You are on page 1of 23

ACARA VI

ISOLASI DAN MORFOLOGI JAMUR


Oleh : ULFAH RISNAINI
13792
DEPPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN UGM

I. TUJUAN
1. Mengisolasi Jamur patogen tumbuhan dari sampel tanaman sakit
2. Mengamati morfologi makroskopik Jamur
3. Mengamati morfologi mikroskopik Jamur

II. TINJAUAN PUSTAKA


Di antara mikroba patogen tanaman, jamur patogen menunjukkan variasi yang berbeda
dalam karakteristik morfologi yang dapat digunakan untuk identifikasi jamur sampai
tingkat genus dan kadang-kadang sampai untuk tingkat spesies dengan beberapa kepastian.
Jamur merupakan tanaman mikroskopis tanpa klorofil dan jaringan konduktif. Dari 100.000
spesies, sekitar 10.000 spesies jamur telah diidentifikasi sebagai patogen tanaman,
sedangkan sekitar 50 spesies telah ditemukan untuk menjadi patogen bagi manusia dan
hewan (Narayanasamy, 2011).
Menurut Waluyo (2004) Cit. Smith dan Hursepuny (2015), Jamur merupakan
tumbuhan tingkat rendahan yang tidak mempunyai zat hijau, untuk hidup jamur berperan
sebagai parasite saprofit. Jamur tingkat tinggi maupun tingkat rendah mempunyai ciri yang
khas, yakni berupa benang tunggal atau bercabang-cabang yang disebut hifa, kumpulan
akan membentuk miselium, mempunyai spora, memproduksi spora, dapat berkembangbiak
secara seksual dan aseksual, tubuh berfilamen dan dinding sel mengandung kitin, glukosa,
selulosa dan manan. Jamur dibedakan menjadi dua golongan yaitu kapang merupakan
jamur yang berfilamen atau mempunyai miselium, sedangkan khamir merupakan jamur
bersel tunggal dan tidak berfilamen.
Jamur Patogen dapat menginfeksi bagian tanaman yang berbeda dan menyebabkan
terlihatnya gejala penyakit setelah selesainya masa inkubasi. Patogen dapat diisolasi dari
jaringan tanaman yang terinfeksi tersebut seperti daun, batang, buah, dan akar dengan
mengikuti teknik yang berbeda-beda untuk mempelajari karakter patogen melalui mana
mereka dapat diidentifikasi (Narayanasamy, 2001). Adapun teknik isolasi kultur murni
dapat dibuat oleh salah satu dari metode berikut ini, diantaranya dengan teknik
pengenceran, teknik tuang (Pour plate technique), streak dan teknik piring menyebar
(Streak and spread plate technique) dan mikromanipulasi, yaitu suspensi di tumbuhkan
pada permukaan media agar yang sesuai dan sel tunggal kemudian diisolasi dengan
manipulasi di bawah mikroskop dan dibiarkan tumbuh (Tauro et al.,1986).
Cendawan dapat dibiakan pada berbagai jenis media biakan. Beberapa cendawan dapat
tumbuh dengan baik pada medium yang mengandung beberapa bahan organik, sedang
cendawan yang lain memerlukan zat-zat tambahan tertentu. Fardiaz (1987) Cit. Taurisia
dkk., (2015) menjelaskan, bahwa secara umum media yang baik untuk pertumbuhan
mikroorganisme harus memenuhi persyaratan nutrisi dan mudah dimanfaatkan oleh
organisme, mempunyai tekanan osmosis, tegangan permukaan dan derajat keasaman yang
sesuai, serta tidak mengandung zat-zat yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme
tersebut. Kandungan dextrose dan karbohidrat yang cukup tinggi pada media PDA (20g),
PCA (20g) dan SDA (40g) sangat berperan penting dalam proses metabolisme jamur.
III. METODOLOGI
A. Isolasi Jamur
Pada acara praktikum isolasi jamur diperlukan bahan-bahan diantaranya,
medium PDA sampel tanaman sakit (jaringan tipis), air steril, dan alkohol 75 %. Adapun
alat-alat yang diperlukan untuk isolasi jamur terdiri dari cawan petri, tabung reaksi,
skalpel, jarum ent, jarum ose, lampu bunsen, gelas beker, pipet ukur steril, dan
timbangan analitik. Proses isolasi jamur dilakukan dengan cara sampel tanaman sakit
dipotong kecil-kecil, selanjutnya didisinfestasi dengan kloroks 1 % selama 3 menit dan
dikeringkan di atas kertas saring steril. Kemudian potongan-potongan tanaman tersebut
langsung diletakan pada medium agar. Semua pekerjaan ini harus dilakukan secara
aseptis. Setelah itu, medium agar diinkubasikan pada keadaan gelap dengan suhu kamar
selama 3 hari. Isolat jamur tunggal yang diperoleh selanjutnya dimurnikan dengan cara
koloni tunggal jamur dipindahkan pada medium agar PDA yang baru sebagai kultur
murni.

B. Morfologi Jamur
Pada praktikum pengamatan terhadap morfologi jamur diperlukan bahan-bahan,
yaitu biakan murni dalam medium PDA hasil isolasi jamur, air steril, KOH 3 %,
lactophenol cotton blue, dan film. Adapun alat-alat yang diperlukan terdiri dari Gelas
benda, gelas penutup, jarum ent, skalpel, mikroskop dan kamera. Langkah pengamatan
morfologi jamur diawali dengan persiapan media pengamatan di bawah mikroskop.
Biakan murni jamur dari hasil isolasi sbelumnya pada medium PDA diambil beserta
agarnya dengan skalpel. Kemudian diletakkan di atas gelas benda yang telah ditetesi
dengan lactophenol cotton blue dan ditutup dengan gelas penutup. Setelah itu, preparat
tersebut ditekan perlahan-lahan sesuai dengan squeeze method. Preparat diamati dengan
mikroskop perbesaran lemah dan kemudian diperjelas dengan perbesaran kuat. Dari
preparat jamur tersebut diamati struktur vegetatif (hifa bersekat atau tidak), spora
(bentuk, warna, dan pelekatan pada konidiofornya) serta ada tidaknya badan buah
seksual atau aseksual (bentuk, warna, dan aksesorinya). Adapun pengamatan miselium
3D dilakukan dengan cara biakan murni pada media diambil beserta agarnya dengan
skalpel dan kemudian di letakan pada gelas benda yang telah dilapisi medium PDA.
Gelas benda diletakkan pada petri dan disterilkn selama 2-3 hari tetapi jangan sampai
ditekan. Kemudian gelas benda dapat diamati di bawah mikroskop seperti halnya pada
preparat sebelumnya.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Tabel 1. Pengamatan Morfologi Jamur Fusarium oxysporum f.sp. Cubense dan
Phytopthora sp.
Morfologi Makroskopik Morfologi Mikroskopik Pelekatan
Sample Ukuran spora pada
Warna Hifa Spora
Miselium Konodiofor

Konidia spora
Fusarium Muda berwarna
Berbentuk melekat pada
putih
oxysporum Tebal Bersekat lonjong dan hifa, lonjong
Tua berwarna
f.sp. Cubense bulan sabit ujung runcing
Ungu
dan banyak

Phytopthora
Putih Tipis Sinoesitik Bulat
sp.

B. Pembahasan
1. Isolasi Jamur
Isolasi jamur bertujuan untuk memperoleh koloni tunggal sehingga dapat
digunakan sebagai bahan penelitian secara makroskopik maupun mikroskopik.
Mengisolasi suatu mikrobia ialah memisahkan mikrobia tersebut dari
lingkungannya dialam dan menumbuhkannya sebagai biakan murni dalam medium
buatan. Untuk isolasi harus diketahui cara-cara menanam dan menumbuhkan
mikrobia pada medium biakan serta syarat-syarat lain untuk pertumbuhannya.
penanaman suatu mikrobia perlu memperhatikan faktor nutrisi serta kebutuhan akan
oksigen (gas O 2 atau udara). Pada isolasi jamur ini ditumbuhakan pada medium
PDA. Menurut Taurisisa dkk., (2015) Secara umum media yang baik untuk
pertumbuhan mikroorganisme harus memenuhi persyaratan nutrisi dan mudah
dimanfaatkan oleh organisme, mempunyai tekanan osmosis, tegangan permukaan
dan derajat keasaman yang sesuai, serta tidak mengandung zat-zat yang
menghambat pertumbuhan mikroorganisme tersebut. Kandungan dextrose dan
karbohidrat yang cukup tinggi pada media PDA (20g) sangat berperan penting
dalam proses metabolisme jamur. PDA juga merupakan salah satu media kultur
yang paling umum digunakan karena formulasinya yang sederhana dan merupakan
media terbaik karena kemampuanya dalam mendukung pertumbuhan pada berbagai
jamur. Selain faktor media, perlakuan yang aseptis sangat mendukung keberhasilan
isolasi patogen agar menghindari terjadinya kontaminasi dengan ditandai
tumbuhnya jamur non target. Oleh karena itu, alat-alat yang digunakan dalam
isolasi disterilisasikan terlebih dahulu dan tempat isolasi disterilisasikan dengan
alkohol.
Isolasi jamur patogen dari sampel tanaman sakit dilakukan dengan cara
bagian tanaman sakit antara yang bergejala dan tidak dipotong kecil-kecil.
Pemilihan bagian yang dipotong antara yang bergejala dan tidak dengan tujuan agar
jamur patogen dapat tetap tumbuh dengan manfaatkan jaringan tanaman yang sehat
dan nutrisi dari media. Setelah itu, potongan-potongan sampel tanaman sakit
didisinfestasi dengan kloroks 1 % selama 3 menit untuk menghilangkan
kontaminasi-kontaminasi dari mikroorganisme lainnya yang menempel pada
permukaan tanaman. Kemudian potongan sampel tanaman sakit diletakkan pada
media PDA yang telah disediakan. Inkubasikan media tersebut selama 3 hari dalam
keadaan gelap pada suhu kamar. Setelah itu, isolat tunggal jamur dimurnikan pada
media PDA yang baru. Hal ini dilakukan karena glukosa dalam media PDA
menyebabakan penurunan aktivitas untuk mendapatkan nutrient. Untuk
menghindari hal ini, perlu dilakukan isolasi spora tunggal sehingga viabilitasnya
tetap bisa dipertahankan. Menurut Taurisisa dkk., (2015) Pembentukan konidia
jamur dipengaruhi oleh kandungan protein dalam media. Protein diperlukan untuk
pembentukan organel yang berperan dalam pembentukan apikal hifa dan sintesis
enzim yang diperlukan selama proses tersebut dan enzim juga berperan dalam
aktivitas perkecambahan dan protein yang diserap dalam bentuk asam amino. Sel
sel hifa yang tua akan mengalirkan nutrien ke sel sel apikal agar hifa dapat
tumbuh terus. Pembentukan cabang pada hifa dapat terbentuk sepanjang hifa.
Cabang hifa tersebut akan menjauhi hifa induk agar nutrien di lingkungan dapat
terjangkau sejauh mungkin. Pembentukan miselium terjadi karena anastomosis pada
titik temu pada cabang cabang hifa. Anastomosis ini memperluas hifa menjadi
suatu jaringan (jala) yang disebut dengan miselium. Miselium menjadikan
penyerapan nutrien dari subtrat lebih efektif sehingga miselium jamur berkembang
di dalam media.

2. Morfologi Jamur
Divergensi kingdom jamur (fungi) dari Choanoflagellates diperkirakan
dimulai sekitar 900 juta tahun lalu. Berdasarkan analisis data Molekuler, yang
termasuk true fungi adalah divisi Chytridiomycetes, Zygomycetes, Ascomycetes,
and Basidiomycetes. Deuteromycetes (Fungi Imperfectil mitosporic fungi conidial
fungi) juga termasuk true fungi, akan tetapi Deuteromycetes secara filogenetik
bukan merupakan suatu kelompok taksonomi (Smith dan Hursepuny, 2015).
Jamur sendiri merupakan tumbuhan yang berinti (eukaritotik), berspora,
tetapi tidak mempunyai klorofil dan berupa sel-sel atau benang-benang yang
bercabang. Dinding selnya mengandung cellulose atau khitine. Jamur dapat
berkembang baik secara aseksual (tidak kawin) mapun seksual (kawin). Tubuh
jamur dapat berupa sel-sel yang lepas, tetapi dapat juga sel-sel yang bergandengan
atau berupa benang. Benang ini merupakan tabung atau buluh bersekat atau tidak
bersekat. Satu helai benang disebut hifa dan kumpulan dari hifa-hifa yang
bercabang disebut miselium. Hifa dan atau miselium ini merupkan jaringan-
jaringan tanaman jamur. Termasuk ke dalam jenis organisme heterotof dengan
memanfaatkan senyawa karbon organik sebagai sumber nutrient dan mensekresi
enzim ekstraselular untuk mengurai molekul komplek menjadi bentuk yang lebih
sederhana sehingga dapat diserap melalui hifa.
Menurut Semangun (2000) Cit. Taurisisa dkk., (2015) cendawan atau jamur
yang masih hidup dapat mempertahankan diri dari musim ke musim pada tanaman
sakit yang masih hidup, pada sisa tanaman sakit, atau pada biji. Miselium cendawan
ini dapat bertahan selama 1 tahun atau lebih dalam jaringan inang yang sakit,
sedangkan konidia dapat tetap hidup selama 17 bulan tanpa inangnya (dalam suhu
kamar) dan spora mengandung 86% air dan memungkinkan untuk bertahan
beberapa tahun dalam kondisi sangat kering. Dengan demikian, isolasi patogen
dapat dilakukan melalui sampel tanaman yang sakit.
Jamur sendiri ada yang bersifat menguntungkan dan ada yang bersifat
merugikan. Merugikan dikarenakan jamur tersebut menempel pada inang tanaman
dan menyebabkan tanaman bergejala sakit. Adapun jamur merugikan diantaranya
jamur Fusarium oxysporum f.sp. Cubense pada tanaman pisang dan Phytopthora
sp. pada tanaman lada.
Dita et al. (2010) Cit. Soesanto dkk., (2012), yang menyatakan bahwa gejala
penyakit layu Fusarium dimulai dengan penguningan dan pelayuan daun tua, yang
berkembang ke daun lebih muda sampai akhirnya seluruh tanaman mati. Secara
internal, tanaman dengan infeksi yang berlanjut memperlihatkan perubahan warna
pada rizome dan nekrosis pada silem. Gejala penyakit berkembang sangat cepat
pada kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman pisang dan gejala kelihatan
jelas pada 2-5 bulan sesudah infeksi pertama.
Salah satu jenis Phytophthora sp. yang dapat menyerang tanaman lada, yaitu
Phytophthora capsici. Phytophthora capsici merupakan patogen tular tanah yang
sulit terdeteksi keberadaannya dan mudah tersebar melalui tanah yang
terkontaminasi, terbawa aliran air atau bagian tanaman yang sakit. Gejala yang
nampak dipermukaan tanah berupa tanaman layu, sebagai indikasi serangan yang
telah lanjut yang terjadi di dalam tanah. Serangan Phytophthora capsici pada daun
menyebabkan gejala bercak daun pada bagian tengah atau tepi daun. Sepanjang tepi
bercak tersebut terdapat bagian gejala berwarna hitam bergerigi seperti gerenda.
Gejala tersebut yang akan nampak jelas bila gejala masih segar namun, bagian
tersebut tidak tampak apabila daun telah mengering atau pada gejala lanjut (Asniah
dkk., 2012).
Pada praktikum ini isolasi jamur patogen dari tanaman sakit, yaitu jamur
Fusarium oxysporum f.sp. Cubense dan Phytopthora sp. dari isolat biakan murni
yang diperoleh selanjutnya dibuat preparat untuk bahan pengamatan terkait
morfologi jamur dengan menggunakan mikroskop. Berdasarkan hasil pengamatan
yang telah dilakukan pada jamur Fusarium oxysporum f.sp. Cubense bahwa
jamur ini memiliki ciri-ciri secara makroskopik warna miselium saat muda putih
dan saat sudah tua berwarna ungu serta berukuran tebal (Gambar 1A). Adapun
secara mikroskopik dapat diamati bahwa hifanya bersekat (Gambar 2A) dan
memiliki spora yang berbentuk lonjong atau bulan sabit (Gambar 3A). Konidia
spora melekat pada konidiofor yang berbentuk seperti selir pisang, yaitu lonjong
dengan ujung runcing dan jumlahnya banyak 4-5 per tangkai (Gambar 4A). Hasil
pengamatan ini sesuai dengan pernyataan Dewi dkk., (2015) Fusarium oxysporum
miselium tampak banyak atau lebat seperti seperti beludru, berwarna putih (Gambar
1B). Spesies ini memiliki ciri karakteristik miselium berseptat (Gambar 2B),
berwarna putih atau salem, konidiofor bercabang dan tidak beraturan, konidia
berbentuk panjang dan runcing (Gambar 4B).
Koloni F. oxysporum f.sp. cubense mempunyai warna putih, seperti kapas,
dengan koloni membentuk banyak sporodokium. Jamur F. oxysporum f.sp. cubense
membentuk mikrokonidium, makrokonidium, dan klamidospora. Mikrokonidium
bersel satu atau dua, tanpa warna, lonjong atau agak memanjang, dan berukuran (5-
12) x (2,3-3,50) m. Makrokonidium berbentuk sabit, kebanyakan bersel empat,
tanpa warna. Klamidospora bersel satu, jorong atau bulat, berukuran (7-13) x (7-8)
m, dan terbentuk di tengah hifa atau pada makrokonidium, sering kali berpasangan
(Soesanto dkk., 2012).
Semua isolat morfologi antar sesama jenis F. oxysporum yang menyerang
berbagai jenis tanaman inangnya memiliki karakter yang sama seperti terdapat
konidiofor (monofialid) yang memiliki tangkai pendek yang pada bagian ujungnya
terikat 3-5 mikrokonidium atau disebut false head, mikrokonidium yang melimpah,
dan makrokonidium yang terbentuk pada aerial miselium (Sutejo dkk., 2008).
Berikut gambar-gambar yang menjelaskan morfologi jamur F. oxysporum
f.sp. cubense yang telah diperoleh dari hasil pengamatan dibawah mikroskop :

Gambar 1. Makroskopik F. oxysporum, Kiri (A) Dokumentasi pribadi dan


Kanan (B) literatue (Dewi dkk., 2012)

Gambar 2. Hifa bersekat pada F. oxysporum, Kiri (A) Dokumentasi pribadi


dan Kanan (B) literatue (a.) (Wiyatiningsih, 2009)

Gambar 3. Spora pada F. oxysporum, Kiri (A) Dokumentasi pribadi dan


Kanan (B) literatue (Wibowo dkk., 2012)
Gambar 4. Pelekatan Konidia pada konidiofor F. oxysporum, Kiri (A)
Dokumentasi pribadi dan Kanan (B) literatue (Wibowo dkk.,
2012)

Identifikasi Fusarium spp. secara sederhana dapat dilakukan dengan


pengamatan secara morfologi. Pengamatan secara morfologi sebenarnya tidak
cukup akurat untuk mengklasifikasikan Fusarium spp., karena jamur ini memiliki
variasi yang tinggi, baik pada medium yang sama maupun yang berbeda. Hal ini
terjadi karena mudahnya terjadi mutasi pada jamur ini. Akan tetapi, pengamatan
secara sederhana dengan melihat karakter morfologi Fusarium spp. juga sangat
diperlukan setidaknya untuk memberikan gambaran tentang variasi morfologi
makroskopis dan mikroskopis. Morfologi Fusarium spp. hanya dapat digunakan
untuk membedakan pada tingkat genus dan dengan beberapa spesies lainnya. Tetapi
untuk tingkat di bawah spesies, morfologi tidak bisa digunakan untuk membedakan
masing-masing isolate (Sutejo dkk., 2008).

Gambar 5. Makroskopik Phytopthora sp., Kiri (A) Dokumentasi pribadi dan


Kanan (B) literatue (Dewi dkk., 2012)
Gambar 6. Hifa bersekat dan spora pada Phytopthora sp., Kiri (A) Hifa
dan Kanan (B) Spora (Dokumentasi Pribadi)

Gambar 7. Sporangium jamur Phytopthora sp. a. sporsngium, b.


sporangiofor, c. zoozpora, d. hifa tidak bersekat (Wiyatiningsih,
2009)
Berdasarkan gambar diatas dapat diamati morfologi jamur Phytopthora sp.
secara makroskopik memiliki miselium berwarna putih dengan ukuran tipis dan
secara makroskopik hifanya soenositik dan sporanya berbentuk bulat. Hal ini sesuai
pernyataan Dewi dkk., (2012) Pertumbuhan Phytophthora sp. ditandai dengan
munculnya hifa yang berupa benang-benang halus berwarna putih pada media
tumbuh, dengan permukaan mula-mula halus seperti kapas, hingga menutupi
seluruh permukaan media tumbuh. Karakteristik Phytophthora sp. hifa berwarna
putih, berbentuk bulat dengan pinggiran tidak rata, dengan hifa tampak lurus,
miselium tidak berseptat, konidiofor bercabang dan konidia berbentuk seperti bulat
telur.
Menurut Wiyatiningsih (2009) Jamur yang termasuk marga Phytophthora
sp. mempunyai hifa yang tidak bersekat; membentuk kantong spora atau
sporangium yang berpapila, berbentuk bulat telur dengan tangkai sporangium atau
sporangiofor yang panjang; sporangium menghasilkan beberapa zoospore. Jamur
juga membentuk struktur reproduksi yang menghasilkan oospora tunggal berbentuk
bulat, dan membentuk struktur tahan klamidospora.
Manfaat mengetahui morfologi jamur tumbuhan adalah kita dapat
mengetahui jenis jamur patogen beserta karakter bioekologi yang dimiliki. Hal ini
selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan untuk menentukan langkah
pengendaliannya. Salah satu cara pengendalian yang mudah adalah kita
menciptakan kondisi dimana tidak mendukung untuk pertumbuhan jamur, tetapi
mendukung untuk pertumbuhan tanaman. Agrios (1997) Cit. Wiyatiningsih (2009)
menyatakan, penyakit tanaman akan berkembang apabila tanaman berada pada
kondisi rentan, patogen virulen, dan kondisi lingkungan tidak sesuai untuk
pertumbuhan tanaman tetapi sesuai untuk perkembangan patogen.
V. KESIMPULAN
1. Isolasi bakteri patogen tumbuhan dari sampel tanaman sakit (busuk bonggol pisang dan
busuk pangkal tanaman lada) dengan menggunakan medium PDA yang dilakukan
berdasaran metode streak plate
2. Morfologi makroskopik jamur Fusarium oxysporum f.sp. Cubense memiliki warna
miselium saat muda putih dan saat sudah tua berwarna ungu serta berukuran tebal dan
Phytopthora sp. memiliki miselium berwarna putih dengan ukuran tipis.
3. Morfologi mikroskopik Jamur Fusarium oxysporum f.sp. Cubense dapat diamati bahwa
hifanya bersekat dan memiliki spora yang berbentuk lonjong atau bulan sabit dan
Phytopthora sp. secara makroskopik hifanya soenositik dan sporanya berbentuk bulat.
DAFTAR PUSTAKA

Asniah, Syair, dan T. Wahyuni. 2012. Survei kejadian penyakit busuk pangkal batang
(Phytophthora capsici) tanaman lada (Piper nigrum. L) di kabupaten konawe
selatan Jurnal Agroteknos, 2(3): 175-181.
Dewi, A. L., L. Oktavianingsih, dan Sudrajat. 2015. Identifikasi cendawan mikroskopis
yang berasosiasi dengan penyakit busuk pangkal batang tanaman lada (Piper
nigrum L.) di desa Batuah Kecamatan Loa Janan Kutai Kartanegara. Prosding
Seminar Tugas Akhir FMIPA UNMUL, Samarinda.
Narayanasamy, P. 2001. Plant Pathogen Detection and Disease Diagnosis. Marcel Dekker,
Inc, New York.
Narayanasamy, P. 2011. Microbial plant pathogens-detection and diagnosis: fungal
pathogens. Springer Science+Business Media 1: 5-199.
Smith, A., dan A. Hursepuny. 2015. Isolasi dan identifikasi jenis jamur pada ubi kayu
(Manihot esculenta crants.) dalam proses pembuatan ubi kayu hitam secara
tradisional oleh masyarakat banda. Biopendix, 1(2): 160-165.
Soesanto, L., E. Mugiastuti, F. Ahmad, dan Witjaksono. 2012. Diagnosis lima penyakit
utama karena jamur pada 100 kultivar bibit pisang. J. HPT Tropika, 12(1): 36-45.
Sutejo, A. M., A. Priyatmojo, dan A. Wibowo. 2008. Identifikasi morfologi beberapa
spesies jamur Fusarium . Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, 14(1): 7-13.
Taurisia, P. P., M. W. Proborini, dan I. Nuhantoro. 2015. Pengaruh media terhadap
pertumbuhan dan biomassa cendawan Alternaria alternata (Fries) Keissler. Jurnal
Biologi, 19(1): 30-33.
Tauro, P., K. K. Kapoor, and K. S. Yadav. 1986. An Introduction to Microbiology. New
Age International, New Delhi.
Wibowo, A., A. Irmiyatiningsih, Suryanti, dam J. Widada. 2012. Induksi ketahanan kultur
jaringan pisang terhadap layu fusarium menggunakan Fusarium sp. endofit non
patogenik Semnasl Pestisida Nabati IV :195-206
Wiyatiningsih, S. 2009. Etiologi Penyakit Moler pada Bawang Merah. UPN University
Press, Surabaya.

You might also like