memulai kiprahnya di bidang politik sebagai kader Kosgoro ditahun 1974.[9] Ia menjalin
kedekatan erat dengan Hayono Isman yang telah dikenalnya ketika sama-sama menjadi siswa
SMA IX Jakarta.[9] Setya Novanto pun menjadi Anggota Golkar, dan menjadi Anggota DPR
Fraksi Golkar berturut-turut 6 periode tanpa putus sejak 1999 sampai 2016 saat ini.

Setya Novanto terpilih dalam pencalonan Ketua DPR RI Periode 2014 - 2019 dari Partai Golkar
dalam sistem paket bersama Koalisi Merah Putih. Pada tanggal 2 Oktober 2014, ia terpilih
sebagai Ketua DPR RI.[10][11]

Pada saat kasus pencatutatan nama Freeport, Setya Novanto mengundurkan diri tepat saat
Mahkamah Kehormatan Dewan DPR akan memutuskan pelanggaran kode etik. Setya Novanto
digantikan oleh Ade Komarudin (Ketua Fraksi Golkar DPR 2014-2019). Setya Novanto ditunjuk
Aburizal Bakrie sebagai Ketua Fraksi Golkar pengganti Ade.

Saat terjadi Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar 2016 yang terjadi
karena kisruh internal Partai Golkar yang sudah terjadi selama 1,5 tahun, Setya Novanto
mencalonkan diri menjadi Ketua Umum Golkar. Ada 8 Calon total Caketum Golkar yang
mengikuti Munaslub ini. Pada pemungutan suara tahap 1 yang dilakukan secara voting tertutup,
Setya Novanto mengantungi suara sebesar 277 suara dan Ade Komarudin mendapat suara
terbanyak kedua sebesar 173 suara.[5][12]

Tepat saat akan memulai pemungutan suara tahap 2 yang hanya diikuti 2 caketum pemeroleh
suara minimal 30%, Akom menyatakan tidak akan melanjutkan pemilihan dan mendukung Setya
Novanto sebagai Ketua Umum Golkar yang baru. Munaslub akhirnya mengesahkan Setya
Novanto secara resmi sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar 2016-2019. Idrus Marham
kembali ditunjuk menjadi Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar. Sementara posisi Bendahara
Umum dijabat oleh Robert Kardinal. Nurdin Halid yang menjabat sebagai Ketua Steering
Committee Munaslub ditunjuk sebagai Ketua Harian Partai Golkar. Penunjukan ketiganya
dilakukan dalam rapat di Bali Nusa Dua Convention Center, Selasa (17/5/2016).[13] Setya
Novanto pun akan mengundurkan diri dari Ketua Fraksi DPR.[14]

"Golkar akan bekerja sama dengan pemerintah. Kami akan mendukung program pemerintah,"
kata Novanto usai terpilih dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar di
Nusa Dua, Bali, Rabu (17/5). Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar memutuskan
partai berlambang pohon beringin itu keluar dari Koalisi Merah Putih sehingga
membatalkan/menganulir hasil Munas 2014.[15]

Kehidupan pribadi

Setya menikah dengan Luciana Lily Herliyanti, putri dari Brigadir Jenderal Sudharsono (mantan
Wakil Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat). Dari pernikahan ini ia memiliki dua anak yaitu
Rheza Herwindo dan Dwina Michaella.[2][7] Ia kemudian bercerai dengan Luciana Lily dan
menikah dengan Deisti Astriani Tagor dan memiliki dua anak yaitu Giovanno Farrel Novanto
dan Gavriel Putranto.[7] Deisti mengaku bahwa suaminya begitu sibuknya sehingga saat saat
bersama yang mereka rutin lakukan adalah berdiskusi di kamar mandi.[16] Karena ditempat lain ia
kerap menerima tamu dan telepon.[16]

Kontroversi
Bank Bali

Pada tahun 2001, Setya Novanto menjadi salah satu saksi persidangan kasus hak piutang (cessie)
PT Bank Bali kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).[17][18][19] Belasan tahun
kemudian (2015), Kasus terhangat, yaitu pembelian cessie milik Bank Tabungan Negara (BTN)
oleh Victoria Securities International Corporation, masih dalam proses penyidikan di Kejaksaan
Agung. Awalnya kisruh cessie Bank BTN kurang mendapat perhatian bila saja Ketua DPR Setya
Novanto tidak memanggil Jaksa Agung M Prasetyo secara pribadi ke ruangannya di Senayan
pada 21 Agustus 2015. Intervensi Setya Novanto bukan sebatas memanggil, melainkan juga
mendorong Komisi III DPR membentuk pansus atau panja. Tidak mengherankan bila pertemuan
tertutup itu juga dihadiri Ketua Komisi III Aziz Syamsudin dari Partai Golkar dan Muhammad
Nasir Djamil dari PKS. Setya Novanto berkilah ia memanggil Prasetyo karena ada surat
pengaduan dari pihak Victoria Securities International Corporation.[20]

KTP Elektronik

Nama Setya Novanto pernah disebut oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat
Muhammad Nazaruddin sebagai salah satu pengendali proyek dalam kasus e-KTP.[17] Setya ikut
terseret dalam kasus pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis nomor induk
kependudukan secara elektronik (e-KTP) untuk tahun anggaran 2011-2012, salah satu proyek
Kementerian Dalam Negeri.[17] Dalam kasus ini, Nazaruddin menyebutkan ada aliran dana yang
mengalir ke sejumlah anggota DPR salah satunya Setya Novanto. Setya diperkirakan menerima
Rp300.000.000.000,00 dari proyek e-KTP.[17] Nazaruddin menuding Novanto membagi-bagi fee
proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR. Novanto juga disebut mengutak-atik perencanaan dan
anggaran proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut. Terkait proyek e-KTP, Novanto membantah
terlibat, apalagi membagi-bagikan fee. Dia mengaku tidak tahu-menahu soal proyek e-KTP.[21]

Pada 17 Juli 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka
dalam kasus e-KTP.[22][23]

Kasus Akil Mochtar

Pada kasus Akil Mochtar, Novanto pernah diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap,
gratifikasi, dan pencucian uang terkait sengketa pemilihan kepala daerah yang bergulir di
Mahkamah Konstitusi. Kasus ini menjerat mantan Ketua MK Akil Mochtar yang juga mantan
politikus Partai Golkar. Nama Novanto sempat disebut dalam rekaman pembicaraan antara Akil
Mochtar dan Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Jatim sekaligus Ketua Bidang
Pemenangan Pemilu Jawa Zainuddin Amali. Pesan BBM tersebut berisi permintaan uang Rp 10
miliar dari Akil kepada Zainuddin. Saat dikonfirmasi mengenai pesan BBM ini, Novanto
membantah adanya permintaan uang dari Akil. Dia mengaku telah melarang Zainuddin
mengurus masalah Pilkada Jatim. Dia juga mengakui bahwa hubungan Akil dengan Golkar tidak
baik karena banyak perkara sengketa pilkada di MK yang tidak dimenangi Golkar.[21]

PON XVII

Setya Novanto pernah diperiksa terkait perkara suap pembangunan lanjutan tempat Pekan
Olahraga Nasional XVII.[17] Ruang kerja Setya Novanto juga digeledah oleh Penyidik KPK pada
19 Maret 2013.[17] Tersangka dalam kasus itu adalah mantan Gubernur Riau Rusli Zainal.[17]
Terkait kasus ini, Setya membantah keterlibatannya. Dia juga membantah pernah menerima
proposal bantuan dana APBN untuk keperluan PON Riau atau memerintahkan pihak Dinas
Pemuda dan Olahraga Riau (Dispora Riau) untuk menyerahkan uang suap agar anggaran turun.

Kasus Pertemuan dengan Calon Presiden Amerika Serikat

Setya Novanto, Fadli Zon dkk, selaku pimpinan DPR-RI menghadiri The 4th World Conference
of Speakers Inter Parliamentary Union (IPU) di New York, AS, pada tanggal 31 Agustus -
tanggal 2 September 2015. Usai menghadiri acara konferensi tersebut, Setya Novanto dkk
menghadiri acara jumpa pers kampanye politik bakal Calon Presiden Amerika Serikat, dari
Partai Republik, Donald Trump pada Kamis pekan tersebut di New York, Amerika Serikat.
Persoalan kehadiran Setya Novanto dkk selaku Pimpinan DPR-RI dalam acara jumpa pers
Donald Trump, Capres AS dari Partai Republik itu kemudian diperbincangkan publik dan
menuai kontroversi.[24]

Sesaat setelah dia (Trump) tampaknya selesai memberikan sambutan dan berjalan menjauh dari
podium, Trump mendadak kembali ke mikrofon bersama seorang pria di sisinya. Trump
memperkenalkan tamu khususnya itu yang sudah berdiri di belakangnya selama acara tersebut.
"(Ini) Ketua DPR Indonesia. Dia berada di sini untuk bertemu saya. Setya Novanto, salah
seorang yang paling berkuasa dan orang hebat," kata Trump. "Rombongannya berada di sini
untuk bertemu saya hari ini. Kami akan melakukan hal-hal besar buat Amerika Serikat, benar
kan?" lanjut Trump.

Setya menjelaskan, pertemuan itu tidak disengaja, pertemuan itu berawal dari inisiasi Donald
Trump yang menghubungi dirinya untuk menyempatkan diri berkunjung ke gedung miliknya.
Pertemuan tersebut berlangsung pada Pukul 13.30 waktu setempat. Saat itu, agenda acara IPU
sedang rehat hingga Pukul 15.00 waktu setempat. Saat itulah Setya berkunjung ke Gedung milik
Donald Trump.[25]

Pertemuan tersebut diduga telah melanggar kode etik dewan. Bahkan pertemuan itu dianggap di
luar fungsi dan kewenangan anggota DPR. "MKD memutuskan memberikan teguran agar
(Novanto dan Fadli) lebih hati-hati dalam menjalankan tugas," kata Ketua Mahkamah
Kehormatan Dewan (MKD) Surahman Hidayat, Senin, 19 Oktober. Dia menjelaskan sejatinya
MKD berpendapat bahwa pimpinan DPR harus berhati-hati dalam bertugas karena membawa
nama besar institusi, apalagi terkait isu pimpinan DPR mendukung Trump.[26]

You might also like