Professional Documents
Culture Documents
(ACDP - 024)
Maret 2016
Kemitraan untuk Pengembangan Analisis dan Kapasitas Sektor Pendidikan
(Education Sector Analytical and Capacity Development Partnership/ACDP)
Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Gedung E, Lantai 19
Jl. Jend. Sudirman, Senayan, Jakarta 10270
Tel. +62 21 5785 1100, Fax: +62 21 5785 1101
Website: www.acdp-indonesia.org
Email Sekretariat: secretariat@acdp-indonesia.org
Pemerintah Indonesia (diwakili oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS), Pemerintah Australia melalui Australian AID,
Uni Eropa (EU) dan Bank Pembangunan Asia (ADB) telah membentuk Kemitraan Untuk Pengembangan
Analisis dan Kapasitas Sektor Pendidikan (ACDP). ACDP adalah fasilitas untuk mendorong dialog kebijakan
dan memfasilitasi reformasi kelembagaan dan organisasi untuk mendukung implementasi kebijakan dan
membantu mengurangi disparitas dalam kinerja pendidikan. Fasilitas ini merupakan bagian integral dari
Program Dukungan Sektor Pendidikan (Education Sector Support Program /ESSP). Dukungan EU untuk ESSP
juga mencakup dukungan anggaran sektor bersama-sama dengan program pengembangan kapasitas
Standar Pelayanan Minimal. Dukungan Australia diberikan melalui Kemitraan Pendidikan Australia dan
Indonesia. Laporan ini telah disusun dengan dukungan hibah dari Australian Aid dan EU melalui ACDP.
Institusi yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan studi ini adalah Trans Intra Asia.
Pandangan-pandangan yang disampaikan didalam publikasi ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab
para penulis dan tidak berarti mewakili pandangan-pandangan Pemerintah Indonesia, Pemerintah Australia,
Uni Eropa atau Bank Pembangunan Asia.
Daftar Isi
Daftar Tabel
Tabel 1: Model penilaian dan penghargaan .................................................................................................... 22
Tabel 2: Temuan sementara studi berdasarkan beberapa diskusi............................................................. 24
Tabel 3: Seskripsi Peta Jalan RPL ......................................................................................................................... 26
Daftar Gambar
Gambar 1: Perkembangan RPL di berbagai negara .......................................................................................... 4
Gambar 2: Kutub Terpisah: Keterampilan pada Pendidikan Tinggi [Barnett 1994:62]............................ 7
Gambar 3:.a: TIngkat pendidikan tenaga kerja ................................................................................................ 11
Gambar-3.b: Kualifikasi tenaga kerja dan kebutuhan RPL ............................................................................ 13
Gambar 4. Inisiatif awal pengembangan RPL di Indonesia .......................................................................... 13
Gambar 5: Konsep dasar pengembangan RPLdi Indonesia ....................................................................... 15
Gambar 6: Individualized and formalized assessment methods [Van Rooy2002:78] ............................ 18
Gambar 7: Indicative questions in identifying skills ....................................................................................... 20
Gambar 8.a. Program RPL untuk sektor pendidikan....................................................................................... 24
Gambar 8.b. Program RPLuntuk dinia kerja ...................................................................................................... 17
Gambar 9: Peta jalan pengembangan RPL........................................................................................................ 25
Halaman 1
Daftar Singkatan
Halaman 2
REKOGNISI PEMBELAJARAN LAMPAU
1 Pengantar
RPL (Rekognisi Pembelajaran Lampau) adalah pemberian kualifikasi formal atas pencapaian
pembelajaran; dimana proses pembelajaran dapat dicapai melalui pendidikan non-formal,
pendidikan informal, pelatihan, pengalaman kerja, dan/atau pengalaman pribadi / autodidak.
Jenis dan jalur yang dilalui dalam proses pembelajaran tidak dibatasi, selama pengetahuan dan
ketrampilan yang dicapai dapat dibuktikan dan sesuai dengan kerangka kualifikasi yang berlaku.
Prinsip utama dalam RPL fokus perhatian keluaran/hasil, bukan pada bagaimana, kapan, ataupun
dimana proses pembelajaran berlangsung. Jadi RPL memberikan nilai pada pengetahuan dan
ketrampilan yang telah dicapai melalui berbagai jalur.
Karena pengakuan dilakukan berbasis pada kerangka kualifikasi, maka RPL mendorong agar
pendidikan formal juga melakukan penyesuaian. Dengan demikian pedidikan formal dituntut
untuk dapat menerima perluasan akses melalui persyaratan penerimaan peserta didik yang lebih
luwes, dan prosedur pengecualian (waiver) bagi peserta RPL untuk tidak mengikuti modul atau
mata kuliah tertentu. Penilaian bisa saja dilakukan, namun umumnya tidak secara otomatis
memberikan sertifikat.
Pembelajaran formal dilakukan dalam konteks program yang diselenggarakan oleh suatu institusi
pendidikan. Program ini dinilai oleh suatu lembaga penilai (akreditasi) melalui prosedur kualifikasi
tertentu. Dalam RPL, pendidikan non formal harus juga disetarakan pengakuannya dengan
pendidikan formal. Demikian juga pendidikan informal yang dilakukan melalui pengalaman kerja
dan/atau otodidak. Tidak jarang seorang peserta didik tidak menyadari pada saat dirinya menimba
pengalaman yang mendukung akumulasi pengetahuan dan ketrampilannya. Oleh karena itu RPL
membutuhkan pendekatan komprehensif dalam suatu konsep yang berbasis pada KKNI. Seluruh
siklus lengkap dalam RPL mencakup juga skema pemberian sertifikasi resmi, pengembangan
program pendidikan dan pelatihan, prosedur penilaian, dan organisasi penjaminan mutu.
Sistem RPL pada dasarnya fokus kepada kesetaraan dan penyediaan akses seluas-luasnya kepada
mereka yang tidak memiliki akses dari kesempatan pendidikan untuk kembali ke jalur pendidikan
atau kepada pekerjaan yang lebih layak; yang mana motivasi dan kepercayaan dari komunitas
dalam arti luas akan terdorong. Prinsip dasar dari pengembangan RPL adalah secara umum
memberikan sejumlah keuntungan, seperti:
Memperluas akses ke pendidikan formal bagi generasi muda yang terpaksa harus memasuki
dunia kerja pada usia belajar;
Mendukung kebjiakan belajar sepanjang hayat, yang pada waktunya akan meningkatkan
kualitas sumber daya manusia Indonesia;
Akselerasi peningkatan kualifikasi pekerja dalam mengejar persyaratan kualifikasi regional
dan global.;
Pemanfaatan sumber daya pendidikan dan pelatihan yang tersedia;
Mendukung pelaksanaan kebijakan multi entry and multi exit, dimana seseorang dapat terus
meningkatkan kemampuannya dan memperoleh kualifikasi dimanapun kegiatannya berada;
Menginisiasi upaya dalam memperoleh pemahaman yang lebih baik terkait tingkat
pengetahuan dan keterampilan yang lebih efektif secara biaya dan waktu; pada saat penilaian
Halaman 3
entri, memberikan fleksibilitas pilihan yang lebih besar serta menghindari duplikasi materi
pendidikan atau pelatihan untuk calon murid; dan
Mempromosikan budaya belajar yang positif yang menghargai pengetahuan dan
keterampilan yang telah dipelajari sebelumnya melalui sekolah formal, akan mendorong
suatu budaya dimana pembelajaran akan dipandang sebagai tujuan yang dapat dicapai dan
menjadi tujuan yang positif bagi setiap individu.
RPL yang telah dikenal secara luas di Eropa, semula dikembangkan dengan berbagai alasan, antara
lain pembaruan sistem pendidikan, mendukung pertumbuhan ekonomi, serta penguatan
ketenagakerjaan. Oleh karena itu pendekatan yang dipergunakanpun bervariasi, sesuai dengan
tujuan awalnya. Dalam pembangunan daerah dan sejarahnya, sejumlah istilah telah digunakan di
berbagai negara dan untuk tujuan yang berbeda untuk proses untuk RPL, seperti: Accreditation of
Prior Learning (APL), Crediting Current Competence (CCC), dan Accrediting Prior Experiential Learning
(APEL). APL dan APEL cenderung umum di bagian Eropa (misalnya, di Inggris dan Irlandia)
sedangkan RPL cenderung digunakan di Australia dan Selandia Baru. Kanada menggunakan istilah
Prior Learning Assessment and Recognition (PLAR) serta RPL dan Recognition of Current Competence
(RCC). Perancis memiliki sistem yang berbeda dari sertifikasi profesional di mana penilaian dikenal
sebagai 'Blain de competency', 'Blain des kompetensi Approfondi', atau 'Validasi de Acquis des
Pengalaman (VAE)'.
Pertemuan European Council Meeting di Lisbon 2000, merupakan tonggak bersejarah yang
mendorong negara lain di dunia untuk mengembangkan RPL1. Keinginan untuk mengembangkan
pembelajaran sepanjang hayat mendorong negara-negara Eropa mengembangkan program RPL.
Upaya ini berawal dari niat untuk:
Menjadikan Eropa menjadi ekonomi yang dinamis dan berbasis pengetahuan pada 2010;
Menemukenali strategi dan tindakan praktis untuk mengembangkan pembelajaran sepanjang
hayat.
Tujuan untuk mengadopsi pembelajaran sepanjang hayat dan meningkatkan kesadaran untuk
meningkatkan kemungkinan untuk pemuda-pemudi untuk selalu belajar dan dimana saja telah
mendorong banyak negara Erpoa untuk mengintensifkan dan lebih banyak mengembangkan
program RPL.
1
RPL in the University Sector, Policy, case study and issues arising, October 2011
Halaman 4
Mengambil Eropa sebagai contoh untuk wilayah global, salah satu faktor pendorong utama yang
mendasari pengembangan RPL di Uni Eropa (UE) adalah sebagai contoh tujuan bahwa Eropa
harus menjadi pemimpin grlobal, yang dinamis dan kompetitif (EC 2008). Sebagai bagian dari
tersebut, perluasan dan pengembangan pengetahuan dan keterampilan penduduk Eropa menjadi
dianggap penting, bersamaan dengan tujuan untuk mempromosikan kewarganegaraan aktif dan
inklusi sosial. Meningkatkan tingkat keterampilan, mempromosikan pembelajaran untuk semua,
belajar sepanjang hayat / pendidikan berkelanjutan, mencari tanggapan yang lebih fleksibel oleh
penyedia pendidikan dan pelatihan dan mengakui pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh
di luar elemen bentuk pendidikan dan struktur formal pelatihan; merupakan gabungan dari
strategi ini. Studi yang dilakukan oleh OECD dan UNESCO menunjukkan tujuan kebijakan serupa
juga mendukung minat RPL di daerah lainnya [OECD 2010; UNESCO 2012]. Rapat Dewan Uni Eropa
di Lisbon Tahun 2000 merupakan satu tonggak penting dalam mempromosikan konsep RPL di
negara-negara Eropa dan juga wilayah lainnya di dunia.
Dengan tergantung kepada latar belakang sejarah dan ekonomi masing-masing negara,
pengembangan dan tujuan RPL di Eropa, sebagian besar masih terkait dengan upaya untuk
memperkuat pembelajaran seumur hidup, perluasan akses ke pendidikan yang lebih lanjut, dan
pergerakan antar negara. Keterkaitan antara pembangunan ekonomi dan sosial juga telah
mendorong paradigma dalam konteks pendidikan formal; dengan mempromosikan konsep RPL
ke dalam strategi pembangunan NQF.
Hubungan antara NQFs dan skema RPL di banyak negara juga telah mempercepat pelaksanaan
RPL seluruh dunia. Beberapa program RPL penting dan mapan dapat diidentifikasi di berbagai
negara, seperti Inggris, Skotlandia, Irlandia, Australia, Selandia Baru, Kanada dan Amerika Serikat.
Demikian pula, negara-negara lain seperti Hong Kong, Afrika Selatan, India dan Indonesia; pada
saat ini juga sedang mengembangkan agenda RPL untuk berbagai alasan dan tujuan. Dalam kasus
Indonesia, beberapa argumen untuk mengadopsi konsep RPL mungkin berhubungan dengan
lebih dari sekedar pendidikan atau masalah ekonomi tetapi juga mencakup kebutuhan untuk
mengenali dan memvalidasi kualifikasi para seniman tradisional Indonesia, seperti penari
tradisional, musisi, atau pembuat patung, yang mungkin, melalui pembelajaran informal dan
praktek, telah mencapai tingkat dan kapasitas tertentu.
Berkembangnya isu pengembangan dan implementasi RPL dapat secara umum dikategorikan
kepada dua sektor: sektor pendidikan dan sektor ketenagakerjaan.
Halaman 5
Keragaman sistem rekrutmenpertimbangan atas pencapaian
melalui pendidikan formal, informal dan non-formal, serta
sertifikat profesi.
Kesepakatan tentang prosedur dalam penerapan RPL harus dapat mencakup permasalahan
penting berikut2, Proses implementasi yang transparan; Kebijakan penerapan dan prosedur yang
jelas; Tidak didasari oleh kepentingan pribadi ataupun kelompok; Ketat dalam penerapan
prosedur dan praktek-praktek operasional; dan Seimbang antara system penilaian dan
penganugerahan. Secara umum, sistem penilaian dan penghargaan dapat bervariasi dari sektor ke
sektor atau dari negara ke negara tergantung kepada kriteria dan tujuan dari desain RPL yang
dimaksud.
Mengembangkan suatu mekanisme pendanaan yang berkelanjutan adalah kunci dalam membuat
suatu sistem RPL. Sumber dana yang dibutuhkan untuk membuat infrastruktur RPLberkisar antara
rendah sampai tinggi tergantung dari sifat pengakuan (formal, informal atau nonformal) dan
tujuannya (akses, kredit atau pekerjaan). Dalam beberapa hal, insentif pendanaan diperlukan untuk
mendukung kapasitas keuangan dari lembaga pendidikan untuk mengimplementasikan RPL [Breier &
burnes 2003]. Untuk memastikan dasar pendanaan berkelanjutan, suatu mekanisme berbagi biaya
yang melibatkan kemitraan dari beberapa pemangku kepentingan dapat dikembangkan. Misalnya, di
Perancis and Belanda biaya-biaya yang timbul dari pelatihan danpendidikan tambahan diganti
dengan melibatkan mitra-mitra sosial untuk memainkan peran kunci dalam rekognisi pembelajaran
lampau dan kompetensi para pegawai [UNESCO 2013].
Sumber-sumber pendanaan tambahan dari RPL bisa berasal dari dana publik tertentu atau melalui
pungutan dari perusahaan-perusahaan. Di Irlandia, Higher Education Authority Strategic
Innovation Fund (SIF) melibatkan pendanaan jangka pendek tertentu yang ditawarkan secara
kompetitif untuk mengembangkan program-program perintis yang dapat ditingkatkan.
Sumber daya manusia, terutama dalam bidang administratif, mungkin merupakan persyaratan
paling intensif untuk keberhasilan implementasi RPL. Bila keuntungan nyata mau dihasilkan of RPL,
maka sangatlah penting untuk menghindari pendekatan memberi centang dalam
implementasinya. Secara khusus, proses mengidentifikasi dan menilai keterampilan dan
kemampuan calon memerlukan keterlibatan yang besar. Untuk ini, RPL yang berhasil menantang
para penyedia jasa pendidikan dan pelatihan selain juga para calon dan pemberi kerja untuk terlibat
dalam suatu refleksi terperinci tentang pembelajaran yang diperoleh dari pengalaman lampau yang
... jauh lebih dalam dari catatan tentang pengalaman kerja [Remery & Merle 2014: 275].
Pengalaman internasional juga menunjukkan perlunya investasi publik dan swasta yang besar dalam
bentuk dukungan komprehensif bagi para calon yang berupaya untuk transisi melalu RPL. Termasuk
didalamnya praktek pengajaran yang fleksibel dan responsif dan dukungan yang terus berjalan bagi
para pelajar saat mereka beradaptasi dan mengembangkan keterampilan akademis. Ketersediaan
kesempatan belajar kembali yang disebutkan di atas sehubungan dengan RPL untuk pengakuan
kredit di Irlandia, merupakan indikasi praktek-praktek yang fleksibel dan mendukung itu.
2
Ann Murphy, RPL Matters in DIT, 2012
Halaman 6
2.3 Isu-isu Institusi
Isu berikutnya berkaitan dengan institusi. Bagi lembaga-lembaga pendidikan, RPL bisa merupakan
tantangan bagi kebijakan tradional dan struktur organisasi mereka, selain juga falsafah lama mereka
tentang pendidikan. RPL memberi dampak kepada banyak aspek dari lembaga pendidikan mulai dari
kebijakan penerima sampai lingkungan pembelajaran. Untuk mengakomodasi pembelajaran lampau
dan kecepatan belajar masing-masing peserta didik dan jenjang pembelajaran, RPL memerlukan
suatu struktur kelembagaan yang memungkinkan titik masuk dan ke luar yang fleksibel ke dalam
program-program yang ada. Namun demikian, perlu dicatat pula bahwa konsep RPL sudah
mendapat kemajuan di lingkungan vokasi dan profesional dibandingkan universitas yang keadaannya
lebih tradisional [Slowey & Schuetze 2012].
AKADEM
Disiplin Keterampilan
Keterampilan Lintas Disiplin
Spesifik
SPESIFIK
UMU
Keterampilan Keterampilan
Spesifik Personal yang
Profesi dapat dialihkan
DUNIA
Gambar 2: Kutub Terpisah: Keterampilan pada Pendidikan Tinggi [Barnett 1994:62]
Tinjauan dari praktek di Afrika Selatan misalnya, menunjukkan bahwa adaptasi kurikulum
pendidikan tinggi seringkali lebih didorong oleh minat intelektual para akademisi dibandingkan oleh
kebijakan [Moore & Lewis 2005].
Rekognisi nilai pembelajaran lampau mempertanyakan pemahaman tradisional tentang apa yang
membentuk pengetahuan akademis. Persepsi bahwa capaian pembelajaran yang diperoleh dari
sistem pendidikan formal lebih tinggi daripada yang dicapai dari pembelajaran lampau tetap
merupakan tantangan utama di beberapa negara. Sebagai akibatnya upaya-upaya untuk
menghubungkan sistem vokasi dan akademis melalui integrasi dari pembelajaran formal dan
nonformal dapat terhambat bila ada nilai sosial dan kelembagaan kuat yang melekat pada kualifikasi
akademis formal. Halangan-halangan kultural ini memberikan dampak pada nilai yang diberikan
kepada pembelajaran nonformal dan informal dan, sebagai hasilnya, juga memberikan dampak pada
tingkat kepercayaan akan RPL diantara lembaga pendidikan, pemberi kerja, peserta didik dan
masyarakat pada umumnya.
Model tradisional dari pengetahuan yang telah menginformasikan pendidikan tinggi juga
menghasilkan tantangan. Sementara pengetahuan pada umumnya dipahami sebagai produk
pembelajaran, para periset mengakui beberapa jenis pengetahuan dan cara untuk mengetahui yang
Halaman 7
muncul sebagai pemisahan besar [Breier 2001:90) antara pengetahuan yang diasosiasikan dengan
lembaga pendidikan formal dan pengetahuan yang diperoleh secara informal. Seperti yang
dijelaskan oleh Ronald Barnett [1994], konsepsi tradisional tentang keterampilan telah dipahami
dalam dua sumbu yang menentang akademik dengan tempat kerja dan yang khusus dengan yang
umum (lihat gambar-8). Ia lebih lanjut menerangkan bahwa perubahan dari fungsi pengetahuan di
pendidikan tinggi dari penekanan pada mengetahui-bahwa menjadi mengetahui-bagaimana.
Merekonsiliasi pembagian tradisional ini adalah salah satu tantangan dalam mengimplementasikan
RPL. Sehubungan dengan universitas-universitas di Australia, Pitman [2009] mennyatakan bahwa
profil RPL telah mengubah secara signifikan kekuatiran tentang standar pembelajaran dan
pendidikan dari calon-calon RPL yang sudah diatasi baik secara konsep maupun prosedur. Hal ini
sedikitnya dipengaruhi oleh ekspansi dan diversifikasi dari kebijakan pendidikan dan pelatihan
menuju perspektif pembelajaran sepanjang hayat yang lebih luas yang memperlebar fokus dari
pencampaian kualifikasi oleh institusi pendidikan dan pelatihan formal untuk memasukkan
kualifikasi lain yang lebih efektif [Cedef op 2009:16] Di Eropa, peralihan penekanan dari masukan
universitas apa yang akan diajarkan ke penekanan pada capaian pembelajaran apa yang akan
dipelajari peserta didik juga telah membantu mengakomodasi RPL dan inisiatif untuk mengakui
pembelajaran berdasarkan pekerjaan [ Walsh 2014:110 ]
Pembelajaran berdasarkan pekerjaan (WBL) menawarkan satu cara baru untuk mengatur belajar di
akademi dan tidak selalu muncul langsung dari kerangka disiplin tetapi memberikan contoh lebih
dari pengetahuan lokal dari keadaan luas dan sementara dari konteks pekerjaan dan keadaan
[Costley & Abukari 2009:313]. Di beberapa negara, disiplin ilmu seperti keperawatan, keguruandan
pariwisata, sudah mensyaratkan pembelajaran di tempat kerja sebagai bagian yang perlu untuk
memperoleh kualifikasi sehingga pengalaman praktis yang diperoleh dari tempat kerja melengkapi
teori yang diajarkan di universitas. Dalam bidang keperawatan, pembelajaran yang diperlukan dalam
konteks praktek biasanya ditentukan oleh suatu badan profesional sementara penempatan kerja
secara lebih umum, misalnya, dalam bidang pariwisata , seringkali lebih dilihat dari pembelajaran
sasaran dan penilaian [Walsh 2014:110]. Satu contoh dari praktek yang bagus di bidang ini adalah
prakarsa tahun 2006 oleh kolese jenjang tiga di Irlandia untuk mempercayakan pembelajaran
berdasarkan kerja dalam bisnis dan TI dengan kualifikasi jenjang tiga [lihat IOTI 2006]. Proses ini
dimulai dengan kampanye promosi yang ditujuan kepada pemberi kerja, pekerja dan kelompok-
kelompok yang mewakili bisnis dan keteramplan di tingkat nasional meminta partisipasi dan
kesepakatan para pemangku kepentingan yang relevan, prakarsa ini berhasil berjalan dengan
pengakuan berdasarkan porto-folio dari pembelajaran berdasarkan pekerjaan.
Implementasi RPL yang berhasil memerlukan komitmen dari para pemangku kepentingan termasuk
pemberi kerja, penyedia jasa pendidikan dan pelatihan, badan-badan profesional, badan-badan
perwakilan pekerja dan kebijakan masyarakat. Konsultasi dan keterlibatan dari para pemangku
kepentingan ini sangat penting untuk memastikan bahwa kecemasan mereka mendapat perhatian
dan bahwa benar-benar memahami apa yang diharapkan dari mereka. Bila para pemangku
kepentingan tidak dilibatkan dalam proses RPL, ada resiko terjadinya pendekatan pelaksanaan
dalam implementasinya. Yaitu bahwa para pemangku kepentingan telah memenuhi persyaratan
perundang-undangan sementara kurang dalam komitmennya terhadap sasaran RPL. Sebagai
akibatnya perubahan apapun yang terjadi atas praktek dan kebijakan saat ini akan sangat terbatas
atau dangkal.
Implementasi RPL yang berhasil memerlukan kesadaran dari para pemangku kepentingan tentang
keuntungan dari keikutsertaan mereka. Beberapa negara, seperti Mauritius, telah berinvestasi dari
advokasi prakarsa dan strategi komunikasi untuk meningkatkan kesadaran akan RPL dan untuk
memberikan keterangan kepada pemangku kepentingan utama tentang praktek internasional
Halaman 8
terbaik. Di Irlandia skema-skema pendanaan SIF yang terarah telah dimanfaatkan untuk tujuan ini.
Satu proyek SIF, yang dijalankan bekerja sama dengan Cork Institute of Tehnology, telah
mengembangankan tinjauan atas praktek-praktek RPL dengan tujuan bida mendapatkan praktek
terbaik [lihat Sheridan & Linehan 2009). Suatu petunjuk berisi informasi untuk RPL juga tersedia
secara online dan ini menggambarkan peran, proses dan garis-waktu RPL. (lihat www.cit.ie/rpl).
Rekomendasi UNESCO
Untuk menciptakan suatu struktur nasional yang terkoordinasi yang melibatkan semua
pemangku kepentingan, Petunjuk untuk Rekognisi, Validasi dan Akreditasi atas Capaian
Pembelajaran Nonformal dan Informal dari UNESCO merekomendasi hal-hal berikut
[UNESCO 2012]:
Namun, secara keseluruhan, banyak hambatan dari implementasi RPL dalam masalah budaya
seperti yang terlihat dari survei atas beberapa pemangku kepentingan di Skotlandia (salah satu yang
paling awal mengadopsi RPL) [Howieson anda Raffe 2012].
Rekognisi kredit adalah sesuatu yang dilakukan secara sukarela dan para penyedia jasa pendidikan
beragam dalam kerelaan untuk rekognisi dan alih kredit. Alasan-alasan untuk tidak mengakui atau
mengalihkan kredit termasuk biaya yang semakin tinggi dari persyaratan yang fleksibel, kurangnya
kepercayaan akan pembelajaran atau penilaian yang diberikan di lain tempat; tidak menguntungkan
dari segi pendanaan, persyaratan adanya badan-badan pengatur dan profesional; norma-norma
menghemat waktu dan harapan [Howieson dan Raffe 2012].
Pengalaman internasional memperjelas bahwa penjaminan mutu dalam praktek RPL merupakan
halyang penting untuk keberhasilan yang lebih luas dari kebijakan dan implementasi RPL. Sebagai
tanggapan atas kekuatiran akan standar, penjamin mutu merupakan pusat untuk mempertahankan
kredibilitas dari kerangka kualifikasi nasional dan integritasdari kualifikasi individual. Capaian yang
penting dari suatu KKN yang kuat adalah peresmian dari proses-proses penjaminan mutu yang
sebelumnyamungkin informal dan diterangkan secara lepas. Akibatnya, penjaminan mutu
memberikan tolok terhadap kepercayaan akan proses dan kualifikasi dapat dikembangkan.
a) kebijakan dan prosedur penjaminan mutu harus meliputi semua jenjang sistem pendidikan
dan pelatihan;
Halaman 9
b) penjaminan mutu harus menjadi bagian integral dari menajemen lembaga-lembaga
pendidikan dan pelatihan;
c) penjaminan mutu harus termasuk evaluasi berkala dari lembaga atau program yang
dilakukan oleh badan atau biro eksternal;
d) badan atau biro pemantau eksternal yang melakukan penjaminan mutu harus ditinjau secara
berkala;
e) penjaminan mutu harus termasuk konsteks, masukan, dimensi proses dan hasil sementara
memberi penekanan pada hasil dan capaian pembelajaran;
f) sistem penjaminan mutu harus termasuk elemen-elemen berikut:
- obyektif dan standar yang jelas dan terukur;
- petunjuk untuk implementasi, termasuk keikutsertaan pemangku kepentingan;
- sumber daya yang sesuai;
- metode evaluasi yang konsisten termasuk penilaian mandiri dan tinjauan eksternal;
- mekanisme umpan balik dan prosedur untuk perbaikan;
- hasil evaluasi yang tersedia secara luas;
g) prakarsa penjaminan mutu internasional, nasional dan regional harus dikoordinasikan untuk
memastikan ikhtisar, keterkaitan, sinergi dan analisis atas seluruh sistem;
h) penjaminan mutu harus merupakan proses kooperatif di seluruh bidang pendidikan dan
pelatihan,yang melibatkan semua pemangku kepentingan di seluruh Negara Anggota dan
seluruh masyarakat; dan
i) petunjuk untuk penjaminan mutu ditingkat masyarakat bisa memberi titik-titik referensi
untuk evaluasi dan belajar dari sejawat [Cedefop2009:23].
Banyak Negara mengembangkan satu badan untuk menangani dan memastikan penjaminan mutu
pendidikan dan pelatihan. Di Afrika Selatan, misalnya, Higher Education Quality Committee terdiri
dari SAQA, yang memberi kepemimpinan intelektual dan strategis bagi implementasi dKKN,
danCoumcil on Higher Education,yang mempunyai tanggung jawab dalam status untuk
mengkoordinasikan dan menghasilkan standar kualifikasi untuk pendidikan tinggi.
Mengapa RPL perlu diimplementasikan di Indonesia dengan jelas dinyatakan dalam Peraturan
Presiden Nomor 8 Tahun 2012 menyangkut KKNI. Di dalam lingkup sektor pendidikan (dahulu
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan), RPL dibahas dengan lebih mendetil di dalam Peraturan
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 73 Tahun 2013. Peraturan ini mendefinisikan tiga
tujuan utama, yaitu untuk mengakui capaian pembelajaran dari :
Individu yang diperoleh melalui pendidikan non-formal dan informal atau melalui
pengalaman pribadi dengan prinsip pembelajaran sepanjang hpasal;
Lulusan penyelenggara pendidikan dan pelatihan yang dikelola oleh kementrian selain
(dahulu) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai dasar untuk pemberian
sertifikat kelulusan yang resmi; dan
Para ahli (di dalam maupun di luar jurisdiksi Kemendikbud) yang diakui memiliki tingkat
kualifikasi setara dengan S2 atau S3 sebagai dosen.
Pemahaman umumnya adalah RPL berkaitan erat dengan kehidupan ekonomi. Karena itu
pengembangan RPL akan mempengaruhi kemampuan tenaga kerja untuk memperbaiki
kehidupan ekonomi mereka. Data statistik dari BPS pada 2010 (BPS dan OECD 2004-2010)
memperlihatkan bahwa persentase tenaga kerja Indonesia yang memiliki kapasitas rendah cukup
besar dibandingkan dengan kualifikasi tenaga kerja yang lebih tinggi (lihat Gambar 3).
Halaman 10
Gambar 3:.a: TIngkat pendidikan tenaga kerja
Gambar-3.a memperlihatkan kapasitas tenaga kerja Indonesia dan Malaysia dibandingkan dengan
negara-negara OECD. Tenaga kerja Indonesia yang paling membutuhkan peningkatan, sehingga
juga paling membutuhkan RPL. Sesuai data BPS pada gambar-3.b, rendahnya tingkat pendidikan
tenaga kerja Indonesia juga sekaligus merupakan peluang bagi program RPL untuk dimanfaatkan.
Halaman 11
Laporan awal
Kebutuhan untuk menerapkan RPL diawali dengan ditetapkannya KKNI melalui Pearturan Presiden
8/2012. Inisiatif untuk memformalkan KKNI diawali oleh Mendikbud dan Menakertrans (gambar 4).
Pada 2015 kedua kementerian ini berubah menjadi Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi (KemenRistekDikti) serta Kementrian Ketenagakerjaan (Kemenaker).
Pada sektor pendidikan, RPL dijabarkan lebih lanjut melalui Peratran Mendikbud 73/2014 menjadi
3 tujuan, yaitu
Pengakuan atas capaian pembelajaran seseorang melalui pendidikan non formal dan
informal atau melalui pengalaman pribadi sejalan dengan prinsip pembelajaran
sepaanjang hayat;
Pengakuan atas capaian pembelajaran lulusan pendidikan yang diselenggarakan oleh
kementerian di luar Kemendikbud sebagai dasar untuk memperoleh gelar, sebutan, atau
serifikat resmi, dan;
Pengakuan atas capaian pembelajaran seorang ahli (baik di dalam maupun di luar
Kemendikbud) setara dengan dengan Magister atau Doktor sebagai dosen di perguruan
tinggi.
Halaman 13
Laporan awal
BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) sebagai badan di bawah Kemenaker juga sudah
melaksanakan kegiatan serupa dengan RPL, dalam bentuk pelatihan profesi berbasis kompetensi
yang memberikan sertifikat profesi sesuai dengan KKNI. Jadi penerapan RPL secara parsial telah
dilaksanakan baik oleh Kemendikbud maupun oleh Kemenaker.
Dengan mengakui atau memberikan rekognisi atas pembelajaran lampau yang dilakukan orang
dewasa, RPL berusaha untuk meningkatkan partisipasi dalam pendidikan dan pelatihan untuk
memenuhi kebutuhan individu, pengguna tenaga kerja dan juga serangkaian kebutuhan ekonomi
nasional, pendidikan dan sosial. Meskipun secara teori RPL memungkinkan untuk diaplikasikan ke
orang muda di bawah usia 16 tahun, pada prakteknya RPL terutama melayani orang dewasa yang
telah keluar dari pendidikan formal untuk kurun waktu tertentu, dan memiliki pengalaman kerja
(dibayar atau tidak memperoleh bayaran) dan sekarang sedang berusaha untuk membuat
pembelajaran yang mereka peroleh dari pengalaman hidup dan pengalaman kerja diakui. Dalam hal
ini, RPL berkaitan erat dengan pembelajaran sepanjang hpasal dan kebutuhan yang terus menerus
akan angkatan kerja yang terampil dan mampu beradaptasi [Slowey and Schuetze 2012].
RPL bukan merupakan solusi untuk meningkatnya jumlah pendaftaran siswa, karena masih banyak
pilihan lain yang lebih murah dan lebih mudah untuk diimplementasikan untuk mencapai tujuan
tersebut. Di Indonesia, manfaat potensial dari RPL mengulang manfaat yang muncul dari ulasan
OECD [2010] untuk kebijakan dan praktek RPL di 16 negara anggota, mancakup hal-hal berikut ini:
Kesempatan Mendapatkan kerja dan adaptasi (Employability & adaptability): RPL meningkatkan
employability dan adaptability dengan cara meningkatkan transparansi akan kemampuan para
pekerja dan juga membantu pengguna tenaga kerja atau pemilik perusahaan untuk mencocokkan
para pegawai dengan tugas-tugas yang ada. RPL berfungsi sebagai kendaraan untuk promosi dengan
pembelajaran berbasis pekerjaan (WBL) melalui identifikasi dan target akan ketrampilan dan
kompetensi yang diperlukan untuk pembelajaran dan pengembangan tenaga kerja. Sementara itu
kompetensi menunjukkan bahwa kemampuan seseorang cukup memadai, kemampuan tersebut
mencakup pengetahuan, ketrampilan dan sikap serta kebisaan seseorang untuk mengaplikasikan
kesemuanya di dalam keadaan yang sesuai.
Meningkatkan kualifikasi dari populasi: RPL mendukung usaha strategis untuk meningkatkan
ketrampilan populasi untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan cara
menghubungkan pengetahuan dan ketrampilan dengan persyaratan dunia kerja. Dalam KKNI, orang
yang tidak memiliki pekerjaan ataupun yang hanya memiliki sedikit ketrampilan dapat meningkatkan
ketrampilan mereka sampai dengan tingkat yang paling sesuai, sementara itu waktu yang diperlukan
untuk memperoleh kualifikasi dipersingkat. RPL juga mendorong gerakan ke arah pemenuhan bagi
para pekerja yang tidak kentara karena ketrampilan yang mereka peroleh melalui pekerjaan di
sektor informal sekarang ini dapat dijadikan formal.
Kesetaraan dan keadilan: RPL menciptakan sarana untuk mengkonsepkan kembali ide akan inklusi
sosial dan kesetaraan sebagai individu yang memiliki akses terbatas ke, atau pencapaian yang
rendah dalam, pendidikan dan pelatihan formal, ataupun mereka yang belajar ketrampilan terutama
Halaman 14
Laporan awal
di tempat kerja ataupun di lingkungan lain diluar sistem formal, seringkali kurang beruntung di
proses pembelajaran dan pelatihan lebih lanjut ataupun di pasar tenaga kerja [UNESCO 2013:12].
Stimulus untuk inovasi dalam pendidikan dan pelatihan: RPL mendorong inovasi di sektor
pendidikan dengan cara mensyaratkan transparansi dan fleksibilitas yang lebih besar dalam
penyediaan proses pembelajaran. Biasanya, sistem administrasi mengakomodasi transfer sks
menyangkut subyek dan modul dan bukan capaian pembelajaran. Untuk memfasilitasi RPL,
pengakuan sks dan transfer sks, pendidikan tinggi dan penyelenggara pelatihan didorong untuk
menyatakan secara eksplisit apa yang mereka berikan atau selenggarakan dalam kaitannya dengan
capaian pembelajaran dan sks. Dengan adanya klarifikasi akan capaian pembelajaran dan sks, RPL
diakui sebagai sarana bagi institusi pendidikan untuk bisa secara lebih jelas menangani kebutuhan
mobilitas dan fleksibilitas pekerja dalam perekonomian.
Mobilitas & fleksibilitas: bila terhubung dengan kerangka kualifikasi nasional yang matang dan
kokoh, serta sistem sks pembelajaran yang terdefinisi, RPL memungkinkan terciptanya mobilitas dan
transfer antar institusi dan negara. Dengan mendukung pintu masuk ke dan keluar dari pendidikan
yang fleksibel, dapat dilihat bahwa RPL dapat meningkatkan motivasi masing-masing pembelajar dan
juga kepercayaan diri ketika mereka memasuki kembali dunia pendidikan atau pelatihan.
Gambar 5 memperlihatkan konsep RPL dimana semua sektor yang berkepentingan dicakup,
termasuk hubungan antara RPL dengan KKNI, dan kaitannya dengan kerangka kualifikasi
internasional. Ini mencerminkan bahwa RPL harus dilaksanakan pada tataran sistem yang sama,
dan membutuhkan penyesuaian dalam penerapannya di masing-masing sektor.
Pada tahap awal penerapan RPL diutamakan pada dua sektor utama, yaitu pendidikan dan
ketenagakerjaan. Walaupun demikian, karena sifat RPL, Competency Based Training (CBT) dan
otodidak juga akan diikutsertakan.
Sesuai dengan cakupan studi ACDP, 3 (tiga) bidang akan dicakup, yaitu Keperawatan, Akutansi,
dan Pariwisata. Pengembangan RPL dalam studi ini juga akan dikaitkan dengan program pilot
yang saat ini dilaksanakan di pendidikan politeknik, di bawah proyek PEDP.
Halaman 15
Laporan awal
Secara umum konsep pengembangan RPL di Indonesia telah dipelajari dan dianalisa, dan
rekomendasi untuk penerapannya akan disajikan.
Di tingkat internasional RPL diperkenalkan dengan berbagai alasan, diantaranya adalah reformasi
pendidikan, kepedulian ekonomi dan/atau pemberdayaan tenaga kerja. Sebagai akibatnya,
pendekatan RPL amatlah bervariasi antara satu negara dengan negara yang lain, dan dalam kasus di
Indonesia lingkungan sosial dan ekonomi akan mempengaruhi pelaksanaan serta tujuan dari sistem
RPL. Prinsip yang mendasarinya akan tetapi serupa dengan prinsip yang mendasari KKNI secara
keseluruhan: transparansi, akuntabilitas, keadilan, obyektivitas, keterandalan dan keefektifan (atau
sesuai dengan tujuan), efisiensi dan keterjangkauan.
Di dalam aplikasi praktis dari tahapan berikut dalam pengembangan RPL di Indonesia, beberapa
kriteria perlu dimasukkan ke dalam strategi, seperti misalkan
Kemampuan untuk memahami persyaratan regulasi yang lengkap berkaitan dengan
masuknya RPL ataupun prosedur penilaian untuk merencanakan prospektus karir dan
program pengembangan kualifikasi di masa mendatang;
Kefasihan untuk dengan jelas dan sesuai mendokumentasikan bukti yang relevan akan
pembelajaran atau kompetensi lampau yang telah diperoleh dalam bentuk informasi
sebagaimana disyaratkan sebelumnya; dan
Kapasitas untuk memperlihatkan pembelajaran lampaunya yang mendalam dan melampaui
pengetahuan dan ketrampilan rata-rata yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas dalam
rangka penilaian, sehingga level kualifikasi dan volume pembelajaran yang telah diperoleh
dapat dengan sesuai dinilai.
Tidak terdapat batasan menyangkut jenis dan cara bagaimana pengalaman kerja diperoleh atau
dicapai selama pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh dapat divalidasi berdasarkan kerangka
kualifikasi yang sesuai. Prinsip utama RPL berfokus kepada capaian atau keluaran dan bukan kepada
bagaimana, kapan atau dimana pembelajaran terjadi. RPL karenanya berkepentingan dengan
pemberian nilai atau penghargaan atas pengetahuan dan ketrampilan yang telah diperoleh
seseorang, apakah diperoleh melalui pendidikan formal, non-formal atau informal; pencapaian karir
di tempat kerja, pelatihan berbasis profesi atau kompetensi; pengalaman hidup seseorang atau hasil
usaha karena bakatnya. Dikarenakan proses rekognisi didasarkan atas kerangka kualifikasi, RPL
selanjutnya menginspirasi pendidikan formal untuk melakukan penyesuaian yang diperlukan, seperti
misalkan akses masuk yang lebih luas dan fleksibel, dan pembuatan prosedur pembebasan dari
mengikuti modul ataupun mata kuliah.
RPL harus mengikuti proses pendidikan formal, mencakup sertifikasi dan penghargaan yang resmi,
program pengembangan pendidikan atau pelatihan, prosedur asesmen dan penjaminanan mutu.
Meskipun istilah formal, non-formal dan informal digunakan secara terpisah, dalam prakteknya
proses pembelajaran ini seringkali saling berkaitan dan mereka memiliki makna yang khusus dalam
sistem pendidikan di Indonesia. Yaitu, dalam beberapa contoh pembelajaran non-formal dapat
mengarah ke kualifikasi; khususnya di negara-negara yang bergerak ke arah pemberian sertifikat
untuk segala macam pembelajaran. Usaha untuk menjadikan pembelajaran non-formal dan informal
lebih bergaung dapat mengarah kepada bentuk rekognisi dibandingkan dengan rekognisi di dalam
sistem formal.
Rekognisi atau validasi biasanya didefinisikan sebagai proses pemberian status resmi untuk
capaian pembelajaran dan/atau kompetensi, yang dapat mengarah kepada pengakuan atas nilai
mereka di masyarakat. OECD mempertahankan istilah rekognisi akan pembelajaran informal
dan non-formal dengan mengacu kepada proses pengumpulan dan penilaian bukti-bukti untuk
Halaman 16
Laporan awal
Pendekatan yang mirip dengan RPL sebenarnya telah dipraktekkan di perusahaan-perusahaan dan
sektor kerja di Indonesia melalui beragam mode, yang digunakan untuk menilai kinerja dan
kemampuan dari calon pekerja selama proses rekrutmen ataupun proses penjenjangan karir. Sama
halnya, pemangku kepentingan yang lain seperti asosiasi profesi juga menggunakan pendekatan
yang mirip dengan RPL dalam menilai peningkatan kualifikasi dari anggotanya yang mengajukan
aplikasi untuk status keanggotaan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa RPL mungkin lebih
mudah untuk diadopsi dan dikembangkan di perusahaan dan asosiasi profesi dibandingkan dengan
di sektor pendidikan formal. Aplikasi RPL di sektor pendidikan nampaknya membutuhkan studi yang
lebih mendalam serta asesmen yang menyeluruh sebelum program RPL yang sesuai dapat disusun.
Dalam kaitannya dengan KKNI, penting bagi program RPL untuk bisa berkembang dan memastikan
pencapaian RPL yang dibandingkan dengan tingkat kualifikasi dan capaian pembelajaran KKNI. KKN
pada umumnya dirancang untuk mengakomodasi pendekatan multi-entry dan multi-exit, dimana
setiap tingkat kualifikasi dapat diperoleh dari berbagai usaha pembelajaran dan pelatihan. Sebagai
akibatnya, harus dipastikan bahwa program RPL yang disusun memiliki kesamaan kerangka
kebijakan dengan KKNI. Selain itu, pendekatan untuk asesmen perlu mengakui dan menghargai
segala bentuk prestasi atau pencapaian yang berkaitan dengan persyaratan untuk kualifikasi.
Implementasi RPL melibatkan pemangkut kepentingan yang beragam, termasuk:
Institusi Pendidikan Tinggi: di dalam lingkungan universitas, dosen biasanya diminta untuk
menjadi fasilitator dalam reflective process dan juga untuk melakukan asesmen RPL. Dikarenakan
RPL dengan konsep satu persatu sifatnya labor-intensive, yang berarti dibutuhkan lebih banyak
staf dan setiap staf juga harus meluangkan lebih banyak waktu untuk setiap pembelajar
dibandingkan dengan prosedur asesmen yang banyak digunakan saat ini, dosen yang terlibat
dalam RPL perlu mendapat dukungan.
Badan profesi dan perwakilan pegawai/pekerja: badan profesi dan serikat pekerja merupakan
pemangku kepentingan yang perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan kebijakan dan
praktek karena amatlah penting bahwa mereka memiliki kepercayaan dalam kualifikasi dan
capaian yang diperoleh. Ketika RPL diaplikasikan dalam konteks magang, skema pelatihan dan
kualifikasi profesi, partisipasi badan profesi diperlukan untuk mendefinisikan ketrampilan dan
kompetensi yang bisa digunakan dalam asesmen.
Pengguna tenaga kerja: sama halnya dengan badan profesi, kesuksesan RPL membutuhkan
pengguna dan calon pengguna tenaga kerja untuk yakin akan prosesnya dan percaya akan
kualifikasi yang dihasilkan. Sebagaimana disinggung di atas, pengguna tenaga kerja memiliki
insentif untuk ikut berpartisipasi dalam RPL dikarenakan RPL mendorong terciptanya proses
rekruitmen dan pelatihan yang efisien. Pengguna tenaga kerja yang berpartisipasi seringkali
merupakan perusahaan besar, sementara itu perusahaan kecil sampai menengah dapat
bergabung menjadi satu untuk kemudian terlibat dalam RPL. Dari perspektif pembelajar,
kesadaran akan adanya RPL dikalangan pengguna tenaga kerja merupakan hal yang penting
dalam membantu pembelajar menyediakan dokumen pendukung yang membuktikan
pembelajaran lampau dan pengalaman mereka.
Halaman 17
Laporan awal
Peserta didik: peserta didik memiliki peran penting dalam proses RPL dikarenakan dia
mendapatkan dan menyerahkan bukti yang relevan akan pembelajaran lampau dan berusaha
untuk maju baik di pekerjaan maupun pendidikan. Bagan di bawah merupakan mekanisme
praktek yang baik untuk mentor/fasilitator dalam mendukung peserta didik pada saat dia
menjalani proses RPL. Lebih luas lagi, mungkin disadari bahwa peserta didik mendapatkan
manfaat dari sosialisasi dengan prosesnya melalui interaksi dengan personalia dan pembelajar
lain dan juga melalui umpan balik yang konstruktif, yang memungkinkan mereka untuk membuat
rencana sebelumnya dan berkembang dengan percaya diri.
Kebijakan komunitas: menyusun dasar hukum yang kokoh bagi struktur dan sistem RPL yang
melaksanakan mekanisme yang sesuai untuk standar, transparansi dan konsultasi. Ini berarti
badan-badan dan juga badan yang mengatur memiliki peran, fungsi dan proses yang telah
didefinisikan dengan jelas di dalam keseluruhan sistem pendidikan.
Instrumen yang digunakan untuk menilai pembelajaran non-formal dan informal seringkali
merupakan instrumen yang juga digunakan untuk menilai pembelajaran formal. Akan tetapi,
intrumen yang digunakan untuk pembelajaran formal ini perlu diadaptasi sehingga bisa memasukkan
tidak hanya konteks pembelajaran lampau yang berbeda-beda tetapi juga cakupan dan kedalaman
pembelajaran yang perlu dinilai. Cedefop's [2009] 'European Guidelines for Validating Non-Formal
and Informal Learning' merekomendasi kriteria berikut untuk mengevaluasi instrumen asesmen:
Validitas (validity): instrumen harus mengukur apa yang memang ingin diukur;
Keterandalan (reliability): seberapa jauh hasil yang sama dapat diperoleh setiap kali kandidat
dinilai di dalam kondisi yang sama;
Keadilan (fairness): seberapa jauh hasil keputusan penilaian bebas dari bias (bias
ketergantungan kepada konteks, bias karena budaya dan asesor);
Cakupan kognitif (cognitive range): apakah instrumen memungkinkan asesor untuk menilai
seberapa luas dan dalamkah pembelajaran seorang kandidat; dan
Sesuai dengan tujuan asesmen (fitness for purpose of the assessment): memastikan tujuan
intrumen penilaian cocok atau sesuai dengan kegunaan yang memang dimaksudkan untuk
intrumen tersebut [Cedefop2009:59].
Asesmen akan pembelajaran lampau seringkali memiliki banyak bentuk dan asesmen dengan tujuan
untuk mendapat sertifikat seringkali melibatkan kombinasi beberapa metode. Sebagaimana
ditunjukkan di gambar-6, Van Rooy [2002:78] mengidentifikasi suatu kontinuum metode mulai dari
pengembangan yang sifatnya sangat perorangan (individualized) sampai dengan asesmen yang
sangat formal, yang menggunakan ujian.
Dikarenakan tujuan dari RPL bervariasi, tergantung pada, misalkan persyaratan sertifikasi untuk
pekerjaan ataupun profesi dan juga tingkatan otonomi institusinya, ke-delapan metode asesmen
berikut, yang diidentifikasi oleh Cedefop, dapat digunakan di Indonesia, disesuaikan dengan tujuan
yang sebenarnya, sektor, penjenjangan dsb. [Cedefop 2009]
Halaman 18
Laporan awal
a) Tes & Ujian: tes yang terstandarisasi amatlah berguna bilamana ada kurikulum yang
seragam di tingkat nasional, yang mendukung transfer hasil tes antar institusi. Dikarenakan
tes yang terstandarisasi juga tidak memfasilitasi adanya pengakuan akan kompetensi lintas
disiplin, metode ini cocok apabila terdapat satu disiplin ilmu yang jelas yang akan dimasuki
oleh seorang pembelajar. Tes dapat dilaksanakan secara lisan ataupun tertulis dan terkadang
menggunakan format pilihan ganda atau benar/salah. Tes ini dapat dilakukan dengan biaya
yang relatif rendah dan dirasa cukup adil/tidak bias karena itulah tes ini cukup banyak
digunakan.
Ujian berbeda dengan tes sebagaimana diaplikasikan secara luas dan dijalankan oleh proses
penjaminan mutu yang mengatur pelaksanaan dari ujian dan asesmennya. Ujian tantangan
amat berguna apabila seseorang tidak memiliki cukup dokumentasi sebagai bukti tetapi
memiliki modal budaya dan ketrampilan akademik untuk mengikuti ujian formal. Tidak
seperti tes yang terstandarisasi, materi ujian dan instrumen untuk evaluasi yang digunakan
dalam ujian ini berbeda, baik antar institusi maupun dalam institusi itu sendiri. Pada saat ada
banyak angkatan yang terlibat, ujian dapat dianggap metode yang transparan dan
memerlukan biaya relatif sedikit untuk menilai pembelajaran lampau.
b) Pernyataan: untuk menyatakan pembelajaran kandidat memberikan pernyataan berupa
bukti tertulis, sesuai dengan kriteria yang dirancang untuk tujun asesmen. Pernyataan
ini dapat menunjukkan ketrampilan seorang kandidat dalam berkomunikasi dan refleksi
analitis tetapi juga seringkali didukung oleh instrumen tambahan demi tercapainya
asesmen yang lebih obyektif.
c) Wawancara: wawancara dalam rangka asesmen dapat berguna apabila kemampuan
seseorang dalam membaca dan menulis, yang diperlukan untuk asesmen formal, tidak
cukup memadai. Meskipun untuk melakukan tes ini diperlukan investasi yang cukup
banyak, dalam hal pelatihan bagi asesor dan juga waktu yang diperlukan, wawancara
dianggap pendekatan yang tidak terlalu mengintimidasi pembelajar. Menurut ulasan
dunia internasional hal ini khususnya sesuai untuk pembelajar yang berlatar belakang
kaum marjinal, yang mungkin saja tersisihkan dari proses asesmen yang diadakan oleh
institusi [Carrigan & Downes 2009]. Wawancara seringkali disertai dengan instrumen
penilaian lain agar proses penilaian dapat lebih seksama.
d) Observasi: observasi menyangkut penilaian perilaku serta ketrampilan seorang kandidat
dalam kondisi tertentu. Observasi dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga dengan berdasarkan
kriteria asesmen yang telah ditentukan sebelumnya. Meskipun observasi terkadang dalam
konteks tertentu memerlukan biaya yang cukup besar serta waktu yang banyak, metode ini
dapat memberikan manfaat yang cukup banyak bila digunakan di lingkungan kerja.
e) Simulasi: simulasi cocok untuk asesmen ketrampilan yang sifatnya kompleks dikarenakan
kandidat dapat menunjukkan ketrampilannya di dalam model simulasi sesuai dengan situasi
di dunia nyata. Simulasi merupakan metode yang populer, akan tetapi memerlukan biaya
yang cukup besar dalam pelaksanaannya dan membutuhkan kriteria asesmen yang jelas. Ada
beberapa variasi yang bisa dilakukan dalam metode ini seperti bermain peran dalam
kelompok untuk mensimulasikan suatu skenario maupun juga demonstrasi ketrampilan
melalui pelaporan secara lisan.
f) Portofolio: penyusunan portofolio bisa bermanfaat apabila kandidat memiliki kemampuan
yang cukup untuk mendokumentasikan bukti-bukti pengalaman belajar mereka. Akan tetapi,
kandidat mungkin memerlukan sedikit bantuan di tahap awal untuk memperlihatkan
pembelajaran mereka dan menyatukan portofolio. Di Eropa, Norwegia dan Denmark telah
memberikan perhatian lebih pada pengembangan asesmen dengan menggunakan portofolio
untuk tujuan formatif, seperti misalkan menciptakan langkah-langkah untuk pengembangan
karir ataupun karir baru di suatu sektor ataupun organisasi.
Halaman 19
Laporan awal
g) Presentasi: presentasi cocok untuk kandidat yang memiliki kemampuan analitikal dan
komunikasi yang kuat. Kandidat akan diminta untuk menyajikan presentasi formal di depan
panel ahli, dan karenanya juga harus mampu menunjukkan kemampuan dalam penyajian
dan berkomunikasi dengan jelas.
h) Debat: para kandidat berpartisipasi dalam proses debat untuk membuktikan kemampuan
mereka dalam mempertahankan suatu argumen dan juga untuk menunjukkan kedalaman
pengetahuan mereka tentang subyek perdebatan[Cedefop 2009:60]. Oleh karenanya, debat
menciptakan kesempatan yang bagus untuk mengevaluasi kemampuan sosial dan
komunikasi para kandidat.
Proses mengidentifikasi tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki seorang pembelajar
saat ini dapat menjadi landasan yang penting dalam menyusun keseluruhan tujuan
pembelajaran. Hal ini mengikuti prinsip bahwa pembelajaran orang dewasa akan terpenuhi
dengan baik apabila berorientasi pada tujuan. Namun demikian, menjembatani kesenjangan
antara teori dan praktek dalam pembelajaran orang dewasa memerlukan perhatian seksama
akan sosial konteks si pembelajar dan kesiapan mereka untuk belajar.
Dikarenakan proses mengidentifikasi ketrampilan yang dimiliki oleh seorang pembelajar merupakan
proses yang membutuhkan waktu yang tidak sedikit, akan lebih berhasil untuk melakukan hal
tersebut dalam kelompok. Dengan menggunakan satu contoh kegiatan ataupun pengalaman,
seorang mentor/fasilitator dapat mengerjakan serangkaian pertanyaan dalam rangka membantu
para pembelajar di dalam kelompok mengidentifikasi dan merefleksikan bagaimana mereka
menggunakan ketrampilan khusus mereka dan apa yang telah mereka pelajari dari pengalaman.
Gambar 7 memperlihatkan satu set pertanyaan yang memerlukan analisa dalam menjawabnya.
UNESCO [2013] merekomendasikan empat langkah berikut sebagai panduan untuk praktek yang
baik dalam akreditasi sumatif [UNESCO 2013: 27]:
Menjadikan prosedur yang ada saat ini (nasional) sebagai dasar untuk penjaminanan mutu
atas capaian pembelajaran formal;
Membuat para staf yang ditugaskan untuk penjaminanan mutu profesional di bidangnya,
dengan cara mengakui dan menilai capaian pembelajaran non-formal dan informal yang
berkaitan dengan sektor;
Halaman 20
Laporan awal
Kesuksesan dan kualitas dari RPL tergantung pada kapasitas dari administrator, mentor/fasilitator,
asesor dan juga para praktisi yang lain dalam menyusun dan mempertahankan proses yang
komprehensif. Untuk mencapainya, proses RPL sebaiknya memasukkan dan menunjukkan dengan
jelas tanggung jawab dan akuntabilitas akademik dan administratif, dan hal ini dipublikasikan secara
luas baik di dalam institusi maupun kepada calon pembelajar. [Sheridan & Lenihan 2009:26].
Merupakan hal yang penting bagi staf RPL untuk memiliki kualifikasi, ketrampilan dan kompetensi
yang sesuai agar mereka dapat mengelola dan melakukan proses asesmen dan validasi/rekognisi.
Untuk alasan ini, pelatihan bagi staf yang saat ini sedang berjalan dan berkelanjutan amatlah
direkomendasi untuk proses berbagi praktek yang telah dilakukan, pengetahuan dan juga
pengalaman. Sistem pelatihan yang sudah terbentuk untuk staf RPL memfasilitasi pengembangan
jaringan bagi pembelajaran bersama di tingkat lokal, nasional dan internasional, yang memperluas
kompentensi dan pengembangan dari praktek yang baik [UNESCO 2012]. Sampai di titik ini,
contohnya, Irish Higher Education Quality Network (IHEQN) dibentuk tahun 2003 untuk
menyediakan informasi dan kesempatan untuk berdiskusi bagi beragam pemangku kepentingan di
tingkat nasional yang terlibat dalam penjaminanan mutu untuk pendidikan tinggi dan pelatihan di
Irlandia. (lihat www.iheqn.ie/). Dari konsultasi dan FGD terlihat bahwa para pemangku kepentingan
melihat banyaknya nilai-nilai yang terkandung dalam jaringan seperti ini.
Peran utama dalam proses RPL sering dilaksanakan dalam konteks pendidikan tetapi juga bisa
dilaksanakan di lingkungan kerja ataupun di lingkungan yang menggabungkan lingkungan kerja dan
pendidikan. Peran utama dalam proses RPL mencakup:
Konselor/Mentor: peran dari seorang konselor atau mentor adalah untuk berinteraksi dengan
kandidat sepanjang proses RPL berjalan. Mentor menyediakan informasi, saran dan arahan bagi
kandidat sejak dari awal proses melalui asesmen dan mengikuti keputusan asesmen. Khususnya,
konselor atau mentor memiliki peran penting dalam mempersiapkan seorang kandidat untuk
asesmen. Pengalaman di wilayah Eropa menunjukkan bahwa konselor atau mentor memiliki peran
penting dalam menentukan kesuksesan RPL dikarenakan dengan adanya peran itu, mentor bisa
memberikan dukungan bagi kandidat untuk menjalani dan menyelesaikan proses tersebut.
Asesor: asesor dalam RPL mengevaluasi bukti-bukti yang dimiliki seorang kandidat atas
pembelajaran lampau sesuai dengan standar yang disyaratkan. Dalam hal ini, asesor memiliki peran
penting dalam mengidentifikasi pembelajaran lampau seseorang berkaitan dengan sistem praktek
yang lebih luas [Harris 2000]. Oleh karenanya, asesor perlu memahami proses dalam RPL dan
metode asesmen dan mereka harus dilatih sehingga dapat memberikan keadaan yang sesuai untuk
asesmen serta evaluasi yang cocok. Menyangkut hal yang kedua, European Guidelines
mengisyaratkan bahwa keotentikan situasi asesmen nampaknya meningkat pada saat para pakar
dalam bidangnya dapat mengarahkan penggunaan instrumen asesmen ataupun menilai keluaran
dari penggunaannya[Cedefop 2009: 68].
Pelatihan bagi para asesor perlu juga mempertimbangkan konteks sosial ekonomi dan budaya dari
suatu negara, misalkan kerumitan bahasa, yang dapat menghalangi asesmen yang adil. Di dunia
pendidikan tinggi, dosen biasa diminta untuk memfasilitasi dan melakukan asesmen. Dalam konteks
ini, peran dari seorang asesor telah berubah dari seorang penjaga gawang dari pembelajaran lebih
lanjut dalam konteks tes masuk yang tradisional menjadi seseorang yang memberikan dukungan
atas pembelajaran lebih lanjut dalam konteks pendekatan-berbasis pembelajar [ SAQA 2004]. Ini
Halaman 21
Laporan awal
berarti asesor diberi pelatihan agar bisa secara otomatis ataupun dengan insting menyadari ada
berbagai tipe pengetahuan yang mungkin akan diperlihatkan oleh seorang kandidat [Hendricks &
Volbrecht 2003].
Manajer Proses: Manajer proses mengawasi proses validasi termasuk manajemen keuangan dan
dan juga peran dari staf RPL.
Pengamat dari luar/independent reviewers: pengamat dari luar melakukan penjaminanan mutu
dengan cara mengulas prosesnya. Mereka juga dapat memberikan umpan balik dan arahan bagi
konselor/mentor dan asesor.
Pemangku kepentingan yang berminat: sebagaimana disebutkan di atas, merupakan hal yang
penting bahwa pemangku kepentingan memiliki kepercayaan akan proses RPL. Untuk
membangun dan mempertahankan kepercayaan ini, pemangku kepentingan dapat diundang
untuk masuk ke dalam komite penasehat ataupun secara teratur para pemangku kepentingan
diminta untuk memberikan masukan.
Secara umum, sistem asesmen dan pemberian penghargaan antara satu sektor dengan sektor yang
lain ataupun antara satu negara dengan negara yang lain berbeda-beda, tergantung kepada kriteria
dan tujuan dari rancangan RPL nya. Namun demikian, model-model di bawah ini merupakan model
yang banyak digunakan.
Pendidikan Tenaga Kerja
Asesmen portofolio portofolio
Asesmen atas pengetahuan dan Asesmen atas kompetensi kerja
ketrampilan
Wawancara lisan Wawancara lisan
Penghargaan Transfer sks Penempatan kerja
Pembebasan mata kulian Sertifikat kompetensi
Pemberian gelar Sertifikat kualifikasi profesi
Tantangan dalam implementasi yang diidentifikasi dari hasil kerja di lapangan merefleksikan apa
yang ditemukan di dunia internasional, termasuk:
Kurangnya antusiasme dari para pembelajar untuk mengaplikasikan RPL berdasarkan
kenyataan bahwa mereka lebih menyukai dan menghargai proses pembelajaran dan
keberadaan interaksi sosial di sekitar mereka merupakan hal yang penting dalam
pengembangan kualifikasi mereka;
Implementasi RPL selama ini memiliki kecenderungan dibebani oleh birokrasi yang berbelit
sehingga menimbulkan kesan bahwa untuk mengejar RPL membutuhkan usaha dan tenaga
yang tidak sedikit;
dukungan yang tidak memadai untuk pengumpulan bukti dan juga kurangnya penghargaan
kepada penjaminanan mutu terkadang membuat persyaratan dalam mengisi aplikasi untuk
RPL menjadi sulit dan akhirnya mematahkan semangat para kandidat;
bahasa dan prosedur yang memusingkan berkaitan dengan proses penyamaan komponen
pembelajaran lampau dengan kerangka kualifikasi dan unit yang terstandarisasi yang
membuat RPL menjadi kurang populer sebagai sebuah alternatif dari program pembelajaran.
Halaman 22
Laporan awal
Di dalam sektor pendidikan sebagai contohnya, beberapa masalah perlu dielaborasi dengan jelas,
termasuk didalamnya [Gibson & Whittaker 2012]:
kebijakan dan proses yang berkaitan dengan pendaftaran, pengajaran dan proses
pembelajaran, strategi asesmen dan mekanisme penjaminanan mutu:
desain kurikulum yang secara eksplisit membahas cara masuk, kemajuan dan penyampaian;
pengembangan kapasitas staf dalam menjalankan program RPL dan menangani beban kerja
yang ada saat ini;
penggunaan teknologi untuk meningkatkan pengadaan RPL seperti misalkan e-portfolio,
pengembangan beberapa pendekatan pembelajaran yang terpadu ataupun model
pembelajaran yang terintegrasi dan kemungkinan lulusan mendapat pekerjaan; dan
pengembangan basis data untuk mempertahankan pengembangan yang terus menerus,
analisa dan evaluasi serta sistem penelusuran.
Pengalaman di tingkat internasional menunjukkan bahwa negara dengan pengalaman KKN yang
sudah matang pun masih mengalami tantangan yang disebutkan disini. Hal ini sebagian dikarenakan,
sebagaimana ditekankan sebelumnya, RPL dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Apapun
tujuannya, demi menjaga kredibilitas dan transparansi, semua pihak harus yakin dengan konsistensi
dari metode asesmen. Oleh sebab itu prinsip utamanya dalam menuju ke tahapan berikut dalam
implementasi RPL di pendidikan tinggi di Indonesia adalah untuk memastikan bahwa RPL benar-
benar terintegrasi dengan sistem penjaminanan mutu yang biasa digunakan dan juga sistem kontrol
mutu dari institusi pendidikan tinggi, badan akreditasi dan badan-badan lain yang berhubungan.
7 Peta Jalan untuk Pengembangan RPL
7.1 Hasil Sementaran dan Temuan-temuan
Program pengembangan model RPL pada sektor pendidikan dan ketenagakerjaan disajikan pada
gambar 8a dan 8b.
Pada gambar 8a, lulusan dari pendidikan jenjang di bawahnya mempunyai kesempatan untuk
dinilai (assessed) kapasitasnya, untuk kemudian memperoleh pengakuan atas kompetensinya,
melalui program RPL. Kapasitas dan kompetensi tersebut dicapai melalui pengalaman kerja atau
pengalaman lainnya yang sesuai dengan capaian pembelajaran jenjang di atasnya.
Halaman 23
Laporan awal
Gambar 8b menyajikan program RPL untuk dunia kerja, yang memperlihatkan kaitan antara
berbagai unit dalam siklus RPL.
Temuan sementara studi ini yang diperoleh dari FGD dengan 3 sektor (Keperawatan, Akuntansi,
dan Pariwisata) diajikan pada tabel 1.
Halaman 24
Laporan awal
Gambar 9 dan tabel 3 berikut memperlihatkan peta jalan yang harus ditempuh dalam
pengembangan RPL selanjutnya. Sementara itu tim studi sedang melakukan survei kecil untuk
memperoleh gambaran lebih akurat tentang persepsi pemangku kepentingn terhadap RPL.
Kepedulian PENYESUAIAN 5 6 11
regulator terlihat SISTEM
dari penerapan PENGANUGRAHAN
RPL terbatas oleh
BNSP SEKTOR INDUSTR
Koordinasi antara
berbagai sektor PENYESUAIAN PENYAMAAN
di dunia kerja JENJANG PEMAHAMAN
harus KARIR 7 8
ditingkatkan
Dunia kerja dan industri
Halaman 25
Laporan awal
Halaman 26
Laporan awal
Halaman 27