You are on page 1of 24

Tinjauan Pustaka

MANAJEMEN POST OPERASI PADA ANESTESI RAWAT JALAN

Ibnu Siena Samdani, Widya Istanto

Departemen / SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif

FK Undip / RSUP Dr.Kariadi Semarang

Pendahuluan

Ambulatory anesthesia adalah pelayanan anestesia untuk pembedahan, yang secara

medis diduga tidak akan memerlukan perawatan menginap pascabedah. Dalam

bahasa Indonesia, ambulatory anesthesia disamakan dengan pengertian anastesi

tanpa rawat inap atau pasien ODC (One-day Care).

Beberapa faktor yang mendorong perkembangannya yaitu: 1. Makin meningkatnya

biaya perawatan (rawat inap) di rumah sakit. Perawatan ambulatory dapat menekan

biaya perawatan dan pengobatan sampai 40-80%. 2. Jumlah tempat tidur di rumah

sakit makin terbatas, dibanding dengan pertambahan penduduk. 3. Pengadaan

rumah sakit dengan segala sarananya memerlukan biaya besar. 4. Mengurangi dan

mencegah risiko infeksi nosokomial. 5. Mempersingkat terpisahnya pasien

(terutama anak-anak) dengan keluarga atau kenalannya. 6. Menumpuknya jadwal

pembedahan.

Departemen atau klinik ambulatory ini dapat merupakan: 1. Satu kesatuan (unit)

tersendiri baik kamar bedah maupun ruang perawatannya di dalam satu rumah sakit

besar. 2. Mempunyai ruang perawatan khusus dan tersendiri tetapi masih

menggunakan kamar bedah umum di dalam rumah sakit besar. 3. Satu klinik
terpisah yang berdiri sendiri tetapi mempunyai rumah sakit besar untuk rujukan jika

terjadi komplikasi.

Pemilihan teknik anestesi

Pemilihan suatu teknik anestesi didasarkan pada kondisi kesehatan pasien, prosedur

pembedahan serta keinginan dan permintaan pasien, bila memungkinkan. Dalam

bedah rawat jalan terdapat beberapa teknik anestesi yang dapat dipilih:

1. Anestesi umum

2. Anestesi regional, dengan atau tanpa sedasi

3. Monitored Anestesi Care (MAC), anestesi lokal yang disertai dengan sedasi,

ahli anestesi memonitor tanda vital serta fungsi tubuh pasien

4. Anestesi lokal, mungkin tidak disertai oleh ahli anestesi dalam tim

pembedahan

Ahli anestesi akan mendiskusikan resiko dan keuntungan masing-masing teknik

dengan pasien, dan berdasarkan informasi yang dikumpulkan ahli anestesi pada

waktu skrining dan evaluasi prabedah pilihan anestesi yang terbaik akan

didiskusikan dengan pasien. Teknik anestesi yang optimal pada bedah rawat jalan

harus memenuhi kriteria:

1. Menciptakan kondisi pembedahan yang prima.

2. Pemulihan yang cepat (rapid recovery).

3. Tidak ada efek samping pascabedah.

4. Kepuasan pasien.
Disamping itu, teknik anestesi yang dipakai harus mengambil peran dalam

peningkatan kualitas serta penurunan biaya, meningkatkan efisiensi penggunaan

kamar operasi, serta pemulangan pasien yang lebih cepat tanpa efek samping.

Belakangan, penggunaan Monitored Anesthesia Care (MAC) lebih dipilih oleh

banyak ahli anestesi sebagai alternatif dari anestesi umum dan anestesi regional

pada bedah rawat jalan.

Dikenalkannya obat-obat anestesi yang lebih rapid dan shorter-acting seperti

volatile anestesi (desfluran dan sevofluran), analgetik opioid (remifentanil) dan

pelemas otot (rapacuronium) memberi peluang bagi ahli anestesi untuk lebih

konsisten mencapai kondisi pemulihan yang lebih ideal setelah tindakan anestesi

umum.

Induksi anestesi sering dilakukan dengan propofol. Propofol menjadi drug of choice

pada anestesi bedah rawat jalan. Setelah bolus saat induksi konsentrasi propofol

menurun secara cepat dalam plasma. Propofol juga memiliki klirens metabolik yang

cepat, sekitar 10x lebih cepat dibanding thiopental. Rasa sakit akibat suntikan dapat

dikurangi dengan pemakaian vena besar atau didahului maupun dicampur

pemberiannya dengan lidokain. Propofol juga sering dipakai untuk maintenance

anestesi. Pemakaian propofol sebagai maintenance mengurangi insidensi PONV

bila dibandingkan dengan maintenance anestesi dengan inhalasi. Etomidat juga

sering dipakai pada induksi bedah rawat jalan dengan dosis 0,3 mg/kgbb. Masalah

nyeri akibat etomidat sekarang dapat dikurangi dengan mengganti pelarut etomidat

dengan trigliserida rantai sedang, sedangkan masalah mioklonus dapat diatasi

dengan pemberian fentanil, sufentanil sebelum induksi anestesi.


Sevofluran dengan sifat tidak iritatif terhadap saluran napas dan solubility yang

rendah dapat digunakan sebagai induksi inhalasi yang cepat dan aman. Insidensi

kejadian komplikasi respirasi sangat rendah sedangkan kualitas induksinya sama

baik bahkan lebih dibandingkan halotan.

Pemberian pelemas otot yang bersifat intermediate atau short acting non-

depolarizing lebih disukai daripada suksinil kolin karena kemungkinan adanya

mialgia, malignant hipertermi, dan hiperkalemia. Walau demikian, suksinil kolin

memberikan onset yang paling cepat dan terutama digunakan bila ada risiko aspirasi

isi lambung. Reversal pelemas otot non-depolarisasi harus diberikan bila ada

keraguan bahwa masih ada efek relaksasi otot. Tetapi harus diingat bahwa

pemberian prostigmin dapat meningkatkan kejadian muntah.

Opioid yang sering digunakan adalah fentanil untuk tambahan analgesi selama

anestesi. Bila tersedia lebih baik remifentanil karena memiliki lama kerja yang lebih

singkat dibanding fentanil dan tidak memiliki efek kumulatif.

Walaupun pertimbangan pada anestesi bedah rawat jalan harus dicapai rapid

recovery dan cost effectiveness menyebabkan penggunaan obat anestesi dibatasi,

kejadian awareness dan recall pada bedah rawat jalan dengan anestesi umum tidak

meningkat dibanding bedah rawat inap, dengan dosis dan tatalaksana anestesi yang

sama.

Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa anestesi regional lebih aman daripada

anestesi umum. Anestesi regional yang biasa dipakai untuk bedah rawat jalan

adalah spinal anestesi, epidural anestesi, caudal anestesi, blok saraf tepi, regional

anestesi intravena dan infiltrasi.


Faktor utama yang menyebabkan keterlambatan pemindahan pasien (discharge)

dengan anestesi spinal sebelumnya adalah pemulihan dari residual blokade motorik,

efek simpatolitik dari blok subarakhnoid, berperan dalam delayed ambulation serta

void inability. Efek samping ini dapat diminimalisasi dengan pemakaian teknik

spinal anestesi mini-dose lidocaine fentanyl, lidokain dosis lebih kecil (15-30 mg)

atau bupivakain (3-6 mg) dikombinasi dengan opioid (fentanil 12,5-25 g atau

sufentanil 5-10 g) menghasilkan efek pemulihan motorik dan bladder function

lebih cepat dibanding dosis konvensional anestesi lokal tunggal. Teknik ini mampu

meningkatkan cost-effectiveness pada bedah rawat jalan. Tetapi, efek samping

seperti pruritus dan nausea akan meningkat dengan penggunaan fentanil walaupun

dalam dosis kecil pada blok subarakhnoid. Permasalahan lain dari spinal anestesi

termasuk back pain, PDPH, dan transient radicular irritation karena lidokain.

Kombinasi antara low cost dan kepuasan pasien yang menggambarkan kualitas

terbaik dari prosedur anestesi mungkin dapat dicapai dengan teknik Monitored

Anesthesia Care (MAC) dengan syarat anestesi pada prosedur pembedahan tersebut

dapat dicapai dengan teknik ini (seperti bedah superficial dan prosedur endoskopi).

Perkembangan dalam teknik sedasi dan analgesi untuk melengkapi anestesi lokal

infiltrasi telah meningkatkan penggunaan teknik MAC dalam pembedahan.

Kepuasan pasien dengan teknik MAC juga berhubungan dengan efektifitas

terhadap pengendalian nyeri dan tidak adanya efek samping pascabedah yang

umum terjadi pada teknik anestesi spinal atau anestesi umum. Keberhasilan teknik

MAC bukan hanya tergantung dari ahli anestesi tetapi juga kemampuan ahli bedah

dalam melakukan infiltrasi lokal yang efektif serta gentle handling terhadap
jaringan tubuh selama introperatif. Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa

teknik MAC lebih cost-effective daripada anestesi spinal atau anestesi umum.

Konsep Fast-track anesthesia

Konsep fast-track dalam pembedahan pertama kali diperkenalkan pada awal tahun

1990. Dengan konsep ini maka pasien dapat pulang lebih cepat dari rumah sakit dan

melakukan aktifitas normalnya setelah menjalani operasi. Prinsip utama pada fast-

track anesthesia adalah pasien tidak melewati PACU (fase I recovery), pasien

langsung dipindahkan dari kamar operasi menuju ruang pemulihan fase 2 (fase II

recovery). Fast-track anesthesia tumbuh karena kebutuhan untuk pengendalian

biaya kesehatan, tetapi keuntungan paradigma ini lebih besar daripada hanya

pengurangan biaya perawatan, termasuk juga outcome dan kepuasan pasien.

Meningkatnya penggunaan teknik bedah minimally invasive, perkembangan obat-

obat baru termasuk yang mula kerjanya cepat, durasi kerja lebih cepat, obat-obatan

analgesik dan pelemas otot merupakan bagian dalam perkembangan fast-track

anesthesia.

Keuntungan fast-track anesthesia:

Pemulihan cepat

Mengurangi lama tinggal di rumah sakit

Mengurangi kebutuhan monitoring dan lembar observasi

Mengizinkan pasien kembali dengan cepat ke lingkungan yang lebih

menyenangkan

Mengurangi biaya perawatan di ruang pemulihan


Kerugian fast-track anesthesia:

Kehilangan pendapatan rumah sakit

Meningkatnya risiko komplikasi pascabedah

Diperlukan training perawat

Meningkatnya kerja perawat di ruang pemulihan fase 2

Memerlukan pemulihan yang tepat dari anestesi.

Sebuah kriteria untuk menentukan apakah pasien layak untuk fast-track anesthesia

telah dibuat, karena penggunaan Modified Aldrete Score yang biasa digunakan

sebagai kriteria discharge pasien dari PACU tidak adekuat digunakan pada pasien

bedah rawat jalan terutama dengan anestesi umum karena tidak mencakup

komplikasi yang biasa terjadi di PACU (seperti: nyeri, mual, dan muntah). Didalam

sistem skoring tersebut pasien yang layak untuk fast-track adalah pasien dengan

nilai dari semua kriteria >12 dan tidak ada nilai 0. Fast-track scoring system baru

ini memiliki kelebihan dibanding modified Aldretes scoring system dalam

penilaian kelayakan pasien bedah rawat jalan untuk bypassing PACU setelah

menjalani bedah rawat jalan dengan anestesi umum.

Tabel 1. Fast Track Criteria yang diusulkan untuk menentukan pasien dapat
ditransfer langsung dari kamar bedah ke ruang pemulihan fase II.
Kesadaran Nilai
Sadar penuh 2
Respon terhadap rangsang minimal 1
Respon hanya bila dirangsang fisik 0
Aktifitas fisik
Mampu menggerakan semua anggota gerak sesuai perintah 2
Ada kelemahan pada bagian anggota gerak 1
Tidak mampu menggerakkan semua anggota gerak 0
Stabilitas hemodinamik
Tekanan darah, 15% dari nilai MAP awal 2
Tekanan darah, 15%30% dari nilai MAP awal 1
Tekanan darah, > 30% dari nilai MAP awal 0
Stabilitas respirasi
Mampu bernafas dalam 2
Takipneu tapi mampu batuk 1
Dispneu dan tidak mampu batuk 0
Saturasi oksigen
Saturasi > 90% dengan udara bebas 2
Saturasi > 90% dengan bantuan oksigen via nasal canul 1
Saturasi < 90% dengan oksigen tambahan 0
Nyeri pascabedah
Tidak ada atau minimal 2
Nyeri sedang sampai berat dengan tambahan analgetik IV 1
Nyeri berat yang menetap 0
Muntah pascabedah
Tidak ada atau mual minimal tanpa muntah 2
Muntah kadang-kadang 1
Muntah sering dengan derajat sedang sampai berat 0
Nilai total 14

Penggunaan teknik anestesi yang berhubungan dengan rapid recovery akan

menghasilkan lebih sedikit pasien yang tetap tersedasi dalam pada fase awal

pascabedah, mengurangi resiko obstruksi jalan napas dan gangguan

kardiorespiratori, dan menurunkan intervensi perawat. Dengan menurunnya

intervensi dari perawat pada fase awal pascabedah ini maka tenaga perawat dapat

dikurangi pada ruang pemulihan, sehingga penghematan biaya dapat dilakukan.

Penggunaan analgetik non opioid (anestesi lokal, ketamin, NSAID, COX-2

inhibitor, asetaminofen) serta anti emetik (droperidol, metoclopramid, 5-HT3

antagonist, dexametason) secara preemptif akan mengurangi efek samping

pascabedah dan mempercepat kedua fase pemulihan setelah bedah rawat jalan.

Ahli anestesi memiliki peran penting dalam konsep fast-track dengan pendekatan

perioperative medical care. Peranan ahli anestesi tersebut yaitu melalui tindakan

dalam pemilihan pengobatan prabedah, obat dan teknik anestesi, penggunaan obat

profilaksis untuk meminimalisasi efek samping, serta pemberian obat-obatan untuk

memelihara fungsi organ selama dan setelah operasi. Keputusan ahli anestesi
sebagai seorang pengelola perioperatif sangat penting bagi tim pembedahan untuk

mencapai kesuksesan program fast-track dalam pembedahan.

Pemulihan (Recovery)

Pemulihan adalah suatu proses yang secara tradisional dibagi atas 3 bagian yang

saling tumpang tindih yaitu early recovery, intermediate recovery, dan late

recovery. Early recovery dimulai dari dihentikannya obat anestesi supaya pasien

bangun, kembalinya refleks proteksi jalan napas, dan dimulainya aktifitas motorik.

Intermediate recovery bila sudah mencapai kriteria untuk dapat dipulangkan ke

rumah. Late recovery mulai dari dipulangkan sampai pulihnya fungsi fisiologis ke

keadaan seperti sebelum pembedahan.

Aldrete merancang suatu sistem skoring untuk menentukan kapan pasien fit untuk

keluar dari PACU. Nilai skoring 0, 1, atau 2 ditujukan untuk aktifitas motorik,

respirasi, sirkulasi, kesadaran, dan warna kulit. Total skor maksimalnya 10.

Penggunaan pulse oksimetri dapat menolong lebih akuratnya indikator oksigenasi,

dan diusulkanlah suatu modifikasi skoring aldrete yang mengganti kriteria warna

pada Aldrete skor dengan SpO2 pada modifikasi sistem skoring Aldrete.

Table 2. Modified Aldrete Scoring System


Aktifitas: mampu menggerakkan ekstremitas
4 ekstremitas 2
2 ekstremitas 1
0 ekstremitas 0
Respirasi
Mampu nafas dalam dan batuk 2
Dispneu atau nafas terbats 1
Apneu 0
Sirkulasi
BP 6 20 mmHg dari nilai sebelum anestesi 2
BP 6 2050 mmHg dari nilai sebelum anestesi 1
BP 6 50 mmHg dari nilai sebelum anestesi 0
Kesadaran
Sadar penuh 2
Respon bila dipanggil 1
Tidak ada respon 0
Saturasi oksigen
Saturasi oksigen > 92% dengan udara bebas 2
Saturasi oksigen > 90% dengan bantuan oksigen tambahan 1
Saturasi oksigen < 90% walaupun dengan oksigen tambahan 0

Tersediannya obat-obatan anestesi yang lebih cepat onset serta lebih pendek

durasinya (seperti propofol, sevofluran, desfluran, dan remifentanil) membuka

jalan untuk pemulihan yang lebih cepat setelah anestesi umum, penggunaan

analgetik preemtif non opioid (seperti anestesi lokal, ketamin, NSAID, COX-2

inhibitors, ibuprofen, dan parasetamol) serta antiemetik (seperti droperidol,

metoklopramid, 5-HT3 antagonist, dan deksametason) akan mengurangi efek

samping pascabedah serta akan mempercepat pemulihan pada early dan late

recovery pada bedah rawat jalan.

Kemajuan teknik bedah rawat jalan telah melahirkan suatu konsep baru yaitu fast-

track yang menyebabkan pasien tidak harus melewati PACU untuk menjalani fase

I recovery. Dengan teknik fast-track pasien dari kamar bedah langsung di

pindahkan ke ruang pemulihan fase II tanpa melalui PACU, sehingga biaya di

PACU tidak ada, yang berarti akan menekan biaya sehingga akan menguntungkan

pasien. Kriteria yang dipakai untuk fast-track ini berbeda dengan modifikasi sistem

Aldrete (tabel 1). Sistem skoring ini mempertimbangkan faktor nyeri dan muntah,

suatu efek samping yang sering terjadi di PACU.

Pemulangan (Discharge)

Program bedah rawat jalan yang sukses tergantung pada pemulangan pasien yang

tepat waktu setelah anestesi. Beberapa kriteria yang telah dibuat untuk menentukan
kesiapan pasien untuk dipulangkan seperti Guidelines for Safe Discharge After

Ambulatory Surgery dan PADSS (Post Anesthesia Disharge Scoring System).

PADSS merupakan suatu sistem skoring yang secara objektif menilai kondisi

pasien untuk dipulangkan. Modifikasi PADSS dibuat karena dalam kriteria PADSS

terdapat ketentuan mampu minum pascabedah, dimana ketentuan minum

pascabedah tidak lagi dimasukkan kedalam protokol kriteria pemulangan pasien

dan hanya diperlukan pada pasien tertentu. Modifikasi PADSS berdasarkan 5

kriteria, yaitu:

1. Tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, frekuensi napas, temperature)

2. Ambulasi

3. Mual/muntah

4. Nyeri

5. Perdarahan akibat pembedahan

Bila skor mencapai 9, pasien cukup aman untuk dipulangkan ke rumah.

Tabel 3. Modified PADSS


1. Tanda vital
2 = sekitar 20% dari nilai prabedah
1 = 20 40% dari nilai prabedah
0 = 40% dari nilai prabedah
2. Pergerakan
2 = mampu berdiri/tidak ada pusing
1 = dengan bantuan
0 = tidak ada pergerakan/pusing
3. Mual/muntah
2 = minimal
1 = sedang
0 = berat
4. Nyeri
2 = minimal
1 = sedang
0 = berat
5. Perdarahan
2 = minimal
1 = sedang
0 = berat
Total nilai 10. Bila nilai 9 pasien dinyatakan bisa dipulangkan

Tuntutan bahwa pasien harus kencing/voiding memperlambat pemulangan pasien.

Pasien bedah rawat jalan yang tidak berisiko terhadap retensi urin aman untuk

dipulangkan sebelum mereka mampu untuk kencing. Faktor resiko terjadinya

retensi urin pascabedah termasuk:

Riwayat retensi urin pascabedah

Anestesi spinal/epidural

Pembedahan pelvis/urologi

Kateterisasi perioperatif

Retensi urin pascabedah dapat disebabkan inhibisi refleks kencing akibat

manipulasi bedah, pemberian cairan yang berlebihan sehingga menyebabkan

distensi kandung kemih, nyeri, kecemasan, efek sisa dari anestesi spinal atau

epidural.

Menunggu pasien untuk bisa minum tanpa terjadi muntah juga memperlambat

pemulangan pasien. Penelitian mengenai masalah ini membuktikan bahwa tidak

terdapat pengaruh yang signifikan terhadap kejadian PONV pada pasien yang telah

memiliki toleransi untuk minum dengan yang tidak sebelum pasien dipulangkan.

Pemulangan pasien setelah anestesi regional

Sejumlah teknik anestesi regional dapat dipakai untuk bedah rawat jalan, mulai dari

anestesi spinal sampai ke blok ekstremitas. Pasien yang dilakukan anestesi regional

mempunyai kriteria pemulangan yang sama dengan pasien yang di anestesi umum.
Anestesi regional memiliki keuntungan dan masalah pada bedah rawat jalan.

Pemulangan pasien dengan regional anestesi lebih cepat daripada anestesi umum.

Kejadian PONV, dizziness, dan nyeri yang biasa terjadi pada anestesi umum lebih

rendah pada anestesi regional.

Anestesi spinal merupakan teknik yang simpel dan reliable dipergunakan secara

luas saat ini. Karena short-acting lidokain sering dipakai pada bedah rawat jalan

untuk anestesi spinal. Masalahnya lidokain yang dipakai untuk spinal anestesi dapat

menyebabkan kejadian TRI (Transient Radicular Irritation). Namun masalah ini

dapat dikurangi dengan metode spinal mini-dose, yaitu mencampur lidokain dosis

kecil dengan opioid (contohnya lidokain 15-30 mg dengan fentanil 12,5-25 g).

Kejadian PDPH (Post Dural Punctre Headache) akibat spinal juga menjadi masalah

pada bedah rawat jalan. Penggunaan jarum spinal yang lebih kecil (no. 29) dan jenis

pencil point akan mengurangi kejadian tersebut.

Sebelum pemulangan pasien bedah rawat jalan dengan anestesi spinal harus yakin

bahwa blok sensorik, motorik, dan simpatik telah mengalami regresi. Kriteria yang

dapat dipakai untuk menilai hal tersebut termasuk: sensasi normal perianal (S4-5),

fleksi plantar, propriosepsi pada ibu jari kaki.

Faktor yang memperlambat pemulangan pasien

Beberapa faktor dapat menjadi penyebab lambatnya waktu pemulangan pasien.

Meningkatnya umur dihubungkan dengan lambatnya pemulihan, suatu perbedaan

umur 10 tahun dihubungkan dengan 2% perubahan lama tinggal. Operasi THT,

strabismus, congestive heart failure merupakan prediktor prabedah yang penting

untuk lambatnya pemulangan.


Sebuah studi menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemulangan

pasien dewasa pada bedah rawat jalan adalah:

Perawat pada ruang pemulihan fase II, merupakan faktor paling penting

dalam menentukan waktu pemulangan setelah bedah rawat jalan dengan

anestesi umum. Pelatihan perawat yang adekuat, standarisasi tugas

perawat, umpan balik yang positif, insentif untuk meningkatkan efisiensi,

akan membawa pengaruh besar dalam menurunkan waktu pemulangan

pasien.

Orang dewasa pendamping pasien.

Pengaruh anestesi termasuk pengelolaan nyeri, mual dan muntah serta

drowsiness. Pemilihan teknik dan obat-obatan anestesi juga mempunyai

pengaruh besar dalam menurunkan waktu pemulangan yang disesuaikan

dengan jenis operasi dan jenis kelamin pasien.

Penanganan komplikasi pascabedah

Pengelolaan nyeri

Penanganan yang tidak adekuat terhadap komplikasi pascabedah seperti nyeri dan

PONV akan memperlambat waktu pemulangan pasien pada bedah rawat jalan.

Kemajuan dalam pengendalian nyeri pascabedah akan mempercepat normalisasi

kualitas dan fungsi kehidupan yang biasanya didapatkan setelah berminggu-minggu

setelah operasi elektif. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkatan nyeri pada

bedah rawat jalan antara lain jenis pembedahan dan anestesi, analgetik yang

diberikan saat anestesi, faktor demografi pasien, riwayat analgetik (toleransi

analgetik), serta respon emosional dan fisiologi terhadap nyeri itu sendiri.
Pengelolaan nyeri pascabedah harus dimulai intraoperatif atau idealnya saat

prabedah untuk menjamin pemulihan yang bebas nyeri.

Penggunaan analgetik opioid pada perioperatif berhubungan dengan kejadian

toleransi opioid akut dan hiperalgesia, hipoventilasi, sedasi, mual dan muntah,

retensi urin, dan ileus yang akan memperlambat waktu kepulangan pasien dari

rumah sakit serta menambah biaya pengobatan.

Analgesi multimodal yang dikembangkan sekarang ini melibatkan penggunaan

lebih dari satu macam penanganan nyeri guna mendapatkan efek sinergis analgetik

dalam upaya menurunkan efek samping yang berhubungan dengan penggunaan

opioid. Teknik multimodal analgesi ini terbukti mampu meningkatkan pemulihan

serta outcome pasien setelah bedah rawat jalan dan telah menjadi standar dalam

pelaksanaan prosedur fast-track.

Mengingat banyaknya efek samping yang berhubungan dengan penggunaan opioid

sebagai analgetik maka ketertarikan terhadap penggunaan NSAID yang poten

(seperti diklofenak, ketorolak) menjadi meningkat, yang terbukti efektif

menurunkan kebutuhan obat analgetik oral opioid-containing pada bedah rawat

jalan. Obat analgetik non steroid oral yang lebih murah (seperti ibuprofen,

naproxen) dapat diterima sebagai alternatif pengganti fentanil dan obat NSAID non

selektif parenteral jika diberikan sebagai preemtif. Penambahan ketamin dosis

rendah (75-150 g/kgbb) pada analgetik multimodal akan meningkatkan kerja

analgetik pascabedah serta functional outcome setelah operasi orthopedi. Pada

bedah rawat jalan nyeri sudah harus terkontrol dengan analgetik oral (seperti

parasetamol, ibuprofen, parasetamol dengan codein) sebelum pasien dipulangkan.

Ibuprofen 800 mg menghasilkan efek analgetik yang lebih baik dibanding


parasetamol 800 mg dengan codein 60 mg bila diberikan setiap 8 jam selama 3 hari

setelah bedah rawat jalan. Penggunaan ibuprofen secara signifikan juga jarang

menyebabkan konstipasi, yang biasa terjadi setelah pemberian codein.

Karena penggunaan NSAID yang non selektif (seperti ketorolak) berpengaruh

terhadap perdarahan karena mengganggu aggregasi platelet, premedikasi dengan

COX-2 inhibitor (seperti celecoxib, rofecoxib, valdecoxib, parecoxib) menjadi

makin popular karena tidak berpengaruh terhadap fungsi aggregasi platelet. Pada

penggunaan rutin, premedikasi oral dengan rofecoxib 50 mg, celecoxib 400 mg,

atau valdecoxib 40 mg merupakan pendekatan yang sederhana dan cost-effective

dalam meningkatkan pengendalian nyeri serta mempersingkat waktu pemulangan

pasien pada bedah rawat jalan.

Idealnya, analgetik non opioid multiple (seperti NSAID, parasetamol, COX-2

inhibitor) dapat dikombinasikan untuk mencapai pengelolaan nyeri yang optimal,

serta mungkin tanpa penggunaan opioid.

Pemakaian anestesi lokal sebagai analgetik intraoperatif pada MAC juga pada

anestesi umum dan anestesi spinal memberikan efek analgesi yang yang sangat baik

pada awal pemulihan serta pemulangan pasien. Bahkan infiltrasi lokal pada

luka/bekas jahitan meningkatkan analgesi pascabedah setelah operasi abdominal

bawah, ektremitas, dan pembedahan laparoskopi.

Teknik analgesi non farmakologi seperti elektroanalgesia (transcutaneus electrical

nerve stimulation/TENS), akupunktur, serta percutaneus neuromodulation therapy

juga dapat dipergunakan sebagai tambahan dalam pengelolaan nyeri pada bedah

rawat jalan.
Optimalisasi pengelolaan nyeri sangat diperlukan untuk memaksimalkan

keuntungan bedah rawat jalan bagi pasien serta penyedia jasa kesehatan. Obat

analgetik serta teknik pengelolaan nyeri non farmakologi yang aman, simpel, serta

lebih murah sangat diperlukan dalam pengendalian nyeri yang cost-effective pada

bedah rawat jalan.

Pengelolaan PONV

Post Operative Nausea and Vomiting (PONV) masih merupakan masalah yang

umum pada bedah rawat jalan, dan kejadiannya 20-30% setelah pemberian anestesi

umum dan dilaporkan masih terjadi pada 35% pasien setelah dipulangkan kerumah,

sehingga mencegah PONV merupakan prioritas bagi pasien.

Society for Ambulatory Anesthesia/SAMBA mengeluarkan pedoman pengelolaan

PONV. Faktor resiko kejadian PONV pada dewasa termasuk:

Faktor resiko yang berasal dari pasien: wanita, tidak merokok, riwayat

PONV sebelumnya, dan mabuk perjalanan.

Faktor resiko anestesi: penggunaan volatile anestesi, pemakaian N2O,

penggunaan opioid intraoperatif serta pascabedah.

Faktor pembedahan: lamanya pembedahan (setiap penambahan 30 menit

durasi pembedahan akan meningkatkan resiko PONV 60%, sehingga

resiko PONV 10% akan meningkat menjadi 16% setelah 30 menit), jenis

pembedahan (laparoskopi, laparotomi, operasi payudara, strabismus,

bedah plastic, maxillofacial, operasi ginekologi, abdomen, neurology,

operasi mata, serta operasi urologi).


Apfel dkk. Menyederhanakan faktor resiko PONV pada pasien dewasa dengan

membuat suatu sistem skoring yang terdiri dari 4 kategori yaitu: wanita, tidak

merokok, riwayat PONV dan penggunaan opioid pascabedah. Bila 0, 1, 2, 3, atau 4

faktor tersebut ada maka kejadian PONV adalah sekitar 10%, 20%, 40%, 60%, atau

80%. Strategi untuk mengurangi resiko PONV adalah:

Menghindari pemakaian anestesi umum, dengan menggunakan anestesi

regional.

Penggunaan propofol untuk induksi serta rumatan anestesi.

Menghindari pemakaian N2O.

Menghindari pemakaian obat anestesi volatil

Meminimalkan pemakaian opioid intraoperatif dan pascabedah.

Meminimalkan pemakaian prostigmin

Pemberian cairan yang adekuat.

Antiemetik yang digunakan sebagai profilaksis PONV pada pasien dewasa

termasuk :

5-hydroxytryptamine (5-HT3) antagonist (seperti ondansetron, dolasetron,

granisetron, dan tropisetron)

Steroid (seperti deksametason)

Phenothiazines (prometazin dan proklorperazin)

Penylethylamine (efedrin)

Butyrophenones (droperidol, haloperidol)

Antihistamin (dimenhidrinat)

Antikolinergik (skopolamin transdermal)


Obat-obat antiemetik ini direkomendasikan pada pasien dengan tingkat resiko

moderat sampai resiko tinggi terhadap PONV.

Tabel 4. Dosis serta waktu pemberian obat antiemetik profilaksis

Obat Dosis waktu


Dexamethasone 45 mg IV At induction
Dimenhydrinate 1 mg/kg IV End of surgery
Dolasetron 12.5 mg IV End of surgery
Droperidol 0.6251.25 mg IV End of surgery
Ephedrine 0.5 mg/kg IM End of surgery
Granisetron 0.351.5 mg IV End of surgery
Haloperidol 0.52 mg IM/IV End of surgery
Prochlorperazine 510 mg IM/IV End of surgery
Promethazineb 6.2525 mg IV At induction
Ondansetron 4 mg IV End of surgery
Scopolamine Transdermal patch Prior evening or 4 h
before surgery
Tropisetron 2 mg IV End of surgery

Kombinasi lebih dari satu jenis profilaksis (multimodal) direkomendasikan pada

pasien yang beresiko sedang sampai tinggi terjadinya PONV, dimana terdapat 2

atau lebih faktor resiko. Dalam kombinasi tersebut harus terdiri dari obat dengan

mekanisme kerja yang berbeda-beda. Strategi multimodal juga termasuk

penggunaan propofol dan teknik analgesi berbasis anestesi lokal, pemberian cairan

yang adekuat, serta meminimalkan penggunaan opioid selama perioperatif.

Penggunaan antiemetik profilaksis non farmakologi (akupunktur, transcutaneous

electrical nerve stimulation, acupoint stimulation, dan acupressure) juga

memperlihatkan hasil yang efektif dalam pengelolaan PONV.

Jika PONV terjadi pascabedah, antiemetik yang diberikan sebagai terapi harus

dengan farmakologi yang berbeda dari antiemetik profilaksis yang telah diberikan,

antiemetik yang direkomendasikan adalah antagonis 5-HT3, terbukti adekuat pada


terapi PONV. Dosis antagonis 5-HT3 yang digunakan untuk terapi lebih kecil

dibanding dosis profilaksis: ondansetron 1,0 mg, dolasetron 12,5 mg, granisetron

0,1 mg, dan tropisetron 0,5 mg. Alternatif terapi lain adalah dexametason 2-4 mg,

droperidol 0,625 mg IV, atau prometazin 6,25-12,5 mg IV. Propofol 20 mg dapat

juga dipakai sebagai rescue therapy PONV pada pasien yang masih berada di

PACU, sama efektifnya dengan ondansetron.

Kejadian mual muntah setelah pasien dipulangkan juga cukup tinggi, 17%

mengalami mual dan 8% mengalami muntah setelah pasien dipulangkan pada

bedah rawat jalan. Untuk profilaksis kejadian ini dapat diberikan ondansetron 4 mg

atau deksametason 4-10 mg. Sebuah penelitian memperlihatkan bahwa pencegahan

mual muntah setelah pemulangan cukup efektif dengan pemberian ondansetron

disintegrating tablet/ ODT, acupoint stimulation, dan skopolamin transdermal.

Ondansetron ODT terbukti secara signifikan mengurangi kejadian mual muntah

setelah pemulangan pasien dan meningkatkan kepuasan pasien terhadap

pengelolaan PONV pada bedah rawat jalan. Dosis ondasetron ODT yang digunakan

sama dengan ondansetron tablet oral biasa, 8 mg.

Penatalaksanaan setelah pasien pulang dari rumah sakit

Pasien bedah rawat jalan harus disertai orang dewasa yang bertanggung jawab

membawanya pulang dan menjaganya dirumah karena akan mengurangi kejadian

adanya efek yang tidak diinginkan, meningkatkan kenyamanan pasien. Dianjurkan

pasien harus diberikan instruksi tertulis tentang prosedur diet, obat, aktifitas, dan

nomor telepon bila ada kejadian emergensi. Pasien secara rutin diminta untuk tidak

minum alkohol, menyetir, membuat keputusan penting dalam 24 jam.


Komplikasi pascabedah harus sudah tertangani sebelum pasien dipulangkan.

Pengelolaan nyeri harus optimal dan analgetik peroral idealnya mampu

memberikan analgesi yang adekuat setelah pasien dipulangkan. Strategi

multimodal dalam pengelolaan nyeri memberikan hasil yang efektif dalam

meningkatkan outcome pasien. Mual dan muntah setelah pasien dipulangkan dapat

dicegah dengan pemberian ondansetron ODT. Untuk hasil maksimal dalam

penanganan mual dan muntah setelah pemulangan pasien, pencegahan mual

muntah dengan obat antiemetik profilaksis sebelumnya harus efektif untuk

mencegah kejadian PONV termasuk penerapan multimodal antiemetik khususnya

pada pasien yang mempunyai resiko cukup tinggi terjadinya PONV. Faktor

kenyamanan pasien merupakan salah satu tujuan utama bedah rawat jalan. Faktor

yang menentukan kenyamanan pasien adalah keramahan personil kamar bedah,

diskusi ahli bedah dengan pasien tentang apa yang ditemukan saat pembedahan,

pengelolaan PONV dan nyeri pascabedah, pemasangan jalur vena yang adekuat,

dan menghindari keterlambatan.

Kesimpulan

Kemajuan dalam bidang anestesi dan teknik pembedahan menyebabkan

teknik bedah rawat jalan berkembang pesat, jumlah pasien bedah rawat jalan

juga terus mengalami peningkatan.

Peranan ahli anestesi dalam pengelolaan perioperatif sangat penting dalam

tim bedah rawat jalan dalam mencapai keberhasilan teknik bedah rawat

jalan.
Evaluasi pada setiap proses dalam anestesi pada bedah rawat jalan (evaluasi

prabedah, skrining laboratorium, pemilihan obat dan teknik anestesi, efek

pada outcome pasien, efek pada perawatan pascabedah, serta pengaruh

secara keseluruhan terhadap pelayanan) melahirkan kontroversi-kontroversi

dalam rangka mencari strategi terbaik untuk meningkatkan kualitas bedah

rawat jalan agar lebih cost-effectiveness, aman, serta tetap menjaga kualitas

pelayanan sehingga menjamin kepuasan pasien.

Pendekatan multimodal serta penggunaan obat-obat dan teknik non

farmakologi yang lebih aman, sederhana, dan lebih cost effective dalam

pengelolaan komplikasi pascabedah (nyeri dan mual muntah) akan

memaksimalkan keuntungan teknik bedah rawat jalan serta outcome pasien

yang lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

1. Apfelbaum JL. Current controversies in adult outpatient anesthesia. ASA,

2005.

2. Bisri T. Seri Buku Literasi Anestesiologi: Ambulatory anesthesia. 2007.

3. Friedman Z, Chung F, Wong DT. Ambulatory surgery adult patient

selection criteria-a survey of canadian anesthesiologists. Can J Anesth 2004;

51(5): 437-43.

4. White PF. Update on ambulatory anesthesia. Can J Anesth 2005; 52(6): 1-

10.

5. White PF. Ambulatory anesthesia advances into the new millenium. Anesth

Analg 2000; 90: 1234-35.

6. McCarthy DE. Outpatient anesthesia. Jax-Medicine Journal 1998.

7. Gupta A, Stierer T, Zuckerman R, Sakima N, Parker SD, Fleisher LA.

Comparison of recovery profile after ambulatory anesthesia with propofol,

isoflurane, sevoflurane and desflurane:a systematic review. Anesth Analg

2004; 98: 632-41.

8. Wennervirta J, Ranta SO, Hynynen M. Awareness and recall in outpatient

anesthesia. Anesth Analg 2002; 95: 72-77.

9. White PF, Kehlet H, Neal JM, Schricker T, Carr DB, Carli F, et al. The role

of the anesthesiologist in fast-track surgery: from multimodal analgesia to

perioperative medical care. Anesth Analg 2007; 104: 1380-96.

10. White PF, Song D. New criteria for fast-tracking after outpatient anesthesia:

A comparison with the modified aldretes scoring system. Anesth Analg

1999; 88: 1069-72.


11. Marshall SI, Chung F. Discharge criteria and complications after

ambulatory surgery. Anesth Analg 1999; 88: 508-17.

12. Pavlin DJ, Rapp SE, Polissar NL, Malmgren JA, Koerschgen M, Keyes A.

Factors affecting discharge time in adult outpatient. Anesth Analg 1998; 87:

816-26.

13. Pavlin DJ, Chen C, Penaloza DA, Polissar NL, Buckley FP. Pain as a factor

complicating recovery and discharge after ambulatory surgery. Anesth

Analg 2002; 95: 627-34.

14. Raeder JC, Steine S, Vatsgar TT. Oral ibuprofen versus paracetamol plus

codeine for analgesia after ambulatory surgery. Anesth analg 2001; 92:

1470-72.

15. White PF. The role of non-opioid analgesic techniques in the management

of pain after ambulatory surgery. Anesth Analg 2002; 94: 577-85.

16. Gan TJ, Meyer TA, Apfel CC, Chung F, Davis PJ, Habib AS, et al. Society

for ambulatory anesthesia guidelines for the management of postoperative

nausea and vomiting. Anesth Analg 2007; 105: 161528.

17. Gan TJ, Franiak R, Reeves J. Ondansetron orally disintegrating tablet versus

placebo for the prevention of postdischarge nausea and vomiting after

ambulatory surgery. Anesth Analg 2002; 94: 11991200.

You might also like