You are on page 1of 4

Harvey David. 2000. Modern Analytical Chemistry. New York: McGraw-Hill Comp.

Skoog Douglas et al. 2004. Fundamental of Analytical Chemistry. Singapura: Thomson Learning.

Air merupakan satu zat gizi yang tidak dapat kita tinggalkan, tetapi seiring diabaikan
dalam pembahasan mengenai gizi. Air digunakan dalam jumlah yang lebih besar, baik
dalam pangan maupun dalam tubuh manusia dibandingkan dengan zat gizi lainnya.
Didasarkan pada seluruh bobot tubuh, hampir 60 hingga 70 persen tubuh manusia
terdiri dari air, jumlah yang tepat tergantung dari faktor seperti usia, kelamin, keadaan
kesehatan dan kegiatan fisik (Suhardjo dkk, 1977).

Kadar air juga merupakan karakteristik yang sangat penting dalam bahan pangan karena air dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur, serta ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan
pangan tersebut. Kadar air menyebabkan mudahnya bakteri, kapang dan khamir untuk berkembang
biak sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Haryanto 1992).

Penentuan kadar air dari suatu bahan pangan sangat penting agar dalam
proses pengolahan maupun pendistribusian mendapat penanganan yang
tepat dan juga dapat memperpanjang daya simpan suatu bahan pangan,
apabila sebagian air dalam bahan pangan dihilangkan. Penentuan kadar
air dalam bahan pangan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa
metode, yaitu dengan metode GRAVIMETRI (pengeringan dengan oven
biasa), metode kimia, metode distilasi dan metode khusus seperti
refraktometer. (Buckle,1985).
Gravimetri adalah metode analisis kimia secara kuantitatif dimana jumlah analit ditentukan dengan mengukur bobot substansi murni yang hanya
mengandung analit.(Skoog 2004) Penentuan kadar zat berdasarkan pengukuran berat analit atau senyawa yang mengandung analit dapat dilakukan
dengan dua metode, yaitu metode pengendapan melalui isolasi endapan sukar larut dari suatu komposisi yang tak diketahui dan metode
penguapan dimana larutan yang mengandung analit diuapkan, ditimbang, dan kehilangan berat dihitung. (Harvey 2000

Metode oven biasa merupakan salah satu metode pemanasan langsung dalam penetapan
kadar air suatu bahan pangan. Dalam metode ini bahan dipanaskan pada suhu tertentu
sehingga semua air menguap yang ditunjukkan oleh berat konstan bahan setelah periode
pemanasan tertentu. Kehilangan berat bahan yang terjadi menunjukkan jumlah air yang
terkandung. Metode ini terutama digunakan untuk bahan-bahan yang stabil terhadap
pemanasan yang agak tinggi, serta produk yang tidak atau rendah kandungan sukrosa dan
glukosanya seperti tepung-tepungan dan serealia (AOAC 1984).
Metode ini dilakukan dengan cara pengeringan bahan pangan dalam oven. Berat sampel
yang dihitung setelah dikeluarkan dari oven harus didapatkan berat konstan, yaitu berat bahan
yang tidak akan berkurang atau tetap setelah dimasukkan dalam oven. Berat sampel setelah
konstan dapat diartikan bahwa air yang terdapat dalam sampel telah menguap dan yang
tersisa hanya padatan dan air yang benar-benar terikat kuat dalam sampel. Setelah itu dapat
dilakukan perhitungan untuk mengetahui persen kadar air dalam bahan (Crampton 1959).
Secara teknik, metode oven langsung dibagi menjadi dua yaitu, metode oven temperatur
rendah dan metode oven temperatur tinggi. Metode oven temperatur rendah menggunakan
suhu (103 + 2)C dengan periode pengeringan selama 17 1 jam. Periode pengeringan
dimulai pada saat oven menunjukkan temperatur yang diinginkan. Setelah pengeringan,
contoh bahan beserta cawannya disimpan dalam desikator selama 30-45 menit untuk
menyesuaikan suhu media yang digunakan dengan suhu lingkungan disekitarnya. Setelah itu
bahan ditimbang beserta wadahnya. Selama penimbangan, kelembaban dalam ruang
laboratorium harus kurang dari 70% (AOAC 1970). Selanjutnya metode oven temperatur
tinggi. Cara kerja metode ini sama dengan metode temperatur rendah, hanya saja temperatur
yang digunakan pada suhu 130-133C dan waktu yang digunakan relatif lebih rendah
(Crampton 1959).
Metode ini memiliki beberapa kelemahan, yaitu:
a) Bahan lain disamping air juga ikut menguap dan ikut hilang bersama dengan uap air
misalnya alkohol, asam asetat, minyak atsiri dan lain-lain
b) Dapat terjadi reaksi selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah menguap.
Contoh gula mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak mengalami oksidasi
c) Bahan yang dapat mengikat air secara kuat sulit melepaskan airnya meskipun sudah
dipanaskan (Sudarmadji 2003).

Penentuan kadar air dari bahan-bahan yang kadar airnya tinggi dan mengandung senyawa-
senyawa yang mudah menguap (volatile) seperti sayuran dan susu, menggunakan cara
destilasi dengan pelarut tertentu. Misalnya toluene, xilol dan heptana yang berat jenisnya
lebih rendah daripada air (Winarno,F.G, 1984).

kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan

berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering (dry basis). Kadar air

berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 persen, sedangkan kadar air

berdasarkan berat kering dapat lebih dari 100 persen (Suharto, 1991).

Kadar air suatu bahan dapat dinyatakan dalam dua cara yaitu berdasarkan
bahan kering (dry basis) dan berdasarkan bahan basah (wet basis). Kadar
air secara dry basis adalah perbandingan antara berat air di dalam bahan
tersebut dengan berat keringnya. Bahan kering adalah berat bahan asal
setelah dikurangi dengan berat airnya. Sedangkan kadar air secara wet
basis adalah perbandingan antara berat air di dalam bahan tersebut
dengan berat bahan mentah .(Suharjo, 1977)
Suharto. 1991. Teknologi Pengawetan Pangan. PT. Rineka Cipta: Yakarta.
Winarno, F.G. 1984. Kimia Pangan Dan Gizi. Jakarta: Gramedia
Haryanto B. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Yogyakarta : Kanisius

AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemistry. 14th Ed. Virginia; AOC, Inc.Crampton, EW.
1959. Fundamental of Nutrition. USA: Freeman and Company

Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wooton. 1985. Ilmu
Pangan. Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono. Penerbit Universitas
Indonesia Press. Jakarta
Suhardjo dkk, 1977 . Pangan, Gizi dan Pertanian, Universitas Indonesia,
Jakarta
Crampton, EW. 1959. Fundamental of Nutrition. USA: Freeman and Company

Sudarmadji, Slamet, H.Bambang, Suhardi. 2003. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.
Yogyakarta : Liberty

Abu merupakan residu anorganik yang didapat dengan cara mengabukan komponen-
komponen organik dalam bahan pangan. Jumlah dan komposisi abu dalam mineral
tergantung pada jenis bahan pangan serta metode analisis yang digunakan. Abu dan mineral
dalam bahan pangan umumnya berasal dari bahan pangan itu sendiri (indigenous). Tetapi ada
beberapa mineral yang ditambahkan ke dalam bahan pangan, secara disengaja maupun tidak
disengaja. Abu dalam bahan pangan dibedakan menjadi abu total, abu terlarut dan abu tak
larut. (Puspitasari, et.al, 1991) Analisis gravimetrik merupakan bagian analisis kuantitatif
untuk menentukan jumlah zat berdasarkan pada penimbangan dari hasil reaksi setelah
bahan/analit yang dihasilkan diperlakukan terhadap pereaksi tertentu. (Widodo, 2010)

Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang ada dalam suatu bahan,
kemurnian, serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Pengukuran kadar abu bertujuan untuk
mengetahui besarnya kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan pangan (PERSAGI
2009).
SELAIN ITU Penentuan abu total dilakukan dengan tujuan untuk menentukan baik tidaknya
suatu proses pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, serta dijadikan parameter
nilai gizi bahan makanan. (Krisno.dkk , 2001). Kandungan abu juga dapat dipakai untuk
menentukan atau membedakan buah asli atau sintesis sebagai parameter nilai bahan pada
makanan. Adanya kandungan abu yang tidak larut dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan
adanya pasir atau kotoran lain (Irawati 2008).

Menurut Winarno (1991), kadar abu yang yang terukur merupakan bahan-bahan anorganik
yang tidak terbakar dalam proses pengabuan, sedangkan bahan-bahan organik
terbakar. Untuk menentukan kandungan mineral pada bahan makanan, bahan harus
dihancurkan/didestruksi terlebih dahulu. Cara yang biasa dilakukan yaitu pengabuan kering
(dry ashing) atau pengabuan langsung dan pengabuan basah (wet digestion). Pemilihan cara
tersebut tergantung pada sifat zat organik dalam bahan, sifat zat anorganik yang ada di dalam
bahan, mineral yang akan dianalisa serta sensitivitas cara yang digunakan.
(Apriyantono, et.al, 1989).

Prinsip dari pengabuan cara langsung yaitu dengan mengoksidasi semua zat organik pada
suhu tinggi, yaitu sekitar 500 600 oC dan kemudian melakukan penimbangan zat yang
tertinggal setelah proses pembakaran tersebut. (Sudarmadji, 1996).

Penentuan kadar abu adalah mengoksidasikan senyawa organik pada suhu yang tinggi yaitu
sekitar 500-600C dan melakukan penimbangan zat yang tersisa setelah proses pembakaran
tersebut. Waktu lamanya pengabuan tiap bahan berbeda-beda dan berkisar antara 2-8 jam.
Pengabuan dilakukan pada alat pengabuan yaitu tanur yang dapat diatur suhunya. Pengabuan
dianggap selesai apabila diperoleh sisa pembakaran yang umumnya bewarna putih abu-abu dan
beratnya konstan dengan selang waktu 30 menit. Penimbangan terhadap bahan dilakukan
dalam keadaan dingin, untuk itu cawan berisi abu yang ada dalam tanur harus lebih dahulu
dimasukan ke dalam oven bersuhu 105C agar suhunya turun menyesuaikan dengan suhu
didalam oven, barulah dimasukkan ke dalam desikator sampai dingin, barulah abunya dapat
ditimbang hingga hasil timbangannya konstan (Sudarmadji 2003)

Sedangkan prinsip pengabuan cara tidak langsung yaitu bahan ditambahkan reagen kimia
tertentu sebelum dilakukan pengabuan (Apriantono & Fardian 1989)

Terdapat beberapa kelemahan maupun kelebihan pada pengabuan secara langsung, Kelebihan
dari cara langsung antara lain dapat digunakan untuk penentuan kadar abu total bahan
makanan dan bahan hasil pertanian, sample yang digunakan relatif banyak, digunakan untuk
menganalisa abu yang larut dan tidak larut dalam air, asam, serta tanpa menggunakan regensia,
sehingga biaya lebih murah dan tidak menimbulkan resiko akibat penggunaan reagen yang
bebahaya. Kelemahan dari cara langsung antara lain proses pengabuan membutuhkan waktu
yang lebih lama, memerlukan suhu yang relatif tinggi, dan adanya kemungkinan kehilangan
mineral yang dapat menguap pada suhu tinggi (Apriantono 1989).

You might also like