You are on page 1of 13

TINJAUAN PUSTAKA

ANTERIOR CRUCIATE LIGAMENT

A. Definisi
Anterior cruciate ligament (ACL) merupakan salah satu dari 4 ligamen utama di lutut yang
menghubungkan tulang femur dan tibia. Lutut pada dasarnya adalah sendi engsel yang tersusun
menjadi kesatuan oleh ligamentum kolateral medial (MCL), kolateral lateral (LCL), cruciatum
anterior (ACL) dan cruciatum posterior (PCL). ACL berjalan diagonal ditengah lutut mencegah
supaya tulang tibia tidak tergelincir didepan tulang femur, serta memberikan stabilitas rotasi
lutut. Permukaan lutut ini ditutupi oleh kartilago artikulare.1
B. Anatomi
ACL terdiri dari 2 bundle utama yaitu bundle posterolateral dan bundle anterolateral.
Kompenen dari bundle ACL dinamakan berdasarkan insersi pada tibia. Kedua serabut berasal
dari sisi posteromedial kondilus femur lateral masuk menuju anterior intekondilar tibial eminens.
ACL tersusun oleh serabut kolagen tipe 1. Giuliani dkk, menyatakan bahwa suplai aliran darah
utama ACL berasal dari arteri geniculare media dan arteri geniculare inferolateral.1
Persarafan pada sendi lutut adalah melalui cabang - cabang dari nervus yang mempersarafi
otot-otot di sekitar sendi dan befungsi untuk mengatur pergerakan pada sendi lutut.
Sehingga sendi lutut disarafi oleh n. femoralis, n. obturatorius, n. peroneus communis dan n.
tibialis. Ditemukan beberapa tipe mekanoreseptor pada ACL yaitu korpuskula ruffini, korpuskula
pacinian, badan golgi serta berbagai ujung serabut saraf.1
Gambar 1. MRI dari lutut1
C. Biomekanik Anterior Cruciate Ligament
Ligamen-ligamen pada lutut berfungsi penting untuk menyokong kestabilan sendi lutut.
Diantara ligamen-ligamen tersebut, ACL berperan penting terutama ketika lutut melakukan
gerakan memutar. Ketika berjalan ataupun berlari, ACL jarang digunakan, tetapi saat tubuh
melakukan gerakan memutar. Bundle serabut ACL berperan ssebagai penahan translasi tibial
anterior dan memandu mekanisme rotasi lutut yang berhubungan dengan ekstensi kaki.1
ACL merupakan penahan utama translasi anteriorposterior. ACL juga mencegah rotasi
internal, rotasi eksternal dan hiperekstensi. ACL berperan mencegah terjadinya genu valrus dan
genu vagus terutama saat kaki dalam posisi lurus.1 Injuri pada ACL menyebabkan abnormalitas
kinematik lutut. Episode subsluksasi kemudian muncul dan menyebabkan robekan abnormal
pada kartilago. Abnormalitas kinematik ini terutama muncul pada keterlambatan rekonstruksi
ACL. Hal ini menyebabkan komplikasi sekunder seperti osteoartritis.2
D. Mekanisme Cidera pada ACL
Cidera pada ACL paling banyak disebabkan pada saat berolahraga (terutama olehraga
yang banyak melakukan gerakan berputar atau membelok seperti sepak bola dan badminton).
Namun, dapat pula terjadi pada saat beraktivitas sehari-hari. Cidera terjadi tanpa adanya kontak
dengan energi luar dan berkaitan dengan perubahan gerakan tubuh secara mendadak atau
perubahan kecepatan gerakan tubuh mendadak (cidera deselerasi). Cidera ACL dapat pula terjadi
ketika jatuh debgan posisi kaki lurus atau hiperekstensi.3
Saat cidera pada ACL terjadi, penderita akan mengalami kesulitan berdiri atau menopang
badannya sendiri karena ketidakstabilan lutut. Ketidakstabilan ini disebabkan tidak hanya karena
rupturnya ligamen namun juga akibat putusnya serabut saraf pada ligamen. Putusnya serabut
saraf ini akan menyebaban gangguan propiosepsi yang menyebabkan tubuh merasa tidak mampu
menggerakkan lutut. Putusnya serabut saraf ini juga memutuskan umpan balik kepada otot yang
menggerakkan lutut sehingga kontrol pada sendi lutut akan hilang yang menyebabkan
ketidakstabilan tubuh.3
E. Diagnosis Cidera pada ACL
Dari anamnesa pasien biasanya mengingat sensasi ketika lutut ditekuk dan ambruk
ketanah, seperti mendengar suara pop dan sensasi robekan yang terjadi hampir 80% dari
cedera akut ACL.4 Dan menggambarkan adanya two fist sign yang tampak seperti karakteristik
joint instabilitas. Dan atlit pada umumnya tidak dapat melanjutkan dikarenakan nyeri.
Kemudian lutut seringnya bertambah keluhan dengan adanya hemarthrosis dalam 3 jam, tetapi
pasien mengeluh secara gradual bengkak lebih dari 24 jam. 5 Cedera akut pada lutut , meniscus
tear sering terjadi pada sisi lateral dibandingkan sisi medial. Sedangkan pada gejala kronis,
medial meniscus tear lebih sering terjadi. Displaced Buckle handle tear lebih sering terjadi 4 kali
disisi medial dibandingkan di lateral. Biasanya pasien mengeluh gejala klinis seperti terkunci,
displaced buckle handle tear sering ditumpangkan pada kronis ACL deficient.6
Pemeriksaan klinis yang penting untuk menegakkan diagnosis suatu cedera ACL terdiri 3
pemeriksaan klinis yaitu Lachman test, Anterior Drawer testm and Pivot shift test. Lachman test
lebih sensitif dibandingkan pemeriksaan lainnya, sedangkan pivot shift test menggambarkan
pathognomonic dari suatu ACL deficient knee. Sedangkan Anterior drawer test untuk
sensitivitasnya kurang.5
Lachman test dilakukan dengan knee flexi 15-20 derajat, paha distabilisasi dengan salah
satu tangan pemeriksa dan tangan lainnya memegang proximal kaki, dan adanya anterior
translation pada tibia menggambarkan lachman test positif. Lachman test terbagi 3 grade yaitu
grade 1 (1-5 mm translation dibandingkan dengan lutut sebelahnya), grade 2 (6-10mm), dan
grade 3(>10mm). 5
Anterior drawer test dilakukan dengan lutut fleksi 90 derajat dan pemeriksa umumnya
duduk diatas telapak kaki untuk menstabilisai dari tungkai bawah dan dilakukan anterior
translation yang mirip dengan lachman test dengan lutut fleksi lebih lanjut. Test ini kurang
sensitivitasnya tetapi dapat sebagai pembanding terhadap kecurigaan suatu cedera Posterior
Cruciate ligament (PCL). Sebagai contoh, jika anterior translasi oleh anterior drawer test lebih
besar dibandingkan lachman test, maka perlu dicurigai suatu cedera PCL. Sedangkan Pivot shift
test menggambarkan relatif subluksasi fenomena reduksi dari ACL deficient knee (gambar).
Test ini dilakukan dengan axial load dan kekuatan valgus terhadap lutut. Dengan ACL deficient
knee saat ekstensi, tibia mengalami anterior subluksasi. Dan lutut tereduksi dengan 15-20 derajat
fleksi5
Pemeriksaan radiografi standar hendaknya tetap dilakukaan, termasuk gambaran
anteroposterior, lateral, skyline view. Hal ini perlu dilakukan untuk menyingkirkan adanya
gambaran fraktur. fraktur avulsi pada tibial insertion jarang sekali terjadi tetapi dapat terlihat
pada usia remaja, atau pasien usia 30-40 th dengan densitas tulang yang berkurang. Kemudian
adanya gambaran osteophyte pada intercondylar notch dapat diperkirakan suatu kronis ACL
deficient knee.6 Atau gambaran Segond fracture (lateral casular avulsion fracture) dapat terlihat
sebagai gambaran adanya avulsi fraktur yang kecil di distal dari permukaan articular anterior
pada aspek anterior tibia, gambaran ini menjelaskan suatu pathognomonic yang berhubungan
dengan cedera ACL. Untuk cedera kronis dengan adanya cedera berulang pada penekanan dari
sulcus terminalis biasanya didapatkan gambaran radiografi lateral nocth sign. Jarang,
gambaran ini terjadi pada akut ACL.5
MRI sering dilakukan pada kasus-kasus yang dicurigai suatu cedera ACL dan sangat
membantu untk menilai patologi meniscus, kontusi tulang, tibial eminence fracture, intraartikular
fraktur, dan yang berhubungan cedera ligament. Kita jarang menggunakan MRI untuk
menegakkan diagnosis suatu cedera ACL, yang telah dilakukan berdasarkan anamnesa penyakit
dan pemeriksaan klinis. Lebih lanjut, pemeriksaan MRI tidak digunakan untk membedakan
apakah cedera ACL ini partial atau total. Namun demikian, MRI sangat penting untuk evaluasi
cedera lutut ACL.6
F. Tatalaksan Cidera ACL
Terapi non-operatif dapat diberikan pada kasus-kasus robekan ACL parsial yang tidak
menimbulkan gejala ketidakstabilan sedangkan operatif sebaiknya dilakukan pada kasus robekan
diatas 50% karena umumnya menimbulkan keluhan. Kocheret dkk, menunjukkan bahwa kurang
lebih 1/3 remaja dengan rata-rata umur 13,7 tahun yang mengalami robekan parsial dan
melakukan terapi non-operatif akhirnya tetap membutuhkan tindakan rekonstruksi karena
keluhan ketidakstabilan lutut yang menetap. Hasil penelitian dari Graftet dkk, menunjukkan
bahwa dari total 60 pasien anak dan remaja yang mengalami cedera ACL didapatkan sebanyak
23 anak yang diterapi non-operatif mengalami perburukan kondisi lutut dan ketidakstabilan
sendi. Terjadi 15 kasus robekan bantal sendi, 2 kasus fraktur osteochondral dan 10 kasus
perkembangan osteoartritis.7
Fabricant dkk telah menyusun sebuah alur penanganan cedera ACL terutama pada pasien
berusia muda dan merekomendasikan tindakan rekonstruksi berdasar beberapa pertimbangan
yaitu (1) keluhan ketidakstabilan yang menetap (2) cedera lutut lain yang menyertai ACL, seperti
: robekan bantal sendi, robekan ligamen lutut lain, dan fraktur (3) usia tulang (4) target dan
harapan pasien, seperti : kembali ke olahraga kompetitif atau tidak.7
Bila tindakan rekonstruksi telah menjadi keputusan, maka hal selanjutnya yang harus
dipertimbangkan adalah pemilihan teknik rekonstruksi dan bahan graft yang akan digunakan.
Saat ini, telah berkembang beberapa teknik yang biasa digunakan dalam rekonstruksi, yaitu (1)
Physeal sparing dan (2) Non-Physeal sparing. Prinsip teknik physeal sparing adalah
menghindari pembuatan lubang yang melintasi lempeng pertumbuhan tulang tibia dan
femur.Saat ini terdapat 2 teknik physeal sparing yang berkembang, yaitu teknik dari Kocher dkk,
yang memodifikasi prosedur McInthosh dan dari Anderson(2003) yang disebut all epiphyseal
reconstruction. Kedua teknik tersebut menunjukkan hasil yang memuaskan pada kasus ACL
anak dan remaja.7
Teknik non-physeal sparing atau disebut juga transphyseal adalah pemasangan graft
melintasi lempeng pertumbuhan tulang tibia dan femur.Disebut parsial bila pengeboran
dilakukan pada salah satu tulang dan disebut complete bila fiksasi dilakukan pada kedua tulang.
Pemilihan graft dipengaruhi oleh teknik rekonstruksi yang digunakan, umumnya bahan yang
digunakan adalah tendon hamstring atau tendon patella. Di Indonesia sendiri, selain fasilitas
arthroskop untuk melakukan rekonstruksi belum tersedia merata di setiap daerah, ketersediaan
dokter ortopedi yang menguasai teknik-teknik rekonstruksi non konvensional juga sangat
terbatas.7
OSTEOARTHRITIS
A. Definisi Osteoarthritis

Osteoarthritis merupakan gangguan pada satu sendi atau lebih, bersifat lokal, progresif dan
degeneratif yang ditandai dengan perubahan patologis pada struktur sendi tersebut yaitu
berupa degenerasi tulang rawan/kartilago hialin. Hal tersebut disertai dengan peningkatan
ketebalan dan sklerosis dari subchondral yang bisa disebabkan oleh pertumbuhan osteofit
pada tepian sendi, peregangan kapsul artikular, synovitis ringan pada persendian, dan
lemahnya otot-otot yang menghubungkan persendian. 8
Osteoartritis (OA) ialah suatu penyakit kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang
lambat yang tidak diketahui penyebabnya, meskipun terdapat beberapa faktor resiko yang
berperan. Keadaan ini berkaitan dengan usia lanjut, terutama pada sendi-sendi tangan dan sendi
besar yang menanggung beban dan secara klinis ditandai oleh nyeri, deformitas, pembesaran
sendi, dan hambatan gerak. Faktor biomekanik dan biokimia sepertinya merupakan faktor
terpenting dalam proses terjadinya osteoarthritis. Faktor biomekanik yaitu kegagalan
mekanisme protektif, antara lain kapsul sendi, ligamen, otot-otot persendian, serabut aferen,
dan tulang-tulang. Kerusakan sendi terjadi multifaktorial, yaitu akibat terganggunya faktor-
faktor protektif tersebut. Osteoarthritis juga bisa terjadi akibat komplikasi dari penyakit lain
seperti gout, rheumatoid arthritis, dan sebagainya. 9
B. Patogenesis Osteoarthritis
Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari proses penuaan dan tidak dapat
dihindari. Namun telah diketahui bahwa OA merupakan gangguan keseimbangan dari
metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur yang penyebabnya masih belum jelas
diketahui. Kerusakan tersebut diawali oleh kegagalan mekanisme perlindungan sendi serta
diikuti oleh beberapa mekanisme lain sehingga pada akhirnya menimbulkan cedera.10
Pada Osteoarthritis terjadi perubahan-perubahan metabolisme tulang rawan sendi. Perubahan tersebut
berupa peningkatan aktifitas enzim-enzim yang merusak makromolekul matriks tulang rawan sendi, disertai
penurunan sintesis proteoglikan dan kolagen. Hal ini menyebabkan penurunan kadar proteoglikan, perubahan
sifat-sifat kolagen dan berkurangnya kadar air tulang rawan sendi. Pada proses degenerasi dari kartilago artikular
menghasilkan suatu substansi atau zat yang dapat menimbulkan suatu reaksi inflamasi yang merangsang
makrofag untuk menghasilkan IL-1 yang akan meningkatkan enzim proteolitik untuk degradasi matriks
ekstraseluler.10
Ciri patologik pada OA ditandai oleh kapsul sendi yang menebal dan mengalami fibrosis
serta distorsi. Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik
dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan terjadinya penumpukan trombus
dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral yang menyebabkan terjadinya iskemia dan
nekrosis jaringan subkondral tersebut. Ini mengakibatkan dilepaskannya mediator kimiawi
seperti prostaglandin dan interleukin yang selanjutnya menimbulkan bone angina lewat
subkondral yang diketahui mengandung ujung saraf sensibel yang dapat menghantarkan rasa
sakit.10
Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari dilepasnya mediator kimiawi seperti
kinin dan prostaglandin yang menyebabkan radang sendi, peregangan tendon atau ligamentum
serta spasmus otot-otot ekstraartikuler akibat kerja yang berlebihan. Sakit pada sendi juga
diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari
medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena intrameduler akibat stasis vena intrameduler karena
proses remodelling pada trabekula dan subkondral.10
Sinovium mengalami keradangan dan akan memicu terjadinya efusi serta proses
keradangan kronik sendi yang terkena. Permukaan rawan sendi akan retak dan terjadi fibrilasi
serta fisura yang lama-kelamaan akan menipis dan tampak kehilangan rawan sendi fokal.
Selanjutnya akan tampak respon dari tulang subkhondral berupa penebalan tulang, sklerotik dan
pembentukkan kista. Pada ujung tulang dapat dijumpai pembentukan osteofit serta penebalan
jaringan ikat sekitarnya. Oleh sebab itu pembesaran tepi tulang ini memberikan gambaran seolah
persendian yang terkena itu bengkak11

C. Klasifikasi Osteoarthritis
Berdasarkan penyebabnya, OA dibedakan menjadi dua jenis yaitu OA primer dan
OA Sekunder. OA primer adalah jenis OA yang tidak diketahui secara pasti penyebabnya
atau biasanya disebut idiopatik. OA primer atau idiopatik dapat dibedakan lagi
beradasarkan tempatnya, yaitu lokal dan menyeluruh (generalized osteoarthritis).
Sedangkan secara radiologis, OA lutut klasifikasikan menjadi 5 grade yaitu 0-4, menurut
Kellgren-Lawrence yang dibedakan berdasarkan gambaran osteofit, jarak anatara sendi,
sklerosis subkondral dan kista yang terbentuk.12

Grade Deskripsi
0 Normal tidak ada gambaran osteoartritis
1 Meragukan gambaran sendi normal, tetapi terdapat osteofit
minimal
2 Ringan osteofit kecil, kemungkinan penyempitan sendi
3 Sedang osteofit sedang, deformitas ujung tulang, dan celah
sendi sempit
4 Berat osteoartritis berat dengan osteofit besar, deformitas
ujung tulang, celah sendi hilang, serta adanya
sklerosis dan kista subkondral

Tabel 1. Klasifikasi derajat OA lutut berdasarkan Kellgren-Lawrence12


Gambar 2. Derajat OA lutut berdasarkan kellgren-Lawrence12

D. Diagnosis Osteoarthritis
Diagnosis osteoartritis biasanya didasarkan pada anamnesis yaitu riwayat penyakit,
gambaran klinis dari pemeriksaan fisik dan hasil dari pemeriksaan radiologis. Anamnesis
terhadap pasien osteoartritis lutut umumnya mengungkapkan keluhan-keluhan yang sudah lama,
tetapi berkembang secara perlahan-lahan. Nyeri sendi merupakan keluhan utama yang dirasakan
setelah aktivitas dan menghilang setelah istirahat. Bila progresifitas OA terus berlangsung
terutama setelah terjadi reaksi radang (sinoritis) nyeri akan terasa saat istirahat. Sedangkan
istirahat ataupun immobilisasi yang lama dapat menimbulkan efek-efek pada jaringan ikat dan
kekuatan penunjang sendi. Bila akut dapat ditemukan tanda-tanda radang: rubor (merah), tumor
(membengkak), calor (terasa panas), dolor (terasa nyeri), dan fuctio laesa (gangguan fungsi)
yang jelas.13
Kriteria diagnosis dari OA lutut berdasarkan American College of Rheumatology yaitu
adanya nyeri pada lutut dan pada foto rontgen ditemukan adanya gambaran osteofitserta
sekurang kurangnya satu dari usia > 50 tahun, kaku sendi pada pagi hari < 30 menit dan adanya
krepitasi. Nyeri pada sendi tersebut biasanya merupakan keluhan utama yang membuat pasien
datang ke dokter. Nyeri biasanya bertambah berat dengan gerakan dan berkurang dengan
istirahat. Pada umumnya pasien OA mengatakan bahwa keluhannya sudah berlangsung lama
tetapi berkembang secara perlahan. Daerah predileksi OA biasanya mengenai sendisendi
penyangga tubuh seperti di pada lutut. Pada pemeriksaan fisik, pada pasien OA ditemukan
adanya gerak sendi baik secaraaktif maupun pasif. Selain itu biasanya terdengar adanya krepitasi
yang semakin jelas dengan bertambah beratnya penyakit. Gejala ini disebabkan karena adanya
pergesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat sendi digerakkan atau secara pasif
dimanipulasi. Hambatan gerak yang seringkali sudah ada meskipun secara radiologis masih
berada pada derajat awal dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik. Selainitu dapat ditemukan
adanya krepitasi, pembengkakan sendi yang sering kali asimetris, nyeri tekan tulang, dan tak
teraba hangat pada kulit.13
Diagnosis OA selainberdasarkan gejala klinis juga didasarkan pada hasil radiologi.
Namun pada awal penyakit ,radiografi sendi seringkali masih normal. Adapun gambaran
radiologis sendi yang menyokong diagnosis OA adalah adanya penyempitan celah sendi yang
seringkali asimetris (lebih berat padabagian yang menanggungbeban), peningkatan densitas
(sclerosis) tulang subkondral, kista tulang, osteofit pada pinggir sendi, peerubahan struktur
anatomi sendi.13

Pada hasil radiografi pasien ditemukan adanya osteofit pada emminentia intercondilaris
medialis os tibia kiri. Periksaan penunjang laboratorium OA biasanya tidak banyak berguna.
Darah tepi (Hb,leukosit, laju endap darah) dalam batas batas normal kecuali OA generalisata
yang harus dibedakan dengan artritis peradangan. Pemeriksaan cairan sendi pasien negatif tidak
ditemukan adanya bakteri.13

Evaluasi progresivitas penyakit atau hasil pengobatan OA sampai sekarang didasarkan


pada pengamatan klinik dan radiografik sendiyang terkena. Disadari kedua parameter tersebut
tak dapat memberikan penilaian yang sensitif untuk perkembangan kerusakan
rawan sendi OA. Parameter laboratorik yang banyak dipergunakan adalah pengukuran
kadar C-reactiveprotein (CRP) dan laju endapdarah (LED) yang hasilnya normal atau sedikit
meningkatdan rheuma factor (RF) negatif.13

Pertanda tersebut juga tidak dapat mencerminkan dengan akurat beratnya kerusakan sendi
dan korelasinya buruk dengan kerusakan rawan sendi. Beberapa pertanda biokimia yang
dipandang dapat dipergunakan untuk menilai kerusakan rawan sendi antara lain
Fragmen C terminal dari kolagen tipe II C2C dan C1,2C. Kadar kedua fragmen tersebut dapat
dideteksi di cairan sendi dan serum. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan kadar
C2C dan C1,2C dalam serum mengindikasikan adanya peningkatan degradasi
rawan sendi. Selain itu dilaporkan pula bahwa kadar C2C juga dapat memprediksi peningkatan
risiko progresifisitas kerusakan sendi secara radiografis 4 tahun ke depan
pada pasien OA dini. Kadar C2C juga dapat digunakan untuk monitoring efek terapi, dimana
keberhasilan terapi akan menurunkan kadarnya.13

Bila dicurigai terdapat robekan meniskus atau ligamen, dapat dilakukan pemeriksaan MRI
yang akan menunjukkan gambaran tersebut lebih jelas. Walaupun demikian, MRI bukan alat
diagnostik yang rutin, karena mahal dan seringkali tidak merubah rancangan terapi. Gambaran
laboratorium umumnya normal. Bila dilakukan analisis cairan sendi juga didapatkan gambaran
cairan sendi yang normal. Bila didapatkan peninggian jumlah leukosit, perlu dipikirkan
kemungkinan artropati kristal atau artritis inflamasi atauartritis septik13

E. Tatalaksana Osteoarthritis
Tujuan pengobatan pada pasien OA adalah untuk mengurangi gejala dan mencegah
terjadinya kontraktur atau atrofi otot. Terapi OA pada umumnya simptomatik,
misalnya dengan pengendalian faktor-faktor resiko, latihan intervensi fisioterapi dan terapi
farmakologis. Pada fase lanjut sering diperlukan pembedahan.13

Terapi non obat terdiri dari edukasi, penurunan berat badan,terapi fisik dan terapi kerja.
Pada edukasi, yang penting adalah meyakinkan pasien untuk dapat mandiri, tidak selalu
tergantung pada orang lain. Walaupun OA tidak dapat disembuhkan, tetapi kualitas hidup
pasien dapat ditingkatkan. Penurunan berat badan merupakan tindakan yang penting, terutama
pada pasien-pasien obesitas, untuk mengurangi beban pada sendi yang
terserang OA dan meningkatkan kelincahan pasien waktu bergerak.13

Terapi fisik dan terapi kerja bertujuan agar penderita dapat melakukan aktivitas optimal
dan tidak tergantung pada orang lain. Terapi ini terdiri dari pendinginan, pemanasan dan latihan
penggunaan alat bantu. Dalam terapi fisik dan terapi kerja dianjurkan latihan yang
bersifat penguatan otot, memperluas lingkup gerak sendidan latihan aerobik. Latihan tidak hanya
dilakukan pada pasien yangtidak menjalani tindakan bedah, tetapi juga dilakukan pada pasien
yang akan dan sudah menjalani tindakan bedah, sehingga pasien dapat segera
mandiri setelah pembedahan dan mengurangi komplikasi akibat pembedahan.13
Penghilang rasa sakit bisa membantu. Kebanyakan dokter merekomendasikan
acetaminophen (Tylenol), karena memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan obat
lain. Jika rasa sakit berlanjut, dokter mungkin merekomendasikan obat antiinflammatory
(OAINS). Obat ini membantu meredakannyeri dan bengkak. Jenis OAINS termasuk aspirin,
ibuprofen dan naproxen. Namun, penggunaan jangka panjang
OAINS dapat menyebabkan masalah lambung seperti ulkus dan pendarahan. Obat ini juga dapat
meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke.13

OAINS bekerja dengan cara menghambat jalur siklooksigenase (COX) pada kaskade
inflamasi. Terdapat 2 macam enzim COX, yaitu COX-1 (bersifat fisiologik, terdapat
pada lambung, ginjal dan trombosit) dan COX-2 (berperan pada proses inflamasi). OAINS
tradisional bekerja dengan cara menghambat COX-1 dan COX-2, sehingga dapat
mengakibatkan perdarahan lambung, gangguan fungsi ginjal, retensi cairan dan hiperkalemia.
OAINS yang bersifat inhibitor COX-2 selektifakan memberikan efek
gastrointestinal yang lebih kecil dibandingkan penggunaan OAINS yang tradisional.13

Bagi penderita dengan OA yang sudah parah, maka operasi merupakan tindakan yang
efektif. Operasi yang dapat dilakukan antara lain arthroscopic debridement, joint debridement,
dekompresi tulang, osteotomi dan artroplasti. Walaupun tindakan operatif dapat menghilangkan
nyeri pada sendi OA, tetapi kadang-kadang fungsisendi tersebut tidak dapat diperbaiki secara
adekuat, sehingga terapifisik pre dan pasca operatif harus dipersiapkan dengan baik.13

ACL DAN OSTEOARTHRITIS

Perkembangan osteoarthritis post traumatik diketahui menjadi faktor resiko yang signifikan
setelah terjadinya cidera ACL. OA genu merupakan penyakit kronis progresif yang menyebabkan
peningkatan disabilitas dan beban kesehatan pada sistem kesehatan nasional. Mekanisme yang
berkontribusi terhadap perkembangan OA setelah cidera ACL belumlah sepenuhnya dipahami,
namun berbagai hipotesis dibuat dan menyatakan bahwa hal ini didasari oleh preubahan proses
biomekanik dan defisit pada sistem neuromuskuler.16
Cidera pada ACL dan rekronstruksi ACL menyebabkan OA genu prematur pada pasien
dewassa, yang dapat menyebabkan kelemahan sendi anteroposterior genu, mempercepat
degenerasi kartilago artikulare dan mengganggu biomekanikal homeostasis seiring berjalannya
waktu. Hingga saat ini, terbukti telah banyak klinisi yang mendeteksi banyaknya kejadian cidera
ACL pada pasien OA terutama pada regio plateu.14

OA merupakan benyakit tersering yang ditemukan pada sendi lutut pada pasien usia lanjut
diseluruh dunia. Prevalensi OA meningkat hiingga 10% pada pria dan 20% pada wanita usia 45-
65 tahun. Proporsi OA disertai robekan ACL komplit adalah 8.1% dan 35%. Penelitian yang
dilakukan oleh Geng dkk menyatakan bahwa 41.3% wania penderia OA genu pada regio plateu
yang berusia 41-65 tahun, yang mengalami cidera ACL jauh lebih banyak dibandingkan pada
penelitian-penelitian sebelumnya.14

Faktor resiko penderita cidera ACL berkembang menjadi osteoarthritis masihlah belum
diketahui sepenuhnya. Namun terdapat penelitian yang menyatakan bahwa ukuran notch
intercondilar merupakan salah satu variabel anatomi yang diduga menjadi faktor predisposisi
terjadinya cidera ACL. Salah satu gambaran pada pasien osteoarthritis adalah terdapatnya
osteofit, dan ACL jarang dijumpai pada pasien OA berat dimana notch intercondilar cenderung
lebih kecil dibandingkan lutut normal.14

Hubungan antara berkembangnya OA setelah rekonstruksi ACL masihlah bersifat


kontroversial. Berbagai peneliti menyatakan bahwa instabilitas pada anterior sendi lutu dapat
menginduksi terjadinya osteoarthritis degeneratif pada sendi lutut. Almekinders dkk menyatakan
bahwa penyebab terjadinya perubahan degeneratif setelah rekonstruksi ACL adalah abnormalitas
hubungan antara tulang femur dan tibia yaitu akibat terjadinya subluksasi anterior tibis yang
persisten.15

DAFTAR PUSTAKA
1. Siegel L, Vandenakker A, Siegel D. Anterior Cruciate Ligament Injuries: Anatomy, Physiology,
Biomechanics, and Management. Clin J Sport Med. 2012;22(4): 349-55
2. John M. 2016. Anterior Cruciate Ligament pathologi.
http://emedicine.medscape.com/article/1252414-overview. Diakses tanggal 4 Agustus 2017
3. Keith H. ACL injury. J Arthoplasty Subset. 2017;1:1-14
4. Bernard R.Bach J, T.Provencher M: ACL Surgery: SLACK Incorporated, 2010, pp 39-54.
5. H.Fu F, B.Cohen S: Current Concept in ACL Reconstruction: SLACK Incorporated, 2008, pp 21-
61.
6. Miller D, Cole B. Textbook of Arthroscopy. Philadephia: Saunders, 2004, pp 633-656.
7. Zein M. Cedera Anterior Cruciate Ligamen (ACL) pada Atlet Beriusia Muda. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Olahraga. 2013; 11(2): 111-21
8. British Orthopaedic Association (BOA). Commissioning Guide : Painful Osteoarthritis of the
Knee. London, 2013, pp1-19
9. David, T. 2006. Osteoarthritis of the knee. The New England Journal of Medicine
10. Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of Arthritis : Degenerative Joint
Disease and Variation. Radiology. 248(3):737747.
11. Lozada, Carlos J. 2009. Osteoarthritis. http://emedicine.medscape.com. Diakses tanggal 19
April 2016.
12. Michael JWP, Brust KUS, Eysel P. The Epidemiology, Etiology,Diagnosis and Treatment of
Osteoarthritis of the Knee. Deutsches rzteblatt International. 2010; 107: p. 152-162.
13. Ika A. Diagnosis and Treatment Osteoarthritis. J Majority. 2015; 4(4): 1-8
14. Geng B, Wang J. Narrow intercondylar notch and anterior cruciate ligament injury in female
nonathletes with knee osteoarthritis aged 41-65 years in plateu region. Chinese Med J. 2016;
129(2): 2540-5
15. Seon JK, Song EK, Park SJ. Osteoarthritis after anterior cruciate ligament reconstruction using
a patelar tendon autograft. SICOT. 2006;30: 94-8
16. Luc B, Philip A. Osteoarthritis prevalence following anterior cruciate ligament reconstruction: a
systematic review and numbers-neede-to-treat analysis. J Athl Train. 2014; 49(6): 806-19.

You might also like