You are on page 1of 13

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agroekosistem (EP) adalah ekosistem yang proses pembentukannya ada

campur tangan manusia dengan tujuan untuk meningkatkan produksi pertanian

dalam rangka memenuhi kebutuhan tuntutan manusia. Pertanian dapat juga

dipandang sebagai pemanenan energi matahari secara langsung atau tidak

langsung melalui pertumbuhan tanaman dan ternak. Agroekosistem dapat

dipandang sebagai sistem ekologi pada lingkungan pertanian.

Pendekatan pertanian berwawasan lingkungan adalah pendekatan yang

dimulai dengan pendekatan ekosistem. Pendekatan ekosistem pertanian

selanjutnya dikenal sebagai agroekosistem menekankan dua prinsip dasar akibat

penerapan teknologi. Agroekosistem berasal dari kata sistem, ekologi dan

agro. Sistem adalah suatu kesatuan himpunan komponen-komponen yang saling

berkaitan dan pengaruh-mempengaruhi sehingga di antaranya terjadi proses yang

serasi. Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara organisme

dengan lingkungannya. Sedangkan ekosistem adalah sistem yang terdiri dari

komponen biotik dan abiotik yang terlibat dalam proses bersama (aliran energi

dan siklus nutrisi). Pengertian Agro adalah pertanian dapat berarti

sebagai kegiatan produksi/industri biologis yang dikelola manusia dengan obyek

tanaman dan ternak. Pengertian lain dapat meninjau sebagai lingkungan buatan

untuk kegiatan budidaya tanaman dan ternak. Pertanian dapat juga dipandang

sebagai pemanenan energi matahari secara langsung atau tidak langsung melalui

2
pertumbuhan tanaman dan ternak. Agroekosistem dapat dipandang sebagai sistem

ekologi pada lingkungan pertanian.

Pendekatan agroekosistem berusaha menanggulangi kerusakan lingkungan

akibat penerapan sistem pertanian yang tidak tepat dan pemecahan masalah

pertanian spesifik akibat penggunaan masukan teknologi (Sutanto,

2002). Masalah lingkungan serius di pedesaan dan pertanian antara lain

kerusakan hutan, meluasnya padang alang-alang, degradasi lahan dan menurunnya

lahan kritis, desertifikasi, serta menurunnya keanekaragaman. Masalah

lingkungan ini sebagai akibat adanya lapar lahan seiring meningkatnya populasi

penduduk, komersialisasi pertanian, masukan teknologi pertanian dan permintaan

konsumsi masyarakat.

Agroekosistem banyak macamnya. Salah satu diantaranya ialah

agroekosistem pertanaman semusim. Agroekosistem tanaman semusim penting

dipelajari sebagai pemahaman budidaya yang sering petani pedesaan lakukan.

Sebagai contoh ialah agroekosistem tanaman Cabai. Cabai banyak dibudidayakan

oleh petani dan menjadi salah satu komoditas pangan pokok di Indonesia.

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui jenis dan fungsi agroekosistem

2. Untuk mengenal komponen ekosistem pertanian

3. Untuk menentukan keputusan pengelolaan agroekosistem

4. Untuk memberi kesempatan praktikan menjadi ahli di lahannya sendiri

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

Agroekosistem atau ekosistem pertanian merupakan suatu kesatuan

lingkungan pertanian yang tersusun dari komponen biotik dan abiotik yang saling

berinteraksi serta manusia dengan sistem sosialnya yang tidak dapat dipisahkan

dengan komponen-komponen tersebut. Pengertian ekosistem pertanian yang

paling sederhana dan mudah dimengerti oleh petani adalah hubungan timbal balik

antara komponen biotik dan abiotik serta manusia pada suatu lingkungan

pertanian (Luckman, 1982).

Analisis agroekosistem merupakan kegiatan terpenting dalam pengelolaan

hama dan penyakit terpadu, kegiatan ini dapat dianggap sebagai teknik

pengamatan terhadap hal yang mendasari petani dalam membuat keputusan-

keputusan pengelolaan lahan pertaniannya (Mangan, 2002).

Analisis agroekosistem merupakan salah satu kegiatan terpenting dalam

pengelolaan hama terpadu. Kegiatan AES dapat dianggap sebagai teknik

pengamatan terhadap hal yang mendasari petani dalam membuat keputusan

tentang pengelolaan lahan / kebunnya. Keputusan pengelolaan tersebut misalnya

kegiatan sanitasi, pemangkasan , pemupukan, teknik pengendalian. Kegiatan

AAES mengharuskan melakukan sejumlah pengamatan sejumlah faktor sebelum

membuat keputusan perlindungan tanaman. Faktor tersebut antara lain hama,

cuaca, penyakit, air, musuh alami, kondisi kebun, serangga netral dan gulma

(Sarwono, 2005).

4
Komponen Agroekosistem adalah: Petani, Lahan pertanaman, Ternak dan

Manajemen/teknologi. Pendekatan agroekosistem dalam peternakan adalah

pengembangan peternakan dalam keterpaduan wilayah pertanian

spesifik. Dengan demikian pendekatan agroekosistem dalam pengelolaan

sumberdaya pakan adalah pengelolaan potensi dan pemanfaatannya dalam

keterpaduan wilayah pertanian dan pengembangan peternakan. Kepentingan

pendekatan agroekosistem adalah : 1) Keterpaduan komponen AES untuk

kepentingan ekonomis, 2) Keterpaduan komoditas untuk proses produksi hulu ke

hilir 3) Keterpaduan wilayah untuk kelestarian lingkungan hidup / sumberdaya

alam.

Dalam Rukmana (1997) sistematika tanaman cabai diklasifikasikan ke

dalam golongan sebagai berikut :

Kingdom: Plantae

Divisi: Spermatophyta

Kelas: Dicotiledonae

Ordo: Solanales

Famili: Solanaceae

Genus: Capsicum

Spesies: Capsicum annum L.

Tanaman cabai besar (Capsicum annum L.) merupakan salah satu jenis

tanaman sayuran yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Selain untuk

memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari, cabai juga banyak digunakan

sebagai bahan baku industri pangan dan farmasi yang menyebabkan komoditas

5
ini memiliki potensi pemasaran, baik tujuan domestik maupun ekspor

(Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).

Tanaman cabai memiliki batang yang dapat dibedakan menjadi 2 macam

yaitu batang utama dan percabangan (batang skunder). Batang utama berwarna

coklat hijau dengan panjang antara 20-28 cm. Percabangan berwarna hijau dengan

panjang antara 5-7 cm. Daun tanaman ini terdiri dari alas tangkai, tulang dan

helaian daun. Panjang tangkai daun antara 2-5 cm, berwarna hijau tua. Helaian

daun bagian bawah berwarna hijau terang, sedangkan permukaan atasnya

berwarna hijau tua. Daun mencapai panjang 10-15 cm, lebar 4-5 cm. Bagian ujung

dan pangkal daun meruncing dengan tepi rata (Nawangsih, 2003).

Cabai dapat dengan mudah ditanam, baik di dataran rendah maupun tinggi.

Syarat agar tanaman cabai tumbuh baik adalah tanah berhumus (subur), gembur,

dan pH tanahnya antara 5-6. Cabai dikembangbiakkan dengan biji yang diambil

dari buah tua atau yang berwarna merah. Biji tersebut disemaikan terlebih dahulu

(Alteri, 1999).

Temperatur yang sesuai untuk pertumbuhannya antara 16-23OC. Temperatur

malam di bawah 16OC dan temperatur siang di atas 23OC menghambat

pembungaan. Cabai mengandung kurang lebih 1,5% (biasanya antara 0,1-1%)

rasa pedas. Rasa pedas tersebut terutama disebabkan oleh kandungan capsaicin

dan 8 dihidrocapsaicin (Lukmana, 2004). (FAO,2004).

6
III. METODE PRAKTIKUM

A. Bahan dan Alat

Bahan tinjauan berupa pertanaman pangan tanaman cabai dengan alat yang

digunakan alat tulis, kertas manila, kamera, dan kantong plastik.

B. Prosedur Kerja

1. Mahasiswa dibagi dalam kelompok sesuai dengan pembagian dalam setiap

rombongan

2. Bahan dan alat dipersiapkan

3. Mahasiswa ditugaskan ke lapangan untuk mengamati komponen

agroekosistem, yang meliputi agroekosistem tanaman pangan

4. Keadaan umum agroekosistem yang telah diamati kemudian digambar

5. Hasil pengamatan dituliskan pada kertas manila

6. Serangga/hewan yang bertindak sebagai hama dan musuh alami, juga

tanaman/bagian tanaman yang bergejala sakit dikoleksikan.

7. Hasil pengamatan dipresentasikan

7
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

8
B. Pembahasan

Praktikum yang kami lakukan ialah pengamatan di suatu lahan di daerah

Tambak Sogra, Sumbang yaitu tanaman cabai sebagai tanaman pokok untuk

diamati keadaan agroekosistem dan melakukan analisis agroekosistemnya.

Agroekosistem yang diamati seluas 150 m2 dengan. Waktu pengamatan yang

dilakukan pukul 13.00 WIB. Untuk perbedaan yang mempengaruhi tanaman cabai

dari tempat atau lokasi penanaman cabai itu sendiri sedikit berpengaruh terhadap

produktivitas tanaman cabai,karena tanaman cabai dapat tumbuh di daerah dataran

tinggi maupun rendah. Faktor yang mempengaruhi produksi tanaman cabai dapat

dilihat dari berbagai hal, salah satu contoh adalah faktor iklim. Faktor iklim sangat

mempengaruhi karna di Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki 2

musim yaitu musim hujan dan musim kemarau (Kartasapoetra, 1990).

Komponen biotik yang kami amati antara lain biotik flora dan fauna. Biotik

flora yaitu Cabai (Capsicum annum L.) sebagai tanaman pokoknya, tanaman lain

di sekitarnya yaitu tanaman tumapng sari Singkong (Manihot utilissima) dengan

Cabai (Capsicum annum L), Jagung (Zea mays), Pucuk Merah (Syzigium oleana),

dan Padi (Oryza sativa). Sedangkan biotik faunanya ialah hama Belalang

(Valanga nigricornis), Kutu daun (Aphid sp), dan dengan musuh alami yang

ditemukan yaitu Laba-laba (Araneus diadematus) dan Kumbang kukri (Cocinela

transversalis)

Hama Kutu daun (Aphid sp.) pada pertanaman cabai ini memiliki tingkat

serangan yang masuk kategori Berat (60%-80%) dan Belalang ringan (20%).

Didapatkan dari perhitungan intensitas serang yang memiliki rumus:

9
Keterangan :

IS= Intensitas serangan

n = Jumlah daun rusak tiap kategori serangan

v = Nilai skala tiap kategori serangan

Z = Nilai skala kategori tertinggi kategori serangan

N = Jumlah daun yang diamati

Pertanaman cabai yang kami amati selain terdapat gejala serangan dari

hama, ada gejala lain yang kami kategorikan sebagai penyakit tanaman cabai.

Diantaranya yaitu Thrips (Thrips parvispinus Karny). Hama ini menyerang

tanaman dengan menghisap cairan permukaan bawah daun (terutama daun-daun

muda). Serangan ditandai dengan adanya bercak keperak - perakkan. Daun yang

terserang berubah warna menjadi coklat tembaga, mengeriting atau keriput dan

akhirnya mati. Pada serangan berat menyebabkan daun, tunas atau pucuk

menggulung ke dalam dan muncul benjolan seperti tumor, pertumbuhan tanaman

terhambat dan kerdil bahkan pucuk tanaman menjadi mati. Hama ini merupakan

vektor penyakit virus mosaik dan virus keriting. Pada musim kemarau

perkembangan hama sangat cepat, sehingga populasi lebih tinggi sedangkan pada

musim penghujan populasinya akan berkurang karena banyak thrips yang mati

akibat tercuci oleh air hujan. Gulma yang terdapat pada pertanaman cabai ini

cukup banyak karena keadaan kondisi lahan yang kita amati tidak sedang

dilakukan sanitasi oleh petani. Gulma yang terdapat yaitu Babandotan (Ageratum

10
conyzoides), Putri malu (Mimora pudica), Rumput teki (Cyperus rotundus),

Bayam duri (Amarantus spinosus) dan Meniran (Phyllantus urinaria) Komponen

abiotik yang kami amati antara lain tanah, kelembaban, suhu, dan cuaca.

Pelengkap lainnya ialah wawancara terkait pengelolaan dan sistem tanam dari

pertanaman cabai ini. Berikut penjelasannya :

1. Tanah

Tanah yang kami amati berwarna coklat gelap, bertekstur gembur dan cukup

lembab. Dalam pertanaman cabai ini tanah dibentuk guludan setingi 20 cm.

Dengan luas lahan 10 m x 15 terdapat 12 baris guludan. Hal tersebut serupa

dengan yang diungkapkan Sarwono (2005), bahwa pada saat tanman muda

membutuhkan kelembaban tanah yang cukup.Tanaman cabai tidak tahan terhadap

genangan air, tanah yang becek atau berdrainase buruk dan akan mengakibatkan

tanaman tumbuh kerdil, daun menguning. Kondisi yang seperti itu mendukung

untuk hama dan penyakit berkembang baik oleh karena itu dibentuk lah guludan.

Gambar 1.1 Tanah Agroekosistem Cabai

11
2. Iklim

Suhu dan kelembaban yang kami amati dengan sebuah aplikasi Android

menunjukkan angka 30C dengan kelembaban 70%. Cuaca pada saat pengamatan

awalnya cerah dengan suhu 30oC lalu berubah menjadi mendung dan hujan.

Senada dengan cuaca harian di daerah Purwokerto sedang mengalami musim

penghujan. Menurut Rukmana (1997), adalah tanaman yang tumbuh baik di

daerah beriklim panas dan lembab, dengan suhu optimum 18C -30C

berkelembaban udara 60% 80% dan curah hujan 600 mm 1250 mm per tahun.

Produksi dan pertumbuhan yang optimal untuk usaha petani cabai yang cocok

adalah pada saat musim kemarau (kering). Namun, tanaman ini dapat tumbuh

pada ketinggian 0-500 meter di atas permukaan laut. Didaerah dengan ketinggian

yang lebih tinggi tanaman cabai tetap dapat tumbuh dengan baik. Namun, waktu

panen sedikit lebih lama jika dibandingkan dengan penanaman yang dilakukan

didaerah yang dianjurkan.

Sistem pertanaman yang digunakan yaitu monokultur. Tanaman lain yang

terdapat pada lahan tersebut hanya sebagai tanaman pembatas dipinggir-pinggir

pertanaman. Hubungan tanaman lain dengan pertanaman cabai ini selain sebagai

pembatas ialah sebagai keanekaragaman dan menjaga keseimbangan ekosistem.

Sedangkan tumbuhan yang berupa gulma memang cukup berbahaya karena gulma

ini dapat sebagai inang dari hama maupun patogen. Oleh karena itu dari petaninya

sendiri pun sering melakukan sanitasi terhadap lahan pertanamannya.

Hubungan komponen abiotik terhadap biotiknya khususnya tanaman cabai

sebagai tanaman pokok saling berkaitan. Dengan kondisi yang lembab untuk

12
pertanaman cabai itu cukup baik dalam mendukung pertumbuhan dan

perkembangannya. Walaupun sebenarnya tanaman ini lebih cocok pada dataran

rendah-sedang, tanaman ini mampu dengan mudah menyesuaikan diri dengan

keadaan lingkungannya.

13
V. PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Agroekosistem banyak macamnya, salah satunya ialah agroekosiste

pertanaman cabai. Analisis agroekositem ini berfungsi sebagai pengetahuan

keadaan ekosistem dan sebagai landasan keputusan tindakan yang akan

diambil.

2. Agroekosistem terdiri dari komponen biotik, abiotik, dan campur tangan

manusia sebagai manipulator.

3. Lahan yang kami survei dapat dikatakan agroekosistem karena terdapat

hubungan komponen biotik dan abiotiknya.

B. Saran

Pada saat praktikum analisis agroekosistem, praktikan harus mengamati

komponen komponen agroekosistem yang ada di lapangan secara teliti, agar

hasil yang didapat sesuai dengan yang ada dilapangan dan bisa dibandingkan

dengan referensi. Serta perlu adanya pendampingan asisten sebagai pemandu agar

analisis yang dilakukan lebih jelas.

14

You might also like