You are on page 1of 8

TATALAKSANA DISLOKASI TMJ DAN AVULSI

I. Avulsi Gigi
A. Definisi
Avulsi adalah keluarnya seluruh gigi dari soket akibat trauma. Secara klinis dan radiografi, gigi
tidak ada di dalam soket (Dalimunte,2003). Tulang alveolar, sementum, ligamen periodontal, gingiva, dan
pulpa akan mengalami kerusakan pada saat gigi secara total keluar dari soketnya. Tercabutnya gigi dari
soketnya akibat trauma menyebabkan terputusnya ligamen-ligamen periodontal dan suplai darah ke
jaringan pulpa. Hal tersebut menyebabkan pulpa gigi mengalami nekrosis dan periodonsium rusak parah
(Jacobsen dan Andreasen, 2003). Kasus avulsi gigi ditemukan pada 0,5-5% dari jejas trauma pada gigi
permanen. Sebuah gigi avulsi harus ditanam kembali di soketnya sesegera mungkin untuk menghindari
kerusakan lebih lanjut ke membran periodontal. Prognosis avulsi gigi berkaitan dengan cedera pada
membran periodontal, karena saat terjadi avulsi maka gigi tersebut sudah tidak memiliki poket (Windia,
2014).

B. Etiologi
Avulsi pada gigi permanen biasanya terjadi pada anak lelaki usia 7-10 tahun. Penyebab yang khas
biasanya karena kecelakaan bersepeda, bermain skateboard dan olahraga-olahraga lain. Pada usia 7-10
tahun, akar pada gigi permanen belum sepenuhnya matur, struktur jaringan periodontal masih longgar,
hubungan akar dengan tulang alveolar masih lemah, dan tulang alveolar relatif lunak. Berbeda dengan
orang dewasa yang memiliki akar yang sudah matur, jaringan periodontal kuat, serta tulang alveolar yang
kuat. Hal tersebut menyebabkan orang dewasa lebih cenderung mengalami fraktur gigi daripada avulsi
(King dan Henretig, 2008).
Menurut Gutmann dan Gutmann (1995), penyebab gigi avulsi adalah kecelakaan lalu lintas,
perkelahian, jatuh, kecelakaan olahraga, trauma benda tumpul, kerusakan jaringan periodontal, dan
penyakit sistemik seperti diabetes mellitus. Penyebab trauma gigi pada anak-anak yang paling sering
adalah karena jatuh saat bermain, baik di luar maupun di dalam rumah dan saat berolahraga. Avulsi gigi
umumnya terjadi pada bagian anterior. Trauma gigi anterior dapat terjadi secara langsung dan tidak
langsung, trauma gigi secara langsung terjadi ketika benda keras langsung mengenai gigi, sedangkan
trauma gigi secara tidak langsung terjadi ketika benturan yang mengenai dagu menyebabkan gigi rahang
bawah membentur gigi rahang atas dengan kekuatan atau tekanan besar dan tiba-tiba, sehingga
menyebabkan gigi anterior avulsi.
C. Pemeriksaan
Pemeriksaan gigi avulsi meliputi pemeriksaan cedera pada jaringan lunak dan jaringan keras, penggunaan
radiografi, tes diagnostik yang lain, dan pemeriksaan gigi-gigi tetangga serta antagonisnya.
1. Cedera pada jaringan lunak.pemeriksaan sebaiknya meliputi seluruh bagian soket untuk melihat
adanya benda asing dan kotoran didalam luka. Untuk melakukan hal tersebut, jendalan darah dan
segala sesuatu yang mengganggu pemeriksaan harus dilakukan dengan hati-hati.
2. Cedera pada jaringan keras, pemeriksaan meliputi daerah luka dan palpasi pada gigi serta alveolus
dan pemeriksaan adanya kelainan oklusi untuk mendeteksi dislokasi gigi.
3. Pemeriksaan radiografik, gambarah radiografi dapat menunjukan adanya fraktur akar serta fakta-fakta
lain yang penting seperti proses pemeriksaan akar.
4. Pemeriksaan pada gigi-gigi tetangga dan antagonisnya (Bence, 1990).

D. Kegawatdaruratan
Tercabutnya gigi dari soketnya akibat trauma menyebabkan terputusnya ligamen-ligamen periodontal dan
suplai darah ke jaringan pulpa. Hal tersebut menyebabkan pulpa gigi mengalami nekrosis dan
periodonsium rusak parah. Tindakan kegawatdaruratan yang dapat dilakukan jika terjadi avulsi gigi adalah
sebagai berikut.
1. Prinsip utama yang dilakukan adalah menjaga agar gigi avulsi tidak kering dan tidak terkontaminasi,
karena kondisi gigi yang kering akan menyebabkan hilangnya metabolisme fisiologis normal dan
morfologi sel-sel ligamentum periodontal
2. Bersihkan gigi di bawah air mengalir hingga kotoran hilang, namun tidak boleh ada jaringan gigi yang
hilang
3. Jika memungkinkan, gigi segera dikembalikan ke soketnya dengan tekanan yang lembut dan pegang
hanya pada bagian mahkota
4. Jika gigi tidak memungkinkan untuk dikembalikan ke dalam soketnya, maka gigi dapat diletakkan pada
suatu media yang dapat digunakan untuk menyimpan gigi
5. Media yang bisa digunakan adalah Hanks Balanced Salt Solution (HBSS), saliva, saline fisiologis,
susu, air kelapa, dan air
a. Hanks balanced salt solution (HBSS)
HBSS adalah media yang paling sering digunakan. Tingkat keberhasilan replantasi dengan
penyimpanan gigi pada media HBSS sebesar 85,3%. HBSS terdiri dari sodium klorid, glukosa,
potassium klorida, sodium bikarbonat, sodium fosfat, kalsium klorid, magnesium klorid, dan
magnesium sulfat. HBSS adalah media terbaik untuk menyimpan gigi avulsi karena HBSS mampu
menjaga sel-sel ligamen periodontal tetap hidup selama 24 jam dibandingkan dengan saliva dan
susu.
b. Saline fisiologis
Saline fisiologis merupakan larutan yang mengandung 0.9% NaCl. Penelitian menunjukkan bahwa
saline fisiologis lebih baik digunakan sebagai media penyimpanan daripada air atau saliva, apabila
gigi harus disimpan untuk waktu lebih dari 30 menit sebelum replantasi. Penyimpanan pada saline
fisiologis tidak menyebabkan pembengkakan struktur sel, namun kebutuhan metabolit dan glukosa
untuk mempertahankan metabolisme sel yang normal tidak dapat terpenuhi oleh saline.
Pengunaan larutan saline sebagai media penyimpanan gigi avulsi tidak direkomendasikan apabila
gigi harus disimpan selama lebih dari satu atau dua jam. Hal ini disebabkan karena kebutuhan sel
untuk mempertahankan metabolisme tidak terpenuhi.
c. Saliva
Saliva dapat digunakan sebagai media penyimpanan karena memiliki suhu yang sama dengan
suhu ruangan. Beberapa penelitian mendukung pengunaan saliva sebagai media menyimpanan
hingga 30 menit pertama dari waktu cedera. Penyimpanan gigi avulsi pada saliva lebih dari 30
menit dapat menimbulkan masalah, karena saliva secara alamiah mengandung mikroorganisme
yang dapat menyebabkan infeksi berat pada akar gigi sehingga dapat menyebabkan kematian sel-
sel liagamen periodontal. Jika gigi avulsi disimpan pada saliva lebih dari 30 menit, maka kapasitas
fungsional ligamen periodontal akan menurun dengan cepat. Pada kasus gawat darurat,
menyimpan gigi dalam mulut pasien baik bagi kelangsungan hidup ligamen periodontal. Gigi dapat
ditahan pada vestibulum bukal atau dibawah lidah, namun instruksi ini tidak dianjurkan pada anak-
anak, karena dapat menimbulkan masalah seperti tertelannya gigi, terhirup atau kemungkinan
anak mengunyah giginya. Alternatif lainnya adalah saliva dapat ditampung pada suatu wadah
untuk menyimpan gigi

d. Susu
Susu merupakan suatu media optimal untuk menyimpan gigi avulsi. Hal ini didukung kuat
olehsuatu penelitian terhadap transport organ dan sel yang disimpan di dalam susu dengan
temperature 39 oF.13 Keuntungan lain adalah susu mudah didapat sehingga gigi dapat segera
ditempatkan di media susu. Tekanan osmolalitas gigi dapat mempertahanan vitalitas sel ligamen
periodontal dibandingkan saliva, saline dan air
e. Air kelapa
Air kelapa (Cocos nucifera), adalah minuman alami yang dihasilkan secara biologis dan dikemas
kedap udara di dalam buah kelapa. Zat-zat utama yang terkandung dalam air kelapa antara lain
kalium, kalsium, dan magnesium, sedangkan natrium, klorida, dan fosfat, ditemukan dalam jumlah
konsentrasi yang lebih rendah. Air kelapa merupakan cairan hipotonik dibandingkan plasma, dan
memiliki gravitasi spesifik sekitar 1,020, sebanding dengan plasma darah. Air kelapa memiliki
osmolaritas tinggi karena adanya kandungan gula didalamnya, terutama glukosa dan fruktosa,
juga kaya akan banyak asam amino esensial antara lain lisin, sistin, fenilalanin, histidin, dan
tryptophan. Air kelapa mudah diterima oleh tubuh manusia dan merupakan sarana yang aman
untuk rehidrasi terutama pada pasien yang menderita defisiensi kalium. Air kelapa telah terbukti
memiliki efektivitas yang sebanding dengan cairan elektrolit komersial dalam memperpanjang
waktu bertahan pada pasien sakit (Arrizza dan Ramadhan, 2010).

E. Indikasi dan kontraindikasi reposisi gigi


1. Indikasi
a. Tulang alveolar masih baik
b. Soket alveolar dapat menyediakan tempat untuk gigi avulsi
c. Tenggang waktu antara terjadinya trauma dengan pelaksanaan perawatan adalah 15-30 menit
lebih dari 2 jam kemungkinan besar akan terjadi komplikasi yaitu resorbsi dari akar gigi dan gigi
akan menjadi non vital, kecuali sebelum direplantasi gigi tersebut dirawat endodontik terlebih
dahulu
2. Kontraindikasi
a. Gigi permanen dimana foramen apikal sudah menyempit
b. Integritas yang tidak mendukung dari gigi avulsi atau jaringan pendukung
c. Adanya fraktur akar
d. Kondisi medis yang tidak mendukung, seperti gangguan imun, anomali jantung kongenital berat,
diabetes tidak terkontrol
e. Resorpsi pada tulang alveolus
f. Memiliki penyakit periodontal
g. Gigi yang terlalu lama diluar soket
h. Pada gigi sulung (Saeed, dkk., 2014).

II. Dislokasi TMJ


A. Definisi
Dislokasi TMJ atau dislokasi mandibula adalah pergeseran condylus dari lokasinya yang normal
di fossa mandibular. Fossa glenoid terletak di bagian skuamosa-temporal dasar tengkorak. Hal ini dapat
terjadi secara parsial (subluksasi) atau komplit (luksasi), bilateral atau unilateral, akut, atau kronis. Selain
itu, dislokasi dapat terjadi pada daerah anterior-medial, superior, medial, lateral atau dislokasi posterior
(Ugboko, dkk., 2005).

B. Etiologi
Terdapat berbagai jenis dislokasi yang dapat terjadi melalui mekanisme traumatik atau
nontraumatik. Penyebabnya dapat spontan atau diinduksi oleh trauma, membuka mulut dengan kuat dari
intubasi endotrakeal dengan larungeal mask atau tabung trakea, THT/prosedur perawatan gigi,
endoskopi, pembukaan mulut yang berlebihan saat menguap, tertawa dan muntah (Akinbami, 2011).
Perubahan pada komponen struktural dari kondil itu sendiri seperti kapsul dan ligamen longgar, dan atropi
kondilus kecil atau pendek, atropi artikular, artikular memanjang, hipoplasia lengkungan zygomatik, fossa
glenoid kurang berlekuk dapat menjadi penyebab terjadinya dislokasi. Faktor predisposisi yang
menyebabkan terjadinya dislokasi TMJ adalah sebagai berikut.
1. Epilepsi, muntah parah
2. sindrom Ehlers-Danlos dan sindrom Marfan
3. Gerakan distonik dari neuroleptic pada penyakit neuropsikiatri (Schwartz, 2000).
Klasifikasi dislokasi TMJ berdasarkan etiologinya adalah sebagai berikut.
1. Dislokasi anterior, terjadi perubahan posisi condylus menjadi anterior terhadap fossa articularis tulang
temporal. Dislokasi anterior biasanya terjadi akibat interupsi pada sekuens normal kontraksi otot saat
mulut tertutup setelah membuka dengan ekstrim. Muskulus masseter dan temporalis mengangkat
mandibula sebelum muskulus pterygoid lateral berelaksasi, mengakibatkan condylus mandibularis
tertarik ke anterior ke tonjolan tulang dan keluar dari fossa temporalis. Spasme muskulus masseter,
temporalis, dan pterygoid menyebabkan trismus dan menahan condylus tidak dapat kembali ke fossa
temporalis. Dislokasi jenis ini dapat unilateral atau bilateral dan dibedakan menjadi akut, kronis
rekuren, atau kronis.
a. Dislokasi akut, terjadi akibat trauma atau reaksi distonik, namun biasanya disebabkan oleh
pembukaan mulut yang berlebihan seperti menguap, anestesi umum, ekstraksi gigi, muntah, atau
kejang. Dislokasi anterior juga dapat terjadi setelah prosedur endoskopik
b. Dislokasi kronis rekuren, disebabkan oleh mekanisme yang sama pada pasien dengan faktor
risiko seperti fossa mandibularis yang dangkal (kongenital), kehilangan kapsul sendi akibat
riwayat disloasi sebelumnya, atau sindrom hipermobilitas
c. Dislokasi kronis, terjadi akibat dislokasi TMJ yang tidak ditangani sehingga condylus tetap berada
dalam posisinya yang salah dalam waktu lama. Biasanya dibutuhkan reduksi terbuka
2. Dislokasi posterior, biasanya terjadi akibat trauma fisik langsung pada dagu. Condylus mandibularis
tertekan ke posterior ke arah mastoid. Jejas pada meatus acusticus externum akibat condylus dapat
terjadi pada dislokasi tipe ini
3. Dislokasi superior terjadi akibat trauma fisik langsung pada mulut yang sedang berada dalam posisi
terbuka. Sudut mandibula pada posisi ini menjadi predisposisi pergeseran condylus ke arah superior
dan dapat mengakibatkan kelumpuhan nervus fasialis, kontusio serebri, atau gangguan pendengaran
4. Dislokasi lateral biasanya terkait dengan fraktur mandibula. Condylus bergeser ke arah lateral dan
superior serta sering dapat dipalpasi pada permukaan temporal kepala (Ugboko, dkk., 2005).

C. Pemeriksaan TMJ
Pemeriksaan TMJ dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1. Pemeriksaan rentang gerakan sendi. Pemeriksaan ini melihat pembukaan dan penutupan rahang serta
deviasi lateral bilateral. Pasien diinstruksikan untuk membuka dan menutup mulut serta menggerakkan
mandibula kea rah lateral. Rentang normal gerakan untuk pembukaan mulut adalah 5 cm dan gerakan
lateral mandibula adalah 1 cm
2. Palpasi, palpasi dilakukan di lateral sebagai lekukan tepat di bawah sudut zigomatikum, 1-2 cm di
depan tragus. Aspek posterior sendi dipalpasi melalui kanal auditori eksternal. Sendi sebaiknya
dipalpasi baik pada posisi terbuka maupun tertutup dan baik lateral maupun posterior. Saat palpasi,
periksa apakah terdapat spasme otot dan konsistensi otot atau sendi. Otot yang dipalpasi sebagai
bagian dari pemeriksaan TMJ lengkap yaitu masseter, temporalis, pterygoid medial, pterygoid lateral,
dan sternocleidomastoid
3. Auskultasi, pemeriksaan ini dilakukan untuk mendengarkan bunyi sendi, yaitu clicking, popping, dan
krepitus. Adanya clicking pada fase awal membuka mulut menunjukkan adanya dislokasi discus
anterior ringan, sedangkan clicking yang lebih lambat menunjukkan adanya kelainan meniscus.
Krepitus sendi menunjukkan adanya degenerative joint disease atau perforasi perlekatan posterior
discus
4. Pemeriksaan penunjang
a. Transcranial radiograf, menggunakan sinar X, untuk dapat menilai kelainan, yang harus
diperhatikan antara lain:
1) Kondil pada TMJ dan bagian pinggir kortex harus diperhatikan
2) Garis kortex dari fossa glenoid dan sendi harus dilihat
3) Struktur kondil mulus, rata, dan bulat, pinggiran korteks rata
4) Persendian tidak terlihat karena bersifat radiolusen
5) Perubahan patologis yang dapat terlihat pada kondil diantaranya flattening, lipping.
b. Panoramik Radiografi, menggunakan sinar X untuk melihat hampir seluruh regio maxilomandibular
dan TMJ
c. CT Scan, merupakan pemeriksaan yang akurat untuk melihat kelainan tulang pada TMJ
d. MRI, baik digunakan untuk menunjukkan delineasi dari posisi diskus dan jaringan lunak dari TMJ.
Perforasi diskus dan adhesi sendi tidak dapat ditunjukkan oleh MRI (Pedersen, 1996).

D. Kegawatdaruratan
Pasien dengan dilokasi TMJ dapat mengalami beberapa masalah, yaitu:
1. Pasien tidak dapat membuka dan menutup mulut, sehingga pasien kesulitan untuk makan dan minum,
sehingga terkadang pasien terlihat lemah
2. Pasien kesulitan dalam berbicara
3. Pasien biasanya mengalami masalah kesehatan gigi dan mulut yang buruk karena terdapat gangguan
saat membuka dan menutup mulut
4. Pasien dapat mengalami cedera saraf yang menyebabkan mati rasa pada otot daerah TMJ (Pedersen,
1996).
Perawatan darurat yang dapat diberikan pada pasien dislokasi TMJ adalah dislokasi harus
direduksi secepat mungkin sebelum terjadi spasme yang berat dari otot masseter dan pterygoid. Reduksi
dapat dilakukan secara manual dengan jari pada gigi molar bawah yang menekan mandibula ke bawah
untuk menarik otot levator kemudian ke belakang untuk meletakkan kembali kondilus di dalam fosa. Pada
umumnya prosedur ini dapat dilakukan tanpa anestesi jika dilakukan secepatnya, namun pada kasus
yang telah terdapat spasme otot yang berat karena keterlambatan mereduksi, prosedur ini sebaiknya
dilakukan dengan bantuan anestesi lokal yang disuntik kedalam sendi dan otot pterigoid lateral, atau
dengan pemberian diazepam intravena untuk menghilangkan spasme otot dan mengurangi
nyeri. Apabila cara tersebut tidak efektif, dapat menggunakan anestesi umum untuk mendapatka
nrelaksasi yang memadai (Pedersen, 1996).

E. Prosedur reposisi mandibula


Prosedur reposisi mandibular dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1. Jika kemungkinan terdapat fraktur, lakukan radiografi terlebih dahulu, namun jika tidak terdapat riwayat
trauma dapat segera dilakukan reposisi mandibula
2. Tempatkan pasien pada kursi yang tidak memiliki sandaran dan menempel pada dinding, sehingga
punggung dan kepala pasien bersandar pada dinding
3. Balut ibu jari operator dengan kassa tebal lalu gunakan handscoon
4. Posisi operator berada di depan pasien
5. Letakkan ibu jari operator di retromolar pad pada kedua sisi mandibular setinggi siku operator dan jari-
jari lain memegang permukaan bawah mandibula
6. Berikan tekanan pada gigi molar rahang bawah untuk membebaskan kondil dari posisi terkunci di
depan eminensia artikularis
7. Dorong mandibula ke belakang
8. Jika terdapat spasme otot, berikan midazolam intravena dan 1-2 ml 1% lidokain intraarticular untuk
mengendorkann otot dan mengurangi nyeri. Injeksikan pada daerah sisi kiri yang tertekan dari kondil
yang displacement
9. Pasang Barton Head Bandage untuk mencegah relokasi dalam 24-48 jam
10. Medikasi pasien berupan analgesic dan muscle relaxant
11. Instruksikan pasien untuk diet lunak (Atmadja, 1988)

III. Referensi
Arrizza, A.M., Ramadhan, A.F., 2010, Coconut Water (Cocos nucifera) as Storage Media for the Avulsed
Tooth: Literature Review, Journal of Dentistry Indonesia, 17(3):74-79.
Akinbami, B.O., 2011, Evaluation of the mechanism and principles of management of temporomandibular joint
dislocation. Systematic review of literature and a proposed new classification of temporomandibular
joint dislocation. Hade face Med, 7:10.
Atmadja, I., 1988, Pelaksanaan dan Penanggulangan Penderita Dislokasi Sendi Rahang , Majalah Kedokteran
Gigi FKG USAKI, Jakarta.
Bence, R., 1990, Buku Pedoman Endodontik Klinik, EGC, Jakarta.
Dalimunthe, T., 2003, Replantasi Gigi Depan Sulung yang Avulsi, Dentika Dent J., 8:249-54.
Gutmann, J.L., Gutmann, M.S., 1995, Cause, incidence, and prevention of trauma to teeth. Dent Clin North
Am, 39(1):1-13.
Jacobsen, I., Andreasen, J.O., 2003, Traumatic injuries-examination, diagnosis and immediate care 2nd ed.,
Blackwell Munksgaard, Copenhagen.
King, C., Henretig, F.M., 2008, Textbook of pediatric emergency procedures , Lippincot williams & Wilkins,
Philadelphia.
Pedersen, G.W., 1996, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, EGC, Jakarta.
Saeed, A., Laleh, A.M., Alireza, K., 2014, Indications And Case Series Of International Replantation Of Teeth.
Iranion Endodontic Journal, 9(1) :71-78.
Schawrtz, A.J., 2000, Dislocation of mandible: A case report, AANAJ, 68:507-13.
Ugboko, V.I., Oginni, F.O., Ajike, S.O., Olasoji, H.O., Adebayo, E.T., 2005, A Survey of Temporomandibular
Joint Dislocation: Etiology, Demographics, Risk Factors and Management in 96 Nigerian Cases,
International journal of oral and maxillofacial surgery , 34(5):499-502.
Windia, F.L., 2013, Perbandingan Efektifitas Minuman Isotonik Komersial, Ringer Laktat, Oralit dan Susu
sebagai Media Penyimpanan Gigi Avulsi, Thesis, Universitas Airlangga, Surabaya.

You might also like