You are on page 1of 25

ACARA III

EVALUASI BILANGAN PEROKSIDA DAN


TITIK ASAP MINYAK GORENG

A. Tujuan
Praktikum Evaluasi Gizi dalam Pengolahan Pangan Acara III Evaluasi
Bilangan Peroksida dan Titik Asap Minyak Goreng bertujuan untuk :
1. Menentukan bilangan peroksida pada berbagai sampel minyak goreng.
2. Menentukan nilai titik asap berbagai sampel minyak goreng.

B. Tinjauan Pustaka
Tanaman sawit adalah penghasil minyak nabati terbesar di dunia,
terutama karena minyak dapat diproduksi baik dari serabut buah maupun inti.
Minyak sawit dapat digunakan untuk minyak masak, minyak industri, maupun
bahan bakar (biodiesel). Sifatnya yang tahan oksidasi dengan tekanan tinggi
dan kemampuannya melarutkan bahan kimia yang tidak larut oleh pelarut
lainnya, serta daya melapis yang tinggi membuatnya dapat digunakan untuk
beragam peruntukan. Minyak dihasilkan oleh buah. Kandungan minyak
bertambah sesuai kematangan buah. Setelah melewati fase matang, kandungan
asam lemak bebas (FFA, free fatty acid) akan meningkat dan buah akan rontok
dengan sendirinya. Kelebihan minyak nabati dari sawit adalah harga yang
murah, rendah kolesterol, dan memiliki kandungan karoten tinggi (Kementrian
Perdagangan, 2013).
Minyak kelapa sawit (oil palm) berkaitan dengan kandungannya, yakni
asam lemak jenuh palmitat (C:16), sedangkan minyak inti sawit (palm kernel
oil) kaya akan asam laurat (C:12) seperti pada minyak kelapa. Minyak kelapa
sawit termasuk lemak jenuh, mengandung asam palmitat sebanyak 44%, asam
stearat sebanyak 4,6%, asam miristat sebanyak 1%, dan sisanya merupakan
asam linoleat sebanyak 38,7% (Silalahi dan Siti, 2011).
Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan dan
hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya
digunakan untuk menggoreng makanan. Beberapa contoh minyak goreng
seperti minyak kelapa, minyak jagung, dan minyak kacang. Reaksi oksidasi
pada minyak akan minimbulkan bau tengik. Dalam SNI 01-3741-1995
dijelaskan mengenai syarat mutu minyak goreng, yaitu sebagai berikut:
Tabel 3.1 Syarat Mutu Minyak Goreng
Kriteria Uji Satuan Syarat
Keadaan bau, warna, dan rasa Normal
Air %b/b Maks. 0,30
Asam lemak bebas (dihitung %b/b Maks. 0,30
sebagai asam laurat)
Bahan makanan tambahan Sesuai dengan SNI 022 dan Permenkes No.
722/Menkes/Per/IX/88
Cemaran logam
Besi (Fe) mg/kg Maks. 1,5
Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 0,1
Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,1
Timbal (Pb) mg/kg Maks. 40,0
Timah (Sn) mg/kg Maks. 0,005
Seng (Zn) mg/kg Maks. 40,0/250
Arsen (As) %b/b Maks. 0,1
(Noriko dkk., 2012).
Minyak bekas merupakan minyak yang sudah tidak layak konsumsi.
Warnanya biasanya gelap, menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Mutu
minyak bekas sudah sangat rendah karena adanya kandungan senyawa
peroksida dan asam lemak bebas yang tinggi. Standar Nasional Indonesia (SNI)
3741 - 1995 memberikan batasan terhadap angka peroksida yang berbahaya
untuk konsumsi yaitu standar maksimal untuk angka peroksida adalah 2
meq/kg. Minyak yang telah rusak mempunyai angka peroksida serta asam
lemak bebas yang tinggi. Apabila dicampurkan dengan minyak baru maka
dapat meningkatkan angka peroksida dan asam lemak bebas dari minyak
tersebut. Angka peroksida yang meningkat dapat menurunkan mutu minyak
goreng, sehingga kualitas makanan jajanan yang digoreng menggunakan
minyak tersebut juga rendah bahkan dapat membahayakan kesehatan
(Mulasari, 2012).
Bilangin Peroksida adalah banyaknya miliekivalen oksigen aktif yang
terdapat dalam 1000 gram minyak atau lemak. Bilangan peroksida merupakan
nilai terpenting untuk mengetahui tingkat kerusakan yang telah terjadi pada
minyak atau lemak yang diakibatkan oleh proses oksidasi yang berlangsung
bila terjadi kontak antara oksigen dengan minyak. Asam lemak tidak jenuh
penyusun suatu trigliserida dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya,
sehingga membentuk peroksida. Makin besar bilangan peroksida menunjukkan
makin besar pula derajat kerusakan pada minyak. Syarat mutu bilangan
peroksida pada minyak goreng menurut SNI 01-3741-2002 maksimal sebesar
1 mg O2/100 gram minyak (Sumarlin dkk, 2009).
Cara yang sering digunakan untuk menentukan bilangan peroksida
adalah berdasarkan pada reaksi antara kalium iodida dengan peroksida dalam
suasana asam. Iodium yang dibebaskan selanjutnya dititrasi dengan larutan
baku natrium tiosulfat. Penentuan angka peroksida dengan cara iodometri biasa
ini kurang baik. Hal ini disebabkan karena peroksida jenis tertentu hanya
bereaksi sebagian, di samping itu juga dapat terjadi kesalahan yang disebabkan
oleh reaksi antara kalium iodida dengan oksigen dari udara. Adanya
hidroperoksida yang merupakan produk oksidasi minyak atau lemak akan
mengoksidasi iodida menjadi iodium yang selanjutnya dititrasi dengan natrium
tiosulfat (Rohman, 2013).
Pereaksi yang digunakan dalam pengujian bilangan peroksida antara
lain kloroform, asam asetat, KI, Na2S2O3, serta indikator amilum. Fungsi dari
pereaksi tersebut yaitu :
1. Kloroform digunakan untuk melarutkan minyak sehingga larut dengan
sempurna dan bisa diproses selanjutnya.
2. Asam asetat digunakan untuk menghidrolisis asam lemak dari minyak.
Asam lemak ini yang kemudian diukur jumlah peroksida yang terkandung
di dalamnya.
3. KI digunakan sebagai pereaksi perantara karena titrasi yang dilakukan yaitu
titrasi tidak langsung (indirect titration). Peroksida yang pecah pada minyak
akan mengeluarkan oksigen. Oksigen yang terlepas akan mengoksidasi KI
dan menghasilkan I2 yang setara dengan jumlah oksigen pada sampel.
4. Na2S2O3 digunakan untuk mentitrasi I2 sehingga bisa ditentukan jumlah
bilangan peroksida pada sampel minyak.
5. Amilum digunakan sebagai indikator. Mekanismenya adalah iod yang
dibebaskan akan masuk ke dalam struktur amilum sehingga menimbulkan
warna biru. Titrasi dihentikan jika warna larutan menjadi tidak berwarna
karena I2 telah habis tertirasi. Reaksi yang terjadi adalah :
RCOO- + KI RCO- + H2O + I2 + K+
I2 + Na2S2O3 NaI + Na2S2O3 (Ketaren, 1986).
Faktor yang mempengaruhi kualitas minyak kelapa sawit adalah
kandungan asam lemak, kadar air, kontaminasi, dan proses pemucatan. Lemak
dan minyak dikelaskan berdasarkan kandungan asam lemak bebasnya, yang
kemudian dijadikan indeks kualitas minyak. Komponen asam lemak utama
yang menyusun minyak kelapa sawit adalah asam oleat dan palmitat. Jenis
asam lemak dapat menjelaskan kandungan nutrisi serta daya simpan dari
minyak. Adanya kandungan air akan memicu terjadinya hidrolisis autokatalitik
yang meningkatkan kandungan asam lemak. Kontaminasi mikroba pada lemak
dan minyak akan menyebabkan terbentuknya asam lemak bebas akibat
aktivitas lipase yang dihasilkan (Tagoe et al, 2012).
Winarno (2008) menyebutkan kerusakan yang dapat terjadi pada lemak
antara lain :
1. Penyerapan Bau (Tainting)
Lemak bersifat mudah menyerap bau. Apabila bahan pembungkus
dapat menyerap lemak, maka lemak yang terserap ini akan teroksidasi oleh
udara sehingga rusak dan berbau. Bau dari bagian lemak yang rusak ini akan
diserap oleh lemak ang ada dalam bungkusan yang mengakibatkan selutuh
lemak menjadi rusak.
2. Hidrolisis
Dengan adanya air, lemak dapat terhidrolisis menjadi gliserol dan
asam lemak. Reaksi ini dipercepat oleh asam, basa, dan enzim enzim.
Hidrolisis sangat menurunkan mutu minyak goreng. Minyak yang telah
terhidrolisis, smoke pointnya menurun, bahan bahan menjadi coklat dan
lebih banyak menyerap minyak.
3. Oksidasi dan Ketengikan
Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik
yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh autooksidasi radikal
asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Autooksidasi dimulai dengan
pembentukan radikal radikal bebas yang disebabkan oleh faktor faktor yang
dapat memercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau
hidroperoksida, logam berat, logam porfirin, dan enzim enzim lipooksidase.
Kerusakan lemak atau minyak yang utama adalah karena peristiwa
oksidasi dan hidrolitik, baik enzimatik maupun non enzimatik. Di antara
kerusakan minyak yang mungkin terjadi, ternyata kerusakan karena
autooksidasi yang paling besar pengaruhnya terhadap cita rasa. Bau tengik
pada minyak disebabkan karena adanya aldehid dan keton. Angka peroksida
dinyatakan dalam miliekuivalen dari peroksida tiap 1000 gram minyak atau
lemak.

Gambar 3.1 Reaksi pada Penentuan Bilangan Peroksida


(Edahwati, 2011).
Mutu dari suatu minyak dapat diketahui dari rasa dan aromanya, salah
satunya adalah ketengikan atau adanya peroksida. Peroksida merupakan suatu
tanda adanya pemecahan atau kerusakan pada minyak karena terjadinya
oksidasi. Prinsip bilangan peroksida adalah senyawa dalam lemak akan
dioksidasi oleh kalium iodida, kemudian iod yang dilepaskan akan dititrasi
dengan menggunakan tiosulfat (Wildan, 2002).
Perubahan kompleks yang terjadi saat penggorengan menyebabkan
degradasi termal dan proses oksidasi. Perubahan fisik yang terjadi adalah
peningkatan viskositas, pembentukan busa dan penurunan titik asap.
Perubahan kimia yang terjadi adalah peningkatan asam lemak bebas, dan
komponen polar seperti penurunan level titik jenuh, kualitas rasa dan nilai gizi.
Asam lemak bebas yang diproduksi saat proses penggorengan merupakan
penyebab menurunnya titik asap minyak. Minyak dengan kadar FFA tinggi
mempunyai titik asap yang rendah (Izbaim, 2010).
Mutu minyak goreng ditentukan dari titik asapnya, yakni temperatur
saat triasilgliserol mulai terurai dengan adanya udara. Asap merupakan tanda
telah terjadi penguraian. Secara normal titik asap terjadi pada temperatur 200-
2210C dan berkurang dengan adanya penguraian produk. Semakin tinggi titik
asap, semakin baik mutu minyak goreng. Titik asap suatu minyak gereng
tergantung dari kadar gliserol dan asam lemak bebas (Handoko, 2009).
Menurut Gaman (1992), jika minyak dipanaskan sampai suhu tertentu,
minyak tersebut akan mengalami dekomposisi menghasilkan asap berwarna
biru dengan karakteristik bau yang menusuk. Kebanyakan minyak mulai
mengeluarkan asap pada suhu diatas 200C. Menurut Ahmad (2013), titik asap
didefinisikan sebagai suhu terendah minyak yang dipanaskan pada saat
membentuk asap secara terus menerus dan muncul di permukaan minyak. Teori
tentang titik asap juga dikemukakan oleh Ketaren (2008) dalam Andaka
(2009), salah satu sifat fisik minyak adalah titik asap. Titik asap adalah
temperatur pada saat minyak menghasilkan asap tipis kebiru-biruan pada
pemanasan.

C. Metodologi
1. Alat
a) Alumunium foil
b) Buret 50 ml
c) Erlenmeyer 250 ml
d) Geas ukur 100 ml
e) Gelas beker 50 ml
f) Kompor
g) Neraca analitik
h) Pipet 1 ml
i) Pipet 20 ml
j) Pipet tetes
k) Termometer
l) Wajan kecil
2. Bahan
a) Amilum 1%
b) Aquades
c) Asam asetat glasial
d) Kloroform
e) Larutan Kalium Iodida
f) Minyak goreng curah baru
g) Minyak goreng curah goreng 1x
h) Minyak goreng curah goreng 2x
i) Minyak goreng merk Bimoli baru
j) Minyak goreng merk Bimoli goreng 1x
k) Minyak goreng merk Bimoli goreng 2x
l) Minyak goreng merk Hemart baru
m) Minyak goreng merk Hemart goreng 1x
n) Minyak goreng merk Hemart goreng 2x
o) Minyak jelantah
p) Na tiosulfat 0,1 N
3. Cara Kerja
a. Penentuan Bilangan Peroksida

5 gr sampel minyak
goreng curah 2 kali

Penambahan dalam labu Erlenmeyer 250 ml

Penutupan dengan alumunium foil

30 ml pelarut (60% asam


asetat glasial + 40%
kloroform) dan 0,5 ml Penambahan
kalium iodida

Pendiaman selama 2 menit

30 ml aquades dan 1 ml
amilum 1% Pengamatan warna

Penitrasian dengan larutan Na tiosulfat


0,1N

Pengamatan warna yang terjadi

Gambar 3.2 Diagram Alir Penentuan Bilangan Peroksida


b. Penentuan Titik Asap

100 ml sampel minyak


goreng

Penuangan ke dalam wajan

Pemanasan hingga muncul asap

Pengukuran titik asap dengan termometer

Gambar 3.3 Diagram Alir Penentuan Titik Asap

D. Hasil dan Pembahasan


Tabel 3.2 Penentuan Bilangan Peroksida

Berat
Bilangan
Kel Sampel minyak ml Na-tiosulfat
Peroksida
(gr)
1,2 Bimoli baru 5,0167 0,25 4,983
3,4 Hemart Baru 5,0140 0,5 9,972
5,6 Bimoli goreng 1x 5,0704 0,35 6,902
7,8 Hemart goreng 1x 5,0331 0,4 7,947
9,10 Curah goreng 1x 5,029 0,25 4,971
11,12,13 Bimoli goreng 2x 5,0001 0,35 7,000
14,15 Hemart goreng 2x 5,0128 0,4 7,979
16,17 Curah goreng 2x 5,0186 0,3 5,978
18 Curah baru 5,1268 0,3 1,950
19,20 Jelantah 5,0534 0,25 4,947
Sumber: Laporan Sementara
Pada praktikum penentuan bilangan peroksida, digunakan tiga jenis
minyak yaitu minyak sawit kemasan, minyak curah, dan minyak jelantah.
Menurut Trimulyono (2008) minyak sawit diperoleh dari pengolahan buah
sawit yang melalui proses ekstraksi secara rendering atau pengepresan dan
proses pemurnian yang terdiri atas pengendapan dan pemisahan gum,
netralisasi, pemucatan, dan deodorisasi.Terdapat dua jenis minyak goreng yang
beredar dipasaran, yaitu minyak goreng yang dijual dengan merek (branded)
dan tidak bermerek (curah). Perbedaan harga yang cukup besar antara minyak
goreng bermerek dan curah menjadi alasan utama mengapa minyak goreng
curah lebih banyak dipilih untuk dikonsumsi. Sementara itu, masyarakat
Indonesia mempunyai kebiasaan untuk menggunakan minyak goreng secara
beulang ulang. Minyak yang digunakan berulang ulang ini sering disebut
sebagai minyak jelantah atau minyak bekas. Minyak bekas merupakan minyak
yang sudah tidak layak konsumsi. Warnanya biasanya gelap, menimbulkan
rasa gatal pada tenggorokan. Mutu minyak bekas sudah sangat rendah karena
adanya kandungan senyawa peroksida dan asam lemak bebas yang tinggi.
Sedangkan menurut Silalahi dan Siti (2011), minyak kelapa sawit termasuk
lemak jenuh, mengandung asam palmitat sebanyak 44%, asam stearat sebanyak
4,6%, asam miristat sebanyak 1%, dan sisanya merupakan asam linoleat
sebanyak 38,7%. Menurut Etriya dkk (2004), sama dengan minyak kelapa
sawit, minyak curah juga merupakan minyak yang diproduksi dari kelapa sawit
hanya saja minyak curah tidak bermerek dan diukur dalam satuan kilogram.
Minyak jelantah adalah minyak goreng bekas pakai atau minyak daur ulang
(Ramdja dkk, 2010).
Peroksida merupakan suatu tanda adanya pemecahan atau kerusakan
pada minyak karena terjadi oksidasi (kontak dengan udara) yang menyebabkan
bau/aroma tengik pada minyak. Wildan (2002) menyebutkan bahwa prinsip
penentuan bilangan peroksida yakni senyawa dalam lemak (minyak) akan
dioksidasi oleh Kalium Iodida (KI) dan Iod yang dilepaskan dititar dengan tio
sulfat. Minyak/lemak dioksidasi dari ikatan rangkapnya menyebabkan lemak
lebih kental dan keras.
Peroksidase lemak terdiri dari tiga fase, yaitu (1) fase permulaan
dimana terjadi pembentukan radikal asam lemak bebas dan hidroperoksida
sebagai produk dari reaksi uatam (2) fase kedua merupakan fase lanjutan
dimana hidroperoksida yang terbentuk terurai menjadi peroksida sekunder dan
(3) fase terakhir dimana terjadi pembentukan peroksida tersier. Fase kedua dan
ketiga yang menghasilkan peroksida sekunder dan tersier yakni dalam bentuk
aldehida, keton, alkohol, hidrokarbon, asam organik volatil, dan komponen
epoxy lainnya (Kerr, 2012).
Prinsip penentuan bilangan peroksida adalah senyawa dalam lemak
(minyak) akan dioksidasi oleh kalium iodida dan iod yang dilepaskan
kemudian dititrasi dengan tio sulfat (Wildan, 2002). Sedangkan menurut Putri
(2015), penentuan bilangan peroksida yang didasarkan pada pengukuran
sejumlah iod yang dibebaskan dari potasium iodida melalui reaksi oksidasi
oleh peroksida dalam lemak atau minyak pada suhu ruang di dalam medium
kloroform atau asam asetat.
Peroksidasi lipid dimulai dengan abstraksi lipid atau penambahan
radikal oksigen menghasilkan asam lemak tidak jenuh rangkap (PUFA). PUFA
ini bersifat lebih sensitif daripada asam lemak jenuh. Kemudian proses
selanjutnya akan terjadi abstraksi yang menyisakan elektron karbon tidak
berpasangan yang kemudian distabilkan dan membentuk diena terkonjugasi
yang dengan oksigen membentuk radikal peroksil. Radikal peroksil ini dapat
mengabstraksi atom hidrogen lain sehingga terjadi reaksi berantai.
Pembentukan radikal peroksil mendorong produksi hidroperoksida alami yang
dapat memisahkan hidrogen dari PUFA yang lain, inilah yang disebut
propagasi. Proses ini menghasilkan radikal asam lemak yang lebih stabil yang
meliputi hidroperoksida, alkohol, aldehid, dan alkana

Gambar 3.4 Tahap Inisiasi pada Proses Peroksidasi Lipid


Gambar 3.5 Tahap Awal Propagasi Peroksidasi Lipid
(Repetto et al, 2012).
Mekanisme pengujian bilangan peroksida yang dimulai dari
penimbangan sampel minyak sebanyak 5 gram dengan menggunakan neraca
analitik. Kemudian sampel minyak tersebut dimasukkan ke dalam erlenmeyer
100 ml dan ditambahkan dengan 30 ml pelarut. Pelarut tersebut terbentuk dari
60% asam asetat glasial dan 40% kloroform. Setelah dilakukan penambahan
kemudian sampel dikocok hingga semua sampel minyak larut. Setelah sampel
minyak larut lalu ditambah dengan 0,5 ml larutan kalium iodida jenuh,
kemudian larutan didiamkan selama dua menit di ruang gelap (dengan cara
membungkus erlenmeyer menggunakan aluminium foil) sambil digoyang.
Setelah dua menit ditambah 30 ml aquades lalu ditambah amilum 1%. Setelah
itu, dilakukan titrasi menggunakan natrium tiosulfat, banyaknya natrium
tiosulfat yang digunakan untuk titrasi digunakan untuk menghitung bilangan
peroksida sampel.
Pelarut yang terbentuk dari asam asetat glasial dan kloroform berfungsi
untuk melarutkan minyak goreng yang akan dianalisa. Kloroform bersifat non
polar sedangkan asam asetat glasial bersifat polar. Campuran keduanya adalah
campuran pelarut polar dan nonpolar yang dapat melarutkan minyak goreng.
Penggunaan pelarut yang bersifat polar dan non polar ini dikarenakan lipida
yang terkandung dalam minyak goreng bukan hanya terdiri dari bahan organik
yang larut dalam pelarut organik non polar tetapi juga tetapi juga pelarut
anorganik polar (Anggraini dan Siti, 2012).
Fungsi kalium iodida dalam titrasi ini adalah sebagai senyawa yang
akan dipecah oleh hidrogen peroksida menjadi iodium sehingga akan
memudahkan identifikasi dan penghitungan bilangan peroksida karena iodium
ini akan merepresentasikan jumlah hidrogen peroksida yang ada setelah titrasi
dengan sodium tiosulfat. Larutan amilum digunakan untuk indikator (Semb,
2012). Penambahan amilum akan mengakibatkan munculnya warna biru pada
larutan. Sedangkan sodium tiosulfat akan mereduksi I3- menjadi ion I-. Reaksi
dengan sodium tiosulfat ini akan menyebabkan warna biru pada larutan akan
berangsur-angsur menghilang saat semua anion triiodida sudah terkonversi.
Banyaknya tiosulfat yang digunakan untuk titrasi menunjukkan konsentrasi
hidroperoksida dalam minyak (Eertmans et al, 2013).
Pada Gambar 3.6 Edahwati (2011) menggambarkan mengenai reaksi
yang terjadi selama titrasi minyak. Minyak yang teroksidasi akan membentuk
kompleks ROOH dan melepaskan 2 ion H+ . Senyawa ROOH (peroksida)
tersebut kemudian direaksikan dengan kalium iodida jenuh dalam suasana
asam. Reaksi tersebut akan mengakibatkan pelepasan iodium. Iodium
kemudian dititrasi dengan menggunakan natrium tiosulfat dan menghasilkan
natrium iodida serta Na2S4O6 (Rohman, 2013).

Gambar 3.7 Reaksi pada Penentuan Bilangan Peroksida


Pada praktikum ini dilakukan perhitungan bilangan peroksida pada
beberapa sampel yang meliputi sampel minyak Bimoli baru, Hemart baru,
Bimoli goreng satu kali, Hemart goreng satu kali, curah goreng satu kali,
Bimoli goreng dua kali, Hemart goreng dua kali, curah goreng dua kali, minyak
curah baru dan minyak jelantah. Dari praktikum ini diketahui besarnya
bilangan peroksida dari yang tertinggi ke terendah secara berturut-turut adalah
sampel Hemart baru sebesar 9,972, Hemart goreng dua kali sebesar 7,979,
Hemart goreng satu kali sebesar 7,947, Bimoli goreng dua kali sebesar7,000,
Bimoli goreng satu kali sebesar 6,902, curah goreng dua kali sebesar 5,978,
Bimoli baru sebesar 4,983, curah goreng satu kali sebesar 4,971, minyak
jelantah sebesar 4,947, dan minyak curah baru sebesar 1,950.
Berdasarkan praktikum telah dilakukan menunjukkan hasil yang
fluktuatif, namun yang dapat diketahui adalah minyak yang baru memiliki
bilangan peroksida yang lebih tinggi dibanding minyak yang sudah digunakan
satu kali atau dua kali menggoreng, hal ini tidak sesuai dengan teori dimana
minyak yang belum dipakai kemungkinan mengalami oksidasi. Menurut teori
yang dikemukakan Mulasari (2012), penyebab kenaikan bilangan peroksida
adalah minyak goreng yang digunakan berkali kali. Hal ini dikarenakan
frekuensi penggorengan yang makin sering mengakibatkan kandungan
peroksidanya semakin meningkat akibat adanya oksidasi termal. Oksidasi
termal yakni oksidasi yang dikarenakan adanya pemanasan dan paparan udara
yang mengakibatkan terbentuknya peroksida. Dengan demikian, terjadi
penyimpangan hasil praktikum dimana tidak semua sampel dengan frekuensi
penggorengan lebih banyak pada dua pengulangan mengalami kenaikan nilai
peroksida. Seharusnya, nilai sampel goreng 1x, goreng 2x, dan minyak jelantah
memiliki nilai peroksida yang semakin meningkat dan lebih tinggi dari sampel
minyak goreng baru. Penyimpangan hasil praktikum dapat dimungkinkan
karena kesalahan dalam preparasi dan penyiapan sampel dimana sampel
disimpan dalam botol plastik bening sehingga masih dapat terpapar sinar
matahari. Selain itu, kurangnya kehati hatian praktikan dalam membuka dan
menutup tutup alumunium foil dalam menuangkan pereaksi juga
memungkinkan terjadinya kontak yang lebih lama dengan udara. Kurang teliti
dalam mengamati perubahan warna ketika dilakukan titrasi Na- tiosulfat juga
menyebabkan kelebihan titran sehingga perhitungan angka peroksida idak
akurat.
Dalam SNI 3741 - 1995 tercantum batasan terhadap angka peroksida
yang berbahaya untuk konsumsi yaitu standar maksimal untuk angka peroksida
adalah 2 meq/kg. Sedangkan dalam penelitian Wildan (2002) Untuk nilai
ambang batas bilangan peroksida (nilai ketengikan) suatu minyak adalah 100
ppm. Pada praktikum kali ini hasil yan didapatkan dalam satuan meq/kg dan
sampel yang memnuhi standar SNI 3741 1995 tersebut adalah sampel minyak
goreng curah baru.
Sumarlin dkk (2009) menyebutkan bahwa makin besar bilangan
peroksida menunjukkan makin besar pula derajat kerusakan pada minyak. Hal
ini berarti semakin tinggi bilangan peroksida maka semakin rendah kualitas
minyak goreng. Selain itu, tingginya bilangan peroksida juga merupakan
indikator penurunan kualitas minyak goreng serta bilangan peroksida juga
menunjukkan tingkat oksidasi dan juga penggelapan warna akibat oksidasi
(Wannahari dan Nordin, 2012).
Selain itu, Wildan (2002) juga menyatakan hubungan antara kerusakan
lemak dengan angka peroksida suatu sampel minyak. Peroksida merupakan
suatu tanda adanya pemecahan atau kerusakan pada minyak karena terjadi
oksidasi (kontak dengan udara) yang menyebabkan bau/aroma tengik pada
minyak. Ukuran dari ketengikan dapat dietahui dengan menentukan bilangan
peroksida. Semakin tinggi bilangan peroksida maka semakin tinggi pula
tingkat ketengikan suatu minyak.
Minyak akan mengalami kerusakan apabila mengalami pemanasan
berulang kali, kontak dengan air, udara, dan logam. Kerusakan minyak yang
terjadi selama proses penggorengan meliputi oksidasi, polimerisasi, dan
hidrolisis. Pada minyak goreng bekas yang telah rusak akan membentuk
senyawa - senyawa yang yang tidak diinginkan seperti senyawa polimer, asam
lemak bebas (ALB), peroksida dan kotoran lain yang tersuspensi dalam
minyak. Faktor - faktor yang mempengaruhi penurunan kualitas minyak dalam

proses penggorengan diantaranya adalah uap yang dilepaskan dari bahan yang
digoreng, suhu penggorengan, lama pemanasan dan komposisi bahan yang
digoreng (Marsigit, 2011). Sementara itu, kualitas minyak dapat diketahui
melalui penentuan bilangan peroksida, jumlah karbonal, oksigen aktif, uji asam
tiobarbiturat, dan uji Schaal untuk mengetahui ketengikan suatu minyak
(Winarno, 2008).
Kandungan asam lemak mempengaruhi kualitas dari minyak. Lemak
dan minyak dikelaskan berdasarkan kandungan asam lemak bebasnya, yang
kemudian dijadikan indeks kualitas minyak. Komponen asam lemak utama
yang menyusun minyak kelapa sawit adalah asam oleat dan palmitat. Jenis
asam lemak dapat menjelaskan kandungan nutrisi serta daya simpan dari
minyak. Selain itu faktor yang mempengaruhi kualitas minyak kelapa sawit
adalah kadar air, kontaminasi, dan proses bleaching. Semua faktor tersebut
saling terkait satu sama lain. Adanya kandungan air akan memicu terjadinya
hidrolisis autokatalitik yang meningkatkan kandungan asam lemak.
Kontaminasi mikroba pada minyak akan menyebabkan terbentuknya asam
lemak bebas akibat aktivitas lipase yang dihasilkan (Tagoe et al, 2012). Pada
proses bleaching akan terjadi penghilangan pigmen, pengotor, komponen
logam, komponen oksidatif dengan molekul yang besar. Proses penghilangan
ini penting dalam meningkatkan stabilitas, kenampakkan minyak, dan kualitas
sensorik minyak (Okolo dan Adejumo, 2014).
Kerusakan minyak dan lemak ditandai dengan serta penyimpangan bau
dan rasa (Rorong dkk, 2008). Kerusakan minyak dapat diakibatkan oleh
beberapa hal seperti oksidasi, hidrolisis, polimerisasi, pirolisis, dan lain-lain
(Moigradean et al, 2012). Oksidasi minyak dilakukan oleh oksigen dan terjadi
secara spontan. Suhu yang tinggi akan mempengaruhi proses oksidasi, selama
minyak dipanaskan menyebabkan proses oksidasi menjadi lebih cepat. Proses
oksidasi diawali dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida kemudian
dilanjutkan dengan terurainya asam-asam lemak disertai dengan konversi
hidroperoksida menjadi aldehid dan keton (Rorong dkk, 2008).
Hidrolisis terjadi karena adanya kandungan air pada lemak dan minyak.
Peningkatan kandungan air dapat menyebabkan hidrolisis yang menyebabkan
minyak atau lemak diuraikan menjadi gliserol dan asam lemak bebas yang
mengakibatkan ketengikan. Kerusakan minyak atau lemak karena proses
hidrolisis terutama banyak terjadi pada minyak atau lemak yang mengandung
asam lemak jenuh dalam jumlah yang cukup besar. Hidrolisis sangat mudah
terjadi pada trigliserida dengan asam lemak berantai karbon pendek yaitu lebih
kecil dari C14 (Arpi, 2014)
Polimerisasi adalah proses pembentukan senyawa polimer selama
proses menggoreng. Polimerisasi ini terjadi karena reaksi polimerisasi adisi
dari asam lemak tidak jenuh yang akhirnya membentuk bahan yang
menyerupai gum yang mengendap di dasar penggorengan (Widayat, 2007).
Pemanasan dengan temperatur tinggi juga dapat menyebabkan minyak
mengalami pirolisis, yaitu suatu reaksi dekomposisi yang diakibatkan oleh
panas. Pirolisis menyebabkan terbentuknya akrolein, yaitu senyawa yang
bersifat racun, dan dapat menyebabkan iritasi dengan bau khas lemak terbakar
(Edwar dkk, 2011).
Tabel 3.3 Penentuan Titik Asap

No. Kel. Sampel Titik Asap (C)


1. 1 dan 2 Bimoli Baru 120
2. 3 dan 4 Hemart Baru 180
3. 5 dan 6 Bimoli Goreng 1x 180
4. 7 dan 8 Hemart Goreng 1x 132
5. 9 dan 10 Minyak Curah Goreng 1x 160
6. 11, 12, dan 13 Bimoli Goreng 2x 165
7. 14 dan 15 Hemart Goreng 2x 146
8. 16 dan 17 Minyak Curah Goreng 2x 146
9. 18 Minyak Curah Baru 180
10. 19 Minyak Jelantah 136
Sumber: Laporan Sementara
Menurut Ahmad (2013), titik asap didefinisikan sebagai suhu terendah
minyak yang dipanaskan pada saat membentuk asap secara terus menerus dan
muncul di permukaan minyak. Teori tentang titik asap juga dikemukakan oleh
Ketaren (2008) dalam Andaka (2009), salah satu sifat fisik minyak adalah titik
asap. Titik asap adalah temperatur pada saat minyak menghasilkan asap tipis
kebiru-biruan pada pemanasan.
Praktikum penentuan titik asap menggunakan 10 macam sampel
minyak goreng yaitu Hemart baru, Bimoli baru, minyak goreng curah baru,
Hemart, Bimoli, dan minyak curah yang telah digunakan untuk menggoreng
satu kali, serta Hemart, Bimoli, dan minyak curah yang telah digunakan untuk
menggoreng sebanyak dua kali, dan juga minyak jelantah. Sampel diambil
sebanyak 100 ml kemudian dituang ke dalam penggorengan. Sampel minyak
kemudian dipanaskan diatas kompor gas menggunakan api sedang. Dilakukan
pengamatan mulai munculnya asap pada minyak goreng. Setelah muncul asap
lalu diukur suhunya menggunakan termometer. Suhu tersebut merupakan titik
asap.
Berdasarkan hasil praktikum, diperoleh nilai titik asap sebagai berikut:
minyak goreng Bimoli baru 120C, minyak goreng Hemart baru 180C, minyak
goreng Bimoli yang telah digunakan untuk satu kali penggorengan 180C;
minyak goreng Hemart yang telah digunakan untuk satu kali penggorengan
132C, minyak goreng curah yang telah digunakan untuk satu kali
penggorengan 160C, minyak goreng Bimoli yang telah digunakan untuk dua
kali penggorengan 165C, minyak goreng Hemart yang telah digunakan untuk
dua kali penggorengan 146C, minyak goreng curah yang telah digunakan
untuk dua kali penggorengan 146C, minyak curah baru 180C, dan minyak
jelantah 136C. Dari data tersebut dapat diketahui sampel dengan titik asap
tertinggi yaitu minyak goreng Hemart, minyak goreng Bimoli yang telah
digunakan untuk satu kali penggorengan, dan minyak curah baru sebesar 180C
serta sampel dengan titik asap terendah yaitu minyak goreng Hemart yang telah
digunakan untuk satu kali penggorengan sebesar 132C.
Dari data yang diperoleh, terdapat beberapa yang tidak sesuai teori.
Winarno (2004) menyatakan bahwa semakin tinggi titik asap, makin baik mutu
minyak goreng itu. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar
gliserol bebas. Lemak yang telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya
akan turun, karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak. Pada hasil praktikum,
sampel minyak goreng Bimoli yang telah digunakan untuk satu kali
penggorengan seharusnya memiliki titik asap yang lebih rendah dari minyak
goreng Hemart dan curah yang baru. Sampel minyak goreng Bimoli yang baru
tidak semestinya memiliki titik asap lebih rendah dari minyak jelantah, karena
minyak jelantah adalah minyak yang telah digunakan untuk penggorengan
berulang kali. Semakin lama penggunaan atau semakin sering penggunaan
minyak goreng maka semakin turun pula nilai titik asapnya (Budiyanto, 2012).
Faktor yang menentukan mutu atau kualitas suatu minyak goreng
diantaranya adalah keadaan bau, warna, dan rasa, kemudian persentase air dan
asam lemak bebas, serta cemaran logam dan angka peroksida (SNI, 2002).
E. Kesimpulan
Pada praktikum Acara III Evaluasi Bilangan Peroksida dan Titik Asap
Minyak Goreng ini, dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Hasil praktikum penentuan bilangan peroksida dari yang tertinggi ke
terendah secara berturut-turut adalah sampel Hemart baru sebesar 9,972,
Hemart goreng dua kali sebesar 7,979, Hemart goreng satu kali sebesar
7,947, Bimoli goreng dua kali sebesar7,000, Bimoli goreng satu kali sebesar
6,902, curah goreng dua kali sebesar 5,978, Bimoli baru sebesar 4,983,
curah goreng satu kali sebesar 4,971, minyak jelantah sebesar 4,947, dan
minyak curah baru sebesar 1,950. Semakin tinggi bilangan peroksida maka
semakin tinggi pula tingkat ketengikan suatu minyak.
2. Sampel dengan titik asap tertinggi yaitu minyak goreng Hemart, minyak
goreng Bimoli yang telah digunakan untuk satu kali penggorengan, dan
minyak curah baru sebesar 180C serta sampel dengan titik asap terendah
yaitu minyak goreng Hemart yang telah digunakan untuk satu kali
penggorengan sebesar 132C. Semakin tinggi titik asap, makin baik mutu
minyak goreng. Minyak yang telah digunakan untuk menggoreng titik
asapnya akan turun, karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Karimah. 2013. Availibility of Different Types of Palm Olein and Their
Performance During Deep Frying. Journal of International Scientific
Publications: Agriculture and Food, Vol. 2.
Andaka, Ganjar. 2009. Optimasi Proses Ekstraksi Minyak Kacang Tanah dengan
Pelarut N-Heksana. Jurnal Teknologi, Vol. 2, No. 1.
Anggraini, Kurnia Dwi dan Siti Tjahjani. 2012. Karakterisasi Piropilit Teraktivasi
Asam Sulfat dan Penetapan Titik Jenuh Adsorpsi Asam Lemak Bebas dan
Bilangan Peroksida. UNESA Journal of Chemistry, Vol. 1, No. 2, Hal: 39-
46.
Arpi, Normalina. 2014. Kombinasi Antioksidan Alami -Tokoferol dengan Asam
Askorbat dan Antioksidan Sintesis BHA dengan BHT dalam Menghambat
Ketengikan Kelapa Gongseng Giling (U Nelheu) selama Penyimpanan.
Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia, Vol. 06, No. 02, hal: 32-
38.
Budiyanto, Meizul Zuki, dan Mina S. Hutasoit. 2012. Ketahanan Minyak Goreng
Kemasan dan Minyak Curah pada Penggorengan Kerupuk Jalin. Jurnal
Agroindustri, Vol. 2, No. 1.
Edahwati, Luluk. 2011. Aplikasi Penggunaan Enzym Papain dan Bromelin
terhadap Perolehan VCO. Surabaya: UPN Press.
Edwar Zulkarnain, Heldrian Suyuthie, Ety Yerizel, dan Delmi Sulastri. Pengaruh
Pemanasan terhadap Kejenuhan Asam Lemak Minyak Goreng Sawit dan
Minyak Goreng Jagung. J. Indon. Med. Assoc., Vol. 61, No. 6, Hal: 249-
252.
Eertmans, Frank, Veerle Bogaert, Domien Volckaert, dan Barbara Puype. 2013.
Validation of a Potentiometric Value (POV) Assay for Analysis of Mineral
Oil with Low Oxidative Content. Journal of Chemical and Pharmaceutical
Research, Vol. 5, No. 11, Hal: 395-402.
Etriya, Ujang Sumarwan, dan Kirbrandoko. 2004. Analisis Ekuitas Berbagai Merek
Minyak Goreng. Jurnal Manajemen Agribisnis, Vol. 1, No. 2, Hal: 127-139.
Gaman, P. M. dan K. B. Sherrington. 1992. Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan,
Nutrisi dan Mikrobiologi Edisi Kedua. Yogyakarta. Gadjah Mada
University Press.
Handoko, Donatus Setyawan P., Triyono, Narsito dan Tutik Dwi. 2009.
Peningkatan Kualitas Minyak Jelantah Menggunakan Adsorben H5-NZA
dalam Reaktor Sistem Fluid Fixed Bed. Jurnal Ilmu Dasar, Vol. 10, No.
2.
Izbaim, D., B. Faiz, A. Moudden, N. Taifi, and I. Aboudaoud. 2010. Evaluation of
the Performance of Frying Oils using an Ultrasonic Technique. Grasa Y
Aceites, Vol. 61, No. 2.
Kementrian Perdagangan Indonesia. 2013. Market Brief Kelapa Sawit dan
Olahannya. ITPC Hamburg, Jerman.
Kerr, Brian J., and Gerald C. Shurson. 2012. Lipids, Fatty Acids, and More. USDA
- ARS - National Laboratory for Agriculture and Environment.
Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI Press: Jakarta.
Marsigit, Wuri., Budiyanto, dan Mukhsin. 2011. Analisis Penurunan Kualitas
Minyak Goreng Curah Selama Penggorengan Kerupuk Jalin. Jurnal
Agroindustri Vol. 1 No. 2 Hal. 1 - 9.
Moigradean, Diana, Mariana Atena Poiana, dan Ioan Gogoasa. 2012. Quality
Characteristics and Oxidative Stability of Coconut Oil during Storage.
Journal of Agroalimentary Processes and Technologies, Vol. 18, No. 4, Hal:
272-276.
Mulasari, Surahma Asti., dan Risa Rahmawati Utami. 2012. Kandungan Peroksida
pada Minyak Goreng di Pedagang Makanan Gorengan Sepanjang Jala
Prof. Dr. Soepomo Umbulharjo, Yogyakarta Tahun 2012. Arc. Com.
Health ISSN: 9772302139009 Vol. 1 No. 2 Hal. 120 -123.
Noriko, Nita, Devi Elvidasari, Analekta Tiara Perdana, Ninditasya Wulandari, dan
Widhi Wijayanti. 2012. Analisis Penggunaan dan Syarat Mutu Minyak
Goreng pada Penjaja Makanan di Food Court UAI. Jurnal Al Azhar
Indonesia Seri Sains dan Teknologi, Vol. 1, No. 3, Hal: 147-154.
Okolo, J.C. dan B.A. Adejumo. 2014. Effect of Bleaching on Some Quality
Attributes of Crude Palm Oil. IOSR Journal of Engineering, Vol. 4, Iss. 12,
Hal: 25-28.
Putri, Sarah Islamia Dhahono. 2015. Efek Lama Pemanasan terhadap Perubahan
Bilangan Peroksida Minyak Goreng yang Berpotensi Karsinogenik pada
Pedagang Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu di Tahun 2015. Skripsi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Hal: 1-110.
Ramdja, A. Fuadi, Lisa Febrina, dan Daniel Krisdianto. 2010. Pemurnian Minyak
Jelantah Menggunakan Ampas Tebu sebagai Adsorben. Jurnal Teknik
Kimia, Vol. 17, No. 1, Hal: 7-14.
Repetto, Marisa, Jimena Semprine, dan Alberto Boveris. 2012. Lipid Peroxidation.
Shanghai: Online Book InTech.
Rohman, Abdul. 2013. Analisis Komponen Makanan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rorong, Johnly, Henry Aritonang, dan Ferdinan P Ranti. 2008. Sintesis Metil Ester
Asam Lemak dari Minyak Kelapa Hasil Pemanasan. Chem. Prog., Vol. 1,
No. 1, Hal: 9-18.
Semb, Thea Norveel. 2012. Analytical Methods for Determination of the Oxidaive
Status in Oils. Norwegia: Norwegian University of Science and
Technology.
Silalahi, Jansen dan Siti Nurbaya. 2011. Komposisi, Distribusi, dan Sifat Aterogenik
Asam Lemak dalam Minyak Kelapa dan Kelapa Sawit. J. Indon. Med.
Assoc, Vol. 61, No. 11, Hal: 453-457.
Sumarlin, La Ode, Lela Mukmillah, dan Ratna Istianah. 2009. Analisis Mutu
Minyak Jelantah Hasil Peremajaan Menggunakan Tanah Diatomit Alami
dan Terkalsinasi. Jurnal UIN Jakarta, Hal: 171-180.
Tagoe, S.M.A., M.J. Dickinson, dan M.M. Apetorgbor. 2012. Factors Influencing
Quality of Palm Oil Produced at the Cottage Industry Level in Ghana.
International Food Research Journal, Vol. 19, No. 1, Hal: 271-278.
Trimulyono, Handaru. 2008. Penerimaan Konsumen Terhadap Minyak Goreng
Curah yang Difortifikasi Vitamin A. Skripsi Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Wannahari R. Dan Nordin M.F.N. 2012. Reduction of Peroxide Value in Used Palm
Cooking Oil Using Bagasse Adsorbent. American International Journal of
Contemporary Research, Vol. 2, No. 1, Hal: 185-191.
Widayat. 2007. Studi Pengurangan Bilangan Asam, Bilangan Peroksida, dan
Absorbansi dalam Proses Pemurnian Minyak Goreng Bekas dengan Zeolit
Alam Aktif. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 6, No. 1, Hal: 7-
12.
Wildan, Farihah. 2002. Penentuan Bilangan Peroksida dalam Minyak Nabati
dengan Cara Titrasi. Temu Teknis Fungsional Non Teknis, Hal: 63-69.
Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Winarno, F. G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. BRIO Press: Bogor.
LAMPIRAN

1. Perhitungan
ml natrium tiosulfat x N x 1000
Bilangan Peroksida =
gram sampel
0,3 x 0,1 x 1000
Bilangan Peroksida =
5,0186
Bilangan Peroksida = 5,978
2. Dokumentasi Praktikum

Gambar 3.8 Minyak dalam


Erlenmeyer Tertutup dengan
Alumunium Foil

Gambar 3.9 Minyak Setelah di


Titrasi
Gambar 3.10 Penuangan
Minyak ke Dalam Gelas Beker

Gambar 3.11 Pengamatan Titik


Asap Minyak Goreng
LAPORAN PRAKTIKUM
ACARA III
EVALUASI BILANGAN PEROKSIDA DAN TITIK ASAP
MINYAK GORENG

Kelompok : 17
1. Kurnia Nur K (H1916013)
2. Cintantya Danastri (H0914014)
3. Hanan Rizqy F (H0914037)
4. Kezia Carolina (H0914048)
5. Isnaini Werdi (H0914043)
6. Rima Novia C (H0914079)

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017

You might also like