You are on page 1of 6

PEMBAHASN PEMBANGUNAN WADUK JATIGEDE DAN DAMPAKNYA

TERHADAP LINGKUNGAN
Oleh : Muhammad Hidayat MY (D121 14 508)
Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin

Latar Belakang Dibangunnya Waduk Jatigede


Waduk Jatigede merupakan sebuah waduk yang berada di Kabupaten Sumedang. Pembangunan
waduk ini telah direncanakan sejak tahun 1963. Waduk ini dibangun dengan membendung aliran
Sungai Cimanuk di wilayah Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat.
Lokasi proyek pembangunan Waduk Jatigede merupakan bagian wilayah Sungai Cimanuk-
Cisanggarung mencakup daerah aliran sungai Kabupaten Garut, Sumedang, Majalengka, Cirebon,
Indramayu, Kuningan, dan Brebes di Provinsi Jawa Tengah. Letak dam proyek pembangunan
Waduk Jatigede terletak di Kampung Jatigede Kulon Desa Cijeungjing Kecamatan Jatigede
Kabupaten Sumedang. Adapun lahan yang dibutuhkan seluas4.891,13 hektar yang meliputi 5
(lima) kecamatan atau 26 (dua puluh enam) desa (Nureni, 2011).
Kebijakan pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan waduk Jatigede di Kabupaten
Sumedang, diindikasikan akan menghasilkan angka pertumbuhan yang baik tetapi tidak berarti
menaikkan kesejahteraan ekonomi masyarakat di sekitar proyek pembangunan besar. Sebagai
pemikiran Arthur Lewis tentang pertumbuhan ekonomi akan hanya bertumpu pada produktivitas
yang relatif bergantung kepada jumlah keberadaan tenaga kerjanya. Namun, pada kenyataannya,
pertumbuhan di beberapa pengalaman hanya dilihat dari kondisi surplus yang tidak penting itu
milik siapa, sehingga cirri-cirinya adalah jika secara agregat terindikasi kenaikan angka
prtumbuhan, maka tidak akan demikian jika dilihat dari masing-masing individu. Didalam wacana
kapitalisme, ketika upah buruh naik, tidak sama dengan terjadi penurunan angka kemiskinan,
bahkan akan terus memperparah kondisi ketimpangan upah. Sekilas yang dikatakan oleh Arthur
Lewis diatas bisa saja terjadi sebagai dampak dari pembangunan waduk Jatigede, karena
walaupun tertulis akan menanggulangi masalah banjir yang sekaligus akan mengatasi krises air
dan listrik di wilayah sekitarnya, pembangunan waduk Jatigede sesungguhnya hanya menargetkan
stabilitas angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada akhir rentang 2011-2025. Paling tidak, bisa
diurai satu persatu mengapa fenomena itu bisa terjadi, yaitu dengan melihat pelaksanaan
pembangunan waduk ini dilihat dari sisi peran negara dalam pembangunan ekonomi dan melihat
lebih jauh tentang konsep pertumbuhan apa yang dianut di dalam pelaksanaan MP3EI. Kedua hal
tersebut, yaitu peran negara dan konsep pertumbuhan menjadi kerangka analisis untuk melihat
kasus pembangunan waduk Jatigede di dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia.
Rencana dan pelaksanaan pembangunan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat
sudah dimulai sejak tahun 1960-an2 dan akhir tahun 2014 yang lalu, rencana ini berhasil
direalisasikan dibawah pemerintahan Presiden Jokowi-JK (Setkab RI 2015). Rencana
pembangunannya diawali dengan rencana pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk3
pada tahun 1963, yang diperkuat dengan hasil penelitian seorang geolog Amerika yang
mengindikasikan kelayakan wilayah untuk pembangunan waduk (Geological Survey 1966).
Kemudian diperkuat dengan rekomendasi hasil penelitian yang dilakukan oleh konsultan teknis
dari Belanda (NEDECO), Snowy Mountains Engineering Corporation (SMEC) pada tahun 1973
(Colenco Power Engineering LTD & PT Indra Karya 2000), sekaligus merupakan rangkaian studi
kelayakan yang diprakarsai oleh Bank Dunia yang dokumennya selesai pada tahun 1975
Waduk Jatigede sejak awal inisiatifnya akan memenuhi empat tujuan yang tidak hanya akan
bermanfaat bagi rakyat dan wilayah pertaniaan di kabupaten Sumedang saja, melainkan di
kabupaten-kabupaten disekitarnya juga. Waduk Jatigede yang dibangun di Kabupaten Sumedang
ini menenggelamkan 26 desa yang berada di kecamatan Jatigede, Darmaraja, Wado, Jatinunggal
dan Cisitu (berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 1/2015, pasal 1)5. Waduk ini,
sebagaimana yang tertera dalam Perpres No. 1 tahun 2015 tentang Penanganan Dampak Sosial
Kemasyarakatan Waduk Jatigede, akan memberikan manfaat yang besar bagi ekonomi dan sosial
berupa irigasi, penyediaan air baku, pembangkit listrik tenaga air, dan pengendalian banjir serta
manfaat lainnya bagi masyarakat. Waduk ini akan mengairi sawah-sawah yang ada di wilayah
utara Jawa Barat sekaligus untuk menanggulangi banjir yang kerap kali terjadi di wilayah yang
sama. Posisinya sangat strategis di lokasi cekungan dimana wilayah aliran sungai Cimanuk
berada, yaitu di wilayah Jatigede yang meliputi 5 kecamatan dan 28 desa.
Ide utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas produksi pertanian Indonesia, yang salah
satunya terkonsentrasi di wilayah Jawa Barat, khususnya bagian utara. strateginya adalah
memanfaatkan aliran sungai Cimanuk yang bermuara di laut Jawa di wilayah Cirebon dan
Indramayu. Waduk Jatigede ini berada di wilayah aliran sungai Cimanuk (Daerah Aliran Sungai
Cimanuk/DAS Cimanuk), yang pemeliharaannya sudah dicanangkan sejak tahun 1960-an, dimana
waduk Jatigede menjadi salah satu strategi untuk tujuan pemeliharaannya. Misalnya untuk
pemeliharaan di wilayah Rentang (Cirebon), dilakukan sejak tahun 1964 (Colenco Power
Engineering LTD & PT Indra Karya 2000, 2-3). Mengingat pentingnya pemeliharaan irigasi ini,
maka sejumlah pendanaan diusahakan dengan keterlibatan beberapa lembaga keuangan
internasional (IDA 1968, 2-3, IBRD 1968, 1 dan 5). Termasuk Bank Dunia yang menggelontorkan
dana pinjamannya pada tahun 1969 (The World Bank 1975, IBRD 1975, Annex 4, IBRD 1975,
8). Yang terus berlanjut hingga tahun 1980-an dengan atau tanpa pinjaman Bank Dunia dengan
berbagai cara, misalnya pembangunan tanggul-tanggul penahan banjir serta saluran irigasi untuk
mengairi wilayah persawahan di daerah Cirebon dan Indramayu (Proyek Irigasi yang didanai oleh
Bank Dunia hingga akhir dekade 1980-an6).
Konflik yang Muncul dalam Pembangunan.
Pembangunan Waduk Jatigede mulai digagas pada masa-masa awal pemerintahan Orde Baru di
penghujung dekade 1960-an. Tapi pembebasan lahan baru dilakukan pada 1982. Namun, selama
ini pembangunannya terkendala karena menimbulkan permasalahan yang cukup kompleks.
Menurut catatan LBH Bandung, yang aktif mendampingi warga tergusur, permasalahan muncul
antara lain karena warga dirugikan. Tidak ada proses tawar-menawar terkait pengadaan lahan
untuk bendungan. Program transmigrasi yang sempat diwacanakan pun gagal dijalankan.
Menjelang tahun 2000-an, penolakan warga kian meluas. Kali ini tidak hanya dipicu oleh proses
pembebasan lahan yang tidak fair, melainkan juga karena pembangunan waduk akan
menenggelamkan lahan-lahan produktif pertanian sawahyang selama ini menjadi mata
pencaharian wargadan cagar-cagar budaya yang terdapat di sana. Program MP3EI-lah yang
kemudian membangkitkan kembali proyek pembangunan waduk yang semula gagal dan sempat
dihentikan ini. Program akselerasi pembangunan yang digagas Bappenas dan Menko
Perekonomian di era Pemerintahan SBY-Boediono ini membuka jalan yang efektif untuk
mempercepat proyek. Sebabnya tak lain karena MP3EI melalui mekanisme yang disebut de-
bottlenecking dapat memotong kompas semua peraturan daerah. Pemerintah daerah tak bisa
berbuat apa-apa karena pembangunan waduk mengatasnamakan kepentingan nasional.
Sayangnya, proses pembangunan waduk dilakukan tanpa melalui tahapan-tahapan yang
transparan, akuntabel, dan partisipatif, lantaran menolak untuk dilakukan uji (konsultasi) publik
terhadap pembangunan waduk. Padahal, pembangunan waduk akan menggenangi 28 desa yang
tersebar di 4 kecamatan dengan jumlah populasi mencapai 11.000 keluarga. Dari jumlah itu,
terdapat 6 desa yang bakal ditenggelamkan, yaitu Leuwihideung, Cipaku, Jatibungur, Cibogo,
Sukakersa, dan Padajaya. Keenam desa ini umumnya memiliki lahan produktif dengan luas area
persawahan yang terhampar di mana-mana.
Ide pendirian waduk Jatigede, sejak awal sudah ada perdebatan para ahli geologi yang terkait
dengan layak atau tidaknya waduk dibangun di lokasi tersebut. Studi kelayakan yang dibuat oleh
Lembaga Geologi Indonesia mengindikasikan bahwa pembangunan waduk Jatigede hanya akan
berhasil jika memenuhi prasyarat lainnya yang harus dipenuhi. Waduk Jatigede sangat potensial
jika sebelumnya dibangun sejumlah waduk kecil untuk menunjang efektivitas bekerjanya waduk
(Anderson 1966), sehingga pada tahun 1963, Presiden Soekarno pun hanya mampu
merealisasikan Pembangkit Listrik tenaga Turbin sebagai alternatif untuk mengatasi persoalan
irigasi di wilayah utara Jawa Barat (Tim Penyelesaian Dampak dan Pengosongan Waduk Jatigede
2013). Walaupun demikian, akhirnya Waduk Jatigede tetap direalisasikan dan dimulai dengan
penyiapan instrument kebijakan untuk memuluskan proses persiapannya. Dimulai dengan
penetapan lokasi pembangunan waduk, melalui Perda No. 293/AI/2/T.Pra/75 tanggal 26
September 1975 (yang diperbarui tahun 1981 dan 2000) (LBH Bandung 2003) dan instrumen
pelapasan hak atas tanah yang selama ini menjadi lahan garapan dan pemukiman warga, yang
sejalan dengan proses pembebasan lahan yang dibagi menjadi 3 tahap, yaitu tahun 1982-1986
dengan landasan hukum pembebasan lahannya Permendagri No. 15/1975, lalu tahun 1990-an
dengan Keppres No. 55/1993, dan terakhir pada era pemerintahan Jokowi, dimulai dengan Perpres
No. 36/2005 (diperbarui Perpres No. 65/2006) dan terakhir Perpres No. 1/2012 yang diperkuat
dengan Perpres No. 1/2015 tentang Penanganan Dampak sosial pembangunan waduk Jatigede.
Warga menolak direlokasi karena dua alasan: 1) besaran ganti rugi yang tidak fair; dan 2) lahan
yang akan mereka tempati kelak tidak layak ditinggali; sementara daerah yang mereka tinggali
selama ini merupakan lahan produktif yang menghasilkan produk-produk pertanian (padi) yang
bermutu. Dengan demikian, adanya pembangunan Waduk Jatigede akan memicu perubahan
kultur dari agraris ke industri. Namun, mengingat daya serap sektor jasa dan industri sangat
terbatas, kemungkinan warga akan beralih menjadi pelaku sektor informal atau menjadi TKI. Dua
pilihan yang berisiko besar, bahkan rentan untuk terjerembab ke dalam praktik human trafickking.
Kenyataan di lapangan, gejolak masih berlangsung terkait pemberian kompensasi ganti rugi dan
uang kerahiman yang belum tuntas. Menyadari situasi ini, mengawali tahun 2015, Presiden Joko
Widodo langsung menandatangani Perpres No. 1 Tahun 2015 tentang Penanganan Dampak Sosial
Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede pada 2 Januari silam. Dengan terbitnya Perpres
ini, setiap KK yang tanah dan tempat tinggalnya terdampak pembangunan waduk dijanjikan
mendapat kompensasi Rp 119 juta dan uang santunan sebesar Rp 29 juta untuk setiap kepala
keluarga (KK). Hanya saja, terbitnya Perpres No. 1 Tahun 2015 masih menyisakan persoalan.
Pasalnya, Perpres ini tidak mengatur secara rinci penyelesaian dampak sosial ketika pembebasan
lahan dilakukan antara 1982-1986. Padahal, warga menilai masalah ini krusial karena pembebasan
lahan pada saat itu dalam prosesnya terjadi salah ukur, salah bayar, salah klasifikasi tanah, serta
terdapat tanah warga yang terlewat pembebasan lahan.
Permasalahan Lingkungan Yang Muncul
Sementara dari sisi lingkungan, berdasarkan investigasi Walhi Jawa Barat, pembangunan waduk
juga akan menenggelamkan lahan hutan lindung (milik Perhutani). Dari sisi geologis, waduk ini
berdiri di atas patahan yang manakala digenangi air di atasnya sangat berisiko mendatangkan
bencana. Dadan Ramdan, Ketua Walhi Jabar, mengatakan, ke depannya pembangunan waduk di
daerah aliran sungai Cimanuk yang kondisinya sangat kritis ini akan berpengaruh pada pasokan
air. Tak hanya itu, menurut catatan Walhi Jawa Barat, dengan adanya pembangunan Waduk
Jatigede sedikitnya 1.389 hektare hutan produktif yang menopang tatanan ekologis sekitar waduk
pun terancam rusak. Dengan menimbang berbagai faktor tersebut, dari segi keberlanjutan
ekologis, sesungguhnya tidak memungkinkan pembangunan waduk
di atas kondisi lahan demikian, terlebih ketika musim kemarau (debit air sangat kurang).
Bagaimanapun, pemerintah masih optimis bahwa proses pemberian kompensasi ini akan berjalan
lancar hingga mendekati saat waduk mulai digenangi. Pun tak pernah menyurutkan optimisme
pemerintah pada manfaat waduk yang dibangun dengan biaya Rp 2,57 triliun ini di masa
mendatang. Setidaknya terdapat 3 (tiga) kontribusi besar waduk yang selama ini selalu didengung-
dengungkan pemerintah dan para pendukungnya: mendongkrak produksi ketenagalistrikan
(hingga 110 megawatt), menambah pasokan air minum, dan saluran irigasi yang dapat mengairi
100.000 ha sawah. Kendati akan digenangi dalam waktu dekat, hingga akhir Mei ini belum ada
relokasi penduduk sama sekali dari keenam desa tersebut. Padahal mereka terancam kehilangan
tempat tinggal dan mata pencahariannya dalam jangka panjang. Tak ayal, jika mereka menuntut
konsep relokasi yang lebih menjamin kehidupan mereka dan pengembangan ekonomi. Sebuah
tuntutan yang masuk akal karena sebagian besar warga desa adalah para petani yang belum tentu
dapat memperoleh matapencaharian lagi di tempat baru kelak. Ironisnya, Perpres No. 1 Tahun
2015 tentang Pengendalian Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede tidak
mengatur sama sekali konsep relokasi dan pengembangan ekonomi bagi warga yang tergusur.
Masalah Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
Manfaat Waduk Jatigede begitu besar bagi kepentingan umum yang mana direncanakan untuk
dimanfaatkan sebagai pengaman banjir 14.000 hektar, jaringan air irigasi 90.000 hektar,
Pembangkit Listrik Tenaga Air 110 Megawatt, dan air baku 3.500 liter per detik. Namun, dalam
praktiknya proses pengadaan tanah untuk pembangunan Waduk Jatigede yang telah dilakukan
dari tahun 1982 yang mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No 15 tahun 1975
mengalami berbagai kendala, hingga berakhir dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor
1 Tahun 2015 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan Waduk
Jatigede. Dengan terbitnya Peraturan Presiden tersebut maka ditetapkan peraturan turunannya,
yakni Keputusa Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 258/KPTS/M/2015
dan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor S-396/MK.02/2015.
Kemudian direalisasikan dalam kebijakan daerah Provinsi yang tertuang dalam Surat Keputusan
Gubernur Jawa Barat Nomor 611.1/ Kep.386-Bappeda/2015 yang menetapkan kriteria
masyarakat terkena dampak pembangunan Waduk Jatigede yang memperoleh uang ganti rugi
dan uang kerohiman/santunan. Penetapan realisasi melalui surat keputusan gubernur Jawa Barat
tersebut perlu dioperasionalkan secara tepat sehingga dapat meminimalisir timbulnya konflik
sosial, yang antara lain disebabkan kurang tahunya masyarakat terhadap adanya surat keputusan
tersebut dan kurang jelasnya prosedur dalam proses ganti rugi dalam surat keputusan gubernur
tersebut. Lebih dalam lagi, jika operasionalisasinya tidak tepat dapat menganggu proses
percepatan pembangunan waduk tersebut.

Beberapa Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat terkait Pembangunan Waduk Jatigede dari
segi operasionalisasi dan realisasinya
DAFTAR PUSTAKA

Dicky Fransisco Simanjuntak dan Masmian Mahida, Dampak Kebijakan dalam Pembangunan
Waduk Jatigede.

Lina Marina, dkk. 2016. Dalih pembangunan untuk kesejahteraan rakyat: studi kasus
pembangunan waduk jatigede di kabupaten sumedang, jawa barat

You might also like