You are on page 1of 34

ACARA I

KARBOHIDRAT

A. TUJUAN
Tujuan dari praktikum acara I karbohidrat adalah:
1. Mahasiswa dapat mengetahui pengaruh asam dan alkali terhadap sukrosa
2. Mahasiswa dapat mengetahui pengaruh asam dan alkali terhadap glukosa
3. Mahasiswa dapat mengetahui kenampakan granula pati tepung tapioka dan
maizena pada beberapa suhu

B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Alat dan Bahan
Tapioka merupakan pati murni yang diperoleh dari ekstraksi
penggilingan singkong. Menurut Moorthy (2004), kadar amilosa tepung
tapioka berada pada kisaran 20-27%. Kandungan amilosa berpengaruh
sangat kuat terhadap karakteristik produk. Charles dkk. (2005) melaporkan
bahwa semakin tinggi kadar amilosa maka viskositas maksimum pati akan
semakin tinggi sehingga semakin mudah produk mengalami retrogradasi.
Pati dengan kandungan amilosa yang tinggi sangat cocok untuk pembuatan
starch noodle. Kadar amilopektin juga berpengaruh pada karakteristik
produk. Adanya kemampuan pembentukan gel dari sifat pati melalui proses
gelatinasinya dan bentukan daya lengket yang kuat dari tingginya kadar
amilopektin merupakan potensi dalam pembentukan sifat kekenyalan.
Amilopektin pada tapioka bersifat lengket (Indrianti dkk, 2013).
Tapioka merupakan pati yang diambil dari ubi kayu dan
dimanfaatkan sebagai bahan pangan atau bahan pembantu industri non
pangan. Namun, pemanfaatan tapioka asli ini masih sangat terbatas karena
sifat fisik dan kimia tapioka yang kurang umum untuk digunakan secara
luas. Nilai ekonomi tapioka akan lebih tinggi jika sifat-sifatnya dimodifikasi
melalui perlakuan fisik, kimia, atau kombinasi keduanya. Tapioka memiliki
komposisi kimia pati 73,3-84,9%, lemak0,08-1,54%, protein 0,03-0,60%
dan abu 0,02-0,33%. Pati dari tapioka terdiri atas 17% amilosa dan 83%
amilopektin. Granula pati tapioka berbentuk semibulat dengan salah stu
bagian ujungnya mengerucut dengan ukuran 5-35 mikrometer. Suhu
gelatinisasinya berkisar antara 52-64oC, kristalisasi 38%, kekuatan
mengembang 42%, dan kelarutan 31%. Kekuatan mengembang dan
kelarutan tapioka lebih kecil dibandingkan pati kentang, tetapi lebih besar
dari pati jagung. Menurut Wurzburg suhu gelatinisasi tapioka antara 58,5-
70,0oC, bergantung pada varietas ubi kayu yang digunakan untuk
memproduksi tapioka. Tapioka mempunyai karakteristik yang spesifik
terkait dengan suhu gelatinisasi, kemampuan mengembang (swelling powe),
dan kelarutan dibandingkan dengan pati lainnya. Tapioka mempunyai
karakteristik gel yang cukup kuat dan transparan yang sangat mendukung
sebagai komponen bahan pengisi serta perekat (Herawati, 2012).
Tepung beras membentuk tekstur yang lembut, tetapi tidak lengket
saat dimasak. Pati beras memberikan tampilan opaque atau tidak bening
setelah proses pemasakan. Contoh produk semi-solid yang menggunakan
tepung beras sebagai bahan utama adalah bubur sum-sum, es cendol, palu
butung dan kue pisang. Tepung beras ketan adalah tepung yang terbuat dari
kultivar beras yang mengandung sejumlah besar amilopektin.Tepung
tapioka merupakan tepung yang berasal dari umbi yang banyak digunakan
di Indonesia. Tepung ini diproduksi dari umbi tanaman singkong,
mengandung 90 persen pati berbasis berat kering. Tepung tapioka banyak
digunakan untuk membuat makanan tradisional, seperti ongol-ongol,
pempek, tiwul, dan tekwan. Jumlah fraksi amilosa-amilopektin sangat
berpengaruh pada profil gelatinisasi pati. Amilosa memiliki ukuran yang
lebih kecil dengan struktur tidak bercabang. Sementara amilopektin
merupakan molekul berukuran besar dengan struktur bercabang banyak dan
membentuk double helix. Saat pati dipanaskan, beberapa double helix fraksi
amilopektin merenggang dan terlepas saat ada ikatan hidrogen yang
terputus. Jika suhu yang lebih tinggi diberikan, ikatan hidrogen akan
semakin banyak yang terputus, menyebabkan air terserap masuk ke dalam
granula pati. Pada proses ini, molekul amilosa terlepas ke fase air yang
menyelimuti granula, sehingga struktur dari granula pati menjadi lebih
terbuka, dan lebih banyak air yang masuk ke dalam granula, menyebabkan
granula membengkak dan volumenya meningkat. Molekul air kemudian
membentuk ikatan hidrogen dengan gugus hidroksil gula dari molekul
amilosa dan amilopektin. Di bagian luar granula, jumlah air bebas menjadi
berkurang, sedangkan jumlah amilosa yang terlepas meningkat. Molekul
amilosa cenderung untuk meninggalkan granula karena strukturnya lebih
pendek dan mudah larut. Mekanisme ini yang menjelaskan bahwa larutan
pati yang dipanaskan akan lebih kental (Immaningsih, 2012).
Pati adalah polisakarida yang terdapat dalam semua tanaman
terutama dalam jagung, kentang, biji-bijian, ubi akar, dan padi atau gandum.
Pati bila dipanaskan dengan air, akan terbentuk larutan koloidal. Dalam pati
terdapat dua bagian, yaitu bagian yang larut dalam air disebut amilosa (10-
20%), dan bagian yang tak larut dalamair disebut amilopektin (80-90%).
Amilosa dan amilopektin mempunyai rumus empiris (C6H10O5), dan bila
dihidrolisis menunjukkan adanya sifat-sifat karbonil, dan pati tersusun atas
satuan-satuan maltosa (Sastrohamidjoyo, H, 2005). Bila pati yang terdapat
dalam sel dihidrolisis oleh enzim maka pati akan pecah menjadi bagian yang
lebih kecil disebut dekstrin, sehingga diperoleh dimmer maltosa. Salah satu
polisakarida yang terdapat dalam tanaman disebut inulin yang bila
dihidrolisis akan memberikan warna kuning akan menghasilkan fruktosa
dan sejumlah kecil dari glukosa (Yusrin, 2010).
Sukrosa adalah oligosakarida yang mempunyai peran penting dalam
pengolahan makanan dan banyak terdapat pada tebu, bit, siwalan, dan
kelapa kopyor. Untuk industri-industri makanan biasa digunakan sukrosa
dalam bentuk kristal halus atau kasar dan dalam jumlah yang banyak
dipergunakan dalam bentuk cairan sukrosa (sirup). Pada pembuatan sirup,
gula pasir (sukrosa) dilarutkan dalam air dan dipanaskan, sebagian sukrosa
akan terurai menjadi glukosa dan fruktosa, yang disebut gula invert. Inver
sisukrosa terjadi dalam suasana asam. Gula invert ini tidak dapat berbentuk
kristal karena kelarutan fruktosa dan glukosa sangat besar (Winarno, 2004).
Butiran pati sama sekali tidak larut dalam air dingin dan pada
pemanasan butiran pati tiba-tiba mulai menggembung pada suhu
penggelatinan. Pada titik ini bias ganda optik hilang dan menunjukkan
hilannya kekristalan. Umumnya pati dengan butiran besar menggembung
pada suhu lebih rendah daripada pati berbutir kecil. Suhu penggembungan
ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu pH, laju pemanasan,
praperlakuan, adanya garam dan gula. Bermacam-macam ukuran dari
granula pati yang teratur paling panjang sumbunya sekitar 0,0002 cm
sampai 0,015 cm. Jika suspensi pati dalam air dipanaskan terjadi difusi air
pada dinding granula dan menyebabkan pengembangan. Pengembangan ini
terjadi pada suhu 60oC sampai 85oC, volume pada granula meningkat pada
pemanasan setelah 5 menit dan suspensi akan menjadi sangat kental. Pada
pemanasan di atas temperatur ini granula pati membuka dan membentuk gel
dari pati di dalam air (Chandra dkk., 2013).
Pati tapioka banyak digunakan pada berbagai industri dan aplikasi
makanan. Hal ini termasuk pengentalan dan pembuatan gel. Akan tetapi
pemanfaatannya belum cukup optimal. Pati tapioka biasanya digunakan
dengan menambahkan senyawa kimia lain atau dikombinasikan dengan
bahan lain sehingga meningkatkan nilai fungsi dari pati tapioka tersebut
(Babic et al., 2006).
Aquades adalah air hasil destilasi atau penyulingan sama dengan air
murni atau H2O, karena H2O hampir tidak mengandung mineral. Aqudest
sering kali digunakan sebagai pelarut polar yang dapat melarutkan glukosa,
pati, fenol, dan senyawa-senyawa lain. Ekstraksi di aquadest memiliki
metabolit yang alkaloid, saponin, dan kuinon (Mangunwardoyo dkk, 2012).
Glukosa adalah sakarida yang termasuk golongan monosakarida.
Glukosa merupakan salah satu bahan bakar penting untuk otak. Kegiatan
otak bergantung pada berat glukosa karena sebagai sumber energi.
Metabolisme glukosa dari aliran darah yang lancar memungkinkan setiap
wilayah otak untuk melaksanakan fungsinya (Gailliot dkk, 2007).
2. Tinjauan Teori
Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi hampir seluruh
organisme dunia. Karbohidrat dalam kaitannya dengan pangan (bahan
makanan) mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik
bahan makanan. Pada tanaman, karbohidrat dibentuk dari reaksi CO2 dan
H2O dengan bantuan sinar matahari melalui proses fotosintesis dalam sel
tanaman yang berklorofil. Berdasarkan kompleksitas molekul penyusunnya,
karbohidrat dapat diklasifikasikan monosakarida, oligosakarida, disakarida
dan polisakarida. Monosakarida: merupakan suatu molekul yang dapat
terdiri dari 5 atau 6 atom C. Tata nama monosakarida tergantung dari gugus
fungsional dan letak gugus hidrosilnya. Monosakarida yang mengandung
satu gugus aldehid disebut aldosa sedangkan ketosa untuk yang
mengandung satu gugus keton. Monosakarida dengan 6 atom C disebut
Heksosa, contoh glukosa, galaktosa, mannosa, fruktosa. Sedangkan yang
mempunyai 5 atom C disebut pentosa, contoh: xilosa, arabinosa, ribosa
(Handajani, 2010). Menurut Sumarmadji (2003), Karbohidrat merupakan
polihidroksi-aldehid atau polihidroksi-keton (aldehid atau keton yang
memiliki beberapa atau banyak gugus hidroksi) serta oligomer dan
polimernya yang terbentuk. Rumus empirisnya seperti berikut (CH2O)n atau
Cn(H2O)m, yaitu merupakan karbon yang mengalami hidratasi. Meskipun
hidrat yang melekat pada karbon bukan sebagai hidrat yang sebenarnya.
Misalnya tidak dapat dipisahkan atau dikristalkan tersendiri yang terpisah
dari gugus lainnya. Karbohidrat juga disebut sakarida, yang berasal dari
akar kata sacchar yang berarti gula, karena bentuk monomer dan dimmer
dari karbohidrat biasa dikenal sebagai gula dalam kehidupan sehari-hari.
Karbohidrat dapat diklasifikasikan menurut kompleksitas molekulnya, yaitu:
1. Monosakarida yang tersusun dari 1 monomer sehingga sering disebut
gula sederhana.
2. Oligosakarida (oligomer: tersusun dari 2 sampai 10 monomer).
3. Polisakarida (polimer: tersusun dari monomer lebih dari 15 monomer),
polisakarida meliputi: homopolisakarida (pentosan, heksosan) dan
heteropolisakarida (pektat, gum).
Karbohidrat adalah struktur percabangan unik yang mengandung
potensi evolusi konten informasi beberapa perintah besarnya lebih tinggi
dalam urutan singkat daripada di biologis lainnya oligomer. Potensi
informasi yang melekat dalam sistem pengenalan biologi terdiri dari ligan
karbohidrat kompleks diakui untuk kegiatan yang ditargetkan dengan secara
khusus mengikat reseptor protein kognitif, seperti lektin. Evolusi
reseptor/ligand pasangan serumpun karbohidrat adalah kompleks dan
mungkin sangat lambat. Mutasi titik tunggal di protein glikosil transferase
tidak mungkin untuk mengubah struktur gula, kecuali dalam kasus di mana
perubahan asam amino kecil bisa mengubah pengakuan di antara gula
terkait erat terdiri jika struktur yang sama (Laine, 2014).
Gula reduksi adalah gula yang mengandung suatu gugus aldehida
gula yang dapat dioksidasi oleh zat pengoksidasi. Gula reduksi adalah gula
yang terdapat dalam monosakarida atau disakarida. Seperti glukosa,
fruktosa, laktosa, maltosa yang mereduksi tembaga atau garam perak dalam
larutan alkali (Hadyana, 2002).
Kadar gula pereduksi ditentukan dengan cara metode Nelson-
Somogyi yaitu glukosa dimasukkan ke dalam tabung lalu dilarutkan dengan
air suling, dan ditambahkan dengan reagen Nelson-Somogyi lalu
dididihkan, sehingga gula reduksi dalam larutan glukosa akan mereduksi
kuprioksida menjadi kuprooksida. lalu didinginkan dalam air es hingga suhu
larutan sama dengan suhu kamar. Setelah dingin ditambahkan reagen
arsenomolibdat untuk membentuk suatu komplek sehingga akan
memberikan warna biru dan ditambahkan 7 ml air suling lalu dikocok
hingga bercampur rata. Absorbansi larutan diukur dengan spektrofotometer
20 D+ pada panjang gelombang maksimum. Untuk mengetahui kadar
glukosa hasil hidrolisis pati oleh enzim digunakan kurva kalibrasi dari
larutan standar glukosa pada berbagai konsentrasi. Perhitungan dilakukan
dengan mensubtitusikan absorbansi larutan yang diperoleh pada pengujian
ke dalam persamaan regresi kurva standar larutan glukosa standar. Sehingga
digunakan untuk menghitung kadar gula reduksi (Mutia dkk, 2012).
Konsentrasi kadar gula juga mempengaruhi cita rasa pada makanan,
semakin ketat kosentrasi gula pada larutan, semakin manis pula rasa larutan
tersebut. Pada industri makanan atau minuman, pengukuran konsentrasi
gula merupakan suatu hal yang sangat penting agar dapat menentukan
takaran yang tepat. Pengukuran konsentrasi gula dapat dilakukan secara
ilmiah menggunakan metode nelson-somogyi (Yaniar, 2014). Semakin
tinggi kandungan gula pereduksi, semakin tinggi indeks warna dan
absorbansinya. Kadar gula pereduksi mempengaruhi warna gula dimana
semakin rendah kadar gula pereduksinya semakin terang warna gulanya.
Sebaliknya, semakin tinggi kadar gula pereduksinya semakin gelap warna
gula tersebut (Kalengkongan dkk, 2013).
Monosakarida pada umumnya cepat dan mudah untuk diserap oleh
dinding usus kecil manusia seperti D-glukosa, D-galaktosa, dan D-fruktosa.
Monosakarida lain yang mempunyai BM sama atau lebih kecil seperti D-
mannosa, L-arabinosa, dan L-sorbosa hanya sebagian kecil saja yang
terserap. Pada heksosa seperti glukosa terdapat empat atom karbon yang
simetrik (mengikat keempat gugus yang berlainan), yaitu pada posisi nomor
2, 3, 4, dan 5. Setiap karbon mengikat 4 atom atau gugus yang berbeda.
Dengan demikian molekul heksosa tersebut mempunyai jumlah isomer 2n=
24 = 16 (Winarno, 2004). Monosakarida dalam suasana basa akan
mengalami dekomposisi yang menyebabkan terjadinya pencoklatan non
enzimatis. Pencoklatan non enzimatis merupakan reaksi yang terjadi pada
gula pereduksi dengan gugus amina primer pada suhu tertentu (Sumaryati,
2010).
Disakarida memiliki karakteristik salah satunya adalah semua
jenisnya akan cenderung meningkatkan kecepatan dengan molaritasnya.
Selain itu disakarida terbukti menunjukkan interaksi solute-solute (terlarut-
terlarut). Pada disakarida kecepatan interaksinya cepat karena sensitivitas
molaritasnya. Maltosa mempunyai interaksi solute-solvent yang sangat kuat
di antara tiga disakarida yang ada. Sedangkan laktosa mempunyai interaksi
solute-solute yang paling kuat (Nithiyanantham and Palaniappan, 2013).
Disakarida juga penting dimana disakarida merupakan produk dari aktivitas
enzimatis. Contohnya disakarida dibentuk akibat aktivitas enzim heparinase
dan enzim amilase pankreatik (Sunyoung et al., 2012).
Disakarida terdiri dari dua monosakarida yang berikatan kovalen
terhadap sesamanya. Pada kebanyakan disakarida ikatan kimia yang
menggabungkan kedua unit monosakarida disebut ikatan glikosida dan
dibentuk jika gugus hidroksil pada salah satu gula bereaksi dengan karbon
anomer pada gula yang kedua. Ikatan glikosida segera terhidrolisa oleh
asam, tetapi tahan terhadap basa. Jadi, disakarida dapat dihidrolisa
menghasilkan komponen monosakarida bebasnya dengan perebusan oleh
asam encer. Disakarida juga banyak terdapat di alam; yang paling umum
adalah sukrosa, laktosa, dan maltosa. Maltosa, disakarida yang paling
sederhana, mengandung dua residu D-glukosa yang dihubungkan oleh suatu
ikatan glikosida diantara atom karbon 1 dari residu glukosa yang pertama
dan atom karbon 4 dari glukosa yang kedua (Lehninger, 1993).
Uji benedict merupakan pereaksi yang terdiri dari kupri sulfat,
natrium sitrat, dan natrium karbonat.Uji ini merupakan uji umum untuk
karbohidrat (gula) pereduksi yang memiliki gugus aldehid atau keton bebas,
seperti yang terdapat pada glukosa dan maltosa.Timbulnya endapan warna
hijau, kuning, atau merah oranye menunjukkan adanya gula pereduksi
dalam sampel (Winarno, 2004).
Jika suspensi pati dalam air dipanaskan, air akan menembus lapisan
luar granula dan granula mulai menggelembung. Hal ini terjadi saat
temperatur meningkat dari 60C sampai 85C. Granula dapat
menggelembung hingga volumenya lima kali lipat dari volume semula.
Ketika ukuran granula pati membesar, campurannya menjadi kental.Pada
suhu kira-kira 85C, granula pati pecah dan isinya terdispersi merata ke
seluruh air di sekelilingnya. Molekul berantai panjang mulai membuka atau
terurai dan campuran pati atau air menjadi makin kental, membentuk sol.
Pada pendinginan, jika perbandingan pati dan air cukup besar, molekul pati
membentuk jaringan dengan molekul air terkurung didalamnya sehingga
membentuk gel. Seluruh proses ini dinamakan gelatinisasi (Gaman, 1992).
Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula patinya
akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian jumlah air yang
terserap dan pembengkakannya terbatas. Air yang terserap tersebut hanya
dapat mencapai kadar 30%. Peningkatan volume granula pati yang terjadi di
dalam air pada suhu antara 55 sampai 65C merupakan pembengkakan
yang sesungguhnya, dan setelah pembengkakan ini granula pati dapat
kembali pada kondisi semula.Granula pati dapat dibuat membengkak luar
biasa, tetapi bersifat tidak dapat kembali lagi pada kondisi
semula.Perubahan tersebut disebut gelatinisasi.Suhu pada saat granula pati
pecah disebut suhu gelatinisasi yang dapat dilakukan dengan penambahan
air panas. Suhu gelatinisasi tergantung juga pada konsenrasi pati.Makin
kental larutan, suhu tersebut makin lambat tercapai, sampai suhu tertentu
kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang turun. Konsentrasi
terbaik untuk membuat larutan gel adalah 20%; makin tinggi konsentrasi,
gel yang terbentuk makin kurang kental dan setelah beberapa waktu
viskositas akan turun. Suhu gelatinisasi berbeda-beda bagi tiap jenis pati dan
merupakan suatu kisaran.Dengan viscometer suhu gelatinisasi dapat
ditentukan, misalnya pada beras 68-78C dan tapioka 52-64C (Winarno,
2004).
Gelatinisasi pati merupakan proses transisi fisik bersifat endotermis
yang merusak keteraturan molekuler granula dan melibatkan proses
pembengkakakan granula, pelelehan kristal, hilangnya sifat birefringence,
dan pelarutan pati (Syamsir dkk., 2010). Pati dalam tanaman mempunyai
bentuk granula (butiran) yang berbeda-beda. Pati dimasukkan ke dalam air
dingin, dan air yang terserap tersebut hanya dapat mencapai kadar 30%.
Peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu 55oC-
65oC merupakan pembengkakakan granula pati yang dapat kembali ke
kondisi semula. Granula pati dapat dibuat membengkan dan tidak dapat
kembali lagi pada kondisi semula. Perubahan tersebut disebut dengan
gelatinisasi (Risnoyatiningsih, 2011).
Gelatinisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut
antara lain adanya garam akan menunda waktu terjadinya gelatinisasi.
Faktor lainnya adalah jumlah fraksi amilosa-amilopektin. Selain itu waktu
dan suhu juga berpengaruh pada gelatinisasi. Struktur amilopektin,
komposisi pati, dan arsitektur granula juga mempengaruhi gelatinisasi. Pati
ketika dipanaskan bersama air berlebih di atas suhu gelatinisasinya, granula
pati yang memiliki kandungan amilopektin lebih tinggi akan membengkak
lebih besar dibandingkan dengan yang memiliki kandungan yang lebih
rendah. Jenis tepung yang berbeda memiliki distribusi partikel yang
berbeda. Ukuran partikel yang semakin besar maka luas permukaannya
semakin kecil, sehingga air memerlukan waktu yang lebih lama untuk
diabsorpsi ke dalam partikel pati. Sebaliknya, ukuran partikel yang lebih
kecil akan meningkatkan laju hidrasi tepung (Imanningsih, 2012).
Gelatinisasi terjadi karena adanya proses pemecahan bentuk kristalin
granula pati, yaitu pecahnya ikatan hidrogen yang berfungsi untuk
mempertahankan struktur dan integritas pati. Kerusakan ini dapat
menyebabkan setiap lapisan permukaan molekulnya dapat menyerap air
atau larut dan bereaksi dengan bahan lain, dan kondisinya tidak dapat
kembali seperti semula. Gelatinisasi diawali dengan adanya air yang secara
perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, kemudian
granula mengembang dengan cepat dan akhirnya kehilangan sifat
birefringence-nya dan bila suhu tetap naik maka molekul-molekul pati
terdifusi keluar granula (Uhi, 2006).
Penggunaan osmotik sukrosa sebagai zat terlarut alternatif gula aktif
terhambat oleh kebutuhan untuk menyimpulkan akumulasi gula dari
pengamatan kadar pati. Adanya penjaga juga bukti kuat yang menunjukkan
bahwa karbohidrat sel dikenal untuk mengimpor gula dari sumber eksternal
utama, jika bukan satu-satunya osmotikum pendukung membuka di bawah
kondisi percobaan tertentu. Tampaknya kapasitas fotosintesis membuat gula
menjadi konten berdasarkan pengukuran kadar pati. Sebagaimana menurut
Meidner dan Mansfield (1968) menyatakan, hipotesis gula pati mengenai
sifat dari mekanisme osmoregulatori sel yang di jaga oleh subyek.
Hipotesis diterima bahwa karbohidrat yang berasal dari hidrolisis pati
menyediakan osmotikum yang diperlukan untuk mendorong pembukaan
stomata (Tallbott et al., 1998).
Suhu gelatinisasi merupakan suhu yang dibutuhkan pati agar granula
pati membengkak dan viskositas meningkat (Imanningsih, 2012). Suhu
gelatinisasi tiap jenis bahan makanan berbeda-beda. Namun demikian suhu
gelatinisasi dapat diketahui dengan pengukuran menggunakan alat
viskosimeter. Pada percobaan kali ini sampel yang digunakan adalah tepung
tapioka dengan suhu gelatinisasi antara 52oC-64oC (Winarno, 2004). Pati
yang dipanaskan di atas suhu gelatinisasinya hanya akan melemahkan ikatan
hidrogennya tetapi tidak mempengaruhi ikatan silangnya sehingga proses
ikatan silang ini akan menghasilkan viskositas yang tinggi (Munarso dkk.,
2004).

C. METODOLOGI
1. Alat
a. Gelas Beaker
b. Gelas preparat
c. Kompor listrik
d. Mikroskop
e. Penangas air
f. Pengaduk
g. Penjepit tabung reaksi
h. Penutup preparat
i. pH Universal
j. Pipet tetes
k. Pipet volume
l. Propipet
m. Tabung reaksi
n. Termometer
o. Timbangan Analitik
2. Bahan
a. Aquades
b. Kristal NaHCO3
c. Larutan glukosa 0,1 M
d. Larutan HCl 0,1 N
e. Larutan NaOH 0,1 N
f. Larutan sukrosa 5%
g. Tepung maizena
h. Tepung tapioka
i. Reagen Benedict
j. Larutan Iodin
3. Cara Kerja
a. Pengaruh asam dan alkali terhadap sukrosa
2 ml larutan sukrosa 5%

Pemasukan dalam 3 tabung reaksi.

Penambahan 5 ml Penambahan 5 ml Penambahan 5 ml


NaOH 0,1 N HCl 0,1 N dalam aquades dalam
dalam tabung 1. tabung 2. tabung 3.

Pemanasan selama 2-3 menit sampai mendidih (pemanasan 1).

Pengamatan terhadap perubahan warna yang terjadi.

NaHCO3 kristal Penambahan pada tabung 1.

Pemindahan masing-masing 2 ml larutan dari masing-masing tabung pada


dalam 3 tabung reaksi.

Penambahan pada setiap tabung lalu


2 ml pereaksi pemanasan dalam penangas air
Benedict selama 5 menit (pemanasan II).

Pengamatan perubahan warna atau warna endapan.


b. Pengaruh asam dan alkali terhadap glukosa

5 ml Glukosa 0,1 M %

Pemasukan dalam 3 tabung


reaksi.

Penambahan 2 ml Penambahan 2 ml Penambahan 2 ml


NaOH 0,1 N HCl 0,1 N dalam aquades dalam
dalam tabung 1. tabung 2. tabung 3.

Pemanasan hingga mendidih selama 2-3 menit.

Pengamatan terhadap perubahan warna yang terjadi.


c. Gelatinisasi pati
Pati tapioka dan maizena

Pemasukan dalam 9 beaker glass sebanyak 30


gram

Penambahan aquades suhu kamar, 40, 50, 60, 65, 70, 75, 80,
dan 85 (C) sebanyak 100 ml

Pengambilan 1 tetes larutan

Pengolesan pada gelas benda dan penutupan


pada gelas penutup

Pengamatan di bawah mikroskop dengan


perbesaran 40x10
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1.1 Pengaruh Asam dan Alkali terhadap Sukrosa
Pemanasan 1 Pemanasan 2
Kelompok Larutan
Awal Akhir Awal Akhir
NaOH Bening Kuning Biru Hijau Pekat
14 HCl Bening Bening Biru Orange
Aquades Bening Bening Biru Kuning Pekat
Sumber: Laporan Sementara.
Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi hampir seluruh
organisme dunia. Karbohidrat dalam kaitannya dengan pangan (bahan
makanan) mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik
bahan makanan. Pada tanaman, karbohidrat dibentuk dari reaksi CO2 dan
H2O dengan bantuan sinar matahari melalui proses fotosintesis dalam sel
tanaman yang berklorofil. Berdasarkan kompleksitas molekul
penyusunnya, karbohidrat dapat diklasifikasikan monosakarida,
oligosakarida, disakarida dan polisakarida. Monosakarida: merupakan
suatu molekul yang dapat terdiri dari 5 atau 6 atom C. Tata nama
monosakarida tergantung dari gugus fungsional dan letak gugus
hidrosilnya. Monosakarida yang mengandung satu gugus aldehid disebut
aldosa sedangkan ketosa untuk yang mengandung satu gugus keton.
Monosakarida dengan 6 atom C disebut Heksosa, contoh glukosa,
galaktosa, mannosa, fruktosa. Sedangkan yang mempunyai 5 atom C
disebut pentosa, contoh: xilosa, arabinosa, ribosa (Handajani, 2010).
NOMER 1
Disakarida memiliki karakteristik salah satunya adalah semua jenisnya
akan cenderung meningkatkan kecepatan dengan molaritasnya. Selain itu
disakarida terbukti menunjukkan interaksi solute-solute (terlarut-terlarut).
Pada disakarida kecepatan interaksinya cepat karena sensitivitas
molaritasnya. Maltosa mempunyai interaksi solute-solvent yang kuat di
antara tiga disakarida yang ada. Sedangkan laktosa mempunyai interaksi
solute-solute yang paling kuat (Nithiyanantham and Palaniappan, 2013).
Disakarida juga penting dimana disakarida merupakan produk dari
aktivitas enzimatis. Contohnya disakarida dibentuk akibat aktivitas enzim
heparinase dan enzim amilase pankreatik (Sunyoung et al., 2012).
Disakarida terdiri dari dua monosakarida yang berikatan kovalen
terhadap sesamanya. Pada kebanyakan disakarida ikatan kimia yang
menggabungkan kedua unit monosakarida disebut ikatan glikosida dan
dibentuk jika gugus hidroksil pada salah satu gula bereaksi dengan karbon
anomer pada gula yang kedua. Ikatan glikosida segera terhidrolisa oleh
asam, tetapi tahan terhadap basa. Jadi, disakarida dapat dihidrolisa
menghasilkan komponen monosakarida bebasnya dengan perebusan oleh
asam encer. Disakarida juga banyak terdapat di alam; yang paling umum
adalah sukrosa, laktosa, dan maltosa. Maltosa, disakarida yang paling
sederhana, mengandung dua residu D-glukosa yang dihubungkan oleh
suatu ikatan glikosida diantara atom karbon 1(karbon anamer) dari residu
glukosa yang pertama dan atom karbon 4 dari glukosa yang kedua
(Lehninger, 1993).
Disakarida adalah gula kompleks. Disakarida merupakan
karbohidrat yang terbentuk dari dua molekul monosakarida yang berikatan
melalui gugus OH dengan melepaskan molekul air. Disakarida memiliki
formula kimia C12H22O11. disakarida mempunyai ciri-ciri berikut:
1. Larut dalam air.
2. Berasa manis.
3. Semua disakarida boleh menghablur
4. Semua disakarida adalah gula penurunan kecuali sukrosa.
5. Semua disakarida boleh diubah kepada monosakarida dengan
mudah (Alfian, 2007).
Disakarida terbentuk ketika dua monosakarida bergabung dan satu
molekul air dilepaskan, suatu proses yang dikenal sebagai reaksi dehidrasi.
Misalnya, gula susu (milk sugar), laktosa, terbentuk dari glukosa dan
galaktosa, sedangkan gula tebu (sugar cane) dan gula bit (sugar beet),
sukrosa, terbentuk dari glukosa dan fructose. Maltosa, suatu disakarida
terkenal yang lain, terbentuk dari dua molekul glukosa.[5] Dua
monosakarida itu terikat melalui suatu reaksi dehidrasi, juga disebut reaksi
kondensasi atau sintesis dehidrasi (dehydration synthesis), yang
menghasilkan terlepasnya suatu molekul air dan pembentukan ikatan
glikosidik (Suprapto, 2006). NOMER 2
Uji benedict merupakan pereaksi yang terdiri dari kupri sulfat,
natrium sitrat, dan natrium karbonat.Uji ini merupakan uji umum untuk
karbohidrat (gula) pereduksi yang memiliki gugus aldehid atau keton
bebas, seperti yang terdapat pada glukosa dan maltosa. Timbulnya
endapan warna hijau, kuning, atau merah oranye menunjukkan adanya
gula pereduksi dalam sampel (Winarno, 2004).
Uji karbohidrat Benedict merupakan uji yang dilakukan untuk
membedakan gula pereduksi bedasarkan reduksi ion kupri, dalam suasana
alkalis. Glukosa, laktosa, fruktosa, dan maltosa mempunyai gugus OH
bebas yang reaktif, sedangkan sukrosa tidak mempunyai gugus OH bebas
yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat. Oleh karena itu,
bedasarkan teori, laktosa, glukosa, fruktosa, dan mlatosa merupakan gula
pereduksi sedangkan sukrosa merupakan gula non pereduksi. Pada uji
Benedict, dari data hasil pengamatan yang dilakukan dapat diketahui
bahwa sampel glukosa, fruktosa, laktosa, maltosa, dan sukrosa bereaksi
positif terhadap uji benedict. Hal tersebut ditandai dengan adanya endapan
berwarna merah bata setelah dipanaskan. Sehingga glukosa, fruktosa,
laktosa, maltosa, dan sukrosa merupakan gula pereduksi. Berdasarkan
teori yang ada menyatakan bahwa sukrosa tidak termasuk dalam gula
pereduksi, dan tidak terdeteksi oleh pereaksi benedict, karena sukrosa
tidak mengandung gugus aldehid bebas dan alpha hidroksi keton
(Priyadi dkk., 2015).
Dalam percobaan yang telah dilakukan, pada tabung 2
ditambahkan sejumput NaHCO3 kristal. Penambahan NaHCO3 berfungsi
untuk menetralkan sampel tabung 2 (NaHCO3 + HCl) sehingga dapat
menghentikan hidrolisis yang terjadi. Penetralan menggunakan NaHCO3
hanya diberikan pada tabung 2 karena pada tabung 2 sukrosa direaksikan
dengan asam yaitu HCl. Pereaksian dengan asam akan mengakibatkan
sakarida mengalami reaksi hidrolisis dengan cepat. Natrium bikarbonat
dapat menetralkan karena natrium merupakan logam alkali yang mudah
sekali melepaskan elektronnya sehingga bermuatan positif. Sedangkan
bikarbonat (HCO3) merupakan ion yang mudah terhidrolisis. Ion
bikarbonat di dalam air akan lepas menjadi CO2 dan H2O. Keduanya
merupakan senyawa sisa asam lemah, sehingga dalam air mengalami
hidrolisis (Winarni et.al., 2010).
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapat hasil pada
perlakuan 1 (sukrosa + HCl 0,1 N) didapatkan hasil yaitu pada pemanasan
pertama warna sampel bening. Kemudian setelah dilakukan pemanasan
kedua sampel menjadi kuning lalu menjadi orang. Larutan HCl berfungsi
sebagai katalisator. Dalam hal ini berfungsi sebagai katalisator untuk
mempercepat terjadinya reaksi hidrolisis disakarida menjadi monosakarida
(Edahwati, 2010). Setelah itu larutan dinetralkan dengan NaHCO3 dengan
tujuan untuk menghentikan hidrolisis. Hasil sesuai dengan teori, yaitu
disakarida tidak stabil saat bereaksi dengan asam. Timbulnya endapan
berwarna hijau, kuning, atau merah oranye menunjukkan adanya gula
pereduksi pada sampel (Winarno, 2004). Pada perlakuan 2
(sukrosa+NaOH 0,1 N) yaitu pada pemanasan pertama warna sampel
bening. Kemudian setelah dilakukan pemanasan kedua menjadi berwarna
hijau pekat. Hasil ini menunjukkan bahwa ada perubahan warna baik dari
pemanasan 1. Hal ini tidak sesuai dengan teori karena ketidak telitian saat
praktikum menggunakan propipet yang sama dengan pengambilan sampel
sebelumnya. Ini disebabkan disakarida tidak mengalami hidrolisis jika
diberi basa. Disakarida tidak mengalami hidrolisis jika diberi basa karena
disakarida stabil dalam kondisi alkali (basa). Pada percobaan penambahan
pereaksi Benedict berfungsi untuk mengetahui adanya gula pereduksi.
Sukrosa bukan merupakan gula pereduksi. Hal tersebut sesuai dengan
teori, karena yang termasuk dalam gula reduksi adalah monosakarida dan
disakarida kecuali sukrosa (Septiani, 2004). Pada perlakuan 3
(sukrosa+aquades) didapatkan hasil yaitu pada pemanasan pertama warna
sampel bening. Kemudian setelah dilakukan pemanasan kedua, sampel
menjadi kuning pekat. Pada penambahan aquades mengalami perubahan
warna dikarenakan sukrosa mengalami hidrolisis sehingga pada saat
penambahan pereaksi Benedict menunjukkan adanya gula pereduksi. Pada
praktikum yang dilakukan, semua perlakuan pada sukrosa telah sesuai
dengan teori.

Tabel 1.2 pengaruh Asam dan Alkali terhadap Glukosa


Pemanasan
Kelompok Larutan
Awal Akhir
HCl Putih Putih
13 NaOh Putih Kuning
Aquades Putih Putih
Sumber: Laporan Sementara
Monosakarida adalah golongan senyawa yang tidak dapat
dihidrolisis menjadi senyawa yang lebih sederhana, misalnya glukosa dan
fruktosa. Monosakarida dapat dibagi menjadi senyawa yang mengandung
gugus aldehid dan senyawa yang mengandung gugus keton, monosakarida
mudah terdekomposisi bila dipanaskan dalam suasana alkali
(Makfoeld dkk, 2002). Beberapa monosakarida mempunyai rasa manis.
Sifat umum dari monosakarida adalah larut air, tidak berwarna, dan
berbentuk padat kristal. Contoh dari monosakarida adalah glukosa
(dextrosa), fruktosa (levulosa), galactosa, xylosa dan ribosa. Monosakarida
merupakan senyawa pembentuk disakarida (seperti sukrosa) dan
polisakarida (seperti selulosa dan amilum). Monosakarida digolongkan
berdasarkan jumlah atom karbon yang dikandungnya (triosa, tetrosa,
pentosa, heksosa, dan heptosa) dan gugus aktifnya, yang bisa berupa
aldehida atau keton. Ini kemudian bergabung, menjadi misalnya
aldoheksosa dan ketotriosa. Monosakarida biasanya memiliki tiga sampai
sembilan atom karbon, dan berdasarkan jumlah atom karbon penyusunnya,
monosakarida dibedakan alas triosa, tetrosa, pentosa, heksosa, heptosa,
oktosa, dan nonosa. Jadi, triosa adalah monosakarida yang mempunyai
tiga atom karbon. Monosakarida yang paling banyak ditemukan di alam
adalah pentosa dan heksosa. Meskipun demikian, triosa, beberapa tetrosa,
dan beberapa heptosa juga berperanan penting dalam metabolisme hewan,
manusia, dan tanaman (Roger, 2014).
Pada praktikum digunakan sampel glukosa 0,1 M dengan 3
perlakuan, yaitu ditambah dengan HCl 0,1 N, ditambah dengan NaOH
0,1N, dan perlakuan terakhir ditambah dengan aquades. Setelah itu, semua
tabung dipanaskan sampai mendidih, pada perlakuan pertama dengan
pertambahan HCl 0,1 N warna tidak berubah dari putih tetap menjadi
putih. Sedangkan pada penambahan NaOH 0,1 N warna berubah dari putih
menjadi kuning dan pada penambahan aquades tidak menunjukkan
perubahan warna, yaitu tetap bening. Glukosa merupakan monosakarida
yang mudah terdekomposisi bila dipanaskan dalam suasana alkali, yang
menyebabkan pada perlakuan penambahan NaOH 0,1 N bersifat alkalis,
warna berubah menjadi kuning karena monosakarida telah terdekomposisi
dalam suasana alkali menghasilkan warna agak kecoklatan (nonenzimatis)
dan monosakarida stabil pada penambahan asam selain itu tidak
menunjukkan reaksi pada penambahan aquades (Makfoeld dkk, 2002).
Tabel 1.3 Hasil Pengamatan Gelatinisasi Pati
Kelompok Sampel Gambar Keterangan

Tapioka Bulat titik-titik,


14 pada suhu kecil, jarak agak
kamar rekat

Perbesaran 40 x 10 = 400

Titik-titik agak
Tapioka
panjang, ukuran
pada suhu
tidak terlalu kecil,
40oC
jarak agak rengang

Perbesaran 40 x 10 = 400

Bulatan kecil,
Tapioka
ukuran sedang,
pada suhu
jarak tidak terlalu
50oC
rekat

Perbesaran 40 x 10 = 400

Tapioka Bulat, ukuran agak


pada suhu besar/sedang,
60oC jarak rekat sekali

Perbesaran 40 x 10 = 400

Bulatan-bulatan,
Tapioka ukuran sedang,
pada suhu jarak rekat
65oC dibagian pingir
dan pecah
Perbesaran 40 x 10 = 400

Bulat-bulat,
Tapioka
ukuran agak besar,
pada suhu
jarak rekat dan
70oC
tidak pecah

Perbesaran 40 x 10 = 400
Tapioka Bulatan ukuran
pada suhu besar, jarak
75oC rengkat dan pecah

Perbesaran 40 x 10 = 400

Bulatan dan titik-


Tapioka titik, ukuran tidak
pada suhu terlalu besar, jarak
80oC rengkat sekali dan
pecah
Perbesaran 40 x 10 = 400

Maizena
Bulat kecil, rekat-
13 pada suhu
rekat
kamar

Perbesaran 40 x 10 = 400

Maizena
Bulat agak besar,
pada suhu
rekat-rekat
40oC

Perbesaran 40 x 10 = 400

Maizena
Bulat lonjong agak
pada suhu
besar, rekat-rekat
50oC

Perbesaran 40 x 10 = 400

Maizena
Bulat agak besar,
pada suhu
rekat-rekat
60oC

Perbesaran 40 x 10 = 400
Maizena
Bulat agak besar,
pada suhu
pecah
65oC

Perbesaran 40 x 10 = 400

Maizena
Bulat kecil,
pada suhu
gelembung pecah
70oC

Perbesaran 40 x 10 = 400

Maizena Bulat kecil dan


pada suhu ada yang besar,
75oC gelembung pecah

Perbesaran 40 x 10 = 400

Maizena Bulat agak besar


pada suhu dan kecil,
80oC gelembung pecah

Perbesaran 40 x 10 = 400

Maizena
Bulat besar,
pada suhu
gelembung pecah
85oC

Perbesaran 40 x 10 = 400
Sumber: Laporan Sementara
Tapioka merupakan pati yang diambil dari ubi kayu dan
dimanfaatkan sebagai bahan pangan atau bahan pembantu industri non
pangan. Namun, pemanfaatan tapioka asli ini masih sangat terbatas karena
sifat fisik dan kimia tapioka yang kurang umum untuk digunakan secara
luas. Nilai ekonomi tapioka akan lebih tinggi jika sifat-sifatnya
dimodifikasi melalui perlakuan fisik, kimia, atau kombinasi keduanya.
Tapioka memiliki komposisi kimia pati 73,3-84,9%, lemak 0,08-1,54%,
protein 0,03-0,60% dan abu 0,02-0,33%. Pati dari tapioka terdiri atas 17%
amilosa dan 83% amilopektin. Granula pati tapioka berbentuk semibulat
dengan salah stu bagian ujungnya mengerucut dengan ukuran 5-35
mikrometer. Suhu gelatinisasinya berkisar antara 52-64oC, kristalisasi
38%, kekuatan mengembang 42%, dan kelarutan 31%. Kekuatan
mengembang dan kelarutan tapioka lebih kecil dibandingkan pati kentang,
tetapi lebih besar dari pati jagung. Menurut Wurzburg suhu gelatinisasi
tapioka antara 58,5-70,0oC, bergantung pada varietas ubi kayu yang
digunakan untuk memproduksi tapioka. Tapioka mempunyai karakteristik
yang spesifik terkait dengan suhu gelatinisasi, kemampuan mengembang
(swelling power), dan kelarutan dibandingkan dengan pati lainnya.
Tapioka mempunyai karakteristik gel yang cukup kuat dan transparan
yang sangat mendukung sebagai komponen bahan pengisi serta perekat
(Herawati, 2012).
Pati jagung atau maizena merupakan salah satu produk dari hasil
pengolahan jagung pasca panen (Winarno, 1988). Seperti kelompok pati
pada umumnya, maizena merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan
-glikosidik. Maizena terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dalam
air panas, yaitu fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut
amilopektin. Perbandingan amilosa dan amilopektin mempengaruhi sifat
pati. Makin kecil kandungan amilosa atau semakin besar kandungan
amilopektin, kekentalan yang dihasilkan semakin tinggi. Biasanya pati
mengandung lebih banyak amilopektin daripada amilosanya. Pada maizena
nisbah amilosa terhadap amilopektin mendekati perbandingan (Sari, 2011).
Gelatinisasi adalah proses dimana granula pati membengkak luar
biasa dan tidak dapat kembali pada kondisi semula. Suhu pada saat granula
pati pecah disebut suhu gelatinisasi. Menurut Imanningsih (2012), saat pati
dipanaskan, beberapa double helix fraksi amilopektin merenggang dan
ikatan hidrogen yang terputus. Jika suhu yang lebih tinggi diberikan,
ikatan hidrogen akan semakin banyak yang terputus, menyebabkan air
terserap masuk ke dalam granula pati. Pada proses ini, molekul amilosa
terlepas ke fase air yang menyelimuti granula, sehingga struktur dari
granula pati menjadi lebih terbuka, dan lebih banyak air yang masuk ke
dalam granula, menyebabkan granula membengkak dan volumenya
meningkat dan akhirnya pecah. Molekul air kemudian membentuk ikatan
hidrogen dengan gugus hidroksil gula dari molekul amilosa dan
amilopektin. Molekul amilosa cenderung untuk meninggalkan granula
karena strukturnya lebih pendek dan mudah larut. Mekanisme ini yang
menjelaskan bahwa larutan pati yang dipanaskan akan lebih kental dan
inilah yang dinamakan gelatinisasi pati.Setiap jenis tepung memiliki
karakteristik gelatinisasi yang berbeda-beda. Sifat gelatinisasi dan
pembengkakan dari suatu pati, ditentukan oleh struktur amilopektin,
amilosa, komposisi pati, viskositas, berat molekul dan ukuran granular
pati. Makin besar berat molekul, semakin banyak kandungan amilopektin,
semakin kecil ukuran partikel/granula, dan viskositas semakin tinggi maka
gelatinisasi akanterjadi pada suhu yang lebih rendah atau cepat terjadi
gelatinisasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi gelatinisasi pati, viskositas,
dan karakteristik gel pati menurut Haryadi (1993) dalam Astuti (2000)
adalah sebagai berikut :
a. Karakteristik granula pati
Amilosa akan membentuk gel yang tegar. Strukturnya yang
linier menyebabkan granula lebih mudah menyerap air dan gel amilosa
cepat terjadi pada konsentrasi yang rendah (5%). Sedangkan
amilopektin akan membentuk gel yang lembut dan membutuhkan
konsentrasi yang tinggi (30%) karena struktur yang bercabang
membuatnya sulit menyerap air.
b. Suhu gelatinisasi
Adalah kisaran suhu saat pengembangan seluruh granula pati.
Suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh konsentrasi pati dan pH larutan.
Konsentrasi pati 20 % dan pH larutan 4-7 akan membentuk gel dengan
viskositas yang baik.
c. Bahan-bahan lain yang ditambahkan
1. Gula, garam, dan asam mempunyai kemampuan mengikat air
sehingga mengganggu proses gelatinisasi dan suhu gelatinisasi akan
meningkat.
2. Lemak membentuk kompleks dengan amilosa sehingga gelatinisasi
terhambat dan mengganggu pengembangan granula pati.
3. Protein mempunyai kemampuan mengikat air sehingga mengganggu
pengembangan granula pati. Kemampuan mengikat air oleh molekul
protein tidak menyebabkan pengembangan, karena komponen utama
yang mengembang adalah pati sedangkan protein kurang atau tidak
mengembang. Pengembangan granula pati terjadi apabila energi
kinetik dari molekul air lebih besar daripada daya tarik antar molekul
pati dalam granula. Sedangkan viskositas gel pati terjadi karena air
yang bebas bergerak di luar granula menjadi berada di dalam granula
dan tidak bisa bergerak bebas lagi saat suspensi pati dipanaskan.
Larutan pati kental selama pendinginan dapat membentuk gel yang
disebabkan karena molekul-molekul amilosa berantai lurus dapat
mengelompok kembali melalui ikatan hidrogen intermolekuler.
Pembentukan gel inilah yang disebut retrogradasi. (Winarno, 2004).
Tapioka merupakan pati yang diambil dari ubi kayu dan
dimanfaatkan sebagai bahan pangan atau bahan pembantu industri non
pangan. Namun, pemanfaatan tapioka asli ini masih sangat terbatas karena
sifat fisik dan kimia tapioka yang kurang umum untuk digunakan secara
luas. Nilai ekonomi tapioka akan lebih tinggi jika sifat-sifatnya
dimodifikasi melalui perlakuan fisik, kimia, atau kombinasi keduanya.
Tapioka memiliki komposisi kimia pati 73,3-84,9%, lemak0,08-1,54%,
protein 0,03-0,60% dan abu 0,02-0,33%. Pati dari tapioka terdiri atas 17%
amilosa dan 83% amilopektin. Granula pati tapioka berbentuk semibulat
dengan salah stu bagian ujungnya mengerucut dengan ukuran 5-35
mikrometer. Suhu gelatinisasinya berkisar antara 52-64oC, kristalisasi
38%, kekuatan mengembang 42%, dan kelarutan 31%. Kekuatan
mengembang dan kelarutan tapioka lebih kecil dibandingkan pati kentang,
tetapi lebih besar dari pati jagung. Menurut Wurzburg suhu gelatinisasi
tapioka antara 58,5-70,0oC, bergantung pada varietas ubi kayu yang
digunakan untuk memproduksi tapioka. Tapioka mempunyai karakteristik
yang spesifik terkait dengan suhu gelatinisasi, kemampuan mengembang
(swelling power), dan kelarutan dibandingkan dengan pati lainnya.
Tapioka mempunyai karakteristik gel yang cukup kuat dan transparan
yang sangat mendukung sebagai komponen bahan pengisi serta perekat
(Herawati, 2012).
Pati jagung atau maizena merupakan salah satu produk dari hasil
pengolahan jagung pasca panen (Winarno, 1988). Seperti kelompok pati
pada umumnya, maizena merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan
-glikosidik. Maizena terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dalam
air panas, yaitu fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut
amilopektin. Perbandingan amilosa dan amilopektin mempengaruhi sifat
pati. Makin kecil kandungan amilosa atau semakin besar kandungan
amilopektin, kekentalan yang dihasilkan semakin tinggi. Biasanya pati
mengandung lebih banyak amilopektin daripada amilosanya. Pada maizena
nisbah amilosa terhadap amilopektin mendekati perbandingan (Sari, 2011).
Pada praktikum digunakan sampel tepung tapioka dan tepung
maizena. Tepung tapioka merupakan tepung dari umbi-umbian, dan tepung
maizena merupakan tepung dari serealia, kedua sampel tersebut diberi
beberapa perlakuan, yaitu tepung tapioka dan maizena suhu kamar,
dipanaskan pada suhu kamar, 400C, 500C, 600C, 650C, 700C, 750C dan
800C. Sebelum diberi perlakuan, tepung dilarutkan dahulu dalam aquades
100 ml sehingga membentuk pasta kental, setelah itu diambil satu tetes dan
ditambah larutan iod satu tetes, lalu diamati dengan mikroskop perbesaran
10x40. Hasil dapat dilihat seperti tabel 1.3, dimana pada suhu kamar untuk
tepung tapioka maupun maizena belum terjadi gelatinisasi karena ukuran
granulanya masih seragam. Pada tepung tapioka pemanasan suhu 400C
terlihat granula pati agak renggang pecah dan ukurannya tidak terlalu
kecil, lalu maizena suhu 400C granula patinya masih rekat-rekat dan
ukurannya agak besar, lalu tapioka suhu 500C granula tidak terlalu
renggang pecah dan ukuran sedang, lalu maizena suhu 500C granulanya
masih rekat-rekat dan ukuran agak besar, lalu tapioka suhu 600C
granulanya menjadi rekat sekali dan ukurannya menjadi kecil, maizena
suhu 600C granulanya rekat-rekat dan ukuran agak besar, tapioka suhu
650C granulanya tengah mulai pecah tetapi pinggir masih rekat, maizena
suhu 650C granula sudah pecah dan bentuk agak besar, tapioka suhu 700C
granulanya rengkat tidak pecah dan ukuran pecah, maizena suhu 700C
granula pecah dan bentuk kecil, tapioka suhu 750C granulanya pecah dan
rengkat-rengkat, maizena suhu 75 0C granula pecah dan bentuknya kecil,
tapioka suhu 800C jarak rengkat dan pecah, maizena suhu 800C granula
pecah dan agak rekat, maizena suhu 850C granula besar dan pecah. Jadi
menurut hasil pengamatan tapioka mengalami gelatinisasi pada suhu 750C
dan maizena menalami gelatinisasi pada suhu 650C. Dari pengamatan ini
mengalami penyimpangan dengan teori Imanningsih (2012), Tepung
tapioka lebih cepat mengalami gelatinisasi karena pati serealia memiliki
berat molekul yang lebih rendah dibandingkan dengan pati umbi-umbian,
sehingga suhu terjadinya gelatinisasi tepung tapioka lebih rendah atau
lebih cepat mengalami gelatinisasi dibandingkan dengan tepung serealia,
dari pengamatan tepung maizena lah yang paling cepat tergelatinisasi..
Suhu gelatinasi pati tapioka sebesar 52-640C. Sedangkan tepung
maizena berkisar antara 62-740C. Suhu gelatinisasi maizena lebih tinggi
karena tepung maizena memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi
dibanding tepung tapioka. Semakin tinggi kadar amilosa, maka
pembentukan gel semakin sulit karena struktur amorf yang terbentuk akan
meningkatkan suhu gelatinasi, sehingga daya pengembangannya menjadi
lebih lama (Sarungallo dkk, 2010).
Menurut Imanningsih (2012), setiap jenis tepung memiliki
karakteristik gelatinisasi yang berbeda-beda. Sifat gelatinisasi dan
pembengkakan dari suatu pati, ditentukan oleh struktur amilopektin,
amilosa, komposisi pati, viskositas, berat molekul dan ukuran granular
pati. Makin besar berat molekul, semakin banyak kandungan amilopektin,
semakin kecil ukuran partikel/granula, dan viskositas semakin tinggi maka
gelatinisasi akan terjadi pada suhu yang lebih rendah atau cepat terjadi
gelatinisasi.
E. KESIMPULAN
Dari praktikum Acara I Karbohidrat dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Sukrosa merupakan disakarida, sukrosa stabil pada suasana alkali/basa, dan
akan terhidrolisis menjadi monosakarida penyusunnya bila dipanaskan pada
suasana asam.
2. Glukosa merupakan monosakarida, glukosa stabil pada suasana asam, dan
akan terdekomposisi menghasilkan warna coklat non enzimatis bila
dipanaskan pada suasana alkali/basa.
3. Gelatinisasi adalah proses dimana granula pati membengkak luar biasa dan
tidak dapat kembali pada kondisi semula. Suhu pada saat granula pati pecah
disebut suhu gelatinisasi. Jadi menurut hasil pengamatan tapioka mengalami
gelatinisasi pada suhu 750C dan maizena menalami gelatinisasi pada suhu
650C.
DAFTAR PUSTAKA

Babic, Jurilav., Drago Subaric, Durdica Ackar, Vlasta Pilizota, Mirela Kopjar,
Nela Nedictiban. 2006. Effects of Pectin and Carrageenan on
Thermophysical and Rheological Properties of Tapioca Starch. Journal of
Food Science Vol. 24. No. 6.
Chandra, A., Hie Maria Inggrid, Verawati. 2013. Pengaruh pH dan Jenis Pelarut
pada Perolehan dan Karakterisasi Pati dari Biji Alpukat. Jurnal Kimia
Vol. 1. No. 1.
Gailliot, Matthew T., Roy F. Baumeister, C. Nathan DeWall, Jon K. Maner, E.
Ashby Plant, Dianne M. Tice, dan Lauren E. Brewer. 2007. Self-Control
Relies on Glucose as a Limited Energy Source: Willpower Is More Than a
Metaphor. Journal of Personality and Social Psychology Vol. 92, No. 2,
Page of 325326.
Gaman, P. M., Sherrington, K.B. 1992.Ilmu Pangan. Gadjah Mada University
Press.Yogyakarta.
Hadyana, Pudjaatmaka A. 2002. Kamus Kimia. Jakarta: Balai Pustaka.
Handajani, Sri dkk. 2010. Pengolahan Hasil Pertanian;Teknologi Tradisional dan
Terkini. Sebelas Maret University Press. Surakarta.
Herawati, Henny. 2012. Teknologi Proses Produksi Food Ingredient dari Tapioka
Termodifikasi. Juranl Litbang Pertanian. Vol. 31. No. 2. Halaman 68-73.
Hudaya, Saripah dan Setiasih Daradjat. 1979. Dasar-Dasar Pengawetan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Imanningsih, Nelis. 2012. Profil Gelatinisasi Beberapa Formulasi Tepung-
Tepungan untuk Pendugaan Sifat Pemasakan. Penelitian Gizi Makan. Vol.
35. No. 1. Halaman 13-19.
Indrianti, Novita dkk. 2013. Pengaruh Penggunaan Pati Ganyong, Tapioka, dan
Mocaf Sebagai Bahan Subtitusi terhadap Sifat Fisik Kimia Mie Jagung.
Agritech 33(4).
Kalengkongan Chindy., Julius Pontoh, dan Feti Fatimah. 2013. Hubungan Antara
Beberapa Kriteria Kualitas Dengan Warna Gula Aren (Arenga Pinnata
Merr.) Jurnal Ilmiah Sains Vol. 13 No. 2 Hal. 91.
Laine, Roger A. 2014. A calculation of all possible oligosaccharide isomers both
branched and linear yields 1.05 x 1012 structures for a reducing
hexasaccharide: the Isomer Barrier to development of single-method
saccharide sequencing or synthesis systems.Journal of Oxford Vol 1
Lehninger. 1993. Dasar-dasar Biokimia Jilid 1. Erlangga. Jakarta.
Mangunwardoyo, Wibowo., Deasywaty, Tepy Usia. 2012. Antimicrobial And
Identification Of Active Compound Curcuma Xanthorrhiza Roxb.
International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS-IJENS Vol. 12,
No. 01, Halaman 71.
Munarso, S. Joni., D. Muchtadi, D. Fardiaz, R. Syarief. 2004. Perubahan Sifat
Fisikokimia dan Fungsional Tepung Beras Akibat Proses Modifikasi Ikat-
Silang. Jurnal Pascapanen. Vol. 1. No. 1.
Mutia, Mufti., Seniwati Dali, Rugaiyah Arfah, dan Firdaus Zenta. 2011. Isolasi
Dan Karakterisasi Enzim Amilase Dari Akar Rimpang Alang-Alang
(Imperata Cylindrica). Jurnal Kesehatan Vol. 2, No. 12 Hal. 2.
Nithiyanantham, S., L. Palaniappan. 2013. Physicochemical Studies on Some
Disaccharides (Sucrose, Lactose, Maltose) in Aqueous Media at 298,15 K.
Chemical Science Transactions. Vol. 2. No. 1.
Poedjiadi, Anna. 2009. Dasar-Dasar Biokimia. Universitas Indonesia. Jakarta.
Priyadi, Ardi, Sarah Tsamrotul Fuadah, Septi Yuliana, dan Titis Fitri Asih. 2015.
Uji Kualitatif Karbohidrat. Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan.
Universitas Pendidikan Indonesia.
Risnoyatinigsih, Sri. 2011. Hidrolisis Pati Ubi Jalar Kuning menjadi Glukosa
Secara Enzimatis. Jurnal Teknik Kimia. Vol. 5. No. 2. Halaman 417-419.
Roger A.Laine. 2014. A calculation of all possible oligosaccharide isomers both
branched and linear yields 1.05 x 1012 structures for a reducing
hexasaccharide: the Isomer Barrier to development of single-method
saccharide sequencing or synthesis systems.Journal of Oxford Vol 1
Sari, Milya. 2011. Maizena sebagai Alternatif Pengganti Pektin dalam
Pembuatan Selai Belimbing(Avherrhoa carambola L.). Jurnal Saintek.
Vol. III. No. 1: 44-51.
Sudarmadji, Slamet., Bambang Haryono, dan Suhardi. 2003. Analisa Bahan
Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
Sumaryati, Enny. 2010. Pembuatan Leather Mengkudu (Morinda cintrifolia)
Kajian Lama Perendaman dan Konsentrasi Larutan Kapur terhadap
Kualitas Leather Mengkudu yang Dihasilkan. Fakultas Pertanian
Universitas Widyagama Malang.
Sunyoung, L., Stephen J. Valentine, James P. Riley, David E. Clemmer. 2012.
Analyzing a Mixture of Disaccharides by IMS-VUVPD-MS. International
Journal of Mass Spectrometry.
Suprapto, Hadi. 2006. Pengaruh Substitusi Tapioka Untuk Tepung Beras Ketan
Terhadap Perbaikan Kualitas Wingko. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 2
No.1.
Tallbott and Zeiger. 1998. The role of sucrose in guard cell osmoregulation.
Journal of Experimental Botany Vol. 49.
Uhi, Harry T. 2006. Pemanfaatan Gelatin Tepung Sagu (Metroxylon sago)
sebagai Bahan Pakan Ternak Ruminansia. Jurnal Ilmu Ternak. Vol 6(2):1
Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Yusrin dan Ana Hidayati Mukaromah. 2010. Proses HIidrolisis Onggok dengan
Variasi Asam pada Pembuatan Etha. Fakultas Ilmu Keperawatan dan
Kesehatan. Universitas Muhammadiyah Semarang.

You might also like